Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH PEMBERDAYAAN

KELUARGA DALAM PRAKTIK


KEBIDANAN

DOSEN PENGAMPU : Hj. Isnaniah, S.ST, M.Pd

Disusun Oleh Kelompok 6 :

Aulia Rahmah P07124118173


Maria Ulfah P07124118207
Maulanda Febriyanty P07124118209
Tiara Salsabilla P07124118252

KELAS : 3B

PRODI D3 KEBIDANAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KSEHATAN
BANJARMASIN
TAHUN AKADEMIK 2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT.atas segala kemampuan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Makalah ini
dengan lancar pada mata kuliah Pemberdayaan Keluarga dalam Praktik Kebidanan.
Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT. atas segala rahmat dan
karunia-Nya, serta tak lupa sholawat dan salam kepada junjungan Nabi Besar
Muhammad SAW atas petunjuk dan risalah-Nya, yang telah membawa zaman
kegelapan kezaman terang benderang, dan atas doa restu dan dorongan dari berbagai
pihak-pihak yang telah membantu penulis memberikan referensi dalam pembuatan
makalah ini.
Penulis dapat menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun khususnya dari dosen penanggung jawab mata kuliah agar dalam
pembuatan makalah berikutnya bisa lebih sempurna. Demikian yang dapat kami
sampaikan, semoga melalui makalah ini dapat memberikan manfaat dan wawasan bagi
kita semua.
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.................................................................................................... i
Daftar Isi.............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang........................................................................................... 1
1.2 Tujuan.................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................... 2
2.1.Konsep Pembentukan Keluarga.................................................................... 2
2.2. Sistem Keluarga Serta Elemen Keluarga................................................... 15
BAB III PENUTUP............................................................................................. 23
3.1. Kesimpulan................................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 24
BAB II
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Konsep pembentukan keluarga dimulai dari keluarga itu sendiri, dimana
definisi keluarga ialah dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah
tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi. Mereka saling
berinteraksi satu dengan yang lainnya, mempunyai peran masingmasing dan
menciptakan serta mempertahankan suatu budaya. (Baylon dan Maglaya di
kutip oleh Murwani Arita, 2007).
Dan adapun sistem keluarga atau elemen yang mencakup keluarga itu
sendiri itu merupakan kumpulan dari beberapa bagian fungsional yang
saling berhubungan dan tergantung satu dengan yang lain dalam waktu
tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Pada prinsipnya, setiap sistem selalu terdiri atas empat elemen, yaitu:
Objek, yang dapat berupa bagian, elemen, ataupun variabel. Ia dapat benda
fisik, abstrak, ataupun keduanya sekaligus; tergantung kepada sifat sistem
tersebut. Atribut, yang menentukan kualitas atau sifat kepemilikan sistem dan
objeknya. Hubungan internal, di antara objek-objek di dalamnya. Lingkungan,
tempat di mana sistem berada.

B. TUJUAN
Tujuan dari makalah adalah ini adalah agar Mahasiswa mampu
memahami Konsep Pembentukan Kelurga dan Sistem Keluarga atau Elemen
Keluarga di Mata Kuliah Pemberdayaan Masyarakat dalam PraktikKebidanan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. KONSEP PEMBENTUKAN KELUARGA


