Laporan Fisiologi Hewan Air PDF

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 64

1

LAPORAN LENGKAP
PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN AIR

OLEH :

ARDANA KURNIAJI
I1A2 10 097

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Kelulusan


Pada Mata Kuliah Fisiologi Hewan Air

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN


JURUSAN PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012
2

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Di lingkungan perairan, kondisi tekanan berbeda dengan keadaan didaratan

hal ini dikarenakan perbedaan parameter fisika yang mempengaruhi. Salah satu

parameter yang mempengaruhi adalah salinitas. Menurut Ye et al. (2009) dalam

Abidin (2011) bahwa salinitas berhubungan dengan tekanan osmotik dan ionik air,

baik sebagai media internal maupun eksternal. Tekanan osmotik media selain

menentukan pengaturan tekanan osmose cairan tubuh juga mempunyai pengaruh

terhadap metabolisme, tingkah laku, kelangsungan hidup, pertumbuhan dan

reproduksi. Kemampuan ikan mempertahankan keseimbangan antara jumlah air dan

zat terlarut disebut osmoregulasi.

Osmoregulasi merupakan proses menjaga keseimbangan antara jumlah air dan

zat terlarut yang ada dalam tubuh hewan. Proses inti dalam osmoregulasi adalah

osmosis. Dimana osmosis merupakan pergerakan air dari cairan yang mempunyai

kandungan air lebih tinggi menuju cairan yang mempunyai kandungan air lebih

rendah (Isnaeni, 2006). Kondisi ini kemudian memaksa ikan ataupun organisme lain

untuk dapat melakukan proses penyesuaian dan pertahanan tubuh terhadap perbadaan

konsentrasi ion dan konsentrasi cairan baik dalam tubuh ikan sendiri maupun

terhadap lingkungan tempat hidupnya.

Setiap jenis ikan memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam

mempertahankan tekanan osmosis dalam tubuhnya. Disamping itu, perbedaan kondisi

lingkungan juga berpengaruh terhadap ketahanan osmoregulasi yang terjadi pada

tubuh ikan. Berdasarkan perbedaan itulah maka ikan dikelompokkan menjadi tiga
3

yakni ikan air tawar, ikan air payau dan ikan air laut. Kemampuan tubuh terhadap

perubahan salinitas menjadi pembeda ketiganya. Pada ikan air tawar cara membatasi

pemasukan air dan kehilangan ion yakni dengan cara membentuk permukaan tubuh

yang impermeable terhadap air sedangkan untuk ikan air laut osmoregulasi diperoleh

dengan memasukan ion tertentu dari air laut, pemasukan tersebut membuat cairan

tubuh hewan menjadi hiperosmotik dibandingkan air laut. Untuk ikan air payau

hewan ini memiliki tingkat adaptasi yang baik terhadap perubahan kadar garam

dihabitatnya (Isnani, 2006). Oleh sebabnya termasuk dalam kelompok hewan

eurohalain.

Perbedaan toleransi ikan terhadap perubahan salinitas diperairan sangat

ditentukan oleh fungsi fisiologinya. Menurut Isnani (2006) ikan yang mampu untuk

Menggunakan insangnya sebagai tempat pengambilan ataupun pembuangan air dan

berbagai zat terlarut membuat hewan tersebut memiliki toleransi besar (eurohalin)

terhadap perbuahan salinitas dibanding dengan ikan-ikan yang tidak memiliki daya

toleransi yang besar terhadap perubahan salinitas tersebut atau dalam hal ini bersifat

stenohalin.

Mengamati perbedaan tersebut menjadi dasar untuk dilakukannya praktikum

ini untuk mengetahui lebih jauh terhadap pengaruh perubahan salinitas terhadap

kemampuan atau ketahanan ikan diperairan yang berbeda.

1.2. Tujuan dan kegunaan

Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengamati pengaruh salinitas

yang berbeda terhadap proses osmoregulasi pada osganisme ikan.


4

Sedangkan kegunaannya adalah agar mahasiswa dapat mengetahui akan

kemampuan suatu ikan untuk melakukan penyesuai diri terhadap perubahan salinitas

(osmoregulasi).
5

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi Ikan

Ikan Lele tidak pernah ditemukan di air payau atau air asin.

Habitatnya di sungai dengan arus air yang perlahan, rawa, telaga, waduk, sawah yang

tergenang air. Ikan Lele bersifat noktural, yaitu aktif bergerak mencari makanan pada

malam hari. Pada siang hari, ikan Lele berdiam diri dan berlindung di tempat-tempat

gelap. (Prihatman, 2000).

Menurut Djatmika dalam Prihatman (2000) Ikan lele (C. gariepinus)

diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Class : Osteichthyes

Ordo : Ostariophysi

Famili : Claridae

Genus : Clarias

Spesies : Clarias gariepinus


6

Gambar 1. Benih Ikan Lele (C. gariepinus)


(Sumber: Andhi, 2010)

Ikan Bandeng mempunyai ciri-ciri seperti badan memanjang, padat, kepala tanpa

sisik, mulut kecil terletak di depan mata. Mata diselaputi oleh selaput bening

(subcutaneus). Menurut Ghufron dalam Susanto (2010) Ikan Bandeng (Chanos chanos

Forsk) dapat tumbuh hingga mencapai 1,8 m, anak ikan Bandeng (C. chanos) yang biasa

disebut nener yang biasa ditangkap di pantai panjangnya sekitar 1 -3 cm, sedangkan

gelondongan berukuran 5-8 cm.

Menurut Saanin dalam Susanto (2010) Ikan Bandeng (Chanos chanos)

diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Class : Pisces

Ordo : Malacopterygii

Famili : Chanidae

Genus : Chanos

Spesies : Chanos chanos


7

Gambar 2. Ikan Bandeng (Chanos chanos)


(Sumber: Soewarto, 2011)

2.2. Osmoregulasi

Proses inti dalam osmoregulasi yaitu osmosis. Osmosis adalah pergerakan air

dari cairan yang mempunyai kandungan air lebih tinggi (yang lebih encer) menuju ke

cairan yang mempunyai kandungan air lebih rendah (yang lebih pekat). Contoh

osmosis ialah pergerakan air larutan gula 5% menuju larutan gula 15% sampai

tercipta keadaan seimbang antara keduanya. Dengan kata lain, dapat dinyatakan

bahwa osmosis baru akan berhenti apabila kedua larutan mencapai konsentrasi yang

sama, yaitu sebesar 10%. Apabila keadaa ini telah mencapai, berarti kedua larutan

sudah mencapai kondisi isotonis (Isnaeni, 2006).

Ada tiga pola regulasi ion dan air yakni regulasi Hipertonik atau

Hiperosmotik, yaitu pengaturan aktif konsentrasi cairan tubuh yang lebih tinggi dari

konsentrasi media, misalnya pada petadrom (Ikan air tawar), Mempertahankan

konsentrasi cairan tubuhnya dengan mengurangi minum dan memperbayak urin.

Regulasi Hipotenik atau Hipoosmotik, yaitu pengaturan secara aktif konsentrasi


8

cairan tubuh yang lebih rendah dari konsentrasi media, misalnya pada oseandrom

(Ikan air laut), meperbanyak minum dan mengurangi volume urin. Regulasi isotonik

atau Isoosmotik, yaitu bila konsentrasi cairan tubuh sama dengan konsentrasi media,

misalnya ikan yang hidup pada daerah estuari. Diadrom, melakukan aktivitas

osmoregulasi seperti potadrom bila berada di air tawar dan seperti oseanodrom bila

berada di air laut (Yulia, 2011).

Organisme yang hidup pada air tawar tidak melakukan osmoregulasi akibat

perbedaan tekanan osmose, sedangkan pada ikan estuari yang memiliki cairan tubuh

menyerupai garam air garam laut hanya melakukan sedikit upaya untuk mengontrol

tekanan osmose dalam tubuhnya. Hal ini menyebabkan perbedaan laju metabolisme

dasar karena upaya menahan garam – garam internal dan kelarutan material yang lain

membutuhkan konsumsi oksigen yang berbeda tergantung besarnya perbedaan

konsentrasi cairan tubuh dan lingkungannya. Insang ikan bersifat permeabel terhadap

air dan garam. Di dalam laut salinitasnya lebih besar daripada dalam cairan tubuhnya.

Pada lingkungan air keluar, tetapi garam berdifusi kedalam. Ikan air laut minum air

dalam jumlah yang banyak dan mengeluarkan sedikit urin. Ikan air tawar, garam akan

memasuki insang dan dalam jumlah yang banyak air akan masuk lewat kulit ikan dan

insang. Hal ini karena kadar garam di dalam tubuh ikan (mendekati 0.5%) yang lebih

tinggi daripada konsentrasi air di mana ikan tersebut hidup. Karena tubuh ikan akan

berusaha agar proses difusi antara air kedalam tubuh ikan tetap berlangsung, sejumlah

besar air dikeluarkan oleh ginjal. Sebgai hasilnya bahwa konsentrasi garam pada

urine sangat rendah ( Fujaya, 1999 dalam Anonim, 2011).


9

2.3. Morfologi dan Anatomi

Ikan Lele secara umum memiliki tubuh yang licin, berlendir, tidak bersisik

dan bersungut atau berkumis. Secara anatomi dan morfologi lele terbagi menjadi tiga

bagian yakni Kepala (cepal) yang panjang, hampir mencapai seperempat dari panjang

tubuhnya. Kepala lele pipih kebawah (depressesd). Bagain atas dan bawah kepalanya

tertutup oleh tulang pelat. Kemudian badan (abdomen) yang bendtuknya berbeda

dengan jenis ikan lain. Memanjnag agak bulat, dan tidak bersisik. Warna tubuhnya

kelabu sampai hitam. Badan lele pada bagian tengahnya mempunyai potongan

membulat. Sementara itu bagian belakang tubuhnya berbentuk pipih ke samping.

Kemudian ekor (caudal) sirip ekor lele membulat dan tidak bergabung dengan sirip

punggung maupun sirip anal. Sirip ekor berfungsi untuk bergerak maju (Mahyudin,

2007).

Ada beberapa variasi warna tubuh ikan lele lokal, yaitu hitam agak kelabu

(gelap), bulai (putih), merah, serta belang-belang hitam putih dan hitam-merah.

Warna pertama (hitam agak kelabu) yang paling banyak. Badan lele berbentuk

memanjang dengan kepala pipih dibagian bawah. Sirip ekor membundar, tidak

bergabung dengan sirip anal. Sirip perut juga membundar jika mengembang. Lele

mempunyai senjata yang sangat ampuh dan berbisa berupa sepasang patil ini juga

bisa dipergunakan untuk melompat dari kolam (Suyanto, 2008).

Bagian atas dan bagian bawah kepala ikan lele tertutup oleh pelat tulang yang

membentuk ruangan rongga diatas insang. Dalam ruangan rongga tersebut terdapat

alat pernapasan tambahan yang bergabung dengan busur insang kedua dan keempat.

Sirip ekor membundar dan terpisah dengan sirip anal maupun sirip punggung. Sirip
10

dadanya dilengkapi dengan sepasang patil yang merupakan senjata yang sangat

ampuh dan berbisa sebagai alat pembela diri dari gangguan luar (Sutrisno, 2007).

Ikan Bandeng (Chanos chanos) merupakan ikan air payau. Bentuk tubuhnya

seperti peluru torpedo, sirip ekor bercabang, mata bundar berwarna hitam dengan

bulatan putih jernih ditengah-tengahnya, dan sisik berwarna putih keperak-perakan.

Daging ikan berwarna putih susu sehingga disebut juga dengan milkfish (Saparianto,

dkk. 2006).

Ikan bandeng mempunyai ciri-ciri morfologi badan memanjang, agak pipih, tanpa

skut pada bagian perutnya, mata diseliputi lendir mempunyai sisik besar pada sirip dada

dan sirip perut, sirip ekor panjang dan bercagak, sisik kecil dengan tipe cycloid, tidak

bergigi, sirip dubur jauh di belakang sirip punggung. Kulit ikan terdiri dari daerah

punggung, perut dan ekor sesuai dengan bentuk badannya. Kulit ikan tersusun dari

komponen kimia protein,lemak, air, dan mineral. Kulit ikan mengalami kemunduran

mutu seperti bagian ikan yang lain ketika mati. Kadar protein yang tinggi pada kulit

menyebabkan kulit mudah rusak pada suasana asam, basa, serta aktivitas mikroba

sehingga kulit mudah busuk Enzim-enzim yang banyak berperan dalam kemunduran

mutu kulit, seperti halnya pada ikan, adalah enzim-enzim proteolitik, yaitu enzim

katepsin dan kolagenase (Rahmat et al. 2008).

Secara eksternal ikan bandeng mempunyai bentuk kepala mengecil

dibandingkan lebar dan panjang badannya, matanya tertutup oleh selaput lendir

(adipose). Sisik ikan banding yang masih hidup berwarna perak, mengkilap pada

seluruh tubuhnya. Pada bagian punggungnya berwarna kehitaman atau hijau

kekuningan atau kadang-kadang albino, dan bagian perutnya berwarna perak serta
11

mempunyai sisik lateral dari bagian depan sampai sirip ekor. Pada ikan bandeng

ukuran juvenil dan dewasa jumlah sirip dorsal II :12-14, anal II: 8 atau 9, sirip dada I:

15-16, sirip bawah I:10 atau 11 dan mempunyai sisik lateral dari bagian depan sampai

caudal antara 75-85, dan tulang belakang berjumlah 44 ruas (Novianto, 2001).

2.4. Habitat dan Penyebaran

Ikan Lele banyak ditemukan di Benua Afrika dan Asia Tenggara. Komoditas

perikanan ini terhadap perairan umum yang berair tawar. Penyebaran, yaitu de negara

Indonesia, Thailand, Filiphina, dan China. Ikan Lele di beberapa negara, khususnya

di Asia telah diternakkan dan dipelihara dikolam. Penyebaran nama ikan lele berbagai

negara berbeda-berbeda. Ikan lele ada yang dikenal dengan keli (Mahyudin, 2008).

Habitat atau lingkungan hidup lele banyak ditemukan perairan air tawar,

didaratan rendah sampai sedikit payau. Lele jarang menampakkan aktifitasnya pada

siang hari dan lebih menyukai tempat gelap, agak dalam dan teduh. Hal ini karena

lele adalah binatang nokturnal, yaitu mempunyai kecendrungan beraktivitas dan

mencari makan pada malam hari. Ikan lele relatif tahan terhadap kondisi lingkungan

yang kualitas airnya buruk. Pada kondisi kolam dengan padat penebaran yang tinggi

dan kendungan oksigennya sangat minimpun lele masih dapat bertahan hidup

(Mahyudin, 2008).

Ikan bandeng hidup diperairan pantai, muara sungai,hamparan hutan bakau,

lagoon, daerah genangan pasang surut dan sungai. Ikan bandeng dewasa biasanya

berada diperairan littoral. Pada musim pemijaham induk ikan bandeng sering

dijumpai berkelompok pada jarak tidak terlalu jauh dari pantai dengan karakteristik
12

habitat perairan jernih, dasar perairan berpasir dan berkarang dengan kedalaman

antara 10-30 m Kematangan kelaminDaerah penyebaran ikan Bandeng yaitu di laut

tropik Indo Pasifik dan dominan didaerah Asia. Di Asia Tenggara ikan bandeng

berada didaerah perairan pantai Burma, Thailand, Vietnam, Philipina, Malalysia dan

Indonesia. Secara umum penyebaran ikan bandeng tercatat berada di sebagian besar

laut Hindia dan laut Pasifik kira-kira dari 40 BT-100 BB dan antara 40 LU - 40 LS.

Penyebarannya sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti phase bulan

,pasang surut,arus air dan kelimpahan plankton (Novianto, 2001).

Ikan bandeng memerlukan temperatur atau suhu air optimal antara 15-40oC.

apabila temperatur air kurang, ikan bandeng bisa stres dan akhirnya mati. Namun

demikian ikan ini memiliki sifat euryhalien, artinya dapat mudah dan cepat

beradaptasi ke arah air payau bahkan ia mampu melawan arus hingga ia mendapatkan

air tawar. Sehingga tidak heran jika ikan bandeng mudah dijumpai di daerah rawa,

sungai, maupun danau (Purnomowati dkk. 2007).

2.5. Makanan dan Kebiasaan Makan

Lele mempunyai kebiasaan makan didasar kolaNilim (bottom feeder).

Berdasarkan jenis pakannya lele digolongkan sebagai ikan yang bersifat karnivora

(pemakan daging). Dihabitat aslinya lele memakan cacing, siput air, belatung, laron,

jentik-jentik serangga, kutu air dan serangga air. Karena sifat karnivora, pakan

tambahan yang baik untuk lele adalah yang banyak mengandung protein hewani. Jika

pakan yang diberikan banyak mengandung protein nabati, pertumbuhannya lambat.

Lala bersifat kenibalisme, yaitu sifat suka memangsa jenisnya sendiri. Jika
13

kekurangan pakan, lele tidak segan-segan memangsa kawannya sendiri yang

berukuran lebih kecil. Sifat kanibalisme juga ditimbulkan oleh adanya perbedaan

ukuran, Lele yang berukuran besar akan memangsa ikan lele yang berukuran lebih

kecil (Mahyudin, 2008).

Ikan Bandeng mempunyai kebiasaan makan pada siang hari. Di habitat

aslinya ikan bandeng mempunyai kebiasaan mengambil makanan dari lapisan atas

dasar laut, berupa tumbuhan mikroskopis seperti plankton, udang renik, jasad renik,

foraminifera, famenbran-chiopoda, copepoda, dan tanaman multiseluler lainnya.

Makanan ikan bandeng disesuaikan dengan ukuran mulutnya, ikan ini tidak mampu

menelan makanan yang berukuran besar dan keras. Ia akan menyukai jenis makanan

yang berupa unsur tumbuh-tumbuhan yang membusuk, plankton dan klekap atau

sekumpulan ganggang biru yang tumbuh di dasar perairan (Purnomowati, dkk., 2007).
14

III. METODE PRAKTIKUM

3.1. Waktu dan Tempat

Praktiukum ini dilaksanakan Pada Hari Minggu Tanggal 29 April 2012. Pukul

09.00-12.00 WITA. Bertempat di Laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan Universitas Haluoleo, Kendari.

3.2. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada pelaksanaan praktek kali ini dapat dilihat

pada tabel 1 sebagai berikut :

Tabel 1. Alat dan bahan serta kegunaannya pada Praktikum Osmoregulasi

No. Nama Alat/Bahan Satuan Kegunaan

Alat
1) Toples besar 3 buah Sebagai wadah hewan uji
2) Saringan - Alat untuk mengambil benih
3) Refraktor meter ppm Alat untuk mengukur salinitas

Bahan
1) Air laut Membuat kosentrasi medium
2) Air Tawar Membuat kosentrasi medium
3) Ikan lele (Clarias gariepinus) Sebagai Organisme uji
4) Ikan Bandeng (Chanos chanos) Sebagai Organisme uji

3.3. Prosedur Kerja

Prosedur kerja yang dilakukan pada praktikum osmoregulasi ini adalah

sebagai berikut :

- Menyiapkan 3 buah wadah (Toples) yang bersih dan memberi label masing-

masing 10, 15, 20 ppm.


15

- Masing-masing wadah diisi dengan air dengan salinitas sesuai dengan kosentrasi

label pada wadah.

- Mengukur salinitas air/media asal organisme yang dijadikan hewan percobaan.

- Memasukkan secara perlahan-lahan 3-5 ekor hewan uji ke dalam tiap wadah dan

mengamati tingkah lakunnya.

- Melakukan pengamatan selanjutnya setiap 15 menit selama 1 jam dan mencatat

semua tingkah lakunya.

- Memcatat hasil pengamatan pada tabel.


16

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Pengamatan

Adapun hasil pengamatan yang diperoleh pada praktikum osmoregulasi dapat

dlihat pada tabel 2 sebagai berikut :

Tabel 2. Hasil pengamatan tingkah laku Ikan lele (Clarias batrachus) dengan
salinitas ppm
Pengamatan Kadar Salinitas Tingkah laku Organisme
(menit)
0 ppt - Pergerakan Normal
- Pergerakan Aktif
- Pergerakan di dasar
- Tidak tampak perubahan fisiologis
10 ppt - Pergerakan normal
- Pergerakan Aktif
- Sebagaian didasar dan sebagian
dipermukaan
15 ppt - Pergerakan lambat laun melambat
- Selalu bergerak ke permukaan
- Sebagian melayang
20 ppt - Pergerakan melambat
- Pergerakan tidak stabil
- Sebagian dibadan air, sebagain
15
dipermukaan
25 ppt - Pergerakan tidak normal
- Sebagian stres
- Dua ekor tidak aktif pada menit ke-9
- Seluruhnya dipermukaan pada menit
ke-11
- Dua ekor mati pada menit ke-13
30 ppt - Seluruh ikan stress
- Selalu dipermukaan
- Kematian satu ekor pada menit ke-5
- Kematian satu ekor pada menit ke-6
- Kematian tiga ekor pada menit ke-10
- Kematian satu ekor pada menit ke-13
- Tidak aktif berenang pada menit ke-8
17

Adapun hasil pengamatan yang diperoleh pada pengamatan osmoregulasi ikan

Bandeng (Chanos chanos) dapat dlihat pada tabel 3 sebagai berikut

Tabel 3. Hasil pengamatan tingkah laku Ikan Bandeng (Chanos chanos) dengan
salinitas ppm.
Pengamatan Kadar Salinitas Tingkah laku Organisme
(menit)
0 ppt - Pergerakan normal
- Seluruh ikan terlihat aktif
10 ppt - Pergerakan normal
- Pergerakan menjadi tidak normal pada
menit ke-4
15 ppt - Pergerakan normal
- Pergerakan aktif
20 ppt - Beberapa ekor bergerak tidak normal
pada menit ke-2
- Satu ekor mati pada menit ke-7
- Satu ekor mati pada menit ke-14
- Pergerakan melambat pada menit ke-
15
12
25 ppt - Bergerak kepermukaan (2 menit)
- Pergerakan tidak teratur pada menit
ke-5
- Satu ekor mati pada menit ke-9
- Pergerakan masih aktif hingga menit
ke-13
30 ppt - Satu ekor mati pada detik ke-32
- Pergerakan tidak aktif pada menit ke-2
- Sebagian terapung pada menit ke-5
- Beberapa mati pada menit ke-7
- Seluruhnya aktif bergerak

4.2. Pembahasan

Osmoregulasi merupakan upaya yang dilakukan oleh ikan untuk mengontrol

keseimbangan air dan ion-ion antara tubuh ikan dengan lingkungannya. Mekanisme

osmoregulasi ikan dipengaruhi oleh sistem endoktrin dan system syaraf. Selain itu

kedua sistem ini juga berperan sebagai integrasi dan mengkoordinasikan semua
18

proses biologis. Definisi osmoregulasi sendiri adalah proses pengaturan tekanan

osmotic yang berlangsung di dalam tubuh organisme. Ada dua kategori dalam proses

menghadapi tekanan osmotik air media yaitu ormoregulator dan osmokonformer.

Dalam kondisi perairan yang tidak menentu baik hipertonik maupun hipotonik, ikan

berusaha mempertahankan tekanan osmotic cairan tubuhnya (Taufik dan Eni, 2011).

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, pengamatan Ikan Lele (C.

gariepinus) tingkah laku ikan menunjukkan perbedaan yang berbeda disetiap kadar

salinitas dan lama pengamatan. Terlihat pada kadar salinitas 0 ppt tingkah laku ikan

bergerak dengan normal dan aktif, pergerakannya selalu di dasar dan tidak tampak

perubahan fisiologisnya. Hal ini karena kadar salinitas 0 ppt merupakan kadar

salinitas yang sesuai dengan habitat hidup ikan lele. Sedangkan untuk kadar salinitas

10 ppt terlihat pergerakan normal dan aktif. Namun sebagian ikan di dasar dan

sebagian yang lain dipermukaan.

Pada pengamatan ikan dengan kadar salinitas 15 ppt, pergerakan ikan lambat

laun melambat, selalu bergerak dipermukaan dan sebagian lain melayang. Kondisi

seperti ini telah menyebabkan ikan mengalami stress dan mengalami kelainan

fisiologi. Selanjutnya pengamatan 20 ppt pergerakan melambat, tidak stabil dan

seluruh ikan tidak berada didasar perairan melainkan dipermukaan dan sesekali di

badan air. Begitu halnya dengan kadar salinitas 25 ppt dimana pergerakan ikan

semakin tidak normal dan sebagian stress. Pada menit ke 9 dua ekor ikan mati akibat

stres dan pada menit ke-13 dua ekor berikutnya mati dimana sebelumnya seluruh

ikan berada dipermukaan. Kemudian pengamatan kadar salinitas yang terakhir yakni

30 ppt seluruh ikan tampak stres, dimana terlihat dengan pergerakan ikan yang selalu
19

dipermukaan. Kematian terjadi dimenit ke-5, kemudian menit ke-6. Sedangkan pada

menit ke-10 dan 13 kematian ikan mencapai 6 ekor.

Hal ini tersebut didukung oleh pernyataan Agustina (2010) bahwa salinitas

terbaik pada pemeliharaan ikan lele adalah 2-6 ppt dimana untuk memperoleh gizi

yang terbaik terdapat salinitas 4 ppt. Sifat toleransi ini merupakan tingkat toleransi

yang sempit. Menurut Rusyadi (2010) Stenohalin merupakan tipe yang tidak mampu

atau mempunyai kemampuan yang terbatas dalam mentelorir perubahan salinitas.

Kemudian pengamatan Ikan Bandeng (Chanos chanos) terlihat perbedaan

pergerakan ikan pada setiap kadar salinitas. Pada kadar salinitas 0 ppt pergerakan

ikan masih normal dan seluruh ikan terlihat aktif. Pada kadar salinitas 10 ppt ikan

masih bergerak normal namun berubah menjadi tidak normal pada menit ke-4 dengan

kecepatan renang menurun. Sedangkan pada pengamatan 20 ppt beberapa ekor

bergerak tidak normal pada menit ke-2 dengan satu ekor mati pada menit ke-7 dan

pergerakan nener melambat pada menit ke-12 dan pada menit ke-14 satu ikan mati.

Pada pengamatan pergerakan ikan dengan kadar salinitas 25 ppt nener selalu

bergerak kepermukaan, terjadi pada menit ke-2. Pergerakan nener terlihat tidak

teratur. Satu ekor mati pada menit ke-9 kemudian pergerakan masih aktif hingga

menit ke-13. Pada pengamatan 30 ppt satu ekor mati pada detik ke-32 kemudian

terlihat juga pergerakan yang tidak aktif dan sebagian nener terapung pada menit ke-

5. Hingga pada menit ke-7 beberapa ikan mati namun yang lain masih bergerak aktif.

Menurut Danjhu (2010) bahwa eurihalin adalah Sifat organisme yang mampu

mentolerir berbagai penurunan salinitas luas yakni mencapai di bawah 30 0/00 .


20

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil pengamatan yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa :

sebagai berikut :

1. Osmoregulasi adalah upaya hewan air untuk mengontrol keseimbangan air

dan ion antara tubuh dan lingkungannya, atau suatu proses pengaturan tekanan

osmose

2. Ikan Lele bersifat stenohalin yakni merupakan tipe ikan yang tidak mampu

atau mempunyai kemampuan yang terbatas dalam mentelorir perubahan

salinitas.

3. Ikan Bandeng bersifat eurihalin dimana memiliki kemampuan mentolerir

berbagai penurunan salinitas yang tinggi.

5.2. Saran

Saran yang dapat kami sampaikan adalah sebaiknya dalam praktikum

didominasi oleh kerja praktikan, mulai dari pengukuran kadar salinitas hingga

penggunaan alat yang digunakan


21

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Semua makhluk hidup membutuhkan tenaga untuk melakukan bermacam

kegiatan. Untuk memenuhi energi ini, makhluk hidup memerlukan zat makanan

oranik yang akan dipecah pada proses oksidasi. Pada proses pemecahan ini akan

dibebaskan energi yang akan dipergunakan untuk melakukan kegiatan lainnya di

dalam sel.

Oksigen adalah unsur gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan diperlukan

untuk kehidupan serta menunjang pembakaran. Oksigen membentuk 20-21% dari

udara atmosfer. Okesigen diangkut ke jaringan oleh oksihemologlobin (hemoglobin

jenuh disertai oksigen). Masinh-masing dari keempat gugus heme disebuah molekul

hemoglobin memiliki anfinitas yang berbeda terhadap oksigen, yang menyebabkan

kurva disosiasi oksigen berbentuk sigmoid (Brooker, 2005.)

Sistem pernapasan terutama berfungsi untuk menyelenggarakan pengambilan

oksigen oleh darah dan untuk pembuangan karbon dioksida. Jaringan pernapasan,

yaitu tempat terjadinya pertukaran gas, terdapat dalam paru-paru yang terletak di

dalam rongga dada. Rongga ini sesungguhnya merupakan rongga tertutup. Paru-paru

dihubungkan dengan lingkungan luar melalui serangkaian saluran. Dimana saluran-

saluran tersebut relatif kaku dan tetap terbuka dan keseluruhnannya merupakan

bagian konduksi dari sistem pernapasan (Leeson dkk., 1996 dalam Nataliana, 2010).

Kebutuhan akan konsumsi okesigen setiap makhluk hidup berbeda-beda,

tergantung pula dari jenis dan seberapa besar aktifitas metabolime dalam tubuh. Hal
22

ini sesuai dengan pernyataan Djuhanda,1981 dalam Laenalia, 2009 bahwa konsumsi

oksigen pada setiap jenis ikan berbeda-beda. konsumsi oksigen dipengaruhi oleh

beberapa faktor seperti temperatur, ukuran tubuh, aktivitas yang dilakukannya. Dari

pemahaman tersebut, maka dilakukanlah praktikum ini untuk lebih mengetahui

konsumsi oksigen setiap organsime yang berbeda ukuran (berat).

1.2. Tujuan dan kegunaan

Tujuan dalam praktikum ini untuk mengetahui konsumsi okesigen yang

dibutuhkan oleh organisme air dalam membantu proses metabolisme yang terjadi

dalam tubuh dan mengetahui konsumsi oksigen berdasarkan ukuran (berat).

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari praktikum ini adalah agar

mahasiswa dapat mengetahui sejauh mana konsumsi oksigen organsime berdasarkan

ukuran (berat) tubuhnya.


23

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi Ikan

Ikan Nila (Oreochromis sp.) merupakan genus ikan yang dapat hidup dalam

kondisi lingkungan yang ekstrim, sering kali ditemukan hidup normal pada habitat-

habitat yang ikan dari jenis lain tidak dapat hidup.Kedudukan sistematik ikan nila

(Trewavas, 1982 dalam Ahmad, 2010).

Menurut Ahmad (2010) Ikan Nila (Oreocromis niloticus) diklasifikasikan

sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Class : Actinopterygii

Ordo : Perciformes

Famili : Cichlidae

Genus : Oreochromis

Spesies : Oreochromis niloticus

Gamabar 3. Ikan Nila (O. niloticus)


(Sumber: Andhi, 2010)
24

2.2. Morfologi dan Anatomi

Berdasarkan morfologinya, kelompok Oreochromis memang berbeda dengan

kelompok Tilapia. Secara umum, bentuk tubuh ikan ila memanjang dan ramping

dengan sisik berukuran besar. Bentuk matanya besar dan menonjol dengan tepi

berwarna putih. Gurat sisi (linea lateralis) terputus dibagian tengah tubuh kemudian

berlanjut lagi, tetapi letaknya lebih ke bawah dibandingkan dengan letak garis yang

memanjang di atas sirip dada. Jumlah sisik dada pada gurat sisi sebanyak 34 buah.

Sirip punggung, sirip perut dan sirip duburnya memiliki jari-jari lema, tetapi keras

dan tajam seperti duri. Sirip punggung dan dirip dada berwarna hitam. Pinggir sirip

punggung berwarna abu-abu (Khairuman, 2002 dalam Ahmad, 2010).

Berdasarkan morfologinya, kelompok ikan Oreochromis ini memang berbeda

dengan kelompok tilapia. Secara umum, bentuk tubuh ikan nila panjang dan ramping,

dengan sisik berukuran besar. Matanya besar, menonjol dan bagian tepinya berwarna

putih. Gurat sisi terputus di bagian tengah badan kemudian berlanjut, tetapi letaknya

lebih ke bawah daripada letak garis yang memanjang di atas dada. Jumlah sisik pada

gurat sisi jumlahnya 34 buah. Sirip punggung, sirip perut, dan sirip dubur mempunyai

jari-jari lemah tetapi keras dan tajam seperti duri. Sirip punggungnya berwarna hitam

dan sirip dadanya juga tampak hitam (Khairuman dan Khairuman, 2003).

2.3. Habitat dan Penyebaran

Nila memiliki toleransi yang tinggi terhadap lingkungan hidupnya, sehingga

dapat dipelihara di dataran rendah yang berair payau hingga di daratan tinggi yang

berair rawa. Habitat hidup ikan ikan ini cukup beragam, bisa disungai, danau, waduk,
25

rawa, sawah, kolam ataupun tambak. Ikan ini dapat tumbuh secara normal pada

kisaran suhu 14-38oC akan tetapi pada suhu 6o atau 42oC ikan ini akan mengalami

kematian (Khairuman, 2002). Selain suhu, faktor lain yang bisa mempengaruhi

kehidupan ikan ini adalah salinitas atau kadar garam. Nila bisa tumbuh dan

berkembang biak diperairan dengan salinitas 0-29 ppt. ikan ini masih bisa tumbuh,

tetapi tidak dapat bereproduksi di perairan dengan salinitas 29-35 ppt. Ikan yang

masih kecil biasanya lebih cepat menyesuaikan diri terhadap kenaikan salinitas

dibandingkan dengan nila yang berukuran besar (Ahmad, 2010).

Ikan Nila memiliki toleransi yang tinggi terhadap lingkungan hidupnya

sehingga bisa dipelihara di daratan tinggi yang berair tawar. Habitat hidup ikan nila

cukup beragam, dari sungai, danau, waduk, rawa, sawah, kolam, hingga tambak. Ikan

nila dapat tumbuh secara normal pada kisaran suhu 14-38oC dan dapat memijah

secara alami pada suhu 22-37oC (Amri dan Khairuman, 2003).

2.4. Makanan dan Kebiasaan Makan

Nila tergolong ikan pemakan segala atau omnivora sehingga bisa

mengkonsumsi makanan berupa hewan atau tumbuhan. Karena itulah, ikan ini sangat

mudah dibudidayakan. Ketika masih benih, makanan yang disukai ikan nila adalah

zooplankton (plankton hewani) seperti Rotifera sp., Moina sp., atau Daphnia sp.

Selain itu, juga memangsa alga atau lumut yang menempel pada benda-benda di

habitat hidupnya. Ikan nila juga memakan tanaman air yang tumbuh di kolam

budidaya. Jika telah mencapai ukuran dewasa, ikan nila bisa diberi berbagai makanan

tambahan (Amri dan Khairuman, 2003).


26

2.5. Reproduksi dan Daur Hidup

Secara alami, ikan nila bisa memijah sepanjang tahun di daerah tropis.

Frekuensi pemijahan yang terbanyak terjadi pada musim hujan. Di alamnya, ikan nila

bisa memijah 6-7 kali dalam setahun. Bararti rata-rata setiap dua bulan sekali, ikan

nila akan berkembang biak. Ikan ini mencapai stadium dewasa pada umur 4-5 bulan

dengan bobot sekitar 250 gram. Masa memijah produktif adalah ketika induk

berumur 1,5-2 tahun dengan bobot di atas 500 gram/ekor. Seekor ikan nila betina

dengan berat sekitar 800 gram menghasilkan larva sebanyak 1.200-1.500 ekor pada

setiap pemijahan (Amri dan Khairuman, 2003).

Berdasarkan hasil penelitian ikan nila dan mujair yang ada di indonesia,

keduanya mempunayi kebiasaan memijah mengerami telurnya di dalam mulut induk

betina, akibatnya penamaan ikan nila dan mujair mengalami perubahan (Said, 2007).

2.2. Konsumsi Oksigen

Oksigen yang terlarut atau tersedia bagi hewan air jauh lebih sedikit daripada

hewan darat yang hidup dalam lingkungan dengan 21% oksigen. Ikan dapat hidup di

dalam air dan mengkonsumsi oksigen karena ikan mempunyai insang. Insang

memberikan permukaan luas yang dibasahi oleh air. Oksigen yang terlarut di dalam

air akan berdifusi ke dalam sel-sel insang ke jaringan ke sebelah dalam dari badan

(Kimball, 1988 dalam Mirza, 2008).

Menurut Hurkat dan Marthur (1976), konsumsi oksigen adalah jumlah

mgoksigen yang dikonsumsi oleh organisme dalam setiap gram bobot tubuhnya per

jam konsumsi oksigen pada tiap organsime berbeda-beda tergantung pada aktivitas,
27

jenis kelamin, ukuran tubuh, temperatur dan hormon. Nutrisi dan juga usia sangat

berpengaruh terhadap konsumsi oksigen organsime. Konsumsi oksigen digunakan

sebagai indikator metabolisme pada ikan, perbedaan salinitas mempengaruhi energi

yang dibutuhkan (Jayanto, 2011).


28

III. METODE PRAKTIKUM

3.1. Waktu dan Tempat

Praktiukum ini dilaksanakan Pada Hari Minggu Tanggal 6 Mei 2012. Pukul

09.00-12.00 WITA. Bertempat di Laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan Universitas Haluoleo, Kendari.

3.2. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada pelaksanaan praktek kali ini dapat dilihat

pada tabel 4 sebagai berikut :

Tabel 4. Alat dan bahan serta kegunaannya pada praktikum konsumsi oksigen

No. Nama Alat/Bahan Satuan Kegunaan

a. Alat
1) Toples besar 2 buah Sebagai wadah hewan uji
2) Saringan - Alat untuk mengambil benih
o
3) Termometer C Alat untuk mengukur suhu
4) DO meter ppm Alat mengukur kandungan DO
5) Solasi buah Untuk menutup toples

b. Bahan
1) Air laut Membuat kosentrasi medium
2) Ikan Nila (O. niloticus) Sebagai Organisme uji
3) Air Panas dan Es Batu Untuk mengatur suhu air

3.3. Prosedur Kerja

Prosedur kerja yang dilakukan pada praktikum osmoregulasi ini adalah

sebagai berikut :

- Mengisi toples dengan media (air tawar) sesuai dengan organismenya

- Mengukur suhu air dengan menggunakan termometer dan kemudian

mengukur oksigen yang terlarut dalam air dengan menggunakan DO meter


29

- Menutup toples dengan rapat agar tidak ada lagi oksigen yang dapat berdifusi

ke dalam air.

- Menimbang satu ekor ikan/krustacea dan mencatat beratnya

- Memasukkan ikan secara perlahan-lahan ke dalam toples. Mengusahakan

jangan sampai timbul gelombang udara dalam toples, kemudian tutup rapat

dan beri isolasi di sekeliling tutup toples.

- Setelah 24 jam, mengukur oksigen terlarutnya.

- Kemudian menghitung kebutuhan oksigen


30

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Pengamatan

Adapun hasil pengamatan yang diperoleh pada praktikum konsumsi oksigen,

dapat dlihat pada tabel 5 sebagai berikut :

Tabel 5. Pengukuran parameter awal konsumsi oksigen


Suhu (oC) DO (ppm)
Konsumsi
No. Jenis Organisme Ukuran
Awal Akhir Awal Akhir Oksigen

1. Ikan Nila (Ukuran


6 gr 27,7 27 1,52 0,34 1,18
Besar)
2. Ikan Nila (Ukuran
4 gr 27,6 27 1,46 0,32 1,14
Kecil)

Hasil pengamatan pada praktikum Konsumsi oksigen dapat dilihat pada

gambar berikut :

Konsumsi Oksigen
1.19
Konsumsi Oksigen (mg/L)

1.18

1.17

1.16

1.15

1.14

1.13

1.12
6 4

Ukuran Ikan (gr)

Gambar 4. Histogram Pengamatan Konsumsi Oksigen


31

4.2. Pembahasan

Oksigen merupakan salah satu faktor lingkungan yang sangat penting dalam

menentukan kelangsungan hidup ikan di perairan. Pengaruh kekurangan oksigen

terhadap kehilangan ikan di kolam dapat terjadi secara langsung maupun tidak

langsung. Pada saat kandungan oksigen dalam air rendah, sebagian besar ikan yang

ada akan mati, kecuali beberapa spesies yang mampu mengambil oksigen secara

langsung dari udara.

Salah satu faktor yang mempengaruhi kebutuhan oksigen adalah umur dan

ukuran ikan. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, konsumsi oksigen

masing-masing ukuran ikan yang berbeda juga memiliki kebutuhan yang berbeda.

Dimana konsumsi oksigen ikan kecil 1,14 ppm dan konsumsi oksigen ikan besar

adalah 1,18 di air selama 24 jam. Perbedaan ukuran dan besarnya konsumsi oksigen

terlihat dari pengukuran DO di air, dimana DO awal ikan kecil 1,46 ppm dan ikan

besar 1,52 ppm. Setelah 24 jam, perubahan jumlah DO masing-masing wadah

berbeda dimana DO di wadah ikan kecil telah berubah menjadi 0,32 ppm dan wadah

ikan besar menjadi 0,34 ppm. Dari peristiwa tersebut, nampak terjadi pengurangan

jumlah DO di air yang dimana ikan besar lebih banyak menggunakan oksigen

dibandingkan dengan ikan kecil. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hurkat dan

Marthur (1976) dalam Jayanto (2011) bahwa kebutuhan oksigen sangat dipengaruhi

oleh ukuran ikan serta jenis spesiesnya.

Konsumsi oksigen oleh ikan juga dipengaruhi oleh perbedaan suhu masing-

masing wadah. Tingginya suhu akan memicu laju metabolisme tubuh yang

berdampak pada meningkatnya laju respirasi ikan. Sesuai dengan pernyataan Afrianto
32

dan Evi (2008) bahwa meningkatnya temperatur air akan menurunkan kemampuan

air untuk mengikat oksigen, sehingga tingkat kejenuhan oksigen di dalam juga akan

menurun. Peningkatan temperatur juga akan mempercepat laju respirasi dan dengan

demikian laju penggunaan oksigen juga meningkat.

Perbedaan ini menunjukkan bahwa respirasi ikan mempengaruhi jumlah

oksigen terlarut di dalam air. Perbedaan tingkat respirasi juga di pengaruhi oleh

kondisi tubuh dan lingkungannya. Seperti yang diungkapkan Afrianto dan Evi (2008)

menyatakan bahwa faktor utama yang mempengaruhi konsentrasi oksigen di kolam

adalah respirasi dan difusi oksigen dari udara ke dalam air.


33

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil pengamatan yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa :

sebagai berikut :

1. Berdasarkan pengamatan konsumsi oksigen tertinggi pada ikan besar yakni

berkisar 1,18 ppm. Hal ini karena konsumsi oksigen semakin banyak

dibutuhkan oleh ikan berukuran besar.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi oksigen yakni ukuran tubuh,

umur ikan, jenis kelamin, dan perbedaan spesies. Selain itu faktor lingkungan

seperti kenaikan suhu dan salinitas dapat mempengaruhi laju konsumsi

oksigen.

5.2. Saran

Saran yang dapat kami sampaikan adalah sebaiknya dalam praktikum

didominasi oleh kerja praktikan, mulai dari pengukuran kadar oksigen hingga

penggunaan alat yang digunakan.


34

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Suhu merupakan faktor yang penting karena metabolisme dan aktivitas enzim

pada satu organisme sangat dipengaruhi oleh suhu/temperatur. Beberapa organisme

tidak dapat mempertahankan suhu tubuhnya karena adanya perubahan suhu

lingkungan, sedangkan beberapa organisme mampu menyelesaikan diri terhadap

rentang temperatur dari 00 – 500 C (Abidin, 2012).

Salah satu organisme yang terpengaruh dengan perubahan suhu adalah

mikrorganisme. Seperti Daphnia yang hidup secara umum di perairan tawar. Spesies-

spesies dari genus Daphnia ditemukan mulai dari daerah tropis hingga arktik dengan

berbagai ukuran habitat mulai dari kolam kecil hingga danau luas. Dari lima puluh

spesies genus ini di seluruh dunia, hanya enam spesies yang secara normal dapat

ditemukan di daerah tropika. Daphnia jantan lebih kecil ukurannya dibandingkan

yang betina. Pada individu jantan terdapat organ tambahan pada bagian abdominal

untuk memeluk betina dari belakang dan membuka carapacae betina, kemudian

spermateka masuk dan membuahi sel telur.

Perbedaan tempat tersebut menunjukkan adanya adaptasi yang berbeda dari

masing-masing spesies Daphnia. Perubahan suhu mengakibatkan perubahan kerja

fungsi organ pada Daphnia seperti laju respirasi dan beberapa perubahan fisiologi

lain. Oleh sebab itu untuk mengetahui seberapa besar pengaruh temperatur terhadap

aktifitas organisme dilakukanlah praktikum ini untuk menunjang pemahaman

mahasiswa akan hal tersebut.


35

1.2. Tujuan dan Manfaat Praktikum

Tujuan dari pratikum ini yaitu untuk mengetahui pengaruh temperatur

terhadap frekuensi denyut jantung organisme.

Manfaat praktikum ini yaitu sebgai bahan masukkan untuk menambah ilmu

pengetahuan dan wawasan mengenai pengaruh temperatur terhadap frekuensi denyut

jantung organisme.
36

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi

Daphnia adalah krustasea berukuran kecil yang hidup di perairan tawar,

sering juga disebut sebagai kutu air. Disebut demikian karena cara bergerak yang

unik dari organisme ini di dalam air. Ada terdapat banyak spesis (kurang lebih 400

spesis) dari Daphniidae dan distribusinya sangat luas. Dari semua spesis yang ada,

Daphnia dan Moina yang paling dikenal, dan sering digunakan sebagai pakan untuk

larva ikan (Pangkey, 2009).

Klasifikasi Daphnia (Daphnia sp) menurut Pennak (1989) dalam Firdaus,

(2004), adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Crustacea

Kelas : Branchiopoda

Ordo : Cladocera

Famili : Daphnidae

Genus :Daphnia

Spesies :Daphnia sp.


37

Gambar 5. Daphnia (Daphnia sp.)


(Sumber : Ebet, 2005)

2.2. Morfologi dan Anatomi

Terdapat berbagai macam ukuran untuk Daphniidae, tergantung pada

spesisnya. Moina yang baru menetas mempunyai ukuran sedikit lebih besar dari

Artemia yang baru menetas; dan dua kali lebih besar dari ukuran rata-rata rotifer

dewasa. Daphnia yang baru menetas berukuran dua kali lebih besar dari Moina.

Biasanya Daphnia berukuran 0,1 – 3 mm (Pangkey, 2009).

Daphnia jantan memiliki perbedaan morfologi dengan betina. Hal ini dapat

dilihat dari ukuran tubuh. Jantan yang lebih kecil dibandingkan dengan betina. Organ

tambahan pada bagian abdominal dimiliki oleh jantan berperan dalam proses

reproduksi. Organ tambahan tersebut berfungsi untuk memeluk betina dari belakang

dan membuka karapaks betina, sehingga spermateka dapat masuk dan membuahi sel

telur (Ebert, 2005).


38

Gambar 6. Daphnia magna betina (kiri) dan jantan (kanan)


(Sumber : Ebet, 2005)

Pada bagian kepala terdapat sebuah mata majemuk, occeallus dan lima alat

tambahan. Alat pertama disebut antennule, terletak di bagian ventral, berukuran kecil,

tidak bersegmen, berfungsi sebagai alat penciuman. Alat tambahan kedua disebut

antena yang berfungsi sebagai alat berenang. Antena ini berukuran besar, berjumlah

satu pasang, masing-masing mempunyai sebuah pangkal ruas yang kuat dan

bercabang dua menjadi sebuah rumus dorsal dan rumus ventral (Firdaus, 2004).

2.3. Habitat dan Penyebaran

Daphnia merupakan jenis udang-udangan yang telah beradaptasi pada

lingkungan perairan yang secara periodik mengalami kekeringan. Oleh karena itu

dalam perkembangbiakannya dapat dihasilkan telur berupa kista maupun anakan.

Telur berupa kista ini dapat bertahan terhadap kekeringan. Daphnia akan

menghasilkan keturunanya tanpa kawin jika keadaan lingkungan ideal dan sumber
39

makanan cukup tersedia. Pada kondisi demikian hampir semua Daphnia adalah betina

(Ebert, 2005).

Kehidupan Daphnia dipengaruhi oleh beberapa faktor ekologi perairan antara

lain temperatur, oksigen terlarut dan pH. Daphnia dapat beradaptasi dengan baik pada

perubahan lingkungan hidupnya karena termasuk dalam kategori hewan eritropik.

Daphnia tahan terhadap fluktuasi suhu harian atau tahunan. Mac Arthur dan Baile

(dalam Pennak, 1989) menyatakan bahwa umur Daphnia bergantung pada suhu

lingkungan Kisaran suhu yang ditolerir Daphnia bervariasi dengan umur dan

adaptasinya dengan lingkungan tertentu (Firdaus, 2004).

2.4. Reproduksi dan Daur Hidup

Daphnia memiliki fase seksual dan aseksual. Pada kebanyakan perairan

populasi Daphnia lebih didominasi oleh Daphnia betina yang bereproduksi secara

aseksual. Pada kondisi yang optimum, Daphnia betina dapat memproduksi telur

sebanyak 100 butir, dan dapat bertelur kembali setiap tiga hari. Daphnia betina dapat

bertelur hingga sebanyak 25 kali dalam hidupnya, tetapi rata-rata dijumpai Daphnia

betina hanya bisa bertelur sebanyak 6 kali dalam hidupnya. Daphnia betina akan

memulai bertelur setelah berusia empat hari dengan telur sebanyak 4 – 22 butir. Pada

kondisi buruk jantan dapat berproduksi, sehingga reproduksi seksual terjadi. Telur-

telur yang dihasilkan merupakan telur-telur dorman (resting eggs). Faktor-faktor yang

dapat menyebabkan hal ini adalah kekurangan makanan, kandungan oksigen yang

rendah, kepadatan populasi yang tinggi serta temperatur yang rendah (Pangkey,

2009).
40

Mekanisme reproduksi Daphnia magna dilakukan dengan cara

partheogenesis. Salah atau lebih individu muda dirawat dengan menempel pada tubuh

induknya. Daphnia yang baru menetas harus melakukan pergantian kulit beberapa

kali sebelum tumbuh menjadi dewasa selama satu minggu (Ebert, 2005).

2.5. Makanan dan Kebiasaan Makan

Daphnia termasuk hewan filter feeder, memakan berbagai macam bakteri,

ragi, alga bersel tunggal, detritus, dan bahan organik terlarut. Pasangan kaki pertama

dan kedua berfungsi untuk menciptakan arus dan partikel tersuspensi. Sepasang kaki

kelima berperan besar dalam penghisapan air, sementara pasangan kaki ketiga dan

keempat berperan sebagai filter sebenarnya (Canon dan Leak, 1933 dalam Firdaus,

2004).

Tjuandisurjo (dalam Sanyoto, 2000) menyatakan bahwa perkembangan

populasi Daphnia naik dengan cepat dan mencapai puncak pada hari kesepuluh

dengan padat penebaran 15 ekor/liter. Anonimous (1984) dalam Firdaus (2004)

menyatakan bahwa populasi Daphnia menurun apabila makanan yang tersedia tidak

tercukupi. Hal ini disebabkan karena tingginya moralitas akibat persaingan makanan.

2.6. Pengaruh Temperatur terhadap Konsumsi Oksigen

Meningkatnya temperatur air akan menurunkan kemampuan air untuk

mengikat oksigen, sehingga tingkat kejenuhan oksigen di dalam juga akan menurun.

Peningkatan temperatur juga akan mempercepat laju respirasi dan dengan demikian

laju penggunaan oksigen juga meningkat. Meskipun tidak sebanyak proses


41

fotosintesis, difusi oksigen dari udara ke dalam air akan meningkatkan konsentrasi

oksigen dalam air. Selain secara alami, proses difusi oksigen dapat ditingkatkan

secara buatan (Afrianto dan Evi, 2008).

Pada suhu 30°C, induk ikan berada pada suhu relatif tinggi yang

mengakibatkan menurunnya nafsu makan dan tingkat konsumsi pakan sehingga

energi yang diperoleh tidak optimum untuk proses perkembangan gonadnya. Pada

suhu 33°C nafsu makan ikan berkurang, sedangkan metabolisme relatif meningkat,

sehingga untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut induk ikan akan mengabsorbsi

nutrien dari jaringan tubuh termasuk gonad yang terlihat tersekat-sekat dan

mengalami penipisan dindingnya (Arfah dkk, 2005).

Pada suhu sekitar 10°C di bawah atau di atas suhu normal, suatu jasad hidup

dapat mengakibatkan penurunan atau penaikan aktifitas jasad hidup tersebut menjadi

kurang lebih dua kali pada suhu normalnya. Perubahan suhu yag tiba-tiba akan

mengakibatkan terjadinya kejutan atau shock yang biasanya di kaitkan dengan

koefisien aktifitas [Q], yakni perbandingan suatu aktifitas yang di sebabkan oleh

kenaikan suhu 10°C (Yusnaini, 2012).


42

III. METODE PRAKTIKUM

3.1. Waktu dan Tempat

Praktikum ini di laksanakan pada hari sabtu tanggal 6 Mei 2012, pada pukul

09.00 – 12.00 WITA yang bertempat di Laboratorium Perikanan, Fakultas Perikanan

dan Ilmu Kelautan, Universitas Haluoleo, Kendari.

3.2. Alat dan Bahan

Alat dan bahan pada praktikum pengaruh temperatur terhadap aktifitas

organisme ini dapat dilihat pada table 6 di bawah ini :

Tabel 6. Alat dan Bahan Serta Kegunaannya


No. Nama alat dan bahan Kegunaan

1. Alat
- Toples Meletakkan objek
- Mikroskop Mengamati objek
- Termometer Mengukur Suhu
- Pipet Tetes Meletakkan Bahan

2. Bahan
- Daphnia (Daphnia sp.) Objek yang di amati
- Air Tawar Media untuk mengatur suhu
- Es Batu untuk pengaturan suhu

3.3. Prosedur Kerja

Prosedur kerja yang akan di lakukan pada praktikum ini adalah :

1. Siapkan media pemeliharaan kultur Daphnia pada suhu awal 15°C, 20°C, 25°C,

dan 30°C.

2. Daphnia di letakkan di kaca objek, yang berada pada suhu yang telah di tentukan
43

3. Dengan pipet pindahkanlah secara hati-hati seekor daphnia pada gelas objek yang

cekung atau gelas arloji lain sambil di amati di bawah mikroskop.

4. Tambahkanlah air secukupnya agar tidak kekeringan. Jangan menambahkan air

terlalu banyak karena daphnia akan mudah bergerak dan sulit di atur posisinya.

Aturlah letak daphnia dengan posisi tubuh miring hingga jantungnya tampak jelas

dan mudah di ikuti denyutnya.

5. Setelah tampak denyut jantunganya, hitunglah jumlah denyut setiap 15 detik.

6. Buatlah 4 kali perhitungan denyut pada suhu yang berbeda.


44

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Pengamatan

Adapun hasil pengamatan pada praktikum pengaruh temperature terhadap

aktivitas organism dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 7. Laju Frekuensi Denyut Jantung Daphnia


No Suhu Air Frekuensi Denyut Jantung Pada Ikan
1 15℃ 13 detakan dalam 15 detik
2 20℃ 18 detakan dalam 15 detik
3 25℃ 22 detakan dalam 15 detik
4 30℃ 29 detakan dalam 15 detik

Hasil pengamatan pada praktikum Pengaruh Temperatur Terhadap Konsunsi

Oksigen dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Frekuensi Denyut Jantung Daphnia


35

30
Denyut Jantung (dtk)

25

20

15

10

0
15 20 25 30

Suhu (oC)

Gambar 7. Histogram pengukuran denyut jantung Daphnia sp.


45

4.2. Pembahasan

Daphnia mempunyai warna yang berbeda-beda bergantung medianya.

Spesies daerah limnetik biasanya tidak mempunyai warna atau transparan, sedangkan

di daerah litoral, kolam dangkal dan dasar perairan yang berwarna lebih gelap,

bervariasi dari cokelat kekuningan. Siklus hidup Daphnia sangat bervariasi

bergantung spesies lingkungannya.

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, temperatur yang berbeda

mempengaruhi kondisi dan aktifitas fisiologi Daphnia. Pengaruh peningkatan suhu

pada Daphnia ketika suhu dinaikkan 5oC dan lebih tinggi yang menyebabkan

Daphnia sp. Akan lebih aktif, meningkatkan tingkat bernapas dan detak jantung serta

menyesuaikan diri dengan masa tubuh lebih rendah dan ukuran. Dari data tersebut,

diyakini bahwa kenaikan suhu berbanding lurus dengan kecepatan denyut jantung

Daphnia. Tingginya suhu telah mempercepat laju metabolisme tubuh dan

mempercepat konsumsi oksigen. Sehingga denyut jantung akan meningkat

dikarenakan kebutuhan konsumsi oksigen. Hal ini sesuai dengan pernyataan Astrini

(2011) bahwa perubahan suhu memiliki pengaruh besar terhadap berbagai proses

fisiologi. Dalam batas tertentu, peningkatan suhu akan mempercepat banyak proses

fisiologi. Misalnya pengaruh suhu terhadap kecepatan denyut jantung atau konsumsi

oksigen.

Sedangkan pada kondisi suhu menurun, maka proses metabolisme tubuh akan

menurun sehingga tidak terjadi peningkatan konsumsi oksigen (normal). Hal ini

dikarenakan seluruh aktifitas tubuh berjalan dengan normal, berdasarkan Pennak

(1989) dalam Firdaus (2004) menyatakan bahwa suhu air media yang rendah
46

menurunkan laju metabolisme tubuh Daphnia. Namun perlu juga dipahami bahwa

kecepatan denyut jantung Daphnia akan berangsur-angsur menurun/berhenti diluar

batasan toleransinya. Begitu pula penurunan suhu juga akan meningkatkan laju

denyut jantung jika telah mencapai kondisi yang tidak dapat ditoleransi (Astrini,

2011).
47

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahsan, maka dapat di simpulkan

sebagai berikut :

1. Data pengamatan menunjukkan bahwa laju denyut jantung tertinggi terdapat

pada suhu 30oC yakni berkisar 29 kali. Hal ini karena semakin tingginya suhu

maka peningkatan denyut jantung terus berlangsung hingga batas toleransi.

2. Faktor yang mempengaruhi denyut jantung adalah suhu, salinitas, pH dan

beberapa parameter kimia yang berada diperairan juga mempengaruhi aktifitas

organsime.

5.2. Saran

Saran yang dapat saya ajukan pada praktikum selanjutnya adalah agar

setiap praktikan selalu memperhatikan apa yang di berikan oleh asisten pembimbing

selama praktikum berlangsung agar paraktikum dapat berlangsung secara lancar dan

tenang.
48

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam budidaya ikan, salah satu hambatan yang umum dialami adalah tidak

tersedianya benih yang cukup dan berkesinambungan. Secara fisiologis perubahan

lingkungan memang menyebabkan kurangnya rangsangan organ-organ tertentu untuk

dapat mengeluarkan hormon yang menyebabkan terjadinya pemijahan. Sementara

kerja hormon itu sendiri pun akan lebih potensial pada kondisi lingkungan yang

sesuai. Penyesuaian atau adaptasi lingkungan pada ikan-ikan tertentu terkadang

membutuhkan waktu sangat lama, bisa sampai beberapa generasi.

Telah banyak dilakukan upaya untuk meningkatkan produksi benih dengan

cara yang lebih maju, yaitu dengan penggunaan hormone atau hipofisasi. Hipofisasi

adalah menyuntikkan suspensi kelenjar hipofisa kepada ikan yang akan dibiakkan.

Kelemahan dari tekhnik hipofisasi adalah hilangnya sejumlah ikan donor untuk

diambil hipofisanya (Oka, 2005).

Stadia induk adalah ikan yang memiliki kemampuan untuk bereproduksi.

Dalam stadia ini gonad ikan betina sudah dapat meproduksi telur dan ikan jantan

sudah dapat memproduksi sperma. Gonad sebagai organ reproduksi ikan merupakan

salah satu dari 3 komponen yang terlibat dalam reproduksi ikan, selain sinyal

lingkungan dan sistem hormon. Dalam proses pematangan gonad, sinyal lingkungan

yang diterima oleh sistem saraf pusat ikan itu akan diteruskan ke hipotalamus.

Penggunaan hipofisa sebagai suatu teknik pada ikan-ikan budidaya,

membantu dalam hal reproduksi, telah diketahui bahwa salah satu jenis ikan yang
49

umum digunakan dan kebanyakan mengalami masalah adalah ikan nila. Oleh sebab

itu untuk dengan landasan kondisi ikan yang selalu sulit memijah akibta sistem syaraf

pusat yang sulit dipengaruhi lingkungan kemudian juga untuk mengetahui prosedur

memijahkan ikan diluar musim pemijahannya (out season), terutama pada ikan yang

mengenal musim pemijahan tertentu, maka dilakukanlah dipraktikum ini untuk

mengatahui hal tersebut.

1.2. Tujuan dan Manfaat Praktikum

Tujuan dari pratikum ini yaitu untuk mengetahui letak dan cara pengambilan

kelenjar Hipofisa pada ikan.

Manfaat praktikum ini yaitu sebgai bahan masukkan untuk menambah ilmu

pengetahuan dan wawasan mengenai letak dan cara untuk mengambil kelenjar

hipofisa pada ikan.


50

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi

Ikan nila dikenal juga sebagai ikan yang bersifat euryhaline (dapat hidup pada

kisaran salinitas yang lebar). Ikan nila mendiami berbagai habitat air tawar, termasuk

saluran air yang dangkal, kolam, sungai dan danau. Ikan nila dapat menjadi masalah

sebagai spesies invasif pada habitat perairan hangat, tetapi sebaliknya pada daerah

beriklim sedang karena ketidakmampuan ikan nila untuk bertahan hidup di perairan

dingin, yang umumnya bersuhu di bawah 21 ° C (Hurry, 2012).

Klasifikasi Ikan Nila (Oreocromis niloticus) menurut Makmur (2009), adalah

sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Actinopterygii

Ordo : Perciformes

Famili : Cichlidae

Genus : Oreochromis

Spesies : Oreocromis niloticus


51

Gambar 8. Ikan Nila (O. niloticus)


(Sumber : Hurry, 2012)

2.2. Morfologi dan Anatomi

Morfologi ikan nila yaitu memiliki bentuk tubuh yang pipih ke arah bertikal

(kompres) dengan profil empat persegi panjang ke arah antero posterior. Posisi mulut

terletak di ujung hidung (terminal) dan dapat disembuhkan. Pada sirip ekor tampak

jelas garis-garis vertikal dan pada sirip punggungnya garis tersebut kelihatan condong

letaknya. Ciri khas ikan nila adalah garis-garis vertikal berwarna hitam pada sirip

ekor, punggung dan dubur. Pada bagian sirip caudal (ekor) dengan bentuk membuat

terdapat warna kemerahan dan bisa digunakan sebagai indikasi kematangan gonad.

Pada rahang terdapat bercak kehitaman. Sisik ikan nila adalah tipe ctenoid. Ikan nila

juga ditandai dengan jari-jari dorsal yang keras, begitu pun bagian analnya. Dengan

posisi sirip anal di belakang sirip dada (abdorminal) Ikan nila memiliki tulang

kartilago kranium sempurna, organ pembau dan kapsul otik tergabung menjadi satu.

Eksoskleton Ostracodermi mempunyai kesamaan dengan dentin pada kulit.

Elasmobrachii yang merupakan mantel keras seperti email pada gigi vertebrata. Di
52

bawah lapisan tersebut terdapat beberapa lapisan tulang sponge dan di bawahnya lagi

terdapat tulang padat. Tulang palato-quadrat dan kartilago Meckel adalah tulang

rawan yang akan membentuk rahang atas dan rahang bawah (Slam, 2012).

Berdasarkan morfologinya, kelompok ikan Oreochromis ini memang berbeda

dengan kelompok tilapia. Secara umum, bentuk tubuh ikan nila panjang dan ramping,

dengan sisik berukuran besar. Matanya besar, menonjol dan bagian tepinya berwarna

putih. Gurat sisi terputus di bagian tengah badan kemudian berlanjut, tetapi letaknya

lebih ke bawah daripada letak garis yang memanjang di atas dada. Jumlah sisik pada

gurat sisi jumlahnya 34 buah. Sirip punggung, sirip perut, dan sirip dubur mempunyai

jari-jari lemah tetapi keras dan tajam seperti duri. Sirip punggungnya berwarna hitam

dan sirip dadanya juga tampak hitam (Khairuman dan Khairuman, 2003).

2.3. Habitat dan Penyebaran

Suhu optimum bagi ikan nila adalah 25-30oC. Pertumbuhan ikan nila

biasanya akan terganggu jika suhu habitatnya lebih rendah dari 14oC atau pada suhu

tinggi 38oC. Ikan nila akan mengalami kematian pada suhu 6oC atau 42oC. Selain

suhu, faktor lain yang bisa mempengaruhi kehidupan ikan nila adalah salinitas atau

kadar garam di suatu perairan. Ikan nila bisa tumbuh dan berkembangbiak pada

kisaran salinitas 0-29%o (permill). Jika kadar garamnya lebih tinggi sekitar 29-35%o,

ikan nila bisa tumbuh tetapi tidak bisa bereproduksi. Ikan nila yang masih kecil atau

benih biasanya lebih cepat menyesuaikan diri dengan kenaikan salinitas dibandingkan

dengan ikan nila yang berukuran besar (Amri dan Khairulman, 2003).
53

2.4. Reproduksi dan Daur Hidup

Pada ikan betina mempunyai indung telur sedangkan ikan jantan mempunyai

testis. Baik indung telur maupun testis ikan semuanya terletak pada rongga perut di

sebelah kandung kemih dam kanal alimentari. Keadaan gonad ikan sangat

menentukan kedewasaan ikan. Kedewasaan ikan meningkat dengan makin

meningkatnya fungsi gonad. Ikan Nila umumnya mempunyai sepasang gonad,

terletak pada bagian posterior rongga perut di sebelah bawah ginjal. Pada saat ikan

nila bertelur dan sperma dikeluarkan oleh ikan jantan, pada saat itu pula terjadilah

fertilasi di luar tubuh induknya (eksternal) yaitu di dalam air tempat dimana ikan itu

berada, kemudian mengerami telur di dalam mulutnya antara 4-5 hari dan telur

tersebut menetas 3-4 hari. Telur ikan yang dibuahi dan menetas dinamakan larva.

Larva tersebut mempunyai kuning telur yang masih menempel pada tubuhnya

digunakan sebagai cadangan makanan untuk awal kehidupannya (Slam, 2012).

Secara alami, ikan nila bisa memijah sepanjang tahun di daerah tropis.

Frekuensi pemijahan yang terbanyak terjadi pada musim hujan. Di alamnya, ikan nila

bisa memijah 6-7 kali dalam setahun. Bararti rata-rata setiap dua bulan sekali, ikan

nila akan berkembang biak. Ikan ini mencapai stadium dewasa pada umur 4-5 bulan

dengan bobot sekitar 250 gram. Masa memijah produktif adalah ketika induk

berumur 1,5-2 tahun dengan bobot di atas 500 gram/ekor. Seekor ikan nila betina

dengan berat sekitar 800 gram menghasilkan larva sebanyak 1.200-1.500 ekor pada

setiap pemijahan (Amri dan Khairuman, 2003).

Berdasarkan hasil penelitian ikan nila dan mujair yang ada di indonesia,
keduanya mempunayi kebiasaan memijah mengerami telurnya di dalam mulut induk
54

betina, akibatnya penamaan ikan nila dan mujair mengalami perubahan (Said, 2007)

2.5. Makanan dan Kebiasaan Makan

Ikan nila merupakan ikan yang bersifat omnivora (pemakan segala), tetapi

cenderung sebagai herbivora, karena ikan nila lebih suka memakan fitoplankton dan

berbagai jenis tumbuhan air, oleh karena itu ikan nila seringkali dimanfaatkan untuk

mengendalikan gulma air (Hurry, 2012).

Nila tergolong ikan pemakan segala atau omnivora sehingga bisa

mengkonsumsi makanan berupa hewan atau tumbuhan. Karena itulah, ikan ini sangat

mudah dibudidayakan. Ketika masih benih, makanan yang disukai ikan nila adalah

zooplankton (plankton hewani) seperti Rotifera sp., Moina sp., atau Daphnia sp.

Selain itu, juga memangsa alga atau lumut yang menempel pada benda-benda di

habitat hidupnya. Ikan nila juga memakan tanaman air yang tumbuh di kolam

budidaya. Jika telah mencapai ukuran dewasa, ikan nila bisa diberi berbagai makanan

tambahan (Amri dan Khairuman, 2003).

2.6. Teknik Pembedahan dan Pengambilan Hipofisa

Kelenjar pituitari atau kelenjar hipofisa merupakan organ yang relatif kecil

ukurannya jika dibandingkan dengan ukuran tubuh, tetapi mempunyai pengaruh pada

sejumlah proses vital dalam tubuh manusia maupun hewan. Pengaruh yang luas dari

kelenjar hipofisa di dalam tubuh disebabkan olah kerja hormon yang dihasilkan oleh

kelenjar hipofisa tersebut (Djojosoebagio, 1990 dalam Oka, 2009).

Perangsangan pemijahan ikan secara hormonal dilakukan dengan

menyuntikan hormon tertentu kedalam ke tubuih ikan. Hormon tersebut masuk ke


55

dalam sistem sirkulasi darah ikan dan ketika mencapai organ target (Gonad) langsung

berkerja dan mempengaruhi organ tersebut. Dengan demikian, perangsangan

pemijahan secara hormonal ini merupakan upaya by pass cara kerja hormon dalam

sistem reproduksi ikan (Mukhlas, 2009).


56

III. METODE PRAKTIKUM

3.1. Waktu dan Tempat

Praktikum ini di laksanakan pada hari Sabtu tanggal 13 Mei 2012, pada pukul

09.00 – 12.00 WITA yang bertempat di Laboratorium Perikanan, Fakultas Perikanan

dan Ilmu Kelautan, Universitas Haluoleo, Kendari.

3.2. Alat dan Bahan

Alat dan bahan pada praktikum pengaruh temperatur terhadap aktifitas

organisme ini dapat dilihat pada table 8 di bawah ini :

Tabel 8. Alat dan Bahan Serta Kegunaannya


No. Nama alat dan bahan Kegunaan

1. Alat
- Alat Bedah 1 Set Untuk membedah ikan
- Baki (dissecting-pan) Untuk meletakkan bahan
- Kain lap (lap kasar dan lap halus) Untuk membersihkan

2. Bahan
- Ikan Nila (O. niloticus) Objek yang di amati

3.3. Prosedur Kerja

Prosedur kerja yang akan di lakukan pada praktikum ini adalah :

1. Menyiapkan baki dan pisau (menggunakan pisau yang tajam)

2. Mengambil ikan mas yang akan dibedah kemudian meletakkan diatas baki dengan

posisi punggung menghadap keatas.

3. Memotong tepat di bagian belakang tutup insang hingga kepalanya terpisah dari

tubuhnya.
57

4. Membedah tepat diatas mata sehingga kerangka kepala dan otaknya tampak

5. Menggunakan pinset untuk mengambil kelenjar hipofisa yang ukurannya

sebesar biki kacang hijau.

6. Melakukan pengamatan dan menggambar bagian kepala organisme yang telah

dibedah tersebut.
58

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Pengamatan

Adapun hasil pengamatan pada praktikum teknik pembedahan dan

pengambilan hipofisa dapat dilihat pada gambar berikut :

Hipofisa

Gambar 9. Hipofisa pada Ikan Nila (O. niloticus)


(Sumber : Ardi, 2011)

4.2. Pembahasan

Stadia induk adalah ikan yang memiliki kemampuan untuk bereproduksi.

Dalam stadia ini gonad ikan betina sudah dapat meproduksi telur dan ikan jantan

sudah dapat memproduksi sperma. Gonad sebagai organ reproduksi ikan merupakan

salah satu dari 3 komponen yang terlibat dalam reproduksi ikan, selain sinyal
59

lingkungan dan sistem hormon. Dalam proses pematangan gonad, sinyal lingkungan

yang diterima oleh sistem saraf pusat ikan itu akan diteruskan ke hipotalamus.

Akibatnya, hipotalamus melepaskan hormon GnRH (Gonadotropin realizing

hormone) yang selanjutnya bekerja pada kelenjar hipofisa. Hipotalamus dan hipofisa

terletak di otak belakang ikan. Hal ini menyebabkan hipofisa melepasakan hormon

Goadotropin-I yang berkerja pada gonad. Akibat kerja hormon gonadotropin-I

tersebut, gonad dapat mensintesis testoteron dan estradiol-β. Estradiol-β selanjutnya

akan merangsang hati mensintesis vitologenin yang merupakan bakal dari kuning

telur (Mukhlas, 2009).

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, hipofisa pada ikan nila terletak

disebelah bawah bagian depan otak besar atau terletak dibawah otak kecil. Hal ini

sesuai dengan pernyataan Mukhlas (2009) bahwa Kelenjar hipofisa ini terletak

disebelah bawah bagian depan otak besar (dienchephala) sehingga jika bagian otak ini

diangkat maka kelenjar ini akan tertinggal. Dengan demikian, untuk mengambil

kelenjar hipofisa maka tulang tengkorak harus di angkat terlebih dahulu.

Teknik pengambilan hipofisa ini dilakukan dengan pembedahan bagian atas

kepala ikan, sehingga diperoleh hipofisa yang diamati berbentuk bundar sebesar

kacang hijau dengan warna putih keseluruhan. Pada bagian tengkorak kepala terdapat

sela tursika yang melindungi hipofisa tetapi memberikan ruang yang sangat kecil

untuk mengembang.

Hormon yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisa ada sembilan macam, yaitu:

ACTH, TSH, FSH, LH, STH, MSH, Prolaktin, Vasopresin, dan Oksitosin. FSH dan LH

adalah dua hormon yang mempunyai daya kerja mengatur fungsi kelenjar kelamin. FSH
60

mempunyai daya kerja merangsang pertumbuhan folikel pada ovarium dan pada testis

memberikan rangsangan terhadap spermatogenesis. LH mempunyai daya kerja

merangsang ovulasi dan menguningkan folikel ovarium dan pada hewan jantan. Hormon

ini merangsang fungsi sel-sel interstisial pada testis serta mempertinggi atau

meningkatkan produksi hormon steroid, baik pada hewan betina maupun hewan jantan

(Oka, 2005).

Kelenjar pituitari atau kelenjar hipofisa merupakan organ yang relatif kecil

ukurannya jika dibandingkan dengan ukuran tubuh, tetapi mempunyai pengaruh pada

sejumlah proses vital dalam tubuh manusia maupun hewan. Pengaruh yang luas dari

kelenjar hipofisa di dalam tubuh disebabkan olah kerja hormon yang dihasilkan oleh

kelenjar hipofisa tersebut (Djojosoebagio, 1990 dalam Oka, 2005). Fungsi dari kelenjar

ini sangat beragam, tergantung dari hormon yang dihasilkan. Namun secara umum

kelenjar hipofisa berfungsi untuk mempercepat atau merangsang kematangan ikan dalam

memijah. Hal ini seperti yang dikemukakan Oka (2005) bahwa kelenjar hipofisa

berfungsi untuk merangsang kematangan gonad.


61

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahsan, maka dapat di simpulkan

sebagai berikut :

1. Kelenjar hipofisa adalah kelenjar yang menghasilkan berbagai hormon, antara

hormon yang berkerja terhadap kelenjar kelamin jantan (testes) Maupun kelenjar

kelamin betina (kantong telur).

2. Hipofisa pada ikan nila terletak disebelah bawah bagian depan otak besar atau

terletak dibawah otak kecil.

3. Secara umum kelenjar hipofisa berfungsi untuk mempercepat atau merangsang

kematangan ikan dalam memijah

5.2. Saran

Saran yang dapat saya ajukan pada praktikum selanjutnya adalah agar

ikan yang digunakan lebih dari 1 jenis, hal ini untuk membandingkan letak dan

bentuk hipofisa ikan.


62

DAFTAR PUSTAKA

Abidin. 2011. Penambahan Kalsium Untuk Meningkatkan Kelangsungan Hidup dan


Pertumbuhan Juvenil Udang Galah Pada Media Bersalinitas. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Abidin. 2012. Konsep Ekologi Organsime. www.masbied.com. Diakses pada tanggal
10 Mei 2012.

Agustina, Zulhadiati. 2010. Perbaikan Kualitas Daging Ikan Lele Dumbo melalui
manipulasi Media Pemliharaan. IPB. Bogor.
Ahmad. 2010. Ikan Nila. http://ahmadf0842.student.ipb.ac.id. Diakses pada tanggal 9
Mei 2012.

Afrianto, Eddy dan Evi Liviawaty. 2008. Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan.
Kanisius. Jakarta.
Amri, Khairul dan Khairuman. 2003. Budidaya Ikan Nila. PT Agromedia Pustaka.
Jakarta Selatan.

Anonim. 2011. Pengertian Osmoregulasi. http://www.pengertiandefinisi.com.


Diakses pada tanggal 2 Mei 2012.
Andhi. 2010. Benih Lele. http//www. benihikan.net. Diakses tanggal 4 Mei 2012.

Arfah, H. S. Marian, Alimudin. 2005. Pengaruh Suhu Terhadap Reproduksi dan


Nisbah Kelamin Ikan Gapi (Poecilia reticulata Ipeters). Institut Pertanian
Bogor. Kampus Darmaga. Bogor. 1-4 Vol. IV.
Ardi, Cahyo. 2011. Memijahkan Ikan http://perpustakaan
dinaskelautandanperikanan.blogspot.com. Diakses pada tanggal 18
Mei 2012.Isnaeni. 2006. Fisiologi Hewan. Kanasius. Yogyakarta
Astrini. 2011. Pengaruh Suhu Terhadap Denyut Jantung Daphnia. Pendidikan Biologi
Universitas Serabaya. Surabaya.Danjhu. 2012. Avertebrata Air.
http://okha-danjhu.blogspot.com. Diakses pada tanggal 4 Mei 2012
Brooker, Chris. 2005. Ensiklopedia Keperawatan. Penerbit Buku Kedokteran.
Singapura.

Ebert. 2005. Daphnia magna, limbah penyamakan kulit dan tingkat


toksisitas.Universitas Pendidikan Indonesia. Jakarta.

Firdaus, ohammad. 2004. Pengaruh Beberapa Cara Budidaya Terhadap Pertumbuhan


Populasi Daphnia sp. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hurry, Su. 2012. Ikan Nila. http://kuliah-ikan.blogspot.com. Diakses Pada Tanggal 18


Mei 2012.
63

Lanenalia. 2009. Konsumsi Oksigen. http://lenimaela.blogspot.com. Diakses pada


tanggal 9 Mei 2012.

Mahyudin. 2007. Panduan Lengkap Agrobisnis Lele. Penebar Swadaya. Jakarta.


Makmur, Arga. 2009. Taksonomi Ikan. http://argamakmur.wordpress.com. Diakses
Pada Tanggal 18 Mei 2012.

Mirza. 2008. Konsumsi Oksigen Pada Ikan. http://api3kmirza.wordpress.com.


Diakses pada tanggal 10 Mei 2012.
Mukhlas. 2009. Hipofisa dan Ovarium. http://mukhlasmuthiullah.blogspot.com.
Diakses pada tanggal 18 Mei 2012.
Oka, A. 2005. Penggunaan Ekstrak Hipofisa Ternak Untuk Merangsang Spermiasi
Pada Ikan (Cyprinus carpio L.). Produksi Ternak FPIK Universitas
Udayana. Denpasar.
Pangkey, Henneke. 2009. Daphnia dan Penggunaanya. UNSRAT. Manado Vol. V (3)
33-36.
Rahmat A, Sahubawa L, Yusuf I. 2008. Pengaruh pengulangan pengapuran dengan
kapur tohor (CaO) terhadap kualitas fisik kulit pari tersamak. Majalah
Kulit, Karet dan Plastik.
Rustadi, Andy. 2010. Perikanan. http://my.opera.com. Diakses pada tanggal 4 Mei
2012
Said, Ahmad. 2007. Budidaya Mujair dan Nila. Azka Press. Jakarta.Purnomowati,
Ida. Dian Hidaya, Cahyo Saparinto. 2007. Ragam Olahan bandeng.
Kanisisus. Yugyakarta.
Saparianto. 2006. Bandeng Duri Lunak. Kanisius. Yogyakarta.
Said, Ahmad. 2007. Budidaya Mujair dan Nila. Azka Press. Jakarta.

Slam. 2012. Ikan Nila. http://slamsmart.blogdetik.com. Diakses Pada Tanggal 18 Mei


2012.Nataliana. 2010. Volume Respirasi. Universitas Lambung
Manglurat. Banjarbaru.

Soewarto. 2011. Ketika Kualitas benih Bandeng Merosot. http://www.trobos.com.


Diakses tanggal 4 Mei 2012.
Susanto. 2010. Budidaya ikan di Pekarangan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sutrisno. 2007. Budidaya Lele kampung dan Lele Dumbo. Ganeca. Jakarta
Suyanto. 2008. Budidaya Ikan Lele. Penebar Swadaya. Jakarta.
Taufik, Imam dan Eni Kusrini. 2011. Peran Hormon dan Syaraf Pada Osmoregulasi
Hewan Air.
Yulia. 2011. Osmoregulasi. http://id.shvoong.com. Diakses pada tanggal 2 Mei 2012
64

Yusnaini, Idris M, Hamsah, Indriyani Nur, Rosmawati. 2009. Penuntun Praktikum


Fsiologi Hewan Air. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan
Universitas Haluoleo. KendariJayanto, Arif Dwi. 2011. Laju
Metabolisme. Universitas Jendral Soedirman. Purwokerto.

Anda mungkin juga menyukai