Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

TETANUS NEONATORUM

Disusun oleh:

Stevania Nugralia Thielmanuela Izaak

406182006

Pembimbing:

dr. Ity Sulawati, Sp. A, M. Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIAWI

PERIODE 23 DESEMBER 2019 – 1 MARET 2020

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA


LEMBAR PENGESAHAN

Referat:

Tetanus Neonatorum

Disusun oleh:

Stevania Nugralia Thielmanuela Izaak (406182006)

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Ciawi

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Ciawi, 17 Januari 2020

dr. Ity Sulawati, Sp. A, M. Kes


LEMBAR PENGESAHAN

Referat:

Tetanus Neonatorum

Disusun oleh:

Stevania Nugralia Thielmanuela Izaak (406182006)

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Ciawi

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Mengetahui,

Kepala SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Ity Sulawati, Sp. A, M. Kes


BAB I

PENDAHULUAN

Tetanus neonatorum adalah suatu istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan


terjadinya penyakit tetanus pada neonatus (bayi berusia 3-28 hari). Tetanus neonatorum
merupakan suatu penyakit yang berbahaya dan memiliki tingkat morbiditas yang tinggi.
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani, dimana penyebaran infeksi
terutama terjadi melalui luka saat pemotongan tali pusat, proses partus yang kurang steril,
kebersihan tempat pelayanan persalinan, ataupun faktor kekebalan dari ibu hamil. Kondisi
ini memungkinkan adanya infeksi bakteri yang dapat membahayakan baik bagi bayi
maupun ibu melahirkan. Hal ini juga yang menyebabkan 90% kasus tetanus neonatorum
terjadi di negara negara yang kurang dan masih berkembang, di mana standar kesehatan
masih sangat rendah dan fasilitas kesehatan yang layak tidak tersedia atau terbatas.

Terapi pada tetanus neonatorum meliputi pemberian antitoksin tetanus, pelemas otot
dan pemberian makanan intravena. Selain itu juga dapat diberikan anti microbial,
debridement luka dan penanganan jalan napas pasien. Pencegahan penyakit ini menjadi
fokus utama WHO, yaitu dengan pemberian vaksin pada ibu sebelum atau selama masa
kehamilan, proses partus, serta penanganan paska melahirkan yang steril.

Penulisan referat ini bertujuan untuk lebih memahami tanda dan gejala penyakit
tetanus neonatorum serta bagaimana cara penatalaksanaannya dan komplikasi yang dapat
terjadi agar dapat menjadi perhatian agar dapat memberikan terapi yang terbaik.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Kata tetanus berasal dari bahasa Yunani tetanos yang berarti kencang atau tegang.
Tetanus merupakan suatu infeksi akut yang ditandai kondisi spastik paralisis yang
disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Tetanus berdasarkan
gejala klinisnya dapat dibagi menjadi 3 bentuk, yaitu tetanus generalisasi (umum), tetanus
local dan tetanus sefalik. Bentuk tetanus yang paling sering terjadi adalah tetanus
generalisasi dan juga merupakan bentuk tetanus yang paling berbahaya.
Neonatal (berasal dari neos yang berarti baru dan natus yang berarti lahir)
merupakan suatu istilah kedokteran yang digunakan untuk menggambarkan masa sejak bayi
lahir hingga usia 28 hari kehidupan.
Tetanus neonatorum merupakan suatu bentuk tetanus generalisasi yang terjadi pada
masa neonatal.

Epidemiologi
Tetanus neonatorum terjadi sama banyaknya baik pada laki-laki maupun wanita
(1:1), usia ibu yang paling sering mengalami tetanus maternal adalah antara usia 20-30 tahun
(berbanding lurus dengan usia melahirkan terbanyak). Tetanus neonatorum memiliki tingkat
morbiditas yang tinggi, dimana lebih 50% kasus tetanus neonatorum berakhir dengan
kematian. Menurut data UNICEF, setiap 9 menit, seorang bayi meninggal akibat penyakit
ini. WHO menyatakan bahwa tetanus neonatorum merupakan penyebab dari 14 % kematian
neonatus di seluruh dunia.
Pada tahun 2014 terdapat 75 kasus tetanus neonatorum di Indonesia dengan
kematian mencapai 49 orang atau 65,3 %.

