Anda di halaman 1dari 12

FORMAT LAPORAN PENDAHULUAN

HYALIN MEMBRANE DISEASE

I. DEFINISI
Hyaline Membrane Disease (HMD) atau disebut juga Respiratory Distress Syndrome
(RDS) merupakan hasil dari ketidakmaturan dari paru – paru dimana terjadi gangguan
pertukaran gas. Berdasarkan perkiraan 30% dari kematian neonatus diakibatkan oleh HMD
atau komplikasi yang dihasilkannya (Behrman, 2004).
Hyaline Membrane Disease (HMD) merupakan keadaan akut yang terutama
ditemukan pada bayi prematur saat lahir atau segera setelah lahir, lebih sering pada bayi
dengan usia gestasi dibawah 32 minggu yang mempunyai berat badan dibawah 1500 gram.
Pada Hyaline Membrane Disease (HMD) dapat menyebabkan hipoksia yang
menimbulkan kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolus. Kerusakan ini
menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveolus dan terbentuk fibrin. Fibrin bersama
– sama dengan jaringan epitel yang nekrotik membentuk suatu lapisan yang disebut
membran hyalin.
Secara klinis, bayi dengan Hyaline Membrane Disease (HMD) menunjukkan
takipnea (>60 kali/ menit), pernapasan cuping hidung, retraksi interkosta serta subkosta,
dan expiratory grunting atau merintih dalam beberapa jam pertama kehidupan. Tanda –
tanda klinis lain, seperti hipoksemia dan polisitema. Tanda – tanda lain dari Hyaline
membrane disease (HMD), meliputi hipoksemia, hiperkabia, dan asidosis respiratory atau
asidosis campuran (Bobak, 2005).
Jadi, Hyaline Membrane Disease (HMD) merupakan hal yang paling sering terjadi
pada bayi premature yang disebabkan karena defisiensi surfaktan akibat perkembangan
imatur pada sistem pernafasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru.

II. ANATOMI FISIOLOGI PARU – PARU


Paru – paru berada di dalam rongga dada manusia sebelah kanan dan kiri yang
dilindungi oleh tulang-tulang rusuk. Paru – paru terdiri dari dua bagian, yaitu paru – paru
kanan yang memiliki tiga lobus dan paru – paru kiri memiliki dua lobus. Paru – paru
sebenarnya merupakan kumpulan gelembung alveolus yang terbungkus oleh selaput yang
disebut selaput pleura.
Fungsi Paru – Paru
Paru – paru merupakan organ yang sangat vital bagi kehidupan manusia karena tanpa
paru – paru manusia tidak dapat hidup. Dalam sistem ekskresi, paru – paru berfungsi untuk
mengeluarkan karbondioksida (CO2) dan uap air (H2O).
Didalam paru – paru terjadi proses pertukaran antara gas oksigen dan
karbondioksida. Setelah membebaskan oksigen, sel darah merah menangkap
karbondioksida sebagai hasil metabolisme tubuh yang akan dibawa ke paru – paru.
Didalam paru – paru karbondioksida dan uap air dilepaskan dan dikeluarkan dari paru –
paru melalui hidung.
Surfaktan
Surfaktan merupakan suatu bahan senyawa kimia yang memiliki sifat permukaan
aktif. Surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein. Lipoprotein ini berfungsi
menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap mengembang. Surfaktan
biasanya didapatkan pada paru – paru yang matur. Surfaktan dibuat oleh sel alveolus tipe II
yang mulai tumbuh pada gestasi 22 – 24 minggu dan mulai mengeluarkan keaktifan pada
gestasi 24 – 26 minggu, yang mulai berfungsi pada masa gestasi 32 – 36 minggu. Produksi
surfaktan pada janin dikontrol oleh kortisol melalui reseptor kortisol yang terdapat pada sel
alveolus. Pada bayi premature, produksi surfaktan seringkali tidak memadai guna
mencegah alveolar collapse dan atelektasis sehingga dapat terjadi Hyaline Membrane
Disease (HMD).