1. Definisi Keluarga
Keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah
tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi. Mereka saling
berinteraksi satu dengan yang lainnya, mempunyai peran masingmasing dan
menciptakan serta mempertahankan suatu budaya. (Baylon dan Maglaya di
kutip oleh Murwani Arita, 2007).
Menurut Undang-Undang No. 10 tahun 1992 disebutkan bahwa keluarga
adalah unit terkecil dari masyarakat, yang terdiri dari suami, istri dan anak atau
ayah, ibu, anak.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik keluarga
adalah:
a. Terdiri dari atau lebih individu yang diikat oleh hubungan perkawinan.
b. Anggota keluarga biasanya hidup bersama atau jika terpisah mereka tetap
memperhatikan satu sama lain.
c. Anggota keluarga berinteraksi satu sama lain dan masing-masing
mempunyai peran sosial suami, istri, anak, kakak, adik.
d. Mempunyai tujuan : menciptakan dan memperthankan budaya, dan.
meningkatkan perkembangan fisik, psikologis, dan sosial anggota.
(Friedman, 1998 )
2. Fungsi Keluarga
Friedman, (1998) mengidentifikasikan lima fungsi dasar keluarga,
sebagai berikut:
a. Fungsi afektif
Fungsi afektif berhubungan erat dengan fungsi internal keluarga,
yang merupakan basis kekuatan keluarga. Fungsi afektif berguna untuk
pemenuhan kebutuhan psikososial. Keberhasilan melaksanakan fungsi
afektif tampak pada kebahagian dan kegembiraan dari seluruh anggota
keluarga. Tiap anggota keluarga saling mempertahankan iklim yang
positif. Hal tersebut dapat dipelajari dan dikembangkan melalui interaksi
dan hubungan dalam keluarga. Dengan demikian, keluarga yang berhasil
melaksanakan fungsi afektif, seluruh anggota keluarga dapat
mengembangkan konsep diri positif. Komponen yang perlu afektif adalah
1) Saling mengasuh
cinta kasih, kehangatan, saling menerima, saling mendukung
antar anggota keluarga, mendapatkan kasih sayang dan dukungan dari
anggota yang lain. Maka, kemampuan untuk memberikan kasih
sayang akan meningkat, yang pada akhirnya tercipta hubungan yang
hangat dan saling mendukung. Hubungan intim didalam keluarga
merupakan modal dasar dalam memberi hubungan dengan orang lain
diluar keluaraga/masyarakat.
2) Saling menghargai
Bila anggota keluarga saling menghargai dan mengakui
keberadaan dan hak setiap anggota keluarga serta selalu
mempertahankan iklim yang positif, maka fungsi afektif akan tercapai.
3) Ikatan dan identifikasi
ikatan keluarga dimulai sejak pasangan sepakat memulai hidup
baru. Ikatan antar anggota keluarga dikembangkan melalui
prosesidentifikasi dan penyesuaian pada berbagai aspek kehidupan
anggota keluarga. Orang tua harus mengembangkan proses
identifikasi yang positif sehingga anak-anak dapat meniru tingkah
laku yang positif dari kedua orang tuanya.
b. Fungsi Sosialisasi
Sosialisasi dimulai sejak manusia lahir. Keluarga merupakan tempat
individu untuk belajar bersosialisasi, misalnya anak yang baru lahir dia
akan menatap ayah, ibu, dan orang-orang yang di sekitarnya. Kemudian
beranjak balita dia belajar bersosialisasi dengan lingkungan sekitar
meskipun demikian keluarga tetap berperan penting dalam bersosialisasi.
Keberhasilan perkembangan individu dan keluarga dicapai melalui
interaksi atau hubungan antar anggota keluarga yang diwujudkan dalam
sosialisasi. Anggota keluarga belajar displin, belajar norma-norma,
budaya, dan perilaku melalui hubungan dan interaksi keluarga.
c. Fungsi Reproduksi
Keluarga berfungsi untuk meneruskan keturunan dan menambah
sumber daya manusia. Maka dengan ikatan suatu perkawinan yang sah,
selain untuk memenuhi kebutuhan biologis pada pasangan tujuan untuk
membentuk keluarga adalah untuk meneruskan keturunan.
d. Fungsi Ekonomi
Fungsi ekonomi merupakan fungsi keluarga untuk memnuhi
kebutuhan seluruh anggota keluarga seperti memenuhi kebutuhan akan
makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Banyak pasangan sekarang kita
lihat dengan penghasilan yang tidak seimbang antara suami dan istri hal ini
menjadikan permasalahan yang berujung pada perceraian.
e. Fungsi Perawatan Kesehatan
Keluarga juga berperan atau berfungsi untuk melaksanakan praktek
asuhan kesehatan, yaitu untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan
dan atau merawat anggota keluarga yang sakit. Kemampuan keluarga
dalam memberikan asuhan kesehatan mempengaruhi status kesehatan
keluarga. Kesanggupan keluarga melaksanakan pemeliharaan kesehatan
dapat dilihat dari tugas kesehatan keluarga yang dilaksanakan. Keluarga
yang dapat melaksanakan tugas kesehatan berarti sanggup menyelesaikan
masalah kesehatan.Tugas kesehatan keluarga adalah sebagai berikut:
(Friedman, 1998)
1) Mengenal masalah kesehatan.
2) Membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat.
3) Memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit
4) Mempertahankan atau menciptakan suasana rumah yang sehat.
5) Mempertahankan pelayanan dengan menggunakan fasilitas kesehatan
masyarakat.
3. Tipe Keluarga
Agar dapat mengupayakan peran serta keluarga dalam meningkatkan
derajat kesehatan maka perawat perlu mengetahui berbagai tipe
keluarga.Berikut ini akan disampaikan berbagai tipe keluarga:
a. Tipe Keluarga Tradisisonal
1) Keluarga Inti, yaitu suatu rumah tangga yang terdiri dari suami, istri,
dan anak (kandung atau angkat).
2) Keluarga Besar, yaitu keluarga inti ditambah dengan keluarga lain
yang mempunyai hubungan darah, misalnya: kakek, nenek,
keponakan, paman, bibi.
3) Keluarga “Dyad”, yaitu suatu rumah tangga yang terdiri dari suami
dan istri tanpa anak.
4) “Single Parent”, yaitu rumah tangga yang terdiri dari satu orang tua
(ayah/ibu) dengan anak (kandung/angkat). Kondisi ini dapat
disebabkan oleh perceraian atau kematian.
5) “Single Adult”, yaitu suatu rumah tangga yang hanya terdiri seorang
dewasa (misalnya seorang yang telah dewasa kemudian tinggal kost
untuk bekerja atau kuliah).
b. Tipe Keluarga Non Tradisional
1) “Commune family”, yaitu lebih satu keluarga tanpa pertalian darah
hidup serumah.
2) Orang tua (suami-istri) yang tidak ada ikatan perkawinan dan anak
hidup dalam satu rumah tangga.
3) “Homoseksual”, yaitu dua individu yang sejenis (laki-laki) hidup satu
rumah tangga.

