Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Ginjal kini telah menjadi masalah kesehatan serius di dunia. Menurut
(WHO, 2002) dan Burden of Disease, penyakit ginjal dan saluran kemih telah
menyebabkan kematian sebesar 850.000 orang setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan
bahwa penyakit ini menduduki peringkat ke-12 tertinggi angka kematian. Penyakit
Ginjal Kronik merupakan suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam,
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir
dengan keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversible,
pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis
atau transplantasi ginjal(Suwitra, 2006).

Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidensi penyakit ginjal


kronik diperkirakan 100 kasus per juta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat
sekitar 8% setiap tahunnya (Suwitra, 2006).

Prevalensi penyakit ginjal kronik atau disebut juga Chronic Kidney Disease
(CKD) meningkat setiap tahunnya. Dalam kurun waktu 1999 hingga 2004, terdapat
16,8 % dari populasi penduduk usia di atas 20 tahun mengalami Penyakit Ginjal
Kronik. Persentase ini meningkat bila dibandingkan data 6 tahun sebelumnya, yaitu
14,5% (CDC, 2007).

Di masa depan penderita Penyakit Ginjal Kronik digambarkan akan meningkat


jumlah penderitanya. Hal ini disebabkan prediksi akan terjadi suatu peningkatan luar
biasa dari diabetes mellitus dan hipertensi di dunia ini karena meningkatnya
kemakmuran akan disertai dengan bertambahnya umur manusia, obesitas dan penyakit
degeneratif (Roesma, 2008).

Enam negara dunia dengan penduduk melebihi 50% penduduk dunia adalah Cina,
India, USA, Indonesia, Brazil dan Rusia, tiga negara terakhir termasuk negara
berkembang dimana penyakit ginjal kronik tentunya ada tapi tidak dapat ditanggulangi
secara baik karena terbatasnya daya dan data. Prediksi menyebutkan bahwa pada
tahun 2015 tiga juta penduduk dunia perlu menjalani pengobatan pengganti untuk
gagal ginjal terminal atau End Stage Renal Disease (ESRD) dengan perkiraan
peningkatan 5% per tahunnya(Roesma, 2008).

Mempelajari data ESRD dunia mengesankan adanya peningkatan yang signifikan


setiap tahun dari kejadian ESRD mulai dari tahun 2000 dan seterusnya, baik negara
berkembang maupun negara maju. Di Asia, Jepang tercatat mempunyai populasi
ESRD tertinggi 1800 per juta penduduk dengan 220 kasus baru per tahun, suatu
peningkatan 4.7 % dari tahun sebelunya. Negara berkembang di Asia Tenggara
pencatatannya belum meyakinkan, kecuali Sigapura dan Thailand (Roesma, 2008).

1
Ginjal dan hipertensi berkaitan dengan erat, hipertensi dapat menimbulkan
kerusakan ginjal dan kerusakan ginjal menyebabkan hipertensi. Kekhawatiran akan
timbulnya PGK akibat hipertensi tidaklah berlebihan. Prevalensi Hipertensi di
populasi cukup tinggi dan data mengindikasikan adanya kaitan antara PGK dan
hipertensi (Prodjosudjadi, 2008).

Hipertensi sampai saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan di
dunia, karena prevalensinya yang meningkat juga karena masih banyaknya penderita
hipertensi yang belum mendapatkan pengobatan yang memadai maupun bila sudah
mendapatkan pengobatan tapi masih banyak juga penderita yang tekanan darahnya
tidak terkontrol mencapai target 140/90 mmHg. Adanya penyakit penyerta serta
komplikasi akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas (Tessy, 2006).

Penyakit ginjal dan hipertensi dapat menjadi penyakit ginjal kronik (PGK) dan bila
tidak diatasi akan berkembang ke gagal ginjal terminal yang memerlukan terapi
pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Prodjosudjadi, 2008).

Penyakit ginjal kronik merupakan penyakit yang saat ini jumlahnya sangat
meningkat, dari survei yang dilakukan oleh Pernefri (Perhimpunan Nefrologi
Indonesia) pada tahun 2009, Prevalensi gagal ginjal kronik di Indonesia sekitar 12,5%,
yang berarti terdapat 18 juta orang dewasa di Indonesia menderita penyakit ginjal
kronik (Siallagan,2012).

Hasil penelitian Sinabariba (2002), terdapat 158 penderita PGK di RSUP. H. Adam
Malik Medan selama periode tahun 2000-2001. Hasil penelitian Handayani (2006) di
Rumah Sakit Tembakau Deli PTP. Nusantara II Medan terdapat 126 penderita PGK
yang dirawat inap di rumah sakit tersebut selama priode 2002 – 2004, dimana tahun
2002 sebanyak 32 orang (25,40%) tahun 2003 sebanyak 36 orang (28,57%) dan tahun
2004 sebanyak 58 orang (46,03%). Berdasarkan Hasil penelitian Ginting (2008)
terjadi peningkatan penderitaPGK dari tiga tahun sebelumnya di RSUP. H. Adam
Malik Medan, dimana selama periode 2004 – 2007 terdapat 934 penderita PGK yang
dirawat inap dengan perincian, pada tahun 2004 sebanyak 116 orang (12,5%) tahun
2005 sebanyak 189 orang (20,2%) tahun 2006 sebanyak 275 orang (29,4%) dan tahun
2007 sebanyak 354 orang (37,9%). Hasil penelitian Romauli (2009) di Rumah Sakit
Umum Daerah Dr. H. Kumpulan Pane Tebing Tinggi tahun 2007 – 2008 terdapat 148
penderita PGK yaitu 80 penderita pada tahun 2007, dan 68 penderita PGK pada tahun
2008. Kemudian Hasil penelitian Umri (2011), terdapat 265 penderita PGK pada tahun
2010 di RSU. Dr. Pirngadi Medan. Berdasarkan survei pendahuluan di RSUP. H.
Adam Malik Medan, terdapat peningkatan jumlah penderita PGK yang sangat drastis
mencapai 633 penderita pada tahun 2011. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut,
diperlukan penelitian untuk mengetahui karakteristik dan penatalaksanaan penyakit
ginjal kronik di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011.

2
2.1 Tujuan

a. Tujuan umum

Mahasiswa mampu memahami tentang gagal ginjal dan mampu memberikan


asuhan keperawatan pada klien tersebut dalam kegawat daruratan.

b. Tujuan khusus

1. Mahasiswa mampu

2. Memahami tentang definisi gagal ginjal

3. Memahami tentang etiologi gagal ginjal

4. Memahami tentang patofisiologi gagal ginjal

5. Memahami tentang manifestasi klinis gagal ginjal

6. Memahami tentang komplikasi klien gagal ginjal

7. Memahami tentang penatalaksanaan gagal ginjal

8. Melakukan pengkajian gawat darurat pada klien dengan gagal ginjal

9. Memberikan asuhan keperawatan gawat darurat pada klien dengan gagal ginja

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

3
2.1 Pengertian

Gagal Ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal mengalami
penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam hal
penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat
kimia tubuh seperti sodium dan kalium didalam darah atau produksi urine.
(Lumenta,1992.

Gagal ginjal atau juga disebut insufisiensi ginjal adalah kondisi dimana ginjal
tidak lagi berfungsi cukup untuk mempertahankan keadaan normal kesehatan.
(Smeltzer,2001).

2.2 Etiologi

Etiologi gagal ginjal menurut (Boswick,2001) antara lain meliputi :

1. Infeksi : Pielonefritis kronik

2. Penyakit peradangan : Glomerulonefritis

3. Penyakit vascular hipertensi : Nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna,


stenosis arteria renalis.

4. Gangguan jaringan penyambung : Lupus eritematosus sistemik, Poliarteritis


nodosa, sklerosis sistemik progresif.

5. Gangguan kongerital dan hereditas : Penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus


ginjal.

6. Penyakit metabolic : Diabetes militus, gout, hiperpara tiroidisme, amiloidosis.

7. Nefropati toksik : Penyalahgunaan analgesik, nefropati timbale.

2.3 Klasifikasi Gagal Ginjal

Klasifikasi gagal ginjal antara lain :

1. Gagal ginjal akut

Gagal ginjal akut adalah suatu keadaan klinis dimana terjadi penurunan fungsi
ginjal secara mendadak yang berakibat kemampuan ginjal untuk mempertahankan
homeostasis tubuh hilang, dan disertai gejala-gejala sebagai akibat :

a. Gangguan keseimbangan air dan elektrolit

b. Gangguan keseimbangan asam-basa

4
c. Gangguan eliminasi limbah metabolisme, misalnya ureum, creatinin

Gagal ginjal akut biasanya disertai anuria, oliguria, produksi urin normal maupun
poliuria

2. Gagal ginjal kronik

Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan
fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam
darah). (Chris Brooker,2008)

2.4 Manifestasi klinis

Adapun tanda dan gejala terjadinya gagal ginjal yang dialami penderita secara akut
antara lain :

1. Bengkak mata

2. Nyeri pinggang hebat (kolik)

3. Kencing Sakit

4. Demam

5. Kencing sedikit

6. Kencing merah /darah, sering kencing. (Boswick,2001)

Sedangkan tanda dan gejala yang mungkin timbul oleh adanya gagal ginjal kronik
antara lain :

1. Nafsu makan berkurang,

2. Mual, muntah,

3. Kencing berkurang

4. Sesak napas

5. Pucat/anemia

6. Kelainan urin: Protein, Eritrosit, Lekosit.

7. Kelainan hasil pemeriksaan Lab. lain: Creatinine darah naik, Hb turun, Urin:
protein selalu positif. (Boswick,2001)

5
2.5 Patofisiologi

Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan
tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron
yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai
reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini
memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban
bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi
berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron
yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana
timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas
kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini
fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau
lebih rendah itu. ( Barbara C Long, 1996)

Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya


diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka
gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis. (Brunner
& Suddarth, 2001).

Perjalanan umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi tiga stadium yaitu

1. Stadium 1 (penurunan cadangan ginjal)

Ditandai dengan kreatinin serum dan kadar Blood Ureum Nitrogen (BUN) normal
dan penderita asimtomatik.

2. Stadium 2 (insufisiensi ginjal)

Lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak (Glomerulo filtration Rate
besarnya 25% dari normal). Pada tahap ini Blood Ureum Nitrogen mulai
meningkat diatas normal, kadar kreatinin serum mulai meningklat melabihi kadar
normal, azotemia ringan, timbul nokturia dan poliuri.

3. Stadium 3 (Gagal ginjal stadium akhir / uremia)

Timbul apabila 90% massa nefron telah hancur, nilai glomerulo filtration rate 10%
dari normal, kreatinin klirens 5-10 ml permenit atau kurang. Pada tahap ini
kreatinin serum dan kadar blood ureum nitrgen meningkat sangat mencolok dan
timbul oliguri. (Price, 1992)

2.6 Komplikasi

Komplikasi gagal ginjal menurut (Smeltzer,2011) sebagai berikut :

1. Jantung (udema paru, aritmia)


6
2. Gangguan elektrolit (hiperkalemia, hiponatremia)

3. Neurologi (kejang,tremor)

4. Gastrointestinal (nausea,muntah)

5. Hematologi (anemia)

6. Infeksi (pneumonia,septikemis)

2.7 Pemeriksaan penunjang

Adapun pemeriksaan penunjang gagal ginjal antara lain :

Urine : Volume, Warna, Sedimen, Berat jenis, Kreatinin, Protein

Darah : BUN/kreatinin, Hitung darah lengkap, Sel darah merah, Natrium serum,
Kalium, Magnesium fosfat, Protein, Osmolaritas serum.

KUB Foto : Menunjukkan ukuran ginjal/ureter/kandung kemih dan adanya obstruksi

Pielografi retrograd : Menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan ureter.

Arteriogram ginjal : Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstraskular,


massa.

Sistouretrogram berkemih : Menunjukkan ukuran kandung kemih,refluks ureter,retensi

Ultrasono ginjal : Menunjukkan ukuran kandung kemih, dan adanya massa, kista,
obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.

Biopsi ginjal : Mungkin dilakukan secara endoskopi untuk menetukan sel jaringan
untuk diagnosis histologist

Endoskopi ginjal nefroskopi : Dilakukan untuk menemukan pelvis ginjal ; keluar batu,
hematuria dan pengangkatan tumor selektif

EKG : Mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa,


aritmia, hipertrofi ventrikel dan tanda-tanda perikarditis. (Smeltzer,2001).

2.9 Penatalaksanaan

a. Penatalaksanaan kedaruratan

Terapi cairan : dengan memberikan infus garam isotonik atau Ringer’s Lactate
sebanyak 20 ml/kg berat badan selama 1 jam, dilanjutkan pemberian diuretik.
(Hudak,2002)

7
b. Penatalaksanaan untuk gagal ginjal menurut (Smeltzer,2001) sebagai berikut :

1) Pengobatan dan dialysis

Tujuan dari pengobatan adalah menemukan dan mengobati penyebab dari


gagal ginjal akut. Selain itu pengobatan dipusatkan untuk mencegah
penimbunan cairan dan limbah metabolik yang berlebihan. Antibiotik bisa
diberikan untuk mencegah atau mengobati infeksi. Untuk meningkatkan
jumlah cairan yang dibuang melalui ginjal, bisa diberikan diuretik. Kadang
diberikan natrium polistiren sulfonat untuk mengatasi hiperkalemia. Dialisis
dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal akut yang serius
seperti hiperkalemia, perikarditis dan kejang. Untuk membuang kelebihan
cairan dan limbah metabolik bisa dilakukan dialisa. Dengan dialisa penderita
akan merasa lebih baik dan lebih mudah untuk mengendalikan gagal ginjal.

2) Pertahankan keseimbangan cairan

Penatalaksanaan keseimbangan cairan didasarkan pada berat badan harian,


pengukuran tekanan vena sentral, konsentrasi urin dan serum, cairan yang
hilang, tekanan darah dan status klinis pasien. Masukan dan haluaran oral dan
parenteral dari urin, drainase lambung, feses dan drainase luka serta respirasi
dihitung dan digunakan sebagai dasar untuk terapi penggantian cairan.

3) Pertimbangan nutrisi

Diet protein dibatasi sampai 1 g/kg selama fase oliguria untuk menurunkan
pemecahan protein dan mencegah akumulasi produk akhir toksik Kebutuhan
kalori dipenuhi dengan pemberian diet tinggi karbohidrat, karena karbohidrat
memiliki efek terhadap protein yang luas (pada diet tinggi karbohidrat, protein
tidak dipakai untuk memenuhi kebutuhan energi tetapi dibagi untuk
pertumbuhan dan perbaikan jaringan). Makanan dan cairan yang mengandung
kalium dan fosfat ( pisang, buah, jus jeruk dan kopi) dibatasi. Masukan kalium
biasanya dibatasi sampai 2 g/ hari.

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian

1. Identitas

a. Identitas klien
8
b. Identitas penanggung jawab

2. Riwayat keperawatan

a. Alasan masuk RS

b. Keluhan utama

c. Riwayat kesehatan sekarang

d. Riwayat kesehatan masa lalu

e. Riwayat kesehatan keluarga

f. Riwayat alergi

3. Pengkajian ABCD

a. Pengkajian Primer

1) A(Airway), Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya


penumpukan sekret akibat kelemahan reflek batuk. Jika ada obstruksi
maka lakukan :

a) Chin lift / jaw trust

b) Suction / hisap

c) Guedel airway/OPA

d) Intubasi trakhea dengan leher ditahan (imobilisasi) pada posisi netral.

2) B(Breathing), Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas,


timbulnya pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas
terdengar ronchi /aspirasi, whezing, sonor, stidor/ ngorok, ekspansi dinding
dada.

3) C(Circulation), Tekanan darah dapat normal atau meningkat , hipotensi


terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini,
disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap
lanjut.

4) D(Disability), Menilai kesadaran dengan cepat,apakah sadar, hanya respon


terhadap nyeri atau atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan
mengukur GCS. Adapun cara yang cukup jelasa dan cepat adalah

a) Awake

b) Respon bicara

c) Respon nyeri
9
d) Tidak ada respon

b. Pengkajian Sekunder

Pengkajian sekunder dilakukan setelah primary survey dikaji dan dilakukan


tindakan meliputi pemeriksaan fisik, pola fungsional, pemeriksaan diagnostik,
terapi.

3.2 Analisa Data

Data subyektif dan Data obyektif sesuai dengan data yang ditemukan pada saat
pengkajian

3.3 Diagnosa keperawatan

1. Kelebihan Volume cairan berhubungan dengan udem sekunder :volume cairan


tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O.

2. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder,


kompensasi melalui alkalosis respiratorik

3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan suplai O2 ke jaringan


menurun.

4. Risiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia,


mual, muntah.

5. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan pruritis

6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak


adekuat, keletihan.

3.4 Intervensi (tujuan dan kriteria hasil)

1. Kelebihan Volume cairan berhubungan dengan edema sekunder : volume


cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O)

NOC : Electrolit and acid base balance

NIC :

a. Pertahankan catatan intake dan output yang akurat

b. Pasang urin kateter jika diperlukan

c. Monitor hasil lab yang sesuai dengan retensi cairan (BUN , Hmt
,osmolalitas urin )

10
d. Monitor vital sign

e. Monitor indikasi retensi / kelebihan cairan (cracles, CVP , edema, distensi


vena leher, asites)

2. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder:


kompensasi melalui alkalosis respiratorik

NOC : Respiratory Status

NIC :

a. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan

b. Monitor respirasi dan status O2

c. Posisikan pasien semifowler untuk memaksimalkan ventilasi

3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan suplai O2 ke jaringan


menurun.

NOC : Circulation Status

NIC :

a. Monitor TTV

b. Monitor ukuran pupil, CRT, SPO2

c. Monitor BUN, Creat, HMT dan elektrolit

4. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia,


mual, muntah

NOC : Nutritional status

NIC :

a. Kaji adanya alergi makanan

b. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi
yang dibutuhkan pasien

c. Monitor mual dan muntah

d. Beri makan sedikit tapi sering.

e. Awasi konsumsi makanan / cairan

5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritis

NOC : Tissue Integrity


11
NIC :

a. Hindari kerutan pada tempat tidur

b. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering\

c. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali

d. Monitor kulit akan adanya kemerahan

6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak


adekuat, keletihan

NOC : Self Care

NIC :

a. Observasi adanya pembatasan klien dalam melakukan aktivitas

b. Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan

c. Monitor respon kardivaskuler terhadap aktivitas (takikardi, disritmia,


sesak nafas, diaporesis, pucat, perubahan hemodinamik)

3.5 Implementasi

Mencantumkan tindakan keperawatan yang dilakukan sesuai dengan


prioritas ABCD, dengan urutan tindakan yang dilakukan di IGD (sesuai fakta yang
dilakukan/ aplikasi), dilengkapi dengan waktu.

3.6 Evaluasi

Respon pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan yang terdiri dari


respon objektif dan subyektif.

12
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus ini membahas tentang asuhan keperawatan klien dengan gagal ginjal
kronis/CKD terkait pengkajian, perumusan diagnosa keperawatan, intervensi,
implementasi, dan evaluasi yang ditemukan pada Tn. D.

a. Pengkajian

Pada kasus ini klien di diagnosa dengan gagal ginjal kronis stadium V. Klien juga
menderita diabetes melitus, hipertensi serta anemia, dan hepatitis C. Diagnosa ini
ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Diagnosa medis tersebut sangat erat kaitannya jika dihubungkan dengan perjalanan
penyakit yang dialami klien. American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo
(2005) menyebutkan bahwa diabetes melitus merupakan penyakit metabolik yang
dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan salah
13
satunya organ ginjal dikenal dengan nefropati diabetikum sebagai penyebab gagal
ginjal. Selain itu, klien juga mengalami anemia hal ini terjadi karena gangguan
produksi sel darah merah, penurunan rentang hidup SDM, dan peningkatan
kecendrungan perdarahan (akibat kerusakan fungsi trombosit) (Betz & Showen,
2009). Sedangkan hipertensi dapat terjadi karena sekitar 90% hipertensi bergantung
pada volume dan berkaitan dengan retensi air dan natrium, sementara < 10%
bergantung pada renin. Hal ini karena tekanan darah adalah hasil perkalian dari curah
jantung dengan tahanan perifer. Pada gagal ginjal, volum cairan tubuh meningkat
sehingga meningkatkan curah jantung. Keadaan ini meningkatkan tekanan darah.
Selain itu, kerusakan nefron akan memacu sekresi renin yang akan mempengaruhi
tahanan perifer sehingga semakin meningkat (Price & Wilson, 2006). Hipertensi dan
gagal ginjal membentuk suatu lingkaran setan. Hipertensi dapat menyebabkan gagal
ginjal, sebaliknya gagal ginjal kronik dapat menimbulkan hipertensi. Dari hasil
pemeriksaan fisik klien mengalami edema pada wajah, kedua tangan dan kedua kaki,
Intake cairan: 600 ml, Output cairan: 420 ml (Urine 100 ml kuning pekat, IWL 120
ml, BAB 200 ml), Balance: +180 ml, BB 70 kg, TD 170/100 mmHg, Kulit kurang
elastis (kembali dalam > 3 detik), CRT > 3 detik, Ur 104 mg/dl, Cr 5.3 mg/dl,
Albumin 2.3 mg/dl. Edema terjadi karena klien mengalami retensi natrium dan air
akibat dari kerusakan ginjal yang mengakibatkan kemampuan ginjal terbatas untuk
mengeluarkan sodium kedalam urin. Selain itu, hipoalbumin erat kaitannya dengan
edema karena hipoalbumin menyebabkan menurunnya tekanan onkotik koloid yang
mempengaruhi perpindahan cairan ke intertitial akibatnya tidak ada yang menahan
cairan tetap berada di intravascular sehingga terjadi penurunan volume darah arteri
total dan efektif, sehingga stimulus untuk terjadinya retensi garam dan air tidak dapat
dikurangi sehingga tetap menyebabkan edema (Isselbacher et all, 2004).

Klien mengalami uremia atau sindrom uremik pada Tn. D merupakan salah satu
tanda bahwa klien sudah mengalami kerusakan ginjal tahap akhir/ End Stage Renal
Disease (ESRD). Hal ini karena pada gagal ginjal kronis stadium V fungsi ginjal
menurun dengan cepat yang dapat menyebabkan gangguan ekskresi urea dan kreatinin
sehingga urea dan kreatinin akan tertahan di dalam darah, hal ini akan menyebabkan
intoksikasi oleh urea dalam konsentrasi tinggi (uremia) serta kreatinin ynag tinggi
yang dapat menyebabkan perubahan terhadap fungsi biokimia dan fisiologis (Alper &
Sheneva, 2010).

Oleh sebab itu, klien dengan gagal ginjal tahap akhir stadium V ini memerlukan
terapi pengganti salah satunya hemodialisa yang juga dilakukan pada Tn. D. Hasil
pemeriksaan fisik klien juga ditemukan Kulit pucat, Konjungtiva anemis, Akral
dingin, CRT > 3 dtk, serta hasil pemeriksaan hematologi 28/1/2014:Hb 9.4 g/dl, Ht 27
%. Hal ini menunjukkan bahwa klien mengalami anemia. Anemia terjadi karena
gangguan produksi sel darah merah, penurunan rentang hidup SDM, dan peningkatan
kecendrungan perdarahan (akibat kerusakan fungsi trombosit) (Betz & Showen,
2009).

14
Klien juga mengeluh mual. Mual terjadi karena terjadi peningkatan ureum dalam
darah yang merangsang sekresi HCl sehingga menstimulasi sensasi mual pada klien.
Hasil pemeriksaan analisa gas darah ateri pada tanggal 27 januari 2014 klien
didapatkan pH : 7.137, pCO2: 17.4 mmHg, pO2 109.0 mmHg, HCO3: 5.9 mmol/l,
kelebihan O2 -20.4 mmol/l, dan saturasi oksigen 91,4%. Hal ini menunjukkan bahwa
klien mengalami asidosis metabolik. Ginjal diketahui berperan sebagai keseimbangan
asam basa. Pada klien dengan gagal ginjal kronis ini mengalami gangguan reabsorbsi
bikarbonat dan penurunan produksi amonia yang mengakibatkan terjadinya asidosis
metabolik (Betz & Showen, 2009).

b. Perumusan Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan berbeda dengan diagnosa psikiatrik medis dimana diagnosa


keperawatan adalah respon klien terhadap masalah medis atau bagaimana masalah
mempengaruhi fungsi klien sehari-hari yang merupakan perhatian utama diagnosa
keperawatan (Schultz & Videbeck dalam Nurjannah, 2005).

