Anda di halaman 1dari 59

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Multidrug resistance tuberculosis (MDR - tuberkulosis ) adalah kasus


tuberkulosis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis resisten
minimal terhadap rifampisin dan isoniazid secara bersamaan, dengan atau
tanpa obat antituberkulosis (OAT) lini I yang lain1.
Tantangan baru dalam pengobatan tuberkulosis di dunia dan Indonesia
adalah mulai meningkatnya kasus tuberkulosis Multi Drug Resistance
(MDR-TB) yang mencapai 3.5% menjadikan permasalahan penyakit
tuberkulosis perlu mendapat perhatian khusus. Sebanyak 480,000 kasus
tuberkulosis Multi Drug Resistance (MDR-TB) yang diperkirakan terjadi
pada 2014, hanya sekitar seperempatnya yang terdeteksi dan dilaporkan.
Secara global, diperkirakan 3.3% dari kasus tuberkulosis baru dan 20% dari
kasus tuberkulosis kambuh menjadi tuberkulosis Multi Drug Resistance
(MDR -TB). Secara global, hanya 50% dari pasien tuberkulosis Multi Drug
Resistance (MDR-TB) yang berhasil diobati. Pada tahun 2014 diperkirakan
190.000 orang tuberkulosis Multi Drug Resistance (MDR-TB) meninggal 2.
Penemuan kasus tuberkulosis Multi Drug Resistance (MDR-TB)
berdasarkan data 2011-2015 lanjutnya, cenderung mengalami kenaikan.
Pada 2011 mencapai 103 kasus, 2012 ada 258 kasus, 2013 naik menjadi
358 kasus, 2014 naik lagi menjadi 614 kasus hingga 2015 mencapai 614
kasus 3.
Masalah utama yang muncul pada pasien TB-MDR adalah sulitnya
pengobatan, tingginya kematian, biaya yang mahal dan berpotensi
menularkan basil resisten kepada orang lain4.
Akibat dari tuberkulosis Multi Drug Resistance adalah penatalaksanaan
klinis MDR tuberkulosis yang lebih rumit bila dibandingkan dengan
tuberkulosis yang sensitif karena mempergunakan obat anti- tuberkulosis
(OAT) lini I dan lini II1.

B. Rumusan Masalah

Tuberkulosis Multi Drug Resistance (MDR-TB) merupakan kasus


Tuberkulosis dengan resistensi terhadap minimal 2 (dua) macam Obat Anti
Tuberkulosis (OAT), masalah utama yang muncul pada pasien tuberkulosis
Paru dengan Multidrug Resistance adalah sulitnya pengobatan, tingginya
kematian, biaya yang mahal dan berpotensi menularkan basil resisten
kepada orang lain4 .
Rumusan masalah penelitian saya adalah “Bagaimanakah karakteristik
pasien tuberkulosis Paru dengan Multi Drug Resistance yang berobat di
Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar Dari 1 Januari Tahun
2014 – 31 Desember 2018.”

C. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana karakteristik penderita MDR tuberkulosis yang berobat di


Balai Besar Kesehatan Paru Makassar Dari 1 Januari 2014 – 31
Desember 2018 berdasarkan jumlah penderita ?
2. Bagaimana karakteristik penderita MDR tuberkulosis yang berobat di
Balai Besar Kesehatan Paru Makassar Dari 1 Januari 2014 – 31
Desember 2018 berdasarkan usia ?
3. Bagaimana karakteristik penderita MDR tuberkulosis yang berobat di
Balai Besar Kesehatan Paru Makassar Dari 1 Januari 2014 – 31
Desember 2018 berdasarkan jenis kelamin ?
4. Bagaimana karakteristik penderita MDR tuberkulosis yang berobat di
Balai Besar Kesehatan Paru Makassar Dari 1 Januari 2014 – 31
Desember 2018 berdasarkan pendidikan ?
5. Bagaimana karakteristik penderita MDR tuberkulosis yang berobat di
Balai Besar Kesehatan Paru Makassar Dari 1 Januari 2014 – 31
Desember 2018 berdasarkan kepatuhan minum obat ?
6. Bagaimana karakteristik penderita MDR tuberkulosis yang berobat di
Balai Besar Kesehatan Paru Makassar Dari 1 Januari 2014 – 31
Desember 2018 berdasarkan Pola resistensi OAT ?

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Karakteristik


Penderita Tuberkulosis Paru Dengan Multidrug Resistance yang
Berobat di Balai Besar Kesehatan Paru Makassar Dari 1 Januari
Tahun 2014 – 31 Desember 2018.

2. Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui karakteristik penderita MDR tuberkulosis yang


berobat di Balai Besar Kesehatan Paru Makassar Dari 1 Januari 2014
– 31 Desember 2018 berdasarkan jumlah penderita.
b. Untuk mengetahui karakteristik penderita MDR tuberkulosis yang
berobat di Balai Besar Kesehatan Paru Makassar Dari 1 Januari 2014
– 31 Desember 2018 berdasarkan usia.
c. Untuk mengetahui karakteristik penderita MDR tuberkulosis yang
berobat di Balai Besar Kesehatan Paru Makassar Dari 1 Januari 2014
– 31 Desember 2018 berdasarkan jenis kelamin.
d. Untuk mengetahui karakteristik penderita MDR tuberkulosis yang
berobat di Balai Besar Kesehatan Paru Makassar Dari 1 Januari 2014
– 31 Desember 2018 berdasarkan pendidikan.
e. Untuk mengetahui karakteristik penderita MDR tuberkulosis yang
berobat di Balai Besar Kesehatan Paru Makassar Dari 1 Januari 2014
– 31 Desember 2018 berdasarkan kepatuhan minum obat.
f. Untuk mengetahui karakteristik penderita MDR tuberkulosis yang
berobat di Balai Besar Kesehatan Paru Makassar Dari 1 Januari 2014
– 31 Desember 2018 berdasarkan Pola resistensi OAT.

E. Manfaat Penelitian

1. Petugas kesehatan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan promosi


kesehatan.

2. Bagi institusi pendidikan kesehatan/kedokteran

a. Sebagai bahan rujukan untuk civitas akademika di institusi


pendidikan kesehatan/kedokteran.
b. Diharapkan hasil penelitian dapat memperkaya ilmu pengetahuan
dan menambah informasi tentang penyakit tuberkulosis Multi Drug
Resistance (TB-MDR).

3. Bagi peneliti

a. Menambah pengetahuan tentang penyakit tuberkulosis Multi


Drug Resistance (TB-MDR).
b. Mengembangkan wawasan, minat dan kemampuan
dalam bidang penelitian.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Tuberkulosis Paru

a. Definisi TB Paru

Tuberkulosis paru adalah penyakit radang parenkim paru yang


disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberculosis5. Bakteri tersebut
termaksud dalam bakteri aerob dan dapat hidup terutama di paru atau di
berbagai organ tubuh lainnya yang tekanan parsial oksigennya tinggi 6.

b. Klasifikasi Tuberkulosis Paru

WHO memperbaharui klasifikasi tuberkulosis pada tahun 2010


berdasarkan6 :

a) Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi penyakit :


Pertama, tuberkulosis paru yaitu lokasi tuberkulosis yang berada di
parenkim paru, trakeo – bronkial, dan termasuk dengan tuberkulosis millier.
Kedua, tuberkulosis ektra paru yaitu lokasi tuberkulosis berada di luar
parenkim paru misalnya pada organ pleura, kelenjar getah bening,
abdomen, genito – urinaria, kulit, sendi – tulang, otak dan sebagainya6.

b) Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan :


Pertama, kasus baru yaitu seorang pasien yang baru pertama kali
mendapat terapi obat anti tuberkulosis atau sebelumnya pernah mendapat
terapi obat anti tuberkulosis kurang dari 1 bulan.
Kedua, kasus dengan riwayat pengobatan sebelumnya yaitu seorang
pasien yang pernah di terapi menggunakan obat anti tuberkulosis
sebelumnya selama lebih dari 1 bulan.
Berdasarkan hasil pengobatan terakhirnya dapat diklasifikasikan lagi
berdasarkan :
Pertama, kasus kambuh yaitu seorang pasien yang pernah
mendapatkan terapi lengkap obat anti tuberkulosis dan telah dinyatakan
sembuh, namun kembali dengan diagnosis tuberkulosis episode rekuren.
Kedua, kasus setelah pengobatan gagal, yaitu seorang pasien yang di
berikan terapi obat anti tuberkulosis sebelumnya namun tidak berhasil
dalam pengobatan.
Ketiga, kasus setelah putus obat yaitu seorang pasien yang pernah
mendapat terapi obat anti tuberkulosis selama lebih dari 1 bulan namun
menghentikan obatnya lebih dari 2 bulan berturut – turut atau pasien yang
tidak dapat dilacak lagi di akhir pengobatannya.
Keempat, kasus dengan riwayat pengobatan lainnya yaitu seorang
pasien yang pernah mendapatkan terapi obat anti tuberkulosis sebelumnya
namun hasil pengobatannya tidak diketahui ataupun di dokumentasikan.
Kelima, pasien pindah yaitu seorang pasien yang dinyatakan tuberkulosis
dipindahkan untuk melanjutkan pengobatannya.
Keenam, pasien yang tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya
yaitu seorang pasien yang tidak termasuk dalam kategori diatas6.

c) Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologi dan uji resistensi


obat :
Pertama, BTA sputum positif yaitu BTA positif pada 1 spesimen di
laboratorium dengan jaminan mutu eksternal, dan BTA positif pada 2
spesimen di laboratorium dengan tanpa jaminan mutu eksternal.
Kedua, BTA sputum negatif yaitu pertama untuk pemeriksaan BTA
dinyatakan negatif tetapi kultur bakteri Mycobacterium Tuberculosis positif.
Kedua terdapat gejala khas tuberkulosis dan perlu pengobatan tuberkulosis
lengkap serta terdapat bukti temuan tuberkulosis paru aktif baik radiologis
maupun laboratorium. Bila HIV negatif tidak memberikan respon dengan
antibiotik spektrum luas kecuali quinolone6.

d) Klasifikasi berdasarkan status HIV :


Pertama, kasus tuberkulosis dengan HIV positif.
Kedua, kasus tuberkulosis dengan HIV negatif. Ketiga, kasus
tuberkulosis tanpa diketahui status HIV pasien6.

c. Epidemiologi

Secara global tahun 2016 terdapat 10,4 juta kasus insiden tuberkulosis
( CI, 8,8 juta – 12, juta ) yang setara dengan 120 kasus per 100.000
penduduk. Lima negara dengan insiden kasus tertinggi yaitu India,
Indonesia, China, Philipina, dan Pakistan 7. Sebagian besar estimasi
insiden tuberkulosis pada tahun 2016 terjadi di kawasan Asia Tenggara
(45%) dimana indonesia termaksud di dalamnya dan 25% di kawasan
Afrika7.

Gambar 2. Estimasi Jumlah Kasus Baru tuberkulosis di


Negara yang Paling sedikit 100.00 Kasus Baru pada tahun
2016 (World Health Organization)
Tingkat keparahan kasus tuberkulosis terhadap ukuran populasi sangat
bervariasi di antara negara-negara pada tahun 2017. Di sebagian besar
negara berpendapatan tinggi ada di bawah 10 kasus insiden per 100.000
penduduk, 150 – 400 di sebagian besar dari 30 negara dengan beban
tuberkulosis tinggi, dan di atas 500 di beberapa negara termasuk Republik
Rakyat Demokratik Korea, Lesotho, Mozambik, Filipina dan Afrika Selatan.
Diperkirakan 9% (kisaran, 7,9-11%) dari kasus tuberkulosis pada tahun
2017 adalah orang – orang dengan HIV8.