Etiologi
Clostridium tetani adalah bakteri gram positif anaerob yang ditemukan di tanah dan
sebagai parasit di traktus intestinal mamalia (kotoran). Berbentuk batang dan memproduksi
spora, memberikan gambaran klasik seperti stik drum, meski tidak selalu terlihat. C.tetani
merupakan bakteri yang motil karena memiliki flagella, dimana menurut antigen flagella
nya, dibagi menjadi 11 strain. Namun ke sebelas strain tersebut memproduksi neurotoksin
yang sama. Spora yang diproduksi oleh bakteri ini tahan terhadap banyak agen desinfektan
baik agen fisik maupun agen kimia. Spora C.tetani dapat bertahan pada suhu panas (121ºC
selama 0-15 menit).

Gambar 1. Clostridium tetani, dengan bentukan khas “drum stik” pada bagian bakteri
yang berbentuk bulat tersebut spora dari C.tetani dibentuk. (dengan pembesaran
mikroskop 3000x).

Spora atau bakteri masuk ke dalam tubuh melalui luka terbuka. Ketika menempati
tempat yang cocok (anaerob) bakteri akan berkembang dan melepaskan toksin tetanus.
Dengan konsentrasi sangat rendah, toksin ini dapat mengakibatkan penyakit tetanus (dosis
letal minimum adalah 2,5x10-6 mg/kg). Sel yang terinfeksi oleh bakteri dengan mudah dapat
diinaktivasi dan bersifat sensitif terhadap beberapa antibiotik (mentronidazol, penisilin dan
lainnya). Bakteri ini jarang dikultur, karena diagnosanya berdasarkan klinis.

Patogenesis
Masa inkubasi pada bayi lebih cepat dibanding tetanus tipe lain yaitu berkisar antara
3-10 hari, dan biasanya bermanifestasi pada akhir minggu pertama atau awal minggu ke dua
pasca persalinan sehingga sering kali disebut sebagai penyakit hari ke tujuh (disease of the
seventh day). Hal ini membantu membedakan tetanus neonatorum dengan penyakit lain pada
neonatus, di mana pada penyakit lain akan muncul gejala pada 2 hari pertama kehidupan.
Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang
berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan
kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah,
trauma pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka
pada pembedahan dan pemotongan tali pusat yang tidak steril. Pada tetanus neonatorum, C.
tetani masuk melalui luka tali pusat, karena perawatan atau tindakan yang tidak memenuhi
syarat kebersihan, misalnya memotong tali pusat dengan bambu/ gunting yang tidak steril,
atau setelah tali pusat dipotong dibubuhi abu, tanah, minyak, daun-daunan dan sebagainya.
Spora Clostridium tetani yang masuk ke dalam tubuh tidak berbahaya sampai
dirangsang oleh beberapa faktor (kondisi anaerob), sehingga berubah menjadi bentuk
vegetative dan berbiak dengan cepat tetapi hal ini tidak mencetuskan reaksi inflamasi.
Gejala klinis sepenuhnya disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh sel vegetative yang
sedang tumbuh. Clostridium tetani menghasilkan dua eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan
tetanolisin. Tetanolisin yang dihasilkan bersifat sitolisin, dan mengawali infeksi bakteri ini
dengan merusak jaringan-jaringan yang belum nekrosis dan mengoptimalkan suasana
anaerob yang terbentuk pada situs luka selain itu juga menyebabkan hemolisis tetapi tidak
berperan dalam penyakit ini. Tetanospasmin sebagai neurotoksin kemudian menjadi agen
penyebab munculnya berbagai gejala klinis pada tetanus.
Dalam kondisi normal, sistem musculoskeletal akan bereaksi sesuai dengan sinyal
(aktif potensial) yang berasal dari neuron-neuron (eksitatorik dan inhibitorik). Sel-sel
neuron akan bereaksi terhadap suatu sinyal dengan menghasilkan neurotransmiter dan
dikeluarkan menggunakan suatu protein membran (synaptobrevin) menuju saraf motorik.
Neurotransmiter tersebut kemudian menyampaikan sinyal tersebut dan saraf motorik akan
merangsang serat otot untuk bereaksi.
Pada kontraksi otot skeletal, neuron eksitatorik akan mengeluarkan neurotransmiter
seperti asetilkolin untuk menyampaikan sinyal eksitatorik ke motor neuron yang
merangsang otot untuk berkontraksi, sementara itu neuron inhibitorik juga akan
menghasilkan neurotransmitter seperti GABA untuk membatasi gerakan dan menodulasi
kontraksi yang terjadi, di mana pada saat satu bagian otot berkontraksi, pada saat bersamaan
terdapat otot lain yang relaksasi (antagonis refleks). Infeksi Clostridium tetani menyebabkan
neuron inhibitorik gagal mengeluarkan neurotransmitter inhibitori, sehingga kontraksi yang
terjadi tidak diimbangi dengan inhibisi otot yang lain. Akibatnya baik otot agonis maupun
antagonis mengalami kontraksi dan tidak terkontrol sehingga terjadi spasme otot yang
menjadi gambaran khas pada tetanus.

Dampak lain dari toksin antara lain:


1. Dampak pada ganglion pre sum-sum tulang belakang disebabkan karena eksotoksin
memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan dan koordinasi impuls
sehingga tonus otot meningkat dan menjadi kaku.
2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada gangliosida serebri
diduga menyebabkan kekakuan dan spasme yang khas pada tetanus.
3. Dampak pada saraf autonom, terutama mengenai saraf simpatis dan menimbulkan gejala
keringat berlebihan, hipertemia, hipotensi, hipertensi, aritmia, heart block dan takikardi.

Gambar 2. Dampak tetanospasmin pada tubuh.

Tanda dan Gejala Klinis


Manifestasi awal yang ditemukan pada tetanus neonatorum dapat dilihat ketika bayi
malas minum dan menangis terus menerus, suhu tubuh bayi normal atau bisa meningkat
atau subfebris. Bayi kemudian akan kesulitan hingga tidak sanggup menghisap dan akhirnya
mengalami gangguan menyusu. Hal tersebut menjadi tanda khas onset penyakit ini.
Kekakuan rahang atau trismus mulai terjadi, dan mengakibatkan tangisan bayi berkurang
dan akhirnya berhenti. Trismus pada tetanus neonatus tidak sejelas pada penderita anak atau
dewasa, karena kekakuan otot leher lebih kuat dari otot masseter, sehingga rahang bawah
tertarik dan mulut justru agak membuka dan kaku sehingga bentukan mulut seperti mencucu
seperti mulut ikan karper. Kemudian terjadi kekakuan pada wajah di mana bibir tertarik ke
arah lateral, dan alis tertarik ke atas yang disebut risus sardonicus. Kaku kuduk, disfagia,
dinding abdomen kaku dan mengeras serta kekakuan pada seluruh tubuh akan menyusul
pada beberapa jam berikutnya.
Awalnya kekakuan tubuh yang terjadi bersifat periodik, dan dipicu oleh rangsangan
sensoris seperti suara, cahaya atau sentuhan. Kemudian kejang akan terjadi secara spontan
dan akhirnya terus menerus. Kesadaran bayi masih baik namun spasme dan kejang berulang
atau terus menerus yang terjadi akan mempengaruhi sistem saraf simpatis sehingga terjadi
vasokonstriksi pada saluran napas dan akan terjadi apneu dan bayi menjadi sianosis. Hal ini
merupakan penyebab kematian terbesar pada kasus tetanus neonatorum.
Pada saat spasme dan kejang berlangsung, kedua lengan biasanya akan fleksi pada
siku dan tertarik kearah badan, sedangkan kedua tungkai dorsofleksi dan kaki akan
mengalami hiperfleksi. Spasme pada otot punggung menyebabkan punggung tertarik
menyerupai busur panah atau disebut opisthotonus.
Jarak antara gejala pertama muncul sampai muncul gejala berikutnya pada kasus
neonatorum disebut periode onset. Periode onset ini berperan penting dalam menentukan
prognosis penyakit ini. Semakin pendek periode onset, semakin buruk prognosisnya.
Periode onset pada neonatus lebih pendek dibandingkan dengan anak atau dewasa di mana
lebih ke arah beberapa jam dari pada beberapa hari seperti pada dewasa. Hal ini mungkin
disebabkan jarak akson yang lebih pendek sehingga infeksi lebih cepat mencapai sistem
saraf pusat.

Tabel 1. Klasifikasi Ablett untuk Derajat Manifestasi Klinis


DERAJAT MANIFESTASI KLINIS
I : Ringan Trismus ringan sampai sedang; spastisitas umum tanpa spasme
atau gangguan pernapasan; tanpa disfagia/disfagia ringan
II : Sedang Trismus sedang; rigiditas dengan spasme ringan sampai sedang
dalam waktu singkat; laju napas >30x/menit; disfagia ringan
III : Berat Trismus berat; spastisitas umum; spasmenya lama; laju napas
>40x/menit; laju nadi > 120x/menit, apneic spell, disfagia berat
IV : Sangat berat (derajat III + gangguan sistem otonom termasuk
kardiovaskular) Hipertensi berat dan takikardia yang dapat
diselang-seling dengan hipotensi relatif dan bradikardia, dan
salah satu keadaan tersebut dapat menetap

Penegakan Diagnosis
Anamnesis:
 Bayi kesulitan hingga tidak sanggup menghisap dan akhirnya mengalami gangguan
menyusu
 Kekakuan rahang (trismus) dan mengakibatkan tangisan bayi berkurang hingga
akhirnya berhenti
 Terdapat kekakuan tubuh yang dipicu oleh rangsangan-rangsangan seperti suara atau
sentuhan. Kemudian kejang akan terjadi secara spontan dan akhirnya terus menerus

Pemeriksaan Fisik:

 Tali pusat bayi dapat ditemukan dalam kondisi kotor dan berbau merupakan tanda port
d’entrée Clostridium tetani.

Gambar 3. Kondisi tali pusat pada tetanus neonatorum.


 Mulut mencucu seperti mulut ikan (karpermond)
 Kekakuan pada wajah dimana bibir tertarik ke arah lateral, dan alis tertarik ke atas yang
disebut risus sardonicus. Ekspresi muka yang khas akibat kekakuan otot-otot mimik,
dahi mengkerut, alis terangkat, mata agak menyipit, sudut mulut keluar dan ke bawah.
Gambar 4. Risus sardonicus.
 Kaku kuduk hingga epistotonus akibat kekakuan otot leher, otot punggung, otot
pinggang, semua trunk muscle.

Gambar 5. Epistotonus.
 Pemeriksaan dengan spatula lidah dapat digunakan untuk mendeteksi dini penyakit ini.
Hasil positif ditunjukan ketika spatula menyentuh orofaring lalu terjadi spasme pada otot
maseter dan bayi menggigit spatula lidah. Uji spatula memiliki spesifisitas dan
sensitifitas yang tinggi (94%).

Gambar 6. Uji Spatula

Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus, beberapa hasil
pemeriksaan penunjang dibawah ini dapat ditemui pada kasus tetanus, antara lain:
a) Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka tetanus, namun
demikian, kuman Clostridium tetani dapat ditemukan di luka pada orang yang tidak
mengalami tetanus dan seringkali tidak dapat dikultur pada pasien tetanus.
b) Nilai hitung leukosit dapat tinggi
c) Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang normal
d) Kadar antitoksin didalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap sebagai imunisasi bukan
tetanus
e) Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat meningkat.
f) EMG dapat menunjukkan pelepasan subunit motorik yang terus menerus dan
pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang normal yang diamati setelah
potensial aksi.

Diagnosis Banding
Tetanus neonatorum memiliki ciri khas, namun demikian beberapa kelainan lainnya
dapat menyebabkan kejang pada neonatus dan harus dapat dibedakan dari tetanus
neonatorum. Secara umum penyebab kejang pada neonatus dapat dibagi menjadi 3 kategori:

1. Kongenital (anomaly cerebral)

2. Perinatal (komplikasi persalinan, trauma perinatal, anoxia, perdarahan

intracranial)

3. Postnatal (infeksi dan gangguan metabolisme)

Kerusakan otak oleh karena gangguan kongenital atau perinatal dapat menyebabkan
spasticity, gerakan tubuh yang jerky, dan kejang. Cerebral contusion, umumnya
berhubungan dengan trauma pada saat persalinan atau kesulitan obstetrik lainnya, dan
terjadi pada bayi cukup bulan. Sindrom kerusakan otak sering menyebabkan laxness of
mouth and tongue; refleks hisap hilang, dan bayi tidak dapat menelan sejak lahir. Tidak ada
kondisi yang menyebabkan trismus seperti tetanus.

Infeksi terpenting saat neonatus adalah meningitis, umumnya berhubungan dengan


septicemia. Meningitis neonatorum dapat disebabkan oleh Streptococcus grup B,
Escherichia coli, Lysteria monocytogenes, atau Klebsiella-Enterobacter-Serratia. Dua
infeksi pertama mencakup 70% penyebab infeksi sistemik oleh bakteri pada neonatus. Bayi
dengan meningitis datang dengan letargi, kejang, episode apneu, sulit minum, hipotermi
atau hipertermi, dan, kadang, respiratory distress pada minggu pertama. Gejala yang sering
ditemukan adalah ubun-ubun besar yang tegang.

Infeksi streptococcus grup B dapat mengenai bayi dengan berat badan lahir rendah
(BBLR). Onset gejala dapat awal, dalam 48 jam pertama kehidupan, atau telat, antara 10
hari sampai 4 bulan. Apneu merupakan gejala pertama yang sering ditemukan dan
pneumonia dengan gagal napas dapat terjadi.

Trismus tidak terdapat pada penyakit-penyakit di atas, dan sifat kejang berbeda
dengan yang disebabkan oleh tetanus. Kejang pada kondisi di atas umumnya terjadi dengan
gerakan yang lebih lambat dalam waktu yang lebih singkat dan umumnya hanya mengenai
satu bagian tubuh. Pada tetanus neonatorum, tidak ditemukan ubun-ubun tegang.

Gangguan metabolik meliputi hipoglikemi – terutama pada bayi BBLR atau bayi
dari ibu dengan diabetes – dan hipokalsemi. Insidens hipokalsemi pada neonatus tinggi pada
hari pertama, kedua, atau ketiga kehidupan, dan akhir minggu pertama. Hypocalcemic
tetany pada bayi baru lahir dapat menimbulkan kejang dan laringospasme. Kejang berbeda
dengan yang disebabkan oleh tetanus, dan umumnya disertai tremor dan muscle twitching,
sedangkan hipokalsemi tidak menimbulkan trismus atau rigiditas seluruh tubuh yang dilihat
pada tetanus. Bayi dengan hypocalcemic tetany kelihatan normal di antara episode kejang.

Penatalaksanaan
Luka harus dibersihkan secara menyeluruh dan di debridement untuk mengurangi
muatan bakteri dan mencegah pelepasan toksin lebih lanjut.
Tujuan dari terapi adalah menetralkan toksin yang beredar sebelum toksin masuk ke
dalam sistem saraf pusat, menurunkan produksi toksin yang lebih banyak, mengontrol gejala
neuromuskuler dan otonom yang muncul serta mempertahankan kondisi pasien sampai efek
toksin menghilang. Efikasi terapi dipengaruhi oleh faktor prognostik seperti masa inkubasi,
jangka waktu antara gejala pertama yang muncul dan spasme yang pertama (interval onset),
frekuensi dan durasi spasme, demam dan komplikasi respiratorius yang terjadi.
Perawatan suportif sangat penting, menjaga jalan napas tetap terbuka untuk
mendapatkan ventilasi yang adekuat merupakan langkah yang sangat penting. Pemasangan
kateter saluran kencing bisa dilakukan bila terjadi retensi urin. Manajemen lainnya yang
penting adalah perawatan untuk mencegah pneumonia aspirasi dan atelektasis serta
menurunkan rangsangan yang dapat mencetuskan kejang. Pasien paling baik dirawat pada
bangsal terbuka yang mudah dilihat, terdapat akses terhadap tindakan keperawatan yang
cepat dan peralatan resusitasi. ASI harus tetap diberikan dan ibu harus didorong untuk
berpartisipasi dalam observasi dan perawatan pasien. ASI peras dapat diberikan melalui pipa
lambung diantara periode spasme. Pemberian ASI dimulai dengan setengah kebutuhan per
hari dan dinaikkan bertahap sehingga mencapai jumlah yang mencukupi kebutuhannya
dalam 2 hari
Antibiotika diberikan untuk mengeradikasi bakteri, sedangkan efek untuk tujuan
pencegahan tetanus secara klinis adalah minimal. Pada penelitian di Indonesia,
metronidazole telah menjadi terapi pilihan di beberapa pelayanan kesehatan. Metronidazole
diberikan secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari
setiap 6 jam selama 7-10 hari. Metronidazole efektif mengurangi jumlah kuman C. tetani
bentuk vegetatif.
Sebagai lini kedua dapat diberikan penicillin procain 50.000-100.000
U/kgBB/hari selama 7-10 hari. Penicillin membunuh bentuk vegetatif C. tetani. Sampai saat
ini, pemberian penicillin G 100.000 U/kgBB/hari iv, setiap 6 jam selama 10 hari
direkomendasikan pada semua kasus tetanus. Sebuah penelitian menyatakan bahwa
penicillin mungkin berperan sebagai agonis terhadap tetanospasmin dengan menghambat
pelepasan asam aminobutirat gama (GABA).
Antitoksin tetanus 5000 U intramuskular atau human tetanus immunoglobulin
500 U intramuskular dapat diberikan untuk menetralkan toksin yang beredar dan tak terikat.
Antitoksin tetanus tidak memiliki efek terhadap toksin yang terikat pada sistem saraf pusat.
Meskipun sistem saraf pusat sering terpengaruh oleh toksin sebelum gejala muncul namun
pasien yang diberikan antitoksin menunjukkan kondisi yang lebih baik dibandingkan
dengan pasien yang tidak diberikan antitoksin.
Terapi medikamentosa pilihan untuk menghentikan spasme adalah diazepam
dengan dosis 10 mg/kg/hari secara intravena dalam 24 jam atau dengan bolus intravena
setiap 3 jam dengan dosis 0,5 mg/kg per kali pemberian dengan maksimum dosis 40
mg/kg/hari. Bila jalur intravena tidak terpasang, diazepam dapat diberikan melalui pipa
lambung atau melalui rektal. Bila perlu, dapat diberikan dosis tambahan 10 mg/kg/hari.
Pemberian diazepam harus dihentikan apabila frekuensi napas < 30 kali/menit, kecuali jika
tersedia ventilator mekanik. Pemberian kortikosteroid pada tata laksana tetanus neonatorum
belum terbukti.
Pencegahan/Profilaksis
1. Proses persalinan yang steril yang didukung tenaga medis dan peralatan medis yang
mendukung
2. Pendidikan dan pengarahan tentang pentingnya persalinan yang steril dan
sosialisasi vaksinasi tetanus pada ibu hamil khususnya yang belum mendapat
vaksinasi atau dengan riwayat vaksinasi yang belum jelas.
3. Imunisasi pada ibu hamil merupakan fokus primer dalam pencegahan tetanus
neonatorum

Vaksinasi Tetanus
Vaksin terdiri dari mikroorganisme atau komponen seluler yang bertindak sebagai
antigen. Pemberian vaksin menstimulasi produksi antibodi dengan protein spesifik.
Pemberian vaksin tetanus toksoid dilakukan untuk profilaksis jika riwayat vaksin tidak
diketahui atau kurang dari 3 kali imunisasi TT.1
Imunisasi tetanus pada wanita masa subur (12 atau 15 tahun sampai 45 tahun) atau
sedang mengandung merupakan cara pencegahan tetanus neonatorum yang paling mudah
dan efektif.7 Melalui imunisasi tetanus lengkap, proteksi terhadap infeksi tetanus
mencapai lebih dari 90%.
Wanita tanpa adanya riwayat imunisasi tetanus harus diberikan dua dosis tetanus
toxoid (TT) atau difteri tetanus toxoid (Td) atau DPT (difteri pertusis tetanus) dengan jarak
antar dosis minimal 4 minggu. Dosis ke 3 diberikan 6-12 bulan kemudian, dosis ke 4 satu
tahun sesudah pemberian dosis ke 3, dan dosis ke 5, 1 tahun setelah pemberian dosis ke 4.
Pada wanita yang sudah pernah diimunisasi 1 kali baik dengan TT, Td, atau DPT,
dapat diberikan booster setiap 10 tahun.
Pada wanita hamil dengan riwayat imunisasi yang jelas, harus diberikan vaksin
pertama secepatnya dan disusuli oleh dosis ke 2 maksimal 3 minggu sebelum melahirkan.
Wanita yang sudah mendapat 2 dosis vaksin pada kehamilan sebelumnya harus
diberikan dosis ke 3 pada kehamilan berikutnya. Dosis ke 3 ini dapat memberikan
perlindungan hingga 5 tahun.

Tabel 2 Rekomendasi jadwal imunisasi tetanus toxoid (TT) dan tetanus dan difteri
toxoid (Td) untuk wanita pada masa subur yang belum divaksinasi
Dosis Jadwal Pemberian
TT1 atau Td1 Pada kontak pertama atau sedini mungkin saat kehamilan

TT2 atau Td2 Paling sedikit 4 minggu setelah dosis pertama


TT3 atau Td3 6-12 bulan setelah dosis kedua atau pada kehamilan berikutnya

TT4 atau Td4 1-5 tahun setelah dosis ketiga atau saat kehamilan berikutnya

TT5 atau Td5 1-10 tahun setelah dosis keempat atau saat kehamilan
berikutnya

Tabel 3 Efikasi vaksin tetanus toxoid berdasarkan dosis


Dosis Interval minimum Percent protected Durasi proteksi
antar dosis

TT1 - - -
TT2 4 minggu 80% 3 tahun
TT3 6 bulan 95% 5 tahun
TT4 1 tahun 99% 10 tahun
TT5 1 tahun 99% Mungkin seumur
hidup

Perawatan Persalinan dan Pasca Persalinan

Perawatan persalinan dan pasca persalinan yang bersih dan steril secara signifikan
dapat menurunkan jumlah infeksi perinatal, termasuk di dalamnya tetanus neonatorum.
Persalinan yang bersih didefinisikan sebagai suatu persalinan yang dibantu oleh tenaga
medis di dalam suatu institusi medis atau dilakukan di rumah dengan bantuan bidan dengan
prosedur persalinan yang higienis (memastikan kebersihan tangan, tali pusat, perineum, dan
semua substans yang digunakan).

Komplikasi
Komplikasi yang ditemui pada tetanus neonatorum dapat ditemui saat terjadinya
tetanus dan memperburuk keadaan bayi atau dapat pula berupa komplikasi jangka panjang,
adapun komplikasi yang dapat ditemui pada tetanus neonatorum antara lain:
1. Laringospasme yaitu spasme dari laring dan atau otot pernapasan menyebabkan
gangguan ventilasi. Hal ini merupakan penyebab utama kematian pada kasus tetanus
neonatorum.
2. Fraktur dari tulang punggung atau tulang panjang akibat kontraksi otot berlebihan yang
terus menerus. Terutama pada neonatus, dimana pembentukan dan kepadatan tulang
masih belum sempurna.
3. Hiperadrenergik menyebabkan hiperakitifitas sistem saraf otonom yang dapat
menyebabkan takikardi dan hipertensi yang pada akhirnya dapat menyebabkan henti
jantung (cardiac arrest). Merupakan penyebab kematian neonatus yang sudah
distabilkan jalan napasnya.
4. Sepsis akibat infeksi nosokomial, infeksi sekunder (cth: Bronkopneumonia)
5. Pneumonia aspirasi, sering kali terjadi akibat aspirasi makanan ataupun minuman yang
diberikan secara oral pada saat kejang berlangsung.
Komplikasi jangka panjang dapat ditemukan defisit neurologis pada sebagian
penderita tetanus neonatorum yang selamat. Gejala yang muncul dapat berupa cerebral
palsy, gangguan perkembangan intelektual maupun gangguan perilaku. Gejala tersebut
didapatkan pada anak-anak berusia 7-12 tahun. Hal ini diperkirakan terjadi akibat anoksia
yang terjadi semasa kejang yang terjadi.

Prognosis
Prognosis bergantung pada masa inkubasi, waktu yang dibutuhkan dari inokulasi
spora hingga gejala muncul, dan waktu dari pertama kali munculnya gejala hingga spasme
tetanik yang pertama. Statistik terbaru menunjukkan tingkat mortalitas pada tetanus ringan-
sedang mencapai 6%. Sedangkan tetanus berat memiliki tingkat mortalitas 60%.
Suatu sistem penilaian untuk menilai prognosis dari tetanus dibuat oleh sebuah
tim dari Senegal. Semakin tinggi nilai yang didapat, semakin buruk prognosisnya.

Tabel 4. Sistem skor untuk menentukan prognosis Tetanus

No. Faktor Prognosis 1 point 0 point

1 Masa Inkubasi < 7 hari >7 hari

2 Masa Onset < 2 hari >2hari


3 Situs masuk kuman (port of entry) Umbilikus, uterus, Situs lain atau tidak
luka bakar, fraktur diketahui
terbuka, injeksi
intramuskular
4 Spasme yang muncul mendadak, ya Tidak
dan bertambah buruk (paroxysm)

5 Suhu (diukur melalui rectal) >38,4o C ≤38,4o C

6 Nadi : pada dewasa : > 120x/menit <120x/menit


pada neonatus : > 150x/ menit <150x/menit
BAB III

KESIMPULAN

1. Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus (bayi berusia
kurang dari 1 bulan) yang disebabkan oleh Clostridium tetani dan menyerang sistem saraf
pusat. Spora kuman masuk ke dalam tubuh bayi melalui tali pusat yang dapat terjadi pada
saat pemotongan tali pusat ketika bayi lahir maupun pada saat perawatan sebelum puput
(terlepasnya tali pusat).
2. Manifestasi awal yang ditemukan pada tetanus neonatorum dapat dilihat ketika bayi malas
minum, menangis terus menerus, hingga tidak sanggup menghisap dan akhirnya
mengalami gangguan menyusu. Kekakuan rahang atau trismus mulai terjadi, dan
mengakibatkan tangisan bayi berkurang dan akhirnya berhenti. Kemudian terjadi kekakuan
pada wajah (risus sardonicus). Kaku kuduk, disfagia, dinding abdomen kaku dan mengeras
serta kekakuan pada seluruh tubuh akan menyusul pada beberapa jam berikutnya, dipicu
oleh rangsangan sensoris seperti suara, cahaya atau sentuhan. Kemudian kejang akan terjadi
secara spontan dan akhirnya terus menerus.
3. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus, beberapa hasil pemeriksaan
penunjang dibawah ini dapat ditemui pada kasus tetanus, antara lain pemeriksaan biakan
pada luka, nilai hitung leukosit, pemeriksaan cairan serebrospinal, kadar antitoksin didalam
darah, kadar enzim otot dan EMG.
4. Penatalaksanaan tetanus neonatorum pada dasarnya sama dengan tetanus lainnya, yaitu
meliputi terapi suportif (sedasi, pelemas otot, dsb).
DAFTAR PUSTAKA

1. Amon S. 2012. Tetanus dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson edisi 15 volume 2. Jakarta:
EGC.
2. Angelia, D I. 2013. Tetanus Neonatorum. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Trisakti.
3. Hassel B. 2013. Tetanus: Pathophysiology, Treatment, and the Possibility of Using
Botulinum Toxin against Tetanus-Induced Rigidity and Spasms. Review Journal. [cited:
May 2016] [available from: URL:http://www.researchgate.net/].
4. Mardjono. 2009. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.
5. Pudjiadi, H A, dkk, 2009. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta: IDAI.
6. Simanjuntak, P. 2013. Penatalaksanaan Tetanus pada Pasien Anak. Medula Vol 1 No 4.
Hal 85-93.
7. WHO, 2008. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta: WHO
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai