Anda di halaman 1dari 37

RADIOGRAPH BASED DISCUSSION

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Radiologi


Di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang

Disusun oleh:
Adli Ilham Akbar Hafidz 30101407115
Ahmad Hidayat 30101407119
Fitrian Hanif Zulkarnain 30101407320

Pembimbing:

dr. Bambang Satoto, Sp. Rad (K)

BAGIAN ILMU RADIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2019
LEMBAR PENGESAHAN
RADIOGRAPH BASED DISCUSSION
Diajukan Guna Melengkapi Tugas Kepaniteraan Klinis Bagian Ilmu Radiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung
Disusun Oleh:

Nama : Adli Ilham Akbar Hafidz 30101407115


Ahmad Hidayat 30101407119
Fitrian Hanif Zulkarnain 30101407320
Judul : Atelectasis
Bagian : Ilmu Radiologi
Fakultas : Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung
Pembimbing : dr. Bambang Satoto, Sp. Rad (K)

Semarang, Desember 2019

Mengetahui dan Menyetujui

Pembimbing Kepaniteraan Klinik

Bagian Ilmu Radiologi RS Islam Sultan Agung Semarang

dr. Bambang Satoto, Sp. Rad (K)

2
BAB I
PENDAHULUAN
Atelektasis adalah keadaan ketika sebagian atau seluruh paru mengempis dan tidak
mengandung udara. Tidak adanya udara di dalam paru terjadi karena saluran pernafasan
tersumbat sehingga udara dari bronkus tidak dapat masuk ke dalam alveolus, sedangkan udara
yang sebelumnya berada di alveolus diserap habis oleh dinding alveolus yang banyak
mengandung kapiler darah. Penyebab tidak masuknya udara ke dalam paru disebabkan oleh
sumbatan lumen saluran pernafasan maupun terhimpit dari luar yang mengakibatkan tertutupnya
saluran pernafasan.1,2

Atelektasis tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin seseorang. Kasus lain seperti COPD,
asma, atau pertambahan usia seseorang tidak meningkatkan insiden terjadinya atelectasis.
Peningkatan angka kejadian atelectasis sering terjadi pada pasien dengan general anesthesia,
dengan jumlah 90% dari total populasi. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa atelektasis
dapat muncul pada kedua lapang paru dalam lima menit saat proses induksi anestesi. Atelektasis
lebih sering muncul pada pasien operasi jantung dibandingkan dengan jenis operasi lainnya,
tetapi pada pasien dengan tindakan pada thorax dan abdomen dapat meningkatkan resiko
terjadinya atelectasis (Gunnarsson et al., 1991).

Atelektasis dapat terjadi pada wanita atau pria dan dapat terjadi pada semua ras.
Atelektasis lebih sering terjadi pada anak yang lebih muda dari pada anak yang lebih tua dan
remaja. Insiden dari atelectasis pascaoperasi adalah 80%, tetapi hanya 20% yang secara klinis
signifikan. Dari hasil 200 pasien chest radiographs yang diperiksa secara berturut-turut pada ICU,
ditemukan 18 kasus dari kolaps lobaris (8,5%). Sebagian besar kasus melibatkan lobus kiri bawah
(66%), kolaps lobus kanan bawah (22%) dan lobus kanan atas (11%) juga tercatat.3
Atelektasis pasca operasi dan atelektasis lobar adalah atelektasis umum yang sering
terjadi. Insiden dan prevalensi gangguan ini tidak terdokumentasi dengan baik. Mortalitas
Morbiditas pasien tergantung pada penyebab yang mendasari atelektasis. Dalam atelektasis pasca
operasi, kondisi umumnya membaik. Prognosis atelektasis lobar sekunder untuk obstruksi
endobronkial tergantung pada pengobatan keganasan.4,6
Menurut penelitian pada tahun 1994, secara keseluruhan terdapat 74,4 juta penderita
penyakit paru yang mengalami atelektasis. Di Inggris sekitar 2,1 juta penderita penyakit paru
3
yang mengalami atelektasis yang perlu pengobatan dan pengawasan secara komprehensif. Di
Amerika serikat diperkirakan 5,5 juta penduduk menderita penyakit paru yang mengalami
atelektasis. Di Jerman 6 juta penduduk. Ini merupakan angka yang cukup besar yang perlu
mendapat perhatian.
Atelektasis paru biaasanya menjadi diagnosis klinis suatu penyakit dengan catatan
mengetahui factor resiko penyakit tersebut. Apabila dibutuhkan, X Foto Thoraks, CT Thorax, dan
atau USG Thorax berguna untuk pemeriksaan atelectasis. Gambaran X Foto Thorax dapat
mengetahui adanya platelike, garis horizontal pada jaringan yang mengalami atelectasis. Pada X
Foto Thorax, atelectasis akan menghasilkan perubahan letak dari fisura interlobaris, opasifikasi
pada pulmo dan atau pergeseran trakea ke sisi yang abnormal. CT Thorax dapat menilai densitas
dari lapang paru yang mengalami kerusakan. Pemeriksaan Bronkoskopi fiberoptic dapat
digunakan untuk menentukan diagnose klinis maupun terapeutik, sering digunakan untuk
menentukan jenis obstruksi yang memengaruhi terjadinya atelectasis. Pemeriksaan Analisa gas
darah dapat digunakan untuk hipoksemia arteri dan alkalosis respiratorik (Woodring, 1996).

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1 Anatomi dan Fisiologi Paru

Saluran pernapasan udara hingga mencapai paru-paru adalah hidung, faring, laring,
trakea, bronkus, dan bronkhiolus. Saluran dari bronkus sampai bronkiolus dilapisi oleh membran
mukosa yang bersilia. Udara mengalir dari faring menuju laring atau kotak suara, laring
merupakan rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot-otot dan mengandung pita
suara. Trakea disokong oleh cincin tulang rawan yang berbentuk seperti sepatu kuda yang
panjangnya kurang lebih 5 inci. Struktur trakea dan bronkus dianalogkan sebagai suatu pohon
dan oleh karena itu dinamakan pohon trakeobronkial. Bronkus terdiri dari bronkus kiri dan kanan
yang tidak simetris, bronkus kanan lebih pendek dan lebar dan merupakan kelanjutan dari trakea,
cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronkus lobaris dan bronkus
segmentalis, percabangan ini berjalan menuju terus menjadi bronkus yang ukurannya sangat kecil
sampai akhirnya menjadi bronkus terminalis yaitu saluran udara yang mengandung alveoli,
setelah bronkus terminalis terdapat asinus yaitu tempat pertukaran gas.

Paru-paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut, yang terletak dalam rongga
dada atau thorak. Kedua paru-paru saling berpisah oleh mediastinum sentral yang berisi jantung
dan beberapa pembuluh darah besar. Setiap paru-paru mempunyai apek dan basis. Pembuluh
darah paru-paru dan bronchial, saraf dan pembuluh darah limfe memasuki tiap paru-paru pada
bagian hilus dan membentuk akar paru-paru. Paru-paru kanan lebih besar daripada paru-paru kiri.
Paru-paru kanan dibagi tiga lobus oleh fisura interlobaris, paru-paru kiri dibagi dua lobus. Lobus-
lobus tersebut dibagi lagi menjadi beberapa segmen sesuai dengan segmen bronkusnya. Suatu
lapisan yang kontinu mengandung kolagen dan jaringan elastis dikenal sebagai pleura yang
melapisi rongga dada (pleura parietalis) dan menyelubungi setiap paru-paru (pleura vesiralis).

Peredaran darah paru-paru berasal dari arteri bronkilais dan arteri pulmonalis. Sirkulasi
bronchial menyediakan darah teroksigenasi dari sirkulasi sistemik dan berfungsi memenuhi
kebutuhan metabolisme jaringan paru-paru. Arteri bronchial berasal dari aortatorakalis dan

5
berjalan sepanjang dinding posterior bronkus. Vena bronkialis yang besarmengalirkan darahnya
ke dalam sistem azigos, yang kemudian bermuara pada vena cava superior dan mengembalikan
darah ke atrium kanan. Vena bronkialis yang lebih kecil akan mengalirkan darah vena
pulmonalis. Karena sirkulasi bronchial tidak berperan pada pertukaran gas, darah yang tidak
teroksigenasi mengalami pirau sekitar 2 sampai 3% curah jantung. Arteri pulmonalis yang berasal
dari ventrikel kanan mengalirkan darah vena campuaran keparu-paru di mana darah tersebut
mengambil bagian dalam pertukaran gas. Jalinan kapiler paru-paru yang halus mengitari dan
menutupi alveolus, merupakan kontak erat yang diperlukan untuk proses pertukaran gas antara
alveolus dan darah. Darah yang teroksigenasi kemudian dikembalikan melalui vena pulmonaliske
ventrikel kiri, yang selanjutnya membagikan kepada sel-sel melalui sirkulasi sistemik.

4.2Definisi

Kolapsnya paru atau alveolus disebut atelektasis, alveolus yang kolaps tidak mengandung
udara sehingga tidak dapat ikut serta di dalam pertukaran gas. Kondisi ini mengakibatkan
penurunan luas permukaan yang tersedia untuk proses difusi dan kecepatan pernafasan
berkurang.

Atelektasis adalah suatu keadaan paru atau sebagian paru yang mengalami hambatan
berkembang secara sempurna sehingga aerasi paru berkembang atau sama sekali tidak terisi
6
udara. Sebagai dasar gambaran radiologis pada atelektasis adalah pengurangan volume bagian
paru baik lobaris, segmental atau seluruh paru, dengan akibat kurangnya aerasi sehingga memberi
bayangan lebih suram (densitas tinggi) dengan penarikan mediastinum kearah atelektasis,
sedangkan diafragma tertarik ke atas dan sela iga menyempit.1

Dengan adanya atelektasis, maka bagian paru sekitarnya mengalami suatu enfisema
kompensasi yang kadang-kadang begitu hebatnya sehingga terjadi herniasi hemithorak yang
sehat kearah hemethorak yang atelektasis.

4.3 Klasifikasi

A. Berdasarkan faktor yang menimbulkan Atelektasis

1. Atelektasis Neonatorum
Banyak terjadi pada bayi prematur, di mana pusat pernapasan dalam otak tidak matur dan
gerakan pernapasan masih terbatas. Faktor pencetus termasuk komplikasi persalinan yang
menyebabkan hipoksia intrauter.

Pada autopsy, paru tampak kolaps, berwarna merah kebiruan, non crepitant, lembek dan alastis.
Yang khas paru ini tidak mampu mengembang di dalam air. Secara histologis, alveoli
mempunyai paru bayi, dengan ruang alveoli kecil yang seragam, dilapisi dindingin septa yang
tebal yang tampak kisut. Epitel kubis yang prominem melaposi rongga alveoli dan sering terdapat
edapan protein granular bercampur dengan debris amnion dan rongga udara. Atelektasi
neonatorum pada sistem, gawat napas, telah di bahas disebelumnya.

2. Atelektasis Acquired atau Didapat


Atelektasis pada dewasa, termasuk gangguan intratoraks yang menyebabkan kolaps dari ruang
udara, yang sebelumnya telah berkembang. Jadi terbagi atas atelektasis absorpsi, kompresi,
kontraksi dan bercak. Istilah ini banya menyangkut mechanisme dasar yang menyebabkan paru
kolaps atau pada distribusi dari perubahan tersebut.

 Altelektasis absorpsi terjadi jika saluran pernapasan sama sekali tersumbat sehingga udara
tidak dapat memasuki bagian distal parenkim. Udara yang telah tersedia secara lambat
laun memasuki aliran darah, disertai dengan kolapsnya alveoli. Tergantung dari tingkat
obstruksi saluran udara, seluruh paru, merupakan lobus yang lengkap, atau bercak segmen
7
dapat terlibat. Penyebab tersering dari kolaps absorbsi adalah abstruksi bronchus oleh
suatu sumbatan mucus. Hal ini sering terjadi pasca operasi. Asma bronchial, bronkiektasis
dan bronchitis akut serta kronis, dapat pula menyebabkan obstruksi akut serta kronis.
Dapat pula menyebabkan obstruksi akut serta kronis, dapat pula menyebabkan obstruksi
karena sumbatan bahan mukopurulen. Kadang-kadang obstruksi disebabkan oleh aspirasi
benda asing atau bekuan darah, terutama pada anak atau selama operasi rongga mulut atau
anestesi. Saluran udara dapat juga tersumbat oleh tumor, terutama karsinoma bronkogenik
dengan pembesaran kelenjar getah bening (seperti pada tuberculosis, contohnya) dan oleh
aneurisma pembuluh darah.2
 Atelektasis kompresi paling sering dihubungkan dengan penimbunan cairan darah atau
udara dalam kavum pleura, yang secara mekanis menyebabkan kolaps paru di sebelahnya.
Ini adalah kejadian yang sering pada efusi pleura dari penyebab apa pun, namun mungkin
yang paling sering dihubungkan dengan hidrotoraks pada payah jantung kongesti.
Pneumotoraks dapat juga menyebabkan atelektasis kompresi pada penderita dengan tirah
baring dan penderita denan asites, atelaktasis basal menyebabkan posisi diafragma yang
lebih tinggi.
 Atelektasis kontraksi terjadi bila perubahan fibrosis pada paru dan pleura yang
menghambat ekspensi dan meningkatkan daya pegas pada ekspirasi.
 Atelektasis bercak bearti adanya daeah kecil-kecil dari kolaps paru, sepeti terjadi pada
obstruksi bronkioli yang multiple karena sekresi atau eksudat pada kedua sindrom gawat
napas orang dewasa dan bayi. Pada sebagian kecil kasus, atelektasis terjadi karena
patogenesis tertentu yang menyertai jelas pada dinding dada.
Atelektasis didapat (acquired) dapat akut atau kronis. Biasanya timbul karena sumbatan mucus
yang relatif akut, yang menjadi manifest karena mendadak timbul sesak napas. Memang
peristiwa sesak napas akut dalam 48 jam setelah satu prosedur pembedahan, hampir selalu
didiagnosis sebagai atelektasis. Yang penting adalah atelektasis dapat didiagnosis dini dan terjadi
reekspensi yang tepat dari paru yang terkena, karena perenkim yang kolaps amit peka terhadap
infeksi yang menunggagi. Atelektasis persisten segmen paru mungkin merupakan bagian penting
untuk terjadinya karsinoma bronkogenik yang diam-diam.

B. Berdasarkan luasnya Atelektasis

8
1. Massive atelectase, mengenai satu paru
2. Satu lobus, percabangan main bronchus
Gambaran khas yaitu inverted S sign → tumor ganas bronkus dengan atelectase lobus superior
paru.

1. Satu segmen → segmental atelectase


2. Platelike atelectase, berbentuk garis
Misal : Fleischner line → oleh tumor paru

Bisa juga terjadi pada basal paru → post operatif

C. Berdasarkan lokasi Atelektasis

1. Atelektasis lobaris bawah: bila terjadi dilobaris bawah paru kiri, maka akan tersembunyi
dibelakang bayangan jantung dan pada foto thorak PA hamya memperlihatkan diafragma
letak tinggi.
2. Atelektasis lobaris tengah kanan (right middle lobe). Sering disebabkan peradangan atau
penekanan bronkus oleh kelenjar getah bening yang membesar.
3. Atelektasis lobaris atas (upper lobe): memberikan bayangan densitas tinggi dengan tanda
penarikan fissure interlobaris ke atas dan trakea ke arah atelektasis.
4. Atelektasis segmental: kadang-kadang sulit dikenal pada foto thoraj PA, maka perlu
pemotretan dengan posisi lain seperti lateral, miring (obligue), yang memperlihatkan
bagian uang terselubung dengan penarikan fissure interlobularis.
5. Atelektasis lobularis (plate like/atelektasis local). Bila penyumbatan terjadi pada bronkus
kecil untuk sebagian segmen paru, maka akan terjadi bayangan horizontal tipis, biasanya
dilapangan paru bawah yang sering sulit dibedakan dengan proses fibrosis. Karena hanya
sebagian kecil paru terkena, maka biasanya tidak ada keluhan.
Atelektasis pada lobus atas paru kanan. Kolaps pada bagian ini meliputi bagian anterior, superior
dan medial. Pada foto thorak PA tergambarkan dengan fisura minor bagian superior dan mendial
yang mengalami pergeseran. Pada foto lateral, fisura mayor bergerak ke depan, sedangkan fisura
minor dapat juga mengalamai pergeseran ke arah superior.

Klasifikasi atelektasis berdasarkan penyebabnya menurut Elizabeth J. Corwin, 2009, ialah :

9
1. Atelektasis Kompresi
Atelektasis kompresi terjadi ketika sumber dari luar alveolus menimpa kan gaya yang cukup
besar pada alveolus sehingga alveolus kolaps. Hal ini terjadi jika dinding dada tertusuk atau
terbuka, karena tekanan atmosfir lebih besar daripada tekanan yang menahan paru mengembang (
tekanan pleura ) dan dengan pajanan tekanan atmosfir paru akan kolaps. Atelekasis kompresi
juga dapat terjadi jika terdapat tekanan yang bekerja pada paru atau alveoli akibat pertumbuhan
tumor. Distensi abdomen, atau edema, dan pembengkakan ruang interstitial yang mengelilingi
alveolus.

2. Atelektasis Absorpsi.
Atelektasis absorpsi terjadi akibat tidak adanya udara didalam alveolus, apabila aliran masuk
udara ke dalam alveolus dihambat, udara yang sedang berada di dalam alveolus akhirnya
berdifusi keluar dan alveolus akan kolaps. Penyumbatan aliran udara biasanya terjadi akibat
penimbunan mukus dan obstruksi aliran udara bronkus yang mengaliri suatu kelompok alveolus
tertentu, setiap keadaan menyebabkan akumulasi mukus, seperti fibrosis kistik, pneumonia, atau
bronkitis kronik, meningkatkan resiko atelektasis absorbsi. Atelektasis juga absorpsi juga dapat
disebabkan oleh segala sesuatu yang menurunkan pembentukan atau konsentrasi surfaktan tanpa
surfaktan, tegangan permukaan alveolus sangat tinggi. Meningkatkan kemungkinan kolapsnya
alveolus.

4.4 Etiologi

Etiologi terbanyak dari atelektasis adalah terbagi dua yaitu intrinsik dan ekstrinsik.

A. Etiologi intrinsik atelektasis adalah sebagai berikut :

 Obstruktif :
Sebab utama dari atelektasis adalah penyumbatan sebuah bronkus. Penyumbatan juga bisa terjadi
pada saluran pernafasan yang lebih kecil. Penyumbatan bisa disebabkan oleh adanya gumpalan
lendir, tumor atau benda asing yang terhisap ke dalam bronkus. Atau bronkus bisa tersumbat oleh
sesuatu yang menekan dari luar, seperti tumor atau pembesaran kelenjar getah bening. Jika
saluran pernafasan tersumbat, udara di dalam alveoli akan terserap ke dalam aliran darah
sehingga alveoli akan menciut dan memadat. Jaringan paru-paru yang mengkerut biasanya terisi
dengan sel darah, serum, lendir, dan kemudian akan mengalami infeksi.
10
 Bronkus yang tersumbat, penyumbatan bias berasal di dalam bronkus seperti tumor
bronkus, benda asing, cairan sekresi yang massif. Dan penyumbatan bronkus akibat
panekanan dari luar bronkus seperti tumor sekitar bronkus, kelenjar yang membesar.
 Peradangan intraluminar airway menyebabkan penumpukan sekret yang berupa mukus.
 Tekanan ekstra pulmonary, biasanya diakibatkan oleh pneumothorah, cairan pleura,
peninggian diafragma, herniasi alat perut ke dalam rongga thorak, tumor thorak seperti
tumor mediastinum.
 Paralisis atau paresis gerakan pernapasan, akan menyebabkan perkembangan paru yang
tidak sempurna, misalkan pada kasus poliomyelitis dan kelainan neurologis lainnya.
Gerak napas yang terganggu akan mempengaruhi lelancaran pengeluaran sekret bronkus
dan ini akan menyebabkan penyumbatan bronkus yang berakhir dengan memperberat
keadaan atelektasis.
 Hambatan gerak pernapasan oleh kelainan pleura atau trauma thorak yang menahan rasa
sakit, keadaan ini juga akan menghambat pengeluaran sekret bronkus yang dapat
memperberat terjadinya atelektasis
B. Etiologi ekstrinsik atelektasis:

 Pneumothoraks
 Tumor
 Pembesaran kelenjar getah bening.
 Pembiusan (anestesia)/pembedahan
 Tirah baring jangka panjang tanpa perubahan posisi
 Pernafasan dangkal
 Penyakit paru-paru

4.5 Patogenesis
Dimulai dengan sarang
dini pada segmen
Pada TB post primer apikal lobus superior
11
Sarang pneumoni kecil

Resorbsi kembali dan Meluas namun segera Meluas dan


sembuh tanpa cacat terjadi proses membentuk jaringan
penyembuhan kaseosa

Perubahan struktur Penyebukan jaringan


dari parenkim paru fibrosis

Parenkim paru
mengkerut
ATELEKTASIS

4.6 Gejala klinis

Atelektasis dapat terjadi secara perlahan dan hanya menyebabkan sesak nafas yang
ringan. Penderita sindroma lobus medialis mungkin tidak mengalami gejala sama sekali,
walaupun banyak yang menderita batuk-batuk pendek.

Gejalanya bisa berupa:

 gangguan pernafasan
 nyeri dada

12
 batuk
Jika disertai infeksi, bisa terjadi demam dan peningkatan denyut jantung, kadang-kadang
sampai terjadi syok (tekanan darah sangat rendah). Gejala klinis sangat bervariasi, tergantung
pada sebab dan luasnya atelektasis. Pada umumnya atelektasis yang terjadi pada penyakit
tuberculosis, limfoma, neoplasma, asma dan penyakit yang disebabkan infeksi misalnya
bronchitis, bronkopmeumonia, dan pain-lain jarang menimbulkan gejala klinis yang jelas, kecuali
jika ada obstruksi pada bronkus utama. Jika daerah atelektsis itu luas dan terjadi sangat cepat
akan terjadi dipsneu dengan pola pernapasan yang cepat dan dangkal, takikardi dan sering
sianosis, temperatur yang tinggi, dan jika berlanjut akan menyebabkan penurunan kesadaran atau
syok. Pada perkusi redup dan mungkin pula normal bila terjadi emfisema kompensasi. Pada
atelektasis yang luas, atelektasis yang melibatkan lebih dari satu lobus, bising nafas akan
melemah atau sama sekali tidak terdengar, biasanya didapatkan adanya perbedaan gerak dinding
thorak, gerak sela iga dan diafragma. Pada perkusi mungkin batas jantung dan mediastinum akan
bergeser, letak diafragma mungkin meninggi.

4.7 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Bakteriologis
Pemeriksaan bakteriologis untuk menemukan kuman TB mempunyai arti yang sangat penting
dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologis ini dapat berasal dari
dahak, cairan pleura, bilasan bronkus, liquor cerebrospinal, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar, urin, faeces, dan jaringan biopsi. Pada pemeriksaan bakteriologis yang
menggunakan sputum, cara pengambilannya terdiri dari 3 kali: sewaktu (pada saat kunjungan),
pagi (keesokan harinya), dan sewaktu (pada saat mengantarkan dahak pagi).3

Ada beberapa tipe interpretasi pemeriksaan mikroskopis, WHO merekomendasikan pembacaan


dengan skala IUATLD (International Union Againts Tuberculosis and Lung Disease) :

 Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapangan pandang, disebut negatif


 Ditemukan 1 – 9 BTA dalam 100 lapangan pandang, ditulis jumlah kuman yang
ditemukan

13
 Ditemukan 10 – 99 BTA dalam 100 lapangan pandang, disebut + (+1)
 Ditemukan 1 – 10 BTA dalam 1 lapangan pandang, disebut ++ (+2)
 Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapangan pandang, disebut +++ (+3)

2. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi foto lateral, top-
lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, TB dapat memberikan gambaran
bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologis yang dicurigai sebagai lesi TB aktif
: adanya bayangan berawan/ nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen
superior lobus bawah; kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular; bayangan bercak milier; efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
Gambaran radiologis yang dicurigai lesi TB inaktif berupa : fibrosis, kalsifikasi, Schwarte atau
penebalan pleura.

Pemeriksaan rontgen thoraks adakalanya dapat memberikan petunjuk untuk mendiagnosis


atelektasis. Bentuk-bentuk kolaps pada atelektasis secara klinis dan radiologi, sebagai berikut:

 Kolaps paru menyeluruh


 Opasifikasi hemithoraks
 Pergeseran mediastinum ke sisi yang terkena
 Diafragma terangkat
 Kolaps lobus kanan atas
 Fisura horizontal normal terletak pada anterior kanan iga ke empat
 Pada kolaps yang parah, lobus menjadi datar berlawanan dengan mediastinum
posterior
 Kolaps lobus tengah kanan
 Sumbatan pada perbatasan jantung kanan sering tampak
 Proyeksi Lordotik AP memperlihatkan pergeseran fisura.
 Kolaps lobus bawah
 Opasitas terlihat pada proyeksi frontal
 Gambaran wedge-shaped shadows

14
 Hilus tertekan dan terputar ke medial.
 Kolaps lingula
 Gambaran radiologi mirip dengan gambaran kolaps lobus tengah kanan
 Proyeksi frontal perbatasan jantung kiri menjadi kabur.
 Kolaps lobus kiri atas
 Terlihat jelas pada proyeksi frontal
 Pergeseran anterior di seluruh celah obliq, hampir sejajar pada dinding dada anterior
 Opasitas kabur terlihat di bagian atas, tengah dan kadang-kadang pada daerah bawah
 Opasitas yang paling padat di dekat hilus
 Elevasi hilus
 Trakea sering menyimpang ke kiri
b. Computed Tomography Scan (CT-SCAN)

 Kolaps lobus bawah


Adanya campuran densitas pada paru yang mengalami kolaps diakibatkan bronkus berisi cair.

 Kolaps lobus kiri atas


 Opasitas kabur terlihat dibagian atas, tengah dan kadang-kadang pada daerah bawah
 Opasitas yang paling padat di dekat hilus
 Kadang seperti nodus limfatik yang mengalami klasifika
 Kolaps paru menyeluruh
 Opasifikasi hemithoraks
 Adanya herniasi di kedua paru retrosternal dan refleksi azygo-esofagus. Esophagus
berisi sedikit udara

15
1.
2.
3.

16
Pemeriksaan Bakteriologis

Pemeriksaan bakteriologis untuk menemukan kuman TB mempunyai arti yang sangat penting
dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologis ini dapat berasal dari
dahak, cairan pleura, bilasan bronkus, liquor cerebrospinal, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar, urin, faeces, dan jaringan biopsi. Pada pemeriksaan bakteriologis yang
menggunakan sputum, cara pengambilannya terdiri dari 3 kali: sewaktu (pada saat kunjungan),
pagi (keesokan harinya), dan sewaktu (pada saat mengantarkan dahak pagi).

Ada beberapa tipe interpretasi pemeriksaan mikroskopis, WHO merekomendasikan pembacaan


dengan skala IUATLD (International Union Againts Tuberculosis and Lung Disease) :

 Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapangan pandang, disebut negatif


 Ditemukan 1 – 9 BTA dalam 100 lapangan pandang, ditulis jumlah kuman yang
ditemukan
 Ditemukan 10 – 99 BTA dalam 100 lapangan pandang, disebut + (+1)
 Ditemukan 1 – 10 BTA dalam 1 lapangan pandang, disebut ++ (+2)
 Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapangan pandang, disebut +++ (+3)

Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi foto lateral, top-
lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, TB dapat memberikan gambaran
bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologis yang dicurigai sebagai lesi TB aktif
: adanya bayangan berawan/ nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen
superior lobus bawah; kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular; bayangan bercak milier; efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
Gambaran radiologis yang dicurigai lesi TB inaktif berupa : fibrosis, kalsifikasi, Schwarte atau
penebalan pleura.

Luluh paru (destroyed Lung) adalah gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan
paru yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik luluh paru
terdiri dari atelektasis, ektasis/ multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai
aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik tersebut. Perlu dilakukan

17
pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktivitas penyakit.

Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat

dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA negatif) :

 Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas
tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrostemal
junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau
korpus vertebra torakalis 5), serta tidak dijumpai kaviti
 Lesi luas yaitu bila proses lebih luas dari lesi minimal.
Pemeriksaan Khusus

Ada beberapa tehnik baru yang dapat mendeteksi kuman TB, seperti : BACTEC : dengan
metode radiometrik, dimana CO2 yang dihasilkan dari metabolisme asam lemak Mycobacterium
tuberculosis dideteksi growth indexnya. Polymerase chain reaction (PCR) : dengan cara
mendeteksi DNA dari Mycobacterium tuberculosis. pemeriksaan serologis : ELISA, ICT,
Mycodot, dan PAP.

Pemeriksaan Penunjang Lain :

Seperti analisa cairan pleura dan histopatologi jaringan, pemeriksaan darah dimana LED
biasanya meningkat, tetapi tidak dapat sebagai indikator yang spesifik pada TB. Uji tuberkulin,
di Indonesia dengan prevalensi yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnosis penyakit
kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau
kepositifan yang didapat besar sekali.

4.8 Tatalaksana

Pada atelektasis sikatriks penatalaksanaan yang terpenting adalah penceghan


menderita hipoksia dan mengobati penyakit penyebabnya. Pada kasus ini penyebab dari
atelektasis adalah riwayat putus obat TB yang sudah lama atau TB paru kronik.

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan

18
tambahan.

A. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Obat yang dipakai:

1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:

· INH
Rifampisin
· Pirazinamid
· Streptomisin
· Etambutol

2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)

· Kanamisin
· Amikasin
· Kuinolon
· Obat lain masih dalam penelitian yaitu makrolid dan amoksilin
+ asam klavulanat

Jenis dan dosis OAT

Oba Dosis Dosis yg dianjurkan DosisMa Dosis (mg) /


t ks (mg) berat badan (kg)
(Mg/Kg
Harian (m Intermitten (mg/Kg/BB/k < 40 40- >60
BB/Har
g/ kgBB ali) 60

19
i) / hari)

R 8-12 10 10 600 300 450 600

H 4-6 5 10 300 150 300 450

100 150
Z 20-30 25 35 750
0 0

100 150
E 15-20 15 30 750
0 0

Sesua 100
S 15-18 15 15 1000 750
i BB 0

Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk
menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant tuberculosis).
Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioriti utama WHO.
International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO
menyarakan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam
pengobatan TB primer pada tahun 1998.6 Dosis obat tuberkulosis kombinasi dosis tetap
berdasarkan WHO seperti terlihat pada tabel Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:

1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal


2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan
pengobatan yang tidak disengaja
3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar
dan standar
4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit
5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan
penggunaan monoterapi

20
Tabel. Dosis obat antituberkulosis kombinasi dosis tetap

Fase intensif Fase lanjutan

2 bulan 4 bulan

BB Harian Harian 3x/minggu Harian 3x/minggu

RHZE RHZ RHZ RH RH

150/75/400/275 150/75/400 150/150/500 150/75 150/150

30-37 2 2 2 2 2

38-54 3 3 3 3 3

55-70 4 4 4 4 4

>71 5 5 5 5 5

Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang telah
ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas dosis
terapi dan non toksik.

Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping
serius harus dirujuk ke rumah sakit / dokter spesialis paru / fasiliti yang mampu
menanganinya.

21
Tabel. Ringkasan paduan obat

Kategori Kasus Paduan obat yang diajurkan Keterangan

I - TB paru BTA 2 RHZE / 4 RH atau


+, BTA - , lesi
2 RHZE / 6 HE
luas
*2RHZE / 4R3H3

II Kambuh -RHZES / 1RHZE / sesuai hasil Bila streptomisin


uji resistensi atau 2RHZES / alergi, dapat diganti
Gagal
1RHZE / 5 RHE kanamisin
pengobatan
-3-6 kanamisin, ofloksasin,
etionamid, sikloserin / 15-18
ofloksasin, etionamid, sikloserin
atau 2RHZES / 1RHZE / 5RHE

II - TB paru putus Sesuai lama pengobatan


berobat sebelumnya, lama berhenti
minum obat dan keadaan klinis,
bakteriologi dan radiologi saat
ini (lihat uraiannya) atau

*2RHZES / 1RHZE / 5R3H3E3

III -TB paru BTA 2 RHZE / 4 RH atau


neg. lesi
6 RHE atau
minimal

22
*2RHZE /4 R3H3

IV - Kronik RHZES / sesuai hasil uji


resistensi (minimal OAT yang
sensitif) + obat lini 2
(pengobatan minimal 18 bulan)

IV - MDR TB Sesuai uji resistensi + OAT lini


2 atau H seumur hidup

4.9 Evaluasi Pengobatan

Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek samping
obat, serta evaluasi keteraturan berobat.7

Evaluasi klinik

- Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan


selanjutnya setiap 1 bulan
- Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat
serta ada tidaknya komplikasi penyakit
- Evaluasi klinis meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisis.
Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)

- Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak

23
- Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
 Sebelum pengobatan dimulai
 Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
 Pada akhir pengobatan
- Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji
resistensi

Evaluasi radiologik (0 - 2 – 6/9 bulan pengobatan)

Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:

- Sebelum pengobatan
- Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan
kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
- Pada akhir pengobatan
Evaluasi efek samping secara klinik

- Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal
dan darah lengkap
- Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin,
dan gula darah , serta asam urat untuk data dasar penyakit penyerta
atau efek samping pengobatan
- Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
- Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol
(bila ada)
- Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan
dan audiometri (bila ada keluhan)
Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal
tersebut. Yang paling pentin adalah evaluasi klinis kemungkinan terjadi efek
samping obat. Bila pada evaluasi klinis dicurigai terdapat efek samping, maka
dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan
efek samping obat sesuai pedoman

24
Evalusi keteraturan berobat

- Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan


diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting
penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan
berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada pasien,
keluarga dan lingkungannya.
- Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah
resistensi.
-
Kriteria Sembuh

- BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir
pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat
- Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap sama/ perbaikan
- Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif

Evaluasi pasien yang telah sembuh


Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi minimal
dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui
kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopis BTA dahak dan foto
toraks. Mikroskopis BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada
gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah
dinyatakan sembuh (bila ada kecurigaan TB kambuh).8

25
BAB III
LAPORAN KASUS

Identitas Penderita
Nama : Ny.S
Usia : 74 tahun
Jeniskelamin : Perempuan
Alamat : Jalan Kapas Tengah I blok F 705 Semarang
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
Ruangan Poli : Baitus Syifa
Anamnesis
 Keluhan Utama :
 Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke RS Islam Sultan Agung Semarang dengan sesak nafas sejak 1
minggu yang lalu SMRS. Sesak dirasakan terus menerus. Keluhan disertai batuk sejak
1 minggu yang lalu..

 Riwayat Penyakit Dahulu:


- Riwayat keluhan serupa sebelumnya : Disangkal
- Riwayat sakit jantung : Disangkal
- Riwayat trauma : Disangkal

 Riwayat Penyakit Keluarga:


- Riwayat keluhan serupa : Disangkal
- Riwayat sakit jantung : Disangkal
- Riwayat trauma : Disangkal
 Riwayat Sosio Ekonomi :
Pasien merupakan bayi baru lahir yang masih minum ASI. Pasien periksa
menggunakan BPJS.
26
Pemeriksaan Fisik
STATUS GENERALIS
- Keadaan umum : Tampak lemah
- Kesadaran : Composmentis
- Status Gizi : Normal

STATUS ANTROPOMETRIK
- PB : 45 cm
- BB : 6.5 kg

TANDA VITAL
- HR (Nadi) : 120 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
- RR (Laju Napas) : 24 x/menit, reguler
- Suhu : 36,6 °C

STATUS INTERNUS
- Kepala : Bentuk normocephale, tidak teraba benjolan.
- Rambut : Warna hitam, tidak mudah dicabut, distribusi merata
- Mata :
- Bola mata : tidak terdapat eksoftalmus
- Konjungtiva : anemis -/-, perdarahan -/-,
- Sklera : ikterus -/-
- Palpebra : oedema -/-
- Pupil : bulat, isokor 3 mm/ 3mm, reflek cahaya +/+
- Hidung :
- Deformitas (-)

- Nafas cuping hidung (-/-),

- Tidak tampak adanya secret atau perdarahan

- Telinga :
- Bentuk : normal
27
- Lubang : normal, discharge (-/-)
- Pendengaran : normal
- Perdarahan : tidak ada
- Mulut :
- Bibir : tidak ada kelainan kongenital, sianosis (-), oedem (-)

- Lidah : ukuran normal, tidak kotor, tidak tremor

- Gigi : perawatan gigi kurang

- Mukosa : hiperemi (-), stomatitis (-)

- Leher :
- Deviasi trakea : - (posisi trakea simetris)
- Kaku kuduk : - (negatif)
- Tiroid : tidak ada pembesaran
- KGB : tidak ada pembesaran

PF THORAKS :

Inspeksi Anterior Posterior

Statis RR:24x/min,Hiperpigmentasi RR = 24x/min, Hiperpigmentasi


(-), tumor (-), inflammation (- (-), tumor (-), inflammation (-),
),Hemithorax D=S, ICS Normal, spider nevi (-), Hemithorax D=S,
Diameter AP < LL ICS Normal, Diameter AP < LL

Dinamik Pergerakan Hemithorax kanan = Pergerakan Hemithorax kanan =


kiri.Tidak terlihat gerakan otot kiri
bantu nafas, retraksi ICS (-) Tidak terlihat gerakan otot bantu
nafas, retraksi ICS (-)

28
Palpasi Palpasi: nyeri (-), tumor (-), Palpasi: nyeri (-), tumor (-),
pelebaran ICS (-), Sterm pelebaran ICS (-), Sterm
fremitus D = S fremitus D = S

Perkusi Sonor Sonor

Auskultasi Suara nafas dasar vesikuler, Suara nafas dasar vesikuler,


ronchi (-) , wheezing (-) ronchi (-) , wheezing (-)
Fremitus vocal D = S Fremitus vocal D = S

PEMERIKSAAN JANTUNG :

Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi Pulsus parasternal (-), pulsus epigastrium (-), pulsus sternal lift (-)