Gambar 3. Estimasi Incidence Rate TBC per 100.000 penduduk


pada tahun 2016 (World Health Organization)

Di seluruh dunia pada tahun 2017, 6,4 juta kasus tuberkulosis baru
secara resmi diberitahu kepada otoritas nasional dan kemudian dilaporkan
kepada WHO Jumlah ini telah meningkat sejak 2013, setelah 4 tahun
(2009–2012) di mana 5,7–5,8 juta kasus baru dilaporkan setiap tahun,
terutama karena peningkatan pelaporan kasus yang terdeteksi oleh swasta
di sektor India dan, pada 2017, peningkatan pelaporan di Indonesia8.
Jumlah kasus baru tuberkulosis di Indonesia sebanyak 420.994 kasus
pada tahun 2017 (data per 17 Mei 2018). Pada tahun 2015 terdapat 130
jumlah semua kasus tuberkulosis yang diobati dan dilaporkan per 100.000
penduduk, tahun 2016 terdapat 139 jumlah kasus per 100.000 penduduk
dan tahun 2017 jumlah kasus tuberkulosis yang dilaporkan dan diobat
meningkat menjadi 161 per 100.000 penduduk7.
Pada tahun 2015, jumlah penemuan kasus TB adalah 330.910 kasus.
Jumlah tersebut meningkat dari tahun 2014, yaitu sebanyak 324.539 kasus.
Kasus terbanyak dilaporkan di provinsi dengan jumlah penduduk besar,
yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah (38% dari keseluruhan
kasus di Indonesia)9.

d. Faktor Risiko

a) Muatan bacilli
Kadar bacilli di dalam dahak pasien berhubungan positif dengan tingkat
penularan pasien tersebut. Semakin tinggi kandungan bacilli pada dahak
maka kecenderungan penularan juga tinggi. Pasien smear negative
memiliki jumlah bacilli lebih sedikit dari pasien smear positive tetapi infeksi
masih dapat ditularkan. Hasil studi di Amerika Serikat, Inggris dan India
menggaris bawahi bahwa prevalensi infeksi dan penyakit lebih tinggi di
antara kontak dari kasus smear positive dibandingkan smear negative
namun kecepatannya lebih tinggi diantara smear negative dibandingkan
populasi umum10.

b) Kontak dengan Penderita Tuberkulosis


Kontak yang dekat dengan kasus tuberkulosis menular meliputi kontak
di dalam rumah tangga dan dengan petugas pelayanan kesehatan. Orang-
orang ini memiliki risiko lebih tinggi untuk tertular MTB. Laten tuberculosis
infection (LTBI) ditemukan pada 51,4% orang-orang tersebut. M.
tuberculosis dapat disebarkan dalam waktu kontak yang pendek, pada
lokasi yang tidak biasa dan tingginya kesempatan untuk interaksi serta
adanya risiko lain seperti kemiskinan, kepadatan penduduk dan tekanan
infeksi tinggi10.

c) Kondisi sistem imun yang lemah


Koinfeksi HIV adalah faktor risiko immunosuppressive (penurunan
respon imun) yang paling poten terhadap perkembangan penyakit
tuberkulosis aktif. Koinfeksi HIV meningkatkan kesempatan aktivasi infeksi
laten tuberkulosis dan kemajuan tuberkulosis yang mengikuti infeksi primer
atau infeksi kembali tuberkulosis. Studi pada negara-negara dengan
prevalensi tuberkulosis tinggi juga menunjukkan bahwa variasi waktu dan
tempat dari kejadian tuberkulosis sangat berhubungan dengan prevalensi
infeksi HIV. Studi individu pada negara high dan low burden countries
mengalami peningkatan kejadian tuberkulosis akibat infeksi HIV10.

d) Malnutrisi
Malnutrisi baik defisiensi mikro maupun makro meningkatkan risiko
tuberkulosis karena melemahnya respon imun. Penyakit tuberkulosis dapat
memicu kekurangan gizi karena penurunan nafsu makan dan perubahan
proses metabolik. Hubungan antara malnutrisi dan tuberkulosis telah
ditunjukkan dengan percobaan vaksin BCG pada akhir tahun 1960 di
Amerika Serikat. Hasilnya, anak- anak kurang gizi memiliki risiko terkena
penyakit tuberkulosis 2 kali lebih besar dari anak-anak dengan gizi cukup.
Bukti lebih lanjut masih diperlukan untuk mengetahui level spesifik
malnutrisi terhadap tuberkulosis10.

e) Usia muda
Anak-anak berada pada risiko lebih tinggi untuk terkena infeksi dan
penyakit tuberkulosis. Studi menunjukkan bahwa 60-80% pasien terpapar
smear positive dahak menjadi terinfeksi sedangkan ketika kontak dengan
dahak smear negative, hanya 30-40% yang terinfeksi. Kebanyakan anak-
anak kurang dari 2 tahun terinfeksi dari sumber rumah tangga sedangkan
anak berumur lebih dari 2 tahun lebih banyak terinfeksi dari sumber
komunitas (lingkungan bermain). Sumber dahak positif pada rumah tangga
menjadi faktor risiko paling penting terhadap anak-anak hingga umur 10
tahun. Risiko kematian tertinggi akibat tuberkulosis terjadi mengikuti infeksi
primer selama masa kehamilan. Risiko akan menurun 1% saat usia 1 dan
4 tahun dan kembali meningkat sebesar 2% pada umur 15 hingga 25 tahun.
Oleh karena itu, investigasi lebih difokuskan pada anak kurang dari 5 tahun
dan pada negara berkembang serta kontak rumah tangga di negara paling
banyak kegiatan industrinya10.

f) Faktor sosial-ekonomi dan kebiasaan


Urbanisasi yang cepat di negara berkembang dan status ekonomi
individu juga mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap infeksi. Beban
tuberkulosis mengikuti tingkatan sosial-ekonomi. Seseorang dengan status
sosial-ekonomi rendah terpapar beberapa faktor risiko seperti malnutrisi,
polusi udara, alkohol dan lain-lain. Kondisi tersebut meningkatkan risiko
tuberkulosis. Seseorang dengan status ekonomi lebih rendah memiliki
kecenderungan lebih tinggi untuk terpapar keramaian atau kepadatan
penduduk, kurangnya ventilasi udara dan kekurangan fasilitas masak yang
aman. Faktor tersebut juga meningkatkan risiko tuberkulosis10.

e. Penyebab

Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri penyebab utama


tuberkulosis pada manusia. M. tuberculosis terkadang disebut sebagai
tubercle bacillus. Bakteri berbentuk batang ini bersifat non - motil (tidak
dapat bergerak sendiri) dan memiliki panjang 1-4 μm dan lebar 0,3-0,56 μm
(gambar 11). M. tuberculosis merupakan organisme obligate aerobe yang
berarti membutuhkan oksigen untuk tumbuh. Oleh karena itu, kompleks M.
tuberculosis banyak ditemukan di lobus paru-paru bagian atas yang dialiri
udara dengan baik. Selain itu, bakteri ini merupakan parasit intraseluler
fakultatif, yaitu patogen yang dapat hidup dan memperbanyak diri di dalam
sel hospen maupun diluar sel hospes (sel fagositik), khususnya makrofag
dan monosit. Kemampuan M. tuberculosis dalam bertahan di makrofag
hospes dikendalikan oleh proses kompleks dan terkoordinir. Sistem ini
dikontrol dengan baik ESX-1 sebagai sistem sekresi protein bakteri9.

M. tuberculosis tidak diklasifikasikan sebagai Gram positif maupun Gram


negatif karena dinding sel bakteri ini tidak memiliki karakteristik membran
luar bakteri Gram negatif. Namun, M. tuberculosis memiliki struktur
peptidoglikan-arabinogalaktan-asam mikolat sebagai barier permeabilitas
eksternal. M. tuberculosis diklasifikasikan sebagai bakteri acid-fast. Jika
pewarnaan Gram dilakukan pada M. tuberculosis, warna gram positif yang
muncul sangatlah lemah atau tidak berwarna sama sekali. Namun ketika
terwarnai, sebagai bakteri acid fast maka M. tuberculosis akan
mempertahankan pewarna saat dipanaskan dan diberi komponen asam
organik. Pada penggunaan metode Ziehl- Neelsen stain terhadap M.
tuberculosis, bakteri ini akan menunjukkan warna merah muda9.

M. tuberculosis tumbuh lambat dengan kecepatan pembelahan 12


hingga 24 jam dan waktu kultur hingga 21 hari pada media pertumbuhan
(gambar 14). Isolasi pada medium Lowenstein-Jensen atau Middlebrook
culture medium membutuhkan waktu 3 hingga 6 minggu (Todar, 2008).
Penyebab lambatnya pertumbuhan M. tuberculosis belum diketahui.
Namun, terbatasnya penyerapan nutrien akibat dinding sel yang
impermeable dan lambatnya sintesis RNA diajukan sebagai penyebab
lambatnya pertumbuhan M. Tuberculosis9.

Gambar 1. Mycobacterium tuberculosis pada sputum dengan


pewarnaan Ziehl Neelsen (Jawetz, Melnick, & Adelberg’s. (2015)
f. Penularan

M. tuberculosis ditularkan melalui udara, bukan melalui kontak


permukaan. Ketika penderita TB paru aktif (BTA positif dan foto rontgen
positif) batuk, bersin bakteri akan terbawa keluar dari paru-paru menuju
udara. Bakteri ini akan berada di dalam gelembung cairan bernama droplet
nuclei. Partikel kecil ini dapat bertahan di udara selama beberapa jam dan
tidak dapat dilihat oleh mata karena memiliki diameter sebesar 1-5 μm9.
Penularan TB terjadi ketika seseorang menghirup droplet nuclei, droplet
nuclei akan melewati mulut/saluran hidung, saluran pernafasan atas,
bronkus kemudian menuju alveolus. Setelah tubercle bacillus sampai di
jaringan paru-paru, mereka akan mulai memperbanyak diri. Lambat laun,
mereka akan menyebar ke kelenjar limfe. Proses ini disebut sebagai
primary TB infection. Ketika seseorang dikatakan penderita primary TB
infection, tubercle bacillus berada di tubuh orang tersebut. Seseorang
dengan primary TB infection tidak dapat menyebarkan penyakit ke orang
lain dan juga tidak menunjukkan gejala penyakit. Dosis penularan droplet
nuclei dilaporkan diantara 1 hingga 200 bacili per orang, dimana satu
droplet dapat mengandung 1 hingga 400 bacili, namun belum jelas
anggapan dosis relevan ini. Walaupun TB biasanya tidak ditularkan saat
kontak singkat, siapa saja berbagi udara dengan penderita TB paru pada
tahap infeksius maka dia berisiko tinggi tertular9.

g. Patogenesis TB Paru

Tuberkulosis adalah penyakit menular, yang penyebarannya ditularkan


melalui droplet. Ketika orang yang terinfeksi batuk, bersin, atau berbicara
diameter tetesan droplet yang keluar lebih kecil dari 25 μm dan menyebar
di udara, bakteri ini dapat melayang – layang di udara selama berjam –
jam5. Sekitar 10 tetesan droplet sudah dapat menyebabkan infeksi ke pada
orang sekitar yang menghirup udara tersebut 11. Mycobacterium
tuberculosis dapat masuk ke alveoli dan berkembangbiak disana, di dalam
alveoli sistem kekebalan inang merespons dengan melepaskan sitokin dan
limfokin yang merangsang monosit dan makrofag11. Mycobacterium mulai
berkembang biak di dalam makrofag. Beberapa makrofag mengembangkan
kemampuan yang ditingkatkan untuk membunuh organisme, tetapi yang
lain dapat dibunuh oleh basil, perlawanan tubuh bergantung pada apakah
tubuh sudah pernah mengenali basil tuberkulosis sebelumnya12.
Pada awal infeksi tuberkulosis akan dorman dan tidak akan memberikan
gejala, atau di katakan tuberkulosis laten. Risiko pengembangan dari
tuberkulosis laten menjadi aktif tergantung pada usia pasien,
imunokompetensi, dan waktu sejak infeksi. Hanya pasien dengan
tuberkulosis aktif yang dapat menularkan penyakitnya11.