III. KLASIFIKASI
Sindrom gawat nafas Hyaline Membrane Disease (HMD), menurut Bobak (2005)
dikelompokkan sebagai berikut :
1. Syndrom Gawat Nafas Klasik (Clasik Respyratory Distress Syndrome)
Thoraks atau dada berbentuk seperti bel disebabkan karena kekurangan aerasi
(underaration). Volume paru – paru menurun, parenkim paru – paru memiliki pola
retikulogranuler difusi, dan terdapat gambaran broncho gram udara yang meluas ke
perifer.
2. Sindrom Gawat Nafas Sedang - Berat (Moderately Severe Respiratory Distress
Syndrome)
Pola retikulogranuler lebih menonjol dan terdisribusi lebih merata. Paru – paru
hypoaerated, dapat dilihat pada bronkhogram udara meningkat.
3. Sindrom Gawat Nafas Berat (Severe Respiratory Distress Syndrome)
Terdapat retikulogranuler yang berbentuk opaque pada kedua paru – paru area cystic
pada paru – paru kanan bisa manunjukan alveoli yang berdilatasi atau empisema
interstitial pulmonal dini.

IV. ETIOLOGI
Penyebab dari Hyaline Membrane Disease (HMD), ini diantaranya adalah sebagai
berikut :
1. Prematuritas dengan paru – paru yang imatur (gestasi dibawah 32 minggu).
2. Gangguan atau defisiensi surfaktan.
3. Bayi prematur yang lahir dengan operasi caesar.
4. Penurunan suplay oksigen saat janin atau saat kelahiran pada bayi matur atau
prematur.
Pembentukan surfaktan dipengaruhi pH normal, suhu, dan perfusi. Asfiksia,
hipoksemia, dan iskemia pulmonal yang terjadi akibat hipovolemia, hipotensi, dan stress
dinginakanmenghambat pembentukan surfaktan. Epitel yang melapisi paru – paru juga
dapat rusak akibat konsentrasi oksigen yang tinggi dan efek pengaturan respirasi,
mengakibatkan semakin berkurangnya surfaktan.
Kelainan dianggap terjadi karena faktor pertumbuhan atau pematangan paru yang
belum sempurna antara lain bayi prematur, terutama bila ibu menderita gangguan perfusi
darah uterus selama kehamilan, diantaranya adalah :
1. Diabetes.
2. Toxemia.
3. Hipotensi.
4. Perdarahan antepartum.
5. Sebelumnya melahirkan bayi dengan Hyaline Membrane Disease (HMD).

