Anda di halaman 1dari 6

GANGGUAN SOMATISASI

Gangguan somatisasi ditandai dengan banyak gejala somatik yang tidak dapat
dijelaskan dengan adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium.
Gangguan ini biasanya dimulai sebelum usia 30. dapat berlanjut hingga tahunan, dan
dikenali menurut DSM-IV-TR sebagai "kombinasi gejala nyeri, gastrointestinal,
seksual, serta pseudoneurologis”. Gangguan somatisasi berbeda dengan gangguan
somatoform lainnya karena banyaknya keluhan dan banyaknya sistem organ yang
terlibat (contohnya gastrointestinal dan neurologis). Gangguan ini bersifat kronis dan

disertai penderitaan psikologis yang signifikan, hendaya fungsi sosial dan pekerjaan,
serta perilaku mencari bantuan medis yang berlebihan.

Gangguan somatisasi telah dikenal sejak zamn Mesir Kuno. Nama gangguan
somatisasi adalah histeria yaitu suatu keadaan yang salah dianggap hanya mengenai
perempuan. (Kata histeria berasal dari kata Yunani untuk uterus, hysteria). Pada abad
ke-17, Thomas Sydenham mengenali bahwa faktor psikologis yang ia sebut
antecedent sorrows (duka-cita turunan), terlibat dalam patogenesis gejala. Pada tahun
1859, Paul Briquet, seorang dokter dari Perancis, mengamati keragaman gejala dan
sistem organ yang terkena serta menguraikan perjalanaan gangguan yang biasanya
kronis. Kerena pengamatan klinis yang tajam, gangguan ini disebut sindrom Briquet
selama beberapa waktu, walaupun istilah gangguan somatisasi menjadi standar di
Amerika Serikat.

Etiologi

Prevalensi seumur hidup gangguan somatisasi dalam umum diperkirakan 0,1


sampai 0,2 persen walaupun beberapa kelompok riset yakin bahwa angka sebenarnya
dapat lebih mendekati 0,5 persen. Perempuan dengan gangguan somatisasi jumlahnya
melebihi laki-laki 5 hingga 20 kali tetapi perkiraan tertinggi dapat disebabkan adanya
tendensi dini tidak mendiagnosis gangguan somatisasi pada pasien laki-laki.
Meskipun demikian. gangguan ini adalah gangguan yang lazim ditemukan. Dengan
rasio perempuan banding laki-laki 5 banding 1, prevalensi seumur hidup gangguan
somatisasi pada perempuan di populasi umum mungkin 1 atau 2 persen.
Di antara pasien yang di praktik dokter umum dan dokter keluarga, sebanyak 5
sampai 10 persen dapat memenuhi kriteria diagnostik gangguan somatisasi. Gangguan
ini berbanding terbalik dengan posisi sosial dan terjadi paling sering pada pasien yang
memiliki sedikit edukasi dan tingkat pendapatan yang rendah. Gangguan somatisasi
didefinisikan dimulai sebelum usia 30 tahun dan paling sering dimulai selama masa
remaja seseorang.

Etiologi

Faktor Psikososial. Formula psikososial melibatkan interpretasi gejala sebagai


komunikasi sosial, akibatnya adalah menghindari kewajiban (contohnya harus pergi
ke tempat kerja yang tidak disukai), mengekspresikan emosi (contohnya marah
kepada pasangan), atau menyimbolkan suatu perasaan atau keyakinan (contohnya
nyeri di usus). Interpretasi gejala psikoanalitik yang kaku bertumpu pada hipotesis
bahwa gejala-gejala tersebut menggantikan impuls berdasarkan insting yang ditekan.

Perspektif perilaku pada gangguan somatisasi menekankan bahwa pengajaran


orang tua, contoh dari orang tua, dan adat-istiadat dapat mengajari beberapa anak
untuk lebih melakukan somatisasi daripada orang lain. Di samping itu, sejumlah
pasien dengan gangguan somatisasi datang dari keluarga yang tidak stabil dan
mengalami penyiksaan fisik.

Faktor Biologis dan genetik. Sejumlah studi mengemukakan bahwa pasien memiliki
perhatian yang khas dan hendaya yang menghasilkan persepsi dan penilaian input
somatosensori yang salah. Hendaya ini mencakup perhatian mudah teralih,
ketidakmampuan menghabituasi stimulus berulang, pengelompokan konstruksi
kognitif dengan dasar impresionistik, hubungan parsial dan sirkumstansial, serta
kurangnya selektivitas seperti yang ditunjukkan sejumlah studi potensial bangkitan.
Sejumlah terbatas studi pencitraan otak melaporkan adanya penurunan metabolisme
lobus frontalis dan hemisfer nondominan.