Berdasarkan penularannya tuberkulosis dibagi menjadi :

a) Infeksi Primer

Kontak pertama kali dengan basil tuberkel, ciri-cirinya : (1) Lesi eksudatif
akut berkembang dan cepat menyebar ke limfatik dan kelenjar getah bening
regional. Lesi eksudatif pada jaringan sembuh dengan cepat. (2) kelenjar
getah bening mengalami kasus masif, yang biasanya calci es (lesi Ghon).
(3) hasil uji tuberkulosis menjadi positif. Jenis infeksi primer biasanya terjadi
pada masa kanak-kanak, dan melibatkan bagian paru-paru tetapi sebagian
besar bagian tengah paru-paru atau pangkalan. Pembesaran kelenjar
getah bening hilar dan mediastinum sering diamati12.
Respon awal infeksi basil tuberkulosis pada tubuh adalah seperti
terdapat benda asing di pernafasan hal ini disebabkan karena tubuh belum
mengenali bakteri tuberkulosis tersebut. Sehingga pertahanan awal berupa
sekresi lendir yang diikuti makrofag alveolar dari sistem imun untuk proses
fagositosis, namun makrofag belum di aktifkan pada awal infeksi sehingga
pertahanan hanya melalui mekanisme peradangan tetapi terdapat bantuan
dari imunitas seluler. Di butuhkan waktu 2 hingga 12 minggu untuk sistem
imun dapat berkembang pada pasien dengan sistem kekebalan normal,
yang dapat diidentifikasi dengan tes kulit tuberkulin positif. Sekitar 45% dari
kontak langsung yang terpapar dengan pasien menular dengan
tuberkulosis aktif akan terinfeksi dan memiliki respons hipersensitivitas
termediasi sel-T yang positif11.
Sekitar 5% dari mereka yang terinfeksi akan berkembang menjadi
penyakit aktif dalam 18 bulan kemudian, setelah infeksi awal; 95% sisanya
memiliki risiko 5% berkembang menjadi penyakit aktif. Perkembangan
penyakit aktif dapat terjadi jika terdapat penyakit komorbiditas seperti HIV,
diabetes, gagal ginjal, keganasan, penggunaan steroid kronis, kemoterapi
atau infeksi ulang. Pengaktifan kembali tuberculosis laten menyumbang
sekitar 70% dari kasus tuberkulosis aktif11.

b) Reaktivitas dari tuberculosis primer

Jenis reaktivasi biasanya disebabkan oleh basil tuberkel yang bertahan


dalam lesi primer. tuberkulosis reaktivasi ditandai oleh lesi jaringan kronis,
pembentukan tubercles, caseation, dan brosis. Kelenjar getah bening
regional hanya sedikit terlibat. Jenis reaktivasi hampir selalu dimulai pada
puncak paru-paru, di mana tekanan oksigen (PO2) paling tinggi. Perbedaan
antara infeksi primer dan infeksi atau reaktivasi dikaitkan dengan (1)
resistensi dan (2) hipersensitivitas yang disebabkan oleh infeksi pertama.
Tidak jelas sampai sejauh mana masing-masing komponen ini
berpartisipasi dalam respon modifikasi dalam tuberkulosis reaktivasi12.
Gejala tuberkulosis infeksi primer berbeda dengan tuberkulosis pasca
primer. Hal ini disebabkan karena pada penderita tuberkulosis pasca
primer, individu tersebut telah mempunyai mekanisme kekebalan terhadap
basil tuberkulosis, hal ini dapat terlihat pada tes tuberculin yang
menimbulkan hasil reaksi positif. Jika orang sehat yang pernah mengalami
infeksi primer mengalami penurunan daya tahan tubuh, ada kemungkinan
terjadi reaktivasi basil tuberkulosis yang sebelumnya berada dalam
keadaan dorman. Reaktivasi biasanya terjadi beberapa tahun setelah
infeksi primer. Reaktivitas ini disebut juga dengan tuberkulosis postprimer.
Kuman akan disebarkan melalui hematogen ke bagian segmen apical
posterior. Reaktivitas dapat juga terjadi melalui metastasis hematogen ke
berbagai jaringan tubuh 5. Penurunan daya tahan tubuh dapat disebabkan
oleh bertambahnya umur ( proses menua ), alkoholisme, defisisensi nutrisi,
sakit berat, diabetes mellitus, dan HIV / AIDS. Gejala tuberkulosis pasca
primer berbeda dengan gejala penyakit tuberkulosis yang disebabkan oleh
infeksi primer. Hal ini disebabkan karena pada penderita tuberkulosis pasca
primer, individu tersebut mempunyai mekanisme kekebalan terhadap basil
tuberculosis12.

h. Gejala Klinis Tuberkulosis Paru

Sebagian besar orang yang mengalami infeksi primer tuberkulosis tidak


menunjukkan gejala, namun pada penderita yang infeksi primer menjadi
progresif dan sakit gejalanya berupa gejala umum dan gejala pada saluran
pernafasan 5. Keluhan pada pasien tuberkulosis bervariasi mulai dari
keluhan umum yang dirasakan pasien tuberkulosis adalah demam yang
biasanya subfebril, tetapi kadang dapat mencapai 40 – 410 C. Demamnya
bersifat hilang timbul. Hal tersebut sangat di pengaruhi oleh daya tahan
tubuh pasien dan berat ringanya kuman tuberkulosis yang masuk. Karena
penyakit tuberkulosis bersifat kronik gejala malaise sering terjadi misalnya
anoreksia, tidak nafsu makan, sakit kepala meriang, nyeri otot, keringat
malam dan sebagainya. Penurunan berat badan juga biasa terjadi pada
pasien tuberkulosis, namun terkadang mereka tidak merasakannya6.

Lakukan skrining terhadap pasien untuk tuberkulosis jika mereka


memiliki riwayat batuk terus-menerus selama lebih dari 2 minggu dan
riwayat kemungkinan terpajan tuberkulosis, perjalanan terkini di daerah
endemik, dan gejala demam, keringat malam, penurunan berat badan yang
tidak disengaja, sesak napas, hemoptisis, atau nyeri dada. Jika lesi primer
besar, bakteri dapat menyusup ke ruang pleura, menyebabkan efusi pleura
11.
Pada pasien immunocompromised, terutama pada pasien yang
terinfeksi HIV, penyakit ekstrapulmoner adalah gejala yang lebih umum
daripada pada pasien imunokompeten. Namun demikian, tuberkulosis paru
masih merupakan manifestasi umum dari tuberkulosis pada pasien HIV.
Batuk dan hemoptisis jarang dilaporkan pada pasien ini. Ini mungkin
disebabkan oleh pengurangan respons inflamasi sebagai akibat dari
keadaan immunocompromised13.

i. Diagnosis Tuberkulosis Paru

Diagnosis tuberkulosis paru ditegakkan berdasarkan pada kombinasi


anamnesis, gejala dan tanda klinis, pemeriksaan radiologi, perubahan
histopatologis yang khas, kultur positif Mycobacterium tuberculosis complex
(MTC) pada jaringan tubuh atau cairan tubuh. 5 Diagnosis pasti dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan bakteriolog M. tuberculosis di dalam
dahak atau jaringan. Namun untuk menemukan basil tuberkulosis tidak
selalu mudah, sehingga cara untuk dapat membuktikan bahwa terdapat
basil tuberkulosis di dalam tubuh adalah melalui pemeriksaan serologi13.
Pada beberapa penelitian batuk kronis dan penurunan berat badan
merupakan gejala yang dominan pada pasien dengan kultur sputum positif.
Sekitar 25 % pasien dengan tuberkulosis paru mengalami hemoptisis . 5 –
14 % masih asimtomatik saat di lakukan pemeriksaan dan umumnya terjadi
pada pasien di atas 50 tahun. Pasien dengan batuk berkepanjangan lebih
dari 3 minggu dapat dilakukan pemeriksaan awal berupa chest radiographic
namun untuk memastikan diagnosis dibutuhkan evaluasi lebih lanjut13.
Pada infeksi saluran nafas bawah atau manifestasi radiologi yang
mungkin kompatibel dengan tuberkulosis paru, pengobatan empiris
Fluoroquinolones harus dihindari. Karena dapat menunda diagnosis
tuberkulosis paru dengan menghasilkan organisme yang resistance
terhadap fluoroquinolon yang merupakan obat anti - tuberkulosis lini kedua.
Kunci untuk pasien dengan suspect tuberkulosis, berturut-turut yang di
ambil pada pagi hari, spesimen harus dikumpulkan jika BTA tahan asam
negatif dan kecurigaan klinis tuberkulosis tinggi. Pengumpulan dahak
dilakukan pada hari yang sama sebanyak kurang lebih 5 ml. Penting untuk
di ingat bahwa sampel dahak pada pasien tuberkulosis paru mungkin tidak
menghasilkan pertumbuhan mikrobakteri untuk alasan seperti spesimen
yang tidak memadai pengambilan sampel, ekskresi bakteri intermitten atau
beban basil yang rendah13.

j. Pengobatan TB

Pengobatan tuberculosis memiliki 2 prinsip dasar. Pertama. Memerlukan


dua macam obat yang basilnya peka terhadap obat tersebut dan salah satu
obatnya harus bersifat bakterisidik, untuk mencegah resistensi. Obat
antituberkulosis mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mencegah
terjadinya resistensi. Obat yang paling efektif adalah obat H dan R , E dan
S kemampuannya menegah dan Z yang paling rendah efektivitasnya.
Kedua. Untuk mengeliminasi bakteri persistennya di perlukan pengobatan
yang baik dan perpanjangan lama pengobatan, walaupun terjadi perbaikian
klinis. Kekambuhan dapat terjadi jika pengobatan tidak memadai. Dengan
metode DOTS yang menggunakan beberapa kombinasi obat, secara umum
dapat menyembuhkan pasien tuberkulosis dalam waktu 6 bulan6.
Beradasarkan prinsip tersebut program pengobatan tuberkulosis di bagi
menjadi 2 fase, yaitu fase bakterisidal awal ( inisiasi ) dan fase sterilisasi
(lanjutan). Obat – obatan tuberkulosis diklasifikasikan menjadi 2 lapisan
regimen, lapis pertama terdiri dari Isoniazid (INH), Rifampicin,
Pyrazinamide, Ethambutol, Streptomycin. Lapis kedua terdiri dari Rifabutin,
Ethionamide, Cycloserine, Para – Amino Salicic acid, Clofazimine,
Aminoglycosides, diluar Streptomycin dan Quinolones6.
Isoniazid (INH), rifampin (atau rifamisin lainnya), pirazinamid, etambutol,
dan streptomisin adalah lima obat lini pertama untuk mengobati
tuberkulosis. Isoniazid dan rifampin adalah obat yang paling aktif.
Kombinasi isoniazid-rifampin yang diberikan selama bulan akan
menyembuhkan - kasus tuberkulosis yang disebabkan oleh galur-galur
rentan. Penambahan pirazinamid ke kombinasi isoniazid-rifampin selama 2
bulan pertama memungkinkan lama pengobatan dikurangi menjadi 6 bulan
tanpa pengurangan efikasi. Dalam praktik, terapi dimulai dengan rejimen
empat obat berupa isoniazid, rifampin, dan pirazinamid plus etambutol atau
streptomisin sampai kerentanan isolat klinis diketahui. Etambutol atau
streptomisin tidak menambah secara substansial aktivitas keseluruhan
rejimen, tetapi keduanya memberi perlindungan tambahan jika isolat
terbukti resisten terhadap isoniazid, rifampin, atau keduanya. Prevalensi
resistensi isoniazid di antara isolat klinis di Amerika Serikat adalah sekitar
10 % . Prevalensi resistensi terhadap isoniazid dan rifampin adalah sekitar
3%14.
Isoniazid (INH) mempunyai kemampuan bakterisidal tuberkulosis yang
paling kuat. Mekanisme dari INH adalah menghambat cell – wall
biosynthesis pathway. Dan merupakan obat yang aman, efek sampinya
adalah hepatitis dan neuropati perifer karena intervensi fungsi biologis
vitamin B6 atau piridoksin. Rifampisin merupakan obat yang menghambat
polymerase DNA – dependent ribonucleic acid ( RNA ) M. tuberculosis9.
Efek sampinya hepatitis, flu like syndrome’s dan trombositopenia.
Rifampisin juga merupakan obat yang dianggap ampuh mengatasi
tuberkulosis. Pirazinamide merupakan obat bakterisidal untuk organisme
interaseluler dan agen antituberkulosis ketiga dan hanya diberikan untuk 2
bulan pertama pengobatan. Efek samping heptatotoksisitas dan
hiperurisemia. Etambutol merupakan obat lapis pertama yang efeknya
bakteriostatik namun jika di kombinasikan dengan INH dan Rifampisin
dapat mencegah resistensi obat. Streptomisin merupakan obat
antituberkulosis pertama yang di temukan, dan merupakan golongan
antibiotk aminoglikosida yang pemberiannya melalui parenteral dan bekerja
mencegah pertumbuhan organisme ekstraseluler. Efek sampingnya toksik
pada saraf kranial kedelapan yang menyebabkan disfungsi vestibuler dan
atau hilangnya pendengaran. Untuk ibu hamil obat anti tuberculosis yang
aman adalah isoniazid, rifampisin dan etambutol. Untuk lapisan kedua
dicadangkan untuk pengobatan multidrug resistance14.

Terdapat 2 alternatif terapi pada tuberkulosis paru, yaitu :

a) Terapi jangka panjang ( terapi tanpa rifampisin )


Terapi ini menggunakan isoniazid, etambutol, streptomosin, pirazinamid
dalam jangka waktu 24 bulan atau dua tahun5.

b) Terapi jangka pendek


Terapi ini menggunakan regimen rifampisin, isoniazid dan pirazinamid
dalam jangka waktu minimal 6 bulan, dan terdapat kemungkinan bahwa
terapi dilanjutkan sampai 9 bulan. Terapi jangka pendek memerlukan biaya
yang mahal karena harga obat rifampisi yang tinggi sehingga tidak semua
orang mampu membiayai pengobatan ini, sehingga sehingga di berikan
terapi jangka panjang5.
Panduan obat antituberkulosis menurut program pemberantasan
tuberkulosis paru (P2 TB – Paru) yang dipergunakan di Indonesia sesuai
rekomendasi WHO ada tiga : kategori 1 : 2HRZE / 4H3R3, kategori 2 :
2HRZES / HRZE / 5H3R3E3, kategori 3 : 2HRZ / 4H3R3. Pengobatan ini
dilakukan dengan pengawasan ketat, disebut DOTS ( Directly Observed
Treatment Short Course )5.
Tabel 1. Resimen Pengobatan Saat Ini ( Metode DOTS )

Kategori Pasien Tuberkulosis Fase Awal Fase


Lanjutan
1 Tuberkulosis paru BTA 2 SHRZ (EHRZ) 6 HE
positif baru bentuk
berat, 2 SHRZ (EHRZ) 4 HR
tuberkulosis ekstra paru
( berat), 2SHRZ (EHRZ) 4 H3R3
Tuberkulosis paru BTA
negatif
2 Relaps 2 SHZE / 1 HRZE 5 H3R3Z3
Kegagalan pengobatan 2 SHZE / 1 HRZE 5 HRE
kembali ke default
3 Tuberkulosis paru 2 HRZ atau 2
sputum BTA negatif H3R3Z3
Tuberkulosis ekstra 2HRZ atau 2
paru ( menengah berat ) H3R3Z3
2 HRZ atau 2
H3R3Z3
4 Kasus kronis ( masih Tidak dapat
BTA positif setelah diaplikasikan (
pengobatan ulang yang mempertimbangkan
disupervisi ) penggunaan obat –
obat barisan kedua

Sumber : Bertram G. Katzung, MD, PhD (2012)


Membaca resimen, misalnya : 2 SHRZ (EHRZ) / 4 H3R3 menunjukkan
sebuah resimen untuk 2 bulan diantara obat – obatan etambutol, isoniazid,
rifampisin dan pyrazinamide yang diberikan setiap hari yang diikuti dengan
4 bulan isoniazid dan rifampisin yang diberikan tiap hari atau 3 kali
seminggu6.
Salah satu masalah utama pengobatan tuberkulosis ini adalah
munculnya multidrug resistance. Resistensi ganda dapat berkembang
dengan dua cara yaitu resisten obat primer yang berkembang pada orang
yang belum menerima pengobatan tuberkulosis sebelumnya. Sedangkan
resisten sekunder resistensi selama pengobatan. Agar resistensi sekunder
dapat di cegah penambahan modus pengobatan lain dibutuhkan agar
mengurangi jangka waktu pengobatan6.

k. Komplikasi

Komplikasi yang di timbulkan tuberkulosis paru jika di kaitkan sebagai


akibat perpanjangan penyakit biasa, berbagai komplikasi paru termasuk
pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis, tuberkulosis usus, jaringan parut
paru (fibrosis), bronkiektasis, Aspergillosis Paru Kronis, stenosis dan
penyakit Paru Obstruktif Kronik, atelektasis, serta dapat menjadi faktor
risiko untuk kanker paru-paru5,15.

l. Prognosis

Prognosis dari penyakit tuberkulosis paru adalah keterlambatan dan


terputusnya pengobatan, kegagalan dalam merujuk komplikasi,
ketidakpatuhan terhadap program pengobatan, dan meningkatnya
mortalitas tuberkulosis pada pasien yang dirawat di rumah sakit akibat
penggunaan tembakau sebagai faktor risiko16.
m. Pengendalian

Strategi nasional program pengendalian TB nasional terdiri dari 7


strategi10 :

1. Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu


2. Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB, TB anak dan kebutuhan
masyarakat miskin serta rentan lainnya
3. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan pemerintah, masyarakat
(sukarela), perusahaan dan swasta melalui pendekatan Public-Private
Mix dan menjamin kepatuhan terhadap International Standards for TB
Care
4. Memberdayakan masyarakat dan pasien TB.
5. Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan
manajemen program pengendalian TB
6. Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program
TB
7. Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi
strategis.

2. Multidrug Resistance Tuberkulosis

a. Definisi Multidrug Resistance Tuberkulosis ( MDR – TB )

Multidrug Resistance Tuberkulosis didefinisikan sebagai bakteri yang


resistan terhadap minimal 2 obat anti tuberkulosis seperti rifampisin dan
isoniazid, dua terbanyak dari resimen pengobatan jangka pendek yang
merupakan obat anti tuberkulosis paling poten 3. secara bersama-sama
atau disertai resistan OAT lini pertama lainnya seperti Pyrazinamid,
Ethambutol dan Streptomisin. Sehingga pengobatan MDR-TB
membutuhkan pengobatan obat lini kedua yang lebih kompleks mulai dari
effektivitas kurang dan toksisitas tinggi serta lebih mahal dari obat lini
pertama13.
Obat lini kedua juga di berikan dalam jangka waktu lebih lama karena
efektivitasnya yang kurang. Tingkat keberhasilan pengobatan untuk
tuberkulosis -MDR adalah sekitar 60% dibandingkan dengan yang tidak TB
MDR lebih dari 95%. TB-MDR menjadi tantangan baru dalam program
pengendalian TB karena penegakan diagnosis yang sulit, tingginya angka
kegagalan terapi dan kematian13.
Resistensi obat yang didapat adalah hasil dari kualitas pengobatan yang
tidak memadai, tidak lengkap atau buruk yang memungkinkan pemilihan
jenis yang resistan terhadap mutan. Jika tuberkulosis yang rentan terhadap
obat diobati dengan rejimen secara eksklusif berdasarkan obat tuberkulosis
tunggal yang efektif, ada risiko bahwa bakteri dengan mutasi yang resistan
terhadap obat akan dipilih dan berkembang biak lebih lanjut selama
pengobatan, yang akhirnya menjadi jenis yang dominan. Jika seseorang
terinfeksi oleh suatu strain, awalnya resistan terhadap obat tertentu diobati
dengan obat itu ditambah obat tambahan baru, maka ada risiko
mengembangkan resistensi terhadap obat tambahan. Penambahan obat
secara bertahap pada akhirnya dapat mengarah pada pola resistensi obat
yang lebih parah dan pada akhirnya menjadi bentuk tuberkulosis yang tidak
dapat diobati17.
Mutasi alami simultan pada Mycobacterium tuberculosis mengakibatkan
resistensi terhadap lebih dari satu obat tuberkulosis sangat jarang. Oleh
karena itu, pengobatan yang tepat dengan kombinasi beberapa obat
tuberkulosis yang terjamin kualitasnya mengurangi risiko pemilihan jenis
yang resistan. Hal tersebut adalah alasan untuk menggunakan kombinasi
obat-obatan yang terjamin kualitasnya ketika mengobati tuberkulosis,
sambil memastikan kepatuhan yang baik. Hasil pengobatan yang buruk,
termasuk yang didapat dari tuberkulosis yang resistan terhadap obat, dapat
disebabkan oleh pengobatan yang tidak sesuai; kualitas dan pasokan obat
yang tidak memadai; dan faktor-faktor pasien yang menghambat kepatuhan
dan respons pengobatan. Kelemahan sistem kesehatan dan faktor penentu
sosial yang mendasari faktor-faktor ini17.

b. Kategori Resistansi OAT

Kategori resistansi terhadap OAT yaitu : Resistansi mono: resistansi


terhadap satu obat anti - tuberkulosis lini pertama saja, Poli - resistan:
resistansi terhadap lebih dari satu obat anti - tuberkulosis lini pertama,
selain isoniazid dan rifampisin, Multidrug resistance (MDR): resistensi
terhadap setidaknya isoniazid dan rifampisin, Extensive drug resistance
(XDR): resistansi terhadap fluoroquinolone, dan setidaknya satu dari tiga
obat suntik lini kedua (capreomycin, kanamycin, dan amikacin), selain
resistensi multidrug, Resistensi rifampisin (RR): resistansi terhadap
rifampisin yang terdeteksi menggunakan metode fenotipik atau genotipik,
dengan atau tanpa resistansi terhadap obat anti- tuberkulosis lainnya. Ini
termasuk resistensi terhadap rifampisin, dalam bentuk mono-resistance,
poly-resistance, MDR atau XDR17.

c. Epidemiologi Tuberkulosis - MDR

Proyek Global tentang Pengawasan Resistansi Obat Anti - tuberkulosis


adalah proyek tertua dan terbesar pada pengawasan resistensi anti -
mikroba di dunia. Pada tahun 2016, data tentang resistensi terhadap obat
tuberkulosis tersedia untuk 160 negara, terhitung lebih dari 97% dari
populasi dunia dan perkiraan kasus tuberkulosis. Di antara kasus
tuberkulosis baru, yang merupakan sebagian besar beban tuberkulosis
global, diperkirakan 4,1% memiliki tuberkulosis yang resistan terhadap
beberapa obat atau resistan terhadap rifampisin (MDR / RR Tuberkulosis).
Proporsi lebih tinggi di antara orang yang sebelumnya dirawat karena
tuberkulosis, yaitu 19%. Sementara tingkat ini tetap cukup stabil dari waktu
ke waktu, beberapa negara memang memiliki epidemi serius, terutama di
Eropa Timur dan Asia Tengah18.
Pada tahun 2015, diestimasikan terdapat 480.000 kasus baru dari
Multidrug Resistance Tuberculosis (MDR Tuberkulosis), dan tambahan
100.000 orang dengan Rifampicin-Resistance (RR Tuberkulosis) yang juga
baru memenuhi syarat untuk pengobatan MDR-Tuberkulosis. Data resistan
obat menunjukkan bahwa 3,9% kasus dari 21% kasus tuberkulosis yang
sebelumnya ditangani diperkirakan memiliki rifampisin dan Multidrug
resistance tuberculosis (MDR/RR Tuberkulosis) pada tahun 2015. MDR/RR
Tuberkulosis menyebabkan 250.000 kematian pada tahun 2015
kebanyakan kasus kematian banyak terjadi di Asia. Sekitar 9,5% dari kasus
MDR-Tuberkulosis memiliki tambahan kasus kekebalan terhadap obat,
kekebalan obat yang banyak (XDR Tuberkulosis). Sampai dengan hari ini ,
117 negara di seluruh dunia telah melaporkan bahwa setidaknya ada satu
kasus XDR Tuberkulosis19.
Secara global diperkirakan terdapat 630.000 kasus multidrug resistant
tuberculosis (MDR-TB). Kasus MDR TB dari tahun ke tahun diperkirakan
akan terus meningkat. Selama tahun 2011 kasus MDR TB di Indonesia
dilaporkan bahwa sejumlah 260 kasus, diperkirakan pada tahun 2013 akan
terdeteksi 1.800 kasus. World Health Organization (WHO) pada tahun
2010, melaporkan untuk kasus MDR- TB Indonesia berada di urutan ke-81.
Penemuan kasus tuberkulosis Multi Drug Resistance (MDR-TB)
berdasarkan data Dinkes 2011-2015 lanjutnya, cenderung mengalami
kenaikan. Pada 2011 mencapai 103 kasus, 2012 ada 258 kasus, 2013 naik
menjadi 358 kasus, 2014 naik lagi menjadi 614 kasus hingga 2015
mencapai 614 kasus3.
Disepanjang tahun 2016, Dinkes kota Makassar mencatat ada 50 kasus
MDR-TB baru yang dalam proses penanganan. Sampai dengan tahun 2013
terdapat 13 RS Rujukan MDR-TB di 12 provinsi yaitu RS persahabatan
Jakarta, RS. dr. Soetomo dan, RS dr. Syaiful Anwar Jatim, RS. dr. Moewardi
Jateng, RSUD Labuang Baji Sulsel, RS. Hasan Sadikin Jabar, RS Adam
Malik Sumut, RS. Sanglah Bali, RS. Dr. Sardjito Yogyakarta, RSUD
Jayapura papua, RSUD Depati Hamzah Babel, RSUD Arifin ahmad Riau,
dan RSU Ahmad Mohtar Sumbar3.
RSUD Labuang Baji menjadi salah satu pusat pengobatan untuk MDR-
TB. Poli MDR- TB Labuang Baji mulai menerima pasien pada tahun 2011.
Berdasarkan data sekunder Pasien yang dinyatakan suspect MDR-TB
berasal dari berbagai puskesmas dan berbagai daerah di Sulawesi yang
dirujuk untuk melakukan pemeriksaan lanjutan dan menjalani pengobatan.
Hingga April 2017 tercatat ada 51 pasien MDR-TB yang sedang melakukan
pengobatan di RSUD Labuang Baji setiap harinya di poli MDR-TB3.

Gambar 4. Persentasi Kasus Tuberkulosis Baru dengan MDR /


RR Tuberkulosis ( World Health Organization, 2018 )

Gambar 5. Persentasi Kasus Tuberkulosis yang telah


mendapat pengobatan dengan MDR / RR Tuberkulosis ( World Health
Organization,2018 )
Tabel 2. Tabel Perkiraan Kasus MDR / RR Tuberkulosis tahun 2017
untuk 30 Negara dengan Beban MDR Tuberkulosis

Sumber : World Health Organization, 2018

d. Faktor Risiko MDR Tuberkulosis

Faktor risiko terjadinya resistensi obat pada pasien MDR tuberkulosis


pada umumnya terdapat 4 faktor yaitu faktor pasien, faktor dokter, faktor
obat, dan faktor pelayanan kesehatan. Faktor dokter meliputi seberapa baik
dokter dalam memberikan edukasi meliputi penyakit tuberkulosis itu sendiri,
pengobatan, maupun MDR tuberkulosis atau kemungkinan terjadinya
resistensi obat. Faktor pasien meliputi ada tidaknya pengawas minum OAT,
dukungan keluarga, tingkat kemampuan ekonomi pasien, jarak rumah ke
tempat pelayanan kesehatan, tingkat pendidikan dan pengetahuan pasien
terhadap tuberkulosis itu sendiri. Faktor obat meliputi pengetahuan pasien
mengenai jenis, dosis, pemakaian, serta efek samping dari OAT. Faktor
pelayan sistem kesehatan meliputi jarak dari rumah ke tempat pelayanan
kesehatan, program kesehatan, dan ketersediaan obat. Jarak kontak yang
cukup dekat petugas kesehatan dengan pasien memudahkan terjadi
penularan penyakit tuberkulosis. Risiko terkena tuberkulosis pada petugas
kesehatan tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum dan
meningkat menjadi enam kali dengan bertambahnya akses pemanfaatan
fasilitas pelayanan kesehatan, kasus HIV AIDS dan MDR Tuberkulosis20.
Menurut Sarwani faktor risiko untuk terjadinya MDR tuberkulosis adalah
infeksi HIV, sosial ekonomi, kelompok umur, jenis kelamin, konsumsi rokok
dan alkohol, adanya penyakit diabetes, dosis obat yang tidak tepat
sebelumya dan pengobatan terdahulu dengan suntikan dan fluoroquinolon
. penelitian liu diChina menyebutkan bahwa faktor risiko MDR tuberkulosis
adalah jenis kelamin perempuan, usia muda, sering bepergian, pernah
menjalani pengobatan sebelumnya, dan tinggal pada lingkungan rumah
padat penduduk20.
Pasien lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan pada
perempuan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Munir dkk.,
bahwa jumlah pasien yang terdiagnosis MDR tuberkulosis lebih banyak
terjadi pada laki-laki dibandingkan pada perempuan . Secara epidemiologi,
terbukti bahwa terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam
hal penyakit infeksi, perjalanan penyakit, insidensi, dan kematian karena
tuberkulosis. Perkembangan penyakit mempunyai perbedaan antara laki-
laki dan perempuan, di mana perempuan mengalami penyakit lebih berat
pada saat datang ke rumah sakit dan lebih sering terlambat datang ke
pelayanan kesehatan dibanding- kan laki-laki. Hal tersebut mungkin
berhubungan dengan aib dan rasa malu yang lebih dirasakan pada
perempuan dibandingkan laki-laki. Perempuan lebih sering mengalami
kekhawatiran akan dikucilkan dari keluarga dan lingkungan akibat penyakit
yang dialami20.
e. Penyebab MDR Tuberkulosis

Beberapa penyebab utama resistensi obat tuberkulosis di Indonesia


telah diidentifikasi, antara lain: (1) implementasi DOTS rumah sakit dan
fasilitas pelayanan kesehatan lain yang masih rendah kualitasnya (2)
peningkatan ko-infeksi tuberkulosis -HIV; (3) sistem surveilans yang lemah,
dan (4) penanganan kasus tuberkulosis resistan obat yang belum
memadai19.
Resistan terhadap obat anti tuberkulosis dapat terjadi karena salah
menggunakan atau salah mengelola obat, misalnya pada pasien tidak
menyelesaikan pengobatan sesuai saran, petugas kesehatan memberikan
pengobatan yang tidak tepat baik dalam hal dosis ataupun lama terapi, obat
untuk terapi yang sesuai tidak tersedia, rendahnya kualitas obat9.
Tuberkulosis resistan obat lebih sering terjadi pada pasien yang tidak
menggunakan obat secara teratur, tidak meminum semua obatnya, kembali
mengidap penyakit tuberkulosis setelah terapi dan pulang dari negara
dengan prevalensi tuberkulosis resistan obat yang tinggi9.
Faktor yang dapat mencegah transmisi atau progresivitas MDR
tuberkulosis adalah pertama pengendalian infeksi dan intervensi
lingkungan, kedua kekebalan host yang baik, ketiga pengobatan
tuberkulosis laten, keempat diagnosis, pengobatan, dukungan pasien dan
pengelolaan tuberkulosis yang resistan terhadap obat13.
Tabel 3. Temuan kasus Tuberkulosis yang potensial menjadi MDR
Tuberkulosis di 20 rumah sakit dan balai kesehatan paru masyarakat
di luar Jawa, 2008 [13]

Sumber : Kemeskes 2011

f. Cara Penularan MDR Tuberkulosis

Cara penularan tuberkulosis yang resistance terhadap obat sama


dengan penularan tuberkulosis yang rentan terhadap obat. Lingkungan
yang kondusif untuk penularan tuberkulosis (seperti crowding, ventilasi
yang buruk, dan praktik pengendalian infeksi yang buruk di fasilitas
kesehatan dan pengaturan gabungan lainnya), juga berkontribusi pada
penularan tuberkulosis yang resistan terhadap obat. Sama halnya dengan
tuberkulosis yang rentan terhadap obat, tuberkulosis yang resistan
terhadap obat hanya berkembang menjadi penyakit aktif pada sebagian
kecil orang yang terinfeksi, dan infeksi tuberkulosis yang resistan terhadap
obat dapat tetap laten untuk jangka waktu yang lama. Sistem kekebalan
yang berfungsi buruk meningkatkan risiko pengembangan, dan karena itu
faktor-faktor yang dapat mengganggu sistem kekebalan (misalnya HIV,
kurang gizi, diabetes, silikosis, merokok, penyalahgunaan alkohol, berbagai
penyakit sistemik dan pengobatan dengan penekan kekebalan) juga
berisiko faktor untuk mengembangkan penyakit tuberkulosis yang resistan
terhadap obat17.

g. Mekanisme Resistensi OAT

a) Rifampisin

Rifampisin merupakan obat antituberkulosis yang paling poten dan


memiliki spektrum luas di antara obat antituberkulosis yang digunakan saat
ini. Obat ini bersifat bakterisidal terhadap M. tuberculosis. Molekul rifampisin
berikatan dengan subunit β RNA polymerase yang dimiliki oleh M.
tuberculosis. Hal tersebut menyebabkan rifampisin menghambat proses
transkripsi bakteri, dengan hasil akhir kegagalan sintesis protein yang
diperlukan oleh bakteri. Sebagian besar isolat klinis M. tuberculosis yang
resistan terhadap rifampisin memiliki mutasi pada gen rpoB yang mengkode
subunit β. Mutasi ini menyebabkan terjadinya perubahan konformasi
subunit β dengan akibat penurunan afinitas terhadap rifampisin. Dengan
demikian mekanisme penghambatan kerja RNA polymerase oleh rifampisin
menjadi terganggu21.
Mutasi titik pada gen rpoB yang bertanggungjawab pada resistensi M.
tuberculosis terhadap rifampisin banyak dilaporkan . Data menunjukkan
Mutasi sebagian besar terjadi pada daerah zona “hot spot” pada gene rpoB
yang ditemukan pada sebagian strain resistan terhadap rifampisin, yaitu
meliputi 81 bp antara codon 507 hingga 533. Akan tetapi data lebih lanjut
menunjukkan bahwa dalam menginduksi resistensi M. tuberculosis
terhadap rifampisin. mutasi pada daerah hot spot gen rpoB ini tidak
sepenuhnya dapat bekerja sendiri. Percobaan yang dilakukan oleh Zaczek
et al. (2009) dengan melakukan penyisipan gen mutan pada strain M.
tuberculosis menunjukkan bahwa tidak semua strain yang disisipi gen
mutan dapat menujukkan fenotip resistan terhadap rifampisin yang sama.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tanpa adanya latar belakang
genetik pendukung yang sesuai pada strain tertentu mutasi pada gen rpoB
tidak dapat menimbulkan perubahan fenotipik resistan terhadap
rifampisin21.

b) Isoniazid

Mekanisme aksi INH dalam membunuh M. tuberculosis adalah dengan


mengganggu sintesis asam mikolat, suatu komponen utama dari dinding
sel. Dilaporkan juga kemungkinan kemampuan INH dalam menghambat
sintesis asam nukleat. Belakangan diketahui pula adanya radikal NO yang
terbentuk pada saat aktivasi INH oleh katG dapat memperkuat efek
antimikobakterium INH21.
Data yang terakumulasi menunjukkan pentingnya peran katG dalam
mekanisme aksi INH. katG dikode oleh gen katG. Hampir 50% mutasi yang
melibatkan gen katG berasosiasi dengan resistensi M. tuberculosis
terhadap INH. Isolasi isolat klinis dengan fenotip resistan terhadap INH
yang memiliki mutasi pada gen katG sudah banyak dilaporkan. Sebagian
besar adalah mutasi Ser315 r yang mencakup hampir 40-64.2% dari
seluruh mutan katG. Mutan Ser315 r memiliki karakteristik kehilangan
kemampuan mengubah INH menjadi bahan aktif meskipun masih memiliki
aktivitas katalase - peroksidase yang menurun hingga 50%. Hal ini
ditunjukkan dengan eksperimen in vitro menggunakan metode site-directed
mutagenesis21.
Namun demikian, terdapat beberapa data yang menunjukkan bahwa
tidak sepenuhnya karakteristik M. tuberculosis resistan terhadap INH ini
disebabkan gangguan pada katG. Mekanisme resistensi terhadap INH tidak
dapat sepenuhnya dibuktikan berkaitan dengan terbentuknya INH-NADH
adduct. Mutasi pada gen inhA ditemukan pada 20,3% dari isolat klinik
resistan terhadap INH. Gen inhA mengkode protein inhA yang berperan
dalam sintensis asam mikolat, komponen spesi k yang ditemukan pada
dinding sel M. tuberculosis. InhA diketahui merupakan target dari INH
sebagai obat anti tuberkulosis. Mutasi pada gen inhA sebagian besar
ditemukan pada regio promotor (1,189 dari 6,192 isolat resistan INH).
Selain itu dilaporkan juga mutasi pada coding region gen inhA dengan
frekuensi yang lebih jarang21.

c) Pirazinamid

Pirazinamid merupakan obat yang memiliki kemampuan antituberkulosis


yang unik, yaitu kemampuan untuk membunuh kuman yang dalam kondisi
semi dorman pada kondisi pH asam. Sehingga hal tersebut dapat
mengurangi jangka waktu terapi tuberkulosis yang mestinya 9-12 bulan
menjadi hanya 6 bulan saja. Kemampuan ini tidak dimiliki oleh obat
antituberkulosis yang lainnya. Pirazinamid merupakan pro-drug yang
diubah oleh pirazinamidase menjadi bahan aktifnya, pyrazinoic acid. Enzim
pirazinamidase dikode oleh gen pncA. Pyrazinoic acid ini akan
mengganggu sistem transport membran sel bakteri. Pirazinamid masuk ke
dalam sel bakteri dengan proses difusi pasif. Setelah diubah menjadi
pyrazinoic acid diekskresikan oleh sistem pompa e ux keluar sel. Dalam
lingkungan asam protonated pyrazinoic acid akan diabsorbsi dan
terakumulasi di dalam sel yang menyebabkan terjadinya kerusakan sel.
Gen pncA yang mengkode enzim pirazinamidase memiliki peran sentral
dalam mekanisme aksi pirazinamid pada M. tuberculosis. Data yang
terkumpul menunjukkan bahwa mutasi pada gen pncA paling banyak
ditemukan pada isolat M. tuberculosis resisten pirazinamid. Banyak laporan
mendokumentasikan bahwa antara 72% -95% isolat klinik M. tuberculosis
memiliki mutasi pada gen pncA. Meskipun demikian terdapat laporan
bahwa tidak semua M. tuberculosis yang resistan terhadap pirazinamid
memiliki mutasi pada gen pncA. Demikian pula dengan mutasi pada pncA,
terdapat laporan yang menunjukkan adanya mutasi pada pncA, pada isolat
M. tuberculosis yang sensitif terhadap pirazinamid21.
d) Etambutol

Etambutol adalah obat antituberkulosis lini pertama yang memiliki efek


bakteriostatik pada M. tuberculosis yang aktif bereplikasi dan tidak memiliki
efek pada basil yang tidak bereplikasi dan dorman. Studi menunjukkan
bahwa mekanisme aksi etambutol adalah mengganggu struktur dinding sel
M. tuberculosis dengan cara mengganggu polimerisasi arabinan, suatu
komponen pembentuk arabinogalactan dan lipoarabinomannan Sebuah
enzim yang dikode oleh gen embB yaitu arabinosyl transferase merupakan
molekul target etambutol. Enzim ini berperan penting pada sintesis
arabinogalactan21.
Pada M. tuberculosis, embB tersusun di dalam 10kb operon embCAB
dengan embC dan embA di dalamnya. Mutasi pada operon embCAB
terutama pada gen embB ditengarai sebagai mekanisme yang
bertanggungjawab terhadap resistensi M. tuberculosis terhadap etambutol.
Belanger et al. (1996) berhasil mengklon locus emb dari M. avium resistan
etambutol. Selanjutnya locus emb ditransfer ke dalam M.smegmatis.
Hasilnya menunjukkan terjadinya perubahan sifat M. smegmatis yang
menjadi resistan terhadap etambutol. Sifat resistan ini berkorelasi dengan
tingkat ekspresi dari emb, semakin tinggi jumlah kopi gen ini, semakin tinggi
pula tingkat resistensinya. Mutasi pada kodon 306 gen embB merupakan
mutasi yang paling banyak ditemukan (>86%), yang kemudian lazim
disebut sembagai ethambutol resistance determining region (ERDR).
Mutasi di kodon lainnya sangat jarang dijumpai. Telah dilaporkan adanya
lima mutasi titik paling sering ditemukan pada kodon 306 yaitu: (ATG-
GTG),(ATG-CTG), (ATG-ATA), (ATG-ATC) dan (ATG-ATT). Kelima mutasi
ini berkontribusi pada 70-90% isolat M. tuberculosis yang resistan terhadap
ethambutol21.
e) Streptomisin

WHO merekomendasikan streptomisin sebagai obat antituberkulosis lini


pertama alternatif. Streptomisin bekerja pada ribosom yang esensial untuk
sintesis protein bakteri. Streptomisin berinteraksi dengan 16S rRNA dan
S12 ribosomal protein yang berakibat perubahan pada ribosom dengan
hasil akhir terjadinya gangguan pembacaan kodon saat translasi. Dengan
demikian maka sintesis protein pada bakteri menjadi terganggu.
Streptomisin membunuh M. tuberculosis yang sedang aktif membelah diri,
namun tidak berefek pada bakteri yang tidak tumbuh dan berada di dalam
sel. Sebanyak 65-67% isolat klinik M. tuberculosis yang resistan terhadap
streptomisin memiliki mutasi pada gen rrs yang mengkode 16S RNA and
rpsL yang mengkode S12 ribosomal protein. Dilaporkan juga adanya mutasi
pada gen selain rrs dan rpsL. Mutasi pada gen rpsL paling sering terjadi
pada kodon 43 (AAG→AGG/ACG; K→R/T) dan kodon 88
(AAG→AGG/CAG; K→R/Q). Selain itu diduga terdapat mekanisme lain
yang melibatkan perubahan permeabilitas sel bakteri. Terdapat asosiasi
antara mutasi yang terjadi pada gen rrs dan rpsL dengan tinggi rendahnya
tingkat resistensi terhadap streptomisin. Mutasi gen rspL ditemukan lebih
banyak pada isolat dengan resistensi tingkat tinggi berdasarkan MIC yang
ditunjukkan oleh isolat klinik tersebut. Tingkat resistensi sedang dijumpai
pada isolat dengan mutasi pada gen rrs. Sementara mutasi pada gen lain
dan juga perubahan permeabilitas sel biasa dijumpai pada isolat kinik yang
memiliki tingkat resistensi rendah21.

h. Diagnosis MDR Tuberkulosis

Tuberkulosis diagnosis masih berdasarkan pada dugaan klinis,


radiologi, dan uji mikrobiologis. Gambaran klinis dan radiologis yang
resistan terhadap obat tuberkulosis yang resistan terhadap obat tidak dapat
dibedakan dengan obat yang rentan terhadap tuberkulosis, sehingga atau
harus di lakukan uji mikrobiologis. Pedoman ini merekomendasikan bahwa:
(1) semua pasien dengan diagnosis tuberkulosis menjalani uji kepekaan H
dan R, menggunakan molekul uji cepat jika tersedia; (2) jika resistensi
terhadap R dan / atau H ditunjukkan, tes kerentanan terhadap FQ dan SLID
yang diusulkan untuk jadwal perawatan selanjutnya harus dilakukan,
menggunakan Geno-typeMDRsl (Hain) v2 jika memungkinkan; (3) uji
fenotipik standar juga harus dilakukan; sementara ini membutuhkan waktu
lebih lama dan mendukung keputusan perawatan untuk tingkat yang lebih
rendah, mereka dapat menyelesaikan setiap perbedaan antara metode;
dan (4) riwayat obat klinis sangat penting untuk merancang rejimen
pengobatan di masa depan22.
Diagnosis MDR Tuberkulosis tergantung pada hasil kultur dan
sensitivitas Mycobacterium tuberculosis isolat dari dahak, cairan tubuh atau
spesimen jaringan. Namun hasil tes kerentanan obat untuk MDR
Tuberkulosis mungkin membutuhkan beberapa minggu hingga berbulan-
bulan untuk tersedia13.
Xpert MTB / RIF dan GenoType® MTBDRplus adalah dua tes amplifikasi
asam nukleat yang tersedia yang dapat mempercepat diagnosis
tuberkulosis yang resistan terhadap obat. Tes ini harus digunakan pada
sampel pernapasan yang diperoleh dari orang yang gagal terapi anti-
tuberkulosis dengan agen lini pertama, pasien yang datang dari negara
dengan prevalensi MDR Tuberkulosis yang tinggi, mereka yang tidak patuh
terhadap pengobatan serta orang yang diketahui terpapar dengan kasus
MDR Tuberkulosis13.

i. Pengobatan MDR Tuberkulosis

Penatalaksanaan klinis MDR Tuberkulosis lebih rumit bila dibandingkan


dengan tuberkulosis yang sensitif. Pada tatalaksana tuberkulosis yang
sensitif hanya menggunakan 4 obat dan membutuhkan waktu 6 bulan,
sedangkan pada tatalaksana MDR tuberkulosis mempergunakan minimal 5
obat dan selama 18 sampai 24 bulan. Tatalaksana kasus MDR tuberkulosis
ini sering dihubungkan dengan kejadian efek samping mulai dari yang
ringan sampai yang berat. Dari obat paling kuat efek bakterisidnya dengan
toksisitas paling rendah sampai yang paling lemah dengan toksisitas paling
tinggi yang digunakan. Permasalahan dalam hal toleransi terhadap obat-
obatan disebabkan karena terapi MDR tuberkulosis menggunakan
beberapa jenis obat. Pengobatan tidak dapat di hentikan hanya karena
ketakutan dari prediksi respon pasien terhadap obat1.
Pada prinsipnya pengobatan pasien MDR Tuberkulosis dilakukan
secara rawat jalan, akan tetapi dapat dilakukan dirawat inap jika dibutuhkan,
sesuai dengan kondisi klinis pasien dan/atau sesuai keputusan tim ahli
klinis di Rumah Sakit rujukan MDR Tuberkulosis. Rawat inap dapat
dilakukan pada awal pengobatan atau dalam kondisi tertentu misalnya
karena efek samping obat atau kondisi klinis memburuk. Lama pengobatan
pasien MDR Tuberkulosis di Indonesia mengikuti standar pengobatan MDR
Tuberkulosis yang ditetapkan oleh WHO19.
Bila hasil uji kepekaan OAT lini kedua sudah didapatkan maka paduan
pengobatan dapat disesuaikan sesuai pola resistensinya. Bila hasil
menunjukkan resistensi terhadap kuinolon saja maka paduan yang dipakai
adalah : Km Lfx (high dose) Eto Cs PAS (E) Z; Bila resistan terhadap
kanamisin saja maka paduan yang dipakai adalah : Cm Lfx Eto Cs (E) Z19.
Penambahan obat-obat golongan 5 ke dalam paduan harus
berdasarkan bukti uji kepekaan dan penilaian klinis dari tim ahli klinis di unit
layanan, tetapi untuk pengadaan dan jaminan ketersediaan obat tersebut
harus melalui mekanisme yang ditentukan oleh Program Nasional
Penanggulangan tuberkulosis19.
Pengobatan multidrug resistance direkomendasikan jika pasien belum
memberikan reaksi terhadap pengobatan saat ini, memiliki tuberkulosis
berulang, telah diagnosis tuberkulosis yang resistan terhadap rifampisin,
atau melakukan kontak dengan pasien tuberkulosis yang resistan terhadap
beberapa obat. Pilihan obat dapat ditentukan secara geografis, dengan
gambaran pola resistensi resimen sebelumnya, kondisi medis yang
mendasari, dan reaksi yang merugikan. Selanjutnya Pengobatan empiris
harus dimulai setelah sampel dahak diambil dan tanpa menunggu informasi
suspectibilitasnya11.
Fase intensif awal adalah pengobatan selama 8 bulan dengan empat
obat lini kedua setiap hari dan di kontrol secara langsung. Fase lanjutan
pengobatan selama 20 bulan jika pasien tidak memiliki riwayat pengobatan
sebelumnya untuk tuberkulosis yang resistan terhadap multi obat, dan
hingga 28 bulan untuk pasien dengan tuberkulosis berulang, dengan terapi
observasi langsung untuk memantau kepatuhan11.
Obat lini kedua memiliki aktivitas bakteriostatik yang lemah, kurang
dapat ditoleransi dengan baik, kurang efektif, dan telah meningkatkan
toksisitas terhadap resimen standar. Serta jangan pernah menambahkan
obat tunggal pada resimen yang gagal. Bedaquiline fumarate baru-baru ini
disetujui oleh FDA untuk terapi kombinasi untuk orang dewasa dengan
MDR Tuberkulosis ketika resimen yang efektif tidak tersedia11.
Masalah utama yang muncul pada pasien MDR Tuberkulosis adalah
sulitnya pengobatan, tingginya kematian, biaya yang mahal dan berpotensi
menularkan basil resistan kepada orang lain. Angka kematian yang tinggi
lebih banyak dikarenakan oleh faktor penjamu (host), di mana penderita
MDR Tuberkulosis mengalami penurunan daya tahan tubuh yang dapat
disebabkan oleh asupan gizi tidak seimbang dan kuantitas yang kurang dan
kondisi metabolisme tubuh yang tidak baik. Di samping itu kurangnya
kebersihan diri juga berakibat mudahnya faktor penyebab penyakit (agent)
lain masuk ke dalam tubuh sehingga menyebabkan infeksi tambahan (co-
infections) semakin memperburuk kondisi fisik. Di samping itu faktor
lingkungan (environtment) tempat tinggal juga sangat mempengaruhi
keberhasilan pengobatan tuberkulosis. Hal tersebut berhubungan dengan
perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Pembinaan PHBS yang
dicanangkan oleh pemerintah sudah berjalan sekitar 15 tahun, tetapi
keberhasilannya masih jauh dari harapan4.
Tabel 4. Rekomendasi Obat Untuk Pengobatan Rifampicin –
Resistance dan Multidrug – Resistance Tuberkulosis

A. Fluoroquinolones Levofloxacin Lfx


Moxifloxacin Mfx
Gatifloxacin Gfx
B. Second – line Amikacin Am
Injectable angents Capreomycin Cm
Kanamicyn Km
( Streptomycin ) (S)
C. Other core second – Ethionamide / Prothionamide Eto / Pto
line agents Cycloserine / Terizidone Cs / Trd
Linezolide Lzd
Clofazimine Cfz
D. Add – on agents D1 Pyrazinamide Z
( not part of the core Ethambutol E
MDR – TB regimen ) High dose Izoniazide H
D2 Bedaquiline Bdq
Delamanid Dlm
D3 p- amino salicyclic PAS
acid Ipm
Imipenem cilastatin Mpm
Meropenem Amx – Clv
Amoxicillin- (T)
Clavulanate
(Thioacetazon)

Sumber : World Health Organization, 2016


Tabel 5. Dosis OAT MDR Tuberkulosis Berdasarkan Berat Badan

Sumber : José A. Caminero, Joan A. Cayla, José-María


́ -García,
Garcia Francisco J. García-Pérez, Juan J.
Palacios, Juan Ruiz-Manzanoc, 2017

j. Akibat

Akibat dari MDR Tuberkulosis adalah lebih rumitnya


penatalaksanaan klinis MDR tuberkulosis bila dibandingkan dengan
tuberkulosis yang sensitif karena mempergunakan obat anti-
tuberkulosis (OAT) lini I dan lini II. Pada tatalaksana tuberkulosis yang
sensitif hanya menggunakan 4 obat dan membutuhkan waktu 6 bulan,
sedangkan pada tatalaksana MDR tuberkulosis mempergunakan
minimal 5 obat dan berlangsung selama 18 sampai 24 bulan.
Tatalaksana kasus MDR tuberkulosis ini sering dihubungkan dengan
kejadian efek samping mulai dari yang ringan sampai yang berat1.
k. Prognosis

Masalah utama yang muncul pada pasien TB-MDR adalah sulitnya


pengobatan, tingginya kematian, biaya yang mahal dan berpotensi
menularkan basil resisten kepada orang lain4.

l. Pencegahan MDR Tuberkulosis

Ada beberapa cara untuk mencegah tuberkulosis yang resistan


terhadap obat17 :

1). Deteksi dini dan pengobatan tuberkulosis yang rentan terhadap obat
berkualitas tinggi.
2). Deteksi dini dan pengobatan tuberkulosis yang resistan terhadap obat
yang berkualitas tinggi.
3). Penerapan efektif langkah-langkah pengendalian infeksi.
4). Penguatan dan pengaturan sistem kesehatan.
5). Mengatasi faktor-faktor risiko yang mendasari dan penentu sosial.

Hal terpenting dalam mencegah penyebaran tuberkulosis resistance


obat adalah dengan menggunakan semua obat sesuai saran petugas
kesehatan, serta harus diminum sesuai jadwal dan instruksi, tidak boleh ada
dosis terlewat maupun penghentian pengobatan lebih awal. Jika mereka
mengalami kesulitan dalam meminum obat atau adanya efek samping yang
dialami, pasien harus memberitahu dokter penyedia layanan kesehatan.
Petugas dapat melakukan diagnosa kasus secara dini, pemberian
pedoman pengobatan, pemantauan respon pasien terhadap pengobatan
dan pemastian selesainya terapi. Cara lain yang dapat dilakukan untuk
mencegah tuberkulosis resistan adalah menghindari paparan dengan
pasien tuberkulosis resistan obat di tempat-tempat tertutup atau penuh
sesak. Orang-orang yang bekerja di rumah sakit atau fasilitas pelayanan
kesehatan di mana pasien tuberkulosis datang hampir setiap hari maka
sebaiknya berkonsultasi terkait pengendalian infeksi dan kesehatan kerja9.
B. Kerangka Teori

Gambar 6. Kerangka Teori


BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konseptual

Gambar 7. Kerangka Konsep


B. Definisi Operasional

1. Pasien MDR-Tuberkulosis adalah pasien yang resistan terhadap minimal


2 obat anti tuberkulosis berdasarkan jumlah penderita dengan melihat
data di rekam medis pasien MDR tuberkulosis yang berobat di Balai
Besar Kesehatan Paru Makassar Dari 1 Januari 2014 – 31 Desember
2018.
Kriteria Objektif : a. Penderita Baru
b. Penderita lama

2. Usia adalah lama waktu hidup penderita dengan melihat data di rekam
medis pasien MDR tuberkulosis yang berobat di Balai Besar Kesehatan
Paru Makassar Dari 1 Januari 2014 – 31 Desember 2018.(Depkes, 2018)
Kriteria Objektif : a. Remaja akhir : 15 – 24 tahun
b. Dewasa awal : 25 – 34 tahun
c. Dewasa akhir : 35 – 44 tahun
d. Lansia awal : 45 – 54 tahun
e. Lansia akhir : ≥ 55 tahun

3. Jenis Kelamin adalah perbedaan seksual pada penderita dengan melihat


data di rekam medis pasien MDR tuberkulosis yang berobat di Balai
Besar Kesehatan Paru Makassar Dari 1 Januari 2014 – 31 Desember
2018.
Kriteria Objektif : a. Laki-laki
b. Perempuan

4. Kepatuhan minum obat adalah perilaku pasien dalam meminum obat


secara benar dengan melihat data di rekam medis pasien MDR
tuberkulosis yang berobat di Balai Besar Kesehatan Paru Makassar Dari
1 Januari 2014 – 31 Desember 2018.
Kriteria Objektif : a. Patuh
b. Tidak Patuh

5. Pendidikan adalah tingkat pendidikan terakhir yang ditempuh pasien


dengan melihat data di rekam medis pasien MDR tuberkulosis yang
berobat di Balai Besar Kesehatan Paru Makassar Dari 1 Januari 2014 –
31 Desember 2018.
Kriteria Objektif : a. Rendah : tidak skolah, SD, SMP
b. Menengah : SM atau Sederajat
c. Tinggi : Diplom, Sarjana, Magister

6. Pola Resistensi adalah kepekaan bakteri terhadap obat anti tuberkulosis


dengan melihat data rekam medis pasien MDR tuberkulosis yang
berobat di Balai Besar Kesehatan Paru Makassar Dari 1 Januari 2014 –
31 Desember 2018.
Kriteria Objektif : a. Dua obat
b. Lebih dari dua obat
DAFTAR PUSTAKA

1. Reviono, P. Kusnanto,Vicky Eko,Helena Pakiding,Dyah Nurwidiasih.


(2014). Multidrug Resistant Tuberculosis (MDR-TB): Tinjauan
Epidemiologi dan Faktor Risiko Efek Samping Obat Anti
Tuberkulosis.
2. Ria Widyasrini, Elisabet, Ari N Probandari, Reviono.(2014). Factors
Affecting the Success of Multi Drug Resistance (MDR-TB)
Tuberculosis Treatment in Residential Surakarta
3. Bijawati, Emmi SKM., M.Kes, Munawir Amansyah, SKM., M.Kes,
Nurbiah, SKM .(2018). Faktor Risiko Pengobatan Pasien Multidrug
Resistance Tuberculosis (Mdr-Tb) Di Rsud Labuang Bajj Kota
Makassar Tahun 2017. Jurnal Nasional Ilmu Kesehatan ( JNIK)
Volume I .
4. Heri Mulyanto . (2014) . Relationship Five Behavioral Indicators and
Healthy Living with Tuberculosis Multidrug-Resistant .
5. Djojodibroto, R. Darmanto.( 2009 ). Respirologi ( Respiratory
Medicine ). Jakarta : EGC
6. Setiati, Siti, Idrus Alwi, Aru W. Sudoyo, Marcellus Simadibrata K,
Bambang Setiyohadi, Ari Fahrial Syam.(2014). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi keenam jilid I.
7. Pusat Data Dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.(2018).
Tuberkulosis. Jakarta: Kemenkes RI.
8. World Health Organization.(2018).Global Tuberculosis Report.
Geneva : WHO Press.
9. T. Irianti,Rer. Nat, Kuswandi, Munif Yasin, Nanang, Kusumaningtyas,
RatihAnggara. (2016). Mengenal Anti Tuberkulosis.
10. Kementerian Kesehatan RI (2011) Pedoman Nasional
Pengendalian Tuberkulosis.
11. Leshinsky, Stacey Singer , MSEd, RPAC. (2016) . Pulmonary
tuberculosis: Improving diagnosis and management. American
Academy of Physician Assistants.
12. C. Carroll, Karen, Janet S. Butel, Sthephen A. Morse, Timothy
Mietzner. (2016). Jawetz, Melnick & Adelberg’s Medical Microbiology
27th Edition.
13. Singer-Leshinsky, Stacey MSEd, RPAC. (2016). Ministry Of Health
Singapore Prevention,Diagnosis and Management Of Tuberculosis.
14. G. Katzung, Brtram, B. Masters, Susan, J. Trevor, Anthony. (2012).
basic and Clinical Pharmacology edition 12. The McGraw-Hill
Companies.
15. souza, Luis Eduardo Almeida de. Atelectasis as a Complication of
Tuberculosis. International Medical Society. 2018.Page: 2
16. Haque, Ghazal., et al. Prognostic Factors in Tuberculosis Related
Mortalities in Hospitalized Patients. Tuberculosis Research and
Treatment. 2014.Page: 5
17. WHO. (2014). Companion Handbook to the WHO guidelines for the
programmatic management of drug resistant tuberculocis.
18. World Health Organization . (2017) .Global Tuberculosis Report.
Geneva : WHO Press.
19. Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jendral Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.(2015). Programmatic
Management Of Drug Resistance Tuberculosis, Pengendalian
Tuberkulosis Indonesia.
20. Syahrezki, Mohammad.(2015). Faktor Risiko Tuberkulosis Multidrug
Resistant (TB-MDR) Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung.
21. Wibawa, Tri .(2016). Mekanisme Molekular Resistensi Terhadap
Obat Anti Tuberkulosis Lini Pertama Departemen Mikrobiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta .
22. José A. Caminero,Joan A. Cayla, José-María García-García,
Francisco J. García-Pérez, Juan J. Palacios,Juan Ruiz-Manzano.
(2017). Diagnosis and Treatment of Drug-Resistant Tuberculosis.
BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan di lakukan adalah studi deskriptif


observasional di mana menggunakan desain studi cross – sectional.
Peneliti akan melakukan penelitian terhadap karakteristik penderita TB
Paru dengan Multi Drug Resistance yang berobat di Balai Besar Kesehatan
Paru di Makassar dari 1 Januari 2014 – 31 Desember 2018. Peneliti akan
mengolah data pasien TB Paru dengan menggunakan rekam medik pasien,
setelah itu diambil beberapa sampel yang memenuhi kriteria untuk
kemudian diteliti.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

a. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Instalasi Rekam Medik Balai Besar Kesehatan


Paru di Makassar, Sulawesi Selatan.

b. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada awal 2020.


C. Populasi dan Sampel Penelitian

a. Populasi penelitian

Semua pasien yang didiagnosis menderita tuberkulosis paru dengan


Multidrug Resistance di Balai Besar Kesehatan Paru di Makassar Sulawesi
Selatan periode 1 Januari 2014 – 31 Desember 2018, dilihat pada Medical
Record penderita.

b. Sampel penelitian

Semua pasien yang didiagnosis menderita tuberkulosis paru dengan


Multidrug Resistance di Balai Besar Kesehatan Paru di Makassar Sulawesi
Selatan periode 1 Januari 2014 – 31 Desember 2018, dilihat pada Medical
Record penderita, yang memenuhi kriteria penelitian.

D. Kriteria Penelitian

a. Kriteria Inklusi

1. Pasien yang didiagnosis penyakit Tuberkulosis Paru dengan Multidrug


Resistance yang berobat di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat dilihat
pada rekam medik dari 1 Januari 2014 – 31 Desember 2018.

2. Penggunaan rekam medik diizinkan oleh direktur rumah sakit dan


disetujui oleh kepala instalasi Medical Record di Balai Besar Kesehatan
Paru Masyarakat Makassar setelah diberi penjelasan.

b. Kriteria Ekslusi

1. Pasien yang didiagnosis Tuberkulosis Paru dengan Multidrug Resistance


yang berobat di Balai Besar Kesehatan Paru Makassar yang memiliki
medical Record tidak lengkap dari 1 Januari 2014 – 31 Desember 2018.
2. Pasien Tuberkulosis Paru dengan Multidrug Resistance yang berobat di
Balai Besar Kesehatan Paru Makassar yang memiliki medical record dari 1
Januari 2014 – 31 Desember 2018 dengan komplikasi berat.

E. Cara pengambilan sampel

Bila populasi <100 maka teknik pengambilan sampel adalah Total


Sampling dengan mengambil seluruh rekam medis penderita Multidrug
Resistance Tuberkulosis.
Bila populasi > 100 maka pengambilan sampel menggunakan system
random (Acak) dengan teknik Proportional stratified random sampling.
Stratifikasi penderita dilakukan berdasarkan tahun. Jumlah anggota sampel
dari setiap strata ditentukan dengan menggunakan rumus alokasi
𝑁𝑖
proportional : 𝑛𝑖 = .𝑛
𝑁

Keterangan :
ni = Jumlah anggota sampel menurut strata
n = Besar sampel
Ni = Jumlah anggota populasi menurut stratum
N = Jumlah anggota populasi seluruhnya

F. Besar Sampel

Besar sampel dalam penelitian ini akan menggunakan rumus slovin bila
jumlah populasi >100.
𝑁
Rumus yang digunakan : n = 1 +N (e)2

Keterangan:
n = Besar sampel
N = Besar populasi
e = Tingkat kepercayaan atau ketepatan yang diinginkan = 0,1
Bila jumlah populasi <100, maka seluruh populasi diambil sebagai
sampel.

G. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder, dimana


data – data tersebut diperoleh dari rumah sakit dengan menggunakan
rekam medik.
H. Alur Penelitian

Gambar 8. Alur Penelitian


I. Prosedur Penelitian

1. Populasi penelitian yg telah diizinkan pemakaiannya oleh direktur Rumah


Sakit.
2. Penjelasan kepada kepala instalasi rekam medik Rumah Sakit yang
akan dilakukan penelitian :
a. Latar Belakang masalah: Bagaimana karakteristik penderita MDR
tuberkulosis yang berobat di Balai Besar Kesehatan Paru Makassar
Dari 1 Januari 2014 – 31 Desember 2018
b. Tujuan: untuk mengetahui karakteristik penderita TB Paru dengan
Multidrug Resistance
c. Manfaat penelitian: manfaat penelitian sebagai bahan rujukan untuk
civitas akademika di institusi pendidikan kesehatan/kedokteran,
meningkatkan pengtahuan akan kelainan yang terjadi pada pasien TB
Paru dengan multidrug resistance, sebagai salah satu pengembangan
pengetahuan dan wawasan mengenai kelainan pada TB Paru, serta
hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan promosi kesehatan.
d. Menjaga keselamatan dan kerahasiaan data selama tindakan
penelitian: setiap data yang diambil akan dijaga kerahasiaannya
dengan menulis data responden anonim.
e. peneliti akan menjaga keselamatan berkas rekam medik dari kerusakan
dan kehilangan.
f. Penjelasan mengenai hak-hak, yaitu hak untuk menolak dan
membatalkan persetujuan dari penelitian tanpa adanya konsekuensi
3. Setelah kepala instalasi rekam medik rumah sakit paham mengenai
penjelasan, maka peneliti akan meminta persetujuan dari kepala
instalasi rekam medik rumah sakit untuk dijadikan sebagai tempat
penelitian dengan mengisi dan menanda-tangani formulir persetujuan
4. Subyek penelitian yaitu semua pasien yang memenuhi kriteria
penelitian
5. Peneliti akan melakukan pengambilan data berdasarkan usia, jenis
kelamin, kepatuhan minum obat, pendidikan, riwayat pengobatan, serta
pola resistensi.
6. Peneliti melakukan pengumpulan data. Semua data yang terkumpul
akan di input ke dalam komputer.
7. Selanjutnya akan dilakukan analisa dan pengolahan data lebih lanjut
dengan menggunakan metode SPSS. Data yang didapat sangat dijaga
kerahasiaannya.
8. Setelah analisis data selesai, peneliti melakukan penulisan hasil akhir.
9. Selanjutnya diseminarkan pada penyajian hasil dalam bentuk lisan dan
tulisan.
J. Dummy Tabel

Tabel 6. Dummy Table 1. Distribusi penderita MDR tuberkulosis yang


berobat di Balai Besar Kesehatan Paru Makassar Dari 1 Januari 2014 – 31
Desember 2018 berdasarkan jumlah penderita.

Jumlah Penderita N %
Baru
Lama

Total

Tabel 7. Dummy Table 2. Distribusi penderita MDR tuberkulosis yang


berobat di Balai Besar Kesehatan Paru Makassar Dari 1 Januari 2014 – 31
Desember 2018 berdasarkan usia.

Kelompok Usia N %
Remaja akhir 15 - 24 tahun
Dewasa awal 25 - 34 tahun
Dewasa akhir 35 – 44 tahun
Lansia awal 45 - 54 tahun
Lansia Akhir ≥ 55 tahun

Total
Tabel 8. Dummy Table 3. Distribusi penderita MDR tuberkulosis yang
berobat di Balai Besar Kesehatan Paru Makassar Dari 1 Januari 2014 – 31
Desember 2018 berdasarkan jenis kelamin.

Jenis Kelamin N %
Perempuan
Laki- laki

Total

Tabel 9. Dummy Table 5. Distribusi penderita MDR tuberkulosis yang


berobat di Balai Besar Kesehatan Paru Makassar Dari 1 Januari 2014 – 31
Desember 2018 berdasarkan pendidikan

Tingkat Pendidikan N %
Rendah
Menengah
Tinggi

Total

Tabel 10. Dummy Table 4. Distribusi penderita MDR tuberkulosis yang


berobat di Balai Besar Kesehatan Paru Makassar Dari 1 Januari 2014 – 31
Desember 2018 berdasarkan kepatuhan minum obat.

Kepatuhan Minum Obat N %


Patuh
Tidak Patuh

Total
Tabel 11. Dummy Table 7. Distribusi penderita MDR tuberkulosis yang
berobat di Balai Besar Kesehatan Paru Makassar Dari 1 Januari 2014 – 31
Desember 2018 berdasarkan Pola resistensi OAT.

Pola Resistensi OAT N %


Dua obat

Lebih dari dua obat


Total

K. Aspek Etika Penelitian

Tidak ada masalah etik yang timbul pada penelitian ini, karena:
1. Mendapat izin penelitian dari Direktur Balai Besar Kesehatan Paru
Makassar untuk memakai rekam medik sebagai sumber data
2. Mendapat persetujuan setelah penjelasan dari kepala instalasi rekam
medik Balai Besar Kesehatan Paru Makassar
3. Peneliti akan menjaga keselamatan berkas rekam medik
4. Peneliti akan menjaga kerahasiaan data yang diambil dari rekam medik
5. Semua data disajikan tanpa nama (memakai nomor kode)

Anda mungkin juga menyukai