4. Tahap-Tahap Perkembangan Keluarga


Tahap perkembangan keluarga dibagi sesuai dengan kurun waktu tertentu
yang dianggap stabil, misalnya keluarga dengan anak pertama berbeda dengan
keluarga dengan remaja. Menurut Rodgers Friedman, (1998) dikutip oleh
Murwani Arita (2007). meskipun setiap keluarga melalui tahapan
perkembangan secara unik, namun secara umum seluruh keluarga mengikuti
pola yang sama. Tiap tahap perkembangan membutuhkan tugas atau fungsi
keluarga agar dapat melalui tahap tersebut dengan sukses. Pada makalah ini
akan diuraikan perkembangan keluarga berdasarkan konsep Duvall dan Miller
Friedman, (1998)
a. Tahap I. Pasangan Baru (Keluarga Baru)
Keluarga baru dimulai saat masing-masing individu laki-laki (suami)
dan perempuan (istri) membentuk keluarga melalui perkawinan yang sah
dan meninggalkan keluarga masing-masing. Karena masih banyak kita
temui keluarga baru yang tinggal dengan orang tua, maka yang dimaksud
dengan meninggalkan keluarga di sini bukanlah secara fisik. Namun secara
meninggalkan keluarga di sini bukanlah secara fisik. Namun secara
psikologis, keluarga tersebut sudah memiliki pasangan baru. Dua orang
yang membentuk keluarga perlu mempersiapkan kehidupan yang baru
karena keduanya membutuhkan penyesuaian peran dan fungsi sehari-hari.
Masing-masing belajar hidup bersama-sama serta beradaptasi dengan
kebiasaan sendiri dan pasangannya, misalnya kebiasaan makan, tidur,
bangun pagi. Dan sebagainya. Adapun tugas tahap perkembangan keluarga
pasangan baru yaitu :
1) Membina hubungan intim yang memuaskan
2) Membina hubungan dengan keluarga lain, teman, kelompok sosial
3) Mendiskusikan rencana anak
Keluarga baru ini merupakan anggota dari tiga keluarga, yaitu
keluarga suami, istri serta keluarga sendiri. Masing-masing pasangan
menghadapi perpisahan dengan keluarga orang tuanya dan mulai
membina hubungan baru dengan keluarga dan kelompok sosial
pasangan masing-masing. Hal lain yang perlu diputuskan pada tahap ini
adalah kapan waktu yang tepat untuk mendapatkan anak dan jumlah
anak yang diharapkan.
b. Tahap II. Keluarga “Child-bearing” (Kelahiran Anak Pertama)
Keluarga yang menantikan kelahiran dimulai dari kehamilan sampai
kelahiran anak pertama dan berlanjut sampai anak pertama berusia 30 bulan.
Kehamilan dan kelahiran bayi perlu dipersiapkan oleh pasangan suami istri
melalui beberapa tugas perkembangan yang penting.Tahap perkembangan
Keluarga “Child-bearing” (Kelahiran Anak Pertama) :
1) Persiapan menjadi orang tua.
2) Adaptasi dengan perubahan anggota keluarga: peran, interaksi, hubungan
seksual, dan kegiatan.
3) Mempertahankan hubungan yang memuaskan dengan pasangan.
Kelahiran bayi pertama memberi perubahan yang besar dalam keluarga,
sehingga pasangan harus beradaptasi dengan perannya untuk memenuhi
kebutuhan bayi. Sering terjadi dengan kelahiran bayi, pasangan merasa
diabaikan karena fokus perhatian kedua pasangan tertuju pada bayi.
Peran utama perawat keluarga adalah mengkaji peran orang tua,
bagaimana orang tua berinteraksi dan merawat bayi serta bagaimana bayi
berespon. Perawat perlu memfasilitasi hubungan orang tua dan bayi yang
positif dan hangat sehingga jalinan kasih sayang antara bayi dan orang
tua dapat tercapai.
c. Tahap III. Keluarga dengan Anak Prasekolah
Tahap ini dimulai saat kelahiran anak pertama berusia 2,5 tahun dan
berakhir saat anak berusia 5 tahun. Tahap perkembangan keluarga dengan
anak prasekolah, yaitu
1) Memenuhi kebutuhan anggota keluarga seperti kebutuhan tempat
tinggal , privasi dan rasa aman.
2) Membantu anak untuk bersosialisasi.
3) Beradaptasi dengan anak yang baru lahir sementara kebutuhan anak
yang lain juga harus terpenuhi.
4) Mempertahankan hubungan yang sehat baik di dalam maupun di luar
keluarga (keluarga lain dan lingkungan sekitar).
5) Pembagian waktu untuk individu, pasangan dan anak (tahap paling
repot).
6) Pembagian tanggung jawab anggota keluarga.
7) Kegiatan dan waktu untuk stimulasi tumbuh kembang anak).
