Anda di halaman 1dari 10

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Word health Organization (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagian

“keadaan sehat fisik, mental dan sosial, bukan semata-mata keadaan tanpa penyakit

atau kelemahan,” definisi ini menekankan kesehatan sebagian suatu keadaan sejahtera

yang positif, bukan sekedar tanpa penyakit. orang yang memiliki kesejahteraan

emosonal, fisik dan sosial dapat memenuhi tanggung jawab kehidupan, berfungsi

dengan efektif dalam kehidupan, berfungsi dengan efektif dalam kehidupan sehari-

hari, puas dengan hubungan interpersonal dan diri mereka sendiri. Tidak ada satupun

definisi universal kesehatan jiwa, tetapi dapat menyimpulkan kesehatan jiwa

seseorang dari perilakunya. Karena perilaku seseorang dapat dilihat atau ditafsirkan

berbeda oleh orang lain, yang bergantung kepada nilai dan keyakinan, maka

penentuan definisi kesehatan menjadi sulit (Videbeck, 2008).

Manusia adalah mahluk yang terdiri dari aspek biologis, psikologis, sosial

spiritual dan kultural, bereaksi secara holistik dalam menjalani kehidupan. Proses

terjadinya gangguan jiwa tidak terlepas dari unsur penyebab yang menggangu,

walaupun gejala gangguan jiwa yang menonjol adalah unsur psikisnya. Oleh karena

itu, faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa dapat berasal dari biologis, psikologis,

sosial-kultural (Yusuf, dkk, 2019).

1
2

Masalah kesehatan terutama gangguan jiwa adalah manifestasi dari bentuk

penyimpangan perilaku akibat adanya distorsi emosi, sehingga ditemukan

ketidakwajaran dalam bertingkah laku dan terjadi karena menurunnya semua fungsi

kejiwaan (Nasir & Muhith, 2011).

Gangguan jiwa masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan yang

signifikan di dunia, dari hasil riset kesehatan dasar 2018, di Indonesia yang paling

banyak mengalami gangguan jiwa yaitu diprovinsi Bali dengan angka 11 permil,

sedangkan di Sumsel mencapai angka 8 Permil. Proporsi rumah tangga dengan ART

gangguan jiwa Skizofrenia/ psikosis menurut provinsi dari tahun2013-2018 di

Indonesia angkanya melonjok naik, ditahun 2013 berada diangka 1,7 permil

sedangkan pada tahun 2018 indonesia mencapai angka 7 permil (Depkes, 2018).

Maka dari itu gangguan jiwa sangat perlu diperhatikan dalam

perkembangannya yang setiap tahun semakin berlanjutan dan menjadi permasalahan

yang signifikan, dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2014

tentang gangguan jiwa adalah kondisi yang memungkinkan seorang individu dapat

berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehinga individu tersebut

menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara

produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya (Kementrian

Kesehatan, 2014).

Penderita gangguan jiwa menurut Riskesdas tahun 2018 pada pengobatan

gangguan jiwa berat yang pernah dipasung tidak jauh berbeda antara hasil Riskesdas

2013 dan 2018. Data terbaru hasil Riskesdas 2018 adalah kasus gangguan jiwa
3

berat yang dipasung dalam 3 bulan terakhir adalah 31,1 % baik di perkotaan

maupun pedesaan, proporsi untuk Indonesia adalah 31,5%, pengobatan bagi

penderita gangguan jiwa berat adalah sebesar 84,9%, tetapi dari mereka yang berobat

51,1% tidak rutin minum obat, dan obat yang tersedia dengan alasan lain untuk

minum obat sebesar 32% (Yusuf, dkk, 2019).

Menurut Suripto dan Alfiah (2016), Adapun beberapa faktor umum yang

membuat seseorang mengalami gangguan jiwa, diantaranya: pertama, faktor ekonomi

yang biasanya terjadi karena adanya kesulitan dalam perekonomian keluarga maupun

dirinya sendiri. Kedua, faktor budaya, dengan adanya aturan-aturan dalam

masyarakat yang tidak sesuai dengan pola pikirnya. Ketiga, faktor keturunan, hal ini

berawal dari adanya faktor genetik dari keluarganya yang akan menjadi pemicu

terbentuknya gangguan jiwa. Keempat, faktor keluarga, yakni adanya konflik didalam

keluarga itu sendiri, adanya diskriminasi yang dialaminya ketika berada didalam

lingkup keluarganya juga dapat memicu seseorang mengalami gangguan jiwa.

Ironisnya yang terjadi dimasyarakat, mereka yang mengalami gangguan jiwa

masih mendapatkan perlakuan diskriminatif, mendapatkan stigma, dan tersingkir dari

lingkungannya. Banyaknya penderita gangguan jiwa berat yang tidak mendapat

penanganan secara medis dikarenakan oleh faktor-faktor seperti kekurangan biaya,

rendahnya pengetahuan keluarga dan masyarakat sekitar terkait dengan gejala

gangguan jiwa, dan sebagainya. Sehingga masih banyak penderita gangguan jiwa

yang dipasung oleh anggota keluarganya, agar tidak mencederai dirinya atau

menyakiti orang lain di sekitarnya (Sasra, 2018).


4

Menurut Suharto (2014) dalam hidayat (2017), Apabila mengamati

pandangan masyarakat saat ini tentang permasalahan penderita gangguan jiwa identik

dengan sebutan “orang gila”. Secara tidak langsung hal ini merupakan mindset yang

salah, sehingga banyak orang memandang bahwa penyakit ini masalah yang negatif

dan mengancam. Label negatif dengan sebutan orang gila inilah yang secara tidak

disadari merupakan stigma yang diciptakan sendiri, maka dampaknya keluarga

ataupun masyarakat sekitar penderita gangguan jiwa tidak mau mengurusnya

sehingga apabila dibiarkan terus menerus hak-hak penderita gangguan jiwa akan

terabaikan misalnya hak sosial dan hak untuk pengobatan (Sasra, 2018).

Stigma merupakan kumpulan dari sikap, keyakinan, pikiran, dan perilaku

negative yang berpengaruh pada individu atau masyarakat umum untuk takut,

menolak, menghindar, berprasangka, dan membedakan seseorang. Stigma tersebut

juga dapat menimbulkan kekuatan negatif dalam keseluruhan aspek jaringan dan

hubungan social pada kualitas hidup, hubungan dengan keluarga, kontak sosial dalam

masyarakat, dan perubahan harga diri pasien gangguan jiwa (Pamungkas, dkk, 2016).

Menurut Lestari & Wardani (2014), Akibat dari stigma tersebut, orang dengan

gangguan jiwa menanggung konsekuensi kesehatan dan sosio-kultural, seperti :

penanganan yang tidak maksimal, drop-out pengguanan obat, pemasungan, dan

pemahaman yang berbeda terhadap gangguan jiwa (Herdiyanto, dkk, 2017).

Stigma tidak saja dialami oleh ODGJ saja, namun juga dialami oleh anggota

keluargannya, sikap keluarga yang mengalami ODGJ dapat merasa sedih, kesihan,

malu, kaget, jengkel, merasa terpukul, tidak tenang, dan saling menyalahkan dari
5

sikap keluarga tersebut, pada akhinya akan mempengaruhi kualitas pengobatan yang

diberikan kepada ODGJ (Herdiyanto, dkk, 2017).

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi stigma para penderita gangguan

jiwa yaitu faktor Eksternal : kegilaan adalah Aib, Mitos tentang gangguan jiwa,

kepercayaan masyarakat mengenai peran Dukun (Balian) dan faktor internal :

pengetahuan keluarga terhadap etiologi gangguan jiwa, tidak adanya dukungan

keluarga dan perasaan malu (Putro,2018).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rinancy (2018), tentang faktor-faktor