V. TANDA DAN GEJALA


Bayi penderita Hyaline Membrane Disease (HMD) biasanya bayi kurang bulan yang
lahir dengan berat badan antara 1200 – 2000 gram dengan masa gestasi antara 30 – 36
minggu. Jarang ditemukan pada bayi dengan berat badan lebih dari 2500 gram dan masa
gestasi lebih dari 38 minggu. Gejala klinis biasanya mulai terlihat pada beberapa jam
pertama setelah lahir terutama pada umur 6 – 8 jam. Gejala karakteristik mulai timbul pada
usia 24 – 72 jam dan setelah itu keadaan bayi mungkin memburuk atau mengalami
perbaikan. Apabila membaik gejala biasanya menghilang pada akhir minggu pertama.
Gangguan pernafasan pada bayi terutama disebabkan oleh atalektasis dan perforasi
paru yang menurun. Keadaan ini akan memperlihatkan keadaan klinis sebagai berikut :
1. Dispnea atau hiperpnea.
2. Sianosis.
3. Retraksi suprasternal, epigastrium, dan intercostals.
4. Rintihan saat ekspirasi (grunting).
5. Takipnea (frekuensi pernafasan > 60 kali/ menit).
6. Melemahnya udara napas yang masuk ke dalam paru.
7. Mungkin pula terdengar bising jantung yang menandakan adanya duktur arteriosus
yang paten.
8. Kardiomegali.
9. Bradikardi (pada HMD berat).
10. Hipotensi.
11. Tonus otot menurun.
12. Edema.
Gejala Hyaline Membrane Disease (HMD), biasanya mencapai puncaknya pada hari
ke-3. Sesudahnya terjadi perbaikan perlahan – lahan. Perbaikan sering ditunjukan dengan
diuresis spontan dan kemampuan oksigenasi bayi dengan kadar oksigenasi bayi yang lebih
rendah.
Kelemahan jarang pada hari pertama sakit biasanya terjadi antara hari ke-2 dan ke-3
dan disertai dengan kebocoran udara alveolar (emfisema interstisial dan pneumotoraks),
perdarahan paru atau interventrikuler.
Pada bayi extremely premature (berat badan lahir sangat rendah) mungkin dapat
berlanjut apnea dan atau hipotermi. Pada Hyaline Membrane Disease (HMD) yang tanpa
komplikasi maka surfaktan akan tampak kembali dalam paru pada umur 36 – 48 jam.
Gejala dapat memburuk secara bertahap pada 24 – 36 jam pertama. Selanjutnya, bila
kondisi stabil dalam 24 jam maka akan membaik dalam 60 – 72 jam. Dan sembuh pada
akhir minggu pertama.
VI. PATOFISIOLOGI
Berbagai teori telah dikemukakan sebagai penyebab kelainan ini. Pembentukan
substansi surfaktan paru yang tidak sempurna dalam paru, merupakan salah satu teori yang
banyak dianut. Surfaktan adalah zat yang memegang peranan penting dalam
pengembangan paru – paru dan merupakan suatu kompleks yang terdiri dari protein,
karbohidrat, dan lemak. Senyawa utama zat tersebut adalah lesitin. Zat ini mulai dibentuk
pada kehamilan 22 – 24 minggu dan mencapai maksimum pada minggu ke-35.
Surfaktan merupakan gabungan kompleks fosfolipid. Surfaktan membuat stabil
alveoli dan mencegahnya dari kolaps pada saat ekspirasi dengan mengurangi tegangan.
Dipalmitoylphophatidyl choline (DPPC) merupakan komposisi utama dalam surfaktan
yang mengurangi surface tension. Surfaktan memiliki 4 surfactant-associated proteins,
yaitu SP - A, SP - B, SP – C, dan SP – D. Surfaktan disintesis oleh sel alveolar tipe II
dengan proses multi-step dan mensekresi lamellar bodies, yang memiliki kandungan
fosfolipid yang tinggi. Lamellar bodies ini berikutnya diubah menjadi lattice structure yang
dinamakan tubular myelin. Penyebaran dan adsorpi dari surfaktan merupakan karakteristik
yang penting dalam pembentukan monolayer yang stabil dalam alveolus.
Peranan surfaktan adalah untuk merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga
tidak terjadi kolaps dan mampu untuk menahan sisa udara fungsionil pada akhir ekspirasi.
Defisiensi substansi surfaktan yang ditemukan pada penyakit membrane hyalin
menyebabkan kemampuan paru – paru untuk mempertahankan stabilitasnya terganggu.
Alveolus akan kembali kolaps setiap akhir ekspirasi, sehingga untuk pernafasan berikutnya
dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang lebih besar yang disertai usaha inspirasi yang
lebih kuat. Kolaps paru ini akan menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi
hipoksia, retensi CO2, dan asidosis. Hipoksia akan menimbulkan, yaitu :
1. Oksigenasi jaringan menurun, sehingga akan terjadi metabolism anaerobic dengan
penimbunan asam laktat dan asan organic lainnya yang menyebabkan terjadinya
asidosis metabolik pada bayi.
2. Kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolaris yang akan menyebabkan
terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan terbentuknya fibrin dan selanjutnya fibrin
bersama – sama dengan jaringan epitel yang nekrotik membentuk suatu lapisan yang
disebut membran hyalin. Asidosis dan atelektasis juga menyebabkan terganggunya
sirkulasi darah dari dan ke jantung. Demikian pula aliran darah paru akan menurun
dan hal ini akan mengakibatkan berkurangnya pembentukan substansi surfaktan.

Secara singkat dapat diterangkan bahwa dalam tubuh terjadi lingkaran setan yang
terdiri dari sebagai berikut :
Atelektasis  Hipoksia  Asidosis  Transudasi  Penurunan aliran darah paru
 Hambatan pembentukan substansi surfaktan  Atelektasis. Hal ini akan berlangsung
terus sampai terjadi penyembuhan atau kematian pada bayi.
VII. PATHWAY
Ibu hamil penderita DM
Tipe I

Suntikan insulin

Pembentukan sel
alveolus tipe II terhambat

Premature Zat surfaktan belum


terbentuk sempurna

Lapisan lemak Kekurangan zat


belum terbentuk surfakatan dalam tubuh
pada kulit
Atelectasis
Hipotermia

Alveolus menjadi kolaps

Hyline Membrane
Disease
Peningkatan usaha untuk
Ventilasi terganggu
bernapas

Hipoksia Takipnea
Metabolism anaerob
Refleks hisap menurun

Asidosis metabolik
Intake tidak adekuat

Hambatan Pertukaran
Gas Ketidakseimbangan
Nutrisi: Kurang dari
Kebutuhan Tubuh

VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Gambaran Rontgen
Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium Hyaline
Membrane Disease (HMD), yaitu :
a. Stadium 1 : Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram
udara.
b. Stadium 2 : Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan
gambaran airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke
perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru.
c. Stadium 3 : Kumpulan alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua
lapangan paru terlihat lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat,
bronchogram udara lebih luas.
d. Stadium 4 : Seluruh thorax sangat opaque (white lung) sehingga jantung tak
dapat dilihat.
2. Laboratorium
Kimia darah :
a. Meningkatnya asam laktat dan asam organik lain > 45 mg/dl.
b. Merendahnya bikarbonat standar.
c. pH darah dibawah 7,2.
d. PaO2 menurun.
e. PaCO2 meninggi.
3. Echocardiografi
Echocardiografi dilakukan untuk mendiagnosa PDA dan menentukan arah dan
derajat pirau. Juga berguna untuk mendiagnosa hipertensi pulmonal dan
menyingkirkan kemungkinan adanya kelainan struktural jantung.
4. Tes kocok (Shake test)
Dari aspirat lambung dapat dilakukan tes kocok. Aspirat lambung diambil melalui
nasogastrik tube pada neonatus sebanyak 0,5 ml. Lalu ditambahkan 0,5 ml alkohol
96 %, dicampur di dalam tabung 4 ml, kemudian dikocok selama 15 detik dan
didiamkan selama 15 menit.
Pembacaan :
a. Neonatus imatur : tidak ada gelembung 60 % resiko terjadi Hyaline Membrane
Disease (HMD).
b. +1 : gelembung sangat kecil pada meniskus (< 1/3) 20 % resiko terjadi Hyaline
Membrane Disease (HMD).
c. +2 : gelembung satu derat, > 1/3 permukaan tabung.
d. +3 : gelembung satu deret pada seluruh permukaan dan beberapa
gelembung pada dua deret.
e. +4 : gelembung pada dua deret atau lebih pada seluruh permukaan neonatus
matur.
5. Amniosentesis
Berbagai macam tes dapat dilakukan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya
Hyaline Membrane Disease (HMD), antara lain mengukur konsentrasi lesitin dari
cairan amnion dengan melakukan amniosentesis (pemeriksaan antenatal).

IX. PENATALAKSANAAN MEDIS


Dasar tindakan adalah mempertahankan bayi dalam suasana fisiologis sebaik –
baiknya, agar bayi mampu melanjutkan perkembangan paru – paru dan organ lainnya
sehingga dapat mengadakan adaptasi sendiri terhadap sekitarnya. Tindakan yang perlu
dilakukan diantaranya adalah :
1. Memberikan lingkungan yang optimal. Suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan agar
tetap dalam batas normal (36,5 – 37oC) dengan meletakkan bayi di dalam inkubator.
Humiditas ruangan juga harus adekuat (70 – 80 %).
2. Pemberian oksigen harus berhati – hati.
Prinsip :
Oksigen mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap bayi yang baru lahir.
Pemberian O2 yang terlalu banyak dapat menimbulkan komplikasi yang tidak
diinginkan seperti fibrosis paru (bronchopulmonary dysplasia atau BPD), kerusakan
retina (fibroplasi retrolental atau retinopathy of prematurity atau ROP), dan lain-lain.
Untuk mencegah timbulnya komplikasi ini, pemberian O2 sebaiknya diikuti dengan
pemeriksaan saturasi oksigen, sebaiknya diantara 85 – 93 % dan tidak melebihi 95 %
untuk mengurangi terjadinya ROP dan BPD.
Terapi oksigen yang sesuai dengan kondisi, yaitu :
a. Nasal kanul atau head box dengan kelembaban dan konsentrasi yang cukup
untuk mempertahankan tekanan oksigen arteri antara 50 – 70 mmHg untuk
distres pernafasan ringan.
b. Jika PaO2 tidak dapat dipertahankan diatas 50 mmHg pada konsentrasi oksigen
inspirasi 60% atau lebih, penggunaan NCPAP (Nasal Continuous Positive
Airway Pressure) terindikasi. NCPAP merupakan metode ventilasi yang non-
invasif. Penggunaan NCPAP sedini mungkin (early NCPAP) untuk stabilisasi
bayi dengan berat lahir sangat rendah (1000 – 1500 gram) di ruang persalinan
juga direkomendasikan untuk mencegah kolaps alveoli. Penggunaan humidified
high flow nasal cannula therapy (HHFNC) sebagai pengganti NCPAP sedang
digalakkan di beberapa negara karena memiliki keefektivitasan yang sama
dengan NCPAP serta dapat digunakan untuk bayi dengan semua usia gestasi.
c. Ventilator mekanik digunakan pada bayi dengan Hyaline Membrane Disease
(HMD) berat atau komplikasi yang menimbulkan apneu persisten. Ventilator
mekanik dihubungkan erat dengan terjadinya bronchopulmonary dysplasia
(BPD) dan juga meningkatkan risiko terjadinya trauma dan infeksi. Indikasi
rasional untuk penggunaan ventilator adalah:
 pH darah arteri < 7,2.
 pCO2 darah arteri 60mmHg atau lebih.
 pO2 darah arteri 50mmHg atau kurang pada konsentrasi oksigen 70 – 100%
dan tekanan CPAP 6 – 10 cm H2O.
 Apneu persisten.
3. Pemberian cairan, glukosa, dan elektrolit sangat berguna pada bayi yang menderita
Hyaline Membrane Disease (HMD).
Prinsip :
Pada fase akut, harus diberikan melalui intravena. Cairan yang diberikan harus
cukup untuk menghindarkan dehidrasi dan mempertahankan homeostasis tubuh yang
adekuat. Pada hari – hari pertama diberiksan glukosa 5 – 10 % dengan jumlah yang
disesuaikan dengan umur dan berat badan (60 – 125 ml/kgbb/ hari). Asidosis
metabolik yang selalu terdapat pada penderita, harus segera diperbaiki dengan
pemberian NaHCO3 secara intravena. Pemeriksaan keseimbangan asam – basa tubuh
harus diperiksa secara teratur agar pemberian NaHCO3 dapat disesuaikan. Kebutuhan
basa ini sebagian dapat langsung diberikan secara intravena dan sisanya diberikan
secara tetesan. Pada pemberian NaHCO3 ini bertujuan untuk mempertahankan pH
darah antara 7,35 – 7,45. Bila fasilitas untuk pemeriksaan keseimbangan asam – basa
tidak ada, NaHCO3 dapat diberikan dengan tetesan. Cairan yang dipergunakan
berupa campuran larutan glukosa 5 – 10 % dengan NaHCO 3 1,5 % dalam
perbandingan 4 : 1. Pada asidosis yang berat, penilaian klinis yang teliti harus
dikerjakan untuk menilai apakah basa yang diberikan sudah cukup adekuat.
Analisis gas darah dilakukan berulang untuk manajemen respirasi. Tekanan
parsial O2 diharapkan antara 50 – 70 mmHg. PaCO2 diperbolehkan antara 45 – 60
mmHg (permissive hypercapnia). pH diharapkan tetap diatas 7,25 dengan saturasi
oksigen antara 88 – 92 %.
4. Pemberian antibiotika.
Setiap penderita Hyaline Membrane Disease (HMD), perlu mendapat antibiotika
untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder. Pemberian antibiotik dimulai dengan
spektrum luas, biasanya dimulai dengan ampisilin 50mg/kgBB intravena setiap 12
jam dan gentamisin 3mg/kgBB untuk bayi dengan berat lahir kurang dari 2 kilogram.
Jika tak terbukti ada infeksi, maka pemberian antibiotika dihentikan.
5. Surfaktan
Surfaktan diberikan dalam 24 jam pertama jika bayi terbukti mengalami Hyaline
Membrane Disease (HMD), diberikan dalam bentuk dosis berulang melalui pipa
endotrakea setiap 6 – 12 jam untuk total 2 - 4 dosis, tergantung jenis preparat yang
dipergunakan.

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
Data Subjektif
a) Biodata :
Nama pasien, umur, agama, jenis kelamin, pekerjaan, no. register, status
pernikahan, pendidikan, alamat, no, telepon, tanggal waktu datang, jam waktu
datang, penanggung jawab, diterima dari, dan cara datang.
b) Keluhan utama atau MRS
c) Riwayat penyakit sekarang
 Riwayat maternal
Menderita penyakit seperti diabetes mellitus, kondisi seperti perdarahan
plasenta, tipe serta lamanya persalinan, dan stress fetal atau intrapartus.
 Status infant saat lahir
Prematur, umur kehamilan, apgar score (apakah terjadi asfiksia), danbayi lahir
melalui operasi caesar.
d) Riwayat penyakit dahulu
e) Riwayat kesehatan keluarga

Data Objektif
a) Sistem kardiovaskuler
- Bradikardia (<100 kali/menit) dengan hipoksemia berat
- Murmur sistolik
- Denyut jantung normal
b) Sistem integument
- Pallor yang disebabkan oleh vasokontriksi peripheral
- Pitting edema pada tangan dan kaki
- Mottling (bintik-bintik seperti cat yang ada pada kulit bayi)
c) Sistem neurologis
- Immobilitas, kelemahan
- Penurunan suhu tubuh
d) Sistem pulmonary
- Takipnea ( >60 kali/menit)
- Nafas grunting
- Pernapasan cuping hidung
- Pernapasan dangkal
- Retraksi suprasternal dan substernal
- Sianosis
- Penurunan suara napas, crakles, episode apnea
e) Status Behavioral
- Letargi
f) Pemeriksaan diagnostik
- Set rontgen dada : untuk melihat densitas atelektasi dan elevasi diafragma
dengan over distensi duktus alveolar.
- Bronchogram udara : untuk menentukan ventilasi jalan napas
- Data laboratorium :
1. Profil paru, untuk menentukan maturitas paru, dengan bahan cairan
amnion (untuk janin yang mempunyai predisposisi RDS).
2. Lesitin/Spingomielin (L/S) ratio 2 : 1 atau lebih mengindikasikan maturitas
paru.
3. Phospatidyglicerol : meningkat saat usia gestasi 35 minggu.
4. GDA : PaO2 80 – 100 mmHg, PaCO2 >50 mmHg, saturasi oksigen 92 % –
94 %, pH 7,3 – 7,45.
5. Level potassium : meningkat sebagai hasil dari release potassium dari sel
alveolar yang rusak.

2. Diagnosa Keperawatan, Kriteria Hasil, dan Intervensi


a) Diagnose : 00030 – Hambatan Pertukaran Gas berhubungan dengan
ketidakseimbangan ventilasi perfusi.
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan, diharapkan pertukaran
gas adekuat.
Kriteria hasil :
 Tidak sianosis.
 Tidak ada ronchi.
 Bayi tampak tenang.
 Respiration rate 30 – 60 x/ menit.
 Nadi 120 – 140 x/ menit.
 GDA dalam batas normal (PaO280-100 mmHg, PaCO235-45 mmHg, pH
7,35-7,45).

Intervensi :
1. Kaji tanda – tanda vital.
2. Kaji status pernafasan, perhatikan adanya tanda – tanda distress pernafasan,
misalnya takipnea, pernafasan cuping hidung, mengorok, retraksi, dan ronkhi.
3. Observasi warna kulit, membrane mukosa, dan kuku.
4. Observasi terhadap tanda dan lokasi sianosis.
5. Berikan oksigen sesuai kebutuhan dengan masker kap selang endotrakeal,
pantau jumlah pemberian oksigen dan durasi pemberian.

b) Diagnose : 00006 – Hipotermia berhubungan dengan distress pernapasan.


Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan, diharapkan klien tidak
hipotermia.
Kriteria hasil :
 Suhu tubuh dalam batas normal (36,5 – 37,5 oC).
Intervensi :
1. Monitor suhu klien, menggunakan alat pengukur yang paling tepat.
2. Monitor warna kulit.
3. Berikan pemanas aktif dan pasif.
4. Tempatkan bayi pada penghangat, isolette, inkubator, tempat tidur terbuka
dengan penyebar hangat.
5. Monitor adanya tanda – tanda hipotermia.
6. Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi, misalnya GDA, glukosa
serum, elektrolit, dan kadar bilirubin.

c) Diagnose : 00002 – Ketidakseimbangan nutrisi; kurang dari kebutuhan tubuh


berhubungan dengan tonus otot menurun.
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan, diharapkan kebutuhan
nutrisi klien dapat terpenuhi.
Kriteria hasil :
 Asupan nutrisi terpenuhi.
Intervensi :
1. Kaji kemampuan menghisap klien.
2. Berikan infus D 10% W sekitar 65 – 80 ml/ kgbb/ hari.
3. Pasang selang orogastrik untuk dapat memasukkan makanan jika diindikasikan.
4. Atur posisi pasien sebelum dan sesudah makan, serta anjurkan seterusnya
setiap kali makan.
5. Ukur intake dan output kalori dan cairan.
6. Timbang berat badan klien setiap hari.
7. Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian diet klien.
DAFTAR PUSTAKA

Bobak, Lowdermik. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas Edisi 4. Jakarta: EGC.
Brunner & Suddarth. 2013. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 12. Jakarta: EGC.
Doenges dan Moorhouse. 2001. Rencana Perawatan Maternal Pedoman untuk
Perencanaan dan Dokumentasi Perawatan KlienEdisi 2. Jakarta: EGC.
Gloria, B. Hoard, B. Joanne, D. Cheryl, W. 2013. Nursing Interventions Classifications.
Singapura: Elsevier Singapore.
Gloria, B. Hoard, B. Joanne, D. Cheryl, W. 2013. Nursing Outcomes Classifications.
Singapura: Elsevier Singapore.
Herdman, T. H. 2018. NANDA-I Diagnosis Keperawatan: Definis dan Klasifikasi 2018 -
2020. Jakarta: EGC.
Leifer, Gloria. 2007. Introduction to Maternity andPediatric Nursing. Saunders Elsevier:
St. Louis Missouri.
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit Edisi 2. Jakarta: EGC.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 2005. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak.
Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UI.
Surasmi, A., et. al. 2003. Perawatan Bayi Risiko Tinggi. Jakarta: EGC.
Suriadi S.Kp, Rita Yuliani S.Kp. 2001. Asuhan Keperawatan pada Anak Edisi 1. Jakarta:
PT. Fajar Interpratama.

Anda mungkin juga menyukai