Anda di halaman 1dari 22

TUGAS SAINTIFIKASI JAMU

INTERAKSI TUMBUHAN ROSELA (Hibiscus sabdariffa Linn)


DENGAN OBAT DAN MAKANAN

Dosen : Endah Puspitasari, S.Farm., M.Sc., Apt.

Oleh :
Hetty Sulastri 192211101003

Retno Ayu Nitasari 192211101047

Ita Husnul Chotimah 192211101055

Diana Hanifiyah 192211101058

Fauzia Ken Nastiti 192211101068

Ahmad Daris Sauqi 192211101074

Lilis Amongsari 192211101085

Rofiqoh Maulidah Sari 192211101090

Asrin Rakhmaniyah 192211101093

Nurlaila Velayati 192211101100

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS JEMBER

2019
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Obat herbal didefinisikan sebagai produk jadi, berlabel, yang mengandung
bahan aktif secara farmakologi berupa bagian tumbuhan, atau bahan tumbuhan
lainnya yaitu kombinasi keduanya dan dapat mengandung eksipien selain bahan aktif.
Obat herbal yang mengandung atau dikombinasikan dengan zat aktif kimia tidak
dianggap sebagai obat herbal (Izzo, 2012). Perkembangan penggunaan obat herbal
saat ini banyak dipilih sebagai terapi alternatif pada penyakit yang memerlukan
pengobatan seumur hidup atau sebagai dosis tambahan untuk meningkatkan efek
terapetik (Febriyanti dkk., 2014). Penggunaan obat herbal di Indonesia didasarkan
dari pengalaman empiris secara turun temurun dan bermanfaat sebagai upaya
pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, dan pengobatan. Upaya mendorong
dan menggalakkan pemakaian herba asli Indonesia kemudian oleh pemerintah
dilakukan program saintifikasi agar jamu yang terbukti aman dan dapat digunakan
secara formal. Obat-obatan herbal asli Indonesia telah dirangkum dalam Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 6 tahun 2016 tentang formularium obat herbal asli
Indonesia.
Di masyarakat penggunaan minuman herbal, jus buah, ataupun makanan
suplemen bersamaan dengan obat ditujukan untuk menutupi rasa yang tidak enak dari
obat oral atau sebagai terapi tambahan karena berkeyakinan bahwa obat herbal lebih
aman, dan sebagai upaya dalam meningkatkan efek farmakologi obat (Fakeye dkk.,
2008). Penambahan terapi atau kombinasi dari beberapa obat seringkali diperlukan
untuk mencapai respon terapetik yang diinginkan (Ndu dkk., 2011). Konsumsi
makanan ataupun herba yang diberikan bersamaan dengan obat dimungkinkan dapat
mengubah respon tubuh terhadap obat. Interaksi yang terjadi dapat terjadi pada fase
absorpsi, distribusi, metabolisme, maupun ekskresi. Berbeda dengan obat
konvensional yang mengandung zat kimia tunggal, obat herba yang terdiri dari
keseluruhan ekstrak bagian tumbuhan akan mengandung lebih dari 1 macam senyawa
aktif (metabolit), sehingga kemungkinan terjadinya interaksi akan semakin besar
(Izzo, 2012). Beberapa jamu, sayuran, maupun jus buah diketahui dapat
mempengaruhi farmakokinetik dan farmakodinamik dari obat-obatan konvensional
(Fakeye dkk., 2008). Konsumsi asetaminofen ditambah dengan rosela dapat
mengubah waktu paruh asetaminofen (Kemenkes RI, 2016). Berdasarkan hal tersebut
diperlukan penelitian berkelanjutan terkait interaksi antara sediaan herba dengan
obat-obatan lain ataupun makanan guna meminimalisir efek samping yang tidak
diinginkan.
Rosela (Hibiscus sabdariffa Linn.) adalah tumbuhan herba asli tropis dan
termasuk dalam suku Malvaceae. Kelopak bunga rosela dapat diproses menjadi
beberapa produk pangan seperti jeli, saus, teh, sirup, selai, puding, dan manisan. Di
beberapa negara tropis tumbuhan ini telah banyak dimanfaatkan sebagai obat.
Kelopak bunganya mengandung antosianin, vitamin B dan C, kalsium, beta karoten,
asam amino esensila, asam sitrat, asam malat, asam tartar, dan asam allo-
hidroksisitrat. Antosianin berperan dalam menjaga kerusakan sel akibat sinar
ultraviolet berlebih. Kandungan vitamin C yang tinggi dari bunga ini bermanfaat
untuk meningkatkan daya tahan tubuh manusia terhadap serangan penyakit.
Kandungan asam organik, polisakarida, dan flavonoid dari kelopak bunga ini
bermanfaat untuk mencegah kanker, melancarkan peredaran darah, dan melancarkan
buang air besar. Secara empiris tumbuhan ini banyak dimanfaatkan untuk mengatasi
batuk, lesu, demam, dan gusi berdarah. Adapun ekstrak kuncup bunganya mempunyai
aktivitas antispasmodik, antihelmintik, dan antibakteri (Maryani dan Kristina, 2005).

Anggapan bahwa obat bahan alam lebih aman daripada obat konvensional
serta penggunaan bersama antara keduanya tidak memberikan reaksi yang merugikan
perlu dicermati kembali kebenarannya. Berdasarkan latar belakang yang telah
disebutkan maka penting untuk dilakukan kajian mengenai interaksi antara rosela
sebagai obat bahan alam, obat, maupun makanan berdasarkan literatur yang telah ada.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah yang dihasilkan
adalah:
1. Apakah terdapat reaksi terhadap tubuh antara rosela dengan obat konvensional dan
makanan jika dikonsumsi secara bersamaan?
2. Bagaimanakah reaksi yang mungkin timbul jika rosela dengan obat konvensional
dan makanan dikonsumsi secara bersamaan?

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan latar belakang tersebut, maka tujuan dari pembuatan makalah ini
adalah untuk mengetahui gambaran umum terkait interaksi antar tumbuhan herbal
rosela dengan obat-obatan konvensional.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Tumbuhan


Klasifikasi tumbuhan rosela menurut ITIS: Catalogue of Life (2009) adalah
sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Phylum : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Orde : Malvales

Famili : Malvaceae

Genus : Hibiscus

Spesies : Hibiscus sabdariffa. L

Gambar 2.1. Tumbuhan rosela (Sumber: Riaz dan Chopra, 2018)


2.2 Deskripsi dan Morfologi Tumbuhan Rosela
Rosela atau Hibiscus sabdariffa L merupakan tumbuhan yang telah digunakan
baik sebagai minuman ringan maupun ramuan herbal sejak bertahun-tahun lamanya.
Tumbuhan berkayu ini dapat tumbuh mencapai 2-2,5 m di tanah yang berdrainase.
Rosela membutuhkan 4-8 bulan untuk tumbuh dengan suhu minimal 20 C serta sinar
matahari 13 jam (Da-Costa-Rocha dkk., 2014).

Rosela merupakan herba subshurb yang memiliki batang halus, silindris, dan
biasanya berwarna merah. Daunnya memiliki panjang 8-15 cm dengan tepi bergigi.
Daun muda atau daun bagian atas biasanya memiliki bentuk sederhana sedangkan
daun yang sudah tua atau daun bagian bawah biasanya memiliki 3-5 lobus. Bunga
rosela awalnya berwarna kuning dengan bintik merah di dasar setiap kelopak.
Kemudian bunga berubah menjadi merah muda ketika akan layu. Kelopak rosela
berwarna merah dan memiliki struktur berdaging dengan lebar 3-3,4 cm (Da-Costa-
Rocha dkk., 2014; Mariod dkk., 2017).

2.3 Kandungan Tumbuhan Rosela


Kaliks atau kelopak bunga rosela mengandung protein, lemak, karbohidrat,
dan serat. Selain itu kelopak bunga rosela juga kaya akan vitamin C, β-karoten,
niasin, riboflavin dan piridoksin. Kandungan utama dalam rosela yang relevan dengan
aktivitas farmakologinya adalah asam organik (asam sitrat, asam askorbat, asam
maleat, asam hibsikik, asam oksalik, dan asam tartarat), antosianin ( dua antiosianin
mayor delfinidin-3-sambubiosid dan sianidin-3-sambubiosid yang merupakan
antioksidan hidrofilik yang kuat dan dua antosianin minor delphinidine-3-glukosida
dan sianidin-3-glukosida), polifenol (asam hibiskus dan asam protokatekuik), dan
flavonoid (gosipetin, hibisketin, dan glikosidanya seperti euginol dan sterol seperti β-
sitoesterol dan ergoesterol). Daun rosela mengandung protein, lemak, karbohidrat,
mineral, besi, tiamin, β-karoten, riboflavin, dan asam askorbat.
Bijinya mengandung lemak, protein, karbohidrat, serat, dan abu. Kandungan mineral
yang paling banyak terkandung dalam rosela adalah kalium diikuti natrium, kalsium,
fosfor, dan magnesium (Mariod dkk., 2017; Riaz dan Chopra, 2018).

Gambar 2.2. Struktur kation flavilium (aglikon) (Sumber: Riaz dan Chopra, 2018)

Tabel 2.1 Building Block Antosianin pada Rosela (Sumber: Riaz dan Chopra, 2018)

Antosianin R1 R2

Pelargonidin H H

Sianidin OH H

Peonidin OCH3 H

Delfinidin OH OH

Petunidin OCH3 OH

Malvinidin OCH3 OCH3


2.3 Khasiat Tumbuhan Rosela
Kaliks bunga rosela umum digunakan sebagai bahan makanan dan juga
digunakan dalam obat tradisional. Selain itu rosela juga memiliki manfaat sebagai
sumber serat pengganti rami pada pembuatan pakaian, linen, jala ikan, tali, dan
barang-barang serupa lainnya (Cydesdale dkk., 1979). Pada penelitian yang sedang
berjalan menunjukkan hasil yang menjanjikan pada penggunaan rosela sebagai
pengganti serat sintetis atau mineral, dan juga sebagai sumber untuk produksi kertas
berkualitas tinggi (Dutt dkk., 2010; Kumar dkk., 2013; Singha dan Kumar, 2008).

Rosela dalam obat tradisional digunakan sebagai antidiuretik, koleretik,


febrifugal, dan memberikan efek hipotensi, mengurangi viskositas darah dan
menstimulasi gerakan peristaltik pada saluran cerna (Neuwinger, 2000). Selain itu
beberapa bagian dari tumbuhan rosela juga telah digunakan untuk mengatasi demam,
sakit gigi, infeksi saluran kemih, dan pereda mabuk (Maganha dkk., 2010). Di India
rosela digunakan untuk mengurangi sakit saat berkemih dan gangguan pencernaan.
Selain itu, masyarakat Meksiko menggunakan infusa kaliks dan daun rosela sebagai
terapi hipertensi dan penyakit lainnya (Da-Costa-Rocha dkk., 2014).

Serbuk dari kaliks atau bunga segar yang dikeringkan digunakan untuk
menyembuhkan flatulen pada sapi, kambing, dan domba. Ekstrak kaliks rosela yang
ditambahkan dengan garam bermanfaat untuk menyembuhkan diare dan disentri pada
hewan dan manusia. Selain itu ekstrak ini juga digunakan untuk menyembuhkan nyeri
pinggang dan kelainan ginekologis lainnya pada kasus-kasus paska persalinan (Singh
dkk., 2006). Infusa kaliks rosela dapat digunakan untuk mengobati penyakit pada
hati, demam, hiperkolesterolemia, hipertensi, antispasmodik dan agen antimikroba
(Ali dkk., 1991; Chen dkk., 2003; Khalid dkk., 2012).
2.4 Aktivitas Tumbuhan Rosela
2.4.1 Antihiperlipidemia
Berbagai penelitian telah menunjukkan efek hipolipidemik dari ekstrak
Hibiscus sabdariffa (HSE) atau rosela menunjukkan kemungkinan sebagai agen anti-
obesitas. Polifenol yang berasal dari rosela memiliki karakter pleiotropik dan dapat
menjadi tambahan dalam patologi karena mereka memiliki efek multi-target pada
obesitas yang mempengaruhi kesehatan manusia dan mekanisme multi-target ini
melibatkan regulasi metabolisme energi, stres oksidatif dan jalur peradangan, faktor
transkripsi, hormon dan peptida, enzim pencernaan, serta modifikasi epigenetik.
Terdapat bukti dari penelitian pada hewan dan uji klinis pada manusia bahwa
rosela mengurangi hiperlipidemia. Dalam sebuah penelitian dilaporkan, bahwa ketika
tikus hiperkolesterolemia diberi makan dengan dosis 5-10 % rosela selama 9 minggu
menurunkan fraksi lipid yang berbeda dalam plasma, jantung, otak, ginjal dan hati.
Pada penelitian menunjukkan bahwa ekstrak rosela telah mengurangi lebih dari 50 %
konsentrasi serum trigliserida pada tikus yang menjalani diet hiperkalsor selama
beberapa minggu (Arroyo dkk., 2011). Rosela memiliki efek penghambatan pada
oksidasi LDL dan karenanya dapat digunakan sebagai agen fitokimia yang kuat dalam
pengobatan terapi aterosklerosis (Lin dkk., 2015).
Beberapa peneliti telah mengusulkan mekanisme berikut untuk menjelaskan
efek antihiperlipidemia dari tumbuhan rosela. Pada penelitian lain menunjukkan
bahwa efek antihiperlipidemia dari tumbuhan rosela melalui peningkatan level
lipoprotein densitas tinggi (HDL-C) dalam serum, mentransfer kelebihan kolesterol
dari sel perifer ke hati untuk katabolisme melalui transportasi kolesterol balik jalur,
sehingga meningkatkan penghambatan penyerapan kolesterol, gangguan dengan
produksi lipoprotein dan peningkatan ekspresi lipoprotein densitas rendah (LDL)
(Ochani dan D'Mello, 2009).
2.4.2 Antihipertensi
Hipertensi adalah kondisi medis kronis jantung di mana tekanan darah arteri
meningkat. Hipertensi merupakan masalah kesehatan umum di negara maju dan
berkembang. Secara tradisional, rosela digunakan sebagai agen antihipertensi.
Penggunaan kuno rosela berhubungan dengan penyakit kardiovaskular. Beberapa
laporan investigasi ilmiah telah memberikan bukti bahwa ektrak rosela secara
signifikan mengurangi tekanan darah pada model hewan dan manusia. Ekstrak air
rosela telah menunjukkan efek antihipertensi dan kardioprotektif pada tikus 2-ginjal-
1-klip (2k-1c). Percobaan tunggal pertama dipelajari pada 54 pasien dengan
hipertensi sedang yang menunjukkan penurunan (sistolik sebesar 11,2 % dan tekanan
diastolik sebesar 10,7 %) dalam 12 hari setelah dimulainya pengobatan dan ketika
pengobatan dihentikan, setelah tiga hari tekanan darah sistolik dan diastolik
meningkat masing-masing sebesar 5,6% dan 6,2 % (Faraji dan Tarkhani, 1999)

2.4.3 Antiinflamasi
Inflamasi adalah respons fisiologis tubuh terhadap perubahan atau gangguan
faktor luar. Diabetes memicu senyawa inflamasi (hs-CRP, IL-6, TNF-α dan IL-18).
Dalam studi yang dilakukan oleh Mardiah dkk., 2015 untuk menilai efek ekstrak
rosela pada tikus diabetes yang diinduksi streptozotosin telah menunjukkan bahwa
dosis 72 mg/hari/200 g berat badan dan 288 mg /hari/200 g berat badan menurunkan
tingkat tumor nekrosis factor-α (TNF-α) dengan demikian menunjukkan adanya
aktivitas antiinflamasi dari rosela. Dalam studi lain menunjukkan bahwa pada model
tikus diabetes tipe 2 telah menunjukkan bahwa dosis 200mg/kg ekstrak polifenol
rosela mencegah nefropati diabetes awal, menghambat albuminuria dan peningkatan
pembersihan kreatinin dan juga menghambat pengendapan lemak dan glikasi (Yang
dkk., 2013).
Penelitian lain menunjukkan mekanisme rosela pada infeksi saluran kemih
(ISK) dengan menerapkan studi transkriptomi dipandu dengan observasi klinis.
Mereka melaporkan bahwa minuman rosela dengan konsentrasi 4,84 μg/ml
delphinidine-3-sambubioside meningkatkan kadar lipopolysaccharide (LPS),
menginduksi peradangan ginjal pada tikus melalui regulasi jaringan sitokin (iNos,
NO, IL-6) , MCP-1 dan TNF-α), jalur produksi pro-inflamasi dan jalur faktor
transkripsi nuklir (NF-KB) pada tikus, dengan cara yang tergantung pada dosis.
Mereka juga menganalisis penggunaan terapi tradisional dari minuman rosela dalam
pencegahan ISK pada penduduk dengan kateter urin di fasilitas perawatan jangka
panjang melalui kuesioner survei dan melaporkan penurunan kejadian ISK sebesar
36% (Chou dkk., 2016).
Antosianin pada rosela juga dapat mengurangi keparahan penyakit ginjal
kronis yang diinduksi adenin (CKD) pada tikus dengan tingkat yang sama diberikan
dengan lisinopril (umumnya digunakan pada CKD manusia) bergantung dosis dengan
cara melawan penanda stres oksidatif dan reaksi inflamasi oleh sitokin. Komposisi
antosianin yang digunakan dalam penelitian ini adalah delphinidine-3-sambubioside
(47,3 ± 1,0%), cyanidine-3-sambubioside (12,9 ± 9%), rutoside (3,2 ± 0,02%) dan
asam klorogenat (1,3 ± 0,06%) (Ali dkk., 2017). Studi-studi ini menyarankan aplikasi
potensial rosela sebagai suplemen fungsional yang aman untuk mengurangi inflamasi
kronis pada manusia.

2.4.3 Anti Anemia


Rosela merupakan tumbuhan yang paling banyak dikaitkan dengan anemia
karena kaya akan zat besi dan asam askorbat. Asam askorbat tersebut membantu
dalam penyerapan zat besi non-heme yang menunjukkan potensi sebagai anti-anemia
dalam etnomedisin. Secara farmakologis, ekstrak rosela diuji pada hewan serta hasil
model manusia. Uji tersebut menunjukkan peningkatan hematokrit dan hemoglobin.
Dilakukan uji tumbuhanrosela terhadap parameter hematologis seperti hemoglobin,
hematokrit dan jumlah sel darah putih total dengan dosis 200-1000 mg/kg yang
diberikan secara oral kepada tikus hingga 14 hari. Setelah 14 hari, peningkatan yang
signifikan diamati dalam hematokrit dan hemoglobin pada kelompok hewan yang
diberi dosis 200-400 mg/kg. Namun dosis yang lebih tinggi menunjukkan penurunan
kadar hematokrit yang signifikan tetapi tidak pada hemoglobin (Adigun dkk., 2006)
Sebuah penelitian serupa dilakukan oleh Emelike dan Dapper tahun 2013 pada
tikus Wistar albino selama 28 hari, menunjukkan bahwa pemberian ekstrak rosela
berperan dalam sistem hematopoietik. Anemia adalah penyakit defisiensi besi yang
ditandai dengan sel darah merah (RBC) rendah dalam darah. RBC membawa dan
mengirimkan oksigen ke sel-sel tubuh. Aktivitas anti-anemia dari ekstrak rosela
terjadi karena pH yang sangat rendah dan konsentrasi asam askorbat yang tinggi yang
telah meningkatkan bioavailabilitas mineral.

2.4.3 Anti Karsinogenik


Efek perlindungan dari antosianin rosela pada N-nitro-somethylurea (NMU)
pada tikus yang diinduksi leukemia Sprague-Dawley jantan telah menunjukkan
bahwa pemberian (0,2%) ekstrak telah menghambat perkembangan leukemia sebesar
33,3%. Selain itu, antosianin rosela meningkatkan kerusakan morfologi, hematologi,
dan histologi. Namun, aspartate aminotransferase (AST), alanine transaminase (ALT),
asam urat dan tingkat myeloperoxidase (MPO) berkurang. Hasil tersebut merupakan
laporan pertama yang menunjukkan adanya aktivitas anti-virus in vivo. Rosela
memodifikasi fungsi mitokondria dan menstimulasi kematian sel dengan autofagi dan
nekrosis pada sel MCF-7 alih-alih kematian sel yang terprogram. Studi di atas
memberikan bukti bahwa antosianin dari rosela memiliki efek anti karsinogenik dan
lebih banyak penelitian in vivo diperlukan untuk lebih mendukung efek anti
karsinigenik dari ekstrak antosianin rosela (Wu dkk., 2016).
BAB 3. PEMBAHASAN

3.1 Interaksi Rosela dengan Simvastatin


Interaksi rosela dengan simvastatin yaitu dapat meningkatkan efek
antihiperlipidemia dari simvastatin. Berdasarkan penelitian Showande dan Fakeye
tahun 2017 yang dilakukan pada hewan uji, kombinasi ekstrak rosela dengan
simvastatin mampu menurunkan kolesterol total, trigliserida, LDL dan meningkatkan
HDL lebih baik dibandingkan hanya menggunakan simvastatin. Kandungan
antosianin dan proteocatechuic pada ekstrak rosela diduga mampu menurunkan
kolesterol total dengan menghambat peroksidasi lipid, sedangkan polifenol diduga
mampu menghambat ekspresi sintesis asam lemak dan HMG-CoA reduktase. Hal
tersebut dimungkinkan mampu meningkatkan efek antihiperlipidemia simvastatin.

Selain melakukan pengujian pada hewan uji, dilakukan juga uji pada 10
relawan sehat untuk mengetahui efek minuman rosela pada parameter farmakokinetik
simvastatin. Kombinasi minuman rosela dan simvastatin menurunkan parameter
absorpsi (Ka, T1/2, Cmax) tetapi meningkatkan nilai Tmax dari simvastatin yang
menunjukkan adanya penghambatan absorpsi. Penghambatan ini diduga akibat efek
minuman rosela yang mampu menghambat motilitas gastrointestinal. Peningkatan
klirens simvastatin akibat efek minuman rosela menyebabkan penurunan absorpsi dan
nilai AUC sehingga menurunkan efektifitasnya. Pada gambar 3.1 menunjukan
kombinasi minuman rosela dengan simvastatin dapat menurunkan konsentrasi
simvastatin dalam plasma. Konsentrasi simvastatin dalam plasma lebih dipengaruhi
pada perubahan absorpsi daripada eliminasi simvastatin.
Gambar 3.1. Konsentrasi simvastatin dalam plasma (Sumber: Showande dan Fakeye, 2017).

Peningkatan parameter lipid pada hewan uji dengan pemberian ekstrak rosela
dan simvastatin secara bersamaan tidak dapat dijelaskan oleh parameter
farmakokinetika minuman rosela yang diiberikan bersama simvastatin. Perbedaan
tersebut dimungkinkan karena adanya perbedaan antara jalur metabolisme dan
transportasi pada hewan dan manusia.

3.2 Interaksi Rosela dengan Asetaminofen


Interaksi minor terjadi antara rosela dengan asetaminofen (Tylenol, lainnya).
Meminum minuman bunga rosela sebelum mengonsumsi asetaminofen dapat
menurunkan efek dari asetaminofen. Tetapi informasi lebih lanjut diperlukan untuk
mengetahui apakah ini merupakan masalah besar (MedlinePlus, 2019).

Dalam jurnal yang berjudul Effect of Zobo drink (Hibiscus sabdariffa water
extract) on the Pharmacokinetics of Acetaminophen in Human Volunteers
menunjukkan bahwa minuman rosela dapat meningkatkan eliminasi asetaminofen.
Dari hasil penelitian ini, pemberian asetaminofen harus setidaknya diminum 3-4 jam
sebelum konsumsi minuman rosela sehingga aktivitas terapi asetaminofen tidak akan
dipersingkat (Kolawole dan Maduenyi, 2004). Berikut merupakan data pendukung
yang menunjukkan adanya interaksi rosela dengan asetaminofen:

Tabel 3.1. Profil farmakokinetik asetaminofen pada enam sukarelawan sehat sebelum dan
setelah pemberian ekstrak air Hibiscus sabdariffa (minuman zobo) (Sumber:
Kolawole dan Maduenyi, 2004).

Gambar 3.2. Profil konsentrasi plasma – profil waktu acetaminophen (1000 mg) pada
sukarelawan manusia sebelum dan sesudah minum ekstrak air Hibiscus
sabdariffa (minuman zobo) (Sumber: Kolawole dan Maduenyi, 2004).

Ekstrak Hibiscus sabdariffa dapat mengurangi hepatotoksisitas yang diinduksi


asetaminofen dan memperbaiki beberapa indeks toksisitas dari asetaminofen (Ribeiro
dkk., 2018). Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa infusa bunga rosella (Hibiscus
sabdariffa) konsentrasi 20% (dosis 2,5 g/kg BB) dan 40% (dosis 5 g/kg BB) yang
diberikan dengan dosis berulang 1x7 hari berturut-turut mampu menurunkan kadar
SGPT pada tikus jantan galur Wistar yang diinduksi asetaminofen dosis toksik (2,5
g/kg BB). Kadar SGPT berturut-turut menjadi 388,8±18,79 U/L dan 172,2±87,48
U/L, sedangkan kelompok kontrol negatif 1190±443 U/L (Sujono dkk., 2012).

Kandungan kimia yang terkandung dalam infusa rosela mampu menaikkan


sintesis enzim glutation yang berperan dalam menetralkan kelebihan metabolit toksik
NAPQI, sehingga kadar SGPT nya turun (Sujono dkk., 2012).

3.3 Interaksi Rosela dengan Hidroklortiazid


Penggunaan minuman teh yang mengandung ekstrak Hibiscus sabdariffa
(HSE) pada pasien hipertensi mengalami perkembangan karena beberapa laporan
ilmiah menunjukkan bahwa ekstrak tumbuhan memiliki sifat diuretik dan hipotensi
yang bermanfaat bagi pasien hipertensi. Dalam studi komparatif lain, rosela tersebut
terbukti memiliki khasiat antihipertensi yang sebanding dengan kaptopril.
Hidrokolotiazid adalah salah satu obat antihipertensi golongan diuretik tiazid yaitu
dengan cara meningkatkan pengeluaran cairan (urin) dalam tubuh.

Ekstrak rosela dengan hidroklorotiazid (HCT) menyebabkan peningkatan


volume urin yang diekskresikan, serta penurunan pH dan urin yang signifikan, HCO3,
dan konsentrasi Cl (Tabel 3.2. dan 3.3).
Tabel 3.2. Pengaruh pemberian ekstrak air Hibiscus sabdariffa dengan hidroklorotiazid
(HCT) (Sumber: Ndu dan Ochiogu, 2011).

Peningkatan volume urin tercatat dari jam 1 hingga 24 jam. Kombinasi HSE
dan HCT juga menyebabkan penurunan Konsentrasi Na+ pada urin dibandingkan
dengan kelompok yang diberikan HCT saja. Ekstrak tidak menyebabkan peningkatan
ekskresi urin dari Na+, Cl, dan HCO3. Efek ini menunjukkan kemungkinan manfaat
HSE di kasus hiponatremia dilusional. Kecenderungan ekstrak menyebabkan
penurunan ekskresi Cl dan penurunan pH menunjukkan kemungkinan asidosis
metabolik dengan penggunaan jangka panjang.

Tabel 3.3. Pengaruh pemberian ekstrak air Hibiscus sabdariffa dalam farmakokinetika
hidroklorotiazid (HCT) pada kelinci (Sumber: Ndu dan Ochiogu, 2011).

Pada tabel 3.3 sebagian besar parameter farmakokinetik dari HCT yang
dievaluasi meningkat dengan penambahan HSE dalam rejimen. Rata-rata AUC adalah
0,658 ketika HCT diberikan sendiri, tetapi meningkat secara signifikan pada semua
kelompok perlakuan dimana HCT diberikan kombinasi dengan HSE. AUC
menunjukkan jumlah total obat yang dicapai dalam tubuh.
Klirens merupakan volume darah yang dibersihkan dari obat per satuan
waktu, klirens mengalami penurunan dengan meningkatnya dosis HSE yang
diberikan bersama dengan HCT. Penurunan klirens mengakibatkan sedikit HCT yang
akan dibersihkan dari tubuh pada per satuan waktu dengan meningkatnya dosis HSE
yang diberikan bersamaan. Volume distribusi (Vd) menggambarkan pola distribusi
obat antara kompartemen intraseluler dan ekstraseluler. Volume distribusi HCT
meningkat dengan meningkatnya dosis HSE yang diberikan bersamaan. Konstanta
laju eliminasi (Kel) HCT menurun dengan meningkatnya dosis HSE. Hal tersebut
menunjukkan bahwa HSE memperlambat laju eliminasi HCT dari tubuh (Ndu dan
Ochiogu, 2011).

3.4 Interaksi Rosela dengan Diklofenak


Di beberapa negara, minuman rosela yang diketahui mengandung antosianin
dan polifenol dikonsumsi secara luas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan,
penggunaan diklofenak bersama dengan minuman rosela (ekstrak air rosela)
menurunkan ekskresi dari diklofenak. Intereksi dimungkinkan terjadi pada hati atau
pada saluran pencernaan. Namun, mekanisme interaksi antara minuman rosela
dengan diklofenak masih belum diketahui (Fakeye dkk., 2007).

3.5 Interaksi Rosela dengan Makanan


Penelitian interaksi antara rosela dengan makanan hingga saat ini masih belum
ditemukan. Sehingga perlu adanya penelitian lebih lanjut agar penggunaan rosela
sebagai jamu dapat digunakan lebih aman.
BAB 5. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil diatas dapat disimpulkan bahwa :

1. Interaksi rosela dengan simvastatin yaitu dapat meningkatkan efek


antihiperlipidemia dari simvastatin.

2. Interaksi rosela dengan asetaminofen adalah dapat meningkatkan eliminasi dari


asetaminofen

3. Ekstrak rosela dapat memperlambat laju eliminasi hidroklortiazid dari tubuh.

4. Ekstrak rosela dapat menurunkan laju ekskresi diklofenak dari tubuh.


DAFTAR PUSTAKA

Adigun, M.O., O.D. Ogundipe, J.I. Anetor, A.O. Odetunde. 2006. Dose-dependent
changes in some haematological parameters during short-term administration of
Hibiscus sabdariffa calyx aqueous extract (Zobo) in Wistar albino rats. J. Med
Sci. 35 (1):73–77.

Ali, B.H., L. Cahliková, L. Opletal, T. Karaca, P. Manoj, A. Ramkumar, Y.M. Al


Suleimani, M. Al za’abi, A. Nemmar, L. Chocholousova-Havlikova, M. Locarek,T.
Siatka, G. Blunden. 2017. Effect of aqueous extract and anthocyanins of calyces of
Hibiscus sabdariffa (Malvaceae) in rats with adenine‐induced chronic kidney
disease. J. Pharm. Pharmacol. 69:1219–1229.

Ali M.B., Salih W.M., Mohamed A.H., Homeida A.M. 1991. Investigation of the
antispasmodic potential of Hibiscus sabdariffa calyces. J. Ethnopharmocol. 31
(2):249–257.

Arroyo, Fernandez, I.C. Roderiguez-Medina, R. Beltran-Debon, F. Pasini,J. Joven, V.


Micol, A. Segura-Carretero, A. Fernandez-Guierrez. 2011 Quantification of the
polyphenolic fraction and in vitro antioxidant and in vivo anti-hyperlipemic
activities of Hibiscus sabdariffa aqueous extract. Food Res Int. 44:1490–1495.

Chen C.C., Hsu J.D., Wang S.F., Chiang H.C., Yang M.Y., Kao E.S., Ho Y.C., Wang
C.J. 2003. Hibiscus sabdariffa extract inhibits the development of
atherosclerosis in cholesterol-fed rabbits. J. Agric. Food Chem. 51:5472–5477.

Chou, S.-T., H.-Y. Lo, C.-C. Le, L.-C. Cheng, P.-C. Chou, Y.-C. Lee, T.-Y. Ho, C.-Y.
Hsiang. 2016. Exploring the effect and mechanism of Hibiscus sabdariffa on
urinary tract infection and experimental renal inflammation. J.
Ethanopharmacol. 194:617–625.

Clydesdale, F. M., Main, J. H., & Francis, F. J. 1979. Roselle (Hibiscus sabdariffa L.)
anthocyanins as colorants for beverages and gelatin desserts. Journal of Food
Protection. 42(3): 204–207.

Da-Costa-Rocha, I., B. Bonnlaender, H. Sievers, I. Pischel, dan M. Heinrich. 2014.


Hibiscus sabdariffa l. - a phytochemical and pharmacological review. Food
Chemistry. 165:424–443.
Dutt, D., Upadhyaya, J. S., & Tyagi, C. H. 2010. Studies on Hibiscus cannabinus,
Hibiscus sabdariffa and Cannabinus sativa pulp to be a substitute for softwood
pulp – Part 1: AS-AQ delignification process. BioResources. 5(4): 2123–2136.

Emelike, C.U., D.V. Dapper. 2013. Effect of oral administration of aqueous extract of
Hibiscus sabdariffa on some haematological parameters of Wistar Albino rats.
J.Dent. Med. Sci. 9 (1):31–34

Fakeye, T. O., A. O. Adegoke, O. C. Omoyeni, dan A. A. Famakinde. 2007. Effects of


water extract of Hibiscus sabdariffa linn ( malvaceae ) ‘ roselle ’ on excretion of
a diclofenac formulation. Wiley InterScience. 98(21):96–98.

Neuwinger, H. 2000. African traditional medicine. Stuttgart: Medpharm Scientific


Publication.

Ochani, P.C., P. D’Mello. 2009. Antioxidant and antihyperlipidemic activity of


Hibiscus sabdariffa Linn. Leaves and calyces extracts in rats. Indian J Exp
Biol. 47:276–282.

Riaz, G. dan R. Chopra. 2018. A review on phytochemistry and therapeutic uses of


hibiscus sabdariffa l. Biomedicine and Pharmacotherapy. 102(May 2017):575–
586.

Ribeiro, J. S., J. A. Saavedra, L. T. Nunes, J. Kilinski, K. Heide, S. Nóbrega, dan R.


G. Lund. 2018. Interactions between acetaminophen and phytotherapies :
overview for the rational use of phytotherapics. 8(3):1–14.

Showande, S. J. dan T. O. Fakeye. 2017. In vivo pharmacodynamic and


pharmacokinetic interactions of Hibiscus sabdariffa calyces extracts with
simvastatin. Journal of Clinical Pharmacy and Therapeutics. 2017(00):1–9.

Singha, A. S., & Kumar, V. 2008. Fabrication and study of lignocellulosic Hibiscus
Sabdariffa fiber reinforced polymer composites. BioResources. 3(4):1173–1186.

Singh R.K., Sureja K.A., Singh D. Amta and Amti. 2006. (Hibiscus sabdariffa L.)-
cultural and agricultural dynamics of agrobiodiversity conservation. Indian J.
Tradit. Knowl. 5 (1):151–157.
Sujono, T. A., Hidayah Karuniawati, dan Y. W. Widiatmoko. 2012. EFEK infusa
bunga rosella (Hibiscus sabdariffa) pada serum glutamate piruvat transaminase
tikus yang diinduksi parasetamol dosis toksik. 13(2):65–69.

Wu, C.-C. Huang, C.-H. Hung, F.-Y. Yao, C.-J. Wang, C.-Y. Chang. 2016.
Delphinidin-rich extracts of L. trigger mitochondria-derived autophagy and
necrosis through reactive oxygen species in human breast cancer cells. J. Funct.
Food. 25:279–290.

Yang,C.-N. Huang, C.-J. Wang, Y.-J. Lee, M.-L. Chen, C.-H. Peng. 2013.
Polyphenols of Hibiscus sabdariffa improved diabetic nephropathy via
regulating the pathogenic markers and kidney functions of type 2 diabetic rats.
J. Funct.Foods. 5:810–819.

Anda mungkin juga menyukai