Anda di halaman 1dari 12

Sign in

 Aqidah

Pembagian Tauhid
Menurut Ahlus Sunnah wal
Jama’ah (Tanggapan
terhadap Saudara Idahram
dan Idrus Ramli) [Bag. 2]
Pembagian Tauhid
Menurut Ahlus Sunnah wal
Jama’ah (Tanggapan
terhadap Saudara Idahram
dan Idrus Ramli) [Bag. 2]
Pembagian Tauhid Rububiyah, Uluhiyah dan Asma’ wa
Shifat adalah Ciptaan Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin
Abdul Wahhab, Benarkah?

Masih dalam usahanya yang rapuh untuk menjatuhkan dan


menjelek-jelekan dakwah tauhid yang diserukan oleh Salafi,
saudara Idahram berkata,

“Pembagian tauhid kepada tauhid Uluhiyah dan tauhid Rububiyah diciptaka


Taimiyah Al-Harani (w. 728 H)…” (Sejarah Berdarah, hal. 236)

Saudara Idrus Ramli juga berkata,

“Pembagian tauhid menjadi tiga tidak pernah dikatakan oleh


seorangpun sebelum masa ulama Ibnu Taimiyyah.”[1]

Dia juga berkata,

“Pandangan Ibn Taimiyah yang membagi Tauhid menjadi tiga


tersebut kemudian diikuti oleh Muhammad bin Abdul Wahhab
perintis ajaran Wahhabi.”[2]

Saudara Idahram kembali menggiring pembaca kepada sebuah


pemahaman bahwa tauhid rububiyyah dan uluhiyyah yang
diserukan oleh ulama Salafi adalah sesuatu yang baru saja
dimunculkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah lalu
diwariskan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab rahimahullah. Saudara Idrus Ramli pun melakukan yang
sama.

Sebetulnya, andaikan tuduhan mereka ini benar, maka hal ini


bukanlah suatu aib, sebab dalil-dalil yang telah kami paparkan di
atas, sangat jelas menunjukkan kewajiban mentauhidkan Allah
ta’ala dalam rububiyyah, uluhiyyah dan asma’ wa shifat.

Namun ternyata, pemahaman


tauhid rububiyyah, uluhiyyah dan asma’ wa shifat bukanlah
sebuah pemahaman yang baru, tetapi inilah yang dipahami oleh
para ulama Salaf dahulu. Maka untuk meluruskan
kesalahpahaman saudara Idahram dan Idrus Ramli serta
kelompoknya dalam masalah ini, akan kami nukil insya Allah
ta’ala pendapat-pendapat ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah di
masa lampau, jauh sebelum munculnya dakwah Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah bahkan sebagiannya
sebelum Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Dan sebelumnya perlu digarisbawahi, walaupun ulama dahulu
pada umumnya tidak menyertakan kata “tauhid” sebelum kata
“rububiyyah” dan “uluhiyyah,” namun
istilah rububiyyah dan uluhiyyah ini digunakan oleh ulama dahulu
untuk menetapkan bahwa hanya Allah ta’ala satu-satunya
yang berhak menyandang sifat-
sifat rububiyyahdan uluhiyyah, sama persis dengan makna
tauhid rububiyyah dan tauhid uluhiyyah yang diyakini dan
diserukan oleh ulama Salafi di zaman ini.

Ulama Salaf Ahlus Sunnah wal Jama’ah Meyakini Tiga


Macam Tauhid; Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asma’ wa
Shifat:
1) Al-Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit Al-
Kufi rahimahullah (w. 150 H) berkata,

‫شيء في واأللوهية الربوبية وصف من ليس األسفل ألن أسفل من ال أعلى من يدعى تعالى وهللا‬

“Allah ta’ala diseru sedang Dia berada di atas bukan di bawah,


karena posisi bawah bukanlah bagian dari
sifat rububiyah dan uluhiyah sedikitpun.”[3]

Ucapan beliau sangat jelas tentang rububiyah dan uluhiyah Allah,


sekaligus menegaskan keimanan beliau terhadap sifat ketinggian
(al-‘uluw) bagi Allah ta’ala, yaitu ketinggian zat Allah di atas
‘arsy-Nya, di atas langit-Nya. Jadi mengandung tiga macam
tauhid sekaligus.

2) Al-Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit Al-


Kufi rahimahullah (w. 150 H) dan dua muridnya; Al-Imam Abu
Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Al-Anshari rahimahullah (w. 182 H) dan
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Al-Hasan Asy-
Syaibani rahimahullah (w. 189 H) meyakini tiga macam tauhid ini
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Ja’far Ath-
Thahawi rahimahullah (w. 321 H):

‫هللا بتوفيق معتقدين هللا توحيد في نقول‬: ‫له شريك ال واحد هللا إن‬، ‫مثله شيء وال‬، ‫يعجزه شيء وال‬،
‫غيره إله وال‬

“Dengan taufiq dari Allah ta’ala kami berpendapat bahwa dalam


mentauhidkan Allah ta’ala kami meyakini, sesungguhnya Allah
ta’ala tidak ada sekutu bagi-Nya; tidak ada yang serupa dengan-
Nya, tidak ada yang bisa melemahkan-Nya, dan tidak ada yang
berhak disembah selain-Nya.”[4]
Seorang ulama, pengajar di masjid Nabawi Madinah, Guru Besar
Aqidah di Universitas Islam Madinah, Asy-Syaikh Prof. DR. Abdur
Rozzaq bin Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahumallah menjelaskan
makna ucapan Al-Imam Ath-Thahawi rahimahullah di atas,

‫ فهو سبحانه واحد ال شريك له في‬،‫ “إن هللا واحد ال شريك له” شامل ألقسام التوحيد الثالثة‬:‫فقوله‬
.‫ وواحد ال شريك له في أسمائه وصفاته‬،‫ وواحد ال شريك له في ألوهيته‬،‫ربوبيته‬

.‫ “وال شي مثله” هذا من توحيد األسماء والصفات‬:‫وقوله‬

.‫ “وال شيء يعجزه” هذا من توحيد الربوبية‬:‫وقوله‬

.‫ “وال إله غيره” هذا من توحيد األلوهية‬:‫وقوله‬

.‫فهذه أقسام التوحيد الثالثة صريحة واضحة في نصي هذين اإلمامين رحمهما هللا‬

“Maka makna ucapan beliau, ‘Sesungguhnya Allah ta’ala tidak


ada sekutu bagi-Nya,’ini mencakup dalam tiga macam tauhid;
Allah subhanahu wa ta’ala esa, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam
rububiyah, uluhiyah dan asma’ was shifat.

Dan ucapan beliau, ‘Tidak ada yang serupa dengan-Nya,’ ini


bagian dari tauhid asma’ was shifat.

Dan ucapan beliau, ‘Tidak ada yang bisa melemahkan-


Nya,’ ini bagian dari tauhid rububiyah.

Dan makna ucapan beliau, ‘Tidak ada yang berhak disembah


selain-Nya,’ ini bagian dari tauhid uluhiyah.

Maka tiga macam tauhid ini tegas dan jelas dalam teks ucapan
kedua imam (Abu Hanifah dan Ath-Thahawi) rahimahumallah.”[5]

3) Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah (w. 256 H) berkata,

‫عبْد أَبُو قَا َل‬ َ : ‫عيْتَ َوإن‬


َ ‫ّللا‬ َ ‫سم ُع أَنَكَ ا َد‬
ْ ُ‫ت‬ َ َ‫ّللا َكالَ َم الن‬
‫اس‬ َ ‫س َم َع َك َما‬ ْ َ ‫ّللاُ أ‬ َ ‫ ل ُمو‬، ‫ لَهُ قَا َل‬:
َ ُ‫سى َكالَ َمه‬
{‫}ربُّكَ أَنَا إني‬َ ‫الربوبيَة َدعْوى فه َذا‬ُّ ‫لَ ْم إ َذا‬ ‫ّللا َكالَم َوبَ ْينَ ق َرا َءتكَ بَ ْينَ ت ُ َمي ْز‬
َ

“Berkata Abu Abdillah, ‘Apabila engkau mengklaim bahwa engkau


mampu memperdengarkan kalam Allah kepada manusia seperti
Allah memperdengarkan kalam-Nya kepada Musa, ketika Allah
ta’ala berfirman kepada Musa, “Aku adalah Rabbmu” maka
klaimmu itu adalah pengakuan rububiyyah (yang semestinya
hanya milik Allah ta’ala) apabila engkau tidak membedakan
antara bacaanmu dan kalam Allah.”[6]
4) Al-Imam Utsman bin Sa’id Ad-Darimi rahimahullah (w. 280 H)
berkata,

‫الشك في ربوبية هللا عز وجل زائل عن المؤمن والكافر يوم القيامة فكل مؤمن وكافر يومئذ يعلم أنه ربه ال‬
‫يعتريهم في ذلك شك فيقبل هللا ذلك من المؤمنين وال يقبله من الكافرين وال يعذرهم يومئذ بمعرفتهم ويقينهم‬
‫به‬

“Keraguan terhadap rububiyah Allah ta’ala hilang dari seorang


mukmin dan kafir sekaligus pada hari kiamat, maka setiap
mukmin dan kafir sama-sama tahu bahwa Allah ta’ala adalah
Rabb mereka, mereka sama-sama tidak ragu, namun Allah ta’ala
hanya menerima keimanan kaum mukminin dan tidak menerima
dari orang-orang kafir, Allah ta’ala tidak lagi memberikan
pengampunan terhadap orang-orang kafir walaupun dengan
pengenalan dan keyakinan mereka terhadap-Nya pada hari
itu.”[7]

5) Al-Imam Al-Mufassir Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah (w.


310 H) berkata,

‫العبادة له نخلص‬، ‫الربوبية له ونوحد‬، ‫شيئا به نشرك فال‬، ‫ربا دونه نتخذ وال‬

“Kami memurnikan ibadah hanya kepada-Nya, dan kami


mengesakan bagi-Nya rububiyyah, maka kami tidak
menyekutukan-Nya dengan apapun juga (dalam ibadah), dan
kami tidak menjadikan selain-Nya sebagai Rabb.”[8]

6) Al-Imam Ibnu Batthoh Al-‘Akbari rahimahullah (w. 387 H)


berkata:

:‫أنَّ أصل اإليمان باهلل الذي يجب على الخلق اعتقاده في إثبات اإليمان به ثالثة أشياء‬

.ً‫ أن يعتقد العبد ربانيته ليكون بذلك مباينا ً لمذهب أهل التعطيل الذين ال يثبتون صانعا‬:‫أحدها‬

‫ أن يعتقد وحدانيته ليكون مباينا ً بذلك مذاهب أهل الشرك الذين أقروا بالصانع وأشركوا معه في‬:‫والثاني‬
.‫العبادة غيره‬

‫ أن يعتقده موصوفا ً بالصفات التي ال يجوز إال أن يكون موصوفا ً بها من العلم والقدرة والحكمة‬:‫والثالث‬
.‫وسائر ما وصف به نفسه في كتابه‬

“Bahwasannya pokok keimanan kepada Allah ta’ala yang


diwajibkan atas hamba untuk diyakini dalam penetapan iman
kepada-Nya ada tiga macam:
Pertama: Hendaklah seorang hamba meyakini rabbaniyah Allah
ta’ala, agar dengan itu keyakinan seorang mukmin berbeda
dengan para pengingkar yang tidak meyakini adanya pencipta.

Kedua: Hendaklah seorang hamba meyakini wahdaniyah Allah


ta’ala, agar dengan itu keyakinannya berbeda dengan ajaran-
ajaran para pelaku syirik yang mengimani adanya pencipta
namun menyekutukan-Nya dalam ibadah dengan selain-Nya.

Ketiga: Hendaklah seorang hamba meyakini bahwa Allah ta’ala


disifati dengan sifat-sifat yang tidak boleh disifatkan kecuali
hanya bagi-Nya, diantaranya sifat ilmu, qudroh, hikmah dan
semua sifat yang Dia sifatkan untuk diri-Nya dalam kitab-
Nya.”[9]

Pembaca yang budiman, lihat kembali makna tiga macam tauhid


pada artikel sebelumnya, dan bandingkan dengan ucapan Al-
Imam Ibnu Batthoh rahimahullah yang hidup pada abad ke-3 H,
di abad-abad generasi terbaik umat ini. Jelas sekali beliau
membagi keimanan kepada Allah ta’ala menjadi tiga bagian:

Pertama: Hendaklah menyelisihi orang-orang yang tidak


mengimani adanya pencipta, ini merupakan bagian dari
tauhid rububiyah.

Kedua: Hendaklah menyelisihi orang-orang yang menyekutukan


Allah ta’ala dalam ibadah, ini adalah hakikat tauhid uluhiyah.

Ketiga: Hendaklah tidak menyamakan sifat Allah ta’ala dengan


sifat makhluk, ini adalah hakikat tauhid asma’ was shifat.

7) Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah (w. 671 H) berkata,

‫ اإللهية لصفات الجامع الحق للموجود اسم فاهلل‬، ‫ الربوبية بنعوت المنعوت‬، ‫الحقيقي بالوجود المنفرد‬
، ‫سبحانه هو إال إله ال‬

“Maka Allah adalah suatu nama bagi zat yang berwujud lagi
benar, serta mengumpulkan semua sifat ilahiyah, yang disifati
dengan sifat-sifat rububiyah, yang esa dalam wujud yang hakiki,
tidak ada yang berhak disembah selain Dia.”[10]

8) Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah (w. 676 H)


berkata,

‫هللا في إال هذا حقيقة يوجد وال بالشئ القائم أو المالك هو الرب ألن تعالى هلل حقيقتها انما الربوبية‬
‫تعالى‬
“Rububiyah hakikatnya hanyalah milik Allah ta’ala, karena Rabb
adalah Pemilik atau Pengatur sesuatu, sedang tidak ada hakikat
ini kecuali pada Allah ta’ala.”[11]

Beliau rahimahullah juga berkata,

‫تعالى هللا يستحقها انما العبودية حقيقة‬

“Hakikat ubudiyyah hanyalah hak Allah ta’ala.”[12]

9) Al-Imam Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi rahimahullah (w. 792 H)


berkata,

‫ وبيان أن هللا وحده‬،‫ توحيد الربوبية‬:‫ والثاني‬.‫ الكالم في الصفات‬:‫ أحدها‬:‫فإن التوحيد يتضمن ثالثة أنواع‬
‫ وهو استحقاقه سبحانه وتعالى أن يعبد وحده ال شريك له‬،‫ توحيد اإللهية‬:‫ والثالث‬.‫خالق كل شيء‬

“Sesungguhnya tauhid mencakup tiga


bentuk, pertama: Pembicaraan dalam
sifat. Kedua:Tauhid rububiyah dan penjelasan bahwa Allah saja
pencipta segala sesuatu. Ketiga:Tauhid ilahiyah, yaitu hanya
Allah subhanahu wa ta’ala saja yang berhak disembah, tidak ada
sekutu bagi-Nya.”[13]

10) Al-Hafizh Ibnu Hajar Asy-Syafi’i rahimahullah (w. 852 H)


berkata,

‫تعالى هلل إال ذلك حقيقة توجد فال بالشيء والقائم المالك هو الرب ألن تعالى هلل الربوبية حقيقة‬

“Rububiyah hakikatnya hanyalah milik Allah ta’ala, karena Rabb


adalah Pemilik atau Pengatur sesuatu, sedang tidak ada hakikat
ini kecuali hanya milik Allah ta’ala”[14]

Beliau rahimahullah juga berkata,

‫في شريكا هللا مع يتخذ ال أن الشرك نفي معنى القرطبي وقال النار دخل باهلل يشرك مات من قوله‬
‫اإللهية‬

“Ucapan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, ‘Barangsiapa mati


dalam keadaan menyekutukan Allah maka dia masuk
neraka,’ berkata Al-Qurtubi, ‘Makna menafikan syirik adalah
seorang tidak menjadikan bagi Allah ta’ala sekutu
dalam ilahiyah’.”[15]

Beliau rahimahullah juga berkata,


‫إليه باالنقياد وتعظيمه اآلمر واحترام األمر امتثال به المأمور الوجه على بالفرائض اإلتيان وفي‬
‫العبودية وذل الربوبية عظمة وإظهار‬

“Dalam pengamalan kewajiban-kewajiban sesuai dengan cara


yang diperintahkan (oleh syari’at) terdapat pengamalan terhadap
perintah (Allah ta’ala) pemuliaan dan pengagungan terhadap-
Nya, dengan ketundukan kepada-Nya dan penampakan
kemuliaan rububiyah dan kehinaan ubudiyah (seorang
hamba).”[16]

Alhamdulillah, nukilan-nukilan dari para ulama Ahlus Sunnah wal


Jama’ah di atas menambah kejelasan bahwa tauhid yang
diserukan oleh Salafi yang terdiri dari tiga macam tauhid
bukanlah sesuatu yang baru, tapi hakikatnya itulah aqidah para
ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari masa ke masa. Hanya
saja, ketika umat semakin jauh dari bimbingan ulama Ahlus
Sunnah wal Jama’ah yang hakiki maka ajaran yang benar ini
dianggap sebagai sesuatu yang aneh, bahkan sesat. Semoga
Allah ta’ala memberikan hidayah kepada kaum muslimin dan
menyelamatkan mereka dari para penyesat berkedok Kiai,
Ustadz, Da’i maupun Tokoh Agama.

Faidah Penting: Pembagian Tauhid Menjadi Tiga Bagian


Berdasarkan Penelitian Secara Menyeluruh Terhadap
Seluruh Teks Al-Qur’an dan As-Sunnah

Pembaca yang budiman, sesungguhnya pembagian tauhid


menjadi tiga bagian; rububiyah, uluhiyah dan asma’ wa
shifat adalah berdasarkan penelitian secara menyeluruh terhadap
teks-teks Al-Qur’an dan As-Sunnah yang berbicara tentang
tauhid. Bahwa seluruh ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam yang berbicara tentang tauhid tidak
keluar dari tiga macam tauhid ini.

Al-Imam Al-Mufassir Muhammad Al-Amin Asy-


Syinqithi rahimahullah berkata dalam tafsir beliau Adhwaul
Bayan fii Idhahil Qur’an bil Qur’an,

‫أقسام ثالثة إلى ينقسم هللا توحيد أن على العظيم القرآن استقراء دل وقد‬

“Dan sungguh, penelitian menyeluruh terhadap Al-Qur’an yang


mulia menunjukkan bahwa mentauhidkan Allah ta’ala terbagi
kepada tiga bentuk (yakni rububiyah, uluhiyah dan asma’ wa
shifat).”[17]

Asy-Syaikh Prof. DR. Abdur Rozzaaq bin Abdul Muhsin Al-


‘Abbad hafizhahumallah, Pengajar di Masjid Nabawi Madinah,
‫‪mengomentari dalam kitab beliau Al-Qoulus Sadid ‘ala man‬‬
‫‪Ankaro Taqsim At-Tauhid,‬‬

‫وبهذا ‪،‬الكريم القرآن لنصوص باالستقراء مأخوذة الثالثة التوحيد أقسام أنَ إلى هللا رحمه فيه نبَه وقد‬
‫أنشأه اصطالحيا أمرا وليس ‪،‬تعالى هللا كتاب من المستمدة الشرعية الحقائق من التقسيم هذا أن يعلم‬
‫العلماء بعض‬

‫‪“Dan sungguh dalam ucapannya tersebut, beliau (Asy-Syaikh‬‬


‫‪Asy-Syinqhiti) rahimahullahtelah memperingatkan bahwa tiga‬‬
‫‪macam tauhid diambil dari penelitian secara menyeluruh‬‬
‫‪terhadap (semua) teks-teks Al-Qur’an Al-Karim, maka dengan ini‬‬
‫‪diketahui bahwa pembagian tauhid merupakan hakikat syari’ah‬‬
‫‪yang bersumber dari kitab Allah ta’ala, dan bukan sekedar‬‬
‫”‪perkara istilah yang dibuat oleh sebagian ulama.‬‬

‫‪Penjelasan di atas sekaligus koreksi dari Asy-Syaikh Abdur‬‬


‫‪Rozzaq terhadap pendapat yang mengatakan bahwa pembagian‬‬
‫‪tauhid hanyalah sekedar untuk memudahkan dalam mempelajari‬‬
‫‪tauhid atau hanyalah pembaharuan dalam istilah atau metode‬‬
‫‪penjelasan dan pemahaman.‬‬

‫‪Perhatikanlah, dalam catatan kakinya beliau membantah‬‬


‫‪pendapat yang mengatakan bahwa pembagian tauhid hanyalah‬‬
‫‪masalah istilah bukan hakikat syari’ah. Beliau berkata,‬‬

‫وبهذا يعلم فساد ما قرره مؤلف كتاب “الثوابت والمتغيرات في مسيرة العمل اإلسالمي المعاصر” د‪ .‬صالح‬
‫الصاوي حيث يقول (ص‪“ :)54 )1( :‬فإنَّ هذا التقسيم اصطالحي‪ ،‬الهدف منه تقريب القضية وتنظيم‬
‫دراستها‪ ،‬كما اصطلح أهل العلم على أسماء اصطالحية للعلوم … وعلى هذا فال مشاحة في االصطالح‪،‬‬
‫وليست هناك حدود فاصلة بين ما يدخل في توحيد الربوبية‪ ،‬وبين ما يدخل في توحيد األلوهية‪ ،‬وبين ما‬
‫يدخل في توحيد األسماء والصفات‪ ،‬بل إنَّ هذا التقسيم ابتدا ًء على هذا النحو لم يرد به فيما نعلم آية محكمة‬
‫أو سنَّة متبعة‪ ،‬والعبرة كما يقولون بالمقاصد والمعاني‪ ،‬وليس باأللفاظ والمباني‪ ،‬هذا وإن كان تتابع أهل‬
‫العلم على استخدام هذا التقسيم واستقراره عبر قرون طويلة يجعله جزءا ً من التراث السلفي‪ ،‬فينبغي قبوله‬
‫على أن ال يكون في ذاته معقد والء وبراء”‪.‬‬

‫فجعل أصلحه هللا هذا التقسيم تقسيما ً اصطالحياً‪ ،‬وليس حقيقة شرعية مأخوذة بالتتبع واالستقراء لنصوص‬
‫الكتاب والسنة‪ ،‬بل تمادى في الباطل عند ما قال‪“ :‬وليست هناك حدود فاصلة بين ما يدخل في توحيد‬
‫الربوبية‪ ،‬وبين ما يدخل في توحيد األلوهية‪ ،‬وبين ما يدخل في توحيد األسماء والصفات”‪.‬‬

‫وإني ألعجب غاية العجب كيف يقول هذا من يتصدى لتوجيه مسيرة العمل اإلسالمي المعاصر‪ ،‬مع أنَّه في‬
‫وأي جناية على مسيرة العمل‬‫ّ‬ ‫نفسه كما يصرح هنا ال يعرف حدودا ً فاصلة بين أنواع التوحيد الثالثة‪.‬‬
‫اإلسالمي أش ّد من أن ينشر بين أهل اإلسالم أنَّ أقسام التوحيد ليست من الثوابت‪ ،‬وليست من األمور التي‬
‫يعقد عليها الوالء والبراء‪ ،‬وأنَّها لم يرد بها آية محكمة أو سنَّة متبعة‪ ،‬وأنَّه ليس هناك حدود فاصلة بين‬
‫هذه األقسام‪ ،‬وأنَّها أمور اصطلح عليها بعض أهل العلم وال مشاحة في االصطالح‪ .‬أليس في هذا خلخلة‬
‫للصف وتوهين لالعتقاد وتقليل من شأن التوحيد فاهلل المستعان وهو حسبنا ونعم الوكيل‪ ،‬وفي الكتاب‬
‫المذكور أخطاء عديدة من هذا الجنس ليس هذا موطن بيانها‬

‫‪“Dengan ini maka jelaslah rusaknya pendapat yang ditetapkan‬‬


‫‪oleh penulis kitab Ats-Tsawabit wal Mutaghayyiraat fi‬‬
Masiiroh Al-‘Amal Al-Islami Al-Mu’ashir, DR. Sholah Ash-
Showi, ketika dia mengatakan (hal: (1) 54), “Sesungguhnya
pembagian tauhid hanyalah pembagian menurut istilah,
tujuannya adalah mendekatkan permasalahan dan membuat
sistematika pembelajarannya, sebagaimana para ulama telah
membuat istilah-istilah untuk ilmu-ilmu lainnya. Berdasarkan hal
ini maka tidak perlu ada perdebatan dalam istilah.

Dan dalam masalah ini tidaklah ada batas-batas yang


memisahkan antara bagian tauhid yang masuk dalam kategori
tauhid rububiyah, uluhiyah maupun asma’ was shifat, bahkan
pembagian seperti ini sepanjang yang kami ketahui memang
tidak berdasar pada suatu ayat yang muhkam ataupun sunnah
yang diikuti, maka yang menjadi patokan sebagaimana yang
mereka katakan adalah, sebuah istilah dipahami sesuai dengan
maksud-maksudnya dan makna-maknanya, dan bukan lafaz-lafaz
maupun cara-cara pengungkapannya.

Demikianlah, meskipun para ulama senantiasa menggunakan dan


menetapkan pembagian ini sejak kurun waktu yang panjang
sehingga menjadikan pembagian ini sebagai warisan salafi, maka
sepatutnya diterima namun tanpa menjadikannya pijakan
dalam wala’ dan bara’.” (Sekian pendapat yang menyimpang dari
DR. Sholah Ash-Showi hadaahullah, pen)

(Komentar Asy-Syaikh Prof. DR. AbdurRazzaq bin Abdul Muhsin


Al-‘Abbad hafizhahumallah): Maka dia (DR. Sholah Ash-Showi)
semoga Allah ta’ala memperbaikinya, menganggap pembagian
tauhid hanyalah istilah, dan bukan hakikat syari’ah yang diambil
dari pengumpulan dan penelitian secara menyeluruh terhadap
teks-teks Al-Qur’an dan As-Sunnah, bahkan dia masih terus
dalam kebatilan ketika dia mengatakan, “Dan dalam masalah ini
tidaklah ada batas-batas yang memisahkan antara bagian tauhid
yang masuk dalam kategori tauhid rububiyah, uluhiyah maupun
asma’ was shifat.”

Sunngguh aku sangat heran, bagaimana hal ini bisa dikatakan


oleh orang yang mau membimbing jalannya perjuangan Islam di
zaman ini, padahal sebagaimana dia tegaskan di sini bahwa dia
sendiri tidak tahu batas-batas yang membedakan antara tiga
macam tauhid ini. Dan kejahatan apa yang lebih besar terhadap
perjuangan Islam dibanding orang yang menyebarkan di tengah-
tengah kaum muslimin bahwa:

1). Pembagian tauhid bukan termasuk hal-hal yang telah tetap


(tsawabit),
2). Bukan pula termasuk perkara yang bisa dijadikan pijakan al-
wala’ wal bara’,

3). Tidak terdapat suatu ayat yang muhkam atau sunnah yang
diikuti dalam pembagian tauhid,

4). Tidak pula terdapat batas-batas yang membedakan antara


tiga macam tauhid ini,

5). Perkara ini hanyalah istilah yang dibuat oleh sebagian ulama
sehingga tidak perlu ada perdebatan dalam istilah.

Bukankah hal ini justru menyebabkan renggangnya barisan kaum


muslimin, perendahan terhadap aqidah dan pengurangan
terhadap urusan tauhid?!

Hanya Allah tempat kita mohon pertolongan, Dia akan mencukupi


kita dan Dialah sebaik-baik penolong. Dan dalam kitabnya
tersebut juga masih banyak kesalahan-kesalahan yang semisal,
namun bukan di sini tempat yang tepat untuk
menjelaskannya.”[18] (Sekian dari Asy-Syaikh Abdur
Rozzaq hafizhahullah, penomoran dari kami, pen)

Bersambung insya Allah ta’ala…

‫وسلم وصحبه وآله محمد نبينا على هللا وصلى التوفيق وباهلل‬

FansPage Website: Sofyan Chalid bin Idham Ruray –


www.SofyanRuray.info [www.fb.com/sofyanruray.info]

[1] Madzhab Al-Asy’ari, Benarkah Ahlussunnah Wal-Jama’ah?


(Jawaban Terhadap Aliran Salafi), Penerbit Khalista, Surabaya
pada hal. 224 (Dinukil dari website pencela Ahlus Sunnah wal
Jama’ah)

[2] Ibid

[3] Al-Fiqhul Abshath, hal. 51, sebagaimana dalam ‘Aqooidul


Aimmah Al-Arba’ah fit Tauhid, DR. Muhammad bin
AbdurRahman Al-Khumais hafizhahullah, hal. 5.
[4] Lihat At-Ta’liqot Al-Mukhtasoroh ‘alal Aqidah Ath-
Thawiyah, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah, hal. 28-
34, Darul Ashimah, cet. ke-1, 1422 H/2001 M.

[5] Al-Qoulus Sadid ‘ala Man Ankara Taqsima At-Tauhid,


hal. 42-43.

[6] Riwayat Al-Bukhari dalam Khalqu Af’alil ‘Ibad, no.


542, tahqiq: DR. Abdur Rahman ‘Umairoh, Darul Ma’arif As-
Su’udiyyah Riyadh.

[7] Naqdul Imam ‘Utsman bin Sa’id Ad-Darimi ‘ala Al-Marisi


Al-Jahmi Al-‘Anid, 1/361, Abu Sa’id ‘Utsman bin Sa’id Ad-
Darimi, tahqiq: Rasyid bin Hasan Al-Alma’i, Maktabah Ar-Rusyd,
1418 H.

[8] Jami’ul Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an, 3/99, Abu Ja’far


Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, tahqiq: Ahmad Muhammad
Syakir, Mu’assasah Ar-Risalah, cet. ke-1, 1420 H.

[9] Al-Ibanah ‘an Syari’ati Al-Firqoh An-Najiyah wa


Mujanabah Al-Firoq Al-Madzmumah, hal. 693-694, dari
manuskripnya, dan dalam Mukhtashor-nya, Qof 150,
sebagaimana dalam Al-Qoulus Sadid, hal. 32.

[10] Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 1/102, Abu Abdillah


Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi, tahqiq: Samir Al-Bukhari,
Dar ‘Alam Al-Kutub Riyadh, 1423 H.

[11] Syarah Muslim, 15/6, Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi Beirut,


cet. ke-2, 1392 H.

[12] Ibid, 15/7.

[13] Syarhul Aqidah Ath-Thahawiyyah, 1/125.

[14] Fathul Baari, 5/179, Darul Ma’rifah Beirut 1379 H.

[15] Ibid, 3/111

[16] Ibid, 11/343

[17] Adhwaul Bayan, 3/17.

[18] Al-Qoulus Sadid, hal. 28.

Anda mungkin juga menyukai