Kehidupan keluarga pada tahap ini sibuk dan anak sangat
tergantung pada orang tua. Kedua orang tua harus mengatur waktunya
sedemikian rupa sehingga kebutuhan anak, suami, istri, dan pekerjaan
(purna waktu/paruh waktu) dapat terpenuhi. Orang tua menjadi arsitek
keluarga dalam merancang dan mengarahkan perkembangan keluarga
agar kehidupan perkawinan tetap utuh dan langgeng denga cara
menguatkan hubungan kerja sama antar suami istri. Orang tua
mempunyai peran untuk menstimulasi perkembangan individual anak
khususnya kemandirian anak agar tugas perkembangan anak pada fase
ini tercapai.
d. Tahap IV. Keluarga dengan Anak Sekolah
Tahap ini dimulai saat anak masuk sekolah pada usia enam tahun dan
berakhir pada usia 12 tahun. Pada fase ini umumnya keluarga mencapai
jumlah naggota keluarga maksimal, sehinga keluarga sangat sibuk. Selain
aktivitas di sekolah, masing-masing anak memiliki aktivitas dan minat
sendiri. Demikian pula orang tua yang mempunyai aktivitas yang berbeda
dengan anak. Untuk itu keluarga perlu bekerja sama untuk mencapai tugas
perkembangan. Tahap perkembangan keluarga dengan anak sekolah, yaitu
1) Membantu soisalisasi anak, tetangga, sekolah, dan lingkungan
2) Mempertahankan keintiman pasangan
3) Memenuhi kebutuhan dan biaya kehidupan yang semakin meningkat,
termasuk kebutuhan untuk meningkatkan kesehatan anggota keluarga
Pada tahap ini orang tua perlu belajar berpisah dengan anak, memberi
kesempatan pada anak untuk bersosialisasi baik aktivitas di sekolah
maupun luar sekolah.
e. Tahap V. Keluarga dengan Anak Remaja
Tahap ini dimulai pada saat anak pertama berusia 13 tahun dan
biasanya berakhir sampai 6-7 tahun kemudian, yaitu pada saat anak
meninggalkan rumah orang tuanya. Tujuan keluarga ini adalah melepas
anak remaja dan memberi tanggung jawab serta kebebasan yang lebih besar
untuk mempersiapkan diri menjadi lebih dewasa. Seperti pada tahap-tahap
sebelumnya, pada tahap ini keluarga memilki tugas perkembangan yang
dapat Tahap perkembangan Keluarga dengan Anak Remaja, yaitu
1) Memberikan kebebasan yang seimbang dengan tanggung jawab
mengingat remaja yang sudah bertambah dewasadan meningkatkan
otonominya.
2) Mempertahankan hubungan yang intim dalam keluarga
3) Mempertahankan komunikasi terbuka antara anak dan orang tua.
Hindari perdebatan, kecurigaan dan permusuhan
4) Perubahan sistem peran dan peraturan untuk tumbuh kembang keluarga
Ini merupakan tahapan yang paling sulit, karena orang tua
melepas otoritasnya dan membimbing anak untuk bertanggung jawab
(mempunyai otoritas terhadap dirinya sendiri yang berkaitan dengan
peran dan fungsinya). Seringkali muncul konflik antara orang tua dan
remaja karena anak menginginkan kebebasan untuk melakukan
aktivitasnya sementara orang tua mempunyai hak untuk mengontrol
aktivitas anak. Dalam hal ini orang tua perlu menciptakan komunikasi
yang terbuka, menghindari kecurigaan dan permusuhan sehingga
hubungan orang tua dan remaja tetap harmonis.
f. Tahap VI. Keluarga dengan Anak Dewasa (pelepasan)
Tahap ini dimulai pada saat anak yang terkhir meninggalkan rumah
dan berakhir pada saat terkhir meninggalkan rumah. Lamanya tahap ini
tergantung dari jumlah anak dalam keluarga atau jika ada anak yang belum
berkeluarga dan tetap tinggal bersam orang tua. Tujuan utama pada tahap ini
adalah mengorganisasi kembali keluarga untuk tetap berperan dalam
melepas anak untuk hidup sendiri. Tahap perkembangan. Keluarga dengan
Anak Dewasa, yaitu
1) Memperluas keluarga inti menjadi keluarga besar
2) Mempertahankan keintiman pasangan
3) Membantu orang tua suami/istri yang sedang sakit dan memasuki masa
tua
4) Membantu anak untuk mandrir di masyarakat
5) Pemantauan kembali peran dan kegiatan rumah tangga
Keluarga mempersipkan anaknya yang tertua untuk membentuk
keluarga sendiri dan tetap membantu anak terkahir untuk lebih mandiri.
Pada saat semua anak meninggalkan rumah, pasangan perlu menata
