Tapi itu tidaklah berarti VOC tidak menjebarkan bahasa Belanda. Di Ambon, pada
abad 18, VOC membuka sekolah berbahasa Belanda dan djuga geredja jang
menjelenggarakan kebaktian dalam bahasa Belanda. Ternjata bahasa Belanda para
siswa ini tidak madju2, maklum di luar sekolah mereka kembali berbahasa Melajoe atau
bahasa tanah jaitu bahasa setempat. Apalah manfaat pengadjaran bahasa Belanda?
Karena itu sekolah berbahasa Belanda itu ditutup.
Pertama karena jang bisa masuk HIS atau HCS hanjalah kalangan bangsawan
serta kaum elit dan terpandang. Artinja: pada pendidikan itu tidak ada tempat bagi
rakjat biasa. Kedua, bahasa Belanda jang diadjarkan ternjata masih dibedakan antara
bahasa Belanda sebagai bahasa asing (untuk HIS dan HCS) dan bahasa Belanda sebagai
bahasa ibu (untuk ELS, Europese Lagere School jang tentu sadja bermurid kulit putih
Eropa).
Sebagai kalangan jang tidak berbahasa Belanda, kalau masuk ELS, maka
murid2 pribumi maupun Tionghwa dichawatirkan akan menurunkan mutu pendidikan
ELS, paling sedikit kefasihan bahasa Belanda mereka. Karena itu dibukalah HIS dan HCS.
Tentu sadja kemampuan berbahasa Belanda murid2 HIS maupun HCS kalah djauh
dibandingkan dengan murid2 ELS. Tidaklah mungkin mereka bisa mengedjar
kemampuan seorang penutur asli. Selain itu, peladjaran bahasa Belanda sebagai bahasa
asing itu djuga baru dilakukan ketika ada permintaan dari kalangan murid2 pribumi.
Penguasa kolonial memenuhi permintaan ini karena Batavia sekaligus djuga ingin
menindak pelbagai kursus bahasa Belanda jang diselenggarakan oleh kalangan swasta.
Kursus2 itu dinilai tidak baik.
Dari pihak pemerintah Belanda tak mau kalah mereka gigih melakukan aksi
penolakan terhadap penggunaan bahasa Melayu di Indonesia, lewat Van der Chijs
seseorang yang berkebangsaan Belanda, mengusulkan agar sekolah-sekolah di
Indonesia memfasilitasi bahasa Belanda. Direktur Pengajaran pada tahun 1900 yang
saat itu dijabat oleh JH Abendanon berhasil memasukkan bahasa Belanda menjadi mata
pelajaran wajib baik disekolah rakyat, maupun di sekolah pendidikan guru.
Sutan Takdir Alisjahbana dalam bukunya " Sedjarah Bahasa Indonesia ",
mengutarakan " bahasa Melayu memiliki kekuatan untuk merangkul kepentingan
bersama sehingga dipakai di Nusantara. Persebarannya juga luas karena bahasa Melayu
dihidupi oleh para pelaut, pengembara dan saudagar yang merantau kemana-mana.
Dalam keputusan Seminar Politik Bahasa Nasional 1999 juga dinyatakan bahwa
sebagai bahasa nasional, bahasa berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan nasional,
(2) lambang identitas nasional, (3) alat pemersatu berbagai-bagai masyarakat yang
berbeda-beda latar belakang sosial budaya dan bahasanya, serta (4) alat perhubungan
antarbudaya dan antardaerah. Sebagai bahasa Negara, bahasa Indonesia berfungsi
sebagai (1) bahasa resmi Negara, (2) bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga
pendidikan, (3) bahasa resmi di dalam perhubungan serta pemerintah, dan (4) bahasa
resmi dalamn pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta
teknologi modern.
b. Rakyat Indonesia semakin lama akan lupa kalau bahasa Indonesia merupakan bahasa
persatuan.
d. Lama kelamaan rakyat Indonesia akan sulit mengutarakan bahasa Indonesia yang
baik dan benar.
e. mampu melunturkan semangat nasionalisme dan sikap bangga pada bahasa dan
budaya sendiri.