yang berhubungan dengan stigma masyarakat Minangkabau terhadap orang dengan

gangguan jiwa, yang simpulannya berisi ada hubungan bermakna antara pendidikan,

pengetahuan, sikap dan budaya dengan stigma masyarakat Minangkabau terhadap

odgj dengan (p<0,05), Putriyani dkk (2016), tentang Stigma Masyarakat Terhadap

Orang Dengan Gangguan Jiwa Di Kecamatan Kuta Malaka Kabupaten Aceh Besar

yang dapat dsimpulkan bahwa stigma masyarakat terhadap orang dengan gangguan

jiwa Di Kecamatan Kuta Malaka Kabupaten Aceh Besar berada pada kategori rendah

dengan frekuensi 35 dan persentase 51.5%. Dan juga Nurul sya’diyah dkk, (2014)

tentang Stigma Masyarakat Terhadap Orang Sakit Jiwa Di Desa Trucuk Kecamatan

Trucuk Kabupaten Bojonegoro dapat disimpulkan lebih dari sebagian masyarakat

memiliki stigma negatif dengan responden 59 dan persentase 59 %.

Berdasarkan pengambilan data awal yang dilakukan peneliti pada rekam

medik Puskesmas 23 ilir Kecamatan Bukit Kecil Palembang, jumlah penduduk yang

menderita gangguan jiwa sebanyak 116 orang pada tahun 2018 dan data yang di
6

ambil di kantor Lurah 23 ilir jumlah kk masyarakat sebanyak 933 kk pada tahun

2018. Menurut hasil dari wawancara pada tanggal 6 maret 2019 dengan 5 orang

masyarakat yang tinggal di Kelurahan 23 ilir kecamatan Bukit kecil Palembang,

mengatakan bahwa 1 orang masyarakat tersebut berkata orang dengan gangguan jiwa

adalah beban masyarakat, orang dengan gangguan jiwa harus dijauhi karena dapat

melukai orang lain, 2 orang masyarakat lagi mengatakan merasa ketakutan kalau ada

penduduk yang menderita gangguan jiwa di lingkungannya karena mereka berpikir

orang yang gangguan jiwa suka mengamuk dan mencelakai orang lain, dan 2 orang

masyarakat lagi mengatakan memperlakukan atau bersikap tidak baik pada penderita

gangguan jiwa, saat pembicaraan yang negatif tentang gangguan jiwa.

Selanjutnya di dapatkan hasil wawancara dengan Ketua RT, Lurah dan pihak

Puskesmas, bahwa menurut Ketua RT menyebutkan terdapat warganya yang

mengalami gangguan jiwa namun dari pihak keluarganya tidak ada laporan jika ada

salah satu anggota keluarga mereka yang mengalami gangguan jiwa, sehingga RT

tidak bisa menindak lebih lanjut. Sedangkan Lurah Kelurahan 23 ilir mengetahui

terdapat banyak sekali warganya mengalami gangguan jiwa, Lurah juga berkata

mereka langsung cepat tanggap menanggani warga yang mengalami gangguan jiwa,

jika ada laporan dari pihak keluarga mereka yang mengalami gangguan jiwa dan

untuk pengembalian orang dengan gangguan jiwa di masyarakat itu tergantung

dengan kondisi orang dengan gangguan jiwa, ketika kondisinya sudah baik maka

orang tersebut dapat diterima dimasyarakat. Dan tanggapan dari pihak puskesmas

untuk jumlah orang yang mengalami gangguan jiwa dipuskesmas tersebut berjumlah
7

116 orang, sedangkan untuk program Keswa dan penatalaksanaan pada orang

gangguan jiwa dipuskesmas tersebut tidak tersedia, puskesmas hanya menyediakan

pelayanan pengambilan obat dengan orang gangguan jiwa. Berdasarkan

permasalahan tersebut peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana Faktor-faktor

yang mempengaruhi Stigma Negatif Terhadap ODGJ di Kelurahan 23 ilir Kecamatan

Bukit kecil Palembang.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan hal tersebut maka perumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:

a. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ketua Rt terdapat data warganya

yang mengalami jiwa.

b. Ditemukan pada saat wawancara dengan Pak Lurah Kelurahan 23 ilir

terdapat tindakan cepat tanggap terhadap ODGJ jika ada laporan dari warga

dan untuk penggembalian ODGJ di masyarakat tergantung dengan kondisi

ODGJ jika sudah membaik maka dapat diterima dimasyarakat.

c. Ditemukan pada saat wawancara dengan pihak puskesmas terdapat orang

dengan gangguan jiwa sebanyak 116 orang dan untuk penyediaan program

keswa dan penatalaksanaan dipuskesmas belum ada.

d. Belum diketahuinya faktor-faktor yang meempengaruhi stigma negatif

terhadap orang dengan gangguan jiwa diKelurahan 23 ilir Kecamatan Bukit

Kecil Palembang.
8

1.3 Pertanyaan penelitian

Berdasarkan masalah tersebut maka timbul suatu pertanyaan yaitu : Apakah

ada Faktor-faktor yang mempengaruhi Stigma Negatif Terhadap odgj di Kelurahan

23 ilir Kecamatan Bukit kecil Palembang.

1.4 Tujuan penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi Stigma Negatif Terhadap

ODGJ di Kelurahan 23 ilir Kecamatan Bukit kecil Palembang Tahun 2019?

1.4.2 Tujuan Khusus

1.4.2.1 Untuk mengetahui faktor Eksternal : Kegilaan Adalah Aib, Mitos tentang

Gangguan jiwa, Kepercayaan masyarakat mengenai peran dukun, terhadap

faktor-faktor yang mempengaruhi stigma negatif terhadap orang dengan

gangguan jiwa di Kelurahan 23 ilir kecamatan Bukit kecil Palembang tahun

2019.

1.4.2.2 Untuk mengetahui Faktor internal : Pengetahuan keluarga, Dukungan

keluarga, perasaan malu, terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi stigma

negatif terhadap orang dengan gangguan jiwa di Kelurahan 23 ilir kecamatan

Bukit kecil Palembang tahun 2019.

1.4.2.3 Untuk mengetahui Stigma Negatif terhadap orang dengan gangguan jiwa di

Kelurahan 23 ilir kecamatan Bukit kecil Palembang tahun 2019.


9

1.4.2.4 Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi Stigma Negatif terhadap

orang dengan gangguan jiwa di Kelurahan 23 ilir kecamatan Bukit kecil

Palembang tahun 2019.

1.5 Manfaat penelitian

1.5.1 Manfaat Bagi Masyarakat Kelurahan 23 ilir palembang

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan

kepada masyarakat agar selalu memperhatikan penderita gangguan jiwa dan tidak

menganggap biasa saja. Dan dapat memberikan masukan kepada masyarakat dari

pihak puskesmas agar lebih paham tentang gangguan jiwa dan menanggapinya

dimasa akan datang.

1.5.2 Manfaat Bagi STIK Bina Husada palembang

Hasil penelitian ini akan menjadi tambahan sumber informasi baru bagi

mahasiswa di masa yang akan datang dan menambah daftar kepustakaan untuk

digunakan sebagai bahan dan sumber bacaan khususnya bagi mahasiswa

keperawatan.

1.5.3 Manfaat Bagi Peneliti

Penelitian ini bermanfaat bagi penulis untuk menerapkan ilmu yang telah di

dapat dari institusi pendidikan serta juga menambah wawasan dan pengetahuan dalam

penerapan ilmu yang dilakukan peneliti dalam mengetahui faktor-faktor yang

mempengaruhi Stigma Negatif terhadap orang dengan gangguan jiwa di Kelurahan

23 ilir kecamatan Bukit kecil Palembang tahun 2019.


10

1.6 Ruang Lingkup penelitian


Penelitian ini termasuk dalam lingkup kajian keperawatan jiwa. Penelitian ini

dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi Stigma Negatif

terhadap orang dengan gangguan jiwa di Kelurahan 23 ilir kecamatan Bukit kecil

Palembang tahun 2019, penelitian ini menggunakan metode penelitian analitik cross

sectional. Responden dalam penelitian ini adalah semua masyarakat di Kelurahan 23

ilir Kecamatan bukit kecil Palembang dengan jumlah sampel 89 responden dengan

teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling, penelitian ini akan

dilaksanakan pada bulan maret sampai juni tahun 2019 di kelurahan 23 ilir kecamatan

Bukit kecil Palembang, pengumpulan data dengan menyebarkan kuesioner.

Anda mungkin juga menyukai