ulang dan membina hubungan suami istri seperti pada fase awal. Orang
tua akan merasa kehilangan peran dalam merawat anak dan merasa
‘kosong’ karena anak-anak sudah tidak tinggal serumah lagi. Untuk
mengatasi keadaan ini orang tua perlu melakukan aktivitas kerja,
meningkatkan peran sebagai pasangan, dan tetap memelihara hubungan
dengan anak.
g. Tahap VII. Keluarga Usia Pertengahan
Tahap ini dimulai pada saat anak yang terakhir meninggalkan rumah
dan berakhir saat pensiun atau salah satu pasangan meninggal. Pada
beberapa pasangan fase ini dirasakan sulit karena masalah lanjut usia,
perpisahan dengan anak dan perasaan gagal sebagai orang tua. Untuk
mengatasi hal tersebut keluarga perlu melakukan tugas-tugas
perkembangan. Tahap perkembangan keluarga usia pertengahan, yaitu
1) Mempertahankan kesehatan
2) Mempertahankan hubungan yang memuaskan dengan teman sebaya dan
anak-anak
3) Meningkatkan keakraban pasangan
Setelah semua anak meninggalkan rumah, maka pasangan
berfokus untuk mempertahankan kesehatan dengan berbagai aktivitas,
pola hidup yang sehat, diet seimbang, olah raga rutin, menikmati hidup
dan pekerjaan, dan sebagainya. Pasangan juga mempertahankan
hubungan dengan teman sebaya dan keluarga anaknya dengan cara
mengadakan pertemuan keluarga antar generasi (anak dan cucu)
sehingga pasangan dapat merasakan kebahagian sebagai kakek-nenek.
Hubungan antar pasangan perlu semakin dieratkan dengan
memperhatikan ketergantungan dan kemandirian masing-masing
pasangan.
h. Tahap VIII. Keluarga Usia Lanjut
Tahap terkhir perkembangan keluarga ini dimulai saat salah satu
pasangan pensiun, berlanjut salah satu pasangan meninggal sampai
keduanya meninggal. Proses lanjut usia dan pensiun merupakan realitas
yang tidak dapat dihindari karena berbagai stressor dan kehilangan yang
harus dialami keluarga. Stressor tersebut adalah berkurangnya pendapatan,
kehilangan berbagai hubungan sosial, kehilangan pekerjaan, serta perasaan
menurunnya produktivitas dan fungsi kesehatan. Dengan memenuhi tugas-
tugas perkembangan pada fase ini diharapkan orang tua mampu beradaptasi
menghadapi stressor tersebut. Tahap perkembangan keluarga usia lanjut,
yaitu
1) Mempertahankan suasana rumah yang menyenangkan.
2) Adaptasi dengan perubahan kehilangan pasangan, teman, kekuatan
fisik, dan pendapatan.
3) Mempertahankan keakraban suami istri dan saling merawat.
4) Mempertahankan hubungan dengan anak dan sosial masyarakat.
5) Melakukan ‘live review’.
Mempertahankan penataan kehidupan yang memuaskan
merupakan tugas utama keluarga pada tahap ini. Lanjut usia umumnya,
lebih dapat beradaptasi tinggal di rumah sendiri daripada tinggal
bersama anaknya. Wanita yang tinggal dengan pasangannya
memperlihatkan adaptasi yang lebih positif dalam memasuki masa
tuanya dibandingkan wanita yang tinggal dengan sebayanya. Orang tua
juga perlu melakukan ‘life review’ dengan mengenang pengalaman
hidup dan keberhasilan di masa lalu. Hal ini berguna agar orang tua
merasakan bahwa hidupnya berkualitas dan berarti.
B. SISTEM KELUARGA SERTA ELEMEN KELUARGA
1. Pengertian Sistem
Sistem berasal dari bahasa Latin (systēma) dan bahasa
Yunani (sustēma) yang berarti suatu kesatuan yang terdiri atas
komponen atau elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan
aliran informasi, materi atau energi. Sistem merupakan kumpulan dari
beberapa bagian fungsional yang saling berhubungan dan tergantung satu
dengan yang lain dalam waktu tertentu untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
2. Elemen Dalam Sistem
Pada prinsipnya, setiap sistem selalu terdiri atas empat elemen, yaitu:
1) Objek, yang dapat berupa bagian, elemen, ataupun variabel. Ia dapat benda
fisik, abstrak, ataupun keduanya sekaligus; tergantung kepada sifat sistem
tersebut.
2) Atribut, yang menentukan kualitas atau sifat kepemilikan sistem dan
objeknya.
3) Hubungan internal, di antara objek-objek di dalamnya.
4) Lingkungan, tempat di mana sistem berada.

3. Karakteristik Sistem
1) Komponen Sistem (Components)
Suatu sistem terdiri dari sejumlah komponen yang saling
berinteraksi, yang artinya saling bekerja sama membentuk satu kesatuan.
Komponen-komponen sistem atau elemen-elemen sistem dapat berupa
suatu subsistem atau bagian-bagian dari sistem. Setiap sistem tidak peduli
betapapun kecilnya, selalu mengandung komponen-komponen atau
subsistem-subsistem. Setiap subsistem mempunyai sifat-sifat dari sistem
untuk menjalankan suatu fungsi tertentu dan mempengaruhi proses sistem
secara keseluruhan. Jadi, dapat dibayangkan jika dalam suatu sistem ada
subsistem yang tidak berjalan / berfungsi sebagaimana mestinya, tentunya
sistem tersebut tidak akan berjalan mulus atau mungkin juga sistem
tersebut rusak sehingga dengan sendirinya tujuan sistem tersebut tidak
tercapai.
2) Batas Sistem (Boundary)
Merupakan daerah yang membatasi antara suatu sistem dengan
sistem yang lainnya atau dengan lingkungan luarnya. Atau menurut Azhar
Susanto, batas sistem merupakan garis abstraksi yang memisahkan antara
sistem dan lingkungannya. Batas sistem ini bagi setiap orang sangat relatif
dan tergantung kepada tingkat pengetahuan dan situasi kondisi yang
dirasakan oleh orang yang melihat sistem tersebut. Batas sistem ini
memungkinkan suatu sistem dipandang sebagai satu kesatuan. Batas suatu
sistem nenunjukan ruang lingkup (scope) dari sistem tersebut.
3) Lingkungan Luar Sistem (Environments)
Lingkungan luar dari suatu sistem adalah apapun diluar batas dari
sistem yang mempengaruhi operasi sistem. Lingkungan luar sistem dapat
bersifat menguntungkan dan dapat juga bersifat merugikan sistem tersebut.
Lingkungan luar yang menguntungkan merupakan energi dari sistem dan
dengan demikian harus tetap dijaga dan dipelihara. Sedang lingkungan luar
yang merugikan harus ditahan dan dikendalikan, kalau tidak maka akan
mengganggu kelangsungan hidup dari sistem.
4) Penghubung (Interface) Sistem
Penghubung sistem merupakan media penghubung anatara satu
subsistem dengan subsistem lainnya. Melalui penghubung ini
memungkinkan sumber-sumber daya mengalir dari satu subsistem ke yang
lainnya. Keluaran output dari satu subsistem akan menjadi masukan
(input) untuk subsistem lainnya dengan melalui penghubung. Dengan
penghubung satu subsistem dapat berintegrasi dengan subsistem yang
lainnya membentuk satu kesatuan.
5) Masukan (Input) Sistem
Masukan sistem adalah energi yang dimasukkan kedalam sistem.
Masukan dapat berupa masukan perawatan (maintenance input) dan
masukan sinyal (signal input). Maintenance input adalah energi yang
dimasukan supaya sistem tersebut dapat beroperasi. Signal input adalah
energi yang diproses untuk didapatkan keluaran. Sebagai contoh didalam
sistem komputer, program adalah maintenance input yang digunakan
untuk mengoperasikan komputernya dan data adalah signal input untuk
diolah menjadi informasi.
6) Keluaran (Output) Sistem
Keluaran sistem adalah hasil dari energi yang diolah dan
diklasifikan menjadi keluaran yang berguna dan sisi pembuangan.
Keluaran dapat merupakan masukan untuk subsistem yang lain atau
kepada supersistem. Misalnya untuk sistem computer, panas yang
dihaislkan adalah keluaran yang tidak berguna dan merupakan hasil sisa
pembuangan, sedang informasi adalah keluaran yang dibutuhkan.
7) Pengolah (Process) Sistem
Suatu sistem dapat mempunyai suatu bagian pengolah yang akan
merubah masukan menjadi keluaran. Suatu sistem produksi akan
mengolah masukan berupa bahan baku dan bahan-bahan yang lain menjadi
keluaran berupa barang jadi. Sistem akuntansi akan mengolah data-data
transaksi menjadi laporan-laporan keuangan dan laporan-lpaoran lain yang
dibutuhkan oleh manajemen.
8) Sasaran (Objectives) atau Tujuan (Goal)
Tujuan Sistem merupakan target atau sasaran akhir yang ingin
dicapai oleh suatu sistem. Suatu sistem pasti mempunyai tujuan atau
sasaran. Kalau suatu sistem tidak mempunyai sasaran, maka operasi sistem
tidak akan ada gunanya. Sasaran dari sistem sangat menentukan sekali
masukan yang dibutuhkan sistem dan keluaran yang akan dihasilkan
sistem. Suatu sistem dikatakan berhasil bila mengenai sasaran atau
tujuannya.
4. Keluarga Sebagai Suatu Sistem
Menurut Klein dan White (1996) sistem diartikan sebagai suatu set objek,
dan relasi antar objek tersebut dengan atribut-atributnya, berdasarkan asumsi:
a. elemen sistem saling berhubungan
b. sistem hanya dapat dimengerti sebagai keseluruhan,
c. seluruh sistem mempengaruhi dan dipengaruhi lingkungannya, dan
d. sistem bukan sesuatu yang nyata. Sedangkan menurut Winton (1995),
sistem merupakan unit yang dibatasi aturan, dan terdiri dari bagian-bagian
yang saling berhubungan dan saling ketergantungan.

Konsep sistem dijabarkan lebih lanjut dari ciri-cirinya yaitu (Kingsbury


& Scanzoni dalam Boss, et al.,1993) :
a. memiliki diferensiasi atau sosialisasi jenis peran,
b. peran diatur atau diorganisasi melalui serangkaian nilai dan norma yang
menetapkan hak dan kewajiban seorang pelaku kepada yang lainnya, atau
kepada masyarakat,
c. pemeliharaan lingkungan, individu internal lebih terikat kuat dibandingkan
dengan individu luar, dan
d. sistem sosial memiliki suatu kecenderungan menuju keseimbangan atau
homoestasis.

Kajian pustaka yang dilakukan Megawangi, Zeitlin, & Kramer dalam


Zeitlin et al., (1995), keluarga sebagai sistem diartikan sebagai unit sosial
dimana individu terlibat secara intim didalamnya, dibatasi oleh aturan
keluarga, terdapat hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi antar
anggota keluarga setiap waktu (Walker & Crocker, 1988). Namun demikian
menurut Kreppner dan Lerner (1989) terdapat beberapa perbedaan perspektif
terhadap keluarga sebagai sistem itu sendiri. Perbedaan perspektif tersebut
adalah keluarga lebih dipandang sebagai :
a. suatu sistem interaksi umum anggota keluarga,
b. suatu seri interaksi yang dilakukan dua pihak (diadic),
c. sejumlah interaksi antara seluruh subkelompok keluarga : diadic, triadic,
dan tetradic, serta
d. sistem hubungan internal keluarga sebagai reaksi terhadap sistem sosial
yang lebih luas.
Dibandingkan kelompok asosiasi lainnya, keluarga memiliki “daya
hidup” lebih lama, serta hubungan biologi dan intergenerasi yang berkaitan
dengan ikatan kekerabatan yang lebih luas (Klein & White,1996).
Pendekatan keluarga sebagai sistem didasarkan pada teori struktural
fungsional yang berlandaskan empat konsep yaitu : sistem, struktur sosial,
fungsi, dan keseimbangan. Teori ini membahas bagaimana perilaku seseorang
dipengaruhi orang lain dan oleh institusi sosial, dan bagaimana perilaku
tersebut pada gilirannya mempengaruhi orang lain dalam proses aksi-reaksi
berkelanjutan. Teori ini memandang tidak ada individu dan sistem yang
berfungsi secara independen, melainkan dipengaruhi dan pada gilirannya
mempengaruhi orang lain atau sistem lain (Winton, 1995).
Teori struktural fungsional mengakui adanya keragaman dalam
kehidupan sosial, yang merupakan sumber utama struktur masyarakat
(Megawangi, 1999). Pandangan penganut teori struktural fungsional yang
melihat sistem sosial sebagai sistem yang harmonis, berkelanjutan dan
senantiasa menuju keseimbangan, berlawanan dengan pandangan penganut
teori konflik sosial.
Teori konflik sosial memandang konflik sebagai sesuatu hal yang
alamiah, normal, dan tidak dapat dielakkan dalam seluruh sistem sosial,
bahkan konflik dianggap sebagai sumber motivasi yang dibutuhkan untuk
perubahan. Konflik ada dimana-mana, dalam semua jenis interaksi sosial, dan
pada seluruh tingkat organisasi sosial. Bahkan konflik dipandang sebagai
elemen dasar kehidupan sosial manusia dan keberlangsungan sistem (Winton,
1995; Klein & White, 1996; Farrington & Chertok dalam Boss, et al., 1993).

5. Aplikasi Konsep Sistem Dalam Keluarga


Berdasarkan teori pendekatan keluarga sebagai suatu sistem, aplikasi
konsep sistem dalam keluarga akan dibagi berdasarkan dua teori tersebut.
Salah satu teori yang melandasi studi keluarga diantaranya adalah Teori
Struktural-fungsional/ Teori Sistem.
Pendekatan teori sosiologi struktural-fungsional biasa digunakan oleh
Spencer dan Durkheim yang menyangkut struktur (aturan pola sosial) dan
fungsinya dalam masyarakat (Skidmore 1979; Spencer dan Inkeles 1982;
Turner 1986; Schwartz dan Scott 1994; Macionis 1995; Winton 1995) dan
pada kehidupan sosial secara total (McQuarie 1995). Penganut pandangan
teori struktural-fungsional melihat sistem sosial sebagai suatu sistem yang
seimbang, harmonis dan berkelanjutan. Aplikasi Struktural Fungsional dalam
Keluarga :
a. Berkaitan dengan pola kedudukan dan peran dari anggota keluarga tersebut,
hubungan antara orangtua dan anak, ayah dan ibu, ibu dan anak perempuannya,
dll.
b. Setiap masyarakat mempunyai peraturan-peraturan dan harapan-harapan yang
menggambarkan orang harus berperilaku.
c. Tipe keluarga terdiri atas keluarga dengan suami istri utuh beserta anak-anak
(intact families), keluarga tunggal dengan suami/istri dan anak-anaknya (single
families), keluarga dengan anggota normal atau keluarga dengan anggota yang
cacat, atau keluarga berdasarkan tahapannya, dan lain-lain.
d. Aspek struktural menciptakan keseimbangan sebuah sistem sosial yang tertib
(social order). Ketertiban keluarga akan tercipta kalau ada struktur atau strata
dalam keluarga, dimana masing-masing mengetahui peran dan posisinya dan
patuh pada nilai yang melandasi struktur tersebut.
e. Terdapat 2 (dua) Bentuk keluarga yaitu: (1) Keluarga Inti (nuclear family), dan
(2) Keluarga Luas (extended family).
f. Struktur dalam keluarga dapat dijadikan institusi keluarga sebagai sistem
kesatuan dengan elemen- elemen utama yang saling terkait:
1) Status sosial: Pencari nafkah, ibu rumahtangga, anak sekolah, dan
lain-lain.
2) Fungsi dan peran sosial: Perangkat tingkah laku yang diharapkan
dapat memotivasi tingkah laku seseorang yang menduduki status
sosial tertentu (peran instrumental/ mencari nafkah; peran emosional
ekspresif / pemberi cinta, kasih sayang.
3) Norma sosial: Peraturan yang menggambarkan bagaimana sebaiknya
seseorang bertingkah laku dalam situasi tertentu.

