Anda di halaman 1dari 8

BAB II

PEMBAHASAN

A. DEMOKRASI PROSES KEBIJAKAN


(Usman Pakaya,2011:9)Kebijakan public adalah keputusan-keputusan yang
mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar dibuat oleg
pemegang otoritas public. Policy making sebagai proses dimana pemerintah meletakkann
visi politim mereka ke dalam program dan tinakan untuk memberikn hasil perubahan
yang diinginkan di dunia nyata. Policy making adalah proses pembuatan kebijakan yang
legal formal dari pihak yang memiliki otoritas (negara). Policy making adalah fungsi
mendasar dari pemerintah,meletakkan warga Negara sebagai klaim kebenaran terhadap
apa yang sudah ditetapkan pemerintah. Pemerintah sebagai top down, walaupun elemen-
elemen masyarakat dilibatkan dalam kebijakan public namun keputusan ataupun tindakan
yang diambil tetap oleg pemerintah sebagaii actor pemegang otoritas public.
(Dunn, 2003:22 ), proses kebijakan public/Negara dalam system yang demokratis
ada keterlibatan warga Negara (masyarakat/publik) yang bisa menyuarakan tuntutan
atausaran untuk proses politik, akan tetapi semua ditentukan oleh pemerintah. Dalam hal
ini masyarakat pada posisi yang pasif, marginal dan kurang menentukan.
(Usman Pakaya,2011:10)Policy shaping dalam menentukan arah
kebijakandilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Focus perhatian pada bagaimana
kebijakan disiapkan dalam aksi. Keputusan yang diambil pun memiliki pengaruh relative
luas terutama pada tingkat masyarakat bawah. Actor-aktor yang terlibat pun dari berbagai
komunitas dan elemen masyarakat. Analisis kebijakan yang bottom up bia menangkap
aspirasi masyrakat bawah. Berbanding terbalik dengan teori top down, yang bermula dari
pemutusan kebijakan lalu mempeljari tingkatdimana tujuan-tujuan direalisasikan
dibottom up.
Gerston (2002) bahwa kebijakan publik dibuat dan dilaksanakan pada semua
tingkatan pemerintahan, karenanya tanggung jawab para pembuat kebijakan akan berbeda
pada setiap tingkatan sesuai dengan kewenangannya (Gerston, 2002, 14).

Hogwood dan Peters (1983) mengusulkan gagasan tentang suksesi kebijakan


untuk menggarisbawahi bahwa kebijakan baru berkembang dalam suatu lingkungan yang
telah dipadati dengan kebijakan yang telah ada sebelumnya. Oleh karena itu, sebelum
kebijakan baru menjadi bagian utama dari lingkungan pembuatan kebijakan sistemik,
sering kebijakan lain bertindak sebagai hambatan utama bagi pengadopsian dan
implementasi kebijakan baru dalam ukuran tertentu. Pada saat yang sama, kebijakan
membuat efek samping dan menjadi penyebab masalah kebijakan berikutnya – lintas
sektor (misalnya, konstruksi jalan yang mengarah ke masalah lingkungan) serta dalam
sektor-sektor (misalnya, subsidi untuk produk pertanian menyebabkan overproduksi) –
dan, karenanya, kebijakan baru itu sendiri(―kebijakan menjadi penyebab dirinya
sendiri,‖ Wildavsky 1979, 83-85).
Winarno (1989) mengemukakan bahwa menurut perspektif teori elit,
kebijaksanaan public dapat dipandang sebagai nilai-nilai dan pilihan-pilihan dari elit yang
memerintah. Argumentasi pokok dari teori elit adalah bahwa bukan rakyat atau “massa”
yang menentukan kebijaksanaan publik melalui tuntutan-tuntutan dan tindakan mereka,
tetapi kebijaksanaan publik oleh elit yang memerintah dan dilaksana- kan oleh pejabat-
pejabat dan badan-badan pemerintah.
B. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN TOP DOWN
Menurut Wibawa 1994:2,implemetasi kebijakan adalah aktivitas yang terlihat
setelah dikeluarkan pengarahan yang sah dari suatu kebijakan yang meliputi upaya
mengelola input untuk menghasilkan output bagi masyarakat. Tahap implementasi
kebijakan dapat dicirikan dan dibedakan dengan tahap pembuatan kebijakan. Pembuatan
kebijakan disatusisi merupakan proses yang memiliki logika bittom-up, dalam arti proses
kebijkan diawali dengan penyampaian aspirasi, permintaan atau dukungan dari
masyarakat. Sedangan implemetasi kebijkan di sisi lain di dalamnya memiliki logika up-
down, dalam arti penurunan alternative kebijakan yang abstrak atau makro menjadi
tindakan konkrit atau mikro.
(Usman Pakaya,2011:12)Pendekatan top-down, dapat disebut sebagai
pendekatan yang didominasi awal perkembangan studi implementasi awal perkembangan
studi implementasi kebijakan.dalam pendekatan ini, implementasi kebijakan yang
dilakukan tersentralisasi.pendekatan top down bertitik tolak dari perspektif bahwa
keputusan-keputusan politik yang ditelah ditetapkan oleh pembuat kebijakan harus
dilaksanakan oleh administrasi-administrasi atau birokrat-birokrat pada level bawahnya.
Jadi inti pendekatan top down adalah sejaumana para pelaksana (administrator dan
birokrat) bertindak sesuia dengan prosedur serta tujuan yang telah digariskan oleh para
pembuat kebijakan di tingkat atasnya.
Menurut parsons (2008), model implementasi inilah yang paling pertama
muncu. Pendekatan top down memiliki hubungan kebijakan implementasi seperti yang
tercangkup dalam emile karya rousseau: segala sesuatuadalah baik jika diserahkan ke
tangan sang pencipta. Segala sesuatu adalah buruk ditangan manusia. Model rasional ini
berisi gagasan bahwa implementasi adalah menjadikan orang melakukan apa-apa yang
diperintahkan dan mengontrol urutan tahapan dalam sebuahsisitem
(Usman Pakaya,2011:12)Menurut hogwood dan gunn, untuk dapat
mengimplementasikankebijakan secara sempurna maka diperlukan beberapa persyaratan
pelaksanan pendekatan top down. Syaratnya adalah:
1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh instansi pelaksana tidak akan menimbulkan
kendala yang serius. Beberapa kendala pada saat implementasi seringkali berada
diluar kendali para administrator, sebab hambatan-hambatan itu memang diluar
jangakauan wewenang kebijakan dari badan pelaksana.
2. Untuk pelaksaan program tersedia waktu dan sumberdaya yang cukup tersedia.
3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia.
4. Kebijakan yangakan diimplemenasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas
tang andal.
5. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai
penghubungnya.
6. Hubungan saling ketergantungan harus kecil.
7. Pemahaman yang mendalamdan kesepakatan terhadap tujuan.
8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat.
9. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna.
10. Pihak-pihak yang memiliki wewenang dapat menuntut dan mendapatkan
kepatuhan yang sempurna.
C. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN BOTTOM-UP
(Usman Pakaya,2011:15)Berbeda dengan pendekatan top down yang dimulai
dari keputusan kebijakan dan berfokus pada sejauh mana pencapaian tujuan dari waktu ke
waktu. Pendekatan bottom up berawal dari pandangan bahwa para pengimplementasi
sering memainkan sebuah fungsi yang penting dalam implementasi. Bertolak belakang
dengan pendekatan bottom up lebih menyoroti implementasi kebijakan yang terfomulasi
dari inisiasi warga masyarakat. Argumentasi yang diberikan adalah masalah dan
persoalan yang terjadi pada level daerah hanya dapat dimengerti secara baik oleh warga
setempat. Sehingga pada tahap implementasinya pun suatu kebiakan selalu melibatkan
masyarakat secara partisipatif.

