Anda di halaman 1dari 30

Referat

VERTIGO
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian/SMF Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Cut Meutia

Oleh :

Tan Wily Ramadhani, S.Ked


NIM : 140611028

Preseptor :
dr. Intan Sahara Zein, Sp. S

DEPARTEMEN NEUROLOGI
RUMAH SAKIT UMUM CUT MEUTIA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
ACEH UTARA
2020

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulispanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
hanya dengan rahmat, karunia dan izinNya sehingga penulis dapat menyelesaikan
referat yang berjudul “Vertigo” sebagai salah satu tugas dalam menjalani
Kepanitraan Klinik Senior (KKS) di bagian Neurologi Rumah Sakit Umum Cut
Meutia Kabupaten Aceh Utara.
Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih banyak
kepada dr. Intan Sahara Zein, Sp. S sebagai pembimbing yang telah meluangkan
waktunya memberi arahan kepada penulis selama mengikuti KKS di bagian/SMF
Neurologi Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa dalam penyusunan
laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, penulis
mengharapkan saran dan masukan yang membangun demi kesempurnaan laporan
kasus ini. Semoga laporan kasus ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua
pihak.

Lhokseumawe, Januari 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 3


2.1 Anatomi dan Fisiologi .................................................................... 3
2.2 Vertigo ............................................................................................ 6
2.2.1 Definisi ............................................................................. 6
2.2.2 Epidemiologi .................................................................... 7
2.2.3 Etiologi ............................................................................. 7
2.2.4 Patofisiologi ..................................................................... 8
2.2.5 Klasifikasi......................................................................... 10
2.2.6 Diagnosis ........................................................................... 12
2.2.7 Penataksanaan .................................................................. 20

BAB III KESIMPULAN ................................................................................ 28

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 29

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sindrom Guillain-Barre adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus

yang biasanya timbul setelah suatu infeksi atau diakibatkan oleh autoimun, dimana

proses imunologis tersebut langsung mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan

kadang kadang juga saraf kranialis. Saraf yang diserang bukan hanya mempersarafi

otot ,tetapi bisa juga indera peraba sehingga penderita mengalami baal atau mati

rasa.1

Sindrom Guillain-Barre merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup

sering dijumpai pada usia dewasa muda, SGB ini seringkali mencemasakan

penderita dan keluarganya karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa

keadaan dapat menimbulkan kematian , meskipun pada umumnya mempunyai

prognosis yang baik.1

Fase awal dimulai dengan munculnya tanda tanda kelemahan dan biasanya

tampak secara lengkap dalam 2- 3 minggu. Ketika tidak terlihat penurunan lanjut,

kondisi ini tenang. Fase kedua berakhir beberapa hari sampai 2 minggu. Fase

penyembuhan mungkin berakhir 4-6 bulan, dan mungkin bisa sampai 2 tahun.

Penyembuhan adalah spontan dan komplit pada kebanyakan pasien , meskipun ada

beberapa gejala neurologis , sisa dapat menetap.1

Sampai saat ini belum ada terapi spesifik untuk Sindrom Guillain-Barre

sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Namun gullien barre syndrom

1
memerlukan perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup

tinggi terutama pada keadaan akut yang dapat menimbulkan gagal napas akibat

kelemahan otot pernapasan dan bisa berlanjut pada kematian. 1

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Sindrom Guillain-Barre adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending

dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut.

Menurut Bosch, SGB merupakan suatu sindrom klinis yang ditandai adanya

paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun

dimana targetnyanya adalah saraf perifer, radiks dan nervus kranialis.1

Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu

Idiopathic Polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post

Infectious Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating

Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome, Landry Ascending

Paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome.

