Anda di halaman 1dari 8

PAHLAWAN DI UJUNG MAUT

(Intepretasi dari cerpen “Godlob” Danarto)


Setting :
Ruangan gelap, sorot lampu ditengah panggung. Di sebuah tempat medan perang dengan seorang
anak yang hampir mati, menggigil, dan kesakitan di temani ayahnya.
Prolog :
Gagak-gagak hitam bertebaran dari angkasa, sebagai gumpalan-gumpalan batu yang
dilemparkan, kemudian mereka berpusar-pusar, tiap-tiap gerombolan membentuk lingkaran
sendiri-sendiri, besar dan kecil tidak karuan sebagai benang kusut. Laksana setan maut yang
compang-camping mereka buas dan tidak mempunyai ukuran hingga mereka loncat kesana
loncat kemari, terbang kesana terbang kemari, dari bangkai atau mayat yang satu ke gumpalan
daging yang lain. Dan burung-burung ini jelas kurang tekun dan tidak memiliki kesetiaan.
Matahari sudah condong, bulat-bulat tidak membara dan membakar padang gundul yang luas
itu, yang diatasnya berkaparan tubuh-tubuh yang gugur, prajurit-prajurit yang baik, yang sudah
mengorbankan satu-satunya milik yang tidak bisa dibeli: nyawa! Ibarat sumber yang mati mata
airnya, hingga tamatlah segala kegiatan menangis karena habisnya susu ibu.
Prolog :
Senjata berserakan di mana-mana. Beberapa senapan dengan sangkur terhunus, menancap disisi-
sisi mayat dengan topi bajanya terpasang diatas.
Prolog :
Bau busuk, anyir, menegang-negang seluruh bentangan padang gundul itu, hingga udara siang
hari ingar-bingar oleh daging-daging yang menguap dan malam hari terasa pengap, seolah-olah
mayat-mayat itu di dalam kaleng.
Prolog :
Dari ujung padang gundul itu, berderak-derak sebuah gerobak tanpa atap yang ditarik oleh dua
ekor kerbau. Di dalamnya anak seorang anak muda yang terluka dan seorang lelaki tua.
Dialog :
Lelaki tua :
“Bangsat, menjauhlah!” bentak lelaki tua mengusir sekerumunan gagak yang menyerang
gerobaknya.
“Kau pikir kami seonggok mayat?” “Dasar kurang ajar” seru lelaki tua yang mengusir gagak di
kepala anaknya yang lemas.
Lelaki tua itu pun berhenti sejenak dan turun dari gerobanknya dan melihat pemandangan
bangkai-bangkai yang gagak kerumuni dengan tatapan wajah menyeringai dan tertawa sambil
menaiki gerombak itu kembali.
“Anakku.” “kau lihat”. “kau lihat”. “kau lihat pemandangan yang menakjubkan ini?”.
Anak muda :
“Sudah cukup ayah!”. “bukankah aku seperti itu kemarin sebelum kau menemukannya”. “apa
menariknya dari pemandangan ini?”.
Lelaki tua :
“Yah, seperti mayat itu, kau berhari-hari mengayunkan tanganmu untuk mengusir burung gagak
keparat itu, hidung mu pun sudah kebal dengan bau busuk ini, dan udara yang membawa kuman
itu membuat luka mu semakin parah.”
Anak muda :
“Ayah cukup, aku lelah dan sakit diamlah!” sambil membenarkan balutan luka yang telah
membusuk.
Lelaki Tua :
“Nak, kau masih ingat sajak politikus?” Tanya orang tua itu tapi tidak digubris anaknya,
kemudan ia berdiri, tanganya merentang dan memandang sekeliling sambil berkata.
Oh, bunga penyebar bangkai.
Di sana, di sana pahlawanku tumbuh mewangi.
(sambil tertawa dan diiringi suara tawa dari sekumpulan gagak-gagak).
“Sajak ini sangat bagus kan nak, sangat bermutu kan?” “anakku, kau tau bedanya sajak yang
dibuat politikus dan penyair?”
“Kalau ada seorang yang terluka dan datang kepada politikus, luka tersebut akan dipukul keras
hingga berteriak kesakitan. Sedangkan kalau datang ke penyair, luka itu akan dielus-elus lembut
seakan-akan lukanya telah hilang. Sehingga keduanya sama-sama tidak berusaha menyembuhkan
luka itu. Bagaimana pendapatmu anakku?”
Anak muda :
“Cukup ayah cukup!”
Lelaki tua :
“Malam datang, anakku. Gagak-gagak itu belum juga kenyang.”
“aku tidak yakin, besok matahari sanggup menebusnya, tidak ada sesuatu yang baru di hidup kita
meskipun siang berganti malam, malam berganti siang.”
Anak muda :
“Berhenti ayah cukuplah!”
“Semuanya sudah diatur, mati dan hidupku pun sudah diatur, lahirku dari seorang ibu yang
bersuamikan ayahpun sudah diatur.” Kemudian ia berhenti bicara dengan nafas yang tersengal-
sengal.
“Ayah aku sangat mengagumi tentara. Aku ingin masuk didalamnya. Tapi aku dilarang. Tapi
nasib membawa ku ke medan perang ini. Dengan luka. Dan rasa sakit. Tapi kini aku bisa berkata
tentara itu baik ayah. Aku percaya pada manusia yang lain. Kukorbankan nyawa ku demi mereka
tanpa balas budi.”
Lelaki tua :
“Ya manusia yang mulia di mata tuhan.”
Anak muda :
“Ayah tau kenapa aku tidak memilih hal yang lain? Meskipun aku disini menanggung bencana,
maka sang nasiblah yang mengantarkanku. Jadi aku merasa senang.”
Lelaki tua :
“Seperti perang ini kan anakku?”
“Ada setetes yang tidak beres dari tumpahnya darah ini, tidak beres dikalangan atas, yang
mengakibatkan dirimu, puluhan, ratusan, ribuan jiwa manusia hancur. Hal ini harus diselidiki
betul-betul. Mungkin perkara sepuluh persen komisi, membela celana kotor, atau tentang
kebenaran bibir cewek.”
Anak muda :
“Ayah, cukuplah,” sambil menggeliat menahan rasa sakit.
Lelaki tua :
“Mungkin, seratus satu kemungkinan. Sesuatu yang sudah menjadi bubur tidak berguna sama
sekali. O, nasibku..”
“Nasibkulah anakku! Nasibku yang menyebabkanku seperti ini, aku sudah menyerahkan
keempat anakku kepada politikus itu dan tidak ada satupun yang kuterima. Sekarang ia
merenggut anakku yang terakhir yang paling kusayangi, kau! Kau! Sesuatu yang bagaimanakah
dan bentuk dan bentuk kebenaran macam apakah yang menghalalkan itu semuanya? Anakku!
Anakku! Tak bisa kutangguhkan lagi…”
Anak muda :
“Ayah, cukup!”.
Lelaki tua :
“Belum cukup! Aku harus memutuskan sesuatu yang hebat, biar aku tidak diragukan lagi!
Lihatlah, anakku! Lihatlah! Gelap gulita dan pekat. Bahkan aku tak bisa melihat tubuhku sendiri.
Tidak ada setitik pun cahaya. Lembah kebenaran berubah menjadi padang kurus kesangsian. Kau
lihat disana geraja using yang dipenuhi semak belukar, masjid digerayangi cacing-cacing dan
ulat-ulat, kau lihat disana perawan-perawan telah diseka di kamar-kamar. Kau lihat disana, kursi-
kursi pemerintahan sudah digadaikan. Apa yang bisa diharapkan lagi anakku?”
Anak muda :
“Ayah, Cukuplah. Seharunya keluarga kita bangga. Dengan perang ini kita telah meyambungkan
tangan kita.”
Lelaki tua :
“Berbangga? Aku sudah puas hal itu. Sekarang aku harus memutuskan sesuatu yang hebat, biar
aku tidak dirugikan. Anakku aku minta sumbanganmu?”
“Lukamu parah, bukan?”
Anak muda :
“aku tidak tau ayah..”
Lelaki tua :
“Tiap hari banyak orang-orang berbondong-bondong di batas kota dari pagi hingga petang atau
dari petang hingga pagi untuk menjemput, kalau-kalau suaminya, saudaranya, anaknya,
kawannya, pulang dari pertempuran. Betapa setianya mereka. O, seandainya mereka tahu apa
yang terjadi sesunggunya di padang gundul ini! Ibumu akan menyambutmu, juga kawan-
kawanmu, juga para tetangga. engkau sejenak akan dikagumi untuk kemudian dilupakan selama-
lamanya.”

Anak muda :
“Ayah! Apakah ayah tidak bisa melihat hikmah dari kejadian ini?”
Lelaki tua :
“Tidak! Aku tidak melihatnya, sebab memang tidak ada!”
“Supaya aku tidak rugi. Supaya nasibku sedikit lebih baik, aku minta sumbanganmu nak.”
Anak muda :
“Apa maksud Ayah sebenarnya ?”
Lelaki tua :
“Aku ingin kau jadi pahlawan.”
Anak muda :
“Ayah???”
Lelaki tua :
“Begitu bukan sajak sang politikus?”
Oh, bunga penyebar bangkai
Di sana, di sana, pahlawanku tumbuh mewangi
“Lezat dan nikmat sekali sajak itu anakku, apa kau tidak bisa melihat kenikmatan pembunahan
sajak itu?”
Anak muda :
“Ayah”
Lelaki tua :
“Anakku, maafkan ayahmu, kau harus kubunuh!”
Anak muda :
“Ayah dengan cara ini kah, ayah menjadikanku pahlawan? Ayah menghalalkannya? Aku dan
ayah adalah dua manusia di mata Tuhan. Kita masing-masing berdiri sendiri-sendiri. Aku
mempunyai sang nasib pengasuhku sendiri! Ayah di atur yang lain!”
Lelaki tua :
“Anakku kali ini pengasuhmu menyerahkanmu padaku!”
Anak muda :
“Tidak! Tidak mungkin! Pengasuhku bekerja konstruktif!”
“Ayah!!!”
Lelaki tua :
“Anakku!!!”
Anak muda :
“Ayah…….”
Lelaki tua :
“Anakku….”
Prolog
Sehari sehabis pengangkatan prajurit muda itu sebagai pahlawan oleh para pembesar di balai
kota, maka pagi harinya iring-iring jenasah yang panjang itu menuju makam pahlawan dengan
kemegahan upacara militer. Banyak pengiring yang menangis. Anak semuda dia dengan
keyakinanya, terlalu sayang untuk pergi.
Suasana siang terasa sepi. Pintu-pintu rumah tertutup rapat. Anak-anak tidak bermain-main di
halaman seperti biasanya. Angin bertiup keras, hingga keadaan jalan yang panas kemarau itu
penuh bertebaran debu-debu.

