Anda di halaman 1dari 36

Congestive Heart Failure + Atrium Fibrilasi

Oleh :

Davis Rahmat Yanata


M.Rifqy Givari
Try Hidaya Kesuma

Pembimbing : dr. Agustina, Sp. JP

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


RUMKIT PUTRI HIJAU TK II KESDAM I/BUKIT BARISAN
BAGIAN ILMU KARDIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA
MEDAN
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini
dengan judul “Congestive Heart Failure + Atrium Fibrilasi”.
Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen
Kardiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing dr.Agustina,Sp.JP yang telah meluangkan waktunya dan
memberikan banyak masukan dalam penyusunan laporan kasus ini sehingga dapat
selesai tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai masukan dalam penulisan
laporan kasus selanjutnya.Semoga makalah laporan kasus ini bermanfaat, akhir
kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, November 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ i


DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................. 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 6
BAB 3 STATUS ORANG SAKIT ................................................................ 25
BAB 4 FOLLOW UP ...................................................................................... 32
BAB 5 KESIMPULAN .................................................................................. 34
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 35

iii
BAB I
PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
CHF ( Congestive Heart Failure ) merupakan salah satu masalah kesehatan
dalam system kardiovaskular, yang angka kejadiannya terus meningkat.
Menurut data dari WHO dilaporkan bahwa ada sekitar 3000 warga Amerika
menderita CHF. Menurut American Heart Association ( AHA ) tahun 2012
dilaporkan bahwa ada 5,7 juta penduduk Amerika Serikat yang menderita gagal
jantung ( Padila, 2012 ).
Penderita gagal jantung atau CHF di Indonesia pada tahun 2012 menurut
data dari Departemen Kesehatan mencapai 14.449 jiwa penderita yang menjalani
rawat inap di rumah sakit. Pada tahun 2012 di Jawa Tengah terdapat 520 penderita
CHF dan menjalani rawat inap. Selain itu, penyakit yang paling sering
memerlukan perawatan ulang di rumah sakit adalah gagal jantung ( readmission ),
walaupun pengobatan dengan rawat jalan telah diberikan secara optimal.
Hal serupa juga dibenarkan oleh Rubeinstein ( 2007 ) bahwa sekitar 44 %
pasien Medicare yang dirawat dengan diagnosis CHF akan dirawat kembali pada
6 bulan kemudian. Pada umumnya CHF diderita lansia yang berusia lebih dari 50
tahun, CHF merupakan alasan yang paling umum bagi lansia untuk dirawat di
rumah sakit ( usia 65 – 75 tahun mencapai persentase sekitar 75 2 % pasien yang
dirawat dengan CHF ).
Resiko kematian yang diakibatkan oleh CHF adalah sekitar 5-10 % per
tahun pada kasus gagal jantung ringan, dan meningkat menjadi 30-40% pada
gagal jantung berat. Menurut penelitian, sebagian besar lansia yang didiagnosis
menderita CHF tidak dapat hidup lebih dari 5 tahun ( Kowalak, 2011 ).
Berdasarkan data yang diperoleh di bangsal cempaka Rumah Sakit Umum
Daerah Pandan Arang Boyolali tahun 2013 didapatkan penderita yang didiagnosis
terkena CHF dan menjalani rawat inap adalah sebanyak 20 % dari penderita yang
menjalani rawat inap di Rumah Sakit. Pada tahun 2014 dihitung dari bulan Januari
sampai Maret sebanyak 27 orang penderita CHF dari 125 pasien yang menjalani

1
rawat inap di Bangsal Cempaka. Berdasarkan data 27 pasien tersebut 15 pasien
yang masuk ke dalam kategori lansia dan dari 27 pasien tersebut, 10 pasien
mengalami perawatan ulang.
Fibrilasi atrium/atrial fibrillation (AF) merupakan gangguan irama pada
jantung yang paling sering ditemui dan merupakan faktor risiko yang signifikan
bagi penyakit kardiovaskular. AF dialami oleh 1-2% populasi dan diprediksi akan
meningkat dalam 50 tahun ke depan. Di Amerika Serikat diperkirakan 2,3 juta
penduduk menderita AF dengan >10% penderitanya berusia di atas 65 tahun dan
diperkirakan jumlahnya terus bertambah menjadi 4,78 juta pada tahun 2035
(Yansen dan Yuniadi, 2013). Di Indonesia, AF dialami oleh sepertiga pasien
gangguan irama jantung yang dirawat inap. Prevalensi AF juga lebih tinggi
didapatkan pada kelompok usia lanjut, yakni mencapai 15% .

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Congestive Heart Failure (CHF)


2.1.1 Definisi
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai pompa
tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Ciri-
ciri yang penting dari definisi ini adalah pertama, definisi gagal adalah
relatif terhadap kebutuhan metabolik tubuh. Kedua, penekanan arti gagal
ditujukan pada fungsi pompa jantung secara keseluruhan. Istilah gagal
miokardium ditujukan spesifik pada fungsi miokardium; gagal miokardium
umumnya mengakibatkan gagal jantung, tetapi mekanisme kompensatorik
sirkulasi dapat menunda atau bahkan mencegah perkembangan penyakit
menjadi gagal jantung.
Beberapa istilah dalam gagal jantung :
1. Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik :
Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan sulit dibedakan dari
pemeriksaan fisis, foto thoraks, atau EKG dan hanya dapat dibedakan
dengan echocardiography.
Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung
memompa sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan
kelemahan, kemampuan aktivitas fisik menurun dan gejala hipoperfusi
lainnya.
Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan
pengisian ventrikel. Gagal jantung diastolik didefinisikan sebagai gagal
jantung dengan fraksi ejeksi lebih dari 50%. Ada 3 macam gangguan
fungsi diastolik ; Gangguan relaksasi, pseudo-normal, tipe restriktif.
2. Low Output dan High Output Heart Failure
Low output heart failure disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati
dilatasi, kelainan katup dan perikard. High output heart failure
ditemukan pada penurunan resistensi vaskular sistemik seperti