Penentuan diagnosa keperawatan dalam kasus Tn. D ini sudah dilakukan sesuai
dengan SOP baku diagnosa keperawatan sesuai NANDA, disesuaikan dengan data
subjektif dan objektif yang muncul pada klien. Dari data yang di dapatkan maka
diagnosa keperawatan yang diangkat yaitu kelebihan volume cairan, ketidakefektipan
perfusi jaringan perifer, serta ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.

c. Intervensi dan Implementasi Keperawatan

Intervensi dibuat berdasarkan diagnosa keperawatan yang muncul dan mengacu


pada Nursing Intevention Clasification (NIC ) yang disesuaikan dengan kondisi Tn. D.
Implementasi yang sudah dilakukan yaitu mengkaji adanya peningkatan JVP, edema,
dan asietes; mengukur TTV; memantau intake dan utput cairan; memantau turgor
kulit, mukosa bibir, dan haluaran urin; memantau albin serum, urum, dan kreatinin;
memonitor Hb, Ht, konjungtiva, keluhan, menginsfeksi luka ulkus di dekat ibu jari
kaki kanan; memotivasi klien menghabiskan makanan, memonitor BU dan BB klien,
memantau GDS, kalium, serta albumin; memberikan insulin novoravid 12 unit;
memberikan obat smecta 1 sachet dan KSR 600mg.

d. Evaluasi

Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang


menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan
implementasinya sudah berhasil dicapai. Evaluasi memungkinkan perawat untuk
memonitor kegiatan yang terjadi selama tahap pengkajian, analisis, perencanaan, dan
implementasi tindakan (Ignatavicus dan Bayne, 1994 dalam Effendi dan Makhfudli,
2009).

Tujuan evaluasi adalah melihat kemampuan klien dalam mencapai tujuan. Hal ini
bisa dilaksanakan dengan mengadakan hubungan dengan klien berdasarkan respon

15
klien terhadap tindakan keperawatan sehingga perawat dapat mengambil keputusan
(Effendi dan Makhfudli, 2009).

Proses evaluasi terdiri dari dua tahap, yaitu mengukur pencapaian tujuan klien
serta gejalanya; dan membandingkan data yang terkumpul dengan tujuan dan
pencapaian tujuan (Effendi dan Makhfudli, 2009).

Hasil evaluasi yang didapat dari Tn. D meliputi data subjektif dan data objektif.
Sampai pada tanggal 2 Februari 2014 : klien mengatakan bengkak di kedua tangan dan
kaki serta wajah sudah berkurang, urin masih sedikit dan pekat masih pusing, BAB 2
kali kuning cair, makanan habis satu porsi, tidak mual lagi; data objektif didapatkan
edema (+) di wajah, kaki, dan tangan, JVP 5+1, S: 36, 8 oC, intake 300 ml, output
cairan 165 ml balance +135, turgor kulit<3 detik, mukosa bibir lembab, CRT 3 detik,
akral hangat, konjungtiva anemis, BU 10x/menit, GDS 326 g/dl, muntah (-) sehingga
masalah kelebihan volue cairan teratasi sebagian, ketidakefektifan perfusi jaringan
perifer teratasi sebagian, dan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
juga teratasi sebagian.

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Gagal Ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal mengalami
penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam hal
penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat
kimia tubuh seperti sodium dan kalium didalam darah atau produksi urine.

Etiologi gagal ginjal antara lain meliputi : Infeksi, peradangan, hipertensi, diabetes
militus, gout, penyalahgunaan analgesic.

5.2 Saran

Sebagai perawat seharusnya kita memiliki keterampilan yang mumpuni dalam


mengatasi kasus – kasus dengan tingkat kegawatan yang tinggi. Oleh sebab itu
perawat dianjurkan mengikuti banyak pelatihan-pelatihan terkait dengan penanganan
kegawat daruratan.

16
17
DAFTAR PUSTAKA

Brooker,Chris.2008. Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta : EGC

Boswick, John A. 2001. Perawatan Gawat Darurat. Jakarta : EGC

Hudak, Carolyn H. 2002. Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik. Jakarta : EGC.

Krisanty, Paula. 2009. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta : CV Trans


Infomedia.

Lumenta, Nico A, dkk. 1992. Penyakit Ginjal. Jakarta : Gunung Mulia.

Smeltzer,C.Suzanne&Bare,G.Brenda. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-bedah.Edisi


8 volume2.Jakarta:EGC

Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D. 2002. Gagal Ginjal Kronik. Jakarta : FKUI

Reza, Syahbandi. 2013. “ASKEP gagal ginjal Ners_Nurse Blog”, (online),


(http://nersrezasyahbandi.blogspot.com/2013/04/vbehaviorurldefaultvmlo.html?
m=1)diaksestanggal 28 september 2014.

18

Anda mungkin juga menyukai