Hari berikutnya, sehabis penguburan, matahari mencambuk-cambuk kulit, ketika tiba-tiba jalan
di depan balai kota digemparkan oleh seorang perempuan membopong mayat.

Dialog

warga 1
”siapakah wanita aneh itu?”
Warga 2
“tidak jijikkah ia?”
Warga 3
“Aduh, seorang perempuan yang berani. Benar?”
Warga 4
“mayat pahlawan kemarin digali lagikah ia?”
Warga 5
“ya, Tuhan, oleh tangan ibunya sendiri”
Warga 6
“jadi, yang membopong itu ibunya?”
Warga 7
“aduhai, satu paduan yang bagus: ibu Pertiwi membopong Pahlawannya.”
Warga 8
“suatu pemandangan yang mengerikan”
Warga 9
“mau dia apakan? Ada sesuatu yang salah? Bagaimana mungkin?”
Prolog
Kemudian para pembesar pada keluar dari balai kota dan turun mendapati orang-orang yang
berkerumun, dalam sekejab orang-orang itu sudah sama banyaknya dengan rombongan jenazah
kemarin. Lalu diantara orang-orang yang mengelilingi perempuan dengan mayat itu,
tersembullah seorang tua yang serta-merta berhadapan dengan peristiwa itu.
Dialog
Istri
”ini dia orangnya! Ia adalah suamiku, namun sejak kugali mayat anakku ini, ia telah kuceraikan.
Semalam ia telah bercerita panjang lebar tentang garis depan. Akhirnya ia pulang membawa
tipuan-tipuan buat kita. Mayat ini sama sekali bukan pahlawan. Dan seandainya ia sanggup
bangun, ia akan berkata kepada kita bahwa ia tidak ingin jadi pahlawan. Aku tau tabiat anak-
anakku. Dialah! Orang laki-laki ini yang membikinnya jadi pahlawan! Dia membunuhnya! Dia
menipu kita!”
Suami
“sebaliknya, aku kena tipu oleh mereka!”tangkis sang suami serta menunjuk kepada pembesar
dengan garang.”
“kita semuanya kena tipu mentah-mentah. Lihatlah aku! Keluargaku ludes! Tidak ada satupun
yang kudapatkan!”
Pembesar
“pengkhianat!”
Suami
“menurut hukum yang bagaimanakah seorang berhak menyebut orang lain pengkhianat atau
pahlawan? Kemarin kubawa mayat anakku, anak yang penghabisan dari empat orang lainnya
yang sudah hancur duluan. Perang demi perang telah memeluk anak-anakku dengan mesranya.
Dalam sekejap jadi pahlawan. Aku sudah mengira. Aku sudah menduga. Sementara kalian
dengan berkaleng-kaleng air mata mengantarkannya ke kuburan, aku dengan tertawa terpingkal
pingkal”
Pembesar
“dengan berpijak pada nilai-nilai objektif, akan tidak ada tipuan-tipuan lagi”
Suami
“adakah nilai objektif itu? Yang ada hanya subjektif!”
Pembesar
“apa yang kau harapkan sekarang?”
Suami
“apa yang bisa aku harapkan dari kalian?”
Lalu laki-laki tua itu memandang sekeliling, menatapi wajah demi wajah.
“kalian orang-orang kecil, sesekali boleh pergi ke garis depan. Hingga kita bisa juga bicara
tentang perang”
“lihatlah sang Politikus! Ia bicara tentang Negara, tentang perang, tentang ekonomi, tentang
sejak, tentang kebun binatang, tentang perempuan. Sudah diborongnya semua. Lantas kita
disuruh bicara tentang apa?”
“oh, perutku terasa muak! Mual! Hingga mau muntah saja”
Tiba-tiba perempuan itu mencabut pistol dari pinggangnya dan sejenak menggelegar bunyinya
memenuhi sudut-sudut kota dan robohlah laki-laki tua yang ada dihadapanya itu. Perlahan
perempuan itu berjongkok dihadapannya. Air matanya meleleh.
Suaminya mengeliat menoleh kepadanya:
Suami
“perang demi perang berlalu, iseng demi iseng berpadu,”
Istri
“oh, nasibku, nasibku. Sedang kepada setan pun tak kuharapkan nasib yang demikian.

Anda mungkin juga menyukai