CARSINOMA SERVIKS
I. DEFINISI
Kanker serviks merupakan keganasan yang berasal dari serviks. Serviks merupakan
sepertiga bagian bawah uterus, berbentuk silindris, menonjol, dan berhubungan dengan
vagina melalui ostium uteri eksternum (Kemenkes RI, 2019).
Kanker serviks adalah penyakit akibat tumor ganas pada daerah mulut rahim sebagai
akibat dari adanya pertumbuhan jaringan yang tidak terkontrol dan merusak jaringan normal
disekitarnya (Williams & Wilkins, 2011).
Kanker serviks adalah pertumbuhan sel – sel mulut rahim atau serviks yang abnormal
dimana sel – sel ini mengalami perubahan kearah dysplasia atau keganasan. Kanker ini hanya
meyerang pada wanita yang pernah atau sekarang dalam status sexually active. Tidak pernah
ditemukan pada wanita yang belum pernah melakukan hubungan seksual menderita kanker
ini. Biasanya kanker serviks menyerang wanita yang berusia 30 – 45 tahun. Akan tetapi,
tidak mustahil pada wanita yang muda pun dapat menderita penyakit ini, asalkan memiliki
faktor resikonya (Brunner & Sudarth, 2002).
Jadi, kanker serviks merupakan pertumbuhan sel yang abnormal yang terjadi di mulut
rahim atau serviks yang pada akhirnya akan merusak jaringan normal sekitarnya.
II. KLASIFIKASI
Tingkat Kriteria
0 KIS (Karsinoma in Situ) atau karsinoma intra epitel, membrane basalis
masih utuh.
I Proses terbatas pada serviks walaupun ada perluasan ke korpus uteri.
Ia Karsinoma mikro invasif: bila membrana basalis sudah rusak dan
tumor sudah memasuki stroma tdk> 3mm dan sel tumor tidak terdapat
dalam Ib occ Ib II IIa IIb III IIIa IIIb IV IVa Ivb pembuluh
limfe/pembuluh darah. Kedalaman invasi 3mm sebaiknya diganti
dengan tdk> 1mm.
Ib occ Ib occult = Ib yang tersembunyi, secara klinis tumor belum tampak
sebagai Ca, tetapi pada pemeriksaan histologik, ternyata sel tumor
telah mengadakan invasi stroma melebihi Ia.
Ib Secara klinis sudah diduga adanya tumor yang histologik
menunjukkan invasi ke dalam stroma serviks uteri.
II Proses keganasan sudah keluar dari serviks dan menjalar ke2/3 bagian
atas vagina dan ke parametrium, tetapi tidak sampai dinding panggul.
IIa Penyebaran hanya ke vagina, parametrium masih bebas dari infiltrat
tumor
IIb Penyebaran ke parametrium uni/bilateral tetapi belum sampai ke
dinding panggul.
III Penyebaran telah sampai ke 1/3 bagian distal vagina / ke parametrium
sampai dinding panggul.
IIIa Penyebaran telah sampai ke 1/3 bagian distal vagina, sedang ke
parametrium tidak dipersoalkan asal tidak sampai dinding panggul.
IIIb Penyebaran sudah sampai ke dinding panggul, tidak ditemukan daerah
bebas infiltrasi antara tumor dengan dinding panggul (frozen pelvic)/
proses pada tk klinik I/II, tetapi sudah ada gangguan faal ginjal.
IV Proses keganasan telah keluar dari panggul kecil dan melibatkan
mukosa rektum dan atau kandung kemih.
Iva Proses sudah keluar dari panggul kecil, atau sudah menginfiltrasi
mukosa rektum dan atau kandung kemih.
IVb Telah terjadi penyebarn jauh.
Tabel 1. Klasifikasi Carsinoma Serviks
III. ETIOLOGI
Penyebab utama kanker serviks adalah virus yang disebut human papilloma (HPV).
Human papiloma yang tersebar luas, dapat menginfeksi kulit dan mukosa epitel. HPV dapat
menyebabkan manifestasi klinis baik lesi yang jinak maupun lesi kanker. Tumor jinak yang
disebabkan infeksi human papilloma, yaitu veruka dan kondiloma akuminata. Sedangkan,
pada tumor ganas, yaitu anogenital adalah kanker serviks, vulva vagina, anus, dan penis.
Sifat onkogenik human papilloma dikaitkan dengan protein virus E6 dan E7 yang
menyebabkan peningkatan proliferasi sel sehingga terjadi lesi pre kanker yang kemudian
dapat berkembang menjadi kanker.
Pada stadium kanker lanjut, badan menjadi kurus karena kekurangan gizi, edema pada
kaki, timbul iritasi pada kandung kemih, terbentuknya viskelvaginal dan rektovaginal, atau
timbul gejala lainnya yang disebabkan oleh metastasis jauh dari kanker serviks itu sendiri.
VI. PATOFISIOLOGI
Siklus pembelahan sel terdiri dari 4 fase, yaitu G1, S, G2, dan M. Selama fase S, terjadi
replikasi DNA, fase M terjadi pembelahan sel atau miosis, dan fase G berada pada sebelum
fase S dan M. Dalam siklus sel pS3 dan pRb berperan penting, dimana pS3 berpengaruh
pada transisi G2-M dan juga transisi G1-S, sedangkan pRb berpengaruh pada transisi G1-S.
Mutasi yang menyebabkan inaktifasi fungsi pS3 dan pRb menyebabkan poliferasi yang tidak
dapat dikontrol.
Infeksi dimulai dari virus yang masuk kedalam sel melalui mikro abrasi jaringan
permukaan epitel, sehingga dimungkinkan sel masuk kedalam sel basal. Sel basal terutama
sel stem terus membelah, bermigrasi mengisi sel bagian atas, berdiferensiasi, dan
mensitensis keratin. Protein virus pada infeksi HPV mengambil alih perkembangan siklus
sel dan mengikuti diferensiasi sel.
HPV merupakan faktor insiator dari kanker serviks yang menyebabkan terjadinya
gangguan sel serviks. Integrasi DNA virus dengan genom sel tubuh merupakan awal dari
proses yang mengarah transformasi. Genom HPV terbentuk sirkuler dan panjangnya 8 kb.
Gen E mengsintesis 6 protein E, yaitu E1, E2, E4, E5, E6, dan E7, yang banyak terkait dalam
proses replikasi virus dan onkegon, sedangkan gen L mengsintesis 2 protein L, yaitu L1 dan
L2 yang terkait dengan pembentukkan kapsid.
Protein E6 dan E7 disebut onkogen karena kemampuannya mengikat protein
proapoptik, pS3, dan pRb sehingga sel yang terinfeksi aktif berproliferasi yang
mengakibatkan terjadinya lesi pre-kanker yang kemudian dapat berkembang menjadi
kanker.
E6 mempunyai fungsi lain yang penting, yaitu mengaktifasi telomerase pada sel yang
terinfeksi HPV. Pada keadaan normal replikasi DNA akan memperpendek telomere, namun
bila ada E6 telomere akan tetap diperpanjang melalui aktifitas katalitik sub unit telomerase,
human reverse transcriptase (hTERT). E6 membuat komplek dengan Myc atau Mac protein
dan Sp-1 yang akan mengikat enzim hTERT di region promoter dan menyebabkan
peningkatan aktifitas telomerase sel. Sel akan terus berpoliferasi atau imortalitas.
E7 merupakan HPV onkoprotein kedua yang berperan penting dalam pathogenesis
selain E6. Protein E7 mampu berikatan dengan family Rb. Protein Rb family berfungsi untuk
mencegah perkembangan siklus sel yang berlebihan sampai sel siap membelah diri dengan
baik.
Hambatan kedua TSG menyebabkan siklus sel tidak terkontrol, perbaikan DNA tidak
terjadi, dan apoptosis tidak terjadi. Sel – sel yang mengalami mutasi dapat berkembang
menjadi sel dysplasia. Dimulai dari dysplasia ringan, dysplasia sedang, dysplasia berat,
karsinoma in situ, dan kemudian berkembang menjadi karsinoma invasive. Tingkat dysplasia
dan karsinoma in situ dikenal juga sebagai tingkat pra-kanker.
(Andrijono, 2007 dan Lukman H., 2010)
VII. PATHWAY
Menyebar ke Pembesaran
Pelvik Massa
Nafsu Makan
Intoleransi Perdarahan
Menurun
Aktivitas
Pembentukkan
Anemia Resiko
Asam Laktat
Ketidakseimbangan
Volume Cairan
Hb Menurun
Kelelahan
Defisit Suplai O2
Menurun
Perawatan Diri
Metabolisme
Anaerob
Terapi
Alopecia
Ansietas Intoleransi
Aktivitas
Gangguan Citra
Tubuh
I. DEFINISI
Hipoalbuminemia adalah kadar albumin yang rendah atau dibawah nilai normal atau
keadaan dimana kadar albumin serum < 3,5 g/dL (M. Sjaifullah Noer., Ninik Soemyarso,
2006). Hipoalbuminemia mencerminkan pasokan asam amino yang tidak memadai dari
protein, sehingga mengganggu sintesis albumin serta protein lain oleh hati (Murray, et al.,
2003). Di Indonesia, data hospital malnutrition menunjukkan 40 – 50% pasien mengalami
hipoalbuminemia atau berisiko hipoalbuminemia, 12% diantaranya hipoalbuminemia berat,
serta masa rawat inap pasien dengan hospital malnutrition menunjukkan 90% lebih lama
daripada pasien dengan gizi baik (Tri Widyastuti., M. Dawan Jamil, 2005).
II. KLASIFIKASI
Klasifikasi defisiensi albumin atau hipoalbuminemia dibedakan berdasarkan selisih
atau jarak dari nilai normal kadar albumin serum, yaitu 3,5 – 5 g/dl atau total kandungan
albumin dalam tubuh adalah 300 – 500 gram. Klasifikasi hipoalbuminemia menurut Agung
dan Hendro (2005), adalah sebagai berikut :
1) Hipoalbuminemia ringan : 3,5 – 3,9 g/dl
2) Hipoalbuminemia sedang : 2,5 – 3,5 g/dl
3) Hipoalbuminemia berat : < 2,5 g/dl
III. ETIOLOGI
Menurut Iwan (2005), hipoalbuminemia adalah suatu masalah umum yang terjadi pada
pasien. Hipoalbuminemia dapat disebabkan oleh diantaranya adalah :
1) Masukan protein yang rendah.
2) Pencernaan atau absorbsi protein yang tak adekuat.
3) Peningkatan kehilangan protein yang dapat ditemukan pada pasien dengan kondisi
medis kronis serta akut, yaitu kurang energi protein, kanker, peritonitis, luka bakar,
sepsis, luka akibat pre, dan post pembedahan (penurunan albumin plasma yang terjadi
setelah trauma), penyakit hati akut yang berat atau penyakit hati kronis (sintesa
albumin menurun), penyakit ginjal, penyakit saluran cerna kronik, radang atau infeksi
tertentu (akut dan kronis), diabetes mellitus dengan gangren, dan tbc paru.
I. DEFINISI
Anemia merupakan keadaan di mana masa eritrosit dan atau masa hemoglobin yang
beredar tidak memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh. Secara
laboratories, anemia dijabarkan sebagai penurunan kadar hemoglobin, hitung eritrosit, dan
hematokrit di bawah normal. Untuk memenuhi definisi anemia, maka perlu ditetapkan batas
hemoglobin atau hematokrit yang dianggap sudah terjadi anemia. Batas tersebut sangat
dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, dan ketinggian tempat tinggal dari permukaan laut.
Batasan umum yang digunakan adalah kriteria WHO. Dinyatakan sebagai anemia bila
terdapat nilai dengan kriteria sebagai berikut :
1) Laki – laki dewasa : Hb <13 gr/dL
2) Perempuan dewasa tidak hamil : Hb <12 gr/dL
3) Perempuan hamil : Hb <11 gr/dL
4) Anak usia 6-14 tahun : Hb <12 gr/dL
5) Anak usia 6 bulan – 6 tahun : Hb <11 gr/dL
Menurut Handayani & Haribowo (2008), untuk kriteria anemia diklinik, rumah sakit,
atau praktik klinik pada umumya dinyatakan anemia bila terdapat nilai, sebagai berikut :
1) Hb <10 gr/dL
2) Hematokrit <30%
3) Eritrosit <2,8 juta/mm3
II. KLASIFIKASI
Derajat pada anemia ditentukan oleh kadar Hb. Menurut Handayani & Haribowo
(2008), klasifikasi derajat anemia yang umum dipakai, adalah sebagai berikut :
1) Ringan sekali : Hb 10 gr/dL – 13 gr/dL
2) Ringan : Hb 8 gr/dL – 9,9 gr/dL
3) Sedang : Hb 6 gr/dL – 7,9 gr/dL
4) Berat : Hb <6 gr/Dl
III. ETIOLOGI
a) Gejala umum
Gejala umum disebut juga sebagai sindrom anemia. Gejala umum sindrom anemia
adalah gejala yang timbul pada semua jenis anemia pada kadar hemoglobin yang
sudah menurun sedemikian rupa dibawah titik tertentu. Gejala ini timbul karena
anoksia organ target dan mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan
hemoglobin. Gejala – gejala tersebut apabila diklasifikasikan menurut organ yang
terkena, yaitu sebagai berikut :
1) Sistem kardiovaskuler
Lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi, sesak napas saat beraktifitas, angina
pectoris, dan gagal jantung.
2) Sistem saraf
Sakit kepala, pusing, telinga mendengung, mata berkunang – kunang, kelemahan
otot, iritabilitas, lesu, dan perasaan dingin pada ekstermitas.
3) Sistem urogenital
Gangguan haid dan libido menurun.
4) Epitel
Warna pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit menurun, dan rambut
semakin menipis.
b) Gejala khas masing – masing anemia
1) Anemia defisiensi besi : disfagia, atropi papil lidah, dan stomatitis angularis.
2) Anemia difisiensi as.folat : lidah merah atau buffy tongue.
3) Anemia hemolitik : ikterus dan hepatospenomegali.
4) Anemia aplastik : perdarahan kulit, mukosa, dan tanda – tanda infeksi.
V. PENATALAKSANAAN MEDIS
a) Terapi gawat darurat
Pada kasus anemia dengan lemah jantung atau ancaman lemah jantung, maka harus
segera diberikan terapi darurat dengan tranfusi sel darah merah yang dimampatkan
untuk mencegah perburukan lemah jantung tersebut.
b) Terapi khas untuk masing – masing anemia
Menurut Handayani & Haribowo (2008), penatalaksanaan terapi khas untuk
masing – masing anemia, adalah sebagai berikut :
1. Anemia defisiensi besi
Mengatasi penyebab perdarahan kronik, misalnya pada ankilostomiasis
diberikan antelmintik yang sesuai.
Pemberian preparat Fe.
Pengobatan anemia defisiensi zat besi biasanya terdiri dari suplemen
makanan dan terapi zat besi. Kekurangan zat besi dapat diserap dari sayuran,
produk biji – bijian, produk susu, dan telur.
2. Anemia pernisosa
Pemberian vitamin B12 1.000 mg/hari secara intramuscular selama 5 – 7
hari, 1 kali tiap bulan.
3. Anemia defisiensi asam folat
Pengobatan terhadap penyebabnya dan dapat dilakukan pula dengan
pemberian atau suplementasi asam folat oral 1 mg per hari.
4. Anemia pada penyakit kronik
Pada anemia yang mengancam nyawa, dapat diberikan transfusi darah
merah seperlunya. Pengobatan dengan suplementasi besi tidak
diindikasikan. Pemberian kobalt dan eritropoeitin dikatakan dapat
memperbaiki anemia pada penyakit kronik.
5. Anemia aplastik
Sebaiknya diberikan transfusi darah merah. Bila diperlukan trombosit,
berikan darah segar atau platelet concentrate.
Atasi komplikasi (infeksi) dengan antibiotik. Lakukan Hygiene yang baik
perlu untuk mencegah timbulnya infeksi.
Kortikosteroid diberikan dengan dosis rendah mungkin bermanfaat pada
perdarahan akibat trombositopenia berat.
Berikan androgen, seperti fluokrimesteron, testosteron, metandrostenolon,
dan nondrolon. Efek samping yang mungkin terjadi, virilisasi, retensi air dan
garam, perubahan hati, dan amenore.
Pemberian imunosupresif seperti siklosporin, globulin antitimosit.
Champlin, dan sebaginya menyarankan penggunaannya pada pasien >40
tahun yang tidak menjalani transplantasi sumsum tulang dan pada pasien
yang telah mendapat transfusi berulang.
Transplantasi sumsum tulang.
6. Anemia hemolitik
Penatalaksanaan anemia hemolitik disesuaikan dengan penyebabnya. Bila
karena reaksi toksik - imunologik, yang dapat diberikan adalah
kortikosteroid. Jika perlu dilakukan splenektomi. Apabila keduanya tidak
berhasil, dapat diberikan obat sitostatik, seperti klorambusil dan
siklofosfamid.
c) Terapi kasual
Terapi kausal merupakan terapi untuk mengobati penyakit dasar yang menjadi
penyebab anemia. Misalnya, anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh infeksi
cacing tambang harus diberikan obat anti cacing tambang.
d) Terapi ex-juvantivus
Terapi yang terpaksa diberikan sebelum diagnosis dapat dipastikan, jika terapi ini
berhasil, berarti diagnosis dapat dikuatkan. Terapi ini hanya dilakukan jika tidak
tersedia fasilitas diagnosis yang mencukupi. Pada pemberian terapi jenis ini, penderita
harus diawasi dengan ketat. Jika terdapat respon yang baik, terapi diteruskan, tetapi
jika tidak terdapat respon, maka harus dilakukan evaluasi kembali.
SUSPECT METASTASE PARU
I. DEFINISI
Kanker paru adalah tumor ganas paru primer yang berasal dari saluran napas atau epitel
bronkus. Terjadinya kanker ditandai dengan pertumbuhan sel yang tidak normal, tidak
terbatas, dan merusak sel – sel jaringan yang normal. Proses keganasan pada epitel bronkus
didahului oleh masa pra-kanker. Perubahan pertama yang terjadi pada masa pra-kanker
disebut metaplasia skuomosa yang ditandai dengan perubahan terbentuk epitel dan
menghilangnya silia (Robbin & Kumar, 2007).
II. KLASIFIKASI
Kanker paru dibagi menjadi kanker paru sel kecil (SCLC) dan kanker paru sel tidak
kecil (NSLC). Klasifikasi ini digunakan untuk menentukan terapi. Termasuk didalam
golongan kanker paru sel tidak kecil adalah epidermoid, adenokarsinoma, tipe – tipe sel
besar, dan campuran dari ketiganya.
a) Karsinoma selskuomosa
Merupakan tipe histologik kanker paru yang paling sering ditemukan, berasal dari
permukaan epitel bronkus. Perubahan termasuk metaplasia, dysplasia akibat merokok
jangka panjang, secara khas mendahului timbulnya tumor. Karsinoma selskuomosa
biasanya terletak disentral sekitar hilus dan menonjol kedalam bronchi besar.
b) Adenakarsinoma
Memperlihatkan susunan seluler seperti kelenjar bronkus dan mengandung mukus.
Kebanyakan jenis tumor ini timbul dibagian perifer segmen bronkus dan kadang –
kadang dapat dikaitkan dengan jaringan parut lokal pada paru dan tibrosis interstinal
kronik. Lesi sering kali meluas ke pembuluh darah dan limfe pada stadium dini dan
sering bermetastase jauh sebelum lesi primer menyebabkan gejala.
c) Karsinoma bronko alveolus
Dimasukkan sebagai sub tipe denokarsinoma dalam klasifikasi terbaru tumor paru di
WHO. Karsinoma ini adalah sel – sel ganas yang besar dan berditerensiasi sangat
buruk dengan sitoplasma yang besar dan ukuran inti bermacam – macam. Sel – sel ini
cenderung timbul pada jaringan paru perifer, tumbuh cepat dengan penyebaran
ekstensif dan cepat ke tempat – tempat yang jauh.
d) Karsinoma sel kecil
Umumnya tampak sebagai massa abu – abu pucat yang terletak disentral dengan
perluasan kedalam parenkim paru dan keterlibatan dini kelenjar getah bening hilus dan
mediastinum. Kanker ini terdiri atas sel tumor dengan bentuk bulat hingga lonjong,
sedikit sitoplasma, dan kromatin granular. Gambaran miotik sering ditemukan
nekrosis dan makin luas. Sel tumor sangat rapuh dan sering memperlihatkan
fragmentasi pada sediaan biopsi. Gambaran karsinoma sel kecil, yang paling jelas pada
pemeriksaan sitologik adalah berlipatnya nukleus akibat letak sel tumor dengan sedikit
sitoplasma yang saling berdekatan.
e) Karsinoma sel besar
Merupakan sel – sel ganas dan berditerensiasi sangat buruk dengan sitoplasma yang
besar dan ukuran inti bermacam – macam. Sel ini cenderung timbul pada jaringan paru
perifer, tumbuh cepat dengan penyebaran ekstensit dan cepat ke tempat yang jauh.
III. ETIOLOGI
Merokok merupakan faktor utama yang diketahui yang memicu berkembangnya
kanker paru – paru. Jika Anda merokok, Anda harus menyadari fakta – fakta berikut ini:
a) Perokok memiliki risiko untuk mengidap kanker paru – paru 20 kali lebih tinggi
daripada orang yang tidak merokok.
b) 1 dari 10 perokok menderita kanker paru – paru.
c) Paparan terhadap asap rokok secara berkala (perokok pasif) akan sangat meningkatkan
risiko terkena kanker paru – paru (2 hingga 3 kali lebih tinggi dari biasanya).
Selain merokok, faktor – faktor berikut ini juga bisa meningkatkan risiko terkena
kanker paru – paru :
a) Tidak adanya asupan buah-buahan segar dan sayuran secara berkepanjangan, dan
makanan kaya vitamin A dalam pola makan seseorang.
b) Paparan terhadap uap minyak yang dihasilkan selama memasak secara
berkepanjangan.
c) Asupan makanan yang diawetkan atau dipanggang secara berkala.
d) Paparan terhadap uap hasil bakaran dupa secara berkepanjangan.
e) Ras atau faktor keturunan.
Tanda atau gejala berikut ini bisa mengindikasikan adanya penyakit kanker paru –
paru, diantaranya adalah :
a) Rasa lelah secara berkepanjangan.
b) Nafsu makan yang buruk dan penurunan berat badan.
c) Batuk kronis.
d) Mengi.
e) Dahak dengan darah.
f) Nyeri di dada: nyeri samar – samar atau rasa sakit yang parah di dada saat batuk atau
saat menarik napas dalam – dalam.
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak hanya perokok yang harus memeriksakan kesehatan mereka secara berkala,
orang – orang yang mengalami gejala – gejala di atas juga harus segera mengunjungi dokter
keluarga mereka. Tes diagnostik untuk kanker paru – paru mencakup hal – hal berikut ini :
a) Sinar X bagian dada.
b) Pemeriksaan sitologi sputum: sampel dahak diperiksa dengan bantuan mikroskop
untuk melihat adanya sel – sel yang tidak normal.
c) Bronkoskopi merupakan pemeriksaan saluran pernapasan dengan bronkoskopi untuk
memvisualisasikan status mukosa. Pemeriksaan ini bisa mengungkapkan daerah tumor
yang bisa dibiopsi untuk keperluan diagnosis jenis sel kanker. Hasilnya bisa membantu
para dokter untuk menentukan apakah tindakan operasi harus diberikan.
d) CT scan atau Pemindaian tomografi emisi positron: pemeriksaan ini bisa membantu
untuk menentukan apakah tumor telah menyebar ke jaringan sekitar di dada, seperti
kelenjar getah bening lokal. Dokter lalu akan memutuskan apakah kanker paru – paru
pasien bisa diobati dengan tindakan operasi.
V. PENATALAKSANAAN MEDIS
Pengobatan kanker paru – paru bisa mencakup tindakan operasi, radioterapi eksternal,
kemoterapi, dan langkah – langkah pengobatan paliatif lainnya, seperti laser, terapi radiasi
internal, dan penggunaan obat – obatan. Perawatan modalitas tunggal atau kombinasi bisa
digunakan, tergantung pada status kesehatan pasien secara umum.
a) Bedah
Metode pengobatan ini menawarkan peluang kesembuhan terbaik bagi pasien yang
menderita kanker paru – paru stadium awal, yang belum menyebar keluar dari paru –
paru. Tingkat kuratif dari tindakan operasi mencapai lebih dari 60% di antara pasien
penderita penyakit stadium awal. Volume reseksi tergantung pada status tumor yang
ganas. Tindakan operasi mungkin melibatkan proses pengangkatan tumor bersama
dengan beberapa jaringan di sekitarnya, sementara tindakan lainnya mungkin
melibatkan proses pengangkatan seluruh lobus atau bahkan satu bagian dari paru –
paru.
b) Radioterapi Eksternal
Tindakan ini bisa diberikan sebagai terapi kuratif kanker paru – paru stadium awal bagi
pasien yang tidak bisa menjalani tindakan operasi karena sudah berusia lanjut atau
memiliki penyakit lainnya. Radioterapi berguna untuk menghancurkan sel – sel kanker
pada pasien jika terdapat penyebaran tumor secara lokal, sel kanker yang tidak bisa
diangkat melalui tindakan pembedahan pasca operasi, atau gejala yang disebabkan
oleh penyebaran kanker (seperti sakit tulang dan metastasis otak).
c) Kemoterapi
Untuk pasien dengan kanker paru – paru metastatik, obat kemoterapi akan digunakan
untuk membantu menghentikan pembelahan dan perkembangan sel – sel kanker. Obat
antikanker tunggal atau kombinasi akan disuntikkan ke tubuh pasien dengan metode
infus intravena. Pasien perlu beristirahat selama 3 – 4 minggu sebelum menerima infus
lebih lanjut, biasanya 4 – 6 infus akan diberikan selama keseluruhan tindakan
pengobatan ini.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a) Biodata :
Nama pasien, umur, agama, jenis kelamin, pekerjaan, no. register, status
pernikahan, pendidikan, alamat, no, telepon, tanggal waktu datang, jam waktu
datang, penanggung jawab, diterima dari, dan cara datang.
b) Keluhan utama atau MRS
Perdarahan dan keputihan.
c) Riwayat penyakit sekarang
Klien datang dengan perdarahan pasca coitus dan terdapat keputihan yang berbau
tetapi tidak gatal. Perlu ditanyakan pada pasien atau keluarga tentang tindakan
yang dilakukan untuk mengurangi gejala dan hal yang dapat memperberat,
misalnya keterlambatan keluarga untuk memberi perawatan atau membawa ke
rumah sakit dengan segera dan kurangnya pengetahuan keluarga.
d) Riwayat penyakit dahulu
Perlu ditanyakan pada pasien dan keluarga, apakah pasien pernah mengalami hal
yang demikian dan perlu ditanyakan juga apakah pasien pernah menderita penyakit
infeksi.
e) Riwayat kesehatan keluarga
Perlu ditanyakan apakah dalam keluarga ada yang menderita penyakit seperti ini
atau penyakit menular lain.
f) Pola persepsi - pengelolaan pemeliharaan kesehatan
g) Pola aktivitas dan istirahat :
Kelemahan atau keletihan akibat anemia.
Perubahan pada pola istirahat dan kebiasaan tidur pada malam hari.
Adanya faktor – faktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas, dan
keringatan di malam hari.
Pekerjaan dengan penajaman karsinogen lingkungan dan tingkat stress tinggi.
h) Pola eliminasi :
Pada kanker serviks terjadi perubahan pola defekasi dan mengalami
perubahan eliminasi urinalis, seperti nyeri.
Pada kanker ovarium didapat tandai haid tidak teratur, sering berkemih,
menoupose dini, dan menoragia.
i) Pola makan dan minum :
Kebiasaan asupan diet buruk, seperti rendah serat, tinggi lemak, adiktif, dan
pengawet rasa.
j) Pola kognitif :
Keadaan mental, berbicara lancar atau tidak, bahasa yang dikuasai, dan kemampan
memahami.
k) Kebersihan diri :
Pemeliharaan badan, pemeliharaan gigi dan mulut, dan pemeliharan kuku.
l) Data psikososial :
Dalam pemeliharaan kesehatan dikaji tentang pemeliharaan gizi di rumah dan
bagaimana pengetahuan keluarga tentang penyakit kanker serviks.
m) Sexualitas :
Perubahan pola respon seksual, keputihan (jumlah, karakteristik, bau), dan perdarahan
sehabis senggama (pada kanker serviks)
n) Pemeriksaan fisik :
Keadaan umum, kesadaran, dan pemeriksaan head to toe.
Keterangan :
1. Berat
2. Cukup berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada
Intervensi :
1401 Manajemen Nyeri
1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif meliputi lokasi, karakteristik,
durasi, frekuensi, kualitas, beratnya nyeri dan faktor pencetus.
2. Observasi adanya petunjuk nonverbal mengenai ketidaknyamanan.
3. Gunakan strategi komunikasi teraupetik untuk mengetahui pengalaman nyeri
pasien terhadap nyeri.
4. Evaluasi pengalaman nyeri sebelumnya dengan tepat.
5. Bantu klien dan keluarga klien untuk mencari dan menyediakan dukungan.
6. Kendalikan faktor lingkungan yang dapat menpengaruhi nyeri, seperti suhu
ruangan, pencahayaan dan kebisingan.
7. Kurangi faktor – faktor yang dapat mencetuskan atau meningkatkan nyeri.
8. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi.
9. Ajarkan penggunaan teknik non farmakologis untuk mengurangi nyeri.
10. Berikan penurun nyeri yang optimal dengan peresepan analgesik.
11. Evaluasi keefektifan dari tindakan pengontrol nyeri yang dipakai selama
pengkajian nyeri dipakai.
12. Dukungan istirahat atau tidur yang adekuat untuk membantu penurunan nyeri.
13. Beritahu dokter jika ada tindakan tidak berhasil atau jika keluhan klien saat ini
berubah signifikan dari pengalaman nyeri sebelumnya.
14. Monitor kepuasan klien terhadap manajemen nyeri.
1. Berat
2. Cukup berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada
Intervensi :
5880 Teknik Menenangkan
1. Tenangkan klien.
2. Kurangi stimulasi yang menciptakan perasaan takut maupun cemas.
3. Identifikasi orang – orang terdekat klien yang bisa membantu klien.
4. Instruksikan klien untuk menggunakan metode mengurangi kecemasan,
misalnya teknik bernapas dalam, distraksi, visualisasi, jika diperlukan.
5. Memberikan informasi faktual mengenai diagnosis, perawatan, dan prognosis.
6. Mengidentifikasi perubahan tingkat kecemasan.
7. Membantu klien mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan.
8. Memberikan obat untuk mengurangi kecemasan.
Keterangan :
1. Sangat terganggu/ Berat
2. Banyak terganggu/ Cukup berat
3. Cukup terganggu/ Sedang
4. Sedikit terganggu/ Ringan
5. Tidak terganggu/ Tidak ada
Intervensi :
0610 Perawatan Inkontinensia Urine
1. Monitor eliminasi urin termasuk frekuensi, konsistensi, volume, warna, dan bau.
2. Monitor tanda dan gejala retensi urin.
3. Instruksikan klien dan keluarga klien untuk mencatat pola dan jumlah output
urine.
4. Pasang kateter urine.
DAFTAR PUSTAKA
Andrijono. 2007. Vaksinasi HPV Merupakan Pencegahan Primer Kanker Serviks. Jakarta:
Majelis Kedokteran Indonesia.
Andrijono., et al. 2019. Panduan Penatalaksanaan Kanker Serviks. Jakarta: Kementrian
Kesehatan RI.
Brunner & Suddarth. 2013. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 12. Jakarta: EGC.
Gloria, B. Hoard, B. Joanne, D. Cheryl, W. 2013. Nursing Interventions Classifications.
Singapura: Elsevier Singapore.
Gloria, B. Hoard, B. Joanne, D. Cheryl, W. 2013. Nursing Outcomes Classifications.
Singapura: Elsevier Singapore.
Lukman Hakim. 2010. Biologi dan Patogenesis Human Papillomavirus. Surabaya: PKB
“New Perspective of Sexually Transmitted Infection Problems.
Scott R. James., et al. 2002. Buku Saku Obstetri dan Gynekologi. Jakarta: Widya Medika.
Smeltzer, G. Bare. 2002. Dasar – Dasar Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC.
Sperof, Leon. 2005. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility. Lippincot
Williams & Wilkins: Philadelphia.