PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
B. Rumusan Masalah
C. Pertanyaan Penelitian
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
2. Tujuan khusus
E. Manfaat Penelitian
1. Petugas kesehatan
3. Bagi peneliti
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Tuberkulosis Paru
a. Definisi TB Paru
c. Epidemiologi
Secara global tahun 2016 terdapat 10,4 juta kasus insiden tuberkulosis
( CI, 8,8 juta – 12, juta ) yang setara dengan 120 kasus per 100.000
penduduk. Lima negara dengan insiden kasus tertinggi yaitu India,
Indonesia, China, Philipina, dan Pakistan 7. Sebagian besar estimasi
insiden tuberkulosis pada tahun 2016 terjadi di kawasan Asia Tenggara
(45%) dimana indonesia termaksud di dalamnya dan 25% di kawasan
Afrika7.
Di seluruh dunia pada tahun 2017, 6,4 juta kasus tuberkulosis baru
secara resmi diberitahu kepada otoritas nasional dan kemudian dilaporkan
kepada WHO Jumlah ini telah meningkat sejak 2013, setelah 4 tahun
(2009–2012) di mana 5,7–5,8 juta kasus baru dilaporkan setiap tahun,
terutama karena peningkatan pelaporan kasus yang terdeteksi oleh swasta
di sektor India dan, pada 2017, peningkatan pelaporan di Indonesia8.
Jumlah kasus baru tuberkulosis di Indonesia sebanyak 420.994 kasus
pada tahun 2017 (data per 17 Mei 2018). Pada tahun 2015 terdapat 130
jumlah semua kasus tuberkulosis yang diobati dan dilaporkan per 100.000
penduduk, tahun 2016 terdapat 139 jumlah kasus per 100.000 penduduk
dan tahun 2017 jumlah kasus tuberkulosis yang dilaporkan dan diobat
meningkat menjadi 161 per 100.000 penduduk7.
Pada tahun 2015, jumlah penemuan kasus TB adalah 330.910 kasus.
Jumlah tersebut meningkat dari tahun 2014, yaitu sebanyak 324.539 kasus.
Kasus terbanyak dilaporkan di provinsi dengan jumlah penduduk besar,
yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah (38% dari keseluruhan
kasus di Indonesia)9.
d. Faktor Risiko
a) Muatan bacilli
Kadar bacilli di dalam dahak pasien berhubungan positif dengan tingkat
penularan pasien tersebut. Semakin tinggi kandungan bacilli pada dahak
maka kecenderungan penularan juga tinggi. Pasien smear negative
memiliki jumlah bacilli lebih sedikit dari pasien smear positive tetapi infeksi
masih dapat ditularkan. Hasil studi di Amerika Serikat, Inggris dan India
menggaris bawahi bahwa prevalensi infeksi dan penyakit lebih tinggi di
antara kontak dari kasus smear positive dibandingkan smear negative
namun kecepatannya lebih tinggi diantara smear negative dibandingkan
populasi umum10.
d) Malnutrisi
Malnutrisi baik defisiensi mikro maupun makro meningkatkan risiko
tuberkulosis karena melemahnya respon imun. Penyakit tuberkulosis dapat
memicu kekurangan gizi karena penurunan nafsu makan dan perubahan
proses metabolik. Hubungan antara malnutrisi dan tuberkulosis telah
ditunjukkan dengan percobaan vaksin BCG pada akhir tahun 1960 di
Amerika Serikat. Hasilnya, anak- anak kurang gizi memiliki risiko terkena
penyakit tuberkulosis 2 kali lebih besar dari anak-anak dengan gizi cukup.
Bukti lebih lanjut masih diperlukan untuk mengetahui level spesifik
malnutrisi terhadap tuberkulosis10.
e) Usia muda
Anak-anak berada pada risiko lebih tinggi untuk terkena infeksi dan
penyakit tuberkulosis. Studi menunjukkan bahwa 60-80% pasien terpapar
smear positive dahak menjadi terinfeksi sedangkan ketika kontak dengan
dahak smear negative, hanya 30-40% yang terinfeksi. Kebanyakan anak-
anak kurang dari 2 tahun terinfeksi dari sumber rumah tangga sedangkan
anak berumur lebih dari 2 tahun lebih banyak terinfeksi dari sumber
komunitas (lingkungan bermain). Sumber dahak positif pada rumah tangga
menjadi faktor risiko paling penting terhadap anak-anak hingga umur 10
tahun. Risiko kematian tertinggi akibat tuberkulosis terjadi mengikuti infeksi
primer selama masa kehamilan. Risiko akan menurun 1% saat usia 1 dan
4 tahun dan kembali meningkat sebesar 2% pada umur 15 hingga 25 tahun.
Oleh karena itu, investigasi lebih difokuskan pada anak kurang dari 5 tahun
dan pada negara berkembang serta kontak rumah tangga di negara paling
banyak kegiatan industrinya10.
e. Penyebab
g. Patogenesis TB Paru
a) Infeksi Primer
Kontak pertama kali dengan basil tuberkel, ciri-cirinya : (1) Lesi eksudatif
akut berkembang dan cepat menyebar ke limfatik dan kelenjar getah bening
regional. Lesi eksudatif pada jaringan sembuh dengan cepat. (2) kelenjar
getah bening mengalami kasus masif, yang biasanya calci es (lesi Ghon).
(3) hasil uji tuberkulosis menjadi positif. Jenis infeksi primer biasanya terjadi
pada masa kanak-kanak, dan melibatkan bagian paru-paru tetapi sebagian
besar bagian tengah paru-paru atau pangkalan. Pembesaran kelenjar
getah bening hilar dan mediastinum sering diamati12.
Respon awal infeksi basil tuberkulosis pada tubuh adalah seperti
terdapat benda asing di pernafasan hal ini disebabkan karena tubuh belum
mengenali bakteri tuberkulosis tersebut. Sehingga pertahanan awal berupa
sekresi lendir yang diikuti makrofag alveolar dari sistem imun untuk proses
fagositosis, namun makrofag belum di aktifkan pada awal infeksi sehingga
pertahanan hanya melalui mekanisme peradangan tetapi terdapat bantuan
dari imunitas seluler. Di butuhkan waktu 2 hingga 12 minggu untuk sistem
imun dapat berkembang pada pasien dengan sistem kekebalan normal,
yang dapat diidentifikasi dengan tes kulit tuberkulin positif. Sekitar 45% dari
kontak langsung yang terpapar dengan pasien menular dengan
tuberkulosis aktif akan terinfeksi dan memiliki respons hipersensitivitas
termediasi sel-T yang positif11.
Sekitar 5% dari mereka yang terinfeksi akan berkembang menjadi
penyakit aktif dalam 18 bulan kemudian, setelah infeksi awal; 95% sisanya
memiliki risiko 5% berkembang menjadi penyakit aktif. Perkembangan
penyakit aktif dapat terjadi jika terdapat penyakit komorbiditas seperti HIV,
diabetes, gagal ginjal, keganasan, penggunaan steroid kronis, kemoterapi
atau infeksi ulang. Pengaktifan kembali tuberculosis laten menyumbang
sekitar 70% dari kasus tuberkulosis aktif11.
j. Pengobatan TB
k. Komplikasi
l. Prognosis
a) Rifampisin
b) Isoniazid
c) Pirazinamid
j. Akibat
1). Deteksi dini dan pengobatan tuberkulosis yang rentan terhadap obat
berkualitas tinggi.
2). Deteksi dini dan pengobatan tuberkulosis yang resistan terhadap obat
yang berkualitas tinggi.
3). Penerapan efektif langkah-langkah pengendalian infeksi.
4). Penguatan dan pengaturan sistem kesehatan.
5). Mengatasi faktor-faktor risiko yang mendasari dan penentu sosial.
A. Kerangka Konseptual
2. Usia adalah lama waktu hidup penderita dengan melihat data di rekam
medis pasien MDR tuberkulosis yang berobat di Balai Besar Kesehatan
Paru Makassar Dari 1 Januari 2014 – 31 Desember 2018.(Depkes, 2018)
Kriteria Objektif : a. Remaja akhir : 15 – 24 tahun
b. Dewasa awal : 25 – 34 tahun
c. Dewasa akhir : 35 – 44 tahun
d. Lansia awal : 45 – 54 tahun
e. Lansia akhir : ≥ 55 tahun
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
a. Tempat Penelitian
b. Waktu Penelitian
a. Populasi penelitian
b. Sampel penelitian
D. Kriteria Penelitian
a. Kriteria Inklusi
b. Kriteria Ekslusi
Keterangan :
ni = Jumlah anggota sampel menurut strata
n = Besar sampel
Ni = Jumlah anggota populasi menurut stratum
N = Jumlah anggota populasi seluruhnya
F. Besar Sampel
Besar sampel dalam penelitian ini akan menggunakan rumus slovin bila
jumlah populasi >100.
𝑁
Rumus yang digunakan : n = 1 +N (e)2
Keterangan:
n = Besar sampel
N = Besar populasi
e = Tingkat kepercayaan atau ketepatan yang diinginkan = 0,1
Bila jumlah populasi <100, maka seluruh populasi diambil sebagai
sampel.
Jumlah Penderita N %
Baru
Lama
Total
Kelompok Usia N %
Remaja akhir 15 - 24 tahun
Dewasa awal 25 - 34 tahun
Dewasa akhir 35 – 44 tahun
Lansia awal 45 - 54 tahun
Lansia Akhir ≥ 55 tahun
Total
Tabel 8. Dummy Table 3. Distribusi penderita MDR tuberkulosis yang
berobat di Balai Besar Kesehatan Paru Makassar Dari 1 Januari 2014 – 31
Desember 2018 berdasarkan jenis kelamin.
Jenis Kelamin N %
Perempuan
Laki- laki
Total
Tingkat Pendidikan N %
Rendah
Menengah
Tinggi
Total
Total
Tabel 11. Dummy Table 7. Distribusi penderita MDR tuberkulosis yang
berobat di Balai Besar Kesehatan Paru Makassar Dari 1 Januari 2014 – 31
Desember 2018 berdasarkan Pola resistensi OAT.
Tidak ada masalah etik yang timbul pada penelitian ini, karena:
1. Mendapat izin penelitian dari Direktur Balai Besar Kesehatan Paru
Makassar untuk memakai rekam medik sebagai sumber data
2. Mendapat persetujuan setelah penjelasan dari kepala instalasi rekam
medik Balai Besar Kesehatan Paru Makassar
3. Peneliti akan menjaga keselamatan berkas rekam medik
4. Peneliti akan menjaga kerahasiaan data yang diambil dari rekam medik
5. Semua data disajikan tanpa nama (memakai nomor kode)