Anda di halaman 1dari 12

KEDUDUKAN HARTA DALAM PERKAWINAN

Anisa Anindia (1802092004)


Jurusan Hukum Ekonomi Syariah
Fakultas Syariah
Institut Agama Islam Negeri Metro

ABSTRAK

Perjanjian kawin bagi masyarakat Indonesia merupakan hal yang tidak lazim meskipun
telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. Hal ini dikarenakan, perihal tentang
perkawinan tidak terlepas dari adat istiadat keluarga setempat. Pemahaman
berdasarkan pemikiran adat bahwa perkawinan merupakan ikatan yang sifatnya tidak
dapat terpisahkan/putus kecuali maut atas kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga
harta yang dimiliki dalam suatu perkawinan tidak terlepas dari ketentuan adat mereka.
Karena adanya perkembangan dalam ilmu pengetahuan serta permasalahan yang
timbul dalam perkawinan maka diperlukan adanya perjanjian kawin guna memberikan
perlindungan terhadap masing-masing pihak yaitu suami dan istri. Ketika perceraian
terjadi seringkali wanita sebagai posisi yang mempunyai kedudukan yang lemah,
termasuk dalam pembagian harta bersama (gono gini) apabila terdapat itikad tidak baik
dari salah satu pasangan. Bank sebagai lembaga penyimpan dana nasabah menjaga
kerahasiaan nasabah penyimpan dan simpanannya, di satu sisi menguntungkan nasabah
penyimpan karena informasi terkait nasabah penyimpan dan dana simpanannya dapat
terjaga, namun di sisi lain merugikan bagi pihak yang berkepentingan yakni istri yang
tidak mengetahui besaran dana atas nama suami di bank tersebut yang merupakan harta
bersama suami istri selama dalam masa perkawinan.
Dengan demikian, hak konstitusional istri terhadap perlindungan harta benda yang di
bawah kekuasaannya dan hak milik pribadi sesuai dengan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal
28H ayat (4) UUD 1945 tidak terlindungi. Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal dan
penjaga konstitusi berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara
pengujian UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) dengan
menerapkan konstitusional bersyarat dalam perkara kerahasiaan bank mengenai
informasi nasabah penyimpan dan dana simpanannya untuk kepentingan peradilan
dalam perkara perdata yakni pembagian harta bersama karena perceraian.

Kata kunci: Harta Benda, Perkawinan, Perspektif Islam.

1
PENDAHULUAN
Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum. Peristiwa
hukum yang pasti dialami oleh manusia adalah kelahiran dan kematian, sedangkan
peristiwa hukum lain yang pada umumnya juga dilalui manusia salah satunya adalah
perkawinan. Perkawinan merupakan sebuah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.1
Perkawinan menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan disebutkan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2 Pada dasarnya perkawinan merupakan suatu
peristiwa yang mengandung hak dan kewajiban, yang telah dilakukan oleh sepasang
suami dan istri yang akan menimbulkan akibat hukum antara lain menyangkut hak dan
kewajiban dalam perannya sebagai suami dan isteri selama perkawinan berlangsung,
tanggung jawab mereka terhadap anak-anak, konsekuensinya terhadap harta kekayaan
baik itu kekayaan bersama maupun kekayaan masing-masing, serta akibat hukumnya
terhadap pihak ketiga. Hal seperti ini penting untuk dipahami oleh setiap calon pasangan
baik oleh suami ataupun isteri yang akan melangsungkan sebuah perkawinan, guna
mencegah timbulnya permasalahan yang terjadi di kemudian hari dalam perkawinan.3
Berdasarkan Pasal 29 UU Perkawinan, mempelai laki-laki dan mempelai
perempuan yang akan melangsungkan perkawinan dapat membuat perjanjian
perkawinan, adapun syarat-syarat pembuatan perjanjian perkawinan tersebut antara
lain: dibuat pada waktu, atau sebelum perkawinan dilangsungkan, dalam bentuk
tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat, isi perjanjian tidak melanggar
batas-batas hukum agama, dan kesusilaan, mulai berlaku sejak perkawinan
dilangsungkan, selama perkawinan berlangsung, perjanjian tidak dapat untuk

1
. Pasal 1 Undang-undang no. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
2
. Selanjutnya ditulis UU Perkawinan
3
. Abdul Manaf, 2006, Aplikasi Asas Equalitas Hak Dan Kedudukan Suami Dalam Penjaminan
Harta Bersama Pada Putusan Mahkamah Agung, Mandar Maju: Bandung. Hlm 14.
2
dirubah, perjanjian termaktub dalam akta perkawinan (Pasal 12 PP No. 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan), adapun
taklik-talak yang disebutkan di dalam Pasal 45 KHI tidak termasuk ke dalam
perjanjian perkawinan.4
Dan peraturan inilah yang menimbulkan pengertian perkawinan, yaitu, suatu
hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang memenuhi
syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan tersebut.5 Selain itu, perkawinan
merupakan salah satu budaya yang beraturan yang mengikuti perkembangan budaya
manusia dalam kehidupan masyarakat. Budaya perkawinan dan aturannya seperti
yang berlaku pada suatu masyarakat atau pada suatu bangsa tidak terlepas dari
pengaruh budaya dan lingkungan yang sedang terjadi, di mana masyarakat itu berada
serta pergaulan masyarakatnya yang dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman,
kepercayaan dan keagamaan yang dianut di masyarakat bersangkutan.6
Dalam suatu perkawinan pastinya terdapat dua jenis harta benda yang
dibawa, yaitu harta benda yang dibawa dari luar (sebelum) perkawinan yang telah
ada pada saat (sesudah) perkawinan dilaksanakan dan harta benda yang diperoleh
secara bersama-sama atau sendiri-sendiri selama dalam ikatan perkawinan.7
Berdasarkan dari fakta-fakta hukum tersebut sebenarnya terdapat banyak
permasalahan hukum menyangkut harta bersama yang terlihat sederhana namun
kenyataannya rumit utuk diselesaikan hingga terjadi konflik keluarga, apalagi sistim
waris di Indonesia diatur di dalam hukum Islam, beserta dengan hukum adat maupun
aturan hukum BW (BurgerlijkWetBoek).
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dirumuskan permasalahan

4
Sriono, “Perjanjian Kawin Sebagai Bentuk Perlindungan Terhadap Harta Kekayaan Dalam
Perkawinan,” 71.
5
. R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta : Sumur Bandung, Cet.
Keempat, 1960, h. 7.
6
. H. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: CV. Mandar Maju, 2007,
h. 1.
7
Wijayanti, “Kedudukan Istri dalam Pembagian Harta Bersama Akibat Putusnya Perkawinan
Karena Perceraian Terkait Kerahasiaan Bank,” 710. 3
sebagai berikut: Bagaimana kedudukan harta bersama dalam perkawinan dalam
tinjauan hukum Islam?

PEMBAHASAN
1. Konsep Harta Dalam Islam
Sebelum membahas tentang masalah harta bersama dalam perkawinan, alangkah
baiknya kita mengenal terlebih dahulu tentang “Konsep Harta “dalam membangun sebuah
rumah tangga Islam:8
a. Bahwa harta sangat penting fungsinya di dalam tonggak kehidupan rumah tangga,
sebagaimana firman Allah SWT:

َّ ‫سفَ َها ٓ َء أَمۡ َٰ َولَ ُك ُم ٱلَّتِي َجعَ َل‬


‫ٱَّللُ لَ ُك ۡم قِ َٰيَ ٗما َو ۡٱر ُزقُو ُه ۡم فِي َها‬ ُّ ‫َو ََل ت ُ ۡؤتُواْ ٱل‬
ٗ ‫سو ُه ۡم َوقُولُواْ لَ ُه ۡم قَ ۡو َٗل َّمعۡ ُر‬
٥ ‫وفا‬ ُ ‫َو ۡٱك‬
Artinya: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum
sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu)
yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka
belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada
mereka kata-kata yang baik.” (Qs. an-Nisa’ ayat 5).

b. Kewajiban Suami yang berkenaan dengan harta adalah sebagai berikut:


1. Memberikan mahar kepada istri, sebagaimana firman Allah SWT:
ٗۚ
ُ‫صدُ َٰقَتِ ِه َّن نِ ۡحلَ ٗة فَإِن ِط ۡبنَ لَ ُك ۡم َعن ش َۡي ٖء ِم ۡنهُ ن َۡف ٗسا فَ ُكلُوه‬ َ ِ‫َو َءاتُواْ ٱلن‬
َ ‫سا ٓ َء‬
٤ ‫َهنِ ٗ ٓيا َّم ِر ٗ ٓيا‬
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan
kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka
makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi
baik akibatnya.” (Qs. an-Nisa’ ayat 4).

Perjanjian kawin secara umum dapat diberikan pengertian sebagai sebuah


perjanjian yang dibuat oleh calon suami istri yang berisi mengenai hal-hal kesepakatan
mengenai harta ataupun kesepakatan lainnya yang dirasa perlu diperjanjikan oleh kedua

8
Arief, “Perjanjian Dalam Perkawinan (Sebuah Telaah Terhadap Hukum Positif Di
Indonesia),” 152.

4
pihak calon suami istri.
Sudikno Mertokusomo mendefinisikan perjanjian perkawinan sebagai suatu
perjanjian yang dibuat sebelum pernikahan dilangsungkan dan mengikat kedua belah
pihak calon pengantin yang akan menikah dan berlaku setelah pernikahan dilangsungkan.9
Perjanjian kawin pada pokoknya merupakan suatu perbuatan hukum dalam ruang
hukum perjanjian, oleh sebab itu syarat keabsahannya wajib mengacu pada Pasal 1320
BW.10 Perjanjian kawin dibuat berdasarkan asas kebebasan berkontrak, sebagaimana
diatur dalam pasal 1338 ayat (1) BW, sehingga para pihak diberikan kebebasan untuk
menentukan isi dari perjanjian yang akan mereka buat asalkan tidak bertentangan
dengan hukum, agama, kepatutan dan kesusilaan yang telah menjadi aturan tdi dalam UU.11

2. Memberikan nafkah kepada istri dan anak.


3. Suami tidak boleh mengambil harta istri, kecuali dengan izin dan ridhonya,
sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur'an surat an-Nisa’ ayat 4,
sebagaimana sudah disebutkan di atas.
Artinya : “Jika mereka itu (istri-istri kamu) menyerahkan dengan segala kerelaan
sebagian mas kawin mereka kepadamu, maka terimalah pemberian
tersebut sebagai harta yang manfaat dan baik akibatnya “

4. Jika terjadi perceraian antara suami istri, maka ketentuannya sebagai berikut:
(a) Istri mendapat seluruh mahar jika ia telah melakukan hubungan sex dengan
suaminya, atau salah satu diantara kedua suami istri tersebut meninggal dunia
dan mahar telah ditentukan, dalam hal ini Allah SWT berfirman:

Artinya: “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain,
sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka
harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari

9
. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988,hal
97.
10
. Moch. Isnaeni, Hukum Perkawinan Indonesia, Revka Petra Media, Surabaya, 2016,hal
169.
11
Masriani, “Perjanjian Perkawinan Dalam Pandangan Hukum Islam,” 135.
5
padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya
kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung)
dosa yang nyata? ”. (Qs. Al-Nisa: 20).

(b) Istri mendapat setengah mahar jika dia belum melakukan hubungan sex dengan
suaminya dan mahar telah ditentukan, sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya: “Jika kamu benar akan menceraikan isteri-isterimu sebelum
kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu
sudah menentukan sebuah maharnya, maka bayarlah seperdua
dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-
isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang
memegang ikatan pernikahan, dan pema'afan kamu itu lebih
dekat kepada sebaik-baik takwa. Dan janganlah kamu
melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Melihat segala sesuatu dan apa yang kamu kerjakan.”
(Qs. Al-Baqarah: 237).

(c) Istri mendapat mut’ah (uang pesangon) jika dia belum melakukan
hubungan sex dengan suaminya dan mahar belum ditentukan,
sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya: “Tidak ada kewajiban untuk membayar (mahar) dari kamu, jika
kamu menceraikan isteri kamu sebelum kamu mencampurinya
dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan
hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada
mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang
yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian
menurut yang pantas untuknya, yang demikian itu merupakan
ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan”. (Qs. Al-
Baqarah: 236).

2. Status Harta Bersama dalam Perkawinan


Salah satu pengertian harta bersama dalam perkawinan merupakan harta
milik bersama suami-istri yang sudah sah dan mereka memperolehnya selama di
dalam perkawinan, seperti halnya jika seseorang menghibahkan uang, atau sepeda
motor, atau barang yang lain kepada suami istri, atau harta benda yang dibeli oleh
suami isteri dari uang mereka berdua, atau tabungan dari gaji suami dan gaji istri
yang dijadikan sudah satu, itu semuanya bisa dikatagorikan harta bersama.12

12
Faizal, “Harta Bersama Dalam Perkawinan,” 78.

6
Pengertian tersebut sesuai dengan pengertian harta bersama yang
disebutkan di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang membahas tentang
tujuan pembagian harta bersama dan memperjelas pengertian di atas, berikut adalah
hal-hal di bawah ini perlu menjadi catatan:13
a. Barang-barang yang dibeli dari gaji (harta) suami, seperti kursi, tempat
tidur, kulkas, kompor, mobil adalah milik suami dan bukanlah harta harta
bersama, termasuk dalam hal ini adalah harta warisan yang didapatkan
suami, atau hadiah dari orang lain yang diberikan kepada suami secara
khusus.
b. Barang-barang yang dibeli dari gaji (harta) suami, kemudian secara
sengaja dan jelas telah diberikan kepada istrinya, seperti suami yang
membelikan baju dan perhiasan untuk istrinya, atau suami membelikan
motor dan dihadiahkan kepada istrinya, maka harta tersebut meskipun
dibeli dengan harta milik suami, tetapi telah menjadi hak milik istri, dan
bukan pula termasuk dalam harta gono-gini bagi keluarga mereka.
c. Barang-barang yang dibeli dari harta istri, atau orang lain yang
menghibahkan sesuatu khusus untuk istri, maka itu semua adalah menjadi
hak istri dan bukan merupakan harta harta bersama.

Tentang harta bersama dalam Islam menurut Ismail Muhammad Syah


sebagaimana dikutip oleh Yahya Harahap, beliau mengatakan bahwa, pencarian
bersama suami istri mestinya masuk dalam rubu’ul mu’amalah. Tetapi ternyata secara
khusus tidak dibicarakan. lebih lanjut beliau mengatakan, mungkin hal ini disebabkan
oleh karena pada umumnya pengarang dari kitab-kitab tersebut adalah orang Arab,

13
Wijayanti, “Kedudukan Istri dalam Pembagian Harta Bersama Akibat Putusnya Perkawinan
Karena Perceraian Terkait Kerahasiaan Bank,” 712.

7
sedang adat Arab tidak mengenal adanya adat mengenai pencarian bersama suami istri
itu.14
Tetapi di sana ada membahas mengenai masalah perkongsian yang ada dalam
bahasa Arab dan biasa disebut dengan syarikah atau syirkah. Mungkin perkataan
syarikah dalam bahasa Indonesia yang sekarang itu sebenarnya berasal dari bahasa
Arab. Seterusnya beliau mengatakan, oleh karena masalah pencaraian bersama suami
istri ini adalah termasuk perkongsian atau syirkah. Dalam hal ini syirkah, beliau
mengatakan bahwa harta bersama itu masuk pada pembahasan syirkah mufāwaḏah dan
abdan.15 Lebih lanjut Menurut Yahya Harahap dalam perumusan masalah harta
bersama yang terdapat dalam Bab XIII yang terdiri dari Pasal 85 sampai dengan Pasal
97, panitia perumus KHI malakukan pendekatan dari jalur aturan syirkah abdān dan
adat.16

3. Konsep Al-Maslahah Al-Mursalah dalam Ketetapan Harta Bersama


Berdasarkan pemaparan materi di atas bahwa masalah harta bersama
merupakan gejala yang timbul sejak lahirnya undang-undang No 1 Tahun 1974 yaitu
tentang Perkawinan. Pada masa sebelumnya di Indonesia tidak perlu adanya penetapan
harta bersama, namun setelah ada keputusan tentang harus dibaginya harta bersama,
maka saat itu pula orang Islam mencari dasar tentang harta bersama, karena dalam fiqih
pun tidak ditemukan pembahasan tentang harta bersama, kerena itu banyak ahli hukum
mengatakan bahwa masalah harta bersama adalah rana ijtihad ulama masa kini.17
Di dalam hukum Islam, banyak cara untuk mencari ketetapan hukum pada
masalah-masalah yang bersifat kontemporer. Karena undang-undang baik yang
termuat dalam Kompilasi Hukum Islam atau dalam KUHPer merupakan hukum yang

14
Kusuma, “Kedudukan Hukum Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat Setelah Perkawinan
Terhadap Pihak Ketiga (Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 69/PUU- XIII/2015),” 172.
15
. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama UU. No. 7 Tahun
1989, (Jakarta. Sinar Grafika 2009), cet 5. H. 270-271.
16
. Ibid, h. 271.
17
Masriani, “Perjanjian Perkawinan Dalam Pandangan Hukum Islam,” 133.
8
berasaskan kemaslahahtan atau kemanfaatan. Berkaitan dengan masalah
kemaslahahtan, maka dalam terdapat penetapan berupa pembagian harta bersama dan
metode yang dapat kita gunakan yaitu al-maslahah al-mursalah. Dalam kaitannya
Muhammad Abu Zahroh mengatakan, bahwa maslahah disini merupakan maslahah
yang mu’tābrah yaitu meliputi lima jaminan dasar pada manusia:
a. Keselamatan keyakinan agama.
b. Keselamatan jiwa.
c. Keselamatan akal.
d. Keselamatan keluarga dan keturunan.
e. Keselamatan harta benda.

Sedang yang berupah tahsini dapat dicontohkan seperti, (1). pengenaan pajak
bagi yang kaya untuk membiyai angkatan perang dan melindungi kerajaan. (2).
hukuman bagi tidak kriminal dengan mencabut kekayaan si pelaku jika tindak kriminal
itu dilakukan dengan ditopang oleh kekayaan atau yang sebangsanya. (3). jika orang-
orang kafir dalam suatu peperangan melindungi diri, dengan menggunakan tawanan
perang muslim, maka kepentingan umum mengizinkan membunuh tawanan perang
muslim dengan melawan orang kafir, jika tindakan semacam itu dianggap darurat
(esensial) untuk menahan dan menghindari hadirnya serangan musuh sekaligus
melindungi kepentingan kaum muslimin secara keseluruan.18
Sebagaimana uraian di atas tentang al-maslahah al-mursalah setidaknya ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam ketetapannya sebagai landasan penetapan
harta bersama, yakni pertama adalah kemaslahatan yang mu’tabaroh yang tidak
bertentangan dengan semangat syari’at dan juga bukan tahsini.
Maka dalam konteks harta bersama kemaslahatan-kemaslahatan tersebut
merupakan hal yang menjadi tujuan dibaginya harta bersama, dimana istri merupakan

18
. Muhammad Muslehuddin, Filasafat Hukum Islam Dan Pemikiran Oreintalis Study
Perbandingan Sistem Hukum Islam, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1997) cet 2. h. 131-132.

9
pekerja di rumah suami dan patut mendapatkan upah, atau istri merupakan pekerja yang
dalam system kerjanya seorang istri mendapat upah setelah saat ia usai bekerja. Upah
atau hasil keringat seorang istri ini, jika dilihat dalam kacamata keluarga tentu tidak
dapat dipisahkan dengan harta suami. Ketika ada indikasi percampuran harta suami
istri, maka patut jika upah istri yang sudah tercampur harus dipisah kembali dengan
cara membagi rata untuk menjaga hak istri yang dicerai.19
Kemaslahatan yang lain adalah, mengurangi beban mantan istri agar setelah
terjadi perceraian tidak mendapat kesulitan dalam membiayai hidupnya sendiri atau
anak yang ikut kepadanya, sebab ketika istri dicerai yang sering kita temui mereka
berusaha keras dalam menanggung biaya kehidupannya sendiri dan anak yang
dibawanya, untuk itu patut jika istri mendapat harta bersama dari seorang mantan
suaminya.

KESIMPULAN
Demikian pembahasan yang disampaikan tentang kedudukan harta dalam
perkawinan, dimana harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai secara penuh
olehnya. Namun sebelum memasuki jenjang perkawinan adakalanya suami atau isteri
sudah memiliki harta benda yang dibawa oleh masing-masing. Harta benda yang
telah ada sebelum perkawinan, jika dibawa kedalam perkawinan tidak akan berubah
status kepemilikan hartanya. Kemudian di Pasal 35 ayat 2 UU nomor 1 tahun 1974
menetapkan bahwa harta bawaan dari masing-masing baik dari suami ataupun isteri
adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan
hal lain. Masing-masing berhak menggunakan harta yang dimilikinya untuk keperluan
apa saja.
Pasal 36 mengatur status harta yang di peroleh masing-masing suami istri. Pada
pasal 37, di jelaskan apabila perkawinan putus karena perceraian maka harta bersama
di atur menurut hukumnya masing-masing. Salah satu tujuan dari perkawinan ialah

19
Faizal, “Harta Bersama Dalam Perkawinan,” 86.

10
mencari rezeki yang halal. Mengenai harta yang diperoleh selama dalam perkawinan
ini tidak dipertimbangkan apakah yang mempunyai penghasilan itu suami atau
isteri. Menurut peraturan perkawinan Indonesia pada Nomor 136 Tahun 1946 pasal
50 ayat 4 menetapkan bahwa: Apabila isteri bekerja untuk memenuhi segala
keperluan rumah tangga, maka semua harta benda yang didapatkan selama dalam
perkawinan menjadi harta benda milik bersama.
Harta bersama meliputi: harta yang diperoleh sepanjang perkawinan
berlangsung; hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang
merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; harta yang diperoleh sebagai
hadiah/pemberian atau warisan apabila ditentukan demikian. Suami dan istri yang telah
resmi bercerai memiliki hak yang sama terhadap harta bersama, dengan pembagian
sama rata antar keduanya atau berdasarkan kesepakatan antara keduanya.

11
DAFTAR PUSTAKA

Arief, Hanafi. “Perjanjian Dalam Perkawinan (Sebuah Telaah Terhadap Hukum Positif
Di Indonesia),” 2017, 22.
Faizal, Liky. “Harta Bersama Dalam Perkawinan,” n.d., 26.
H. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: CV. Mandar Maju,
2007.
Kusuma, Candra Hadi. “Kedudukan Hukum Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat
Setelah Perkawinan Terhadap Pihak Ketiga (Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor. 69/PUU- XIII/2015),” n.d., 18.
Manaf, Abdul. 2006, Aplikasi Asas Equalitas Hak Dan Kedudukan Suami Dalam
Penjaminan Harta Bersama Pada Putusan Mahkamah Agung, Mandar Maju:
Bandung.
Masriani, Yulies Tiena. “Perjanjian Perkawinan Dalam Pandangan Hukum Islam,”
n.d., 22.
Moch. Isnaeni, Hukum Perkawinan Indonesia, Revka Petra Media, Surabaya,
2016.
R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta : Sumur Bandung,
Cet. Keempat, 1960.
Sriono. “Perjanjian Kawin Sebagai Bentuk Perlindungan Terhadap Harta Kekayaan
Dalam Perkawinan.” . . September 04, no. 02 (2016): 12.
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberty, Yogyakarta,
1988.
Wijayanti, Winda. “Kedudukan Istri dalam Pembagian Harta Bersama Akibat Putusnya
Perkawinan Karena Perceraian Terkait Kerahasiaan Bank” 10 (2013): 22.

12

Anda mungkin juga menyukai