Data genetik menunjukkan bahwa gangguan somatisasi dapat memiliki


komponen genetik. Gangguan somatisasi cenderung menurun di dalam keluarga dan
terjadi pada 10 hingga 20 persen kerabat perempuan derajat pertama pasien dengan
gangguan somatisasi. Di dalam keluarga ini, kerabat laki-laki derajat pertama rentan
terhadap penyalahgunaan zat dan gangguan kepribadian antisosial. Satu studi
melaporkan bahwa angka kejadian bersama 29 persen pada kembar monozigot dan 10
persen pada kembar dizigot, menunjukkan adanya efek genetik

Penelitian sitokin, suatu area baru studi ilmu neurologi dasar, dapat relevan
dengan gangguan somatisasi dan gangguan somatoform lain. Sitokin adalah molekul
pembawa pesan yang digunakan sistem imun untuk berkomunikasi di dalam dirinya
dan dengan sistem saraf, termasuk otak. Contoh sitokin adalah interleukin, faktor
nekrosis tumor, dan interferon. Beberapa percobaan pendahuluan menunjukkan
bahwa sitokin dapat berperan menyebabkan sejumlah gejala nonspesifik penyakit,
terutama infeksi, seperti hipersomnia, anoreksia, lelah, dan depresi. Walaupun belum
ada data yang menyokong hipotesis, pengaturan abnormal sistem sitokin dapat
mengakibatkan sejumlah gejala yang ditemukan pada gangguan somatoform.

Diagnosis

Untuk diagnosis gangguan somatisasi, DSM-IV-TR mengharuskan awitan gejala


sebelum usia 30 tahun (Tabel 14-1). Selama perjalanan gangguan, pasien harus
memiliki keluhan sedikitnya empat gejala nyeri, dua gejala gastrointestinal, satu
gejala seksual, dan satu gejala pseudoneurologis, yang seluruhnya tidak dapat
dijelaskan dengan pemeriksaan fisik atau laboratorium.

Gambaran Klinis

Pasien dengan gangguan somatisasi memiliki banyak keluhan somatik dan


riwayat medis yang rumit dan panjang. Mual dan muntah (selain selama kehamilan),
kesulitan menelan, nyeri di lengan dan tungkai, napas pendek tidak berkaitan dengan
olah raga, amnesia, dan komplikasi kehamilan serta menstruasi adalah gejala yang
paling lazim ditemui. Pasien sering meyakini bahwa mereka telah sakit selama
sebagian besar hidup mereka. Gejala pseudoneurologis mengesankan, tetapi tidak
patognomonik, untuk adanya gangguan neurologis. Menurut DSM-IV-TR. gejala
pseudoneurologis mencakup gangguan koordinasi atau keseimbangan. paralisis atau
kelemahan lokal, kesulitan menelan atau benjolan di tenggorok, afonia, retensi urine,
halusinasi, hilangnya sensasi raba atau nyeri, penglihatan ganda, buta, tuli, kejang,
atau hilang kesadaran selain pingsan.

Penderitaan psikologis dan masalah interpersonal menonjol pada gangguan ini,


ansietas dan depresi adalah keadaan psikiatri yang paling sering. Ancaman bunuh diri
lazim ada tetapi bunuh diri yang sesungguhnya jarang terjadi. Jika terjadi bunuh diri
biasanya sering terkait penyalahgunaan zat. Riwayat medis pasien sering berbelit-belit,
samar, tidak pasti, tidak konsisten, dan kacau.

Pasien secara klasik, tetapi tidak selalu, menggambarkan keluhannya dengan cara
yang dramatik, emosional, dan berlebihan, dengan bahasa yang jelas dan berwarna;
mereka dapat bingung dengan urutan waktu dan tidak dapat membedakan dengan
jelas gejala saat ini dengan yang lalu. Pasien perempuan dengan gangguan somatisasi
dapat berpakaian dengan cara yang ekshibisionistik. Pasien dapat dianggap sebagai
seseorang yang tidak mandiri. terpusat pada diri sendiri, haus pemujaan, dan
manipulatif.

Diagnosa Banding

Klinisi harus selalu menyingkirkan keadaan medis nonpsikiatri yang dapat


menjelaskan gejala pasien. Sejumlah gangguan medis sering menunjukkan kelainan
yang sementara dan nonspesifik pada kelompok usia yang sama. Gangguan medis ini
mencakup sklerosis multipel (MS), miastenia gravis, systemic lupus erythematosus
(SLE), acquired immune deficiency syndrome (AIDS). porfiria akut intermiten,
hiperparatiroidisme, hipertiroidisme, dan infeksi sistemik kronik. Awitan berbagai
gejala somatik pada pasien yang berusia lebih dari 40 tahun harus dianggap
disebabkan oleh keadaan medis nonpsikiatri sampai pemeriksaan medis yang
mendalam telah dilengkapi.

Banyak gangguan jiwa dipertimbangkan dalam diagnosis banding, yang dipersulit


pengamatan bahwa sedikitnya 50 persen pasien dengan gangguan somatisasi juga
memiliki gangguan jiwa lain bersamaan. Pasien dengan gangguan depresif berat,
gangguan ansietas menyeluruh, dan skizofrenia semuanya dapat memiliki keluhan
awal yang berpusat pada gejala somatik. Meskipun demikian, pada semua gangguan
ini, gejala depresi, ansietas, atau psikosis akhirnya mendominasi keluhan somatik.
Walaupun pasien dengan gangguan panik dapat mengeluhkan banyak gejala somatik
yang berkaitan dengan serangan paniknya, mereka tidak terganggu oleh gejala
somatik di antara serangan panik.

Di antara semua gangguan somatoform, hipokondriasis, gangguan konversi, dan


gangguan somatisasi nyeri, pasien dengan hipokondriasis memiliki keyakinan salah
bahwa mereka memiliki penyakit tertentu, sedangkan pasien dengan gangguan
somatisasi mengkhawatirkan banyak gejala. Gejala gangguan konversi terbatas pada
satu atau dua sistem neurologis bukannya gejala gangguan somatisasi yang sangat
beragam. Gangguan nyeri terbatas pada satu atau dua keluhan gejala nyeri.

Perjalanan Gangguan dan Prognosis


Gangguan somatisasi adalah gangguan yang bersifat kronis dan sering membuat
tak berdaya. Menurut definisi, gejala harus dimulai sebelum usia 30 tahun dan harus
ada selama beberapa tahun. Episode meningkatnya keparahan gejala dan timbulnya
gejala yang baru dianggap bertahan selama 6 hingga 9 bulan dan dipisahkan periode
yang tidak terlalu simtomatik selama 9 hingga 12 bulan. Meskipun demikian, pasien
dengan gangguan somatisasi jarang selama lebih dari satu tahun tidak mencari
perhatian medis. Sering terdapat hubungan antara periode meningkatnya stres dan
memberatnya gejala somatik.

Terapi

Gangguan somatisasi paling baik diterapi ketika pasien memiliki satu dokter yang
diketahui sebagai dokter utamanya. Ketika lebih dari satu klinisi terlibat, pasien
memiliki kesempatan lebih untu mengekspresikan keluhan somatiknya. Dokter utama
har melihat pasien selama kunjungan yang terjadwal teratur. biasan dengan interval
satu bulan. Kunjungan ini harus relatif sinok walaupun pemeriksaan fisik parsial harus
dilakukan unt, memberikan respons terhadap keluhan somatik baru. Prosedur
laboratorium dan diagnostik tambahan umumnya harus dihindari Ketika diagnosis
gangguan somatisasi telah ditegakkan, dokter yang merawat harus mendengarkan
keluhan somatik sebagai ekspresi emosi, bukan sebagai keluhan medis. Meskipun
demikian, pasien dengan gangguan somatisasi juga dapat memiliki penyakit fisik
yang sesungguhnya: oleh sebab itu, dokter harus selalu menilai gejala mana yang
harus diperiksa dan sampai seberapa jauh.

Strategi jangka panjang yang beralasan untuk dokter di tempat pelayanan primer
yang merawat pasien dengan gangguan somatisasi adalah meningkatkan kesadaran
pasien akan kemungkinan bahwa faktor psikologis terlibat dalam gejala sampai pasien
mampu menemui klinisi kesehatan jiwa. Pada kasus yang rumit dengan banyak
tampilan medis, psikiater lebih mampu menilai apakah harusmencari konsultasi medis
atau operasi berdasarkan kemampuan medisnya meskipun demikian, profesional
kesehatan jiwa nonmedis juga dapat menggali hal psikologis sebelumnya dari
gangguan tersebut terutama jika erat berkonsultasi dengan dokter.
Psikoterapi, baik individu maupun kelompok akan menurunkan pengeluaran
untuk perawatan kesehatan pribadi pasien hingga 50 persen, sebagian besar dengan
menurunkan angka perawatan rumah sakit. Pada lingkungan psikoterapi, pasien
dibantu beradaptasi dengan gejalanya, mengekspresikan emosi yang mendasari dan
membangun strategi alternatif untuk mengekspresikan perasaannya.

Memberikan obat psikotropik ketika gangguan somatisasi timbul bersamaan


dengan gangguan mood atau gangguan ansietas selalu memiliki risiko, tetapi juga
diindikasi terapi psikofarmakologis dan terapi psikoterapeutik pada gangguan yang
timbul bersamaan. Obat harus diawasi karena pasien dengan gangguan somatisasi
cenderung menggunakan obatnya dengan tidak teratur dan tidak dapat dipercaya.
Pada pasien tanpa gangguan jiwa lain, sedikit data yang tersedia menunjukkan bahwa
terapi farmakologis efektif bagi mereka.

Anda mungkin juga menyukai