(Agustino,2006:156-157), pendekatan bottom up, disisi lai,


memandangimplementasikebijakan dirumuskantidak oleh lembaga yang tersentralisasi.
Pendekatan bottom up berangkat dari keputusan-keputusan yangditetapkan di tingkat
warga atau masyrakat yangmerasakan sendiri persoalan yang mereka alami. Intinya,
pendekatan bottom up adalah model implementasi kebijakan dari di mana formulasi
kebijakanberada di tingkat warga, sehingga mereka dapat memahami dan mampu
menganalisis kebijakan-kebijakan apa yang cock dengan sumberdaya yang tersedia di
daerahnya, system sosio-kultur yang ada agar kebijakan tersebut tidak kontraproduktif,
yang akan menunjang keberhasilan kebijakan itu sendiri.

(Parsons,2006), mengemukakan bahwa yang benar-benar pentingdalam


implementasi adalahhubungan antar pembuat kebijakan dengan pelaksanakebijakanm
model bottom up adalah model yang memandang proses sebagai sebuah negosiasi dan
pembentukan consensus. Masih menurut Parsons (2006), model pemdekatan bottom up
menekankan pada fakta bahwa implementasi di lapangan memeberikan kkeleluasaan
dalam penerapan kebijakan.
(Usman Pakaya,2011:16)Dengan demikian Bottom up bermakna meskipun
kebijakan dibuat oleh pemerintah, namun pelaksanaannya oleh rakya. Dalam menerima
kebiaksanaan yang telah dikeluarkan olehpemerintah, masyarakat dituntut dapat
memahami, menghayati, dan melaksanakannya sebagaimana yang diharapkan. Dengan
kata lain keterlbatan atau aspirasi masyarakat amatlah dibutuhkan demi tercipanya tujuan
pembangunan yang telah ditetapkan.
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Kebijakan public adalah arena yang bisa menjadi indikator keberhasilan pemerintah
menjalankannamanah dari masyarakat. Kebijakan public adalah upaya untuk menanggulangi
masalah public, maka sepatutnya kebijakan berorientasi pada kepentingan public. Keterlibatan
warga masyarakat untuk mengetahui rencana kebijakan pemerintah, kesempatan agar pendapat
mereka didengar dan memberikan input pada pembuatan kebijakan.

Semua itu memungkinkan adanya penerimaan yang lebih luas terhadap hasil kebijakan
danmenunjukan keterbukaan pemerintah. Hasilnya eksekutif dan legislatifjuga dapat dipercaya,
sehingga legistimasinya juga akan meninggkat. Jadi kebijakan tidak top-down tetapi bottom up.
Kedua pendekatan ini tidak dapat dipisahkan, bersinegi untuk kebijakan emokratis. Kebijakan
yangdemokratis diperlukan untuk menyatukan multi kepentingan yang muncul dalam
masyarakat kita yang heterogen. Jadi setiap kebijakan public hendaknya lahir dari musyawarah
bukan dipisahkan oleh sekelompok elit-elit saja.
DAFTAR PUSTAKA

Varma,SP,2007, Teori Politik Modern , Raja Grafindo Persada, Jakarta

Wibawa Samodra, 1994, Kebijakan Politik, Intermedia, Jakarta

Dwidjowijoto, Riant Nugroho, (2003). Kebijakan Public; Formulasi, Implementasi, dan


Evaluasi , PT Telex Media Komputindo ,Jakarta

Islamy, irfan m, 2007, prinsip-prinsip perumusan kebijakan Negara, bumi aksara, Jakarta

Parsons, Wayne ,2008, Public Policy Pengantar Teori dan Analisi Kebijakan, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai