Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS

ILMU KEDOKTERAN JIWA

Disusun oleh:
Frastio Saputra
1102012094

Pembimbing:
AKBP dr. Karjana Sp. KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA


RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK. I RADEN SAID SUKANTO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 20 JANUARI 2020 – 22 FEBRUARI 2020
KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. IMP


Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 08 Maret 1996
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pendidikan Terakhir : SMA
Status Pernikahan : Kawin
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jl. Poncol RT 06/ RW 09, Ciracas
Tanggal Masuk RS : 12 Januari 2020
Tanggal Pemeriksaan : 3 Februari 2020
Ruang Perawatan : Ruang Dahlia

1
II. RIWAYAT PSIKIATRI
Autoanamnesis : 3 Februari 2020 di Ruang Dahlia
Alloanamnesis : Dilakukan kepada perawat di Ruang Dahlia
A. Keluhan Utama
Pasien mendengar suara-suara hewan.
B. Keluhan Tambahan
Pasien mengeluh tidak bisa makan.
C. Riwayat Gangguan Sekarang
Pasien Ny. IMP 23 tahun, dibawa ke RS Bhayangkara Tk. I R. Said
Sukanto oleh ibunya pada tanggal 12 Januari 2020 karena mengeluh
mendengar suara suara hewan. Ketika di berikan pertanyaan pasien menjawab
dan diikuti dengan cekikikan (giggling), senyum sendiri dan tertawa
menyeringai.
Pasien sehari-hari tinggal bersama keluarga besar suaminya di Surabaya,
tetapi apabila penyakit pasien kambuh pasien di pulangkan ke rumah orang
tuanya. Pasien tidak bekerja, kegiatan sehari hari pasien dirumah adalah
makan, tidur dan menonton televisi.
Pasien pernah tidak sadarkan diri selama lima jam ketika pertama masuk
RS POLRI tetapi tidak ada riwayat kejang. Pasien juga tidak pernah merokok,
mengkonsumsi alkohol ataupun zat psikoaktif lainnya. Selama pasien dirawat
di RS POLRI dari tanggal 12 Januari 2020 pasien pernah mendengar suara-
suara hewan pada malam hari dan membuat pasien sulit tidur. Setelah itu
pasien tidak menunjukkan gejala afektif yang berarti.
D. Riwayat Gangguan Dahulu
1. Gangguan Psikiatrik

Pasien mengalami gangguan psikiatrik pada akhir tahun 2016.


Pasien pertama kali di rawat di RS POLRI pada tanggal 19
November 2016 dengan gangguan depresi. Pasien merasa bersalah
karena menurutnya kematian ayahnya disebabkan karena
pernikahannya yang seharusnya tidak terjadi. Pasien kembali di

2
rawat pada tahun 2017 karena gelisah, sedih terus menerus dan
berprilaku seperti anak kecil suka bermain air liur, ketika ditanya
mengapa memainkan air liur pasien menjawab bahwa ada suara yang
mengatakan ia harus meludahi orang orang sekitarnya. Pasien juga
BAK dan BAB sembarangan walaupun sudah di bertahu untuk tidak
BAK dan BAB sembarangan.

Pasien kembali dirawat di RS POLRI pada tanggal 12 Januari


2020, dan sering keluar masuk rawat inap di RS POLRI sebelumnya.
Dari anamnesis, pasien mengetahui sering dirawat di RS POLRI
karena sakit, tetapi pasien tidak mengetahui penyakitnya karena
pasien hanya merasa masuk rumah sakit karena tidak enak badan.
Grafik Perjalanan Penyakit

Grafik Perjalanan Penyakit


3
2
1
0

Perjalanan Penyakit

Keterangan:
0 : Baseline. Sudah tidak terdapat gejala yang dikeluhkan pasien
1 : Terdapat gejala minimal
2 : Muncul gejala sedang yang cukup mengganggu kehidupan
pribadi pasien
3 : Muncul gejala berat yang mengganggu kehidupan pasien

2. Gangguan Medik

3
Berdasarkan Alloanamnesi dari perawat di Ruang Dahlia Pasien pernah
tidak sadarkan diri selama lima jam ketika pertama kali di bawa ke RS
POLRI, tetapi tidak menimbulkan gejala yang bermakna. Pasien tidak
memiliki riwayat kejang, trauma, dan tumor.
3. Gangguan Zat Psikoaktif dan Alkohol
Pasien tidak memiliki riwayat merokok, meminum alkohol, ataupun zat
psikoaktif lainnya.
E. Riwayat Kehidupan Pribadi
1. Riwayat Perkembangan Kepribadian
a. Masa prenatal dan perinatal
Pasien lahir di Jakarta, 08 Maret 1996. Pasien lahir dengan
persalinan normal. Keadaan pasien dan ibu pasien baik.
b. Riwayat masa kanak awal (0-3 tahun)
Pasien diasuh oleh orang tuanya. Selama masa ini, proses
perkembangan dan pertumbuhan sesuai dengan anak sebaya. Pasien tidak
pernah mengidap penyakit berat, demam tinggi, kejang ataupun trauma
kapala.
c. Riwayat masa kanak pertengahan (3-11 tahun)
Masa ini dilalui dengan baik, tumbuh kembang baik dan normal
seperti anak seusianya. Pasien sering main dan menonton televisi di rumah
temannya, dan harus di telfon ibunya untuk menyuruhnya pulang.
d. Masa kanak akhir dan remaja (12-18 tahun)
Pasien tumbuh dalam lingkungan yang sederhana. Pasien sering
bermain dengan teman-teman sebayanya, pasien berteman dengan laki-laki
dan perempuan. Pasien setelah lulus SMP melanjutkan ke SMA
Malahayati.
e. Masa dewasa (>18 tahun)
Pasien masih dapat bersosialisasi dengan lingkungannya. Pasien dulu
tinggal bersama orang tua dan dua orang kakaknya. Lebaran tahun 2017
pasien pindah ke Surabaya untuk menikah dengan suaminya di sana, dan

4
tinggal dengan keluarga besar suaminya. Pasien telah menikah selama dua
tahun tetapi belum memiliki anak.
f. Riwayat Pendidikan
a. SD : tuntas
b. SMP : tuntas
c. SMA : tuntas
g. Riwayat Pekerjaan
Pasien pernah bekerja di rumah makan dekat kantor PLN di Ciracas
sebagai pencuci piring. Sekarang pasien tidak berkerja, kegiatan sehari-
hari pasien makan, tidur dan menonton tv.
h. Kehidupan Beragama
Pasien percaya dengan adanya Tuhan, pasien meyakini agama Islam,
pasien mengerti tentang ajaran Islam. Tetapi pasien jarang beribadah.
i. Kehidupan Sosial dan Perkawinan
Pasien menikah tahun 2017 ketika berusia 21 tahun. Pasien menikah di
Surabaya, ikut dengan keluarga besar suami dan pasien belum memiliki
anak.
j. Riwayat Pelanggaran Hukum
Pasien tidak pernah berurusan dengan aparat penegak hukum, dan
tidak pernah terlibat dalam proses peradilan yang terkait dengan hukum.
F. Riwayat Keluarga
Pasien adalah anak ketiga dari tiga bersaudara. Bapak pasien telah
meninggal dunia, tetapi pasien tidak mengingat tahun berapa bapaknya
meninggal dunia . Pasien mempunyai dua orang kakak. Kakak pertama pasien
berumur 30 tahun sudah menikah dan mempunyai satu orang anak berumur 5
tahun. Kakak kedua pasien berumur 27 tahun dan belum menikah. Pasien
tinggal Bersama ibu dan kakaknya di Ciracas. Kemudian pasien menikah pada
tahun 2017 dan tinggal Bersama suaminya di Surabaya. Pasien telah menikah
selama dua tahun tetapi belum memiliki anak. Hubungan pasien dengan ibu
dan kakak–kakaknya baik.

5
Genogram keluarga pasien

= = Laki-laki Meninggal

G. Persepsi Pasien Tentang Diri dan Kehidupannya


Pasien mengetahui atau menyadari pasien sakit, tetapi pasien tidak
mengetahui apa penyakitnya.
H. Impian, Fantasi, dan Cita-Cita Pasien
Pasien bercita-cita ingin menjadi suster atau dokter.

6
III. STATUS MENTAL
A. Deskripsi Umum
1. Penampilan
Pasien perempuan berusia 23 tahun dengan penampakan fisik sesuai
dengan usianya. Kulit berwarna kuning langsat dan berambut pendek.
Pada saat wawancara, pasien tampak berpakaian tidak rapih dan perawatan
diri kurang baik
2. Kesadaran
Compos mentis
3. Perilaku dan aktivitas psikomotor
a. Sebelum wawancara : Pasien terlihat sedang tidur
b. Selama wawancara : Pasien terlihat tenang dan dapat menjawab
pertanyaan
c. Sesudah wawancara : Pasien tidur kembali
4. Sikap terhadap pemeriksa
Selama wawancara pasien menunjukkan sikap kooperatif dan tenang.
5. Pembicaraan
Pasien tidak dapat berbicara dan menjawab pertanyaan secara spontan, dan
ketika pasien menjawab kadang kurang jelas, dan diikuti dengan cekikikan
(giggling).
B. Mood dan Afek
1. Mood : Hipertim (saat pemeriksaan)
2. Afek : Sempit (saat pemeriksaan)
3. Keserasian : Serasi
C. Gangguan Persepsi
1. Halusinasi : Ada (Halusinasi Auditorik)
2. Ilusi : Tidak ada
3. Depersonalisasi : Tidak ada
4. Derealisasi : Tidak ada

7
D. Pikiran
1. Arus pikir
a. Kontinuitas : Koheren
b. Hendaya bahasa : Tidak ada
2. Isi pikir
a. Preokupasi : Tidak ada
b. Miskin isi pikir : Tidak ada
c. Waham : Tidak ada
d. Obsesi : Tidak ada
e. Kompulsi : Tidak ada
f. Fobia : Tidak ada
E. Sensorium dan Kognitif (Fungsi Intelektual)
1. Taraf pendidikan : SMA
2. Pengetahuan umum : Cukup Baik
3. Kecerdasan : Cukup Baik
4. Konsentrasi : Kurang baik
5. Orientasi
a. Waktu : Baik, pasien dapat menyebutkan pemeriksaan
dilakukan pada pagi hari dan dapat menyebutkan sudah berapa lama ia
dirawat
b. Tempat : Baik, pasien dapat memberitahukan bahwa
sekarang pasien sedang berada di RS
c. Orang : Baik, pasien mengenali orang-orang di sekitarnya
6. Daya ingat
a. Jangka panjang : Baik, pasien dapat menyebutkan sd dan smp nya
dimana
b. Jangka pendek : Baik, pasien dapat menyebutkan menu sarapan
pasien
c. Segera : Baik, pasien dapat menyebutkan kembali 3 benda
yang disebutkan oleh pemeriksa

8
7. Pikiran abstraktif : Baik, pasien dapat menyebutkan perbedaan jeruk
dan apel
8. Visuospasial : Baik, pasien dapat menggambar bentuk yang
pemeriksa minta
9. Kemampuan menolong diri: Pasien tidak membutuhkan bantuan untuk
makan, tetapi pasien harus diberi perintah untuk mandi dan berganti
pakaian. ADL pasien adalah 70.
F. Pengendalian Impuls
Baik, selama wawancara pasien tampak tenang dan tidak menunjukkan gejala
agresif.
G. Daya Nilai
1. Daya nilai sosial : Kurang baik, pasien tidak dapat membedakan
perbuatan baik dan buruk
2. Uji daya nilai : Baik, pasien menjawab ketika diberikan simulasi
jika berada di ruangan yang terbakar apa yang harus dilakukan.
3. RTA : Terganggu
H. Tilikan
Derajat 2 (Ambivalensi terhadap penyakitnya).
I. Reliabilitas (Tarif Dapat Dipercaya)
Pemeriksa mendapat kesan bahwa keseluruhan jawaban pasien dapat
dipercaya.

IV. PEMERIKSAAN FISIK


A. Status Internus
1. Keadaan umum : Baik
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Tanda Vital :
a. Tekanan Darah : 120/70 mmHg
b. Respiration Rate : 20x/menit
c. Heart Rate : 68x/menit
d. Suhu : 37 ˚C
9
4. Sistem Kardiovaskular: BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
5. Sistem Respiratorius : Vesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wheezing -/-
6. Sistem Gastrointestinal: Bising usus (+) normal
7. Ekstermitas : Edema (-). Sianosis (-), akral hangat
8. Sistem Urogenital : Tidak diperiksa

B. Status Neurologik
 Nervus Kranial :
Kanan Kiri
N.I Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N.II
Visus Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Lapang pandang Tidak dilakukan Tidak dilakukan


Refleks Cahaya Langsung + +
Warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N.III, IV, VI
M.rectus medius Normal Normal
M.rectus superior Normal Normal
M.rectus inferior Normal Normal
M.Obliqus inferior Normal Normal
M.levator palpebral Normal Normal
Refleks tak langsung Normal Normal
N.V
Sensorik V1 Tidak dilakukan Tidak dilakukan
V2 V3 Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Refleks Kornea Tidak dilakuakan Tidak dilakukan

+ +

10
Motorik Mengigit Normal Normal
Membuka rahang

N.VII
Sensorik (pengecapan 2/3 Tidak dilakukan
anterior lidah)
Motorik Mengerutkan dahi = Normal
Mengangkat alis = Normal
Memejamkan mata = Normal
Meringis/senyum = Normal
Menggembungkan pipi = Normal
N.VIII
Gesekan tissue Normal
Garpu tala Rhinne Weber
Swabach Tidak dilakukan

N.IX
Refleks Menelan Normal
Pengecapan 1/3 Posterior Tidak dilakukan
lidah
N.X
Refleks muntah Tidak dilakukan
Letak uvula Normal
Disfoni (-)
Disatria (-)
Disfagi (-)

11
N.XI
Mengangkat bahu Normal Normal
Memalingkan kepala Normal Normal
N.XII
Deviasi lidah (menjulur) Normal
Atrofi (-)
Fasikulasi (-)
Tremor (-)

 Fungsi Motorik
Kanan Kiri
Kekuatan
Ekstremitas atas Normal
Ekstremitas bawah
Tonus
Ekstermitas atas Normotonus Normotonus
Ekstremitas bawah Normotonus Normotonus
Klonus
Patella Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan
Achiles Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan

 Fungsi Sensorik :

Refleks Fisiologis
Biceps Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan
Triceps Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan
Patella Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan
Achilles Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan
Refleks Patologis
Hoffman Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan

12
Tromner Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan
Babinski Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan
Chaddock Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan
Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan
Gordon Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan
Gorda Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan
Oppenheim Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan

 Otonom :

BAB Normal
BAK Inkontinentia (-), frekuensi BAK normal
Hidrosis Normal

 Koordinasi :
Romberg Tidak Dilakukan
Disdiadokokinesis Tidak Dilakukan
Tes jari- hidung Tidak Dilakukan
Tes tumit- lutut Tidak Dilakukan
Rebound phenomenon Tidak Dilakukan

C. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakuan pemeriksaan penunjang

V. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA


1. Pasien Ny. IMP 23 tahun datang ke RS dibawa oleh ibunya karena
mendengar suara-suara hewan dan sulit makan.
2. Pada status mental ditemukan adanya gangguan persepsi berupa halusinasi
auditorik (Pasien mengatakan bahwa ada suara hewan-hewan
disekitarnya). Ketika di berikan pertanyaan pasien menjawab dan diikuti
dengan cekikikan (giggling), senyum sendiri dan tertawa menyeringai.
13
3. Pasien sudah sering bolak – balik dirawat RS polri sejak tahun 2016.
4. Pasien tidak membutuhkan bantuan untuk makan, namun pasien harus
diberi perintah terlebih dahulu untuk mandi, dan berganti pakaian.
5. Temuan status mental didapatkan mood hipertim dan afek Sempit. Tilikan
pasien derajat 2 (Ambivalensi terhadap penyakitnya) dan RTA terganggu.

VI. FORMULA DIAGNOSTIK


1. Setelah seluruh pemeriksaan, pada pasien ditemukan adanya sindroma
atau perilaku dan psikologi yang bermakna secara klinis dan
menimbulkan penderitaan (distress) dan ketidakmampuan/hendaya
(disability/ impairment) dalam fungsi serta aktivitasnya sehari-hari. Oleh
karena itu dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami gangguan jiwa
yang sesuai dengan definisi yang tercantum dalam PPDGJ III.
2. Pasien ini tidak termasuk gangguan mental organik karena pasien pada
saat diperiksa dalam keadaan sadar, tidak ada kelainan secara medis atau
fisik yang bermakna. (F0)
3. Pasien ini tidak termasuk dalam gangguan mental dan perilaku akibat
penggunaan zat psikoaktif karena pasien tidak ada riwayat merokok,
minum alkohol ataupun zat psikoaktif lainnya. (F1)
4. Pasien ini termasuk dalam gangguan skizofrenia karena terdapat
gangguan dalam penilaian realita yang menonjol dengan adanya
gangguan persepsi, yaitu halusinasi auditorik. (F2)
5. Pada pasien ini tidak didapatkan gejala afektif yang menonjol (F3)
6. Pasien ini tidak termasuk dalam gangguan neurotik, gangguan
somatoform dan ganguan terkait stress. (F4)

Susunan formulasi diagnostik ini berdasarkan dengan penemuan bermakna


dengan urutan untuk evaluasi multiaksial, seperti berikut:
a. Aksis I : Gangguan Klinis dan Gangguan Lain yang Menjadi Fokus
Perhatian Klinis
Berdasarkan riwayat perjalanan penyakit, pasien pernah memiliki riwayat
tidak sadarkan diri selama lima jam ketika pertama masuk RS tetapi tidak
14
menimbulkan gejala yang bermakna, dan pasien tidak ada riwayat kejang.
Pasien tidak pernah menggunakan zat psikoaktif sehingga gangguan
mental dan perilaku akibat gangguan mental organik dan penggunaan zat
psikoaktif dapat disingkirkan. Berdasarkan anamnesis didapatkan bahwa
pasien mengalami gangguan persepsi yaitu halusinasi auditorik memenuhi
kriteria umum diagnosis Skizofrenia. Pasien berusia 23 tahun, sering
tertawa cekikikan (giggling), senyum sendiri dan tertawa menyeringai.
Dari hal-hal tersebut, kriteria diagnostik menurut PPDGJ III pada
ikhtisar penemuan bermakna pasien digolongkan dalam Skizofrenia
Paranoid (F20.0).
b. Aksis II : Gangguan Kepribadian dan Retardasi Mental
Tidak ada diagnosis aksis II
c. Aksis III : Kondisi Medis Umum
Tidak ada diagnosis aksis III
d. Aksis IV : Problem Psikososial dan Lingkungan
Masalah keluarga, pasien merasa bahwa pasienlah yang menyebabkan
ayahnya meninggal dunia.
e. Aksis V : Penilaian Fungsi Secara Global
Penilaian kemampuan penyesuaian menggunakan skala Global Assement of
Functioning (GAF) menurut PPDGJ III didapatkan GAF 50-41, gejala berat
(serious), disabilitas berat (pada saat pemeriksaan).

Evaluasi multiaksials
Aksis I : F20.0 Skizofrenia Paranoid
Aksis II : Tidak ada diagnosis aksis II
Aksis III : Tidak ada diagnosis aksis III
Aksis IV : Masalah keluarga
Aksis V : GAF 50-41 (gejala berat (serious), disabilitas berat

VII. DIAGNOSIS
a. Diagnosis : F20.0 Skizofrenia Paranoid
b. Diagnosis Banding : F20.1 Skizofrenia Hebefrenik
15
VIII. PROGNOSIS
Ad Vitam : Dubia ad bonam.
Ad Sanationam : Dubia ad malam.
Ad Functionam : Dubia ad malam.
Prognosis tersebut mengacu pada:

Faktor penghambat

1. Stressor dari lingkungan keluarga.


2. Onset terjadinya gangguan masih saat muda.
3. Kekambuhan (relaps) terhadap penyakit yang dialami

IX. RENCANA TERAPI


1. Psikofarmaka
a. Seroquel 1x200 mg
b. Stelazine 1x5 mg
2. Psikoterapi
a. Psikoedukasi
a) Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit yang dialami
pasien.
b) Mengingatkan pasien perlu minum obat sesuai aturan
c) Menjelaskan kepada keluarga pasien bahwa dukungan keluarga
akan membantu keadaan pasien.
b. Psikoterapi
a) Ventilasi: Pasien diberikan kesempatan untuk menceritakan
masalahnya.
b) Sugesti: Menanamkan kepada pasien bahwa gejala-gejala
gangguannya akan hilang atau dapat dikendalikan.
c) Reassurance: Memberitahukan kepada pasien bahwa minum obat
sangat penting untuk menghilangkan gejala.

16
TINJAUAN PUSTAKA
SKIZOFRENIA
I. DEFINISI
Menurut Rusdi (2013) skizofrenia adalah suatu dekripsi sindrom dengan
variasi penyebab (banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak bersifat
kronis atau “deteriorating”) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada
pertimbangan pengaruh genetic, fisik, dan sosial budaya. Skizofrenia pada
umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari
pikiran persepsi serta afek yang tidak wajar (inappropriate) or tumpul (blunted).
Kesadaran yang jernih (clear consciousness) dan kemampuan intelektual biasanya
tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat dapat berkembang
kemudian.
Menurut Buku ajar psikiatri (2018) Klasifikasi Simtom dibagi dalam
empat ranah utama yaitu:
1. Simtom positif yaitu sangat berlebihannya fungsi normal, misalnya
halusinasi, waham, pembicaraan dan prilaku disorganisasi.
2. Simtom negatif yaitu berkurangnya ekspresi emosi dan fungsi mental,
misalnya afek tumpul, avolisi, alogia, anhedonia, dan defisit interaksi
sosial.
3. Simtom afektif, misalnya mood depresi dan ansietas,
4. Simtom Kognitif, nisalnya defisit memori kerja, episodic, atensi,
verbalisasi, dan fungsi eksekutif. Defisit memori kerja berhubungan
kuat dengan fungsi pekerjaan.
II. ETIOLOGI
A. Faktor Genetik
Skizofrenia mempunyai komponen yang diturunkan secara signifikan,
kom- pleks dan poligen. Sesuai dengan pnelitian hubungan darah (konsanguinitas)
skizofrenia adalah gangguan bersifat keluarga (misalnya; terdapat dalam
keluarga). Semakin dekat hubungan kekerabatan makin tinggi risiko. Pada
penelitian anak kembar, kembar monozigot mempunyai risiko 4-6 kali lebih

17
sering menjadi sakit bila dibandingkan dengan kembar dizigot. Pada penelitian
adopsi, anak yang mempunya orang tua skizofrenia diadopsi, waktu lahir, oleh
keluarga normal, peningkatan angka sakitnya sama dengan bila anak-anak
tersebut diasuh sendiri oleh orang tuanya yang skizofrenia.

B. Faktor Kehamilan
Kekacauan dan dinamika keluarga memegang peranana penting dalam
terjadinya kekambuhan dan mempertahankan remisi. Pasien yang pulang ke
rumah sering kambuh pada tahun berikutnya bila dibandingkan dengan pasien
yang ditempatkan di residensial. Pasien yang beresiko adalah pasien yang tinggal
Bersama keluarga yang holistilitas tinggi, memperlihatkan kecemasan berlebihan,
sangat protektif terhadap pasien, terlalu ikut campur, sangat pengeritik, (keluarga
dengan Ekspresi Emosi tinggi). Pasien skizofrenia sering tidak dibesarkan oleh
keluarganya.

C. Gangguan Morfologi Fungsi Otak


Tidak ada gangguan fungsional dan struktur otak yang patognomonik pada
penderita skizofrenia. Meskipun demikian beberapa gangguan organic dapat
terlihat. Gangguan yang paling banyak dijumpai yaitu pelebaran ventrikel 3 dan
lateral, yang kadang-kadang sudah terlihat sebelum awitan penyakit dan atropi
bilateral lobus temporal medial serta lebih spesifik yaitu gangguan girus para
hipokampus dan amigdala dan disorienttasi spasial sel piramida hipokampus.

D. Gangguan Neurotransmiter
A. Hipotesa dopamine
Adanya peningkatan aktivitas dopamine sentral. Hipotesis ini didasarkan
berbagai penemuan utama yaitu:
1. Efek obat obat neuroleptic semisal fenotiazine pada skizofrenia.
Fenotiazine bekerja memblok reseptor dopamine pasca sinaps (D2)
2. Terjadinya psikosi akibat penggunaan amfetamin. Amfetamine
melepaskan dopamin sentral.

18
3. Peningkatan jumlah reseptor D2 di nucleus kaudatus, nucleus
akumben, dan putamen pada skizofrenia. Dopamin terlibat dalam
mengontrol pergerakan, kognisi, afek, dan neuroendokrin.
B. Hipotesa serotonin dan norepinefrin
Peningkatan serotonin di SSP dan kelebihan norepinefrin di forebrain
limbik terjadi pada beberapa penderita skizofrenia.
E. KLASIFIKASI
Menurut PPDGJ-III dan DSM-5, Skizofrenia (F20-) dibedakan menjadi
beberapa bagian sebagai berikut:

F20 Skizofrenia

F20.0 Skizofrenia paranoid


F20.1 Skizofrenia hebefrenik
F20.2 Skizofrenia katatonik
F20.3 Skizofrenia tak terinci (undifferentiated)
F20.4 Depresi pasca-skizofrenia
F20.5 Skizofrenia residual
F20.6 Skizofrenia simpleks
F20.8 Skizofrenia lainnya
F20.9 Skizofrenia YTT
Menurut PPDGJ-III dan DSM-5, karakter skizofrenia kelima
diklasifikasikan berdasarkan perjalanan penyakitnya:
.x0 Berkelanjutan
.x1 Episodik dengan kemunduran progresif
.x2 Episodik kemunduran progresif
.x3 Episodik berulang
.x4 Episodik berulang remisi tak sempurna
.x5 Remisi sempurna
.x8 Lainnya

19
.x9 Periode pengamatan kurang dari satu tahun
F. DIAGNOSIS
Menurut PPDGJ-III dan DSM-V, Panduan diagnosa seseorang dengan
skizofrenia (F20-) dapat dilakukan dengan melihat gejala – gejala sebagai berikut:
1. Harus ada setidaknya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya
dua gejala atau lebih bila bila gejala-gejala ini kurang tajam atau kurang
jelas)
(a) - “thought echo” = isi pikiran dirirnya sendiri yang berulang atau
bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan,
walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda; atau
- “thought insertion or withdrawal” = isi pikiran yang asing dari luar
masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil
keluar oleh sesuatu dari dirinya (withdrawal); dan
- “thought broadcasting” = is pikirannya tersiar keluar sehingga orang
lain atau umum mengetahuinya;
(b) “delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh
sesuatu kekuatan tertentu dari luar; atau

- “delusion of influence” = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh


sesuatu kekuatan tertentu dari luar; atau

- “delusion of passivity” = waham tentang dirinya tidak berdaya dan


pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar;

(tentang “dirinya” = secara jelas merujuk ke pergerakan


tubuh/anggota gerak atau ke pikiran, tindakan atau penginderaan
khusus);
- “delusion of perception” = pengalaman indra yang tak wajar yang
bermakna secara khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau
mukjizat;

20
(c) Halusinasi auditorik:
- suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap
prilaku pasien, atau
- mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri (diantara
berbagai suara yang berbicara) atau
- jenis suara halusinasi lain dari salah satu bagian tubuh
(d) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal
keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan
di atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau
berkomunikasi dengan mahluk asing dari dunia lain).
2. Atau paling sedikit 2 gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas
:
(e) Halusinasi yang menetap dari panca-indra apa saja, apabila disertai
baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk
tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai ide ide berlebihan
(over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari
selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus
(f) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang
tidak relevan, atau neologisme.
(g) Prilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi
tubuh tertentu (posturing), atau fleksibiltas cerea, negativism, mutisme,
dan stupor:
(h) gejala-gejala “negative”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang
jarang, dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar,
biasanya mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan
menurunnya kinerja social; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut
tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika.

21
3. Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak belaku untuk setiap fase nonpsikotik
prodromal)
4. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam
keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek prilaku pribadi (personal
behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan,
tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self-absorded
attitude), dan penarikan diri secara social.

G. TATALAKSANA
1. Psikoterapi
Psikoterapi merupakan terapi yang digunakan untuk menghilangkan
atau mengurangi keluhan-keluhan dan mencegah kambuhnya gangguan
psikologik atau pola perilaku maladaptif. Terapi dilakukan dengan jalan
pembentukan hubungan profesional antara terapis dengan penderita.

Psikoterapi pada penderita gangguan depresif dapat diberikan secara


individu, kelompok, atau pasangan disesuaikan dengan gangguan psikologik
yang mendasarinya. Psikoterapi dilakukan dengan memberikan kehangatan,
empati, pengertian dan optimisme. Dalam pengambilan keputusan untuk
melakukan psikoterapi sangat dipengaruhi oleh penilaian dari dokter atau
penderitanya.
2. Farmakoterapi
Anti psikotik efektif untuk skizofrenia baik pada fase akut maupun
fase stabil. Obat ini dapat mengurangi resiko kekambuhan psikotik. Obat
antipsikosis tidak memiliki kecenderungan untuk menimbulkan ketergantungan
psikis dan fisik
Antipsikosis digunakan pada terapi psikosis akut maupun kronik,
termasuk diantaranya skizofrenia, gangguan skizoafektif, demensia dengan
gejala psikosis, psikosis akibat obat dan gangguan bipolar.

22
Ciri dari obat antipsikosis antara lain :
 Memiliki efek antipsikosis terhadap gejala positif (halusinasi, waham,
bicara kacau dan agitasi) dan selain itu juga dapat mengatasi gejala negatif
(apatis, miskin ide/motivasi (avoliation) dan miskin kata (alogia)), dan
gangguan kognitif.
 Batas keamanan obat antipsikosis besar, dosis besar tidak menyebabkan
keadaan koma dalam ataupun anestesia.
 Dapat menimbulkan gejala ekstrapiramidal yang reversibel atau
ireversibel.
Menurut cara kerjanya terhadap reseptor dopamin dibagi menjadi
Dopamine receptor Antagonis (DA) dan Serotonine Dopamine Antagonist
(SDA). Obat-obat DA juga sering disebut antipsikotik tipikal atau
antipsikotik generasi I (APG-I). Kebanyakan antipsikosis golongan tipikal
atau APG-I mempunyai afinitas tinggi dalam menghambat reseptor dopamin
2, hal inilah yang diperkirakan menyebabkan reaksi ekstrapiramidal yang
kuat. Sedangkan, obat-obat SDA disebut sebagai atipsikosis atipikal atau
antipsikotik generasi II (APG-II). Obat golongan atipikal umumnya
mempunyai afinitas yang lemah terhadap dopamin 2, selain itu juga memiliki
afinitas terhadap reseptor dopamin 4, serotonin, histamin, reseptor muskarinik
dan reseptor alfa adrenergik. Golongan antipsikosis atipikal diduga efektif
untuk gejala positif maupun gejala negatif pasien skizofrenia. Golongan
antipsikosis tipikal umumnya hanya berespon untuk gejala positif.
Obat APG-I berguna terutama untuk mengontrol gejala-gejala positif
sedangkan untuk gejala negatif hamper tidak bermanfaat. Obat APG-II
berguna untuk gejala positif dan negatif. Saat ini standar emas adalah APG-II.
Meskipun harganya lebih mahal tetapi manfaatnya sangat besar. Sebaiknya
dipilih SPG-II yam efektif dengan efek samping yang lebih ringan

23
Tabel 1. Penggolongan Obat Antipsikotik
Golongan Jenis Nama Obat Dosis
200-800
Chlorpromazine
mg/hari
12-24
Perphenazine
mg/hari
Phenotiazine
10-15
APG-I Trifluoperazine
mg/hari
10-15
Fluphenazine
mg/hari
Butyrophenone Haloperidol 5-15 mg/hari
Diphenylbutylpiperidine Pimozide 2-4 mg/hari
300-600
Benzamide Sulpiride
mg/hari
300-450
Clozapine
mg/hari
10-20
Dibenzodiazepin Olanzapine
APG-II mg/hari
300-800
Quetiapine
mg/hari
Risperidone 2-8 mg/hari
Benzisoxazole 10-30
Aripiprazole
mg/hari
3. Terapi kejang listrik
dapat juga bermanfaat untuk mengontrol dengan cepat beberapa psikosis akut.
Beberapa pasien skizofrenia yang tidak berespons dengan obat-obatan dapat
membaik dengan TKL

H. PROGNOSIS
Skizofrenia merupakan gangguan yang bersifat kronik. Pasien secara
berangsur- angsur menjadi semakin menarik diri dan tidak mampu berfungsi
24
setelah bertahun- tahun. Pasien dapat mempunyai waham dengan taraf ringan dan
halusinasi yang tidak begitu jelas (samar-samar). Sebagian gejala akut dan gejala
yang lebih dramatik hilang dengan berjalannya waktu, tetapi pasien membutuhkan
perlindungan atau menghabiskan waktunya bertahun-tahun di dalam rumah sakit
Skizofrenia tipe paranoid (dan beberapa katatonik) mempunyai prognosis baik.
Prognosis menjadi lebih buruk bila pasien menyalahgunakan zat atau hidup dalam
keluarga yang tak harmonis.

Gambaran klinis yang dikaitkan dengan prognosis baik yaitu:

1. Awitan gejala-gejala psikotik aktif terjadi dengan secara mendadak


2. Awitan terjadi setelah umur 30 tahun, terutama pada perempuan
3. Fungsi pekerjaan dan sosial premorbid (sebelum sakit) baik.
4. Performa sebelumnya tetap merupakan prediktor terbaik untuk
meramalkan performa di masa datang
5. Kebingungan sangat jelas dan gambaran emosi menonjol, selama episode
akut (simptom positif).
6. Adanya suatu stresor yang mempresipitasi psikosis akut dan tidak ada
bukti gangguan susunan saraf pusat (SSP)
7. Tidak ada riwayat keluarga menderita skizofrenia.
Prognosis buruk dalam kesembuhan pasien umumnya terkait dengan riwayat
trauma perinatal, tidak ada remisi dalam waktu 3 tahun, sering timbul relaps.
Riwayat kekerasan, riwayat penyalahgunaan zat, dan tidak adanya dukungan
keluarga untuk kesembuhan pasien.

25
PEMBAHASAN KASUS

Berdasarkan anamnesis yang dilakukan pada pasien adanya sindroma atau


perilaku dan psikologi yang bermakna secara klinis dan menimbulkan penderitaan
(distress) dan ketidakmampuan/hendaya (disability/ impairment) dalam fungsi
serta aktivitasnya sehari-hari. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pasien
mengalami gangguan jiwa yang sesuai dengan definisi yang tercantum dalam
PPDGJ III.
Pada pasien ini tidak dijumpai adanya gangguan fungsi intelektual pasien,
riwayat trauma, dan riwayat kejang sehingga pasien tidak memenuhi kriteria
diagnosis untuk gangguan mental organik. Pasien juga bukan pengguna zat
psikoaktif sehingga tidak bisa digolongkan dalam gangguan mental dan perilaku
akibat penggunaan zat psikoaktif.
Permasalahan yang diduga merupakan pencetus gejala-gejala psikosis ini
adalah masalah keluarga, yaitu pasien merasa bersalah dengan kematian ayah
pasien. Dilihat dari pertimbangan tersebut, prognosis pada pasien ini adalah
kemungkinan buruk.
Penatalaksaanaan pada pasien ini dapat diberikan secara non-
farmakologis, yaitu berupa psikoterapi dan sosioterapi yang bertujuan untuk
mengurangi keluhan-keluhan pasien dan membangun sistem pendukung yang kuat
untuk menunjang perbaikan kondisi pasien. Tatalaksana secara farmakologis juga
dapat diberikan obat anti psikotik, seperti yang digunakan pada pasien ini adalah
Seroquel.

26

Anda mungkin juga menyukai