Oleh :
Hetty Sulastri 192211101003
2019
BAB 1. PENDAHULUAN
Anggapan bahwa obat bahan alam lebih aman daripada obat konvensional
serta penggunaan bersama antara keduanya tidak memberikan reaksi yang merugikan
perlu dicermati kembali kebenarannya. Berdasarkan latar belakang yang telah
disebutkan maka penting untuk dilakukan kajian mengenai interaksi antara rosela
sebagai obat bahan alam, obat, maupun makanan berdasarkan literatur yang telah ada.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah yang dihasilkan
adalah:
1. Apakah terdapat reaksi terhadap tubuh antara rosela dengan obat konvensional dan
makanan jika dikonsumsi secara bersamaan?
2. Bagaimanakah reaksi yang mungkin timbul jika rosela dengan obat konvensional
dan makanan dikonsumsi secara bersamaan?
Kingdom : Plantae
Phylum : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Orde : Malvales
Famili : Malvaceae
Genus : Hibiscus
Rosela merupakan herba subshurb yang memiliki batang halus, silindris, dan
biasanya berwarna merah. Daunnya memiliki panjang 8-15 cm dengan tepi bergigi.
Daun muda atau daun bagian atas biasanya memiliki bentuk sederhana sedangkan
daun yang sudah tua atau daun bagian bawah biasanya memiliki 3-5 lobus. Bunga
rosela awalnya berwarna kuning dengan bintik merah di dasar setiap kelopak.
Kemudian bunga berubah menjadi merah muda ketika akan layu. Kelopak rosela
berwarna merah dan memiliki struktur berdaging dengan lebar 3-3,4 cm (Da-Costa-
Rocha dkk., 2014; Mariod dkk., 2017).
Gambar 2.2. Struktur kation flavilium (aglikon) (Sumber: Riaz dan Chopra, 2018)
Tabel 2.1 Building Block Antosianin pada Rosela (Sumber: Riaz dan Chopra, 2018)
Antosianin R1 R2
Pelargonidin H H
Sianidin OH H
Peonidin OCH3 H
Delfinidin OH OH
Petunidin OCH3 OH
Serbuk dari kaliks atau bunga segar yang dikeringkan digunakan untuk
menyembuhkan flatulen pada sapi, kambing, dan domba. Ekstrak kaliks rosela yang
ditambahkan dengan garam bermanfaat untuk menyembuhkan diare dan disentri pada
hewan dan manusia. Selain itu ekstrak ini juga digunakan untuk menyembuhkan nyeri
pinggang dan kelainan ginekologis lainnya pada kasus-kasus paska persalinan (Singh
dkk., 2006). Infusa kaliks rosela dapat digunakan untuk mengobati penyakit pada
hati, demam, hiperkolesterolemia, hipertensi, antispasmodik dan agen antimikroba
(Ali dkk., 1991; Chen dkk., 2003; Khalid dkk., 2012).
2.4 Aktivitas Tumbuhan Rosela
2.4.1 Antihiperlipidemia
Berbagai penelitian telah menunjukkan efek hipolipidemik dari ekstrak
Hibiscus sabdariffa (HSE) atau rosela menunjukkan kemungkinan sebagai agen anti-
obesitas. Polifenol yang berasal dari rosela memiliki karakter pleiotropik dan dapat
menjadi tambahan dalam patologi karena mereka memiliki efek multi-target pada
obesitas yang mempengaruhi kesehatan manusia dan mekanisme multi-target ini
melibatkan regulasi metabolisme energi, stres oksidatif dan jalur peradangan, faktor
transkripsi, hormon dan peptida, enzim pencernaan, serta modifikasi epigenetik.
Terdapat bukti dari penelitian pada hewan dan uji klinis pada manusia bahwa
rosela mengurangi hiperlipidemia. Dalam sebuah penelitian dilaporkan, bahwa ketika
tikus hiperkolesterolemia diberi makan dengan dosis 5-10 % rosela selama 9 minggu
menurunkan fraksi lipid yang berbeda dalam plasma, jantung, otak, ginjal dan hati.
Pada penelitian menunjukkan bahwa ekstrak rosela telah mengurangi lebih dari 50 %
konsentrasi serum trigliserida pada tikus yang menjalani diet hiperkalsor selama
beberapa minggu (Arroyo dkk., 2011). Rosela memiliki efek penghambatan pada
oksidasi LDL dan karenanya dapat digunakan sebagai agen fitokimia yang kuat dalam
pengobatan terapi aterosklerosis (Lin dkk., 2015).
Beberapa peneliti telah mengusulkan mekanisme berikut untuk menjelaskan
efek antihiperlipidemia dari tumbuhan rosela. Pada penelitian lain menunjukkan
bahwa efek antihiperlipidemia dari tumbuhan rosela melalui peningkatan level
lipoprotein densitas tinggi (HDL-C) dalam serum, mentransfer kelebihan kolesterol
dari sel perifer ke hati untuk katabolisme melalui transportasi kolesterol balik jalur,
sehingga meningkatkan penghambatan penyerapan kolesterol, gangguan dengan
produksi lipoprotein dan peningkatan ekspresi lipoprotein densitas rendah (LDL)
(Ochani dan D'Mello, 2009).
2.4.2 Antihipertensi
Hipertensi adalah kondisi medis kronis jantung di mana tekanan darah arteri
meningkat. Hipertensi merupakan masalah kesehatan umum di negara maju dan
berkembang. Secara tradisional, rosela digunakan sebagai agen antihipertensi.
Penggunaan kuno rosela berhubungan dengan penyakit kardiovaskular. Beberapa
laporan investigasi ilmiah telah memberikan bukti bahwa ektrak rosela secara
signifikan mengurangi tekanan darah pada model hewan dan manusia. Ekstrak air
rosela telah menunjukkan efek antihipertensi dan kardioprotektif pada tikus 2-ginjal-
1-klip (2k-1c). Percobaan tunggal pertama dipelajari pada 54 pasien dengan
hipertensi sedang yang menunjukkan penurunan (sistolik sebesar 11,2 % dan tekanan
diastolik sebesar 10,7 %) dalam 12 hari setelah dimulainya pengobatan dan ketika
pengobatan dihentikan, setelah tiga hari tekanan darah sistolik dan diastolik
meningkat masing-masing sebesar 5,6% dan 6,2 % (Faraji dan Tarkhani, 1999)
2.4.3 Antiinflamasi
Inflamasi adalah respons fisiologis tubuh terhadap perubahan atau gangguan
faktor luar. Diabetes memicu senyawa inflamasi (hs-CRP, IL-6, TNF-α dan IL-18).
Dalam studi yang dilakukan oleh Mardiah dkk., 2015 untuk menilai efek ekstrak
rosela pada tikus diabetes yang diinduksi streptozotosin telah menunjukkan bahwa
dosis 72 mg/hari/200 g berat badan dan 288 mg /hari/200 g berat badan menurunkan
tingkat tumor nekrosis factor-α (TNF-α) dengan demikian menunjukkan adanya
aktivitas antiinflamasi dari rosela. Dalam studi lain menunjukkan bahwa pada model
tikus diabetes tipe 2 telah menunjukkan bahwa dosis 200mg/kg ekstrak polifenol
rosela mencegah nefropati diabetes awal, menghambat albuminuria dan peningkatan
pembersihan kreatinin dan juga menghambat pengendapan lemak dan glikasi (Yang
dkk., 2013).
Penelitian lain menunjukkan mekanisme rosela pada infeksi saluran kemih
(ISK) dengan menerapkan studi transkriptomi dipandu dengan observasi klinis.
Mereka melaporkan bahwa minuman rosela dengan konsentrasi 4,84 μg/ml
delphinidine-3-sambubioside meningkatkan kadar lipopolysaccharide (LPS),
menginduksi peradangan ginjal pada tikus melalui regulasi jaringan sitokin (iNos,
NO, IL-6) , MCP-1 dan TNF-α), jalur produksi pro-inflamasi dan jalur faktor
transkripsi nuklir (NF-KB) pada tikus, dengan cara yang tergantung pada dosis.
Mereka juga menganalisis penggunaan terapi tradisional dari minuman rosela dalam
pencegahan ISK pada penduduk dengan kateter urin di fasilitas perawatan jangka
panjang melalui kuesioner survei dan melaporkan penurunan kejadian ISK sebesar
36% (Chou dkk., 2016).
Antosianin pada rosela juga dapat mengurangi keparahan penyakit ginjal
kronis yang diinduksi adenin (CKD) pada tikus dengan tingkat yang sama diberikan
dengan lisinopril (umumnya digunakan pada CKD manusia) bergantung dosis dengan
cara melawan penanda stres oksidatif dan reaksi inflamasi oleh sitokin. Komposisi
antosianin yang digunakan dalam penelitian ini adalah delphinidine-3-sambubioside
(47,3 ± 1,0%), cyanidine-3-sambubioside (12,9 ± 9%), rutoside (3,2 ± 0,02%) dan
asam klorogenat (1,3 ± 0,06%) (Ali dkk., 2017). Studi-studi ini menyarankan aplikasi
potensial rosela sebagai suplemen fungsional yang aman untuk mengurangi inflamasi
kronis pada manusia.
Selain melakukan pengujian pada hewan uji, dilakukan juga uji pada 10
relawan sehat untuk mengetahui efek minuman rosela pada parameter farmakokinetik
simvastatin. Kombinasi minuman rosela dan simvastatin menurunkan parameter
absorpsi (Ka, T1/2, Cmax) tetapi meningkatkan nilai Tmax dari simvastatin yang
menunjukkan adanya penghambatan absorpsi. Penghambatan ini diduga akibat efek
minuman rosela yang mampu menghambat motilitas gastrointestinal. Peningkatan
klirens simvastatin akibat efek minuman rosela menyebabkan penurunan absorpsi dan
nilai AUC sehingga menurunkan efektifitasnya. Pada gambar 3.1 menunjukan
kombinasi minuman rosela dengan simvastatin dapat menurunkan konsentrasi
simvastatin dalam plasma. Konsentrasi simvastatin dalam plasma lebih dipengaruhi
pada perubahan absorpsi daripada eliminasi simvastatin.
Gambar 3.1. Konsentrasi simvastatin dalam plasma (Sumber: Showande dan Fakeye, 2017).
Peningkatan parameter lipid pada hewan uji dengan pemberian ekstrak rosela
dan simvastatin secara bersamaan tidak dapat dijelaskan oleh parameter
farmakokinetika minuman rosela yang diiberikan bersama simvastatin. Perbedaan
tersebut dimungkinkan karena adanya perbedaan antara jalur metabolisme dan
transportasi pada hewan dan manusia.
Dalam jurnal yang berjudul Effect of Zobo drink (Hibiscus sabdariffa water
extract) on the Pharmacokinetics of Acetaminophen in Human Volunteers
menunjukkan bahwa minuman rosela dapat meningkatkan eliminasi asetaminofen.
Dari hasil penelitian ini, pemberian asetaminofen harus setidaknya diminum 3-4 jam
sebelum konsumsi minuman rosela sehingga aktivitas terapi asetaminofen tidak akan
dipersingkat (Kolawole dan Maduenyi, 2004). Berikut merupakan data pendukung
yang menunjukkan adanya interaksi rosela dengan asetaminofen:
Tabel 3.1. Profil farmakokinetik asetaminofen pada enam sukarelawan sehat sebelum dan
setelah pemberian ekstrak air Hibiscus sabdariffa (minuman zobo) (Sumber:
Kolawole dan Maduenyi, 2004).
Gambar 3.2. Profil konsentrasi plasma – profil waktu acetaminophen (1000 mg) pada
sukarelawan manusia sebelum dan sesudah minum ekstrak air Hibiscus
sabdariffa (minuman zobo) (Sumber: Kolawole dan Maduenyi, 2004).
Peningkatan volume urin tercatat dari jam 1 hingga 24 jam. Kombinasi HSE
dan HCT juga menyebabkan penurunan Konsentrasi Na+ pada urin dibandingkan
dengan kelompok yang diberikan HCT saja. Ekstrak tidak menyebabkan peningkatan
ekskresi urin dari Na+, Cl, dan HCO3. Efek ini menunjukkan kemungkinan manfaat
HSE di kasus hiponatremia dilusional. Kecenderungan ekstrak menyebabkan
penurunan ekskresi Cl dan penurunan pH menunjukkan kemungkinan asidosis
metabolik dengan penggunaan jangka panjang.
Tabel 3.3. Pengaruh pemberian ekstrak air Hibiscus sabdariffa dalam farmakokinetika
hidroklorotiazid (HCT) pada kelinci (Sumber: Ndu dan Ochiogu, 2011).
Pada tabel 3.3 sebagian besar parameter farmakokinetik dari HCT yang
dievaluasi meningkat dengan penambahan HSE dalam rejimen. Rata-rata AUC adalah
0,658 ketika HCT diberikan sendiri, tetapi meningkat secara signifikan pada semua
kelompok perlakuan dimana HCT diberikan kombinasi dengan HSE. AUC
menunjukkan jumlah total obat yang dicapai dalam tubuh.
Klirens merupakan volume darah yang dibersihkan dari obat per satuan
waktu, klirens mengalami penurunan dengan meningkatnya dosis HSE yang
diberikan bersama dengan HCT. Penurunan klirens mengakibatkan sedikit HCT yang
akan dibersihkan dari tubuh pada per satuan waktu dengan meningkatnya dosis HSE
yang diberikan bersamaan. Volume distribusi (Vd) menggambarkan pola distribusi
obat antara kompartemen intraseluler dan ekstraseluler. Volume distribusi HCT
meningkat dengan meningkatnya dosis HSE yang diberikan bersamaan. Konstanta
laju eliminasi (Kel) HCT menurun dengan meningkatnya dosis HSE. Hal tersebut
menunjukkan bahwa HSE memperlambat laju eliminasi HCT dari tubuh (Ndu dan
Ochiogu, 2011).
Adigun, M.O., O.D. Ogundipe, J.I. Anetor, A.O. Odetunde. 2006. Dose-dependent
changes in some haematological parameters during short-term administration of
Hibiscus sabdariffa calyx aqueous extract (Zobo) in Wistar albino rats. J. Med
Sci. 35 (1):73–77.
Ali M.B., Salih W.M., Mohamed A.H., Homeida A.M. 1991. Investigation of the
antispasmodic potential of Hibiscus sabdariffa calyces. J. Ethnopharmocol. 31
(2):249–257.
Chen C.C., Hsu J.D., Wang S.F., Chiang H.C., Yang M.Y., Kao E.S., Ho Y.C., Wang
C.J. 2003. Hibiscus sabdariffa extract inhibits the development of
atherosclerosis in cholesterol-fed rabbits. J. Agric. Food Chem. 51:5472–5477.
Chou, S.-T., H.-Y. Lo, C.-C. Le, L.-C. Cheng, P.-C. Chou, Y.-C. Lee, T.-Y. Ho, C.-Y.
Hsiang. 2016. Exploring the effect and mechanism of Hibiscus sabdariffa on
urinary tract infection and experimental renal inflammation. J.
Ethanopharmacol. 194:617–625.
Clydesdale, F. M., Main, J. H., & Francis, F. J. 1979. Roselle (Hibiscus sabdariffa L.)
anthocyanins as colorants for beverages and gelatin desserts. Journal of Food
Protection. 42(3): 204–207.
Emelike, C.U., D.V. Dapper. 2013. Effect of oral administration of aqueous extract of
Hibiscus sabdariffa on some haematological parameters of Wistar Albino rats.
J.Dent. Med. Sci. 9 (1):31–34
Singha, A. S., & Kumar, V. 2008. Fabrication and study of lignocellulosic Hibiscus
Sabdariffa fiber reinforced polymer composites. BioResources. 3(4):1173–1186.
Singh R.K., Sureja K.A., Singh D. Amta and Amti. 2006. (Hibiscus sabdariffa L.)-
cultural and agricultural dynamics of agrobiodiversity conservation. Indian J.
Tradit. Knowl. 5 (1):151–157.
Sujono, T. A., Hidayah Karuniawati, dan Y. W. Widiatmoko. 2012. EFEK infusa
bunga rosella (Hibiscus sabdariffa) pada serum glutamate piruvat transaminase
tikus yang diinduksi parasetamol dosis toksik. 13(2):65–69.
Wu, C.-C. Huang, C.-H. Hung, F.-Y. Yao, C.-J. Wang, C.-Y. Chang. 2016.
Delphinidin-rich extracts of L. trigger mitochondria-derived autophagy and
necrosis through reactive oxygen species in human breast cancer cells. J. Funct.
Food. 25:279–290.
Yang,C.-N. Huang, C.-J. Wang, Y.-J. Lee, M.-L. Chen, C.-H. Peng. 2013.
Polyphenols of Hibiscus sabdariffa improved diabetic nephropathy via
regulating the pathogenic markers and kidney functions of type 2 diabetic rats.
J. Funct.Foods. 5:810–819.