Anda di halaman 1dari 4

Biografi Muhammad Zainuddin Abdul Madjid

Mawlānāsysyāikh Tuan Guru Kyai Hajjī Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd (lahir di
Bermi, Pancor, Selong, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 5 Agustus 1898 – meninggal
di Pancor, Selong, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 21 Oktober 1997 pada umur 99 tahun)
adalah seorang ulama karismatis dari Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat dan merupakan
pendiri Nahdlatul Wathan, organisasi massa Islām terbesar di provinsi tersebut. Di pulau
Lombok, Tuan Guru merupakan gelar bagi para pemimpin agama yang bertugas untuk
membina, membimbing dan mengayomi umat Islām dalam hal-hal keagamaan dan sosial
kemasyarakatan, yang di Jawa identik dengan Kyai.

Kelahiran
'Al-Mukarram Mawlānāsysyāikh Tuan Guru Kyai Hajji Muhammād Zainuddīn Abdul
Madjīd' dilahirkan di Kampung Bermi, Pancor, Selong, Lombok Timur, Nusa Tenggara
Barat pada tanggal 17 Rabiul Awwal 1316 Hijriah bertepatan dengan tanggal
5 Agustus 1898 Masehi dari perkawinan Tuan Guru Hajjī Abdul Madjīd (beliau lebih akrab
dipanggil dengan sebutan Guru Mu'minah atau Guru Minah) dengan seorang wanita shālihah
bernama Hajjah Halīmah al-Sa'dīyyah.[1]
Nama kecil beliau adalah 'Muhammād Saggāf', nama ini dilatarbelakangi oleh suatu peristiwa
yang sangat menarik untuk dicermati, yakni tiga hari sebelum dilahirkan, ayahandanya, TGH.
Abdul Madjīd, didatangi dua walīyullāh, masing-masing dari Hadhramaũt dan Maghrabī. Kedua
walīyullāh itu secara kebetulan mempunyai nama yang sama, yakni "Saqqāf". Beliau berdua
berpesan kepada TGH. Abdul Madjīd supaya anaknya yang akan lahir itu diberi nama "Saqqāf",
yang artinya "Atapnya para Wali pada zamannya". Kata "Saqqāf" di Indonesiakan menjadi
"Saggāf" dan untuk dialek bahasa Sasak menjadi "Segep". Itulah sebabnya beliau sering
dipanggil dengan "Gep" oleh ibu beliau, Hajjah Halīmah al-Sa'dīyyah.
Setelah menunaikan ibadah hajjī, nama kecil beliau tersebut diganti dengan 'Hajjī Muhammād
Zainuddīn'. Nama inipun diberikan oleh ayah beliau sendiri yang diambil dari nama seorang
'ulamā' besar yang mengajar di Masjīd al-Harām. Akhlāq dan kepribadian ulamā' besar itu
sangat menarik hati ayahandanya. Nama ulamā' besar itu adalah Syaīkh Muhammād Zainuddīn
Serawak, dari Serawak, Malaysia.
Pendidikan
Maulānāsysyāikh TGKH. Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd menuntut ilmu pengetahuan
berawal dari pendidikan dalam keluarga, yakni dengan belajar mengaji (membaca Al-Qur'ān)
dan berbagai 'ilmu agama lainnya, yang diajarkan langsung oleh ayahandanya, yang dimulai
sejak berusia 5 tahun.

Pendidikan Lokal
Setelah berusia 9 tahun, ia memasuki pendidikan formal yang disebut Sekolah Rakyat Negara,
hingga tahun 1919 M. Setelah menamatkan pendidikan formalnya, beliau kemudian diserahkan
oleh ayahandanya untuk menuntut 'ilmu agama yang lebih luas dari beberapa Tuan Guru lokal,
antara lain TGH. Syarafuddīn dan TGH. Muhammād Sa'īd dari Pancor serta Tuan Guru
'Abdullāh bin Amaq Dulajī dari desa Kelayu, Lombok Timur. Ketiga guru agama ini mengajarkan
ilmu agama dengan sistem halaqah, yaitu para santri duduk bersila di atas tikar dan
mendengarkan guru membaca Kitāb yang sedang dipelajari, kemudian masing-masing murid
secara bergantian membaca.

Pendidikan di Mekah
Untuk lebih memperdalam 'ilmu agama, Muhammād Zainuddīn remaja kembali berangkat
menuntut 'ilmu ke Mekah diantar kedua orang tuanya, tiga orang kemenakan dan beberapa
orang keluarga, termasuk pula TGH. Syarafuddīn. Pada saat itu beliau berusia 15 tahun, yaitu
menjelang musim Haji tahun 1341 H/1923 M. Sesampai di Tanah Suci, TGKH. Muhammad
Zainuddin Abdul Madjid langsung mencari rumah kontrakan di Suqullail, Mekah.

Belajar di Masjid al-Haram


Beberapa saat setelah musim haji usai, TGH. Abd. Madjid mulai mencarikan guru buat anaknya.
Sampailah pencarian TGH. Abd. Madjid pada sebuah halaqah. Syaikh yang mengajar ditempat
tersebut bernama Syaīkh Marzūqī, seorang keturunan 'Arāb kelahiran Palembang yang sudah
lama mengajar mengaji di Masjīd al-Harām, yang saat itu berusia sekitar 50 tahun. Disanalah
Maulānāsysyāikh TGKH. Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd diserahkan untuk belajar.
Selain itu juga sempat belajar 'ilmu sastra pada ahli syair terkenal di Mekah, yakni Syaīkh
Muhammād Āmīn al-Quthbī dan pada saat itu berkenalan dengan Sayyīd Muhsin Al-Palembanī,
seorang keturunan 'Arāb kelahiran Palembang yang kemudian menjadi guru beliau
di Madrasah al-Shaulatiyah.
Ketika ayah TGKH. Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd pulang ke Lombok, ia langsung berhenti
belajar mengaji pada Syaīkh Marzūqī, karena ia merasa tidak banyak mengalami perkembangan
yang berarti dalam menuntut 'ilmu selama ini, hal itu dikarenakan kehausan beliau akan ilmu.
Namun, sebelum sempat mencari guru, terjadi perang saudara antara kekuasaan Syarīf Husaīn
dengan golongan Wahabi.[4]

Belajar di Madrasah al-Shaulatiyah


Dua tahun setelah terjadinya huru hara tersebut, TGKH. Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd
muda berkenalan dengan seseorang yang bernama Hajji Mawardī dari Jakarta. Dari
perkenalannya itu ia diajak untuk belajar di madrasah al-Shaulatiyah, yang saat itu dipimpin
oleh Syaīkh Salīm Rahmatullāh. Pada hari pertama masuknya ia bertemu dengan Syaīkh Hasan
Muhammād al-Masysyāth.
Madrasah al-Shaulatiyah adalah madrasah pertama sebagai permulaan sejarah baru dalam
pendidikan di Arab Saudi. Madrasah ini sangat legendaris, gaungnya telah menggema di seluruh
dunia dan telah menghasilkan banyak ulama-ulama besar dunia. TGKH. Muhammad Zainuddin
masuk Madrasah al-Shaulatiyah pada tahun 1345 H (1927 M) yang waktu dipimpin
(Mudir/Direktur), Syaikh Salim Rahmatullah yang merupakan cucu pendiri Madrasah al-
Shaulatiyah. Sudah menjadi tradisi bahwa setiap thullab yang masuk di Madrasah Al-Shaulatiyah
harus mengikuti tes masuk untuk menentukan kelas yang cocok bagi thullab. Demikian pula
dengan TGKH. Muhammad Zainuddin, juga ditest terlebih dahulu. Secara kebetulan diuji
langsung oleh Direktur al-Shaulatiyah sendiri, Syaikh Salim Rahmatullah dan Syaikh Hasan
Muhammad al-Masysyath.
Hasil test menentukan di kelas 3. mendengar keputusan itu, TGKH. Muhammad Zainuddin minta
diperkenankan masuk kelas 2 dengan alasan ingin mendalami mata pelajaran
ilmu Nahwu dan Sharaf. Semula Syaikh Hasan bersikeras agar TGKH. Muhammad Zainuddin
masuk kelas 3, tetapi pada akhirnya melunak dan mengabulkan permohonan untuk masuk kelas
2 dan sejak itu TGKH. Muhammad Zainuddin secara resmi masuk Madrasah al-Shaulatiyah
mulai dari kelas 2. Prestasi akademiknya sangat istimewa. Beliau berhasil meraih peringkat
pertama dan juara umum. Dengan kecerdasan yang luar biasa, TGKH. Muhammad Zainuddin
berhasil menyelesaikan studi dalam waktu hanya 6 tahun, padahal normalnya adalah 9 tahun.
Dari kelas 2, diloncatkan ke kelas 4, kemubeliaun loncat kelas lagi dari kelas 4 ke kelas 6,
kemubeliaun pada tahun-tahun berikutnya naik kelas 7, 8 dan 9.
Sahabat sekelas TGKH. Muhammad Zainuddin bernama Syaikh Zakaria Abdullah Bila,
mengakui kejeniusannya dan mengatakan: Syaikh Zainuddin itu adalah manusia ajaib di
kelasku, karena kejeniusannya yang tinggi dan luar biasa dan saya sungguh menyadari hal ini.
Syaikh Zainuddin adalah saudaraku, dan kawan sekelasku dan saya belum pernah mampu
mengunggulinya dan saya tidak pernah menang dalam berprestasi pada waktu saya bersama-
sama dalam satu kelas di Madrasah Al-Shaulatiyah Mekah.
Predikat istimewa ini disertai pula dengan perlakuan istimewa dari Madrasah Al-Shaulatiyah.
Ijazahnya ditulis langsung oleh ahli khat terkenal di Mekah, yaitu Al-Khathath al-Syaikh Dawud
al-Rumani atas usul dari direktur Madrasah al-Shaulatiyah. Prestasi istimewa itu memerlukan
pengorbanan, ibu yang selalu mendampingi selama belajar di Madrasah al-Shaulatiyah
berpulang ke rahmatullah di Mekah. Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul
Madjid menyelesaikan studi di Madrasah al-Shaulatiyah pada tanggal 22 Dzulhijjah 1353 H
dengan predikat "mumtaz" (Summa Cumlaude).
Setelah tamat dari Madrasah al-Shaulatiyah, tidak langsung pulang ke Lombok, tetapi bermukim
lagi di Mekah selama dua tahun sambil menunggu adiknya yang masih belajar, yaitu Haji
Muhammad Faisal/ TGH. Muhammad Faisal (TGH. Muhammad Faisal[1] memimpin
pertempuran fisik melawan kompeni Belanda/VOC, beliau ditangkap dalam perundingan dan
dibuang keluar daerah dan gugur ditempat pengasingan, nama beliau diabadikan menjadi nama
jalan di Mataram). Waktu dua tahun itu dimanfaatkan untuk belajar antara lain belajar ilmu fiqh
kepada Syaikh Abdul Hamid Abdullah al-Yamani. Dengan demikian, waktu belajar yang
ditempuh selama di Tanah Suci Mekah adalah 13 kali musim haji atau kurang lebih 12 tahun. Ini
berarti selama di Mekah sempat mengerjakan ibadah haji sebanyak 13 kali.
Setelah selesai menuntut ilmu di Mekah dan kembali ke tanah air, TGKH. Muhammad Zainuddin
langsung melakukan safari dakwah ke berbagai lokasi di pulau Lombok, sehingga dikenal secara
luas oleh masyarakat. Pada waktu itu masyarakat menyebutnya 'Tuan Guru Bajang'. Semula,
pada tahun 1934 mendirikan pesantren al-Mujahidin sebagai tempat pemuda-pemuda Sasak
mempelajari agama dan selanjutnya pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 H/22
Agustus 1937 mendirikan Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) dan menamatkan santri
(murid) pertama kali pada tahun ajaran 1940/1941.

Wafat
Tarikh akhir 1997 menjadi masa kelabu Nusa Tenggara Barat. Betapa tidak, hari Selasa, 21
Oktober 1997 M / 18 Jumadil Akhir 1418 H dalam usia 99 tahun menurut kalender Masehi, atau
usia 102 tahun menurut Hijriah. Sang ulama karismatis, Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin
Abdul Madjid, berpulang ke rahmatullah sekitar pukul 19.53 WITA di kebeliauman beliau di desa
Pancor, Lombok Timur. Tiga warisan besar beliau tinggalkan: ribuan ulama, puluhan ribu santri,
dan sekitar seribu lebih kelembagaan Nahdlatul Wathan yang tersebar di seluruh Indonesia dan
mancanegara.
Beliau adalah ulama pewaris para nabi. Beliau sangat berjasa dalam mengubah masyarakat
NTB dari keyakinan semula yang mayoritas animisme, dan dinamisme menuju masyarakat NTB
yang islami. Buah perjuangan beliau jugalah yang menjadikan Pulau Lombok sehingga dijuluki
Pulau Seribu Masjid. Karena di seluruh kampung di Lombok pasti kita temukan masjid untuk
tempat ibadah dan acara sosial, baik yang berukuran kecil maupun besar.
Perjuangan beliau dalam menegakkan syiar Islam dan pendidikan di bumi Indonesia tidak boleh
terhenti begitu saja, namun harus terus dilanjutkan oleh siapa saja, baik umat muslim Indonesia
secara keseluruhan dan masyarakat Sasak pada umumnya, maupun oleh kader-kader Nahdlatul
Wathan yang telah dididik melalui lembaga-lembaga pendidikan Nahdlatul Wathan serta seluruh
warga Nahdlatul Wathan (abituren, pencinta dan simpatisan) pada khususnya.
Akhirnya, memperhatikan seluruh riwayat kelahiran, pendidikan, dan perjuangan Maulana Syaikh
Zainuddin Abdul Madjid baik untuk masyarakatnya dan negaranya, sehingga tokoh-tokoh daerah
setempat setuju dan berusaha memperjuangkan Beliau [5] agar beliau bisa diangkat sebagai
Pahlawan Nasional dalam bidang Pendidikan dan Gerakan Kepemudaan. Pada hari Kamis, 9
November 2017 bertempat di Istana Negara, beliau dianugerahi gelar Pahlawan Nasional,
berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 115/TK/Tahun 2017 tentang Penganugerahan
Gelar Pahlawan Nasional. Empat tokoh yang dianugerahi Pahlawan Nasional oleh Presiden
Joko Widodo yakni almarhum Tuan Guru Kiai Haji (TKGH) Muhammad Zainuddin Madjid asal
Lombok Nusa Tenggara Barat, almarhumah Laksamana Malahayati asal Aceh, almarhum Sultan
Mahmud Riayat Syah asal Kepulauan Riau, dan almarhum Prof. Drs. Lafran Pane asal Daerah
Istimewa Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai