BAB I
PENDAHULUAN
I.3. Tujuan
I.3.1. Tujuan Umum
Tercapainya kepatuhan pengobatan penyakit kusta pada An. F sehingga tidak timbul
kecacatan di kemudian hari.
I.3.2. Tujuan Khusus
1. Diketahuinya sumber penularan yang menyebabkan An. F tertular penyakit kusta.
2. Diketahuinya faktor internal berdasarkan Mandala of Health yang menyebabkan
terputusnya pengobatan penyakit kusta pada An. F.
3. Diketahuinya faktor eksternal berdasarkan Mandala of Health yang menyebabkan
terputusnya pengobatan penyakit kusta pada An. F.
4. Diketahuinya alternatif jalan keluar untuk penyakit kusta pada An. F.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Definisi
Istilah kusta berasal dari Bahasa Sansekerta, yakni kustha berarti kumpulan gejala-
gejala kulit secara umum. Penyakit kusta atau lepra disebut juga Morbus Hansen, sesuai
dengan nama penemu kuman tersebut.
Definisi kasus kusta menurut WHO adalah seseorang dengan satu atau lebih kriteria
berikut dan belum pernah menyelesaikan terapi :
2. Kerusakan pada saraf perifer, seperti yang memiliki gejala hilangnya sensibilitas,
mobilitas tangan, kaki atau wajah
Definisi kasus kusta tidak termasuk orang yang telah sembuh tetapi memiliki
disabilitas menetap. (WHO, 2000)
II.3. Epidemiologi
Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan, cara penularan belum diketahui pasti
hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antarkulit yang lama dan
erat.
Masa tunasnya sangat bervariasi, antara 40 hari – 40 tahun, umumnya beberapa tahun,
rata-rata 3-5 tahun.
Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar di seluruh
dunia tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut.
Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar
keringat dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum yang banyak mengandung M.
leprae berasal dari traktus respiratorius atas. Dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih
rentan daripada orang dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur 14 tahun
didapatkan 11,39%, tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi
terdapat pada kelompok umur 25-35 tahun. (FK UI,2013)
Jumlah kasus kusta di seluruh dunia telah menurun. Kasus yang terdaftar pada
permulaan tahun 2009 tercatat 213.036 penderita yang berasal dari 121 negara, sedangkan
jumlah kasus baru pada tahun 2008 tercatat 249.007. Di Indonesia jumlah kasus kusta akhir
tahun 2008 tercatat 22.539 dengan kasus baru sebanyak 16.668 orang. Distribusi tidak
merata, yang tertinggi antara lain di Pulau Jawa, Sulawesi, Maluku dan Papua. Prevalensi
pada tahun 2008 per 10.000 penduduk adalah 0,73. (FK UI,2013)
Kuman kusta banyak ditemukan di mukosa hidung manusia. Telah terbukti bahwa
saluran nafas bagian atas dari pasien tipe lepromatosa merupakan sumber kuman. Di luar
tubuh manusia (dalam kondisi tropis) kuman kusta dari sekret nasal dapat bertahan sampai 9
hari. Sampai saat ini hanya manusia satu-satunya yang dianggap sebagai sumber penularan.
Kuman kusta mempunyai masa inkubasi rata-rata 2-5 tahun, akan tetapi dapat juga bertahun-
tahun. Penularan terjadi apabila kuman kusta yang utuh (hidup) keluar dari tubuh pasien dan
masuk ke dalam tubuh orang lain.
Secara teoritis penularan dapat terjadi dengan cara kontak yang lama dengan pasien.
Pasien yang sudah minum obat MDT tidak menjadi sumber penularan kepada orang lain.
Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak dengan pasien kusta, hal ini
disebabkan adanya kekebalan tubuh. Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause,
kehamilan, serta faktor infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit
kusta. (Kemenkes, 2012)
Kusta terdapat dimana-mana. Makin rendah sosial ekonomi makin berat penyakitnya,
sebaliknya faktor sosial ekonomi tinggi sangat membantu penyembuhan. Ada variasi reaksi
terhadap infeksi M. Leprae yang mengakibatkan variasi gambaran klinis di berbagai suku
bangsa.
II.6. Patogenesis
M. leprae, yaitu bakteri penyebab penyakit kusta, memiliki patogenitas dan daya
invasi yang rendah. Pada infeksi M. leprae, sering didapatkan ketidakseimbangan antara
derajat infeksi dengan derajat penyakit. Hal ini disebabkan respons imun yang berbeda yang
menyebabkan reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri
ataupun bersifat progresif. Akibat sifat ini, kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologis.
Individu dengan respons imun seluler yang adekuat akan menunjukkan tipe penyakit
Tuberkuloid yang menyerang kulit dan sara perifer. Jumlah lesi kulit biasanya terbatas dan
lesi bersifat kering dan hipestesi. Gangguan saraf biasanya bersifat asimetris. Bentuk
penyakit seperti ini juga disebut kusta pausibasiler karena jumlah bakteri yang ditemukan
pada hapusan lesi kulit sedikit. Hasil tes kulit dengan antigen memberikan hasil yang positif
pada tipe ini.
Individu dengan respons imun seluler minimal akan menunjukkan tipe penyakit
lepromatosa, yang ditandai dengan gangguan kulit yang luas. Lesi kulit berupa nodul dan
plak, dan gangguan saraf biasanya bersifat simetris. Tipe ini juga disebut sebagai kusta
multibasiler karena jumlah bakteri yang ditemukan pada lesi dalam jumlah banyak. Tes kulit
dengan antigen memberikan hasil yang negatif.
Organisme M. leprae memiliki suhu optimal untuk tumbuh pada suhu 27-30oC,
sehingga lesi kulit biasanya timbul di daerah tubuh yang suhunya lebih rendah (jarang
ditemukan di daerah inguinal, axilla, dan cranium. (Kosasih A, 2013)
II.7. Klasifikasi
Ridley & TT BT BB BL LL
Jopling
Puskesmas PB MB
Tabel 2. Bagan Diagnosis Klinis Kusta Menurut WHO (1995) (FKUI, 2013)
PB MB
(menyebabkan saraf
hilangnya
sensasi/kelemahan
otot yang
dipersarafi oleh
saraf yang terkena)
Terdapat beberapa spektrum klinis kusta dengan gejala, profil bakteriologis dan
imunologis yang berbeda. Gejala klinis tersebut sangat dipengaruhi oleh imunitas seluler
penderita. Imunitas seluler yang baik akan memberikan gejala klinis ke arah tuberkuloid,
sedangkan imunitas seluler yang rendah akan memberikan gejala ke arah lepromatosa.
(Widyaningsih, 2014)
Apabila penyakit mengenai saraf perifer, gejala klinis akan sesuai dengan nervus yang
terkena. Kemudian dilakukan pemeriksaan pembesaran saraf perifer, konsistensi dan nyeri
tekan dari saraf perifer. Saraf yang perlu diperiksa adalah N. fasialis, N. aurikularis magnus,
N. radialis, N. ulnaris, N. medianus, N. popliteal lateralis dan N. tibialis posterior.
II.9. Diagnosis
Menurut WHO, diagnosis kusta dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, yaitu lesi
kulit yang hipopigmentasi ataupun kemerahan, berupa makula maupun papul, tidak gatal dan
tidak nyeri, disertai penurunan sensibilitas. (WHO, 2000)
Pada pemeriksaan fisik terdapat hipestesi, lesi kulit dan neuropati perifer. Neuropati
perifer dapat ditemukan gangguan sensoris atau motoris, pembesaran saraf perifer, nyeri
tekan pada saraf perifer. Saraf perifer yang sering terkena adalah: n. ulnaris, n. medianus, m.
radialis, n. poplitea lateralis, n. tibialis posterior, n. facialis, dan n. trigeminus. (Kosasih A,
2013)
Pemeriksaan biopsi kulit, hapusan nasal dapat digunakan untuk memastikan basil
tahan asam. Biopsi kulit diambil dari tepi lesi yang merupakan bagian yang aktif. (Smith DS,
2014)
Salah satu pemeriksaan laboratorium yang dapat menunjang kusta adalah tes
lepromin, yang menguji kemampuan pasien untuk memberikan respons granulomatosa
terhadap bakteri M. leprae yang dimatikan. Pasien dengan kusta tuberkuloid memiliki
respons yang positif (indurasi >5 mm), sedangkan pada kusta lepromatosa memiliki respons
yang negatif. (Smith DS, 2014)
Uji phenolic glycolipid-1 merupakan uji serologis spesifik untuk mendeteksi antibodi
terhadap phenolic glycolipid-1 dengan sensitivitas 95% untuk mendeteksi kusta lepromatosa
tetapi hanya 30% untuk kusta tuberkuloid. (Smith DS, 2014)
II.10. Pengobatan
1. Terapi farmakologis
Tabel 3. Pedoman Praktis WHO untuk Dosis MDT Tipe PB (Kemenkes, 2012)
Jenis Obat < 5 th 5-9 th 10-15 th >15 th Keterangan
25 50 100 Minum di
mg/hari mg/hari mg/hari rumah
Tabel 4. Pedoman Praktis WHO untuk Dosis MDT tipe MB (Kemenkes, 2012)
Jenis Obat < 5 th 5-9 th 10-15 th >15 th Keterangan
50 mg 2x 50 mg 50 mg per Minum di
seminggu setiap 2 hari rumah
hari
2. Terapi non-farmakologis
Pasien kusta secara rutin perlu menjaga kebersihan diri terutama pada regio yang
mengalami penurunan fungsi neurologis. Tangan atau kaki yang anestetik dapat
direndam setiap hari selama 10 – 15 menit. Lesi kalus atau kulit di sekitar ulkus dapat
diabrasi. Selanjutnya, untuk menjaga nutrisi dan kelembapan yang adekuat pada kulit
dapat diberikan pelembab topikal.
Istirahatkan regio yang terlihat kemerahan atau melempuh. Hindari tekanan yang
berlebihan pada regio lesi. (Widyaningsih, 2014)
II.11. Komplikasi
Neuropati, mencakup penurunan fungsi sensorik, motorik atau otonom saraf perifer
Ulkus atau fissura yang dapat mengakibatkan osteomyelitis hingga amputasi
Pembentukan kalus akibat penurunan aktivitas kelenjar keringat
Kontraktur sendi akibat paralisis otot
Kelainan oftalmologis berupa penurunan sensoris kornea (trigeminal neuropati),
lagoftalmus (neuropati fasial). (Widyaningsih, 2014)
II.12. Prognosis
Seseorang kusta yang telah terganggu fungsi neurologisnya memiliki kemungkinan
perbaikan yang terbatas, tetapi lesi kulit umumnya menghilang dalam tahun pertama
pengobatan. Diskolorasi kulit dan kerusakan kulit biasanya menetap. Deformitas yang paling
umum berupa penurunan sensibilitas kaki.
Terapi fisik, operasi rekonstruktif, transplan saraf dan tendon, dan surgical release
kontraktur dapat meningkatkan kemampuan fungsional pada pasien dengan kusta. (Smith
DS, 2014)
BAB III
DATA KLINIS
III.1. Identitas Pasien
Nama Pasien : An. F
Umur Pasien : 5 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Desa Sukamurni RT 01/RW 03
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Suku : Sunda
Pendidikan : Siswa PAUD
III.2. Anamnesis
Alloanamnesis dengan penanggung jawab kusta Puskesmas Gembong pada hari
Senin, 21 September 2015 pukul 10.00 WIB di Puskesmas Gembong.
Autoanamnesis dengan An. F dan alloanamnesis dengan ibu pasien pada hari Sabtu,
26 September 2015 pukul 12.00 WIB di rumah pasien.
Alloanamnesis dengan ayah pasien pada hari Selasa, 27 Oktober 2015 pukul 17.30
WIB di rumah pasien.
Keluhan utama
Bercak putih pada lutut kiri.
Keluhan tambahan
Demam dan menggigil.
Riwayat perjalanan penyakit
Menurut penanggung jawab penyakit kusta Puskesmas Gembong, terdapat
seorang anak laki-laki berusia 5 tahun penderita kusta tipe PB yang sempat putus obat
selama 2 hari. Saat ini, anak tersebut sedang menjalani pengobatan bulan ke-3. Kedua
orang tua dan paman anak tersebut juga terdiagnosa kusta tipe MB sejak 6 bulan
sebelumnya. Selama pengobatan penyakit kusta, kunjungan ke puskesmas tidak teratur.
Ibu pasien menyampaikan bahwa pada lutut kiri anaknya terdapat bercak bulat
berwarna keputihan, yang tidak terasa sakit sejak 7 bulan yang lalu. Bercak tidak terasa
gatal dan tidak terasa nyeri, berukuran kurang lebih 5 cm. Pasien juga mengeluh demam
dan menggigil sejak 3 bulan yang lalu. Demam naik turun tanpa pola tertentu.
Riwayat olahraga
Pasien gemar bermain bola dengan temannya.
Riwayat kehamilan dan persalinan
Saat hamil, ibu pasien rutin memeriksakan kehamilannya ke posyandu. Tidak ada
penyulit saat hamil. Proses persalinan dilakukan di rumah, ditolong oleh bidan desa.
Pasien cukup usia gestasi. Berat badan lahir 3300 g. Ibu pasien mengaku sudah lupa
panjang badan dan lingkar kepala lahir An. F.
Riwayat pertumbuhan
Data antropometri anak F pada tanggal 26 September 2015:
Berat badan = 16 kg
Tinggi badan = 110 cm
IMT = 13,22 kg/m2
Gambar 5. Kurva WHO Indeks Massa Tubuh Berdasarkan Usia (WHO, 2007)
Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat 15
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumangara
Periode 14 September 2015 – 7 November 2015
Laporan Kunjungan Kasus Kusta Tipe PB pada An. F (5 tahun) dengan Pendekatan Kedokteran Keluarga di
Wilayah Kerja Puskesmas Gembong, Kecamatan Balaraja, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten
Periode 23 September 2015 – 21 Oktober 2015
Riwayat pengobatan
Ibu pasien mengaku anaknya jarang berobat ke Puskesmas Gembong.
Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Status Generalis : Nadi : 104 x/menit, reguler, kuat angkat, isi cukup
Pernapasan : 24 x/menit
Suhu : 36,7oC
TD : 100/60 mmHg
Data Antropometri
Berat badan : 16 kg
Tinggi badan : 110 cm
IMT : 13,22 kg/m2
Kurva WHO : BB/U = -1 s/d -2 (normal)
: TB/U = 0 s/d -1 (normal)
: IMT/U = -1 s/d -2 SD (normal)
Kesan : Status gizi normal
Pemeriksaan Fisik (dilakukan tanggal 26 September 2015, pukul 12.30 WIB)
Status Generalis :
Kepala
Bentuk dan ukuran : Normocephali, tidak terdapat benjolan
Rambut dan kulit : Rambut warna hitam, terdistribusi merata, tidak mudah
dicabut
Wajah : Simetris
Mata : Palpebra superior et inferior tidak edema, konjungtiva anemis -/-, sklera
ikterik -/-, pupil bulat, isokor, diameter 2 mm, refleks cahaya +/+, jarak
antar mata normal, pemeriksaan visus tidak dilakukan
Hidung : Bentuk normal, deviasi septum nasi (-), sekret -/-, napas cuping hidung (-).
Telinga : Bentuk normal, sekret -/-, serumen -/-
Mulut dan bibir : Bibir sianosis (-), lidah bersih, uvula di tengah, T1-T1 tenang,
faring tenang, mukosa mulut tidak ada kelainan, stomatitis (-),
caries gigi (+) di gigi M1 kanan kiri atas dan bawah
Kelenjar getah bening : Tidak teraba membesar
Leher : Trakea di tengah, kelenjar tiroid tidak teraba membesar
Thorax
Paru
Inspeksi : Simetris saat diam dan pergerakan napas, retraksi dinding
dada (-)
Sensorik : Baik
Motorik : Baik
Refleks fisiologis : +/+
Refleks patologis : -/-
Status saraf perifer:
N. ulnaris : tidak ada kelainan
N. medianus : tidak ada kelainan
N. radialis : tidak ada kelainan
N. poplitea lateralis : tidak ada pembesaran dan tidak ada nyeri tekan
N. tibialis posterior : tidak ada pembesaran dan tidak ada nyeri tekan
N. fasialis : tidak ada kelainan
N. trigeminus : tidak ada kelainan
Pemeriksaan Sensibilitas
Di daerah lesi:
Halus-kasar : Hipestesi di daerah lutut kiri
Panas-dingin : Tidak dilakukan pemeriksaan (karena tidak ada alat)
Tajam-tumpul : Hipestesi di daerah lutut kiri
III.4. Diagnosis
Diagnosis kerja : Kusta tipe PB
Diagnosis tambahan : -
Diagnosis banding : Pityriasis versicolor
III.5. Terapi yang Diberikan:
Farmakologis
Blister obat kusta tipe PB yang berisi Rifampisin 300 mg setiap bulan, DDS 25
mg awal dan 25 mg setiap hari di rumah. Pengobatan diberikan selama 6 bulan
Non-farmakologis
Kontrol ke puskesmas untuk mengambil obat sekali tiap bulan
BAB IV
DATA KELUARGA DAN LINGKUNGAN
IV.1. Struktur Keluarga
Pasien merupakan laki-laki berusia 5 tahun dengan status anak pertama dari dua
bersaudara. Saat ini pasien tinggal serumah bersama kedua orangtua, paman dan adik
perempuannya.
Tabel 5. Daftar Anggota Keluarga An. F
No Nama. L/ Umur Pekerjaan Pendidikan Hub Ket.
P Pokok Terakhir Dengan
Pasien
36 Buruh pabrik Penderita
1. Tn. Ag L SD Ayah
tahun baja kusta MB
26 Ibu Rumah Penderita
2. Ny. Su P SMP Ibu
tahun Tangga kusta MB
Tertular
16 Buruh Paman dari
3. Tn. N L SD kusta tipe
tahun bangunan sisi ibu
MB
5
4. An. F L - Siswa PAUD Pasien
tahun
2
5. An. Sa P - - Adik pasien
bulan
IV.2. Genogram
An. F L 5 1x 1x 3x 4x 4x
(pasien)
An. Sa P 2 - - - 1x 1x
(bulan)
Keterangan:
JK = Jenis Kelamin HB = Hepatitis B
BCG = Bacille-Calmette Guerin L = Laki-laki
DPT = Diphteria Pertussis Tetanus P = Perempuan
Kesimpulan: An. F mendapatkan imunisasi lengkap, sedangkan orang tua pasien tidak
diketahui status imunisasinya. Adik pasien belum mendapat imunisasi lengkap karena
usianya belum sesuai jadwal imunisasi.
IV.4. Kondisi Ekonomi
Penghasilan keluarga berasal dari ayah pasien yang bekerja sebagai buruh pabrik baja,
penghasilan tiap bulan Rp. 2.400.000,-. Ibu pasien tidak bekerja. Paman pasien bekerja
sebagai buruh bangunan namun tidak bekerja dalam 6 bulan terakhir.
Perincian pengeluaran rutin tiap bulan :
Listrik Rp. 150.000,-
Makan sehari- hari Rp. 1.100.000,-
Air minum (air galon) Rp. 100.000,-
Biaya transportasi Rp. 250.000,-
Pulsa Rp. 100.000,-
Biaya keperluan sekolah Rp. 50.000,-
Cicilan koperasi desa Rp. 500.000,-
Kebutuhan lain-lain Rp. 250.000,- +
Total Rp. 2.500.000,-
Tidak terdapat sisa untuk ditabung sehingga setiap bulan pasien kekurangan Rp.
100.000,-. Untuk menutupi kekurangan biayanya, ibu pasien meminta ke ibu mertuanya (Ny.
J).
Seluruh keluarga telah terdaftar sebagai anggota Jamkesmas, sehingga tidak ada biaya
tambahan untuk pengobatan, kecuali obat yang dibeli sendiri.
IV.5. Pola Berobat
Pasien dan keluarganya memiliki kebiasaan berobat ke Posyandu menggunakan kartu
Jamkesmas. Keluarga pasien hanya sesekali berobat ke Puskesmas bila ingin berobat dan
tidak ada Posyandu.
IV.6. Pola Makan Sehari-hari
Bahan makanan dibeli oleh ibu pasien di pasar. Pasien sering makan masakan rumah
yang dimasak oleh ibu pasien sendiri dan kadangkala pasien jajan di luar rumah.
Tabel 8. Dietary recall Keluarga An. F (Perhitungan Nilai Gizi Diambil dari Daftar Analisis
Bahan Makanan, Oey Kam Nio, 2012)
Makanan pagi: Nasi putih + tempe orek + susu
Berat Energi Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat
(g) (kkal) (g)
Beras 50 174,5 3,4 0,35 39,45
Tempe 50 80 9,15 2,0 6,35
Minyak sawit 5 45 0 5 0
Susu (cc) 200 124 6,4 7 8,6
Jumlah 423,5 18,95 14,35 54,4
Selingan siang: Pisang + Teh manis
Berat Energi Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat
(g) (kkal) (g)
Pisang 70 68,6 0,84 0,14 15,96
Gula 30 112,8 0 0 28,2
Jumlah 181,4 0,84 0,14 44,16
Makanan siang : Nasi putih + telur dadar + tempe goreng
Berat Energi Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat
(g) (kkal) (g)
Beras 50 174,5 3,4 0,35 39,45
Tempe 25 40 4,57 1,0 3,18
Telur 50 79 6,4 5,65 0,35
Minyak sawit 7,5 67,5 0 7,5 0
Jumlah 361 14,37 14,5 42,98
Karena ventilasi total rumah yang ideal minimal 15% dari luas lantai, maka
ventilasi rumah pasien sebesar 17, 83 % telah memenuhi kriteria ventilasi rumah yang
ideal, dan secara fungsional baik karena jendela sering dibuka. Ventilasi insidentil
juga telah memenuhi kriteria dengan jumlah minimal 10%. Sedangkan ventilasi
permanen juga telah memenuhi kriteria dengan jumlah minimal 5%.
Pencahayaan
Pencahayaan rumah cukup baik, karena cahaya matahari dapat masuk ke
dalam seluruh ruang rumah melalui jendela. Di dalam rumah terdapat 1 buah
incadescent lamp, 5 fluorescent lamp dengan daya masing-masing 15 watt. Lampu
tidak dinyalakan sepanjang hari.
Air bersih
Keperluan minum dan memasak sehari-hari didapat dari air isi ulang galon,
kurang lebih 1 galon untuk minum dan memasak selama 5 hari. Kriteria air bersih :
kualitas air jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa.
Penggunaan air untuk kebutuhan sehari-hari berasal dari air tanah yang
dipompa dengan jet pump dan digunakan untuk mandi, mencuci motor dan mencuci
pakaian.
Kamar mandi
Kamar mandi berjumlah satu dan berada di dalam rumah yang letaknya di
samping dapur. Kamar mandi terdiri dari kran beserta ember berisi air dan jamban
jongkok tipe leher angsa. Terdapat lampu (fluorescent lamp dengan daya 15 watt) di
kamar mandi. Lantai kamar mandi terbuat dari keramik dan tidak licin. Kebersihan
kamar mandi kurang terjaga dan pencahayaan kurang terang.
Jamban
Jamban berupa jamban jongkok leher angsa berada dalam kamar mandi yang
berukuran 1,8 m x 1,8 m dan dialirkan ke septic tank. Septic tank berjarak 12 m dari
sumber air.
Pembuangan sampah
Sampah rumah tangga dikumpulkan di bak sampah depan rumah dan dibakar
seminggu sekali. Sampah di lingkungan rumah tampak berserakan sehingga kurang
terjaga kebersihan rumahnya.
Pembuangan limbah
Air limbah yang berasal dari kamar mandi dan dapur dialirkan melalui pipa
yang berada di dalam tanah dan mengalir sampai ke selokan di samping rumah.
Selokan tidak mengalir dengan lancar, kotor, dan tetapi tidak ada sampah yang
menumpuk.
Level 1
Human biology: Tidak diketahui adanya faktor genetik pada An. F
Family: An. F tinggal bersama orangtua (kusta), paman (kusta) dan adik
perempuannya.
Personal behavior:
o An. F mandi tidak teratur dan jarang mengganti pakaian
Psycho-socio-economic environment:
Lingkungan psikososial:
Level 2
Sick care system:
o Kurangnya edukasi mengenai penyakit kusta, terutama tentang cara penularan dan
mencegah komplikasi yang mungkin dapat terjadi.
o Tidak adanya kunjungan tenaga kesehatan ke rumah pasien
o Jarak ke puskesmas 3 km, tidak ada akses ke puskesmas dengan kendaraan umum
Work: -
Life style:
o Kebiasaan main bola di sawah setelah pulang sekolah.
Level 3
Community: -
Human made environment:
o Rumah: Lingkungan rumah pasien tidak padat, tidak terkena polusi, sirkulasi
udara di rumah baik.
Culture:
o Masyarakat beranggapan bahwa kusta penyakit kutukan dan tidak dapat sembuh.
Biosphere: Global warming.
BAB V
DIAGNOSIS HOLISTIK
V. 1. Resume
Telah diperiksa seorang anak laki-laki berusia 5 tahun dengan keluhan bercak
putih pada lutut kiri yang tidak terasa sakit sejak 7 bulan yang lalu. Bercak tidak terasa
gatal dan tidak terasa nyeri, berukuran kurang lebih 5 cm. Pasien juga mengeluh demam
dan menggigil sejak 3 bulan yang lalu. Demam naik turun tanpa pola tertentu.
Menurut pengakuan ayah pasien, ia saat ini bekerja sebagai buruh pabrik baja
selama 2 tahun terakhir. Sebelumnya, ayah pasien bekerja sebagai supir bahan bangunan
selama 6 tahun dan jarang pulang ke rumah. Riwayat rekan kerja ayah pasien yang
menderita kusta disangkal. Riwayat sering berpergian ke kampung kusta diakui untuk
mengantar bahan bangunan kurang lebih 5 tahun yang lalu.
Hasil pemeriksaan fisik, didapatkan hasil sebagai berikut:
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Berat Badan : 16 kg
Tinggi Badan : 110 cm
IMT : 13,22 kg/m2 (normal)
Kurva WHO : BB/U = -1 s/d -2 (normal)
TB/U = 0 s/d -1 (normal)
IMT/U = -1 s/d -2 (normal)
Status Dermatologis:
Regio : Lutut kiri
Distribusi : Lokalisata
Warna : Hipopigmentasi
Ukuran : Plakat ± 5 cm
Jumlah : Soliter
Efluoresensi : Plak
Konfigurasi : -
Batas : Tegas
Pemeriksaan Sensibilitas
Di daerah lesi:
Halus-kasar : Hipestesi di daerah lutut kiri
Tajam-tumpul : Hipestesi di daerah lutut kiri
Fisiologis (APGAR)
Tabel 10. Fungsi Fisiologis Keluarga An. F
Aspek Penilaian 0 1 2
(Jarang/tidak (kadang- (sering/selalu)
sama sekali) kadang)
Total APGAR score keluarga An. F adalah 10. Fungsi keluarga baik.
Patologis (SCREEM)
Social:
Interaksi keluarga dengan tetangga sekitar baik, saling mengenal antar tetangga.
Culture:
Saling menghormati dan menghargai budaya dalam masyarakat tersebut, tidak ada
saling membeda-bedakan.
Religious:
Keluarga An. F taat beribadah dan aktif dalam kegiatan keagamaan bersama orang
tuanya.
Economic:
Status ekonomi keluarga pasien menengah ke bawah.
Educational:
Pendidikan ayah dan ibu rendah. Pengetahuan keluarga mengenai penyakit kusta juga
sangat kurang. Pasien masih bersekolah PAUD.
Medical:
Keluarga An. F mampu mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai, pelayanan
kesehatan keluarga ditanggung oleh Jamkesmas.
Kesimpulan: dalam keluarga An. F terdapat fungsi patologis
dan jembatan yang masih dapat dilalui dengan kendaraan roda dua maupun roda
empat.
Tinggal berdekatan dengan orang tua dan saudara menimbulkan suasana akrab
dan gotong royong.
Tinggal dekat dengan rumah ibadah memudahkan terjadinya interaksi sosial.
5. Hirarki keluarga
Tn. Ag adalah pemimpin keluarga
Kedudukan dan fungsi masing-masing anggota keluarga cukup jelas.
6. Batas kepemimpinan
Keluarga ini terdiri dari 2 generasi. Tn. Ag dan Ny. Su sebagai orangtua serta An.
F dan An. Sa sebagai anak. Batas kepemimpinan dalam keluarga ini jelas.
Kewajiban tiap anggota keluarga jelas dan terdapat kerjasama dalam mencari
nafkah dimana Tn. Ag sebagai kepala keluarga bekerja mencari nafkah.
Saat ini pasien berusia 5 tahun dan adik pasien berusia 2 bulan. Keluarga pasien dalam
tahap keluarga dengan bayi dan tahap keluarga dengan anak pra sekolah.
BAB VI
RENCANA PENATALAKSANAAN HOLISTIK DAN KOMPREHENSIF
Memberikan informasi ke ibu pasien mengenai cara penularan (etika batuk) dan
pencegahan agar pasien tidak menularkan ke orang lain di sekitarnya.
Diagnosa Banding: Pitiryasis versicolor
BAB VII
INTERVENSI, HASIL INTERVENSI DAN PROGNOSIS
VII.1. Intervensi dan hasil intervensi
Kegiatan kunjungan ke rumah pasien pada tanggal 26 September 2015. Pasien berobat
ke Puskesmas Gembong pada tanggal 28 September 2015. Dalam tiap kunjungan, dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien serta observasi keadaan dalam dan luar rumah.
Intervensi mulai dilakukan tanggal 26 September 2015, kemudian dilanjutkan pada tanggal 2
Oktober 2015. Pengamatan hasil intervensi dilakukan pada kunjungan berikutnya yaitu 16
Oktober 2015.
VII.2. Prognosis
Kusta tipe PB
Ad vitam : bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
BAB VIII
KESIMPULAN DAN SARAN
VIII.1. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa sumber penularan kusta yang diderita An. F berasal dari
kedua orang tua dan paman pasien.
Diketahuinya sumber penularan yang menyebabkan An. F tertular penyakit kusta:
o An. F tinggal bersama kedua orang tua dan paman yang juga menderita kusta.
o Kurangnya pengetahuan keluarga An. F tentang penyakit kusta.
Diketahuinya faktor-faktor internal berdasarkan Mandala of Health yang
menyebabkan terputusnya pengobatan penyakit kusta pada An. F:
o An. F tidak merasa dirinya sakit
o An. F mandi tidak teratur, kadang-kadang hanya satu kali sehari
o An. F jarang mengganti pakaian
o An. F kekurangan asupan energi sesuai dengan usianya karena lebih senang
jajan dibanding makan masakan ibunya
Diketahuinya faktor-faktor eksternal berdasarkan Mandala of Health yang
menyebabkan terputusnya pengobatan penyakit kusta pada An. F:
o Keluarga tidak tahu bahwa penyakit kusta adalah penyakit menular.
o Kurangnya pengetahuan keluarga terhadap penyakit kusta (penyebab, faktor
resiko, cara penularan, pengobatan, pencegahan, komplikasi dan prognosis)
o Adanya stigma negatif pada masyarakat sekitar bahwa penyakit kusta
merupakan penyakit kutukan dan tidak dapat sembuh sehingga keluarga An. F
merasa malu untuk berobat ke puskesmas.
Alternatif jalan keluar untuk permasalahan internal:
o Memotivasi An. F untuk mengikuti nasehat kedua orangtuanya.
o Memotivasi An. F untuk mandi secara teratur, minimal 2x/hari.
o Memotivasi An. F untuk mengganti pakaian sehabis pulang sekolah atau
sehabis bermain bola di sawah.
o Memotivasi An. F untuk makan masakan ibunya sesuai menu yang dianjurkan.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, A. (1996). Program Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan. Yayasan Penerbitan IDI,
Jakarta, 6.
Departemen Kesehatan RI. (2013). Program Pengendalian Penyakit Kusta di Indonesia.
[Diakses 25 September 2015]. Diunduh dari: http://pppl.depkes.go.id/berita?id=948)
Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang. (2015). Profil Kesehatan Kabupaten Tangerang
Tahun 2014. Tigaraksa: Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang.
Dinas Kesehatan Provinsi Banten. (2012), Banten (http://dinkes.bantenprov.go.id dikutip 25
September 2015 pukul 20.00 WIB)
Djuanda A, Kosasih A, et al. (2010). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin: edisi 6. Jakarta,
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 73-83.
Kementerian Kesehatan RI. (2012). Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit
Kusta. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan, Jakarta, 1-74.
Widyaningsih O. (2014) Kusta. Dalam : Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita
Selekta Kedokteran: jilid 2. Badan Penerbit FKUI, Jakarta, 312-5.
Wolff K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B. (2012). Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine 8th ed. McGraw Hill, New York, 1786-96.
World Health Organization (2015) Leprosy, Geneva (http://www.who.int/topics/leprosy/en/
dikutip 22 September 2015 pukul 20.15 WIB)
LAMPIRAN
Lampiran 1. Rumah
Orangtua An. F
Lampiran 2. Tampak
Kiri Rumah
Lampiran 3. Tampak
Kanan Rumah
Lampiran 8. Ruang
Tamu
Lampiran 9.
Dapur
Lampiran 10.
Penampungan Air
Lampiran 13.
Septic Tank