Anda di halaman 1dari 28

FORMAT LAPORAN PENDAHULUAN

PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN MATERNITAS

CARSINOMA SERVIKS

I. DEFINISI
Kanker serviks merupakan keganasan yang berasal dari serviks. Serviks merupakan
sepertiga bagian bawah uterus, berbentuk silindris, menonjol, dan berhubungan dengan
vagina melalui ostium uteri eksternum (Kemenkes RI, 2019).
Kanker serviks adalah penyakit akibat tumor ganas pada daerah mulut rahim sebagai
akibat dari adanya pertumbuhan jaringan yang tidak terkontrol dan merusak jaringan normal
disekitarnya (Williams & Wilkins, 2011).
Kanker serviks adalah pertumbuhan sel – sel mulut rahim atau serviks yang abnormal
dimana sel – sel ini mengalami perubahan kearah dysplasia atau keganasan. Kanker ini hanya
meyerang pada wanita yang pernah atau sekarang dalam status sexually active. Tidak pernah
ditemukan pada wanita yang belum pernah melakukan hubungan seksual menderita kanker
ini. Biasanya kanker serviks menyerang wanita yang berusia 30 – 45 tahun. Akan tetapi,
tidak mustahil pada wanita yang muda pun dapat menderita penyakit ini, asalkan memiliki
faktor resikonya (Brunner & Sudarth, 2002).
Jadi, kanker serviks merupakan pertumbuhan sel yang abnormal yang terjadi di mulut
rahim atau serviks yang pada akhirnya akan merusak jaringan normal sekitarnya.

II. KLASIFIKASI
Tingkat Kriteria
0 KIS (Karsinoma in Situ) atau karsinoma intra epitel, membrane basalis
masih utuh.
I Proses terbatas pada serviks walaupun ada perluasan ke korpus uteri.
Ia Karsinoma mikro invasif: bila membrana basalis sudah rusak dan
tumor sudah memasuki stroma tdk> 3mm dan sel tumor tidak terdapat
dalam Ib occ Ib II IIa IIb III IIIa IIIb IV IVa Ivb pembuluh
limfe/pembuluh darah. Kedalaman invasi 3mm sebaiknya diganti
dengan tdk> 1mm.
Ib occ Ib occult = Ib yang tersembunyi, secara klinis tumor belum tampak
sebagai Ca, tetapi pada pemeriksaan histologik, ternyata sel tumor
telah mengadakan invasi stroma melebihi Ia.
Ib Secara klinis sudah diduga adanya tumor yang histologik
menunjukkan invasi ke dalam stroma serviks uteri.
II Proses keganasan sudah keluar dari serviks dan menjalar ke2/3 bagian
atas vagina dan ke parametrium, tetapi tidak sampai dinding panggul.
IIa Penyebaran hanya ke vagina, parametrium masih bebas dari infiltrat
tumor
IIb Penyebaran ke parametrium uni/bilateral tetapi belum sampai ke
dinding panggul.
III Penyebaran telah sampai ke 1/3 bagian distal vagina / ke parametrium
sampai dinding panggul.
IIIa Penyebaran telah sampai ke 1/3 bagian distal vagina, sedang ke
parametrium tidak dipersoalkan asal tidak sampai dinding panggul.
IIIb Penyebaran sudah sampai ke dinding panggul, tidak ditemukan daerah
bebas infiltrasi antara tumor dengan dinding panggul (frozen pelvic)/
proses pada tk klinik I/II, tetapi sudah ada gangguan faal ginjal.
IV Proses keganasan telah keluar dari panggul kecil dan melibatkan
mukosa rektum dan atau kandung kemih.
Iva Proses sudah keluar dari panggul kecil, atau sudah menginfiltrasi
mukosa rektum dan atau kandung kemih.
IVb Telah terjadi penyebarn jauh.
Tabel 1. Klasifikasi Carsinoma Serviks

III. ETIOLOGI
Penyebab utama kanker serviks adalah virus yang disebut human papilloma (HPV).
Human papiloma yang tersebar luas, dapat menginfeksi kulit dan mukosa epitel. HPV dapat
menyebabkan manifestasi klinis baik lesi yang jinak maupun lesi kanker. Tumor jinak yang
disebabkan infeksi human papilloma, yaitu veruka dan kondiloma akuminata. Sedangkan,
pada tumor ganas, yaitu anogenital adalah kanker serviks, vulva vagina, anus, dan penis.
Sifat onkogenik human papilloma dikaitkan dengan protein virus E6 dan E7 yang
menyebabkan peningkatan proliferasi sel sehingga terjadi lesi pre kanker yang kemudian
dapat berkembang menjadi kanker.

IV. FAKTOR RESIKO


a) Pola hubungan seksual
Studi epidemiologi mengungkapkan bahwa resiko terjangkit kanker serviks meningkat
seiring meningkatnya jumlah pasangan. Aktifitas seksual yang dimulai pada usia dini,
yaitu kurang dari 20 tahun juga dapat dijadikan sebagai faktor resiko terjadinya kanker
serviks.Frekuensi hubungan seksual juga berpengaruh pada lebih tingginya resiko
pada usia tersebut, tetapi tidak pada kelompok usia lebih tua.
b) Paritas
Kanker serviks sering dijumpai pada wanita yang sering melahirkan. Semakin sering
melahirkan, maka semakin besar resiko terjangkit kanker serviks. Penelitian di
amerika, menunjukkan hubungan antara resiko dengan multiparitas setelah dikontrol
dengan infeksi human papilloma.
c) Merokok
Beberapa penelitian menemukan hubungan yang kuat antara merokok dengan kanker
serviks, bahkan setelah dikontrol dengan variabel counfounding seperti pola hubungan
seksual. Penemuan lain memperkuatkan temuan nikotin pada cairan serviks wanita
perokok bahkan ini bersifat sebagai kokarsinogen dan bersamaan dengan karsinogen
yang telah ada akan mendorong pertumbuhan ke arah kanker.
d) Kontrasepsi oral
WHO mereview berbagai penelitian yang menghubungkan penggunaan kontrasepsi
oral dengan resiko terjadinya kanker serviks, menyimpulkan bahwa sulit untuk
menginterpretasikan hubungan tersebut. Mengingat bahwa lama penggunaan
kontrasepsi oral berinteraksi dengan faktor lain khususnya pola kebiasaan seksual
dalam mempengaruhi resiko kanker serviks. Selain itu, adanya kemungkinan bahwa
wanita yang menggunakan kontrasepsi oral lain lebih sering melakukan pemeriksaan
smera serviks, sehingga displasia dan karsinoma in situ nampak lebih frekuen pada
kelompok tersebut. Diperlukan kehati – hatian dalam menginterpretasikan asosiasi
antara lama penggunaan kontrasepsi oral dengan resiko kanker serviks karena adanya
faktor confounding (Setiawan, 2002 & American Cancer Society, 2012).
e) Pasangan seksual
Peranan pasangan seksual dari penderita kanker serviks mulai menjadi bahan yang
menarik untuk diteliti. Penggunaan kondom ternyata memberi resiko yang rendah
terhadap terjadinya kanker serviks. Rendahnya kebersihan genetalia yang dikaitkan
dengan sirkumsisi juga menjadi pembahasan panjang terhadap kejadian kanker serviks
(Setiawan, 2002 & American Cancer Society, 2012).

V. TANDA DAN GEJALA


Menurut Dalimartha (2004), gejala klinis dari kanker serviks sangat tidak khas pada
stadium dini. Biasanya sering ditandai sebagai fluos dengan sedikit darah, perdarahan
postkoital atau perdarahan pervagina yang disangka sebagai perpanjangan waktu haid. Pada
stadium lanjut baru terlihat tanda – tanda yang lebih khas pada penyakit kanker serviks, baik
berupa perdarahan yang hebat (terutama dalam bentuk eksofilik), fluor albus yang berbau,
dan rasa sakit yang sangat hebat. Pada fase prakanker, sering tidak ada tanda – tanda yang
khas. Namun, kadang dapat ditemui gejala – gejala sebagai berikut :
1) Keputihan atau keluarnya cairan encer dari vagina. Cairan yang keluar dari vagina ini
makin lama akan menimbulkan bau busuk karena adanya infeksi dan nekrosis jaringan.
2) Perdarahan setelah senggama yang kemudian berlanjut ke perdarahan abnormal.
3) Timbulnya perdaraham setelah masa menoupause.
4) Pada tahap invasif dapat muncul cairan bewarna kekuning – kuningan, berbau, dan
bercampur dengan darah.
5) Timbul gejala – gejala anemia akibat dari perdarahan yang abnormal.
6) Timbul nyeri pada daerah panggul ataupun daerah perut bagian bawah bila terjadi
peradangan pada panggul. Bila nyeri yang terjadi dari daerah pinggang ke bawah,
kemungkinan terjadi hidronefosis. Selain itu masih mungkin terjadi nyeri pada tempat
– tempat lainnya.

Pada stadium kanker lanjut, badan menjadi kurus karena kekurangan gizi, edema pada
kaki, timbul iritasi pada kandung kemih, terbentuknya viskelvaginal dan rektovaginal, atau
timbul gejala lainnya yang disebabkan oleh metastasis jauh dari kanker serviks itu sendiri.

VI. PATOFISIOLOGI
Siklus pembelahan sel terdiri dari 4 fase, yaitu G1, S, G2, dan M. Selama fase S, terjadi
replikasi DNA, fase M terjadi pembelahan sel atau miosis, dan fase G berada pada sebelum
fase S dan M. Dalam siklus sel pS3 dan pRb berperan penting, dimana pS3 berpengaruh
pada transisi G2-M dan juga transisi G1-S, sedangkan pRb berpengaruh pada transisi G1-S.
Mutasi yang menyebabkan inaktifasi fungsi pS3 dan pRb menyebabkan poliferasi yang tidak
dapat dikontrol.
Infeksi dimulai dari virus yang masuk kedalam sel melalui mikro abrasi jaringan
permukaan epitel, sehingga dimungkinkan sel masuk kedalam sel basal. Sel basal terutama
sel stem terus membelah, bermigrasi mengisi sel bagian atas, berdiferensiasi, dan
mensitensis keratin. Protein virus pada infeksi HPV mengambil alih perkembangan siklus
sel dan mengikuti diferensiasi sel.
HPV merupakan faktor insiator dari kanker serviks yang menyebabkan terjadinya
gangguan sel serviks. Integrasi DNA virus dengan genom sel tubuh merupakan awal dari
proses yang mengarah transformasi. Genom HPV terbentuk sirkuler dan panjangnya 8 kb.
Gen E mengsintesis 6 protein E, yaitu E1, E2, E4, E5, E6, dan E7, yang banyak terkait dalam
proses replikasi virus dan onkegon, sedangkan gen L mengsintesis 2 protein L, yaitu L1 dan
L2 yang terkait dengan pembentukkan kapsid.
Protein E6 dan E7 disebut onkogen karena kemampuannya mengikat protein
proapoptik, pS3, dan pRb sehingga sel yang terinfeksi aktif berproliferasi yang
mengakibatkan terjadinya lesi pre-kanker yang kemudian dapat berkembang menjadi
kanker.
E6 mempunyai fungsi lain yang penting, yaitu mengaktifasi telomerase pada sel yang
terinfeksi HPV. Pada keadaan normal replikasi DNA akan memperpendek telomere, namun
bila ada E6 telomere akan tetap diperpanjang melalui aktifitas katalitik sub unit telomerase,
human reverse transcriptase (hTERT). E6 membuat komplek dengan Myc atau Mac protein
dan Sp-1 yang akan mengikat enzim hTERT di region promoter dan menyebabkan
peningkatan aktifitas telomerase sel. Sel akan terus berpoliferasi atau imortalitas.
E7 merupakan HPV onkoprotein kedua yang berperan penting dalam pathogenesis
selain E6. Protein E7 mampu berikatan dengan family Rb. Protein Rb family berfungsi untuk
mencegah perkembangan siklus sel yang berlebihan sampai sel siap membelah diri dengan
baik.
Hambatan kedua TSG menyebabkan siklus sel tidak terkontrol, perbaikan DNA tidak
terjadi, dan apoptosis tidak terjadi. Sel – sel yang mengalami mutasi dapat berkembang
menjadi sel dysplasia. Dimulai dari dysplasia ringan, dysplasia sedang, dysplasia berat,
karsinoma in situ, dan kemudian berkembang menjadi karsinoma invasive. Tingkat dysplasia
dan karsinoma in situ dikenal juga sebagai tingkat pra-kanker.
(Andrijono, 2007 dan Lukman H., 2010)
VII. PATHWAY

Berhubungan seks <17


tahun, merokok, hygiene
seks yang kurang, virus Proses Ca
HPV, sering melahirkan Metaplasia Dysplasia Serviks Serviks
dengan masalah
persalinan, sering berganti
pasangan, heriditer, dsb.
Tahap Lanjut Terapi

Menyebar ke Pembesaran
Pelvik Massa

Tekanan Penipisan Sel


Intrapelvik Epitel

Tekanan pada Rusaknya Permebialitas


Energi Menurun Nyeri Akut Abdomen Pembuluh Darah
Meningkat

Nafsu Makan
Intoleransi Perdarahan
Menurun
Aktivitas

Pembentukkan
Anemia Resiko
Asam Laktat
Ketidakseimbangan
Volume Cairan
Hb Menurun
Kelelahan

Defisit Suplai O2
Menurun
Perawatan Diri

Metabolisme
Anaerob
Terapi

Radiasi Kemoterapi Pembedahan

Pre Post Mempercepat Kemoterapi


Pertumbuhan Sel
Normal

Defisiensi Pre Post


Pengetahuan Memperpendek
Usia Akar
Rambut Kurang Aktifitas Fisik
Ansietas Pengetahuan Terbatas

Alopecia
Ansietas Intoleransi
Aktivitas
Gangguan Citra
Tubuh

Peningkatan Gastrointenstinal Kompresi pada


Pemanasan pada RES
Epidermis Kulit
Peningkatan
Tekanan Gaster Anemia
Eritema, Kering, dan
pecah – pecah
Mual dan Leukosit
Muntah Menurun
Kerusakan Integritas
Kulit
Ketidakseimbangan Resiko Infeksi
Nutrisi Kurang dari
Kebutuhan
VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a) Sitologi
Pemeriksaan ini yang dikenal sebagai tes papanicolaou (tes pap) sangat bermanfaat
untuk mendeteksi lesi secara dini, tingkat ketelitiannya melebihi 90% bila dilakukan
dengan baik. Sitodiagnosis didasarkan pada kenyataan, bahwa sel – sel permukaan
secara terus menerus dilepaskan oleh epitel dari permukaan traktus genitalis. Sitologi
adalah cara skrining sel – sel serviks yang tampak sehat dan tanpa gejala kemudian
diseleksi. Kanker hanya dapat didiagnosis secara histologik. Sediaan sitologi harus
meliputi komponen ektoserviks dan endoserviks. Untuk mendapatkan informasi
sitologi yang baik dianjurkan melakukan beberapa prosedur. Sediaan harus diambil
sebelum pemeriksaan dalam, spekulum yang dipakai harus kering tanpa pelumas.
Komponen endoserviks didapat dengan menggunakan ujung spatula ayre yang tajam
atau kapas lidi. Sedangkan, komponen ektoserviks dengan ujung spatula ayre yang
tumpul. Sediaan segera difiksasi dalam alkohol 96% selama 30 menit dan dikirim ke
laboratorium sitologi terdekat. Pemeriksaan ini menilai perubahan morfologi sel – sel
yang mengalami eksfoliasi.
b) Kolposkopi
Peranan tes pap tidak diragukan lagi sebagai metode yang paling praktis dalam
skrining kanker serviks. Pemeriksaan tes pap abnormal harus didukung oleh
pemeriksaan histopatologik, sebelum melakukan terapi definitif. Kolposkopi adalah
pemeriksaan dengan menggunakan kolposkop, suatu alat yang dapat disamakan
dengan sebuah mikroskop bertenaga rendah dengan sumber cahaya di dalamnya
(pembesaran 6 – 40 kali). Kalau pemeriksaan sitologi menilai perubahan morfologi sel
– sel yang mengalami eksfoliasi, maka kolposkopi menilai perubahan pola epitel dan
vaskular serviks yang mencerminkan perubahan biokimia serta perubahan metabolik
yang terjadi di jaringan serviks. Tujuan pemeriksaan kolposkopi bukan untuk
membuat diagnosis histologik tetapi menetukan kapan dan dimana biopsi harus
dilakukan jadi hampir mendekati 100%.
c) Konisasi
Konisasi serviks adalah pengeluaran sebagian jaringan serviks sedemikian rupa
sehingga yang dikeluarkan berbentuk kerucut dengan kanalis servikalis sebagai sumbu
kerucut. Untuk tujuan diagnostik, tindakan konisasi harus selalu dilanjutkan dengan
kuretase. Batas jaringan yang dikeluarkan ditentukan dengan pemeriksaan kolposkopi.
Jika karena suatu hal pemeriksaan kolposkopi tidak dapat dilakukan, dapat dilakukan
tes schiller. Pada tes ini digunakan pewarnaan dengan larutan lugol (yodium 5g,
kalium yodida 10g, dan air 100 ml) dan eksisi dilakukan di luar daerah dengan tes
positif (daerah yang tidak berwarna oleh larutan lugol). Konisasi diagnostic dilakukan
pada keadaan, seperti proses dicurigai berada di endoserviks, lesi tidak tampak
seluruhnya dengan pemeriksaan kolposkopi, diagnostik mikroinvasi ditegakkan
dengan pemeriksaan kolposkopi, ada kesenjangan antara hasil sitology dan
histopalogik.
d) Servikografi
Servikografi terdiri dari kamera 35 mm dengan lensa 100 mm dan lensa ekstensi 50
mm. Fotografi diambil oleh dokter, perawat, atau tenaga kesehatan lainnya, dan slide
(servikogram) dibaca oleh yang mahir dengan kolposkop. Disebut negatif atau curiga
jika tidak tampak kelainan abnormal, dan disebut defek secara teknik jika servikogram
tidak dapat dibaca (faktor kamera atau flash).
e) Pemeriksaan visual secara langsung
Pada daerah di mana fasilitas pemeriksaan sitologi dan kolposkopi tidak ada, maka
pemeriksaan visual langsung dapat digunakan untuk mendeteksi kanker secara dini.
Menurut Sehgal (1991) di India melakukan pemeriksaan visual langsung disertai
pemeriksaan sitologi dan kolposkop. Kanker dini dicurigai sebanyak 40 – 50 % dengan
visual langsung, sedang pemeriksaan sitologi dan kolposkopi dapat mendeteksi masing
– masing sebanyak 71% dan 87%.
f) Gineskopi
Gineskopi menggunakan teleskop monokuler, ringan dengan pembesaran 2,5x dapat
digunakan untuk meningkatkan skrining dengan sitologi. Biopsi atau pemeriksaan
kolposkopi dapat segera disarankan bila tampak daerah berwarna putih dengan pulasan
asam asetat. Sensitivitas dan spesifisitas masing – masing 84% & 87%, negatif palsu
sebanyak 12,6%, dan positif palsu 16%.

IX. PENATALAKSANAAN MEDIS


Terapi carsinoma serviks dilakukan bilamana diagnosis telah dipastikan secara
histologik dan sesudah dikerjakan perencanaan yang matang oleh tim yang sanggup
melakukan rehabilitasi serta pengamatan lanjutan oleh tim onkologi. Tindakan pengobatan
sangat bergantung pada stadium kanker serviks saat didiagnosis. Dikenal beberapa tindakan
dalam tata laksana kanker serviks, antara lain :
a) Terapi lesi prakanker serviks
Penatalaksanaan lesi prakanker serviks yng pada umunya tergolong NIS
(Neoplasia Intraepital Serviks) dapat dilakukan dengan observasi saja,
medikamentosa, terapi destruksi, dan terapi eksisi. Tindakan observasi dilakukan pada
tes pap dengan hasil human papiloma, atipia, NIS1 yang termasuk dalam lesi
intraepitelial skuamosa derajad rendah (LISDR). Terapi NIS dengan destruksi dapat
dilakukan pada lesi intraepithelial (LISDR) dan lesi intraeoitelial serviks derajat tinggi
(LISDT). Demikian juga terapi eksisi dapat ditujukan untuk LISDR dan LISDT.
Perbedaan antara terapi destruksi dan terapi eksisi adalah pada terapi destruksi tidak
mengangkat lesi tetapi pada terapi eksisi ada spesimen lesi yang diangkat.
Klasifikasi Penanganan
Human Papilloma (HPV) Observasi
Medikamentosa
Dekstrusi: Krioterapi
Elektrokauterisasi
Eksisi: Diartemi loop
Displasia ringan (NIS 1) Observasi
Dekstrusi: Krioterapi
Elektrokoagulasi
Laser + 5FU
Eksisi: Diartemi loop
Displasia sedang (NIS 2) Dekstrusi: Krioterapi
Elektrokoagulasi
Laser + 5FU
Eksisi: Diartemi loop
Displasia keras/ KIS (NIS 3) Dekstrusi: Krioterapi
Elektrokoagulasi
Laser
Eksisi: Konisasi
Histerektomi
Tabel2. Klasifikasi lesi praknker serviks dan penangananya.

b) Terapi NIS dengan dekstrusi lokasi


Tujuannya metode ini untuk memusnahkan daerah – daerah terpilih yang
mengandung epitel abnormal yang kelak akan digantikan dengan epitel skuamosa yang
baru. Krioterapi adalah suatu cara penyembuhan penyakit dengan cara mendinginkan
bagian yang sakit sampai dengan suhu 0 0C. Pada suhu sekurang – kurangnya 25 0C
sel – sel jaringan termasuk NIS akan mengalami nekrosis. Sebagai akibat dari
pembekuan sel – sel tersebut, terjadi perubahan tingkat seluller dan vaskular, yaitu:
 Sel – s el mengalami dehidrasi dan mengkerut.
 Konsentrasi elektrolit dalam sel terganggu.
 Syok termal dan denaturasi kompleks lipid protein.
 Status umum sistem mikrovaskular, pada saat ini hampir semua alat
menggunakan N20.
c) Terapi NIS dengan eksisi
 Konisasi (cone biopsy) adalah pembuatan sayatan berbentuk kerucut pada
serviks dan kanal serviks untuk diteliti oleh ahli patologi. Digunakan untuk
diagnosa ataupun pengobatan pra-kanker serviks.
 Punch Biopsi adalah menggunakan alat yang tajam untuk menjumput sampel
kecil jaringan serviks.
 Loop electrosurgical excision procedure merupakan tindakan yang
menggunakan arus listrik yang dilewati pada kawat tipis untuk memotong
jaringan abnormal kanker serviks.
 Trakelektomi radikal yaitu dokter bedah mengambil leher rahim, bagian dari
vagina, dan kelenjar getah bening di panggul. Pilihan ini dilakukan untuk wanita
dengan tumor kecil yang ingin mencoba untuk hamil di kemudian hari.
 Histerektomi adalah suatu tindakan pembedahan yang bertujuan untuk
mengangkat uterus dan serviks ataupun salah satunya. Biasanya dilakukan pada
stadium klinik IA sampai dengan IIA (klasifikasi FIGO). Umur pasien sebaiknya
sebelum menopause, bila keadaan umum baik, dapat juga pada pasien yang
berumur kurang dari 65 tahun. Pasien juga harus bebas dari penyakit umum
(resiko tinggi) seperti penyakit jantung, ginjal,dan hepar. Histerektomi terbagi
menjadi dua, yaitu total histerktomi dan radikal histerektomi. Total histerektomi
adalah pengangkatan seluruh rahim dan serviks. Sedangkan, radikal histerektomi
adalah pengangkatan seluruh rahim dan serviks, indung telur, dan tuba fallopi
maupun getah bening di dekatnya.
d) Terapi kanker serviks invasif
1) Pembedahan
2) Radioterapi
Terapi ini menggunakan sinar ionisasi (sinar x) untuk merusak sel – sel
kanker. Terapi radiasi bertujuan untuk merusak sel tumor pada serviks serta
mematikan parametrial dan nodus limpa pada pelvik. Kanker serviks stadium II
B, III, dan IV diobati dengan radiasi. Metoda radioterapi disesuaikan dengan
tujuannya, yaitu tujuan pengobatan kuratif atau paliatif. Pengobatan kuratif ialah
mematikan sel kanker serta sel yang telah menjalar ke sekitarnya dan atau
bermetastasis kekelenjar getah bening panggul, dengan tetap mempertahankan
sebanyak mungkin kebutuhan jaringan sehat di sekitar seperti rektum, vesika
urinaria, usus halus, dan ureter. Radioterapi dengan dosis kuratif hanya akan
diberikan pada stadium I sampai dengan III B. Bila sel kanker sudah keluar
rongga panggul, maka radioterapi hanya bersifat paliatif yang diberikan secara
selektif pada stadium IV A. Biasanya, selama menjalani radioterapi penderita
tidak boleh melakukan hubungan seksual. Kadang setelah radiasi internal,
vagina menjadi lebh sempit, dan kurang lentur. Sehingga bisa menyebabkan
nyeri ketika melakukan hubungan seksual. Untuk mengatasi hal ini, penderita
diajari untuk menggunakan dilator dan pelumas dengan bahan dasar air. Pada
radioterapi juga bisa timbul diare dan sering berkemih.
3) Kemoterapi
Kemoterapi adalah penatalaksanaan kanker dengan pemberian obat
melalui infus, tablet, atau intramuskuler. Obat kemoterapi digunakan utamanya
untuk membunuh sel kanker dan menghambat perkembangannya. Tujuan
pengobatan kemoterapi tegantung pada jenis kanker dan fasenya saat
didiagnosis. Beberapa kanker mempunyai penyembuhan yang dapat
diperkirakan atau dapat sembuh dengan pengobatan kemoterapi. Dalam hal lain,
pengobatan mungkin hanya diberikan untuk mencegah kanker yang kambuh, ini
disebut pengobatan adjuvant. Dalam beberapa kasus, kemoterapi diberikan
untuk mengontrol penyakit dalam periode waktu yang lama walaupun tidak
mungkin sembuh. Jika kanker menyebar luas dan dalam fase akhir, kemoterapi
digunakan sebagai paliatif untuk memberikan kualitas hidup yang lebih baik.
Kemoterapi kombinasi telah digunakan untuk penyakit metastase karena terapi
dengan agen – agen dosis tunggal belum memberikan keuntungan yang
memuaskan.
Obat kemoterapi yang paling sering digunakan sebagai terapi awal atau
bersama terapi radiasi pada stage IIA, IIB, IIIA, IIIB, dan IVA adalah cisplatin
dan flurouracil. Sedangkan, obat kemoterapi yang paling sering digunakan untuk
kanker serviks stage IVB adalah mitomycin, pacitaxel, ifosamide, dan opotecan
telah disetujui untuk digunakan bersama dengan cisplastin untuk kanker serviks
stage lanjut.
Efek samping dari kemoterapi adalah lemas, mual, muntah, gangguan
pencernaan, sariawan, rambut rontok, dan berefek pada darah.
HIPOALBUMIN

I. DEFINISI
Hipoalbuminemia adalah kadar albumin yang rendah atau dibawah nilai normal atau
keadaan dimana kadar albumin serum < 3,5 g/dL (M. Sjaifullah Noer., Ninik Soemyarso,
2006). Hipoalbuminemia mencerminkan pasokan asam amino yang tidak memadai dari
protein, sehingga mengganggu sintesis albumin serta protein lain oleh hati (Murray, et al.,
2003). Di Indonesia, data hospital malnutrition menunjukkan 40 – 50% pasien mengalami
hipoalbuminemia atau berisiko hipoalbuminemia, 12% diantaranya hipoalbuminemia berat,
serta masa rawat inap pasien dengan hospital malnutrition menunjukkan 90% lebih lama
daripada pasien dengan gizi baik (Tri Widyastuti., M. Dawan Jamil, 2005).

II. KLASIFIKASI
Klasifikasi defisiensi albumin atau hipoalbuminemia dibedakan berdasarkan selisih
atau jarak dari nilai normal kadar albumin serum, yaitu 3,5 – 5 g/dl atau total kandungan
albumin dalam tubuh adalah 300 – 500 gram. Klasifikasi hipoalbuminemia menurut Agung
dan Hendro (2005), adalah sebagai berikut :
1) Hipoalbuminemia ringan : 3,5 – 3,9 g/dl
2) Hipoalbuminemia sedang : 2,5 – 3,5 g/dl
3) Hipoalbuminemia berat : < 2,5 g/dl

III. ETIOLOGI
Menurut Iwan (2005), hipoalbuminemia adalah suatu masalah umum yang terjadi pada
pasien. Hipoalbuminemia dapat disebabkan oleh diantaranya adalah :
1) Masukan protein yang rendah.
2) Pencernaan atau absorbsi protein yang tak adekuat.
3) Peningkatan kehilangan protein yang dapat ditemukan pada pasien dengan kondisi
medis kronis serta akut, yaitu kurang energi protein, kanker, peritonitis, luka bakar,
sepsis, luka akibat pre, dan post pembedahan (penurunan albumin plasma yang terjadi
setelah trauma), penyakit hati akut yang berat atau penyakit hati kronis (sintesa
albumin menurun), penyakit ginjal, penyakit saluran cerna kronik, radang atau infeksi
tertentu (akut dan kronis), diabetes mellitus dengan gangren, dan tbc paru.

IV. PENATALAKSANAAN MEDIS


Hipoalbuminemia dikoreksi dengan albumin intravena dan diet tinggi albumin
(Sunanto, 2006), dapat dilakukan dengan pemberian diet ekstra putih telur ataupun ekstrak
albumin dari bahan makanan yang mengandung albumin dalam kadar yang cukup tinggi.
Penanganan pasien hipoalbumin dilakukan dengan pemberian putih telur sebagai sumber
albumin dan sebagai alternatif lain sumber albumin adalah ekstrak ikan lele (Tri Widyastuti,
M. Dawan Jamil, 2005). Sedangkan pada RS dr. Saiful Anwar Malang, penanganan pasien
hipoalbuminemia dilakukan dengan pemberian BSA (Body Serum Albumer) dan segi gizi
telah dilakukan pemanfaatan bahan makanan seperti estrak ikan gabus, putih telur, dan tempe
kedelai (Illy Hajar Masula, 2005).
ANEMIA

I. DEFINISI
Anemia merupakan keadaan di mana masa eritrosit dan atau masa hemoglobin yang
beredar tidak memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh. Secara
laboratories, anemia dijabarkan sebagai penurunan kadar hemoglobin, hitung eritrosit, dan
hematokrit di bawah normal. Untuk memenuhi definisi anemia, maka perlu ditetapkan batas
hemoglobin atau hematokrit yang dianggap sudah terjadi anemia. Batas tersebut sangat
dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, dan ketinggian tempat tinggal dari permukaan laut.
Batasan umum yang digunakan adalah kriteria WHO. Dinyatakan sebagai anemia bila
terdapat nilai dengan kriteria sebagai berikut :
1) Laki – laki dewasa : Hb <13 gr/dL
2) Perempuan dewasa tidak hamil : Hb <12 gr/dL
3) Perempuan hamil : Hb <11 gr/dL
4) Anak usia 6-14 tahun : Hb <12 gr/dL
5) Anak usia 6 bulan – 6 tahun : Hb <11 gr/dL
Menurut Handayani & Haribowo (2008), untuk kriteria anemia diklinik, rumah sakit,
atau praktik klinik pada umumya dinyatakan anemia bila terdapat nilai, sebagai berikut :
1) Hb <10 gr/dL
2) Hematokrit <30%
3) Eritrosit <2,8 juta/mm3

II. KLASIFIKASI
Derajat pada anemia ditentukan oleh kadar Hb. Menurut Handayani & Haribowo
(2008), klasifikasi derajat anemia yang umum dipakai, adalah sebagai berikut :
1) Ringan sekali : Hb 10 gr/dL – 13 gr/dL
2) Ringan : Hb 8 gr/dL – 9,9 gr/dL
3) Sedang : Hb 6 gr/dL – 7,9 gr/dL
4) Berat : Hb <6 gr/Dl

III. ETIOLOGI
a) Gejala umum
Gejala umum disebut juga sebagai sindrom anemia. Gejala umum sindrom anemia
adalah gejala yang timbul pada semua jenis anemia pada kadar hemoglobin yang
sudah menurun sedemikian rupa dibawah titik tertentu. Gejala ini timbul karena
anoksia organ target dan mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan
hemoglobin. Gejala – gejala tersebut apabila diklasifikasikan menurut organ yang
terkena, yaitu sebagai berikut :
1) Sistem kardiovaskuler
Lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi, sesak napas saat beraktifitas, angina
pectoris, dan gagal jantung.
2) Sistem saraf
Sakit kepala, pusing, telinga mendengung, mata berkunang – kunang, kelemahan
otot, iritabilitas, lesu, dan perasaan dingin pada ekstermitas.
3) Sistem urogenital
Gangguan haid dan libido menurun.
4) Epitel
Warna pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit menurun, dan rambut
semakin menipis.
b) Gejala khas masing – masing anemia
1) Anemia defisiensi besi : disfagia, atropi papil lidah, dan stomatitis angularis.
2) Anemia difisiensi as.folat : lidah merah atau buffy tongue.
3) Anemia hemolitik : ikterus dan hepatospenomegali.
4) Anemia aplastik : perdarahan kulit, mukosa, dan tanda – tanda infeksi.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Menurut Handayani & Haribowo (2008), terdapat beberapa pemeriksaan penunjang,
yaitu :
a) Pemeriksaaan laboratorium hematologis
 Tes penyaring
Tes ini dilakukan pada tahap awal pada setiap kasus anemia. Dengan pemeriksaan
ini, dapat dipastikan adanya anemia dan bentuk morfologi anemia tersebut.
Pemeriksaan ini meliputi pengkajian pada komponen – komponen, yaitu kadar
hemoglobin, indeks eritrosit, dan apusan darah tepi.
 Pemeriksaan rutin
Yaitu pemeriksaan untuk mengetahui kelainan pada sistem leukosit dan trombosit.
Pemeriksaan yang dilakukan meliputi laju endap darah (LED), hitung diferensial,
dan hitung retikulosit.
 Pemeriksaan sumsum tulang belakang
Pemeriksaan ini harus dilakukan pada sebagian besar kasus anemia untuk
mendapatkan diagnosis definitive meskipun ada beberapa kasus yang
diagnosisnya tidak memerlukan pemeriksaan sumsum tulang.
 Pemeriksaan atas indikasi khusus
Pemeriksaan ini akan dikerjakan jika telah mempunyai dugaan diagnosis awal
sehingga fungsinya adalah untuk mengonfirmasi dugaan diagnosis tersebut.
Pemeriksaan tersebut meliputi komponen, sebagai beikut anemia defisiensi besi
(serum iron, TIBC, saturasi transferin, dan feritin serum), anemia megaloblastik
(asam folat darah atau eritrosit dan vitamin B12), anemia hemolitik (hitung
retikulosit, tes Coombs, dan elektroforesis Hb), dan anemia pada leukemia akut
biasanya dilakukan pemeriksaan sitokimia.
b) Pemeriksaan lanoratorium non-hematologis
 Faal ginjal
 Faan endokrin
 Faal hati
 Asam urat
 Biakan kuman
c) Pemeriksaan biopsy kelenjar yang dilanjutkan dengan pemeriksaan histopatologi
d) Pemeriksaa radiologi
e) Pemeriksaan biologi molekuler

V. PENATALAKSANAAN MEDIS
a) Terapi gawat darurat
Pada kasus anemia dengan lemah jantung atau ancaman lemah jantung, maka harus
segera diberikan terapi darurat dengan tranfusi sel darah merah yang dimampatkan
untuk mencegah perburukan lemah jantung tersebut.
b) Terapi khas untuk masing – masing anemia
Menurut Handayani & Haribowo (2008), penatalaksanaan terapi khas untuk
masing – masing anemia, adalah sebagai berikut :
1. Anemia defisiensi besi
 Mengatasi penyebab perdarahan kronik, misalnya pada ankilostomiasis
diberikan antelmintik yang sesuai.
 Pemberian preparat Fe.
 Pengobatan anemia defisiensi zat besi biasanya terdiri dari suplemen
makanan dan terapi zat besi. Kekurangan zat besi dapat diserap dari sayuran,
produk biji – bijian, produk susu, dan telur.
2. Anemia pernisosa
 Pemberian vitamin B12 1.000 mg/hari secara intramuscular selama 5 – 7
hari, 1 kali tiap bulan.
3. Anemia defisiensi asam folat
 Pengobatan terhadap penyebabnya dan dapat dilakukan pula dengan
pemberian atau suplementasi asam folat oral 1 mg per hari.
4. Anemia pada penyakit kronik
 Pada anemia yang mengancam nyawa, dapat diberikan transfusi darah
merah seperlunya. Pengobatan dengan suplementasi besi tidak
diindikasikan. Pemberian kobalt dan eritropoeitin dikatakan dapat
memperbaiki anemia pada penyakit kronik.
5. Anemia aplastik
 Sebaiknya diberikan transfusi darah merah. Bila diperlukan trombosit,
berikan darah segar atau platelet concentrate.
 Atasi komplikasi (infeksi) dengan antibiotik. Lakukan Hygiene yang baik
perlu untuk mencegah timbulnya infeksi.
 Kortikosteroid diberikan dengan dosis rendah mungkin bermanfaat pada
perdarahan akibat trombositopenia berat.
 Berikan androgen, seperti fluokrimesteron, testosteron, metandrostenolon,
dan nondrolon. Efek samping yang mungkin terjadi, virilisasi, retensi air dan
garam, perubahan hati, dan amenore.
 Pemberian imunosupresif seperti siklosporin, globulin antitimosit.
Champlin, dan sebaginya menyarankan penggunaannya pada pasien >40
tahun yang tidak menjalani transplantasi sumsum tulang dan pada pasien
yang telah mendapat transfusi berulang.
 Transplantasi sumsum tulang.
6. Anemia hemolitik
 Penatalaksanaan anemia hemolitik disesuaikan dengan penyebabnya. Bila
karena reaksi toksik - imunologik, yang dapat diberikan adalah
kortikosteroid. Jika perlu dilakukan splenektomi. Apabila keduanya tidak
berhasil, dapat diberikan obat sitostatik, seperti klorambusil dan
siklofosfamid.
c) Terapi kasual
Terapi kausal merupakan terapi untuk mengobati penyakit dasar yang menjadi
penyebab anemia. Misalnya, anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh infeksi
cacing tambang harus diberikan obat anti cacing tambang.
d) Terapi ex-juvantivus
Terapi yang terpaksa diberikan sebelum diagnosis dapat dipastikan, jika terapi ini
berhasil, berarti diagnosis dapat dikuatkan. Terapi ini hanya dilakukan jika tidak
tersedia fasilitas diagnosis yang mencukupi. Pada pemberian terapi jenis ini, penderita
harus diawasi dengan ketat. Jika terdapat respon yang baik, terapi diteruskan, tetapi
jika tidak terdapat respon, maka harus dilakukan evaluasi kembali.
SUSPECT METASTASE PARU

I. DEFINISI
Kanker paru adalah tumor ganas paru primer yang berasal dari saluran napas atau epitel
bronkus. Terjadinya kanker ditandai dengan pertumbuhan sel yang tidak normal, tidak
terbatas, dan merusak sel – sel jaringan yang normal. Proses keganasan pada epitel bronkus
didahului oleh masa pra-kanker. Perubahan pertama yang terjadi pada masa pra-kanker
disebut metaplasia skuomosa yang ditandai dengan perubahan terbentuk epitel dan
menghilangnya silia (Robbin & Kumar, 2007).

II. KLASIFIKASI
Kanker paru dibagi menjadi kanker paru sel kecil (SCLC) dan kanker paru sel tidak
kecil (NSLC). Klasifikasi ini digunakan untuk menentukan terapi. Termasuk didalam
golongan kanker paru sel tidak kecil adalah epidermoid, adenokarsinoma, tipe – tipe sel
besar, dan campuran dari ketiganya.
a) Karsinoma selskuomosa
Merupakan tipe histologik kanker paru yang paling sering ditemukan, berasal dari
permukaan epitel bronkus. Perubahan termasuk metaplasia, dysplasia akibat merokok
jangka panjang, secara khas mendahului timbulnya tumor. Karsinoma selskuomosa
biasanya terletak disentral sekitar hilus dan menonjol kedalam bronchi besar.
b) Adenakarsinoma
Memperlihatkan susunan seluler seperti kelenjar bronkus dan mengandung mukus.
Kebanyakan jenis tumor ini timbul dibagian perifer segmen bronkus dan kadang –
kadang dapat dikaitkan dengan jaringan parut lokal pada paru dan tibrosis interstinal
kronik. Lesi sering kali meluas ke pembuluh darah dan limfe pada stadium dini dan
sering bermetastase jauh sebelum lesi primer menyebabkan gejala.
c) Karsinoma bronko alveolus
Dimasukkan sebagai sub tipe denokarsinoma dalam klasifikasi terbaru tumor paru di
WHO. Karsinoma ini adalah sel – sel ganas yang besar dan berditerensiasi sangat
buruk dengan sitoplasma yang besar dan ukuran inti bermacam – macam. Sel – sel ini
cenderung timbul pada jaringan paru perifer, tumbuh cepat dengan penyebaran
ekstensif dan cepat ke tempat – tempat yang jauh.
d) Karsinoma sel kecil
Umumnya tampak sebagai massa abu – abu pucat yang terletak disentral dengan
perluasan kedalam parenkim paru dan keterlibatan dini kelenjar getah bening hilus dan
mediastinum. Kanker ini terdiri atas sel tumor dengan bentuk bulat hingga lonjong,
sedikit sitoplasma, dan kromatin granular. Gambaran miotik sering ditemukan
nekrosis dan makin luas. Sel tumor sangat rapuh dan sering memperlihatkan
fragmentasi pada sediaan biopsi. Gambaran karsinoma sel kecil, yang paling jelas pada
pemeriksaan sitologik adalah berlipatnya nukleus akibat letak sel tumor dengan sedikit
sitoplasma yang saling berdekatan.
e) Karsinoma sel besar
Merupakan sel – sel ganas dan berditerensiasi sangat buruk dengan sitoplasma yang
besar dan ukuran inti bermacam – macam. Sel ini cenderung timbul pada jaringan paru
perifer, tumbuh cepat dengan penyebaran ekstensit dan cepat ke tempat yang jauh.

III. ETIOLOGI
Merokok merupakan faktor utama yang diketahui yang memicu berkembangnya
kanker paru – paru. Jika Anda merokok, Anda harus menyadari fakta – fakta berikut ini:
a) Perokok memiliki risiko untuk mengidap kanker paru – paru 20 kali lebih tinggi
daripada orang yang tidak merokok.
b) 1 dari 10 perokok menderita kanker paru – paru.
c) Paparan terhadap asap rokok secara berkala (perokok pasif) akan sangat meningkatkan
risiko terkena kanker paru – paru (2 hingga 3 kali lebih tinggi dari biasanya).
Selain merokok, faktor – faktor berikut ini juga bisa meningkatkan risiko terkena
kanker paru – paru :
a) Tidak adanya asupan buah-buahan segar dan sayuran secara berkepanjangan, dan
makanan kaya vitamin A dalam pola makan seseorang.
b) Paparan terhadap uap minyak yang dihasilkan selama memasak secara
berkepanjangan.
c) Asupan makanan yang diawetkan atau dipanggang secara berkala.
d) Paparan terhadap uap hasil bakaran dupa secara berkepanjangan.
e) Ras atau faktor keturunan.
Tanda atau gejala berikut ini bisa mengindikasikan adanya penyakit kanker paru –
paru, diantaranya adalah :
a) Rasa lelah secara berkepanjangan.
b) Nafsu makan yang buruk dan penurunan berat badan.
c) Batuk kronis.
d) Mengi.
e) Dahak dengan darah.
f) Nyeri di dada: nyeri samar – samar atau rasa sakit yang parah di dada saat batuk atau
saat menarik napas dalam – dalam.
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak hanya perokok yang harus memeriksakan kesehatan mereka secara berkala,
orang – orang yang mengalami gejala – gejala di atas juga harus segera mengunjungi dokter
keluarga mereka. Tes diagnostik untuk kanker paru – paru mencakup hal – hal berikut ini :
a) Sinar X bagian dada.
b) Pemeriksaan sitologi sputum: sampel dahak diperiksa dengan bantuan mikroskop
untuk melihat adanya sel – sel yang tidak normal.
c) Bronkoskopi merupakan pemeriksaan saluran pernapasan dengan bronkoskopi untuk
memvisualisasikan status mukosa. Pemeriksaan ini bisa mengungkapkan daerah tumor
yang bisa dibiopsi untuk keperluan diagnosis jenis sel kanker. Hasilnya bisa membantu
para dokter untuk menentukan apakah tindakan operasi harus diberikan.
d) CT scan atau Pemindaian tomografi emisi positron: pemeriksaan ini bisa membantu
untuk menentukan apakah tumor telah menyebar ke jaringan sekitar di dada, seperti
kelenjar getah bening lokal. Dokter lalu akan memutuskan apakah kanker paru – paru
pasien bisa diobati dengan tindakan operasi.

V. PENATALAKSANAAN MEDIS
Pengobatan kanker paru – paru bisa mencakup tindakan operasi, radioterapi eksternal,
kemoterapi, dan langkah – langkah pengobatan paliatif lainnya, seperti laser, terapi radiasi
internal, dan penggunaan obat – obatan. Perawatan modalitas tunggal atau kombinasi bisa
digunakan, tergantung pada status kesehatan pasien secara umum.
a) Bedah
Metode pengobatan ini menawarkan peluang kesembuhan terbaik bagi pasien yang
menderita kanker paru – paru stadium awal, yang belum menyebar keluar dari paru –
paru. Tingkat kuratif dari tindakan operasi mencapai lebih dari 60% di antara pasien
penderita penyakit stadium awal. Volume reseksi tergantung pada status tumor yang
ganas. Tindakan operasi mungkin melibatkan proses pengangkatan tumor bersama
dengan beberapa jaringan di sekitarnya, sementara tindakan lainnya mungkin
melibatkan proses pengangkatan seluruh lobus atau bahkan satu bagian dari paru –
paru.
b) Radioterapi Eksternal
Tindakan ini bisa diberikan sebagai terapi kuratif kanker paru – paru stadium awal bagi
pasien yang tidak bisa menjalani tindakan operasi karena sudah berusia lanjut atau
memiliki penyakit lainnya. Radioterapi berguna untuk menghancurkan sel – sel kanker
pada pasien jika terdapat penyebaran tumor secara lokal, sel kanker yang tidak bisa
diangkat melalui tindakan pembedahan pasca operasi, atau gejala yang disebabkan
oleh penyebaran kanker (seperti sakit tulang dan metastasis otak).
c) Kemoterapi
Untuk pasien dengan kanker paru – paru metastatik, obat kemoterapi akan digunakan
untuk membantu menghentikan pembelahan dan perkembangan sel – sel kanker. Obat
antikanker tunggal atau kombinasi akan disuntikkan ke tubuh pasien dengan metode
infus intravena. Pasien perlu beristirahat selama 3 – 4 minggu sebelum menerima infus
lebih lanjut, biasanya 4 – 6 infus akan diberikan selama keseluruhan tindakan
pengobatan ini.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a) Biodata :
Nama pasien, umur, agama, jenis kelamin, pekerjaan, no. register, status
pernikahan, pendidikan, alamat, no, telepon, tanggal waktu datang, jam waktu
datang, penanggung jawab, diterima dari, dan cara datang.
b) Keluhan utama atau MRS
Perdarahan dan keputihan.
c) Riwayat penyakit sekarang
Klien datang dengan perdarahan pasca coitus dan terdapat keputihan yang berbau
tetapi tidak gatal. Perlu ditanyakan pada pasien atau keluarga tentang tindakan
yang dilakukan untuk mengurangi gejala dan hal yang dapat memperberat,
misalnya keterlambatan keluarga untuk memberi perawatan atau membawa ke
rumah sakit dengan segera dan kurangnya pengetahuan keluarga.
d) Riwayat penyakit dahulu
Perlu ditanyakan pada pasien dan keluarga, apakah pasien pernah mengalami hal
yang demikian dan perlu ditanyakan juga apakah pasien pernah menderita penyakit
infeksi.
e) Riwayat kesehatan keluarga
Perlu ditanyakan apakah dalam keluarga ada yang menderita penyakit seperti ini
atau penyakit menular lain.
f) Pola persepsi - pengelolaan pemeliharaan kesehatan
g) Pola aktivitas dan istirahat :
 Kelemahan atau keletihan akibat anemia.
 Perubahan pada pola istirahat dan kebiasaan tidur pada malam hari.
 Adanya faktor – faktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas, dan
keringatan di malam hari.
 Pekerjaan dengan penajaman karsinogen lingkungan dan tingkat stress tinggi.
h) Pola eliminasi :
 Pada kanker serviks terjadi perubahan pola defekasi dan mengalami
perubahan eliminasi urinalis, seperti nyeri.
 Pada kanker ovarium didapat tandai haid tidak teratur, sering berkemih,
menoupose dini, dan menoragia.
i) Pola makan dan minum :
Kebiasaan asupan diet buruk, seperti rendah serat, tinggi lemak, adiktif, dan
pengawet rasa.
j) Pola kognitif :
Keadaan mental, berbicara lancar atau tidak, bahasa yang dikuasai, dan kemampan
memahami.
k) Kebersihan diri :
Pemeliharaan badan, pemeliharaan gigi dan mulut, dan pemeliharan kuku.
l) Data psikososial :
Dalam pemeliharaan kesehatan dikaji tentang pemeliharaan gizi di rumah dan
bagaimana pengetahuan keluarga tentang penyakit kanker serviks.
m) Sexualitas :
Perubahan pola respon seksual, keputihan (jumlah, karakteristik, bau), dan perdarahan
sehabis senggama (pada kanker serviks)
n) Pemeriksaan fisik :
Keadaan umum, kesadaran, dan pemeriksaan head to toe.

2. Diagnosa Keperawatan, Kriteria Hasil, dan Intervensi


a) Diagnosa : 00132 – Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis d.d
perilaku ekspresif, ekspresi wajah nyeri, dan keluhan tentang
karateristik nyeri dengan menggunakan standar instrument nyeri.
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan, diharapkan nyeri klien
dapat berkurang.
Kriteria hasil :
2102 - Tingkat Nyeri
Indikator Berat Cukup Sedang Ringan Tidak
Berat ada
Nyeri 3 5
Panjangnya episode 3 5
nyeri
Mengerinyit 3 5
Tidak bisa istirahat 3 5

Keterangan :
1. Berat
2. Cukup berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada
Intervensi :
1401 Manajemen Nyeri
1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif meliputi lokasi, karakteristik,
durasi, frekuensi, kualitas, beratnya nyeri dan faktor pencetus.
2. Observasi adanya petunjuk nonverbal mengenai ketidaknyamanan.
3. Gunakan strategi komunikasi teraupetik untuk mengetahui pengalaman nyeri
pasien terhadap nyeri.
4. Evaluasi pengalaman nyeri sebelumnya dengan tepat.
5. Bantu klien dan keluarga klien untuk mencari dan menyediakan dukungan.
6. Kendalikan faktor lingkungan yang dapat menpengaruhi nyeri, seperti suhu
ruangan, pencahayaan dan kebisingan.
7. Kurangi faktor – faktor yang dapat mencetuskan atau meningkatkan nyeri.
8. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi.
9. Ajarkan penggunaan teknik non farmakologis untuk mengurangi nyeri.
10. Berikan penurun nyeri yang optimal dengan peresepan analgesik.
11. Evaluasi keefektifan dari tindakan pengontrol nyeri yang dipakai selama
pengkajian nyeri dipakai.
12. Dukungan istirahat atau tidur yang adekuat untuk membantu penurunan nyeri.
13. Beritahu dokter jika ada tindakan tidak berhasil atau jika keluhan klien saat ini
berubah signifikan dari pengalaman nyeri sebelumnya.
14. Monitor kepuasan klien terhadap manajemen nyeri.

b) Diagnosa : 00146 – Ansietas berhubungan dengan menyadari perubahan


fisiologis d.d stressor.
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan, diharapkan kecemasan
klien dapat menurun.
Kriteria hasil :
1211 Tingkat Kecemasan
Indikator Berat Cukup Sedang Ringan Tidak
Berat ada
Perasaan gelisah 3 5
Peningkatan tekanan 3 5
darah
Rasa takut yang di 3 5
sampaikan secara lisan
Rasa cemas yang di 3 5
sampaikan secara lisan
Tidak bisa istirahat 3 5
Keterangan :

1. Berat
2. Cukup berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada

Intervensi :
5880 Teknik Menenangkan
1. Tenangkan klien.
2. Kurangi stimulasi yang menciptakan perasaan takut maupun cemas.
3. Identifikasi orang – orang terdekat klien yang bisa membantu klien.
4. Instruksikan klien untuk menggunakan metode mengurangi kecemasan,
misalnya teknik bernapas dalam, distraksi, visualisasi, jika diperlukan.
5. Memberikan informasi faktual mengenai diagnosis, perawatan, dan prognosis.
6. Mengidentifikasi perubahan tingkat kecemasan.
7. Membantu klien mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan.
8. Memberikan obat untuk mengurangi kecemasan.

6480 Manajemen Lingkungan


1. Ciptakan lingkungan yang aman bagi klien.

6680 Monitor Tanda – Tanda Vital


1. Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan status pernapasan.

c) Diagnosa : 00016 – Hambatan eliminasi urin berhubungan dengan obstruksi


anatomik d.d inkontinensia urine.
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan, diharapkan hambatan
eliminasi urin klien dapat membaik.
Kriteria hasil :
0503 – Eliminasi Urine
Indikator Sangat Banyak Cukup Sedikit Tidak
terganggu terganggu terganggu terganggu terganggu
Pola eliminasi 3 5
Bau urine 3 5
Jumlah urine 3 5
Kejernihan urine 3 5
Berat Cukup Sedang Ringan Tidak ada
Berat
Nyeri berkemih 3 5
Frekuensi berkemih 3 4
Retensi urine 3 5

Keterangan :
1. Sangat terganggu/ Berat
2. Banyak terganggu/ Cukup berat
3. Cukup terganggu/ Sedang
4. Sedikit terganggu/ Ringan
5. Tidak terganggu/ Tidak ada

Intervensi :
0610 Perawatan Inkontinensia Urine
1. Monitor eliminasi urin termasuk frekuensi, konsistensi, volume, warna, dan bau.
2. Monitor tanda dan gejala retensi urin.
3. Instruksikan klien dan keluarga klien untuk mencatat pola dan jumlah output
urine.
4. Pasang kateter urine.
DAFTAR PUSTAKA
Andrijono. 2007. Vaksinasi HPV Merupakan Pencegahan Primer Kanker Serviks. Jakarta:
Majelis Kedokteran Indonesia.
Andrijono., et al. 2019. Panduan Penatalaksanaan Kanker Serviks. Jakarta: Kementrian
Kesehatan RI.
Brunner & Suddarth. 2013. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 12. Jakarta: EGC.
Gloria, B. Hoard, B. Joanne, D. Cheryl, W. 2013. Nursing Interventions Classifications.
Singapura: Elsevier Singapore.
Gloria, B. Hoard, B. Joanne, D. Cheryl, W. 2013. Nursing Outcomes Classifications.
Singapura: Elsevier Singapore.
Lukman Hakim. 2010. Biologi dan Patogenesis Human Papillomavirus. Surabaya: PKB
“New Perspective of Sexually Transmitted Infection Problems.
Scott R. James., et al. 2002. Buku Saku Obstetri dan Gynekologi. Jakarta: Widya Medika.
Smeltzer, G. Bare. 2002. Dasar – Dasar Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC.
Sperof, Leon. 2005. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility. Lippincot
Williams & Wilkins: Philadelphia.

Anda mungkin juga menyukai