6
hipertiroidisme, anemia, kehamilan, fistula A – V, beri-beri, dan
Penyakit Paget. Secara praktis, kedua kelainan ini tidak dapat dibedakan.
3. Gagal Jantung Kiri dan Kanan
Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan
tekanan vena pulmonalis dan paru menyebabkan pasien sesak napas dan
orthopnea. Gagal jantung kanan terjadi kalau kelainannya melemahkan
ventrikel kanan seperti pada hipertensi pulmonal primer/sekunder,
tromboemboli paru kronik sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang
menyebabkan edema perifer, hepatomegali, dan distensi vena jugularis.
Tetapi karena perubahan biokimia gagal jantung terjadi pada miokard
ke-2 ventrikel, maka retensi cairan pada gagal jantung yang sudah
berlangsung bulanan atau tahun tidak lagi berbeda.
4. Gagal Jantung Akut dan Kronik
Contoh gagal jantung akut adalah robekan daun katup secara tiba-
tiba akibat endokarditis, trauma, atau infark miokard luas. Curah jantung
yang menurun secara tiba-tiba menyebabkan penurunan tekanan darah
tanpa disertai edema perifer.
Contoh gagal jantung kronik adalah kardiomiopati dilatasi atau
kelainan multivalvular yang terjadi secara perlahan-lahan. Kongesti
perifer sangat menyolok, namun tekanan darah masih terpelihara dengan
baik.
Curah jantung yang kurang memadai, juga disebut forward failure,
hampir selalu disertai peningkatan kongesti/ bendungan di sirkulasi vena
(backward failure), karena ventrikel yang lemah tidak mampu
memompa darah dalam jumlah normal, hal ini menyebabkan
peningkatan volume darah di ventrikel pada waktu diastol, peningkatan
tekanan diastolik akhir di dalam jantung dan akhirnya peningkatan
tekanan vena. Gagal jantung kongestif mungkin mengenai sisi kiri dan
kanan jantung atau seluruh rongga jantung.

7
2.2.2 Epidemiologi
Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4% - 2% dan meningkat pada
usia yang lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Prevalensi gagal
jantung di Amerika Serikat mencapai 4,8 juta orang dengan 500 ribu kasus
baru per tahunnya. Di Indonesia belum ada angka pasti tentang prevalensi
penyakit gagal jantung, di RS Jantung Harapan Kita, setiap hari ada sekitar
400-500 pasien berobat jalan dan sekitar 65% adalah pasien gagal jantung.
Meskipun terapi gagal jantung mengalami perkembangan yang pesat, angka
kematian dalam 5-10 tahun tetap tinggi, sekitar 30-40% dari pasien penyakit
gagal jantung lanjut dan 5-10% dari pasien dengan gejala gagal jantung yang
ringan.

2.2.3 Etiologi
Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi : regurgitasi
aorta dan defek septum ventrikel. Dan beban akhir meningkat pada keadaan
dimana terjadi stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas
miokardium dapat menurun pada infark miokardium dan kardiomiopati.
Faktor-faktor yang dapat memicu perkembangan gagal jantung melalui
penekanan sirkulasi yang mendadak dapat berupa : aritmia, infeksi sistemik,
infeksi paru-paru dan emboli paru.
Penyebab tersering gagal jantung kiri adalah hipertensi sistemik, penyakit
katup mitral atau aorta, penyakit jantung iskemik, dan penyakit miokardium
primer. Penyebab tersering gagal jantung kanan adalah gagal ventrikel kiri,
yang menyebabkan kongesti paru dan peningkatan tekanan arteria
pulmonalis. Gagal jantung kanan juga dapat terjadi tanpa disertai gagal
jantung kiri pada pasien dengan penyakit parenkim paru dan atau pembuluh
paru (kor polmunale) dan pada pasien dengan penyakit katup arteri
pulmonalis atau trikuspid.

2.2.4 Klasifikasi
Gagal jantung dapat diklasifikasikan menurut beberapa faktor. The
New York Heart Association (NYHA) membagi gagal jantung menjadi 4

8
kelas, berdasarkan hubungannya dengan gejala dan jumlah atau usaha yang
dibutuhkan untuk menimbulkan gejala, sebagai berikut:
1. Kelas I : Penderita dengan gagal jantung tanpa adanya pembatasan
aktivitas fisik, dimana aktivitas biasa tidak menimbulkan rasa lelah dan
sesak napas.
2. Kelas II: Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya
pembatasan aktivitas fisik yang ringan, merasa lega jika beristirahat.
3. Kelas III: Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya
pembatasan aktivitas fisik yang ringan, kegiatan fisik yang lebih ringan
dari kegiatan biasa sudah memberi gejala lelah, sesak napas.
4. Kelas IV: Penderita dengan gagal jantung yang tidak sanggup melakukan
kegiatan apapun tanpa keluhan, gejala sesak napas tetap ada walaupun saat
beristirahat.
American College of Cardiology/American Heart Association
(ACC/AHA) heart failure guidelines melengkapi klasifikasi NYHA untuk
menggambarkan perkembangan penyakit dan dibagi menjadi 4 stage, yaitu:
1. Stage A pasien beresiko tinggi untuk gagal jantung tetapi tidak memiliki
penyakit jantung struktural atau gejala-gejala dari gagal jantung
2. Stage B pasien memiliki penyakit jantung struktural tetapi tidak memiliki
gejala-gejala dari gagal jantung
3. Stage C pasien memiliki penyakit jantung struktural dan memiliki gejala-
gejala dari gagal jantung
4. Stage D pasien memiliki gagal jantung berat yang menuntut intervensi
khusus.

2.2.5 Patofisiologi
Gagal jantung merupakan kelainan multisistem dimana terjadi gangguan
pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis
serta perubahan neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi
gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan
cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi
neurohormonal, sistem Renin–Angiotensin–Aldosteron (sistem RAA) serta

9
kadar vasopresin dan natriuretik peptide yang bertujuan untuk memperbaiki
lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga (Sylvia & Price,
2006).
Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga
cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan
kontraktilitas serta vasokonstriksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila
hal ini timbul berkelanjutan dapat menyebabkan gangguan pada fungsi
jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya
apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal (Kumar, 2007).
Stimulasi sistem RAA menyebabkan peningkatan konsentrasi renin,
angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan
vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang
merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat
tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan
menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium.
Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi
endotel pada gagal jantung (Kumar, 2007).
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama
yeng memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat.
Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap
peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada manusia Brain
Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada
ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriureticpeptide terbatas pada
endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan
vasodilatasi minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide meningkat sebagai
respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan bekerja antagonis
terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi ladosteron dan reabsorbsi
natrium di tubulus renal. Karena peningkatan natriuretic peptide pada gagal
jantung, maka banyak penelitian yang menunjukkan perannya sebagai marker
diagnostik dan prognosis, bahkan telah digunakan sebagai terapi pada
penderita gagal jantung (Greenberg, 2007).

10
Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya
pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didpatkan pada
pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia. Endotelin
disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide
vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh
darah ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi
endotelin-1 plasma akan semakin meningkat sesuai dengan derajat gagal
jantung. Selain itu juga berhubungan dengan tekanan pulmonary
arterycapillary wedge pressure, perlu perawatan dan kematian. Telah
dikembangkan endotelin-1 antagonis sebagai obat kardioprotektor yang
bekerja menghambat terjadinya remodelling vaskular dan miokardial akibat
endotelin (Greenberg, 2007).
Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan
kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri
menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab
tersering adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi
ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain seperti
infiltrasi pada penyakit jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial,
dikatakan 30 – 40 % penderita gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel
yang masih normal. Pada penderita gagal jantung sering ditemukan disfungsi
sistolik dan diastolik yang timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri
(Greenberg, 2007).

11
Gambar 3. Patofisiologi dan Simptomatologi CHF

2.2.6 Penegakan Diagnosis


Diagnosis gagal jantung kongestif didasarkan pada gejala-gejala yang ada
dan penemuan klinis disertai dengan pemeriksaan penunjang antara lain foto
thorax, EKG, ekokardiografi, pemeriksaan laboratorium rutin, dan
pemeriksaan biomarker.
Kriteria Diagnosis yang dipakai adalah Kriteria Framingham untuk diagnosis
gagal jantung kongestif
a. Kriteria mayor :
1) Paroksismal nokturnal dispneu
2) Ronki paru

12
3) Edema akut paru
4) Kardiomegali
5) Gallop S3
6) Distensi vena leher
7) Refluks hepatojugular
8) Peningkatan tekanan vena jugularis
b. Kriteria minor :
1) Edema ekstremitas
2) Batuk malam hari
3) Hepatomegali
4) Dispnea d’effort
5) Efusi pleura
6) Takikardi (120x/menit)
7) Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal
Diagnosis gagal jantung ditegakkan dengan dua kriteria mayor atau satu
kriteria mayor dan 2 kriteria minor.

2.2.7 Pemeriksaan Penunjang


Ketika pasien datang dengan gejala dan tanda gagal jantung, pemeriksaan
penunjang sebaiknya dilakukan.
1. Pemeriksaan Laboratorium Rutin :
Pemeriksaan darah rutin lengkap, elektrolit, blood urea nitrogen
(BUN), kreatinin serum, enzim hepatik, dan urinalisis. Juga dilakukan
pemeriksaan gula darah, profil lipid.
2. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari
EKG adalah untuk menilai ritme, menentukan adanya left ventrikel
hypertrophy (LVH) atau riwayat MI (ada atau tidak adanya Q wave).
EKG Normal biasanya menyingkirkan kemungkinan adanya disfungsi
diastolik pada LV.

13
3. Radiologi
Pemeriksaan ini memberikan informasi berguna mengenai ukuran
jantung dan bentuknya, distensi vena pulmonalis, dilatasi aorta, dan
kadang-kadang efusi pleura. begitu pula keadaan vaskuler pulmoner
dan dapat mengidentifikasi penyebab nonkardiak pada gejala pasien.
4. Penilaian fungsi LV
Pencitraan kardiak noninvasive penting untuk mendiagnosis,
mengevaluasi, dan menangani gagal jantung. Pemeriksaan paling
berguna adalah echocardiogram 2D/ Doppler, dimana dapat
memberikan penilaian semikuantitatif terhadap ukuran dan fungsi LV
begitu pula dengan menentukan keberadaan abnormalitas pada katup
dan/atau pergerakan dinding regional (indikasi adanya MI sebelumnya).
Keberadaan dilatasi atrial kiri dan hypertrophy LV, disertai dengan
adanya abnormalitas pada pengisian diastolic pada LV yang
ditunjukkan oleh pencitraan, berguna untuk menilai gagal jantung
dengan EF yang normal. Echocardiogram 2-D/Doppler juga bernilai
untuk menilai ukuran ventrikel kanan dan tekanan pulmoner, dimana
sangat penting dalam evaluasi dan penatalaksanaan cor pulmonale. MRI
juga memberikan analisis komprehensif terhadap anatomi jantung dan
sekarang menjadi gold standard dalam penilaian massa dan volume LV.
Petunjuk paling berguna untuk menilai fungsi LV adalah EF (stroke
volume dibagi dengan end-diastolic volume). Karena EF mudah diukur
dengan pemeriksaan noninvasive dan mudah dikonsepkan. Pemeriksaan
ini diterima secara luas oleh para ahli. Sayangnya, EF memiliki
beberapa keterbatasan sebagai tolak ukur kontraktilitas, karena EF
dipengaruhi oleh perubahan pada afterload dan/atau preload. Sebagai
contoh, LV EF meningkat pada regurgitasi mitral sebagai akibat ejeksi
darah ke dalam atrium kiri yang bertekanan rendah. Walaupun
demikan, dengan pengecualian jika EF normal (> 50%), fungsi sistolik
biasanya adekuat, dan jika EF berkurang secara bermakna (<30-40%).

14
2.2.9 Penatalaksanaan
Berdasarkan guideline ACC/AHA 2005 yang direvisi tahun 2009
memberikan rekomendasi penatalaksanaan yang berbeda pada setiap stadium
dari gagal jantung yaitu:
Stage A
Tujuan utama penatalaksanaan pada stadium ini adalah untuk
mencegah kelainan struktural dari jantung. Hal ini dapat dilakukan dengan
mengontrol faktor resiko seperti hipertensi, penyakit jantung koroner,
diabetes mellitus, hiperlipidemia,merokok, konsumsi alkohol, dan
penggunaan obat-obatan kardiotoksik, yang akan menurunkan insidensi
kejadian kardiovaskular. Evaluasi periodik terhadap gejala dan tanda dari
gagal jantung dapat dilakukan pada pasien ini. Ventricular rate hausfi kontrol
atau restorasi ke irama sinus pada pasien dengan takiaritmia supraventrikular
yang mempunyai resiko untuk menjadi gagal jantung. Kelainan tiroid juga
harus diatasi sesuai guideline yang berlaku pada psien resiko tinggi. Penyedia
kesehatan harus melakukan evaluasi nonivasif terhadap fungsi ventrikel kiri
(mis, LVEF) pada pasien dengan riwayat keluarga dengan kardiomiopati
ataupun pasien yang menerima intervensi kardiotoksik (Rekomendasi kelas
I).
ACE inhibitor dapat digunakan untuk mencegah gagal jantung pada
pasien dengan resiko tinggi menjadi gagal jantung yaitu pasien dengan
riwayat penyakit aterosklerosis, DM, dan hipertensi. Angiotensin receptor II
juga dapat digunakan sebagai pengganti ACE inhibitor (Rekomendasi Kelas
II).
Penggunaan suplemen nutrisi rutin terhadap pencegahan kerusakan
struktural jantung tidak direkomendasikan (Rekomendasi Kelas III)
Stage B
Pada pasien stadium ini insidensi dari gagal jantung dapat diturunkan
dengan mengurangi resiko terjadinya cedera tambahan serta menghambat
evolusi dan progresi dari remodeling ventrikel kiri. Semua rekomendasi kelas
I pada stadium A harus diaplikasikan pada semua pasien dengan stadium B.
Penyekat reseptor beta dan ACE inhibitor harus digunakan pada semua pasien

15
dengan riwayat penyakit sekarang atau terdahulu dari infark miokard. Beta
blocker juga diindikasikan pada pasien tanpa riwayat infark miokard. ACE
inhibitor harus digunakan pada pasien dengan penurunan fraksi ejeksi dan
tidak ada gejala gagal jantng, meskipun telah mengalami infark miokardium.
Angiotensin II receptor blocker juga harus diberikan pada pasien post-MI
tanpa gagal jantung yang tidak toleransi terhadap ACE inhibitor.
Revaskularisasi koroner harus direkomendasikan pada pasien yang tepat yang
belum mengalami gejala gagal jantung. Terapi pengganti atau perbaikan
katup jantung harus direkomendasikan pada pasien stenosis dan regurgitasi
katup tanpa gejala gagal jantung (Rekomendasi Kelas I).
ACE inhibitor ataupun ARB dapat diberikan pada pasien hipertensi
dan hipertorfi ventrikel kiri. ARB dapt diberikan pada pasien dengan fraksi
ejeksi yang rendah dan tanpa gejala dari gagal jantung yang tidak toleransi
terhadap ACE inhibitor. Penempatan ICD dapat dilakukan pada pasien
dengan kardiomiopati iskemik yang minimal lewat 40 hari post-MI,
mempunyai fraksi ejeksi ventrikel kiri< 30%, NYHA fungsional kelas I yang
telah mendapat terapi medis kronis (Rekomendasi Kelas II).
Digoksin tidak boleh digunakan pada pasien dengan EF (ejection
fraction) rendah, irama sinus, dan riwayat gejala gagal jantung. Pemakaian
suplemen nutrisi tidak direkomendasikan. Ca channel blocker dengan efek
inotrofik negatif dapat berbahaya pada pasien asimptomatik dengan LVEF
rendah dan tidak ada gejala dari gagal jantung (Rekomendasi Kelas III).
Stage C
Semua rekomendasi kelas I pada pasien stage A dan B dapat
dilakukan pada pasien stage ZC. Pemberian diuretik dan restriksi garam
diindikasikan pada pasien dengan gejala sekarang atau terdahulu dari gagal
jantung dan penurunan LVEF yang mengalami retensi cairan. ACE inhibitor
direkomendasikan pada semua pasien dengan gejala gagal jantung dan
penurunan EF, kecuali ada kontraindikasi. Penggunaan 1 dari 3 beta blocker
yaitu bisoprolol, carvediol, dan metoprolol terbukti mengurangi mortalitas
dan direkomendasikan pada pasien ini kecuali kontraindikasi. ARB dapat
digunakan pada pasien yang tidak toleransi terhadap ACE inhibitor. Obat-

16
obatan yang dapat memperburuk gagal jantung harus dihentikan dan
dicegah penggunaannya jika mungkin sperti NSAID, obat antiaritmia, dan Ca
Channel blocker. Pemasangan implantable cardioverter-defibrillator
direkomendasikan sebagai pencegahan sekunder untuk memperpanjang
survival pada pasien dengan riwayat henti jantung, fibrilasi ventrikular, atau
takikardia ventrikular yang tidak stabil hemodinamiknya. Alat ini juga
sebagai pencegahan primer terhadap sudden cardiac death pada pasien
kardiomiopati dilatasi iskemik atau penyakit jantung iskemik dengan masa
post-MI lebih dari 40 hari, dan LVEF ≤ 35% dengan NYHA fungsional kelas
II atau III. Pasien dengan LVEF ≤35%, irama sinus, dan NYHA fungsional
kelas III dan IV dengan durasi QRS ≥0,12 detik, harus dilakukan terapi
resinkronisasi jantung, dengan atau tanpa ICD. Pemberian antagonis
aldosterone direkomendasikan pada pasien dengan gejala sedang sampai berat
dan penurunan LVEF dimana kadar kreatinin harus ≤2,5 mg/dL pada pria
atau ≤2,0 mg/dL pada wanita dan kadar kalium harus ≤5,0 mEq/L .
Kombinasi hidralazine dan nitrat direkomendasikan pada pasien afro-amerika
dengan gejala sedang dan berat meskipun terapi yang optimal. Pada pasien
gagal jantung dengan hipertensi sistolik dan diastolik dengan LVEF yang
normal, tekanan darah harus dikontrol sesuai dengan guideline yang berlaku.
Kontrol rate ventrikular juga dilakukan pada pasien dengan LVEF normal dan
fibrilasi atrium. Edema pulmonal dan juga perifer juga harus dikontrol dengan
penggunaan diuretik pada pasien dengan LVEF normal.(Rekomendasi Kelas
I).
Pada pasien dengan fibrilasi atrium dan gagal jantung dapat diatasi
dengan kontrol rate ventrikular. ARB dapat digunakan sebagai lini pertama
terutama pada pasien dengan indikasi lain penggunaan ARB. Digitalis dapat
diberikan pada pasien dengan penurunan LVEF untuk mengurangi masa
rawatan. Penambahan kombinasi hidralazin dan nitrat pada pasien dengan
penurunan LVEF pada pasien dengan gejala yang persisten dapat dilakukan.
Penggunaan terapi resinkronisasi jantung dapat digunakan pada pasien
dengan indikasi yang tepat. Kombinasi hidralazin dan nitrat dapat diberikan
pada pasien dengan intoleransi terhadap ACE inhibitor dan ARB, hipotensi