2.2 Sejarah

Pada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry pertama

kali menulis tentang penyakit ini, sedangkan istilah Landry ascending paralysis

diperkenalkan oleh Westphal. Osler menyatakan terdapatnya hubungan SGB

dengan kejadian infeksi akut. Pada tahun 1916, Guillain, Barre dan Strohl

menjelaskan tentang adanya perubahan khas berupa peninggian protein cairan

cerebrospinal (CCS) tanpa disertai peninggian jumlah sel. Keadaan ini disebut

sebagai disosiasi sitoalbuminik. Nama SGB dipopulerkan oleh Draganescu dan

Claudian. Menurut Lambert dan Murder mengatakan bahwa untuk menegakkan

3
diagnosa SGB selain berdasarkan penyakit klinis, pemeriksaan CCS, juga adanya

kelainan pada pemeriksaan EMG dapat membantu menegakkan diagnosa. Terdapat

perlambatan kecepatan hantar saraf pada EMG.2

2.3 Epidemiologi

Penyakit ini terjadi diseluruh dunia, kejadian pada semua musim. Dowling

dkk mendapatkan frekuensi tersering pada akhir musim panas dan musim gugur

dimana terjadi peningkatan kasus influenza. Angka kejadian dunia 0.6%-2%

kasus/100.000 orang/ tahun, negara barat sekitar 1-2% kasus/ 100.000 orang/tahun.

Bisa terjadi disemua tingkatan usia mulai dari anak anak sampai dewasa,sering pada

anak anak dan remaja (China),dan sering pada orang tua > 70 tahun (pada negara

barat). Lebih sering ditemukan pada kaum pria. Bukan penyakit keturunan .tidak

dapat menular lewat kelahiran ,terinfeksi atau terjangkit dari orang lain yang

mengidap GBS, bisa timbul seminggu atau dua seminggu atau dua minggu setelah

infeksi usus atau tenggorokkan.1

Berikut beberapa epidemiologi GBS:

- Di Amerika Serikat : insiden SGB per tahun berkisar antara 0,4 – 2,0 per

100.000 orang, tidak diketahui jumlah kasus terbanyak menurut musim yang

ada di Amerika Serikat

- Internasional : angka kejadian sama yakni 1 – 3 per 100.000 orang per tahun

di seluruh dunia untuk semua iklim dan sesama suku bangsa, kecuali di China

yang dihubungkan dengan musim dan infeksi Campylobacter memiliki

predileksi pada musim panas.

4
- Dapat mengenai pada semua usia, terutama puncaknya pada usia dewasa

muda. Dapat juga terjadi pada usia tua, yang diyakini disebabkan oleh

penurunan mekanisme imunosupresor.

- Perbandingan antara pria dan wanita adalah 1,25 : 1.

2.4 Etiologi

Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti

penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan penyakit

yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara

lain: 3,4

1. Infeksi : Citomegalovirus (CMV), Ebstein Barr Virus (EBV), enterovirus,

Human Immunodefficiency Virus (HIV), Campilobacter Jejuni,

Mycoplasma Pneumonie.

2. Vaksinasi

3. Pembedahan

4. Kehamilan atau dalam masa nifas

5. Penyakit sistemik

a. Keganasan

b. Systemic Lupus Erithematous

c. Tiroiditis

d. Penyakit Addison

5
SGB seringkali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insiden kasus SGB

yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56%- 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu

sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran nafas atas atau infeksi

gastrointestinal.

Telah diketahui bahwa infeksi salmonella typosa dapat menyebabkan SGB.

Kemungkinan timbulnya sindrom guillain barre syndrom pada demam tyfoid perlu

lebih diketahui dan disadari. Khususnya di indonesia dimana demam tyfoid masih

merupakan penyakit menular yang besar.

Tabel 1. Jenis-Jenis Infeksi yang Sering menjadi Penyebab SGB

Infeksi Definite Probable Possible

Virus CMV HIV Influenza

EBV Varicella – Measles

Zooster Rubella

Vaccinia/ Hepatitis

smallpox Coxsackie

Echo

Bakteri Campylobacter Typhoid Borrella B

jejuni Paratyphoid

Mycoplasma Brucellosis

pneumonia Chlamydia

6
Legionella

Listeria

2.5 Patologi

Secara makroskopik tidak ditemukan adanya perubahan pada saraf pasien

penderita SGB. Namun secara mikroskopik tampak adanya infiltrasi sel

mononuclear di perivenula dan ditemukan adanya demielinisasi segmental di

susunan saraf tepi. Meskipun penyakit ini sering didahului oleh bermacam-macam

penyakit, namun patologi yang ditemukan sama pada semua pasien GBS. Infiltrasi

perivenula terdiri atas limfosit berukuran kecil sampai sedang, makrofag dan sedikit

sel PMN pada stadium awal penyakit. Namun pada stadium lanjut ditemukan

adanya sel plasma dan sedikit sel mast. Limfosit yang berukuran kecil sampai

sedang akan mudah untuk keluar dari vena masuk ke dalam parenkim saraf.

Limfosit yang berukuran besar akan mengalami transformasi secara aktif melalui

fagositosis oleh makrofag.5

Daerah yang terinflamasi akan diinfiltrasi sel mononuclear kemudian akan

terjadi demielinisasi segmental. Pada mulanya yang terlihat hanya limfosit saja, tapi

setelah 2-3 minggu, dengan berkembangnya penyakit, yang mendominasi adalah

sel makrofag. Makrofag berperan penting dalam terjadinya destruksi myelin.

Makrofag menyebabkan lamella myelin terpisah dan mencerna membran yang

terpisah. Destruksi myelin berlangsung progresif ke arah lokasi sentral nucleus sel

7
schwann. Dengan mikroskop cahaya dapat terlihat myelin yang terputus dan

berbentuk ovoid juga makrofag yang mencerna myelin. 5

Gambar 1. Ilustrasi perbedaan saraf normal dan saraf yang mengalami kerusakan.

Gambar 2. Ilustrasi hantaran saraf yang terganggung akibat rusaknya myelin.

8
Peningkatan aktivitas asam posphatase dan asam proteinase menandakan

aktivasi lisosom dalam makrofag. Lesi inflamasi yang hebat menyebabkan

terjadinya demielinisasi sampai mengakibatkan terputusnya akson dan degenerasi

wallerian. Leukosit PMN juga tampak pada lesi yang hebat, mungkin sebagai

respons dari jaringan yang nekrotik. Pada kasus dengan degenerasi wallerian yang

luas, dalam sel cornu anterior dapat terlihat central chromatolysis. Sedang pada

keadaan degenerasi axonal dapat terlihat atrofi serabut otot akibat denervasi.

2.6 Patogenesis

Patogenesis Sindrom Guillain-Barre sampai saat ini masih belum jelas.

Tetapi beberapa penelitian mempunyai kecenderungan peranan dasar patogenesa

yang bersifat imunologik,1-3 Infeksi viral atau infeksi gabungan virus dan bakteri

yang mendahului penyakit ini sering memberi kesan adanya respons yang

diperantarai oleh sel. Patologi SGB yaitu inflamasi sel T di perivenula, mendukung

patogenesis SGB diperantarai sel. Respons yang diperantarai sel dimulai dengan

presentasi antigen spesifik dan berhubungan dengan kompleks major

histocompatibility – antigens. Sel T tidak dapat berproliferasi atau mengaktivasi

makrofag tanpa adanya antigen. Kompleks MHC – antigen mengaktifkan T helper

untuk menghasilkan gamma interferon dan TNF yang akan mengaktifkan

makrofag, dengan akibat destruksi sel schwann. T-helper juga menghasilkan

interleukin-2 yang mengaktivasi pertumbuhan sel B sehingga menghasilkan

antibodi. Kompleks antigen dan antibodi tersebut akan mengaktivasi komplemen

sehingga menyebabkan lisisnya sel schwann, aktivasi dan kemotaksis makrofag,

9
peningkatan permeabilitas vaskuler dan degranulasi sel mast. Jadi dalam keadaan

ini aktivasi komplemen berpartisipasi secara langsung atau secara tidak langsung

dalam merusak myelin.5

Gambar 3. Ilustrasi patogenesis SGB.

Bukti-bukti bahwa imunopatogenesis merupakan mekanisme yang menimbulkan

jejas saraf tepi pada sindrom ini adalah :

1. Didapatnya antibodi atau adanya respons kekebalan seluler terhadap agen

infeksi pada saraf tepi.

2. Adanya auto antibodi atau kekebalan seluler terhadap sistem saraf tepi.

3. Didapatnya penimbunan kompleks antigen antibodi pada pembuluh saraf

tepi yang menimbulkan proses demielinisasi saraf tepi.2

10
2.7 Klasifikasi

1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy

(AIDP)

Yang merupakan jenis GBS yang paling banyak ditemukan, dan

sering disinonimkan dengan GBS. Disebabkan oleh respon

autoimun yang menyerang membrane sel schwann.

2. Acute motor axonal neurophaty (AMAN)

Atau sindroma paralitik Cina: menyerang nodus motorik ranvier dan

sering terjadi di cina dan meksiko. Hal ini disebabkan oleh respon

autoimun yang menyerang aksoplasma saraf perifer. Penyakit ini

musiman dan penyembuhan dapat berlangsungdengan cepat.

Didapati antibody Anti GD1a, sementara antibody anti- GD3 lebih

sering ditemukan pada AMAN.

3. Acute moyor sensory axonal neurophaty (AMSAN)

Mirip dengan AMAN , juga menyerang aksoplasma saraf perifer,

namun juga menyerang saraf sensorik dengan kerusakan akson yang

berat. Penyembuhan lambat dan sering tidak sempurna.

4. Fisher’s syndrome (MFS)

Merupakan varian GBS yang jarang terjadi dan bermanifestasi

sebagai paralysis desendens ,berlawanan dengan jenis GBS yang

biasa terjadi. Umumnya mengenai otot otot okuler pertama kali dan

terdapat trias gejala yakni: oftalmoplegia, ataksia, dan arefleksia.

Terdapat antibody Anti GQ1b 90% kasus.

11
5. Acute panautonomia

Merupakan varian GBS yang paling jarang: dihubungkan dengan

angka kematian yang tinggi, akibat keterlibatan kardiovaskuler dan

disritmia.

6. Ensefalitis batang otak Bickerstaff (BBE)

Ditandai oleh onset akut oftalmoplegia , ataksia, gangguan

kesadaran ,hiperrefelksia atau refleks babinski. Perjalanan penyakit

dapat monofasik ataupun diikuti fase remisi dan relaps. Lesi luas

dan irregular terutama pada batang otak seperti pons, midbrain, dan

medulla spinalis. Meskipun gejalanya berat namun prognosis BBE

cukup baik.

2.8 Gejala Klinis

Gangguan autonom terlihat pada lebih dari 50%, gangguan otonomik

biasanya bermanifestasi sebagai takikardi tetapi bisa menjadi gangguan yang lebih

serius yaitu disfungsi saraf otonomik termasuk aritmia, hipotensi, hipertensi, dan

dismotilitas GI. 1-3,8

Kriteria diagnosis yang umum dipakai adalah kriteria dari National Institute of

Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS) yaitu,

1. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis

a. Terjadinya kelemahan yang progresif

12
b. Hiporefleksi

2. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB

a. Ciri ciri klinis:

 Progresifitas : gejala kelemahan motorik berlangsung cepat,

maksimal 4 minggu , 50% mencapai puncak dalam 2 minggu,

80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu.

 Relative simetris

 Gejala gangguan sensibilitas ringan

 Gejala saraf cranial + 50% terjadi parese N.VII dan sering

bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang

mempersarafi lidah dan otot otot ektraokuler atau saraf otak

lain.

 Pemulihan : dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti,

dapat memanjang sampai beberapa bulan

 Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural,

hipertensi dan gejala vasomotor

 Tidak ada demam saat onset gejala neurologist.

b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong

diagnosa:

 Protein CSS. Meningkat setelah gejala 1 mgg atau terjadi

peningkatan pada LP serial

 Jumlah sel CSS < 10 MN /mm3

13
 Varian :

o tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 mgg

gejala

o Jumlah sel CSS : 11 – 50 MN/ mm3

c. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis

 Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus.

Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal

Diagnosis SGB terutama ditegakkan secara klinis. SGB ditandai dengan

timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks refleks tendon

dan didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai

disosiasi sitoalbumin pada liquor dan gangguan sensorik dan motorik perifer.2-4,8

2.9 Kriteria Diagnostik

Kelemahan ascenden dan simetris. Anggota gerak bawah terjadi lebih dulu

dari anggota gerak atas. Kelemahan otot paroximal lebih dulu terjadi dari otot distal,

kelemahan otot trunkal, bulbar dan otot pernapasan juga terjadi.

Kelemahan terjadi akut dan progresif bisa ringan sampai tetraplegi dan

gangguan nafas. Penyebaran hiporefleksia menjadi gambarn utama, pasien SGB

biasanya berkembang dari kelemahan nervus cranial, seringkali kelemahan nervus

fasial atau faringeal. Kelemahan diafragma sampai nervus phrenicus sudah biasa.

14
Sepertiga pasien SGB inap membutuhkan ventilator mekanik karena kelemahan

otot respirasi atau orofaringeal.

1. Puncak defisit dicapai 4 minggu

2. Recovery biasanya dimulai 2 – 4 minggu

3. Gangguan sensorik biasanya ringan bisa paresthesi, baal, atau sensasi

sejenis.

4. Gangguan Nn. cranialis: facial drop, diplopia, disartria, disfagis (N.

VII,VI,V,IX, dan X)

5. Banyak pasien mengeluh nyeri punggung dan tungkai

Menurut Maria Belladonna terdapat beberapa tanda abnormalitas :

1. Abnormalitas motorik (kelemahan)

Mengikuti gejala sensorik , khas : mulai dari tungkai , ascenden ke lengan

– 10% dimulai dengan kelemahan lengan – walaupun jarang, kelemahan

bisa dimulai dari wajah (cervical – pharyngeal – brachial) kelemahan wajah

terjadi pada seridaknya 50% pasien dan biasanya bilateral – reflek:

hilang/pada sebagian besar kasus.

2. Abnormalitas sensorik

Klasik : parestesi terjadi 1-2 hari sebelum kelemahan , glove & stocking

sensation, simetris, tak jelas batasnya – nyeri bisa berupa mialgia otot

panggul, nyeri radikuler, manifes sebagai sensori terbakar, kesemutan,

15
tersetrum – ataksia sensorik krn propioseptif terganggu – variasi : parestesi

wajah & trunkus.

3. Disfungsi otonom

a. hipertensi – hipotensi – sinus takikardi/bradikardi

b. aritmia jantung – illeus- refleks vagal

c. retensi urin

Gambar 1. Fase Perjalanan Klinis

Fase-fase serangan SGB Maria Belladonna

 Fase prodromal

fase sebelum gejala klinis muncul

 Fase laten

o waktu antara timbul infeksi/prodromal yang

mendahuluinya sampai timbulnya gejala klinis.

o Lama : 1-28 hari, rata rata 9 hari.

 Fase progresif

16
o fase defisit neurologis (+)

o beberapa hari – 4 minggu, jarang >8 minggu

o dimulai dari onset (mulai terjadi kelumpuhan yang

bertambah berat sampai maksimal

o perburukan >8 minggu disebut chronic inflamatory

demyelinating polyradiculoneurophatty (CIDP)

 Fase plateau

o kelumpuhan telah maximal dan menetap

o fase pendek : 2 hari, > 3 minggu, jarang > 7 minggu

 Fase penyembuhan

o fase perbaikan kelumpuhan motorik

o beberapa bulan.

