Pahlawan Di Ujung Maut
Pahlawan Di Ujung Maut
Anak muda :
“Ayah! Apakah ayah tidak bisa melihat hikmah dari kejadian ini?”
Lelaki tua :
“Tidak! Aku tidak melihatnya, sebab memang tidak ada!”
“Supaya aku tidak rugi. Supaya nasibku sedikit lebih baik, aku minta sumbanganmu nak.”
Anak muda :
“Apa maksud Ayah sebenarnya ?”
Lelaki tua :
“Aku ingin kau jadi pahlawan.”
Anak muda :
“Ayah???”
Lelaki tua :
“Begitu bukan sajak sang politikus?”
Oh, bunga penyebar bangkai
Di sana, di sana, pahlawanku tumbuh mewangi
“Lezat dan nikmat sekali sajak itu anakku, apa kau tidak bisa melihat kenikmatan pembunahan
sajak itu?”
Anak muda :
“Ayah”
Lelaki tua :
“Anakku, maafkan ayahmu, kau harus kubunuh!”
Anak muda :
“Ayah dengan cara ini kah, ayah menjadikanku pahlawan? Ayah menghalalkannya? Aku dan
ayah adalah dua manusia di mata Tuhan. Kita masing-masing berdiri sendiri-sendiri. Aku
mempunyai sang nasib pengasuhku sendiri! Ayah di atur yang lain!”
Lelaki tua :
“Anakku kali ini pengasuhmu menyerahkanmu padaku!”
Anak muda :
“Tidak! Tidak mungkin! Pengasuhku bekerja konstruktif!”
“Ayah!!!”
Lelaki tua :
“Anakku!!!”
Anak muda :
“Ayah…….”
Lelaki tua :
“Anakku….”
Prolog
Sehari sehabis pengangkatan prajurit muda itu sebagai pahlawan oleh para pembesar di balai
kota, maka pagi harinya iring-iring jenasah yang panjang itu menuju makam pahlawan dengan
kemegahan upacara militer. Banyak pengiring yang menangis. Anak semuda dia dengan
keyakinanya, terlalu sayang untuk pergi.
Suasana siang terasa sepi. Pintu-pintu rumah tertutup rapat. Anak-anak tidak bermain-main di
halaman seperti biasanya. Angin bertiup keras, hingga keadaan jalan yang panas kemarau itu
penuh bertebaran debu-debu.
Hari berikutnya, sehabis penguburan, matahari mencambuk-cambuk kulit, ketika tiba-tiba jalan
di depan balai kota digemparkan oleh seorang perempuan membopong mayat.
Dialog
warga 1
”siapakah wanita aneh itu?”
Warga 2
“tidak jijikkah ia?”
Warga 3
“Aduh, seorang perempuan yang berani. Benar?”
Warga 4
“mayat pahlawan kemarin digali lagikah ia?”
Warga 5
“ya, Tuhan, oleh tangan ibunya sendiri”
Warga 6
“jadi, yang membopong itu ibunya?”
Warga 7
“aduhai, satu paduan yang bagus: ibu Pertiwi membopong Pahlawannya.”
Warga 8
“suatu pemandangan yang mengerikan”
Warga 9
“mau dia apakan? Ada sesuatu yang salah? Bagaimana mungkin?”
Prolog
Kemudian para pembesar pada keluar dari balai kota dan turun mendapati orang-orang yang
berkerumun, dalam sekejab orang-orang itu sudah sama banyaknya dengan rombongan jenazah
kemarin. Lalu diantara orang-orang yang mengelilingi perempuan dengan mayat itu,
tersembullah seorang tua yang serta-merta berhadapan dengan peristiwa itu.
Dialog
Istri
”ini dia orangnya! Ia adalah suamiku, namun sejak kugali mayat anakku ini, ia telah kuceraikan.
Semalam ia telah bercerita panjang lebar tentang garis depan. Akhirnya ia pulang membawa
tipuan-tipuan buat kita. Mayat ini sama sekali bukan pahlawan. Dan seandainya ia sanggup
bangun, ia akan berkata kepada kita bahwa ia tidak ingin jadi pahlawan. Aku tau tabiat anak-
anakku. Dialah! Orang laki-laki ini yang membikinnya jadi pahlawan! Dia membunuhnya! Dia
menipu kita!”
Suami
“sebaliknya, aku kena tipu oleh mereka!”tangkis sang suami serta menunjuk kepada pembesar
dengan garang.”
“kita semuanya kena tipu mentah-mentah. Lihatlah aku! Keluargaku ludes! Tidak ada satupun
yang kudapatkan!”
Pembesar
“pengkhianat!”
Suami
“menurut hukum yang bagaimanakah seorang berhak menyebut orang lain pengkhianat atau
pahlawan? Kemarin kubawa mayat anakku, anak yang penghabisan dari empat orang lainnya
yang sudah hancur duluan. Perang demi perang telah memeluk anak-anakku dengan mesranya.
Dalam sekejap jadi pahlawan. Aku sudah mengira. Aku sudah menduga. Sementara kalian
dengan berkaleng-kaleng air mata mengantarkannya ke kuburan, aku dengan tertawa terpingkal
pingkal”
Pembesar
“dengan berpijak pada nilai-nilai objektif, akan tidak ada tipuan-tipuan lagi”
Suami
“adakah nilai objektif itu? Yang ada hanya subjektif!”
Pembesar
“apa yang kau harapkan sekarang?”
Suami
“apa yang bisa aku harapkan dari kalian?”
Lalu laki-laki tua itu memandang sekeliling, menatapi wajah demi wajah.
“kalian orang-orang kecil, sesekali boleh pergi ke garis depan. Hingga kita bisa juga bicara
tentang perang”
“lihatlah sang Politikus! Ia bicara tentang Negara, tentang perang, tentang ekonomi, tentang
sejak, tentang kebun binatang, tentang perempuan. Sudah diborongnya semua. Lantas kita
disuruh bicara tentang apa?”
“oh, perutku terasa muak! Mual! Hingga mau muntah saja”
Tiba-tiba perempuan itu mencabut pistol dari pinggangnya dan sejenak menggelegar bunyinya
memenuhi sudut-sudut kota dan robohlah laki-laki tua yang ada dihadapanya itu. Perlahan
perempuan itu berjongkok dihadapannya. Air matanya meleleh.
Suaminya mengeliat menoleh kepadanya:
Suami
“perang demi perang berlalu, iseng demi iseng berpadu,”
Istri
“oh, nasibku, nasibku. Sedang kepada setan pun tak kuharapkan nasib yang demikian.