17
ataupun insufisiensi ginjal. Revaskularisasi koroner dapat dilakukan
pada pasien tertentu yaitu pasien CAD yang simptomatik atau iskemik
miokardium. Restorasi dan maintenance terhadap irama sinus pada pasien
dengan fibrilasi atrial berguna untuk memperbaiki gejala pada gagal jantung
dan LVEF normal. Penggunaan beta blocker, ACE inhibitor, atau Ca
antagonis efektif pada pasein gagal jantung dengan LVEF normal.
Penggunaan digitalis untuk meminimalisir gejala pada pasien gagal jantung
dengan LVEF normal belum diketahui manfaatnya.(Rekomendasi Kelas II).
Penggunaan kombinasi rutin ACE inhibitor, ARB, dan aldosterone
antagonist tidak direkomendasikan. Pemberian Ca chanel blocker tidak
diindikasikan secara rutin pada pasien stadium C. Infus jangka panjang dari
obat inotropik positif dapat berbahaya dan tidak direkomendasikan.
Penggunaan suplemen nutrisi dan terapi hormon tidak direkomendasikan
(Rekomendasi Kelas III).
Stage D
Pada pasien dengan stadium ini identifikasi dan kontrol yang cermat
terhadap retensi cairan direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung
refraktoris tahap akhir. Transplantasi jantung terhadap pasien yang sesuai
dapat direkomendasikan pada pasien ini, selain itu penanganan khusus juga
dilakukan pada pasien ini oleh ahli-ahli yang khusus. Diskusi perawatan end-
of-life harus dilakukan bersama dengan pasien dan keluarga. Pasien dengan
implantable defibrillators harus diinformasikan untuk pilihan menginaktivasi
alat tersebut (Rekomendasi Kelas I).
Pilihan untuk menggunakan LV assist device sebagai terapi akhir pada
pasien dengan gagal jantung tahap akhir refraktoris dan mortalitas 1-tahun
>50% dengan terapi medis. Pemasangan kateter arteri pulmonal dapat juga
dilakukan pada gejala yang sangat berat. Penggantian katup mitral belum
terbukti pada pasien gagal jantung refraktoris dengan regurgitasi mitral berat
sekunder. Infus intravena berkesinambungan dari agen inotropik untuk
mengatasi gejala dapat dilakukan (Rekomendasi Kelas II).
Ventrikulektomi kiri parsial tidak direkomendasi pada pasien dengan
kardiomiopati non-iskemik dan gagal jantung tahap akhir. Infus intermiten

18
dari agen vassoaktif dan inotropik positif tidak direkomendasikan pada pasien
dengan gagal jantung tahap akhir refraktoris (Rekomendasi Kelas III).
Rekomendasi ini dapat diringkas seperti pada gambar dibawah ini:

Gambar 4. Alur Guideline ACC/AHA Tahun 2009


Adapun penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien dengan gagal jantung
meliputi:
1. Non farmakologi
Penyuluhan umuma.
a. Penyuluhan tentang gagal jantung kepada pasien dan keluarganya.
b. Mengontrol berat badan
c. Pengaturan diet dan kebiasaan sehari-hari
i. Diet rendah garam (<2 gr/hari)
ii. Pembatasan intake cairan (1,5-2L/hr)
iii. Hindari konsumsi alcohol
iv. Berhenti merokok
d. Pembatasan dan penyesuaian aktivitas fisik
e. Obat-obatan yang perlu mendapat perhatian khusus

19
2. Farmakologi
a. Diuretik
Kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan paling
sedikit diuretik regular dosis rendah tujuan untuk mencapai tekanan vena
jugularis normal dan menghilangkan edema. Permulaan dapat digunakan
loop diuretik atau tiazid. Bila respons tidak cukup baik dosis diuretik dapat
dinaikkan, berikan diuretik intravena atau kombinasi loop diuretik
dantiazid. Diuretik hemat kalium, spironolakton, dengan dosis 25-50
mg/hari dapat mengurangi mortalitas pada pasien dengan gagal jantung
sedang sampai berat (kelas fungsional IV) yang disebabkan gagal jantung
sistolik.
b. ACE Inhibitor
ACE inhibitor bermanfaat untuk menekan aktivasi
neurohormonaldan pada gagal jantung yang disebabkan disfungsi sistolik
ventrikel kiri.
c. Beta Blocker
Beta Blocker bermanfaat sama seperti ACE inhibitor. Pemberian
mulai dosis kecil, kemudian dititrasi selama beberapa minggu dengan
kontrol ketat sindrom gagal jantung. Biasanya diberikan bila keadaan
sudah stabil. Pada gagal jantung kelas fungsional II danIII.
d. Angiotensin II antagonis reseptor
Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada
kontraindikasi penggunaan ACE inhibitor dan diuretik.
e. Kombinasi hidralazin dengan isosorbide dinitrat
Memberi hasil yang baik pada pasien yang intoleran dengan
penghambat ACE dapat dipertimbangkan.
f. Digoksin
Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal
jantung disfungsi sistolik ventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi
atrial, digunakan bersama-sama diuretik, ACE inhibitor, beta blocker.
g. Antikoagulan dan antiplatelet.

