Anda di halaman 1dari 18

Ma’rifatullah (Bagian 1)

Mungkin ada di kalangan kaum muslimin yang bertanya kenapa pada saat ini kita
masih perlu berbicara tentang Allah padahal kita sudah sering mendengar dan
menyebut namaNya, dan kita tahu bahwa Allah itu Tuhan kita. Tidakkah itu sudah
cukup untuk kita?
Tidak. Jangan sekali-kali kita merasa cukup dengan pemahaman dan pengenalan
kita terhadap Allah. Karena, semakin memahami dan mengenaliNya kita merasa
semakin dekat denganNya. Selain itu, dengan pengenalan yang lebih dalam lagi,
kita bisa terhindar dari pemahaman-pemahaman yang keliru tentang Allah dan kita
terhindar dari sikap-sikap yang salah terhadap Allah.
Ketika kita membicarakan makrifatullah, maknanya kita berbicara tentang Rabb,
Malik, dan Ilah kita. Rabb yang kita pahami dari istilah Al-Qur’an adalah sebagai
Pencipta, Pemilik, Pemelihara dan Penguasa. Kata Ilah mengandung arti yang
dicintai, yang ditakuti, dan juga sebagai sumber pengharapan. Makna seperti ini ada
di dalam surat An-Naas (114): 1-3.
Dengan demikian jelaslah bahwa usaha kita untuk lebih jauh memahami dan
mengenal Allah adalah bagian terpenting di dalam hidup ini. Lantas, bagaimana
metoda yang harus kita tempuh untuk bisa mengenal Allah? Apa saja halangan yang
senantiasa menghantui manusia dari mengenalNya? Benarkan kalimat yang
mengatakan, “Kenalilah dirimu niscaya engkau akan mengenali Tuhanmu.” Dari
pengenalan diri sendiri, maka ia akan membawa kepada pengenalan (makrifah)
yang menciptakan diri, yaitu Allah. Ini adalah karena pada hakikatnya makrifah
kepada Allah adalah sebenar-benar makrifah dan merupakan asas segala
kehidupan rohani.
Setelah makrifah kepada Allah, akan membawa kita kepada makrifah kepada Nabi
dan Rasul, makrifah kepada alam nyata dan alam ghaib dan makrifah kepada alam
akhirat.
Keyakinan terhadap Allah swt. menjadi mantap apabila kita mempunyai dalil-dalil
dan bukti yang jelas tentang kewujudan (eksistensi) Allah lantas melahirkan
pengesaan dalam mentauhidkan Allah secara mutlak. Pengabdian diri kita hanya
semata-mata kepada Allah saja. Ini memberi arti kita menolak dan berusaha
menghindarkan diri dari bahaya-bahaya disebabkan oleh syirik kepadaNya.
Kita harus berusaha menempatkan kehidupan kita di bawah bayangan tauhid
dengan cara kita memahami ruang perbahasan dalam tauhid dengan benar tanpa
penyelewengan sesuai dengan manhaj salafush shalih. Kita juga harus memahami
empat bentuk tauhidullah yang menjadi misi ajaran Islam di dalam Al-Qur’an
maupun sunnah, yaitu tauhid asma wa sifat, tauhid rububiah, tauhid mulkiyah, dan
tauhid uluhiyah. Dengan pemahaman ini kita akan termotivasi untuk melaksanakan
sikap-sikap yang menjadi tuntutan utama dari setiap empat tauhid tersebut.
Kehidupan paling tenang adalah kehidupan yang bersandar terus kecintaannya
kepada Yang Maha Pengasih. Oleh karena itu kita harus mampu membedakan di
antara cinta kepada Allah dengan cinta kepada selainNya serta menjadikan cinta
kepada Allah mengatasi segala-galanya. Apa yang menjadi tuntutan kepada kita
ialah kita menyadari pentingnya melandasi seluruh aktivitas hidup dengan kecintaan
kepada Allah, Rasul, dan jihad secara minhaji.
Di dalam memahami dan mengenal Allah ini, kita seharusnya memahami bahwa
Allah sebagai sumber ilmu dan pengetahuan. Ilmu-ilmu yang Allah berikan itu
menerusi dua jalan yang membentuk dua fungsi yaitu sebagai pedoman hidup dan
juga sebagai sarana hidup. Kita juga sepatutnya menyadari kepentingan kedua

1
bentuk ilmu Allah dalam pengabdian kepada Allah untuk mencapai tahap takwa
yang lebih cemerlang.
Ayat-ayat Allah ada dalam bentuk ayat-ayat qauliyah dan kauniyah. Kedua jenis
ayat-ayat Allah ini terbuka bagi siapa saja yang ingin membaca dan menelitinya.
Namun terdapat berbagai halangan akan muncul di hadapan kita dalam mengenali
Allah. Halangan-halangan ini muncul dalam bentuk sifat-sifat pribadi kita yang
bersumberdari syahwat –seperti nifaq, takabbur, zhalim, dan dusta– dan sifat-sifat
yang bersumber dari syubhat –seperti jahil, ragu-ragu, dan menyimpang. Kesemua
sifat-sifat fujur itu akan menghasilkan kekufuran terhadap Allah swt.
Ahammiyah Ma’rifatullah (Urgensi mempelajari Makrifatullah)
Riwayat ada menyatakan bahwa perkara pertama yang mesti dilaksanakan dalam
agama adalah mengenal Allah (awwaluddin ma’rifatullah). Bermula dengan
mengenal Allah, maka kita akan mengenali diri kita sendiri. Siapakah kita, di
manakah kedudukan kita berbanding makhluk-makhluk yang lain? Apakah sama
misi hidup kita dengan binatang-binatang yang ada di bumi ini? Apakah tanggung
jawab kita dan ke manakah kesudahan hidup kita? Semua persoalan itu akan
terjawab secara tepat setelah kita mengenali betul Allah sebagai Rabb dan Ilah,
Yang Mencipta, Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan.
Dalil-dalil:
QS. Muhammad (47): 19
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain
Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin,
laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat
kamu tinggal.
Ayat ini mengarahkan kepada kita dengan kalimat “ketahuilah olehmu” bahwasanya
tidak ada ilah selain Allah dan minta ampunlah untuk dosamu dan untuk mukminin
dan mukminat. Apabila Al-Qur’an menggunakan sibghah amar (perintah), maka
menjadi wajib menyambut perintah tersebut. Dalam konteks ini, mengetahui atau
mengenali Allah (ma’rifatullah) adalah wajib.
QS. Ali Imran (3): 18
Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah),
yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga
menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak
disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan melainkan Dia, dan telah mengakui pula
para malaikat dan orang-orang yang berilmu sedang Allah berdiri dengan keadilan.
Tidak ada tuhan melainkan Dia Yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.
QS. Al-Hajj (22): 72-73
Dan apabila dibacakan di hadapan mereka ayat-ayat Kami yang terang, niscaya
kamu melihat tanda-tanda keingkaran pada muka orang-orang yang kafir itu.
Hampir-hampir mereka menyerang orang-orang yang membacakan ayat-ayat Kami
di hadapan mereka. Katakanlah, “Apakah akan aku kabarkan kepadamu yang lebih
buruk daripada itu, yaitu neraka?” Allah telah mengancamkannya kepada orang-
orang yang kafir. Dan neraka itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali.
Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu
perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali
tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu
menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka
dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat
lemah (pulalah) yang disembah.

2
QS. Az-Zumar (39): 67
Mereka tidak mentaqdirkan Allah dengan ukuran yang sebenarnya sedangkan
keseluruhan bumi berada di dalam genggamanNya pada Hari Kiamat dan langit-
langit dilipatkan dengan kananNya. Maha Suci Dia dan Maha Tinggi Dia dari apa
yang mereka sekutukan.
Tema Perbicaraan Makrifatullah – Allah Rabbul Alamin.
Ketika membicarakan ma’rifatullah, artinya kita sedang membicarakan tentang
Rabb, Malik, dan Ilah kita. Rabb yang kita pahami dari istilah Al-Qur’an adalah
sebagai Pencipta, Pemilik, Pemelihara, dan Penguasa. Sedangkan kata Ilah
mengandungi arti yang dicintai, yang ditakuti, dan juga sebagai sumber
pengharapan. Hal ini termaktub dalam surat An-Naas (114): 1-3. Inilah tema yang
dibahas dalam ma’rifatullah. Jika kita menguasai dan menghayati keseluruhan tema
ini, bermakna kita telah mampu menghayati makna ketuhanan yang sebenarnya.
Dalil-dalil:
QS. Ar-Ra’du (13): 16
Katakanlah, “Siapakah Rabb segala langit dan bumi?” Katakanlah, “Allah.”
Katakanlah, “Adakah kamu mengambil wali selain dariNya yang tiada manfaat
kepada dirinya dan tidak pula dapat memberikan mudarat?” Katakanlah, “Apakah
sama orang buta dengan orang yang melihat? Apakah sama gelap dan nur
(cahaya)?” Bahkan adakah mereka mengadakan bagi Allah sekutu-sekutu yang
menjadikan sebagaimana Allah menjadikan, lalu serupa makhluk atas mereka?
Katakanlah, “Allah. Allah yang menciptakan tiap tiap sesuatu dan Dia Esa lagi Maha
Kuasa.”
QS. Al-An’am (6): 12
Katakanlah, “Bagi siapakah apa-apa yang di langit dan bumi?” Katakanlah, “Bagi
Allah.” Dia telah menetapkan ke atas diriNya akan memberikan rahmat.
Sesungguhnya Dia akan menghimpun kamu pada Hari Kiamat, yang tidak ada
keraguan padanya. Orang-orang yang merugikan diri mereka, maka mereka tidak
beriman.”

QS. Al-An’am (6): 19


Katakanlah, “Apakah saksi yang paling besar?” Katakanlah, “Allah lah saksi di
antara aku dan kamu. Diwahyukan kepadaku Al-Qur’an ini untuk aku memberikan
amaran kepada engkau dan sesiapa yang sampai kepadanya Al-Qur’an. Adakah
engkau menyaksikan bahawa bersama Allah ada tuhan-tuhan yang lain?”
Katakanlah, “Aku tidak menyaksikan demikian.” Katakanlah, “Hanya Dia-lah Tuhan
yang satu dan aku bersih dari apa yang kamu sekutukan.”
QS. An-Naml (27): 59
Katakanlah, “Segala puji-pujian itu adalah hanya untuk Allah dan salam sejahtera ke
atas hamba-hambanya yang dipilih. Adakah Allah yang paling baik ataukah apa
yang mereka sekutukan?”

QS. An-Nur (24): 35


“Allah memberi cahaya kepada seluruh langit dan bumi.”
QS. Al-Baqarah (2): 255
“Allah. Tidak ada tuhan melainkan Dia. Dia hidup dan berdiri menguasai seluruh isi
bumi dan langit.”
Didukung Dengan Dalil Yang Kuat

3
QS. Al-Qiyamah (75): 14-15
Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri. Meskipun dia mengemukakan
alasan-alasannya.
Makrifatullah yang sahih dan tepat itu mestilah bersandarkan dalil-dalil dan bukti-
bukti kuat yang telah siap disediakan oleh Allah untuk manusia dalam berbagai
bentuk agar manusia berpikir dan membuat penilaian. Oleh karena itu banyak
fenomena alam yang dibahas oleh Al-Qur‘an dan diakhiri dengan kalimat
pertanyaan: tidakkah kamu berpikir, tidakkah kamu mendengar. Pertanyaan-
pertanyaan itu mendudukkan kita pada satu pandangan yang konkrit betapa semua
fenomena alam adalah di bawah milik dan aturan Allah swt.
Dalil-dalil:
Naqli [QS. Al-An’am (6): 19]
Katakanlah, “Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?” Katakanlah, “Allah.” Dia
menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan Al-Qu’ran ini diwahyukan kepadaku supaya
dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang
sampai Al-Qur’an (kepadanya). Apakah sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada
tuhan-tuhan lain di samping Allah?” Katakanlah, “Aku tidak mengakui.” Katakanlah,
“Sesungguhnya dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan Sesungguhnya aku berlepas
diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah).”
Aqli, [QS. Ali Imran (3): 190]
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.
Fitri, [QS. Al-A’raf (7): 172]
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman),
“Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami
menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan, “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap Ini (keesaan Tuhan).”
Dapat Menghasilkan: peningkatan iman dan taqwa.
Apabila kita betul-betul mengenal Allah mentadaburi dalil-dalil yang dalam,
hubungan kita dengan Allah menjadi lebih akrab. Apabila kita dekat dengan Allah,
Allah lebih dekat lagi kepada kita. Setiap ayat Allah baik ayat qauliyah maupun
kauniyah tetap akan menjadi bahan berpikir kepada kita dan penambah keimanan
serta ketakwaan. Dari sini akan menghasilkan pribadi muslim yang merdeka, tenang,
penuh keberkatan, dan kehidupan yang baik. Tentunya tempat abadi baginya adalah
surga yang telah dijanjikan oleh Allah kepada hamba-hamba yang telah diridhaiNya.

Kemerdekaan [QS. Al-An’am (6): 82]


Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan
kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan; dan mereka itu adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk.
Ketenangan [QS. Al-Ra’du (13): 28]
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan
mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi
tenteram.
Barakah [QS. Al-A’raf (7): 96]
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka

4
mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya.
Kehidupan Yang Baik [QS. Al-Nahl (16): 97]
Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan
dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
Surga [QS. Yunus (10): 25-26]
Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang
dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam). Bagi orang-orang yang berbuat
baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak
ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka
kekal di dalamnya.
Mardhotillah [QS. Al-Bayinah (98): 8]
Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap
mereka dan merekapun ridha kepadanya. yang demikian itu adalah (balasan) bagi
orang yang takut kepada Tuhannya.

MA’RIFATULLAH (MENGENAL ALLAH)


A. Muqaddimah
Ma’rifah berasal dari kata ‘arafa – ya’rifu – ma’rifah yang berarti mengenal.
Dengan demikian ma’rifatullah berarti usaha manusia untuk mengenal Allah baik
wujud maupun sifat-sifat-Nya. Manusia sangat berkepentingan untuk mengetahui
siapa penciptanya dan untuk apa ia diciptakan. Karena itu, manusia pun mulai
melakukan penelitian dan mencari-cari siapa gerangan Tuhannya. Allah yang Maha
Rahman dan Maha Rahim tentu tidak akan membiarkan kita terkatung-katung tanpa
adanya pembimbing yaitu utusan-utusan-Nya para nabi dan rasul yang akan
menunjukkan kita ke jalan yang benar. Maka di antara manusia ada yang berhasil
mengetahui Allah dan banyak pula yang tersesat, berjalan dengan angan-angannya
sendiri.
“Maka berpalinglah kamu dari orang yang telah berpaling dari peringatan Kami
dan dia tidak menghendaki, kecuali kehidupan dunia. Itulah kesudahan pengetahuan
mereka. Sungguh Tuhanmu lebih mengetahui orang yang telah sesat dari jalan-Nya,
dan Dia lebih mengetahui orang yang dapat petunjuk”. (QS. An Najm: 29-30).

B. Urgensi Ma’rifatullah
Secara umum, manusia mengetahui bahwa suatu ilmu dikatakan penting dan
dirasakan mulia sebetulnya tergantung kepada dua hal yaitu apakah yang menjadi
obyek ilmu itu dan seberapa besar manfaat yang dihasilkan darinya.
Berdasarkan alasan tersebut di atas, kita dapat menarik kesimpulan
bahwama’rifatullah merupakan ilmu yang paling mulia dan penting karena materi
yang dipelajarinya adalah Allah. Manfaat yang dihasilkannya pun tidak saja untuk
kepentingan dunia tapi juga untuk kebahagiaan akhirat.
Orang yang mempelajari ma’rifatullah akan menjadi insan yang beriman dan
bertaqwa bila Allah memberi hidayah kepadanya. Dan bagi muslim yang
mempelajarinya, insya Allah akan menaikkan keimanan dan ketaqwaannya (raf’ul

5
iman wat taqwa). Sebagai balasan atas keimanan dan ketaqwaan mereka, Allah
SWT menjanjikan kebaikan-kebaikan bagi mereka, di antaranya:

Pertama, Al Khalifah. Bahwa Allah SWT menjanjikan kepada mereka untuk


menjadi penguasa di muka bumi ini.
“Dan Allah telah menjanjikan bagi orang-orang yang beriman di antaramu dan
mengerjakan amal shaleh, bahwa Allah sungguh-sungguh akan mengangkat mereka
menjadi khalifah di muka bumi, sebagaimana orang-orang dahulu menjadi
khalifah…” (QS. An Nur: 55).
Melalui beberapa tahap pembinaan secara berkesinambungan, insya Allah
kekhalifahan Islam akan muncul kembali sebagaimana yang dinubuahkan rasulullah
saw. Rasulullah saw mengungkapkan bahwa umat Islam setidaknya akan melalui
lima periode dalam perjalanannya hingga hari kiamat nanti, yaitu periode kenabian,
periode kekhalifahan yang tegak di atas nilai-nilai kenabian, periode mulkan
adhan (penguasa yang menggigit), periode mulkan jabbariyan (penguasa yang
menindas), dan terakhir sebelum datangnya kiamat, umat ini sekali lagi akan berjaya
dengan kembali ke periode kekhalifahan yang tegak di atas nilai-nilai kenabian.
(disarikan dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Baihaqi).
Kedua, Tamkinuddin. Yaitu diteguhkannya agama Islam di muka bumi.
“…dan Allah sungguh-sungguh akan meneguhkan agama mereka yang diridhai-
Nya…” (QS. An Nur: 55).
“Dia-lah yang telah mengutus rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al
Qur’an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama,
walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai”. (QS. At Taubah: 33 dan QS. Ash
Shaf: 9).
“Dia-lah yang mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang
hak, agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai
saksi”(QS. Al Fath: 28).
Ketiga, Al Amnu. Bahwa Allah SWT akan mengkondisikan orang-orang yang
beriman rasa aman dan tentram setelah sebelumnya mereka selalu ditimpa
keresahan dan ketakutan.
“Dan Allah sungguh-sungguh akan menggantikan ketakutan mereka dengan
keamanan…” (QS. An Nur: 55).
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berdoa, “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri
yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya
yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian”. (QS. Al Baqarah:
126).
“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa itu berada dalam surga (taman-
taman) dan (di dekat) mata air-mata air (yang mengalir). (Dikatakan kepada
mereka), “Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman”. (QS Al Hijr: 45-46).
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka
dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan
dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. Al An’am: 82).

Keempat, Al Barakat (keberkahan yang melimpah).


“Kalau sekiranya penduduk negeri itu beriman dan bertaqwa, niscaya Kami
tumpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi, tetapi mereka itu
mendustakan, sebab itu Kami siksa mereka disebabkan usahanya itu”. (QS. Al A’raf:
96).
Kelima, Al Hayatun thayyibah (kehidupan yang baik).

6
“Barangsiapa melakukan kebaikan-kebaikan, laki-laki maupun perempuan dan
dia beriman, pasti Kami akan memberinya kehidupan, kehidupan yang
menyenangkan. Dan Kami akan memberinya pahala, sesuai dengan apa yang
mereka lakukan secara lebih baik”. (QS. An Nahl: 97).

Keenam, Al Jannah (surga)


“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, bagi
mereka surga Firdaus-lah tempatnya, mereka kekal di dalamnya tak hendak
berpindah darinya”. (QS. Al Kahfi: 107-108).
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, untuk mereka itu
surga na’im. Mereka kekal di dalamnya. Itulah janji Allah yang sebenarnya. Dia
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Lukman: 8-9).
Kesemua ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa ma’rifatullah bila dipelajari
dengan benar akan menambah keimanan dan ketaqwaan. Orang-orang yang bijak
dan memiliki akal sehat tentu akan memilih beriman dan bertaqwa kepada Allah
daripada mengingkari atau mempersekutukan-Nya dengan ilah-ilah yang lain.
Berikut ini dalil-dalil tentang wajibnya berma’rifatullah dan beriman kepada-Nya.
“Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah kecuali Allah, dan minta
ampunlah untuk dosa-dosamu dan untuk dosa-dosa orang-orang yang beriman laki-
laki dan perempuan. Allah mengetahui tempat bolak-balikmu dan tempat diammu”.
(QS. Muhammad: 19).
“Tiada Kami utus seorang rasulpun sebelum engkau, melainkan Kami wahyukan
bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah kecuali Aku, sebab itu beribadahlah kepadaku”.
(QS. Al Anbiya: 25).
Sabda rasulullah saw:
Dari Abbas ra bahwa Nabi saw ketika mengutus Muadz bin Jabal ra ke Yaman,
bersabda, “Sesungguhnya kamu akan mendatangi kaum ahli kitab, maka ajaklah
mereka kepada kesaksian bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah, dan sesungguhnya
saya Rasulullah. Kalau mereka telah mentaati yang demikian itu, maka ajarkanlah
mereka bahwa Allah azza wa jalla mewajibkan mereka shalat lima waktu sehari
semalam”. (HR. Jamaah).

Barangsiapa yang mengatakan aku ridha Allah sebagai Rabbku, Islam sebagai
dinku, dan Muhammad saw sebagai nabiku, maka surga wajib baginya. (HR.
Bukhari, An Nasa’i dan Abu Daud).
Merasakan nikmatnya iman, barangsiapa yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam
sebagai din, dan Muhammad sebagai rasul. (HR. Muslim dan Tirmidzi).

Berkata Ibnu Umar, “Kami hidup pada suatu masa dan seseorang dari kami
diberikan iman sebelum Al Qur’an dan kemudian turunlah surat-surat dari Al Qur’an,
maka dipelajarilah darinya yang halal, haram, perintah dan larangannya dan apa-
apa yang harus dilakukannya. Dan aku lihat orang-orang sekarang ini diberikan Al
Qur’an dahulu sebelum adanya iman. Maka dibacalah surat dari Al Fatihah hingga
surat yang terakhir dan dia tidak tahu apa perintah dan larangannya. Lalu dia
campakkan Al Qur’an itu bagai kurma busuk.” (HR. Imam Thabrani dalam kitab Al
Ausath).

Selain dalil-dalil di atas, ada hal lain lagi yang perlu kita camkan yaitu bahwa
ma’rifatullah dan iman kepada-Nya merupakan furqan (pembeda) antaranya dengan

7
mereka yang tidak beriman. Padahal keimanan inilah yang menjadi titik tolak
diterimanya amal seseorang.

“Dan orang-orang kafir, amal-amal mereka laksana fatamorgana di tanah yang


datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga. Tetapi ketika didatanginya
air itu, ia tidak mendapatinya suatu apapun. Dan didapatinya ketetapan Allah di
sisinya, lalu Allah memberitakan kepadanya perhitungan amal-amalnya dengan
cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungannya.” (QS. An Nur: 39).

C. Jalan Menuju Pengenalan Kepada Allah


Agar manusia dapat mengenal Allah, ia harus tahu jalan yang benar untuk
menujunya. Karena bila jalannya salah bisa jadi ia akan kesasar. Orang yang benar
jalannya hingga ia sampai pada tujuan yang sebenarnya, ia menjadi orang yang
ma’rifah dan semakin yakin serta membenarkan keimanannya. Sedangkan orang-
orang yang tersesat jalannya, tentu tidak akan sampai pada tujuan yang
sebenarnya, yaitu berma’rifah kepada Allah. Mereka kemudian menjadi orang yang
penuh keragu-raguan (al irtiyab), hingga kemudian menjadi orang-orang kafir
mengingkari keberadaan Allah.

1. Jalan yang dilalui bukan atas dasar petunjuk Islam


Dari dahulu hingga sekarang ada orang-orang yang masih beranggapan bahwa
Allah tidak ada, hanya gara-gara mereka tidak dapat melihat-Nya dengan panca
inderanya sendiri (al hawas), dengan alasan mereka tidak mempercayai sesuatu
yang ghaib. Padahal panca indera kita sangat terbatas kemampuannya dalam
menganalisa benda-benda yang nampak, apalagi terhadap benda-benda yang tidak
nampak.
Hanya dengan berbekal panca indera, mereka tidak akan dapat mengenal Allah.
Manusia hanya dapat melihat-Nya di surga nanti bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
Mereka tidak mampu melihat-Nya, bahkan karena kesesatannya lalu mereka
menjadikan benda-benda lain yang mempunyai kekuatan tertentu yang
mempengaruhi kehidupannya sebagai Tuhan mereka selain Allah (ghairullah).
Tersebutlah kemudian kepercayaan akan adanya dewa-dewa yang menguasai
matahari, bintang, langit, air, udara dan lainnya. Selain itu ada pula yang karena
jenuh mencari namun tak juga berhasil, lalu berkesimpulan bahwa Tuhan tidak ada.
Pencarian tak tentu arah ini lalu menimbulkan sikap skeptis. Segala sesuatu yang
berhubungan dengan diri dan juga gejala-gejala alam yang terjadi dalam lingkungan
kehidupannya dipandangnya dengan nalarnya semata. Inilah yang mereka anggap
lebih ilmiah dari pada harus mempercayai hal-hal yang bersifat ghaib, mistik,
takhayul dan sebagainya. Ilmu filsafat kemudian muncul memuaskan segala nafsu
dan akal manusia.
Akal manusia bisa jadi akan mampu mengenal keberadaan Allah melalui tanda-
tanda kekuasaan-Nya yang tersebar di pelosok bumi. Namun karena mereka tidak
mempunyai keimanan, segala pengetahuan itu kemudian dijadikan diskursus ilmu
semata.

Penggambaran yang salah terhadap metode untuk mengenal Allah ini, dulu maupun
sekarang, merupakan faktor terbesar yang menjauhkan manusia dari metode iman
yang benar kepada Allah. Padahal penggambaran macam ini jelas-jelas salah.
Secara aksiomatik, akal mengatakan bahwa Allah adalah pencipta materi tetapi Dia
bukan materi. Sebab materi tidak bisa menciptakan materi. Jika puncak pencerapan

8
indera di dalam kehiduapan dunia kita hanya terbatas pada materi yang tercerap
secara inderawi saja, maka Allah tidak akan bisa menjadi obyek pengetahuan kita.
Yang jelas pada bangsa atau orang kafir manapun juga pasti akan muncul
kekacauan di seputar metode inderawi untuk mengenal Allah ini. Itulah sebabnya
mengapa di zaman sekarang kita mendengar ada orang-orang tertentu yang
menjadikan “tidak bisa dilihat oleh mata” menjadi sebab musabab timbulnya
atheisme. Demikian pula, kita mendengar beberapa negara tertentu menegaskan
demikian, seperti yang dilakukan oleh siaran Uni Soviet ketika meluncurkan satelit
industrinya yang pertama ke ruang angkasa.

Kedua jalan tersebut, yaitu al hawas (panca indera) dan aqli (akal pemikiran)
karena tidak diikuti dengan keimanan terhadap hasil pencariannya itu, timbullah
sakwasangka dan keragu-raguan (al irtiyab) dan pada akhirnya membuat mereka
menjadi kafir.
2. Jalan yang dilalui berdasarkan petunjuk Islam

Jalan mengenal Allah telah ditunjukkan oleh Islam dengan menggunakan prinsip
keimanan dan akal pemikiran melalui tanda-tanda (al ayat), yaitu melalui ayat-
ayat qauliyah (Al Qur’an dan hadits), ayat-ayat kauniyah (alam semesta), dan
melalui mu’jizat.
Dari ayat-ayat qauliyah, Allah mewahyukan firman-Nya kepada para utusan-Nya.
Ada yang berupa shuhuf, al kitab dan juga hadits qudsi. Dalam Al Qur’an kita dapati
maklumat Allah mengenai keberadaan diri-Nya.
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Ilah selain Aku, maka
mengabdilah pada-Ku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku”. (QS. Thaha: 14).

Dari ayat-ayat kauniyah, kita dapati keyakinan adanya Allah melalui apa-apa yang
ada di alam semesta dan juga pada diri kita sendiri. (lihat QS. Adz Dzariyat : 21-22
dan QS. Fushshilat :53).

Misalnya adalah yang ada pada telapak tangan kita. Ruas-ruas tulang jari (tapak
tangan maupun telapak kaki) kita terkandung jejak-jejak nama Allah, Tuhan yang
sebenar pencipta alam semesta ini.

Perhatikan salah satu tapak tangan kita (bisa kanan bisa kiri). Perhatikan lagi
dengan seksama:
Jari kelingking = membentuk huruf alif
Jari manis, tengah dan jari telunjuk = membentuk huruf lam (double)
Jari jempol (ibu jari) = membentuk huruf ha
Jadi jika digabung, maka bagi Anda yang mengerti huruf Arab akan mendapati
bentuk tapak tangan itu bisa dibaca sebagai Allah (dalam bahasa Arab).

Garis utama kedua telapak tangan kita, bertuliskan dalam angka Arab yaitu :
IɅ pada telapak tangan kanan, artinya : 18; dan ɅI pada telapak tangan kiri, artinya :
81. Jika kedua angka ini dijumlahkan, 18+81 = 99, 99 adalah jumlah nama/sifat
Allah, Asmaul Husna yang terdapat dalam Al-Quran !

Mengenai sidik jari, polisi dapat mengidentifikasi kejahatan berdasarkan sidik jari
yang ditinggalkan oleh pelaku di tubuh korban. Hal ini disebabkan struktur sidik jari
setiap orang berbeda satu dengan lainnya. Bila kelak penjahat itu telah ditemukan

9
maka untuk membuktikan kejahatannya sidik jarinya akan dicocokkan dengan sidik
jari yang ada dalam tubuh korban. Maka si penjahat tidak dapat memungkiri
perbuatannya di hadapan polisi.

Keistimewaan pada jari jemari manusia menunjukkan kebenaran firman Allah yang
menyatakan bahwa segala sesuatu ada bekasnya. Allah tidak akan menyia-nyiakan
bekas-bekas ini untuk dituntut di yaumil akhir nanti.

Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa


yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala
sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS.
Yaasin:12).

Adapun mengenai mu’jizat yang Allah berikan kepada para rasul dan nabi-Nya, telah
cukup memperkuat eksistensi Allah. Mu’jizat terbesar yang hingga kini masih ada
adalah Al Qur’an. Berikut adalah beberapa contoh mu’jizat yang terdapat dalam Al
Qur’an.

- Asal mula alam raya :


“Kemudian Dia menuju pada penciptaan langit dan langit itu masih
merupakankabut, lalu Dia berkata, “Datanglah kepada-Ku baik dengan suka
maupun terpaksa”. Keduanya berkata, “Kami datang dengan suka hati.” (QS.
Fushshilat : 11).

Tak seorangpun ahli saint mengira bahwa langit, bintang dan planet-planet itu
dasarnya adalah kabut (dukhan) setelah alat-alat ilmiah berkembang pesat. Para
peneliti menyaksikan sisa-sisa kabut yang hingga kini selalu membentuk bintang-
gemintang.

- Bulan dan mentari :

“Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu kami hapuskan tanda
malam, kami jadikan tanda siang itu terang”. (QS. Al Isra: 12).

Para pakar ilmu astronomi pada saat ini telah menemukan bahwa rembulan dulunya
menyala kemudian padam dan sinarnya sirna. Cahaya yang keluar dari rembulan di
malam hari hanyalah pantulan dari lampu (siraj) lain yaitu matahari.

“Maha Suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang Dia juga
menjadikan padanya matahari dan bulan yang bercahaya.” (QS.Al Furqan: 61).

Di sini Allah menyatakan bahwa matahari bersinar, sehingga dikatakannya


“pelita/lampu”. Jika bulan bersinar pula, tentu Allah akan berkata ‘dua lampu” (as
sirajain).

- Kurangnya oksigen di langit :

“Barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Dia


menjadikan dadanya sesak lagi sempit seolah-olah sedang mendaki ke langit”.
(QS. Al An’am: 125).

10
Dahulu orang-orang beranggapan bahwa orang yang naik ke atas merasa sesak
napas karena udara buruk yang tidak sehat. Tetapi manakala manusia berhasil
membuat pesawat ruang angkasa super canggih dan ia mampu naik ke langit,
diketahuilah bahwa orang yang naik ke langit dadanya terasa sesak, bahkan amat
sesak, dikarenakan udara (oksigen) berkurang dan bahkan hampa. Karena itu para
astronot harus memakai tabung oksigen ketika mengangkasa.

Setelah mengkaji beberapa contoh hubungan kitabullah dengan sains modern,


pahamlah kita bahwa Al Qur’an benar-benar suatu mukjizat yang tiada bandingnya.
Mereka yang memiliki hati nurani akan merasa takjub dengan keangungan-Nya.
Sungguh benar firman Allah :

“Sesungguhnya telah Kami datangkan kepada kamu suatu kitab yang telah Kami
jelaskan berdasarkan ilmu (dari kami), sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang
beriman.” (QS. Al A’raf: 52).

Manusia yang beriman dan berakal lurus akan merasakan keberadaan Allah dan
membenarkan keimanannya kepada Allah (tashdiqul mu’min ilallah) . Sehingga
rukun iman yang enam perkara yang selalu kita hapalkan itu, bukan hanya keimanan
dalam lafadz semata, tapi juga telah tertashdiq (dibenarkan) dalam hati dan pola
tingkah kita sehari-hari. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat 53:11
,”Hatinya tidak mendustai apa yang telah dilihatnya”.

D. PENGHALANG DALAM MENGENAL ALLAH


Ada beberapa hal yang menghalangi seseorang mengenal Allah, di antaranya :

1. Al Kubru (sombong)
Berkatalah orang-orang yang tidak menanti-nanti pertemuan(nya) dengan Kami,
”Mengapakah tidak diturunkan kepada kita malaikat atau (mengapa) kita (tidak)
melihat tuhan kita ?” Sesungguhnya mereka menyombongkan diri mereka dan
mereka benar-benar telah melampaui batas (dalam melakukan) kezaliman. (Al
Furqan, 25: 21).

2. Azh Zhulmu (zalim)


Dan barangsiapa di antara mereka mengatakan, “Sesungguhnya aku adalah tuhan
selain daripada Allah”, maka orang itu Kami beri balasan dengan jahannam,
demikian Kami memberikan pembalasan kepada orang-orang zalim. (Al Anbiya, 21:
29).

3. Al Kadzibu (dusta)
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syrik). Dan orang-
orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), “Kami tidak mnyembah
mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan
sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka
tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki
orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar. (QS. Az Zumar,39: 3).

4. Al Fusuqu (fasik)

11
Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Wahai kaumku, mengapa
kalian menyakitiku padahal kalian tahu bahwa aku adalah utusan Allah untuk kalian”.
Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah palingkan hati mereka dan
Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang fasik. (QS. Ash Shaf, 61: 5).

5. Al Kufru (ingkar)
Wahai Rasul, janganlah kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera
(memperlihatkan) kekafirannya, yaitu di antara orang-orang yang mengatakan
dengan mulut mereka , “Kami telah beriman”, padahal hati mereka belum
beriman…(QS. Al Maidah, 5: 41).

6. Al Fasadu (fasad)
Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar, dan tak ada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Allah, dan sesungguhnya Allah, Dia-lah yang Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana. Kemudian jika mereka berpaling (dari kebenaran), maka
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS.
Ali Imran, 3: 62-63).

7. Al Ghaflah (lengah)
Dan sesungguhnya kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dai jin dan
manusia, mereka mempunyai hati tapi tak digunakan untuk memahami, mempunyai
mata tapi tak digunakan untuk melihat, dan mempunyai telinga tapi tak digunakan
untuk mendengar. Mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat
lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al A’raf, 7: 179).

8. Katsratul Ma’ashi (banyak berbuat durhaka)


Dan ditimpakan kepada mereka nista dan kehinaan, serta mendapat kemurkaan dari
Allah. Hal itu karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para
nabi tanpa alibi yang benar. Demikian itu karena mereka selalu berbuat durhaka dan
melampaui batas. (QS. Al Baqarah, 2: 61).

9. Al Irtiyab (ragu-ragu)
Dan sesungguhnya mereka telah mengingkari Allah sebelum itu, dan mereka
menduga-duga tentang yang ghaib dari tempat yang jauh. Dan dihalangi antara
mereka dengan apa yang mereka ingini sebagaimana yang dilakukan terhadap
orang-orang yang serupa dengan mereka pada masa dahulu. Sesungguhnya
mereka dahulu (di dunia) dalam keraguan yang mendalam. (QS. Saba’, 34: 53-54).

E. DALIL ADANYA ALLAH


Allah SWT memberikan berbagai sarana dan jalan hingga kita dapat memiliki
kepercayaan kepada-Nya sampai kadar keyakinan yang ilmiah, sebagaimana
keyakinan kita melihat benda yang dapat ditangkap dengan indra.

Secara umum, ilmu ada dua katagori, yaitu ilmu dharuri (aksiomatis) dan
ilmunazhari (teoritis). Ilmu dharuri adalah pengetahuan akan sesuatu yang tidak
membutuhkan dalil, karena keberadaannya dapat disentuh dengan indra. Ketika kita
berada di dpn suatu masjid, kita tidak memerlukan dalil untuk mengatakan bahwa
masjid itu ada. Sedangkan ilmu yang hanya dapat diperoleh dengan dalil disebut
ilmu nazhari. Misalnya luas segitiga adalah setengah kali alas kali tinggi (1/2 X a X
t).

12
Dan sesungguhnya, fenomena alam dan perangkat kehidupan yang
dianugerahkan Allah SWT dapat menuntun kita pada ma’rifat kepada-Nya dengan
ma’rifat yang sangat dekat, sebagaimana ilmu dharuri yang dapat dilihat dengan
mata kepala.
Berikut ini kita bahas dalil-dalil yang dapat menguatkan keyakinan kita akan
keberadaan Allah SWT.

1. Ad dalil al fithri (dalil fitrah)


Ketika kita menghadapi musibah berat yang tak mampu kita hadapi, spontan kita
akan meminta perlindungan dan pertolongan kepada “kekuatan ghaib” di balik alam
ini. Inilah ‘fitrah imaniah’ (karakter dasar keimanan) yang pasti muncul pada saat-
saat seseorang tidak sanggup menghadapi ujian duniawi. (lihat QS. Az Zumar ayat
8, Ar Rum ayat 33, An Naml ayat 62, Al Ankabut ayat 65, Lukman ayat 32, An Nahl
ayat 53).

Dikatakan kepada Rabi’ah al Adawiyah, seorang tokoh muslimah ahli ibadah, bahwa
seseorang dapat menunjukkan seribu dalil akan adanya tuhan. Ia tertawa dan
berkata, “Satu dalil sudahlah cukup.” “Apa itu ?” tanya orang itu. “Kalau kamu
berjalan di tengah padang pasir, lalu kakimu tergelincir dan jatuh ke lubang sebuah
sumur hingga tidak bisa keluar darinya, apa yang akan kamu perbuat ?” tanya
Rabi’ah. “Kami akan berkata, ya Allah,” jawabnya. “Nah, itulah dalil…,” tegas
Rabi’ah.

Demikianlah fitrah manusia. Dia memang diciptakan Allah SWT di atas fitrah agama
Allah, sehingga keimanan kepada Allah sesungguhnya telah bersemayam dalam
hati setiap insan, siapapun orangnya dan yang lahir dari siapapun.

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui. (QS. Ar Rum, 30: 30).

2. Ad dalil al hassiy (dalil panca indera)

Panca indra manusia diciptakan sebagai alat untuk mengenal alam benda di sekitar
kita. Namun apa yang ada pada diri kita itu memiliki banyak sekali keterbatasan.
Mata kita misalnya. Ada hal-hal yang sebenarnya ada di dunia ini, tetapi mata tidak
mampu melihatnya. Misalnya arus listrik, udara, aroma dan sebagainya. Apa yang
kita lihat juga kadang tidak menunjukkan fakta yang sebenarnya. Misalnya pensil
yang dimasukkan dalam segelas air terlihat patah padahal sebenarnya tidak. Rel
kereta api bila kita lihat semakin jauh terlihat bertemu pada satu ujung, padahal tidak
demikian faktanya. Lautan terjauh yang kita lihat seolah-olah bertemu dengan ujung
dunia, padahal realitanya tidaklah demikian.
Keterbatasan indra inilah yang justru menjadi dalil bahwa sesungguhnya di balik
dunia yang kita tangkap dengan indra masih terdapat dunia lain. Termasuk di
dalamnya adalah dunia ghaib, di mana Allah SWT termasuk bagian darinya. Dengan
demikian, barangsiapa mengingkari wujud Allah SWT hanya karena indra tidak
menangkapnya, maka ia harus juga mengingkari banyak sekali realita yang ada di
dunia ini, yang tidak bisa ditangkap oleh indra manusia.

13
Benarlah apa yang Allah firmankan,
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala
penglihatan itu dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui. (QS. Al An’am,
6: 103).

3. Ad dalil al ‘aqli (dalil akal)


Akal memiliki keistimewaan berupa kemampuan membuat kesimpulan dari data-data
yang tertangkap panca indra kita. Kesimpulan inilah yang akan menghadirkan
berbagai hakikat penting yang sangat dibutuhkan manusia dalam beragama.

Seorang Arab badui suatu ketika ditanya tentang keberadaan Allah, lalu dia
menunjuk seonggok kotoran onta sambil balik bertanya, ‘Tahukah Anda, kotoran
apakah itu ?’ ‘Kotoran onta jawabnya,’ jawabnya.
Sang badui kemudian bertanya lagi, ‘Apakah Anda melihat ontanya ?” “Tidak”,
jawabnya. Sang badui bertanya lagi, ‘Lalu, bagaimana Anda bisa mengetahui bahwa
kotoran itu adalah kotoran onta, tanpa Anda tahu ontanya ?” ‘Dengan melihat ciri-
cirinya,” jawabnya lagi.
Sang badui kemudian berkata, “Lihatlah ke atas dan lihatlah alam semesta. Jika
kotoran onta menunjukkan adanya onta tanpa harus terlihat ontanya, apakah tidak
cukup bahwa alam semesta ini menunjukkan adanya pencipta tanpa harus terlihat
sang pencipta ? Dialah Allah.”

Allah SWT berfirman,


Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau
duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan
langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan
semua ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api
neraka.” (QS. Ali Imron, 3: 190-191).

4. Ad dalil al wahyu (dalil wahyu)


Pendekatan dalili akal hanya sampai pada kesimpulan aan adanya dzat ghaib yang
berada di balik alam semesta ini. Namun siapakah dia ? Nash (teks) wahyu Al Quran
memperkenalkannya dengan sangat jelas. Ayat-ayat Al Quran telah menunjukkan
kepada kita akan keberadaan Sang Maha Pencipta. Ayat-ayat yang terangkai dalam
Al Quran merupakan untaian mukjizat untuk menunjukkan keberadaan-Nya.

Allah SWT berfirman dalam beberapa ayat-Nya berikut ini ;

Sesungguhnya tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi
dalam enam masa, lalu Dia sengaja menciptakan Arsy. Dia tutup malam dengan
siang yang mengikutinya dengan cepat. Matahari, bulan dan bintang-bintang tunduk
kepada perintah-Nya. Ketahuilah, mencipta dan memerintah hanyalah hak Allah.
Maha Berkat Allah, tuhan semesta alam. (QS. Al Araf, 7: 54).

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada tuhan melainkan Aku, maka
sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku. (QS. Thaha, 20: 14)

Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang Mengetahui yang ghaib dan yang
nyata. Dialah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dialah Allah yang tiada

14
tuhan selain Dia. Raja yang Mahas Suci, yang Maha Sejahtera, yang
mengkaruniakan keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha Perkasa, yang
Maha Esa, yang memiliki segala keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan. Dialah Allah yang Menciptakan, yang Mengadakan, yang Membentuk
rupa, yang Mempunyai nama-nama yang paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa
yang di langit dan apa yang di bumi. Dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. (QS. Al Hasyr: 22-24).

5. Ad dalil at tarikhi (dalil sejarah)


Peninggalan situs-situs sejarah yang masih dapat kita saksikan hingga kini,
menunjukkan adanya kepercayaan umat manusia akan keberadaan
Tuhannya. Ritual haji di depan Ka’bah oleh musyrikin Arab, candi Borobudur di
Indonesia, Pagoda Songkla dan lainnya menunjukkan pengakuan manusia akan
adanya Sang Pencipta.

Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi, sehingga mereka
dapat memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka.
Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan
menerima (akibat-akibat) seperti itu. (QS. Muhammad,47: 10).

F. KHATIMAH

Ma’rifatullah merupakan jalan pembuka mengapa kita perlu beribadah kepada-Nya


dan mengapa jalan-Nya yang kita ambil dalam menapaki kehidupan kita sehari-hari
di alam fana ini.

Kita harus memahami dan mengenal Allah dengan benar (shahih) melalui sandaran
yang benar pula. Dalam pandangan Islam, faktor iman kepada yang ghaib, yang tak
dapat kita lihat dengan mata kepala, merupakan faktor yang dominan dalam upaya
mengenal Allah, di samping faktor akal dan ayat-ayat Allah yang Allah turunkan
melalui utusan-Nya dan juga yang terhampar di seluruh alam mayapada ini.
Pengenalan Allah yang benar akan menghasilkan peningkatan iman dan taqwa
(raf’ul iman wat taqwa), juga pribadi merdeka dan bebas yang membebaskan kita
dari penghambaan kepada makhluk menuju penghambaan kepada pencipta
makhluk. Dengan mengenal Allah, akan tumbuh ketenangan, keberkatan dan
kehidupan yang baik, serta di akhirat dibalas dengan surga-Nya.

Ada banyak hal yang menyebabkan manusia tak mengenal Allah dan tak mau
mengakui keberadaan-Nya. Ada yang karena kesombongannya, lalai, bodoh, ragu-
ragu dan lainnya. Padahal banyak sekali dalil yang menguatkan keberadaan Allah
dan menyakinkan kita untuk beriman kepada-Nya. Tanda-tanda kekuasaan-Nya
bukan saja terdapat di alam semesta ini, bahkan dalam diri kita pun, hal itu tampak
dengan jelas.

Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap


ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Quran
itu adalah benar. Dan apakah Rabb-mu tidak cukup, bahwa sesungguhnya Dia
menyaksikan segala sesuatu ? (QS. Fushilat, 41: 53).
Pada akhirnya, pemahaman pada ma’rifatullah, akan menjadi furqan (pembeda)
antara orang-orang yang beriman dan yang mengingkarinya. Moga kita dirahmati

15
Allah SWT bukan saja untuk lebih kenal kepada-Nya, tapi juga dapat lebih
meningkat iman dan taqwa kita.

Ahammiyatu Ma'rifatullah,..
Dalam Islam, mengenal Allah (ma'rifatullah) adalah persoalan penting dan wajib,
karena hal ini menyangkut aqidah.
Imam Ghazali menyatakan bahwa ma'rifah adalah sebuah tingkatan kecerdasan,
yaitu mengumpulkan dua atau lebih informasi untuk menghasilkan sebuah
kesimpulan. Dan dari kesimpulan itulah muncul tindakan atau sikap. Bukan ma'rifah
namanya bila apa yang diketahuinya tidak menghasilkan tindakan. Seseorang yang
mengaku mengenal Allah, tapi tidak menghasilkan ketundukkan, ketaatan, loyalitas,
dan penghambaan kepada Allah, sesungguhnya dia berlum ma'rifah kepada Allah.
Ma’rifatullah (mengenal Allah) bukanlah mengenali dzat Allah, karena hal ini
tidak mungkin terjangkau oleh kapasitas manusia yang terbatas. Sebab bagaimana
mungkin manusia yang terbatas ini mengenali sesuatu yang tidak terbatas?. Segelas
susu yang dibikin seseorang tidak akan pernah mengetahui seperti apakah orang
yang telah membuatnya menjadi segelas susu.
Menurut Ibn Al Qayyim : Ma’rifatullah yang dimaksudkan oleh ahlul
ma’rifah (orang-orang yang mengenali Allah) adalah ilmu yang membuat
seseorang melakukan apa yang menjadi kewajiban bagi dirinya dan konsekuensi
pengenalannya”.
Ma’rifatullah tidak dimaknai dengan arti harfiah semata, namun ma’riaftullah
dimaknai dengan pengenalan terhadap jalan yang mengantarkan manusia dekat
dengan Allah, mengenalkan rintangan dan gangguan yang ada dalam perjalanan
mendekatkan diri kepada Allah.

Mengapa kita harus Mengenal Allah?


Orang yang mengenali Allah dengan benar adalah orang yang mampu
mewarnai dirinya dengan segala macam bentuk ibadah. Kita akan mendapatinya
sebagai orang yang rajin shalat, pada saat lain kita dapati ia senantiasa berdzikir,
tilawah, pengajar, mujahid, pelayan masyarkat, dermawan, dst. Tidak ada ruang dan
waktu ibadah kepada Allah, kecuali dia ada di sana. Dan tidak ada ruang dan waktu
larangan Allah kecuali ia menjauhinya.
Ada sebagian ulama yang mengatakan : “Duduk di sisi orang yang mengenali
Allah akan mengajak kita kepada enam hal dan berpaling dari enam hal, yaitu : dari
ragu menjadi yakin, dari riya menjadi ikhlash, dari ghaflah (lalai) menjadi ingat, dari
cinta dunia menjadi cinta akhirat, dari sombong menjadi tawadhu’ (randah hati), dari
buruk hati menjadi nasehat”

Pentingnya Ma’rifatullah.
- Ma’rifatullah adalah puncak kesadaran yang akan menentukan perjalanan hidup
manusia selanjutnya. Karena ma’rifatullah akan menjelaskan tujuan hidup manusia
yang sesungguhnya. Ketiadaan ma’rifatullah membuat banyak orang hidup tanpa
tujuan yang jelas, bahkan menjalani hidupnya sebagaimana makhluk hidup lain
(binatang ternak). QS.47:12
- Ma’rifatullah adalah asas (landasan) perjalanan ruhiyyah (spiritual) manusia
secara keseluruhan. Seorang yang mengenali Allah akan merasakan kehidupan
yang lapang. Ia hidup dalam rentangan panjang antara bersyukur dan bersabar.

16
Sabda Nabi : Amat mengherankan urusan seorang mukmin itu, dan tidak terdapat
pada siapapun selain mukmin, jika ditimpa musibah ia bersabar, dan jika diberi
karunia ia bersyukur” (HR.Muslim)
- Dari Ma’rifatullah inilah manusia terdorong untuk mengenali para nabi dan rasul,
untuk mempelajari cara terbaik mendekatkan diri kepada Allah. Karena para Nabi
dan Rasul-lah orang-orang yang diakui sangat mengenal dan dekat dengan Allah.
- Dari Ma’rifatullah ini manusia akan mengenali kehidupan di luar alam materi,
seperti Malaikat, jin dan ruh.
- Dari Ma’rifatullah inilah manusia mengetahui perjalanan hidupnya, dan bahkan
akhir dari kehidupan ini menuju kepada kehidupan Barzahiyyah (alam kubur) dan
kehidupan akherat.

Sarana yang mengantarkan seseorang pada ma’rifatullah adalah :


Akal sehat
Akal sehat yang merenungkan ciptaan Allah. Banyak sekali ayat-ayat Al Qur’an yang
menjelaskan pengaruh perenungan makhluk (ciptaan) terhadap pengenalan al
Khaliq (pencipta) seperti firman Allah : Katakanlah “ Perhatikanlah apa yang ada di
bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi
peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman. QS 10:101, atau QS 3: 190-191
Sabda Nabi : “Berfikirlah tentang ciptaan Allah dan janganlah kamu berfikir tentang
Allah, karena kamu tidak akan mampu” HR. Abu Nu’aim

Para Rasul
Para Rasul yang membawa kitab-kitab yang berisi penjelasan sejelas-jelasnya
tentang ma’rifatullah dan konsekuensi-konsekuensinya. Mereka inilah yang diakui
sebagai orang yang paling mengenali Allah. Firman Allah :
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti
nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan )
supaya manusia dapat melaksanakan keadilan..” QS. 57:25
Asma dan Sifat Allah
Mengenali asma (nama) dan sifat Allah disertai dengan perenungan makna dan
pengaruhnya bagi kehidupan ini menjadi sarana untuk mengenali Allah. Cara inilah
yang telah Allah gunakan untuk memperkenalkan diri kepada makhluk-Nya. Dengan
asma dan sifat ini terbuka jendela bagi manusia untuk mengenali Allah lebih dekat
lagi. Asma dan sifat Allah akan menggerakkan dan membuka hati manusia untuk
menyaksikan dengan seksama pancaran cahaya Allah. Firman Allah :
“Katakanlah : Serulah Allah atau serulah Ar Rahman. Dengan nama yang mana saja
kamu seru, Dia mempunyai al asma’ al husna (nama-nama yang terbaik) QS.
17:110

Asma’ al husna inilah yang Allah perintahkan pada kita untuk menggunakannya
dalam berdoa. Firman Allah :
“ Hanya milik Allah asma al husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan
menyebut asma al husna itu…” QS. 7:180

17
Seseorang yang sedang jatuh cinta akan selalu memikirkan kecantikan, kebaikan,
kelembutan, dan keramahan kekasihnya. Memikirkan hal-hal semacam itu sudah
cukup membahagiakan hatinya. Selain itu, ia pun akan selalu menjaga jangan
sampai kekasihnya benci dan menjauhi dirinya.

18

Anda mungkin juga menyukai