Perkusi Batas kanan : ICS 5 linea sternalis dextra


Batas kiri : ICS 4 linea mid clavicula sinistra
Batas atas : ICS 2 linea sternalis sinistra
Batas pinggang : ICS 3 linea parasternalis sinistra
Auskultasi Mitral : M1 > M2, bising suara jantung (-)
Trikuspid : T1 > T2, bising suara jantung (-)
Aorta : A2 > A1, bising suara jantung (-)
Pulmonal : P2 > P1, bising suara jantung (-)

PEMERIKSAAN ABDOMEN

Inspeksi Skin
• Scars (-)
• Striae (-)

29
• Dilated veins. (-)
• Rashes and lesions (-)
• caput medusa (-)
Umbilikus : Bulging (-)
Kontur : Bulat membesar, simetris, tak ada bulging atau
massa ter lihat
Peristaltik usus (+) terlihat
Auskultasi Peristaltik Meningkat, Borborygmi (+)

Perkusi Perkusi 4 regio : Hipertimpani


Hepar : pekak (+)
Test undulasi (-)
Palpasi Light : Distensi (+), massa (-), nyeri (+), Supel (-)
Deep : Nyeri tekan/lepas (-) di sekitar umbilicus dan
epigastrium, perbesaran organ (-), massa (-),

PEMRIKSAAN EKTRAMITAS
PEMERIKSAAN SUPERIOR INFERIOR
Akral Dingin -/- -/-
Oedem -/- -/-
Capillary Refil Time -/- -/-
Refleks Fisiologi +2/+2 +2/+2
Refleks Patologi -/- -/+

30
Pemeriksaan Penunjang Radiologi
a. Pemeriksaan Abdomen 2 Posisi (Non Kontras)

Pembacaan Hasil FPA 2 Posisi

DESKRIPSI:

- Preperitoneal fat line dan psoas line baik


- Tampak dilatasi usus halus dan sebagian usus besar, coil spring (+)
- Udara di region rectosigmoid (-)
- Tak tampak free air
- Tampak multiple air fluid level pendek bertingkat
- Tak tampak kelainan pada vertebra lumbalis
KESAN :

- Gambaran Ileus Obstruktif Letak Rendah


- Tak Tampak Pneumoperitoneum

31
BAB IV

PEMBAHASAN

Ileus paralitik adalah suatu keadaan patofisiologik dimana terdapat hambatan motilitas
pada traktus gastrointestinal dan tidak terdapat obstruksi mekanik intestinal, yang merupakan
suatu akibat dari gangguan motilitas dan secara spesifik dapat diterangkan sebagai ileus paralitik
atau adinamik ileus. Sedangkan ileus obstruksi merupakan suatu keadaan yang melibatkan
adanya hambatan mekanik terhadap isi lumen usus, baik parsial maupun komplit yang terjadi
pada satu atau lebih area usus. Keduanya dapat terjadi secara akut ataupun berkembang secara
lambat sebagai akibat dari penyakit kronik. Baik ileus paralitik maupun ileus obstruksi
merupakan dua gangguan yang berpotensi mengancam jiwa, kecuali bila dilakukan terapi lebih
awal. Tidak mengherankan bahwa ileus paralitik dan ileus obstruksi termasuk dalam 10 penyebab
kematian terbanyak di antara penyakit gastrointestinal.

Metode pencitraan yang dapat digunakan untuk mendiagnosis ileus adalah foto polos
abdomen 3 posisi, Foto Thorax, USG, CT-scan, serta MRI. Pemeriksaan penunjang yang sering
dipakai untuk penyakit ileus adalah foto polos abdomen 3 posisi. FPA mempunyai tingkat
sensitivitas 66% pada obstruksi usus halus, sedangkan 84% pada obstruksi kolon. Foto polos
abdomen dapat dilakukan dalam 3 posisi, yaitu: Tiduran terlentang (supine), sinar dari arah
vertikal dengan proyeksi antero posterior (AP); Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau
memungkinkan, dengan sinar horizontal proyeksi AP; Tiduran miring kekiri (Left Lateral
decubitus = LLD ), dengan sinar horizontal proyeksi AP.

Obstruksi ileus merupakan penyumbatan intestinal mekanik yang terjadi karena adanya
daya mekanik yang bekerja atau mempengaruhi dinding ususyang nantiya menyebabkan
penyempitan/penyumbatan lumen usus. Hal tersebut menyebabkan pasase lumen usus terganggu.
Akibatnya tersumbat,akan terjadi pengumpulan isi lumen usus berupa gas dan cairan, khususnya
didaerah proximal. hal itu akan menyebabkan rangsangan terjadinya hipersekresi kelenjar
pencernaan, yang membuat cairan dan gas tersebut akanmeningkat dan menyebabkan pelebaran
dinding usus (distensi). Sumbatan usus dan distensi usus menyebabkan rangsangan terjadinya
hipersekresi kelenjar pencernaan. Dengan demikian akumulasi cairan dan gas makin bertambah
yang menyebabkan distensi usus tidak hanya pada tempatsumbatan tetapi juga dapat mengenai

32
seluruh panjang usus sebelah proxima sumbatan. Sumbatan ini menyebabkan gerakan usus yang
meningkat (hiperperistaltik) sebagai usaha alamiah. Sebaliknya juga terjadi gerakan
antiperistaltik. Hal ini menyebabkan terjadi serangan kolik abdomen dan muntah (Sherwood et
al., 2013).

Gejala utama dari illeus obstruksi ialah mual muntah, umumnya pada obstruksi letak
tinggi. obstruksi pada usus halus menimbulkan gejala sepertinyeri perut sekitar umbilikus /
bagian epigastrium. Sedangkan obstruksi pada kolon biasanya mempunyai gejala klinis yang
lebih ringan dibandingobstruksi pada usus halus. Umumnya gejala berupa konstipasi yang
berakhirpada obstipasi dan distensi abdomen. Muntah jarang terjadi. Pada tahap awal,tanda vital
normal. Seiring dengan kehilangan cairan dan elektrolit, makaakan terjadi dehidrasi. Pada tahap
lanjut dimana obstruksi terus berlanjut,peristaltic akan melemah dan hilang. Adanya feces
bercampur darah padapemeriksaan rectal toucher dapat dicurigai adanya keganasan dan intusepsi
(Sherwood et al., 2013).

Pada anamnesis obstruksi tinggi sering dapat ditemukan penyebab misalnya berupa adhesi
dalam perut karena pernah dioperasi atau terdapat hernia. Gejala umum berupa syok, oliguri dan
gangguan elektrolit. Selanjutnya ditemukan meteorismus dan kelebihan cairan di usus,
hiperperistaltis berkala berupa kolik yang disertai mual dan muntah.Kolik tersebut terlihat pada
inspeksi perut sebagai gerakan usus atau kejang usus dan pada auskultasi sewaktu serangan kolik,
hiperperistaltis kedengaran jelas sebagai bunyi nada tinggi.Penderita tampak gelisah dan
menggeliat sewaktu kolik dan setelah satu dua kali defekasi tidak ada lagi flatus atau defekasi.
Pemeriksaan dengan meraba dinding perut bertujuan untuk mencari adanya nyeri tumpul dan
pembengkakan atau massa yang abnormal (Sherwood et al., 2013).

Gejala permulaan pada obstruksi kolon adalah perubahan kebiasaan buang air besar
terutama berupa obstipasi dan kembung yang kadang disertai kolik pada perut bagian bawah.Pada
inspeksi diperhatikan pembesaran perut yang tidak pada tempatnya misalnya pembesaran
setempat karena peristaltis yang hebat sehingga terlihat gelombang usus ataupun kontur usus
pada dinding perut.Biasanya distensi terjadi pada sekum dan kolon bagian proksimal karena
bagian ini mudah membesar (Sherwood et al., 2013).

33
Nilai laboratorium pada awalnya normal, kemudian akan terjadi hemokonsentrasi,
leukositosis, dan gangguan elektrolit. Pada pemeriksaan radiologis, dengan posisi tegak,
terlentang dan lateral dekubitus menunjukkan gambaran anak tangga dari usus kecil yang
mengalami dilatasi dengan air fluid level. Pemberian kontras akan menunjukkan adanya obstruksi
mekanis dan letaknya. Pada ileus obstruktif letak rendah jangan lupa untuk melakukan
pemeriksaan rektosigmoidoskopi dan kolon (dengan colok dubur dan barium in loop) untuk
mencari penyebabnya.Periksa pula kemungkinan terjadi hernia (Sherwood et al., 2013).
Seorang laki laki datang ke RS Islam Sultan Agung Semarang dengan keluhan lemas,
mual, muntah, perut kembung disertai belum BAB sejak 1 minggu SMRS, pasien juga
menceritakan bahwa sejak 1 Minggu SMRS pasien belum mengeluarkan angin. Kembung
dirasakan terus menerus, Keluhan di sertai perut membesar sejak 1 minggu yang lalu. Riwayat
DM (+)
Hasil pemeriksaan Foto Polos Abdomen 2 Posisi didapatkan gambaran berupa:

- Preperitoneal fat line dan psoas line baik


- Tampak dilatasi usus halus dan sebagian usus besar
- Udara di region rectosigmoid (-)
- Tak tampak free air
- Tampak Osteofit pada vertebra lumbalis
- Tampak Opasitas multiple di regio abdomen kanan atas uk. Diameter sekitar 0,6 cm.
KESAN :

- Gambaran Ileus Obstruktif Letak Rendah


- Tak Tampak Pneumoperitoneum
- Curiga Nefrolithiasis kanan multiple Uk. Diameter sekitar 0,6 cm. DD/
CHOLESISTOLITHIASIS

34
BAB V

KESIMPULAN

Ileus paralitik adalah suatu keadaan patofisiologik dimana terdapat hambatan motilitas
pada traktus gastrointestinal dan tidak terdapat obstruksi mekanik intestinal, yang merupakan
suatu akibat dari gangguan motilitas dan secara spesifik dapat diterangkan sebagai ileus paralitik
atau adinamik ileus. Sedangkan ileus obstruksi merupakan suatu keadaan yang melibatkan
adanya hambatan mekanik terhadap isi lumen usus, baik parsial maupun komplit yang terjadi
pada satu atau lebih area usus. Keduanya dapat terjadi secara akut ataupun berkembang secara
lambat sebagai akibat dari penyakit kronik. Pemeriksaan penunjang yang sering di pakai adalah
foto polos abdomen 2 posisi yang mempunyai tingkat sensitivitas 66% pada obstruksi usus halus,
sedangkan 84% pada obstruksi kolon. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang pada kasus ini didiagnosis ileus obstruktif letak rendah dengan
ditemukannya dilatasi usus halus dan sebagian usus besar disertai tampak multiple air fluid level
pendek bertingkat.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Bielefeldt K, Bauer AJ. Approach to the patient with ileus and obstruction . In: Yamada T,
Alpers DH, Kalloa AN et. al. Principles of clinical gastroenterology. Singapore: Wiley-
Blackwell; 2013. Pg: 287- 300

2. Diaz JJ, et al. Guidelines for Management of Small Bowel Obstruction. Journal of Trauma.
2011 : 1659 : 4-5
3. Djumhana A. Ileus paralitik. : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S,
eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4 ed. Vol. I. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 2014
4. Gearhart SL, Silen W. Acute intestinal obstruction. . In: Kasper, Braunwald, Fauci et al.
Harrison’s Principles of Internal Medicine vol II 17th ed. New York: McGrawHill; 2014. Pg
: 1912-1914
5. Guyton AC. Textbook of medical physiology. Penyysylvania: Elsevier Saunders; 2014.pg
771-780
6. Lappas JC, Reyes BL, Maglinte DD. Abdominal Radiography Findings In Small Bowel
Obstruction : Relevance to Triage for Additional Diagnostic Imaging. Network ; 2015.
7. Mukherjee S. Ileus. Dec 2017. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/178948-overview#a0104.
8. Nawaz A, MBBS, FRCS, FRCP, FRCR et. Al. Small Bowel Obstruction Imaging : 2013,
Availble from : http://emedicine.medscape.com/article/374962-overview#a01
9. Sherwood, Lauralee. Human Physiology : from Cells to Systems. Belmont, CA
:Brooks/Cole, Cengage Learning, 2013.
10. Sinicrope, Frank A., et. al. Ileus and bowel obstruction, October 2013, th edition. Available
at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18847534
11. Souvik A, Hossein MZ, Amitabha D et. al. Etiology and outcome of acute intestinal
obstruction: a review of 367 patients in Eastern India. Saudi J Gastrointestinal. 2010
October; 16(4): 285-287. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2995099/?tool=pubmed

36
12. William M. Thompson et.al Accuracy of Abdominal Radiography in Acute Small-Bowel
Obstruction: Does Reviewer Experience Matter? American Journal of Roentgenology 2017
188:3, W233-W238

37

Anda mungkin juga menyukai