20
Aspirin diindikasikan untuk pencegahan emboli serebral
pada penderita dengan fibrilasi atrial dengan fungsi ventrikel yang buruk.
h. Antiaritmia
Aritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang asimptomatik
atauaritmia ventrikel yang tidak menetap.
i. Antagonis kalsium dihindari.

2.2.10 Prognosis
Prognosis gagal jantung yang tidak mendapat terapi tidak diketahui.
Sedangkan prognosis pada penderita gagal jantung yang mendapat terapi
yaitu:
1. Kelas NYHA I : mortalitas 5 tahun 10-20%
2. Kelas NYHA II : mortalitas 5 tahun 10-20%
3. Kelas NYHA III : mortalitas 5 tahun 50-70%
4. Kelas NYHA IV : mortalitas 5 tahun 70-90%

2.2 Fibrilasi Atrium


2.2.1 Definisi FA
Fibrilasi atrium atau atrial fibrilasi (AF) adalah gangguan irama jantung yang
ditandai dengan denyut jantung tidak beraturan dan cepat. Penderita atrial fibrilasi
dapat merasakan gejala lemas, jantung berdebar, dan sesak napas.
Denyut jantung yang normal berkisar antara 60-100 kali per menit dengan
irama yang teratur. Pada penderita atrial fibrillation (atrial fibrilasi), irama
jantung menjadi tidak teratur dan bisa lebih dari 100 kali per menit.
Atrial fibrilasi adalah salah satu jenis aritmia atau gangguan irama jantung.
Gejalanya bisa hilang timbul, berlangsung lama, atau bahkan permanen. Apabila
dibiarkan, atrial fibrilasi bisa mengakibatkan gagal jantung dan stroke.

21
2.2.2 Gejala Atrial Fibrilasi (AF)
Atrial fibrilasi (AF) dapat menimbulkan gejala merasa cepat lelah atau bahkan
tidak menimbulkan gejala apapun, sehingga tidak disadari oleh penderitanya.
Tetapi bila denyut jantung terlalu cepat, penderita atrial fibrilasi dapat mengalami
gejala berikut ini:
 Lemas
 Pusing.
 Jantung berdebar
 Nyeri dada
 Sesak napas

AF dapat berlangsung sesekali dalam hitungan menit sampai jam, atau terjadi
berulang-ulang selama seminggu. Gejala AF yang seperti ini masih bisa hilang,
baik menghilang dengan sendirinya atau dengan obat-obatan.
Akan tetapi, atrial fibrilasi juga bisa terjadi terus-menerus sampai lebih dari
setahun atau bahkan permanen. Kondisi ini memerlukan pengobatan jangka
panjang untuk mencegah stroke dan gagal jantung.

2.2.3 Penyebab Atrial Fibrilasi (AF)


Fibrilasi atrium (AF) terjadi akibat adanya gangguan hantaran sinyal listrik
di otot jantung. Akibatnya, denyut jantung menjadi tidak normal hingga tidak
optimal memompa darah ke seluruh tubuh.
Gangguan hantaran listrik ini diduga disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
 Konsumsi kafein atau alkohol
 Konsumsi obat-obatan batuk pilek
 Merokok
 Tekanan darah tinggi
 Penyakit jantung koroner
 Penyakit jantung bawaan
 Kelainan katup jantung
 Serangan jantung
 Hipertiroidisme
 Infeksi virus

22
 Sleep apnea
 Gangguan metabolik
 Penyakit paru-paru
Selain beberapa faktor yang dapat menyebabkan atrial fibrilasi (AF), terdapat
kondisi yang dapat meningkatkan risiko seseorang terserang AF, antara lain:
 Berusia lanjut.
 Menderita obesitas atau berat badan berlebih.
 Memiliki keluarga yang juga mengalami atrial fibrilasi.

2.2.4 Diagnosis Atrial Fibrilasi (AF)

 Elektrokardiogram (EKG), untuk melihat aktivitas listrik jantung yang


menjadi tidak teratur pada penderita atrial fibrilasi (AF).
 Holter monitor, yaitu EKG portabel yang dapat merekam aktivitas listrik
jantung selama 24 jam atau lebih.
 EKG treadmill, yaitu tes EKG yang dilakukan saat pasien berjalan atau
berlari di atas mesin treadmill.
 Foto Rontgen dada, untuk melihat kondisi jantung dan paru-paru secara
visual.
 Echo jantung, untuk memeriksa bentuk dan fungsi jantung secara lebih
detail.
 Tes darah, dilakukan guna memeriksa kadar kolesterol pasien yang sering
kali meningkat pada seseorang yang menderita penyakit jantung.

2.2. 5 Tatalaksana Atrial Fibrilasi (AF)


 Obat-obatan antiaritmia, seperti obat penghambat beta, digoxin,
amiodarone, atau antagonis kalsium.
 Kardioversi atau kejut listrik jantung.
 Ablasi jantung dengan menghancurkan bagian jantung yang mengalami
kerusakan dan mengacaukan aliran listrik jantung.
 Mencegah penggumpalan darah

23
2.2.6 Komplikasi Atrial Fibrilasi (AF)
FA dapat memicu terjadinya gagal jantung atau stroke.

2.2.7 Pencegahan Atrial Fibrilasi (AF)


Fibtrilasi atrium (AF) disebabkan oleh banyak faktor, sehingga sulit untuk
mencegahnya. Namun secara umum untuk mencegah AF dapat dilakukan
dengan memelihara kesehatan organ jantung. Beberapa gaya hidup sehat yang
dapat dialkukan untuk menjaga kesehatan jantung adalah:
 Rutin berolahraga.
 Mempertahankan berat badan ideal.
 Mengonsumsi makanan tinggi serat, misalnya buah dan sayur.
 Berhenti merokok.
 Mengelola stres dengan baik.
Atrial fibrilasi juga dapat dicegah dengan membatasi minuman beralkohol dan
berkafein, serta berhati-hati dalam mengonsumsi obat batuk pilek yang dijual
bebas. Ikuti dosis dan aturan pakai yang tertera di kemasan obat.

24
BAB III
STATUS PASIEN

Nomor RM : 017111
Tanggal Masuk : 01-11-2019

ANAMNESIS PRIBADI
Nama : Asni Br. Damanik
Umur : 67 tahun
Jenis Kelamin : perempuan
Status Perkawinan : Menikah
Pekerjaan :-
Agama : Islam
Suku : Batak
Alamat : Jalan krakatau No. 30

ANAMNESIS PENYAKIT
Keluhan Utama : Sesak Nafas
Telaah : Os datang dengan keluhan sesak nafas yang sudah dialami ± 2
minggu ini. Sesak bersifat hilang timbul dan sesak juga dipicu oleh aktivitas. Os
jga mengeluhkan nyeri dada pada malam hari, nyeri menjalar hingga ke punggung
belakang, os mengaku tidur menggunakan 2 bantal untuk sandaran dan os juga
mengaku berjalan 100 meter sudah lelah. Os juga mengeluhkan jantungnya
seringe berdebar-debar.
Mual dan muntah disangkal. Os memiliki riwayat sakit jantung sudah 2 tahun dan
minum obat jantung tidak terkontrol 6 bulan terakhir. Riwayat hipertensi (+).
RPT : CHF
Hipertensi
RPK : Tidak dijumpai penyakit serupa pada keluarga
RPO : Penggunaan obat jantung dan hipertensi tidak terkontrol.

25
Jantung Sesak Napas : (+) Edema
: (+)
Angina Pektoris : (-) Palpitasi
: (-)
Saluran Batuk-batuk : (-) Asma,
Bronkitis : (-)
Pernapasan Dahak : (-) Lain-lain
: (-)

Saluran Nafsu Makan : menurun Penurunan BB


: (-)
Pencernaan Keluhan Menelan : (-) Keluhan Defekasi :BAB
berdarah (+)
Keluhan Perut : (+) mual, nyeri perut Lain-lain
: (-)

Saluran Sakit BAK : (-) BAK


Tersendat :(-)
Urogenital Mengandung batu : (-) Keadaan Urin
:N
Lain-lain
: (-)

Sendi dan Sakit Pinggang : (-) Keterbatasan


Gerak :(+)
Tulang Keluhan persendian : (-) Lain-lain
: (-)

Endokrin Haus/Polidipsi : (+) Gugup


: (-)
Poliuri : (-) Perubahan
Suara : (-)

26
Polifagi : (-) Lain-lain
: (-)

Saraf Pusat Sakit Kepala : (-) Oyong


: (-)
Lain-lain
: (-)

Darah dan Pucat : (+) Perdarahan


: (-)
Pembuluh Petechiae : (-) Purpura
: (-)
Darah Lain-lain
: (-)

Sirkulasi Claudicatio : (-) Lain-lain


: (-)

PEMERIKSAAN FISIK DIAGNOSTIK


Kesadaran Umum Keadaan Penyakit
Sensorium : Compos Mentis Pancaran Wajah : lemah
Tekanan Darah : 130/80 mmHg Sikap Paksa : (+)
Nadi : 135 x/menit Refleks Fisiologis : TDP
Pernapasan : 24 x/menit Refleks Patologis : TDP
Temperatur : 36oC
Anemia (+/+), Ikterus (-/-), Dispnoe (-), Sianosis (-), Edema (+/+), Purpura (-),
Turgor Kulit : baik
KEPALA
Mata : dalam batas normal
Telinga : dalam batas normal
Hidung : dalam batas normal
Mulut : Lidah : DBN

27
Gigi Geligi : DBN
Tonsil/Faring : DBN
LEHER
Pembesaran kelenjar limfa (-)
Kaku kuduk (-), lain-lain (-)

THORAX DEPAN
Inspeksi
Bentuk : Fusiformis
Pergerakan : Simetris, tidak ada ketinggalan bernafas
Palpasi : stem fremitus kanan=kiri
Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru
Paru
Batas Paru-Hati R/A : TDP
Peranjakan : TDP

JANTUNG
Inspeksi : Ictus cordis terilhat ICS VI linea axillaris anterior sinistra

Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS VI linea axillaris anterior


sinistra

Perkusi : Batas jantung atas : ICS II line parasternalis sinistra

Batas jantung kanan : ICS IV linea parasternalis sinistra

Batas jantung kiRI : ICS VI linea axillaris anterior


sinistra

Auskultasi : Heart rate : 86x/i, Suara tambahan (-)

ABDOMEN
Inspeksi
Bentuk : simetris

28
Palpasi
Dinding Abdomen : nyeri tekan epigatrium (+)
Perkusi
Pekak Beralih : TDP
Auskultasi
Peristaltik usus : (+) ↑↑
Lain-lain : (-)
Pinggang
Nyeri ketuk sudut kostovertebra (-)
ANGGOTA GERAK ATAS
Deformitas sendi : DBN
Lokasi : DBN
Jari tabuh : DBN
Tremor ujung jari : DBN
Telapak tangan sembab : DBN
Sianosis : DBN
Eritema palmaris : DBN
ANGGOTA GERAK BAWAH Kiri Kanan
Edema : (+) (+)
Arteri femoralis : TDP TDP
Arteri tibialis posterior : TDP TDP
Arteri dorsalis pedis : TDP TDP
Refleks KPR : TDP TDP
Refleks APR : TDP TDP
Refleks Fisiologis : TDP TDP
Refleks Patologis : TDP TDP

29
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
PEMERIKSAAN Hasil NilaiRujukan
Hemoglobin 10,65 L: 13-16 g/dl
P: 12-14 g/dl
Eritrosit (RBC) 3,20 4,50-6,60 .106/µL
Leukosit (WBC) 17.600 5-10 .10/µ
Hematokrit 29,9 L: 40-48%
P: 37-43%

Trombosit (PLT) 196.100 150-450 .103/µL


MCV 93,3 81-99 fL
MCH 33,3 27,0-31,0 pg
MCHC 35,6 31,0-37,0 g/dL
RDW 17,1 11,5-14,5 %
 Limfosit 9,88 15,20-43,30 %
 Monosit 5,44 5,50-13,70 %
 Neutrofil 83,56 43,50-73,50 %
 Eosinofil 0,25 0,80-8,10 %
 Basofil 0,87 0,20-1,50 %

PEMERIKSAAN Hasil NilaiRujukan


Kimia Klinik
 SGOT 27 L: < 35 U/L
P: < 31 U/L
 SGPT 17 L: < 45 U/L
P: < 34 U/L
 Ureum 72 < 50 mg/dL
 Kreatinin 0,9 L: 0,8-1,3 mg/dL
P: 0,6-1,2 mg/dL
 Asam Urat 6,4 L: < 7 mg/dL
P: 5,7 mg/dL

30
 Glukosa 132 < 200 mg/dL
Sewaktu
Elektrolit
 Natrium 124 135-145 mmol/L
 Kalium 3,8 3,5-5,5 mmol/L
 Klorida 81 96-106 mmol/L

PEMERIKSAAN FOTO THORAX


Concl :
Kardiomegali.
PEMERIKSAAN EKG

Diagnosis
- Atrium Fibrilasi Paroksismal
- CHF e CAD

Penatalaksanaan
Tirah Baring
O2 2-4 l/i NC
IVFD ringer lactat 20 gtt/i
Inj. Furosemide 1 amp
Candesartan 1x 10 mg
Cordaron 2x200mg
Allopurinol 1x100mg
Rencana Penjajakan Diagnostik : Darah lengkap dan elektrolit, RFT, LFG,
KGD

31
BAB IV
HASIL FOLLOW-UP

Tanggal S O A P
02-11-2019 Sesak nafas TD:120/80 -AF Tirah Baring
Jantung mmHg Paroksismal O2 2-4 l/i NC
berdebar--debar HR: 132 x/menit -CHF ec CAD IVFD ringer lactat
RR: 24 x/menit 20 gtt/i
T : 36oC Inj. Furosemide 1
amp
Candesartan 1x 10
mg
Cordaron 2x200mg
Allopurinol
1x100mg

03-11-2019 Sesak nafas TD: 130/80 -AF Tirah Baring


Jantung mmHg Paroksismal O2 2-4 l/i NC
berdebar-debar HR: 102 x/menit -CHF ec CAD IVFD ringer lactat
RR: 22 x/menit 20 gtt/i
T : 36,3oC Inj. Furosemide 1
amp
Candesartan 1x 10
mg
Cordaron 2x200mg
Allopurinol
1x100mg
500mg/8 jam
04-11-2019 Sesak nafas TD: 130/80 -CHF ec CAD Tirah Baring
berkurang mmHg -Post AF O2 2-4 l/i NC
Jantung berdebar HR: 102 x/menit Paroksismal IVFD ringer lactat
debar (-) RR: 22 x/menit 20 gtt/i

32
T : 36,3oC Inj. Furosemide 1
amp
Candesartan 1x 10
mg
Cordaron 2x200mg
Allopurinol
1x100mg
500mg/8 jam
05-11-2019 Sesak nafas (-) TD: 120/80 -CHF ec CAD Tirah Baring
Jantung berdebar mmHg O2 2-4 l/i NC
debar (-) HR: 80 x/menit -Post AF IVFD ringer lactat
RR: 22 x/menit Paroksismal 20 gtt/i
T : 36,5oC Inj. Furosemide 1
amp
Candesartan 1x 10
mg
Cordaron 2x200mg
Allopurinol
1x100mg
500mg/8 jam

Rencana PBJ

33
BAB V
KESIMPULAN

1. Diagnosis pada pasien ini adalah Atrium fibrilasi paroksismal + CHF ec


CAD
2. Berdasarkan anamnesa pasien mengeluhkan sesak nafas yang dipicu oleh
aktivitas, nyeri dada menjalar hingga ke punggung, tidur mengggunakan 2
bantal untuk mengurangi sesak, berjalan 100meter sudah lelah serta
jantung berdebar-debar.
3. Pemeriksaan penunjang pada kasus ini adalah EKG, Monitor holter,
ekokardiogram, dan foto thorax.
4. Penanganan pada kasus ini dapat diberikan obat antiaritmia amiodarone
(cordanrone) atau propafenone (rythmol) dan dapat diberikan beta blocker
untuk mengontrol tekanan darah

34
DAFTAR PUSTAKA

Braunwald, E., 2008. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Kasper, D.L. et all,
ed.17th Edition Harrison’s Principles of Internal Medicine. New York:
McGraw-Hill, 2152-2180.
Divisi “Critical Cardiology” dan Kardiologi Klinik Departemen
Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2008. Jakarta.
Dumitru, I., Baker, M., 2010. Heart Failure. Ohama: Departement of Internal
Medicine, Section of Cardiology, University of Nebraska Medical Center.
Available from:
D u m i t r u , I . , B a k e r , M . , 2 0 1 0 . Heart Failure. Ohama: Departement of
Internal Medicine, Section of Cardiology, University of NebraskaMedical
Center. Available from:http://emedicine.medscape.com/article/163062-
overview[accessed 14 Juni 2010].
Edwards, MM. O’Gara, PT. Lilly LS. Valvular Heart Disease. In: Lilly
LS, Ed.Pathophysiology of Heart Disease. 4th ed. Philadelphia, Lippincott
Williams & Wilkins; 2007.
Greenberg, Barry H. Congestuve Heart Failure, Philadephia, USA: Lipincott
Williams & Wilkins 2007.
Hauser K, Longo B, Jameson F. Harrison’s principle of internal medicine.2005;
ed XVI http://emedicine.medscape.com/article/163062-overview [accessed
20 Februari 2014].

Hunt, S.A., Abraham, W.T., Chin, M.H., et al 2009 Focused Update


Incorporated Into the ACC/AHA Guidelines for the Diagnosis
andManagement of Heart Failure in the Adult: A Report of the American
College of Cardiology/American Heart Association Task Force onPractice
Guidelines (Committee to revise the 1995 Guidelines for the
Evaluation and Management of Heart Failure). Circulation
119;e391-e479.

Jessup, M., Brozena S., 2003. Heart Failure. N Engl J Med ; 2007-2018
Kumar, Cotran, Robbins.Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta : EGC, 2007.
Volume 2.
Manurung, D. 2009. Regurgitasi Mitral. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V.
Jakarta : PAPDI, 1679-1679.
Sugeng, Barita Sitompul dan J. Irawan. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004.
.

35
36

Anda mungkin juga menyukai