2.10 Differential Diagnosis

1. Polineuropati Defisiensi Vitamin

Perjalanan penyakit progresif lambat (berbulan – bulan), gejala sensorik

yang menonjol, kelemahan otot bagian distal, jarang mengenai otot

pernafasan, saraf kranialis atau saraf otonom. Pada LP tidak ada kenaikan

protein liquor.2

2. Miastenia Gravis

Kelemahan otot terutama yang sering digunakan seperti otot bola mata, otot

– otot untuk menelan, berbicara. Tidak ada keluhan sensorik. Tes prostigmin

membaik. Didapatkan pembesaran tymus.2

17
3. Paralisis Periodic Hipokalemia

Kelemahan otot pada pagi hari sehabis bangun tidur. Tidak ada keluhan

sensorik yang diakibatkan oleh kadar kalium serum yang rendah. Dengan

infuse KCl dalam larutan elektrolit akan membaik gejalanya.2

4. Transverse Myelitis

Kelemahan otot terjadi setinggi lesi ke bawah dan tidak pernah mengenai

otot wajah dan orofaring. Biasanya refleks menghilang bila terjadi spinal

shock. Gejala sensoris biasanya segmental sesuai dengan lesi. Terjadi

inkontineasia urin yang persisten. Tetapi jarang terjadi gangguan

pernafasan.8

5. Antibiotic Induced Paralysis

Terjadi beberapa jam sampai beberapa hari setelah minum obat. Ganguan

pernafasan terjadi sebelum timbulnya kelemahan otot. Juga sering terjadi

ptosis dan internal ophthalmoplegia. Protein LCS biasanya normal.8

6. Polymyositis

Sering terjadi kelemahan pada leher dan tubuh,namun tidak dijumpai

adanya gangguan sensorik. Refleks biasanya normal tapi bisa sedikit

menurun. Tidak ditemukannya disfungsi otonom juga jarang melibatkan

saraf cranial. Sering dijumpai fenomena Raynauds dan terjadi rash. Tidak

ada kenaikan protein LCS. Pada EMG ditemukan fibrilasi.8

7. Vasculitis Neuropathy

18
Terjadi demam, gejala sensoris yang terjadi asimetris begitu juga kelemahan

yang terjadi asimetris. Jarang mengenai saraf cranial, tapi bila mengenai

saraf tersebut biasanya asimetris. Tidak ada kenaikan protein dalam LCS.8

8. Poliomyelitis

Kelemahan otot tidak simetris dan sering terdapat atrofi otot. Dijumpai

adanya demam tapi jarang terjadi gangguan sensorik. Pada LCS ditemukan

pleositosis.8

9. Rabies

Ada demam dan gangguan sensoris biasanya unilateral. Otot kaki lemas

tetapi asimetris. Refleks pada tangan normal. Paresis bulbar tipe spasme,

asimetris dan terjadi hydrophobia. Sering terjadi gangguan pernafasan

dengan tipe pernafasan periodic, irregular. Pada LCS ditemukan

pleositosis.8

2.11 Pemeriksaan Penunjang

1. LCS

a. Disosiasi sitoalbumin

Pada fase akut terjadi peningkatan protein LCS > 0,55 gr/L , tanpa

peningkatan dari sel < 10 limfosit/mm3.

b. Hitung jenis pada panel metabolik tidak begitu bernilai 5.

peningkatan titer dari agent seperti CMV, EBV ,membantu

menegakkan etiologi.

1. antibody glicolipid

19
2. antibody GMI

2. EMG

a. Gambaran poliradikuloneuropati

b. Test elektrodiagnostik dilakukan untuk mendukung klinis bahwa

paralisis motorik akut disebabkan oleh neuropati perifer

c. Pada EMG kecepatan hantar saraf melambat dan respon F dan H

abnormal

3. Ro: CT atau MRI

Untuk mengeksklusi diagnosis lain seperti mielopati.

2.13 Terapi

Tidak ada drug of choice

Roboransia saraf parenteral

Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum

bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri,

perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala

sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus

adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui

sistem imunitas (imunoterapi) 2-3,8

20
1. Kortikosteroid

Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid

tidak mempunyai nilai/ tidak bermanfaatuntuk terapi SGB

2. Plasmaparesis

Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan factor

autoantibody yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada SGB

memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat,

penggunaan alat Bantu nafas yang lebih sedikit ,dan lama perawatan yang

lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml

plasma/kgBB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila

diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).

3. Pengobatan imunosupresan

a. Immunoglobulin IV

Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih

menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/

komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0,4gr/KgBB/hari tiap

15 hari sampai sembuh.

b. Obat sitotoksik

Pemberian obat sitotoksik yang dianjurkan adalah

 6 merkaptopurin (6 MP)

 Azathioprine

 Cyclophosphamid

21
Efek samping dari obat obat ini adalah : alopesia ,muntah,

mual, dan sakit kepala.

c. Terapi fisik : alih baring

1. Latihan ROM dini u/ cegah kontraktur

2. hidroterapi

d. Suportif : profilaksis DVT (heparin s.c)

e. Analgesik 2,3,4,

Analgesik ringan atau OAINS mungkin dapat digunakan

untuk meringankan nyeri ringan , namun tidak untuk nyeri yang

sangat , penelitian random control trial mendukung penggunaan

gabapentin atau carbamazephine pada ruang ICU pada perawan

SGB fase akut. Analgesik narkotik dapat digunakan untuk nyeri

dalam, namun harus melakukan monitor secara hati hati kepada efek

samping denervasi otonomik. Terapi ajuvan dengan tricyclic

antidepresant, tramadol, gabapentin, carbamazepine atau mexilitine

dapat ditambahkan untuk penatalaknaan nyeri neuropatik jangka

panjang.

Pemulihan 2-3,8

 80% pasien pulih dalam waktu 6 bulan

 15% pulih sempurna

 65% pulih dengan deficit neurologist ringan yang tdk dipengaruhi ADL

 5-10% mengalami kelemahan motorik menetap, pemulihan dapat

berlangsung > 2 tahun

22
 Mortalitas 3-5%

 Relaps : 2-10%

 Perburukan : 6% menjadi CIPD (chronic inflammatory demyelinating

polyradiculoneurophaty)

2.14 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau

cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi,

trombosis vena dalam, paralisis permanen pada bagian tubuh tertentu, dan

kontraktur pada sendi.

1. paralisis menetap

2. gagal nafas

3. hipotensi

4. tromboembolisme

5. pneumoniae

6. aritmia jantung

7. illeus

8. aspirasi

9. retensi urin

10. problem psikiatrik

23
SGB dapat berdampak pada kinerja dan kehidupan pribadi pasien dalam

jangka waktu yang lama dapat sampai 3-6 tahun setelah onset penyakit.

Kesembuhan biasanya berlangsung perlahan dan dapat berlangsung bertahun tahun.

Baik psien maupun keluarga pasien harus diberitahu tentang keadaan pasien yang

sebenarnya untuk mencegah ekspektasi yang berlebihan atau pesimistik.

Kesembuhan pasien berlangsung selama tahun tahun pertama, terutama enam bulan

pertama, tetapi pada sebagian besar pasien dapat sembuh sempurna pada tahun

kedua atau setelahnya.8

Kecacatan yang permanen terlihat pada 20%-30%, pasien dewasa, tetapi

lebih sedikit pada anak anak anak. Disability yang lama pada dewasa lebih umum

pada axonal SGB dan SGB yang berbahaya , misalnya pada pasien dengan

ventilator.8

Gangguan fungsi otonomik yang serius dan fatal termasuk aritmia dan

hipertensi ekstrim atau hipotensi terjadi kurang lebih 20 % dari pasien dengan SGB

gangguan lain yang signifikan adalah illeus dinamik, hiponatremia, dan defisiensi

dari fungsi mukosa bronchial.8

2.15 Prognosis

Faktor yang mempengaruhi buruknya prognosis :

 Penurunan hebat amplitudo potensial aksi berbagai otot

 Umur tua

24
 Kebutuhan dukungan ventilator

 Perjalanan penyakit progresif dan berat

Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada

sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa.95%

terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengan

keadaan antara lain:

1. pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal

2. mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat

onset

3. progresifitas penyakit lambat dan pendek

4. pada penderita berusia 30-60 tahun.

25
BAB III
KESIMPULAN

Sindrom Guillain-Barre (SGB) adalah suatu penyakit pada sususnan saraf

yang terjadi secara akut dan menyeluruh, terutama mengenai radiks dan saraf tepi ,

kadang kadang mengenai saraf saraf otak yang didahului oleh infeksi akut non

spesifik seperti infeksi saluran nafas dan saluran cerna. Penyebab infeksi yang

paling sering adalah Campylobacter jejuni. Adapun gejala utama dari SGB adalah

kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih ekstremitas dengan atau

tanpa disertai ataxia dan arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general.

Dari pemeriksaan LCS didapatkan peningkatan protein tanpa peningkatan

jumlah sel (MN < 10/ul). Dari pemeriksaan elektrodiagnostik terlihat adanya

perlambatan atau blok pada konduksi impuls saraf. Diagnostik SGB terutama

ditegakkan secra klinis, yaitu dari kriteria dignostik SGB menurut the National

Institute of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS).

Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk SGB , pengobatan

terutama secara simptomatis. Pada umumnya penderita mempunyai prognosis yang

baik, tetapi pada sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala

sisa. Kematian pada SGB disebabkan oleh gagal nafas dan aritmia.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Howard, L.Werner, Lowrence P. Levitt. Buku Saku Neurologi, Edisi ke V,


Jakarta : EGC, 2001.

2. Stoll BJ, Kliegman RM. Behrman-Nelson Pediatric Textbook.


Pennsylvania : Saunders inc, 2004.

3. Mardjono M, Sidharta P, Neurologi Klinis Dasar, Edisi VIII, Jakarta : Dian


Rakyat, 2000.

4. Adams RD, Victor M, Ropper AH. Principles of Neurology 8th Ed. USA :
McGraw Hill, 2005.

5. Menkes JH, Sarnat HB, Moser FG. Child Neurology 6th Ed. London :
Williams & Wilkins, 2000.

6. Davids HR. Guillain-Barre Syndrome. Available from : URL :


http://emedicine.medscape.com/article/315632-overview.

7. Lewis RA. Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy.


Available from : URL : http://emedicine.medscape.com/article/1172965-
overview.

8. Mumenthaler and Mattle. Fundamental of Neurology. Thieme. 2006. Page


146-147.

9. MedicineNet. Guillain-Barré Syndrome. Available from URL:


http://www.medicinenet.com/guillain-barre_syndrome/article.htm.

10. Munandar A. Laporan Kasus Sindroma Guillan-Barre dan Tifus


Abdominalis. Unit Neurologi RS Husada Jakarta. Available from:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/14SindormGuillainBarre93.pdf.

11. Mahar M, Priguna S. 2000. Sindroma Guillain-Barre: Neurologi Klinis


Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.

12. Mirawati DK, dkk. Pemeriksaan Neurologi. Available from:


http://fk.uns.ac.id/static/file/GABUNGAN_MANUAL_SEMESTER_3-
2012-ED.pdf.

27

Anda mungkin juga menyukai