Teori konflik sosial muncul pada Abad ke-18 dan 19 sebagai respon dari
lahirnya dual revolution, yaitu demokratisasi dan industrialisasi, sehingga
kemunculan sosiologi konflik modern, di Amerika khususnya, merupakan
pengikutan, atau akibat dari, realitas konflik dalam masyarakat Amerika (Mc
Quarrie 1995). Teori konflik sosial mulai populer pada Tahun 1960an sejalan
dengan gelombang kebebasan individu di Barat, tetapi sebetulnya telah
berkembang sejak Abad 17.
Selain itu teori sosiologi konflik adalah alternatif dari ketidakpuasaan
terhadap analisis fungsionalisme struktural Talcott Parsons dan Robert K.
Merton, yang menilai masyarakat dengan paham konsensus dan
integralistiknya. Beberapa kritikan terhadap teori struktural-fungsional
berkisar pada sistem sosial yang berstruktur, dan adanya perbedaan fungsi
atau diferensiasi peran (division of labor). Institusi keluarga dalam perspektif
struktural-fungsional dianggap melanggengkan kekuasaan yang cenderung
menjadi cikal bakal timbulnya ketidakadilan dalam masyarakat. Dengan
demikian:
a. Teori struktural fungsional lebih dijadikan pegangan untuk keluarga
konservatif.
b. Teori konflik sosial lebih dijadikan pegangan bagi keluarga kontemporer.
c. Contoh-contoh konflik dalam keluarga:
1) Konflik peran suami dan istri di dalam keluarga.
2) Konflik komunikasi antara suami dan istri atau antara orangtua dan
anak.
3) Konflik kelas dalam masyarakat (kelas borjuis vrsus proletar; kelas
gender; kelas sosial ekonomi)
4) Konflik antara keluarga inti dan keluarga luasnya.
Contoh perbedaan pendekatan praksis/aplikasi teori struktural fungsional dan
sosial-konflik dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
Pendekatan Teori
Kasus/ Masalah Pendekatan Teori Konflik
Struktural
Keluarga Sosial
Fungsional/ Sistem
Penyimpangan perilaku Dianggap sebagai penyakit Dianggap sebagai dinamika
masyarakat yang harus
(deviance) diluruskan masyarakat yang normal, dan
sesuai dengan norma-norma
lama harus diwadahi sesuai dengan
yang dianut bergenerasi. dinamika masyarakat sebagai
norma yang baru
Harus dikawinkan (siap tidak
Perilaku free sex siap, Boleh saja living
suka tidak suka), dihukum
secara together/cohabitation, sebagai
adat. norma yang baru muncul; tidak
harus menikah kalau belum siap
Hubungan gay dan lesbian Dianggap sebagai penyakit Dianggap sebagai dinamika
masyarakat yang harus
diluruskan masyarakat yang normal, dan
(disembuhkan secara spiritual/ harus diwadahi (harus ada
perkawinan gay & lesbian);
psikologis). harus
ada hukum baru
Kasus perceraian Sebisa mungkin dihindarkan; Cerai merupakan gejala normal
Salah satu agama tidak dalam masyarakat, buat apa
memperbolehkan bercerai
seumur dipertahankan.
Hidup
Perkawinan antar agama Tidak diperboleh; Diperbolehkan, agama sendiri-
sendiri antara suami dan istri
Ada aturan yang sangat ketat atau
kesepakatan bersama memilih
salah satu agama.
Didasarkan kesetaraan/egaliter
Peran gender Didasarkan sistem patriarki; dan
keluarga adalah sangat penting; keadilan; keluarga tidak penting
ada kemapanan sistem. bahkan anti keluarga; anti
Kemapanan
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Konsep pembentukan keluarga dimulai dari keluarga itu sendiri, dimana definisi
keluarga ialah dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena
adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi. Mereka saling berinteraksi satu
dengan yang lainnya, mempunyai peran masingmasing dan menciptakan serta
mempertahankan suatu budaya. (Baylon dan Maglaya di kutip oleh Murwani Arita,
2007).
Konsep pembentukan keluarga tidak terlepas dari fungsi utamanya misalnya,
Fungsi afektif berhubungan erat dengan fungsi internal keluarga, yang merupakan
basis kekuatan keluarga. Fungsi afektif berguna untuk pemenuhan kebutuhan
psikososial. Fungsi Sosialisasi dimulai sejak manusia lahir. Keluarga merupakan
tempat individu untuk belajar bersosialisasi, misalnya anak yang baru lahir dia akan
menatap ayah, ibu, dan orang-orang yang di sekitarnya.
Dan adapun sistem keluarga atau elemen yang mencakup keluarga itu sendiri itu
merupakan kumpulan dari beberapa bagian fungsional yang saling berhubungan
dan tergantung satu dengan yang lain dalam waktu tertentu untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan.
Daftar Pustaka

Puspitawati, H. 2012. Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Indonesia. PT IPB
Press. Bogor.

Arita, Murwani. 2007.Asuhan Keperawatan Keluarga Konsep Dan Aplikasi Kasus,


Jokjakarta Mitra : Cendikia Press

Friedman, Marlyn. M, 1998, Keperawatan Keluarga, Edisi 3, Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai