Anda di halaman 1dari 24

Referat

KOLITIS

Oleh
Chyntia Tiara Putri, S.Ked 04054821719049

Pembimbing
dr. Djunaidi AR, SpPD

DEPARTEMEN PENYAKIT DALAM


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN
PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Referat
Kolitis

Oleh:
Chyntia Tiara Putri, S.Ked 04054821719049

Laporan kasus ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Departemen Penyakit Dalam RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 19 Juni
2017 s.d 28 Agustus 2017

Palembang, Juli 2017

dr. Djunaidi AR, SpPD

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan YME karena atas rahmat
dan berkat-Nya referat yang berjudul “Kolitis” ini dapat diselesaikan tepat waktu.
Referat ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat ujian kepaniteraan klinik di
Departemen Penyakit Dalam RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Djunaidi AR,
SpPD atas bimbingannya sehingga penulisan ini menjadi lebih baik.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam
penulisan referat ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat
penulis harapkan untuk penulisan yang lebih baik di masa yang akan datang.

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN...........................................................................................ii
KATA PENGANTAR.......................................................................................................iii
DAFTAR ISI...................................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................6
2.1 Definisi...................................................................................................................... 6
2.2 Klasifikasi................................................................................................................. 6
2.3 Kolitis Infeksi.......................................................................................................... 7
2.3.1 Kolitis Amoeba (Amoebiasis Kolon)...........................................................7
2.3.2 Shigellosis.......................................................................................................11
2.3.3 Escherichia coli (Patogen).............................................................................14
2.3.4 Kolitis Tuberkulosis......................................................................................16
2.3.5 Kolitis Pseudomembran................................................................................18
2.4 Kolitis Non-Infeksi............................................................................................... 21
2.4.1 Kolitis Ulseratif..............................................................................................21
2.4.2 Crohn’s Disease.............................................................................................37
2.4.3 Kolitis Radiasi................................................................................................ 50
BAB III KESIMPULAN..................................................................................................54
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................55

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Kolitis adalah suatu peradangan akut atau kronik pada kolon, yang
berdasarkan penyebabnya dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a) kolitis
infeksi, misalnya shigelossis, kolitis tuberkulosis, kolitis amoeba, kolitis
pseudomembran, kolitis karena virus/bakteri/parasit lain; b) kolitis non infeksi,
misalnya kolitis ulseratif, penyakit Crohn’s, kolitis radiasi, kolitis iskemik, kolitis
mikroskopik, kolitis non spesifik (simple kolitis). 1
Insidens dari kolitis infeksi terus meningkat setiap tahun dan berkontribusi
terhadap tingginya angka kesakitan dan kematian di seluruh dunia. Berdasarkan
studi epidemiologi dari National Commission for Digestive Diseases, didapatkan
angka rawat inap akibat kolitis infeksi meningkat sebanyak 92,8% antara tahun
1979 dan 2004. Walaupun sudah banyaknya penelitian mikrobiologi mengenai
penyakit ini dan patogenesis dari penyakit sudah banyak diketahui, kolitis infeksi
tetap menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia. 2
Kolitis dengan penyebab idiopatik, yaitu penyakit Crohn dan kolitis
ulseratif, sering disebut dengan Inflammatory Bowel Disease (IBD). IBD diderita
oleh kurang lebih 1,5 juta penduduk di seluruh dunia dan insidens nya terus
meningkat setiap tahunnya.3 Penyakit ini banyak dijumpai pada wanita dibanding
laki-laki. Dapat menyerang semua umur, tetapi serangan pertama sering pada usia
dewasa muda. Umur yang paling banyak diserang antara 20-40 tahun. Serangan
juga dapat terjadi pada orang tua apabila penyakitnya dalam keadaan berat. 4
Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa kolitis merupakan suatu
penyakit yang insidenya masih tinggi serta memiliki angka kesakitan dan
kematian yang tinggi. Oleh karena itu, pemahaman mengenai kolitis perlu
dimiliki. Referat ini disusun dengan tujuan memperdalam pemahaman tenaga
kesehatan medis mengenai penyakit kolitis.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kolitis adalah suatu peradangan akut atau kronik pada kolon. Kolon
memiliki berbagai fungsi, yang terpenting adalah absorbsi air dan elektrolit.
Ciri khas dari gerakan usus besar adalah pengadukan haustral. Gerakan
meremas dan tidak progresif ini menyebabkan isi usus bergerak bolak balik,
sehingga memberikan waktu untuk terjadinya absorbsi. Peristaltik mendorong
feses ke rectum dan menyebabkan peregangan dinding rectum dan aktivasi
refleks defekasi.
Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam kolon berfungsi mencerna
beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi. Bakteri di dalam
kolon juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti vitamin K. Bakteri ini
penting untuk fungsi normal dari usus. Beberapa penyakit serta antibiotik bisa
menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri di dalam usus besar. Akibatnya
terjadi iritasi yang bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air sehingga
terjadilah diare.4

2.2 Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, kolitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a) Kolitis infeksi
Kolon merupakan organ target infeksi tersering pada sistem
gastrointestinal. Gejala kolitis infeksi bervariasi, dari asimptomatik,
ringan, diare yang sembuh sendiri, sampai kolitis toksik fulminan.
Diagnosis dan terapi yang dini sangat penting dalam mencegah
perburukan penyakit.
Banyak organisme yang berkaitan sebagai penyebab kolitis infeksi
ini, yaitu mulai bakteri, parasit, jamur dan virus; misalnya shigelossis,

6
kolitis tuberkulosis, kolitis amoeba, kolitis pseudomembran, kolitis karena
virus/bakteri/parasit lain.

b) Kolitis non infeksi, misalnya kolitis ulseratif, penyakit Crohn’s, kolitis


radiasi, kolitis iskemik, kolitis mikroskopik, kolitis non spesifik (simple
kolitis).1

2.3 Kolitis Infeksi1


2.3.1 Kolitis Amoeba (Amoebiasis Kolon)
Definisi
Peradangan kolon yang disebabkan oleh protozoa Entamoeba
histolytica.

Epidemiologi
Prevalensi amebiasis diberbagai tempat sangat bervariasi,
diperkirakan 10% populasi terinfeksi. Prevalensi tertinggi di daerah tropis
(50-80%). Manusia merupakan host sekaligus reservoir utama.
Penularannya lewat kontaminasi tinja ke makanan dan minuman,
dengan perantara lalat, kecoak, kontak interpersonal atau lewat hubungan
seksual anal-oral. Sanitasi lingkungan yang jelek. Penduduk yang padat
dan kurangnya sanitasi individual mempermudah penularannya.
Pasien yang asimtomatik tanpa adanya invasi jaringan, hanya
mengeluarkan kista pada tinjanya. Kista tersebut dapat bertahan hidup di
luar tubuh manusia. Sedangkan pada pasien dengan infeksi amuba
akut/kronik yang invasif selain kista juga mengeluarkan trofozoit, namun
bentuk trofozoit tersebut tidak dapat bertahan lama diluar tubuh manusia.

Patofisiologi
E. histolytica terdapat dalam 2 bentuk yaitu kista dan tropozoit
yang bergerak. Penularan terjadi melalui bentuk kista yang tahan suasana
asam. Di dalam lumen usus halus, dinding kista pecah mengeluarkan

7
tropozoit yang akan menjadi dewasa dalam lumen kolon. Akibat klinis
yang ditimbulkan bervariasi, sebagian besar asimptomatik atau
menimbulkan sakit yang sifatnya ringan sampai berat.
Berdasarkan pola isoenzimnya, E. histolytica dibagi menjadi
golongan zymodeme patogenik dan zymodeme non patogenik. Walaupun
mekanismenya belu seluruhnya jelas, diperkirakan tropozoit menginvasi
diniding usus dalam keadaan imunosupresi seperti pemakai steroid
memudahkan invasi parasit ini. Pelepasan bahan toksik menyebabkan
reaksi inflamasi yang menyebabkan rusaknya mukosa. Bila proses
berlanjut, timbul ulkus yang bentuknya seperti botol undermined,
kedalaman ulkus mencaoai submukosa atau lapisan muskularis. Tepi ulkus
menebal dengan sedikit reaksi radang. Mukosa di antara ulkus terlihat
normal. Ulkus dapat terjadi di semua bagian kolon, tersering di caecum,
kemudian kolon asenden dan sigmoid, kadang-kadang apendiks dan ileum
terminalis.
Akibat invasi amuba ke dinding usus, timbul reaksi imunitas
humoral dan imunitas cell-mediated amebisidal sitotoksik CD8. Invasi
yang mencapai lapisan muskularis dinding kolon dapat menimbulkan
jaringan granulasi dan terbentuk massa yang disebut ameboma, sering
terjadi di caecum atau kolon asenden. 1

Gejala Klinis
Gejala klinis pasien amebiasis sangat bervariasi, mulai dan
asimtomatik sampai berat dengan gejala klinis menyerupai kolitis ulseratif,
gejala yang timbul berupa nyeri perut, diare, buang air besar bercampur
darah, demam, perforasi dan peritonitis dengan mortalitas lebih dari 40%.
Beberapa jenis keadaan klinis pasien amebiasis adalah sebagai berikut :
1. Carrier: amoeba tidak mengadakan invasi ke dinding usus, tanpa
gejala atau hanya keluhan ringan seperti kembung, flatulensi,
obstipasi, kadang-kadang diare. 90% pasien sembuh sendiri dalam
waktu satu tahun, sisanya berkembang menjadi kolitis ameba.

8
Penatalaksanaan.
Diperlukan kombinasi 3 macam atau lebih obat anti tuberculosis
seperti pada pengobatan tuberculosis paru, demikian pula lama pengobatan
dan dosis obatnya. Kadang-kadang perlu tindakan bedah untuk mengatasi
komplikasi. Beberapa obat anti tuberculosis yang sering dipakai adalah :
- INH 5 – 10 mg/kgBB atau 400 mg sekali sehari
- Etambutol 15 – 25 mg/kgBB atau 900 – 1200 mg sekali sehari
- Rifampisin 10 mg/kgBB atau 400 – 600 mg sekali sehari
- Pirazinaidid 25 -3 mg/kgBB atau 1,5 – 2 g sekali sehari

2.3.5 Kolitis
Pseudomembran
Definisi
Kolitis pseudomembran adalah peradangan kolon akibat toksin
yang ditandai dengan terbentuknya lapisan eksudatif (pseudomembran)
yang melekat di permukaan mukosa. Disebut pula sebagai kolitis terkait
antibiotik sebab umumnya timbul setelah menggunakan antibiotik

Etiologi
Walaupun umumnya timbul sebagai komplikasi pemakaian
antibiotik, kolitis pseudomembran ini telah ditemukan sebelum era
antibiotik. Kuman penyebabnya yang banyak dilaporkan adalah C.
difficile, toksin yang dikeluarkan mengakibatkan kolitis. Mekanisme pasti
antibiotik menjadikan usus lebih rentan terhadap C. difficile belum jelas.
Penjelasan yang paling mungkin adalah penekanan flora usus normal oleh
antibiotik memberikan kesempatan tumbuh dan terbentuknya kolonisasi C.
difficile disertai pengeluaran toksin.

Epidemiologi
C. difficile ditemukan di tinja 3-5% orang dewasa sehat tanpa
kelainan apapun di kolonnya. Kolitis pseudomembran bisa mengenai
semua tingkat umur. Kemungkinan tidak dilaporkannya kolitis

18
pseudomembran karena untuk menegakkan diagnosis perlu kolonoskopi
dan pemeriksaan toksi kuman di tinja. Penularan bisa secara kontak
langsung lewat tangan atau perantaraan makanan minuman yang tercemar.
Semua jenis antibiotik, kecuali aminoglikosida intravena, potensial
menimbulkan kolitis pseudomembran, namun yang paling sering adalah
ampisilin, klindamisin dan sefalosporin.

Patogenesis
C. difficile menimbukan kolitis dengan cara toxin-mediated.
Kuman mengeluarkan dua toksin utama, toksin A dan toksin B. Toksin A
merupakan enterotoksin yang sangat berpengaruh terhadap semua kelainan
yang terjadi, sedangkan toksin B adalah sitotoksin dan tidak melekat pada
mukosa yang masih utuh. Sebanyak 75% isolate C. difficile menghasilkan
kedua toksin tersebut. Kuman yang tidak menghasilkan toksin tidak
menyebabkan kolitis maupun diare. Pemeriksaan toksin A dan toksin B
diambil dari sediaan tinja, dengan metode ELIS masing-masing
spesifisitasnya 98,6% dari 100%.

Gejala Klinis
Kolitis mungkin sudah timbul sejak sehari setelah antibiotik
digunakan, tetapi mungkin pula baru muncul setelah 6 minggu antibiotik
dihentikan. Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah diare cair disertai
kram perut. Diare yang terjadi dapat ringan, tetapi biasanya banyak,
sampai 10-20 kali sehari. Mual muntah jarang ditemukan. Sebagian besar
pasien mengalami demam walaupun yang lebih sering terjadi adalah
kolitis hiperpireksia, umumnya suhu tidak melampaui 38 0C, terapat
leukositosis, sering sampai 50.000/mm 3. Pada beberapa pasien mungkin
hanya diawali demam dan leukositosis, sedangkan diare baru muncul
beberapa hari kemudian.
Temuan lain merupakan nyeri tekan abdomen bawah, edema dan
hipoalbuminemia. Yang lebih sering terjadi adalah kolitis ringan. Pada

19
kasus yang berat dapat terjadi komplikasi berupa dehidrasi, edema
anasarka, gangguan elektrolit, megakolon toksik, atau perforasi kolon.

Diagnosis
Jika ditemukan pasien diare selama atau setelah menggunakan
antibiotik perlu dipikirkan terjadinya kolitis pseudomembran. Diagnosis
kolitis pseudomembran dapat cepat dibuat dan akurat dengan melakukan
pemeriksaan kolonoskopi. Sensifitasnya tinggi dan merupakan alat
diagnostik definitif. Secara tipikal, diawali dengan lesi kecil (2-5 mm)
putih atau kekuningan, diskret, timbul mukosa diantaranya seringkali
terlihat normal atau mungkin menunjukkan berbagai derajat eritema,
granularitas dan keraapuhan. Jika lesi membersar, terbentuk
pseudomembran yang luas berwarna kuning keabu-abuan dan jika diambil
dengan forcep biopsi terlihat mukosa di bawahnya mengalami ulserasi.

Diagnosis Banding
Kolitis pseudomembran perlu dibedakan dengan kasus diare akibat
kuman patogen lain, efek samping penggunaan obat yang bukan antibiotik,
kolitis non-infeksi dan sepsis intra abdominal.

Penatalaksanaan
Tindakan awal terpenting adalah menghentikan antibiotik yang
diduga menjadi penyebab, juga obat yang mengganggu peristaltik, dan
mencegah penyebaran nosokomial. Pada kasus yang ringan keadaan sudah
bisa terataso dengan penghentian antibiotik disertai dengan pemberian
cairan dan elektrolit. Pada kasus dengan gejala-gejala yang lebih berat
seyogyanya dilakukan pemeriksan deteksi toksin C. difficile dan terapi
spesifik peroral menggunakan metronidazol atau vankomisin.
Pada kolitis ringan sampai sedang digunakan metronidazol dengan
dosis peroral 250-500 mg, 4x sehari selama 7-10 hari. Pada kasus dengan

20
Berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, kolitis ulseratif dibagi
menjadi :
- Klasifikasi oleh Truelove dan Witts

- Klasifikasi Montreal oleh Silverberg et al dan Satsangi et al

Etiologi dan Faktor Resiko


Sampai sekarang penyebab kolitis ulseratif yang pasti belum diketahui
dengan jelas, walaupun demikian, beberapa peneliti mencoba untuk
menerangkan penyebab-penyebabnya.6

23
a. Gangguan imunologis
Berdasarkan beberapa penelitian ditemukan bahwa 2/3 penderita
menunjukkan adanya alerg terhadap makanan, misalnya terhadap sisi,
sapi, telur, tomat, jeruk dan kentang; selanjutnya dilakukan diet bebas
susu yang menunjukkan hasil relaps yang lebih jarang terjadi
dibandingkan dengan yang tidak diberi diet.
Intra–mucosal test juka dilakukan untuk mengetahui reaksi mukosa
rektum terhadap ekstrak dari beberapa racun makanan dan ternyata
bahwa penderita kolitis ulseratif sering menunjukkan reaksi positif
terhadap satu ekstrak makanan atau lebih, sedangkan orang sehat
memberi reaksi yang negatif.
Kemungkinan lain yaitu bahwa kolitis ulseratif merupakan
penyakit autoimun. Pada tahun 1959, Broberger dan Perlmann
menemukan autoantibodi terhadap fetal kolon manusia di dalam sera dari
anak-anak dengan kolitis ulseratif. Antibodi ini tidak dijumpai pada
orang sehat.4

b. Nutrisi
Adanya defisiensi dari beberapa vitamin atau makanan spesifik
lainnya diduga dapat menyebabkan kolitis ulseratif. Perubahan pada
intestin dapat terjadi pada beberapa penyakit defisiensi, misalnya pada
pellagra, tapi defisiensi tersebut tak dapat menyebabkan kolitis ulseratif,
walaupun kadang-kadang timbul gejala-gejala tersebut. Percobaan pada
kera dengan defisiensi asam folat dapat timbul kolitis dan keadaan
demikian juga timbul pada manusia yang dberi terapi antagonis asam
folat. Walaupun demikian janganlah beranggapan bahwa adanya
defisiensi asam folat yang dapat menyebabkan penyakit tersebut. 4

24
c. Psikosomatik
Teori belakangan ini mengatakan bahwa ada hubungan penyakit ini
dengan kelainan psikosomatik. Hal ini dapat diterangkan dengan :
- dari penelitian ditemukan bahwa timbulnya kolitis ulseratif hanya terdapat
pada tipe orang tertentu
- ada yang mengatakan bahwa kelainan jiwa (emosi) dapat menyebabkan
kolitis ulseratif
- dapat terlihat juga bahwa dengan diberikan psikoterapi pada beberapa
penderita kolitis ulseratif ternyata didapatkan hasil yang baik 4

d. Enzim mukolitik
Kolitis ulseratif dapat disebabkan oleh kerusakan lapisan
superfisial dari mukosa kolon karena enzim mukolitik. Sebagaimana
diketahui, lisozim ialah suatu enzim yang didapat pada traktus
gastrointestinal, baik pada orang normal maupun pada penderita kolitis.
Tetapi pada penderita kolitis ditemukan kadar enzim tersebut di dalam
feses lebih tinggi, dengan demikian maka diduga bahwa lisozim dapat
menjadi salah satu penyebab kolitis ulseratif. 4

e. Genetik
Adanya warisan genetik kemungkinan berperan dalam etiologi
kolitis ulseratif pada 12-15% kasus. Riwayat keluarga menderita kolitis
ulseratif sejauh ini merupakan faktor resiko terbesar. Faktor yang berperan
dalam ekspresi gen pada kasus ini masih belum diketahui. 4

f. Lingkungan
Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kolitis ulseratif
sampai saat ini masih terus diteliti. Faktor resiko seperti diet, menyusui,
kejadian perinatal, pekerjaan, kelas sosial, penggunaan kontrasepsi oral
dan berhenti merokok masih belum memiliki kepastian Faktor protektif
pada rokok tembakau masih belum diketahui namun hasil-hasil penelitian

25
➢ koreksi terhadap dehidrasi dan defisiensi elektrolit
dengan memberi cairan infus
➢ transfusi darah
➢ penambahan vitamin

Terapi untuk menghentikan serangan dapat diberikan


kortikosteroid peroral atau dapat dengan diberikan sebagai terapi
lokal pada kolon sebagai larutan dari hidrokortison yang diberikan
sebagai rectal drip yang ternyata lebih efektif. Bila terjadi remisi
dengan disertai serangan yang berat dapat diberikan kombinasi
lokal dan sistemik kortikoid terapi. Rencana terapi pada penderita
yang berat dengan prednison 10 mg bersamaan dengan rektal drip
hidrokortison hemisuccinate 100 mg, 2x sehari. Bila penderita
nausea dan vomitus, maka obat peroral diganti dengan parenteral
yaitu prednisolone 21 phospate 20 mg, 2x sehari.
Obat-obat lain yang dapat diberikan antara lain :
➢ sulfonamide dan antibiotik memegang peranan
➢ antikolinergik misalnya Probantine 15-30 mg dapat
membantu mengurangi diare dan nyeri perut, tetapi
dosis berlebihan akan dapat memberi gambaran
paralitik ileus
➢ pada serangan berat jangan memberi preparat besi
➢ bila terjadi haemorrhagic proktitis dapat diberikan
suppositoria yang mengandung hidrokortison
hemisuccinate atau prednisolone 21 phospate (predsol
suppositoris, 1-2x sehari)

- Terapi Pembedahan
Terdapat dua tipe pembedahan pada kasus kolitis
ulseratif, yaitu pembedahan konservatif, misalnya drainage

36
ischiorektal abses dan pembedahan radikal, misalnya
kolektomi. Indikasi dari pembedahan adalah :
➢ Pada serangan akut
O Bila tidak berhasil terapi medis
O Kemungkinan terjadi komplikasi yang berat,
misalnya perforasi
O Destruktif
➢ Pada yang kronis
O Punya gejala kronis yang terus menerus dan
sering mendapat serangan
O Striktura fibrosa dari kolon
O Komplikasi pararektal, misalnya ada fistula
O Karsinoma dari kolon

2.4.2 Crohn’S Di SeaSe

Definisi
Crohn’s disease merupakan salah satu Inflammatory Bowel Diseases
(IBD), yaitu penyakit peradangan granulomatosa kronik yang mengenai
traktus gastrointestinal, mulai dari mulut hingga anus. Namun, lebih sering
mengenai bagian ileum terminalis sampai colon bagian awal. Peradangan ini
mencakup seluruh bagian dinding usus dari superficial hingga profundal. 7

Epidemiologi
Secara umum Crohn’s disease merupakan penyakit bedah primer
usus halus, dengan insidens sekitar 100.000 kasus per tahun. Menurut jenis
kelamin, insidens Crohn’s disease lebih tinggi pada perempuan
dibandingkan dengan laki-laki, dengan rasio 1,1 – 1,8 : 1. Beberapa ahli
percaya bahwa distribusi jenis kelamin ini berhubungan dengan proses-
proses autoimun yang terjadi pada Crohn’s disease. 8
Kejadian crohn’s disease mempunyai 2 puncak insidens berdasarkan
kelompok usia. Puncak insidens pertama adalah pada 18 –25 tahun. Puncak

37
usia berikutnya adalah antara 60–80 tahun. Pada pasien yang berusia lebih
muda dari 20 tahun Crohn’s disease lebih banyak menyerang usus halus,
sedangkan pada yang berusia diatas 40 tahun Crohn’s disease lebih banyak
menyerang colon. Penyebab perbedaan lokasi penyakit ini tidak diketahui.8
Crohn’s disease dapat menyerang setiap bagian dari saluran cerna,
namun terdapat tiga lokasi primer baik secara klinis maupun anatomis yang
paling sering, yaitu gastroduodenal (5%), hanya usus halus (5%), distal
ileum (35%), colon ascendent (35%), dan hanya colon saja (20%). 30% dari
seluruh kasus Crohn’s disease terjadi bersamaan dengan penyakit rektal, dan
33 – 50% terjadi bersamaan dengan penyakit perianal seperti fisura ani,
abses perianal, dan fistula perianal. 3 Faktor genetik dan lingkungan dalam
saluran cerna seperti perubahan bakteri usus dan peningkatan permeabilitas
epitel saluran cerna diduga berperan dalam gangguan imunitas saluran cerna
yang berujung pada kerusakan saluran cerna. 9

Etiologi dan Faktor Risiko


Etiologi dari Crohn’s disease masih belum diketahui. Terdapat
beberapa penyebab potensial yang diperkirakan secara bersama-sama
menimbulkan Crohn’s disease, yang paling mungkin adalah infeksi,
imunologis, dan genetik. Kemungkinan lain adalah faktor lingkungan, diet,
merokok, penggunaan kontrasepsi oral, dan psikososial. 10

1. Faktor Infeksi
Meskipun terdapat beberapa agen-agen infeksi yang diduga merupakan
penyebab potensial Crohn’s disease, namun terdapat dua agen infeksi
yang paling menarik perhatian yaitu mycobacteria, khususnya
Mycobacterium paratuberculosis dan virus measles. Infeksi lain yang
diperkirakan menjadi penyebab Crohn’s disease adalah Chlamydia,
Listeria monocytogenes, Pseudomonas sp, dan retrovirus.
2. Faktor Imunologis
Kelainan-kelainan imunologis yang telah ditemukan pada pasien-pasien
dengan Crohn’s disease mencakup reaksi-reaksi imunitas humoral dan

38
adalah 40-60 mg/ hari Budenoside menginduksi perbaikan sel-sel pada
daerah inflamasi. Kombinasi antara kortikosteroid dan antibiotik seperti
ciprofloxaxin atau metronidazole lebih menguntungkan dibanding
penggunaan tunggal.
Pada prinsipnya penggunan kortikosteroid hanya untuk pasien
dengan gejala sedang sampai berat. Kortikosteroid tidak diindikasikan
untuk pengobatan jangka panjang. Jika kondisi pasien membaik,
kortikosteroid dihentikan.
d. Agen imunosupresan: Azathiprine, methotrexat (6-MP)
Apabila penggunaan kortikosteroid tidak menimbulkan perbaikan,
dapat digunakan agen imunosupresan. Azathioprine dengan bahan aktif
metabolit 6-MP dapat digunakan dengan catatan dalam pengawasan 3-6
bulan. 6-MP bekerja dengan cara menekan pembentukan sel-sel imun
yang dalam jangka waktu lama dapat mensupresi sumsum tulang.
Dosis pemberian methotrexate adalah 25mg/minggu dan diberikan
selama 4 bulan kemudian dievaluasi kembali. 13

Tindakan pembedahan
Pada prinsipnya tindakan pembedahan pada Crohn’s Disease tidak dapat
menyembuhkan, namun berikut adalah keadaan-keadaan yang
direkomendasikan untuk dilakukan pembedahan pada Crohn’s Disease.
a. Gagal pengobatan : tidak ada perubahan secara klinis
b. Komplikasi : abses, fistula
c. Obstruksi : striktur colon
d. Inflamasi : kolitis, peritonitis
e. Hemoragik : perdarahan intra abdomen
f. Perforasi
g. Neoplasia
h. Hambatan tumbuh kembang

49
Prognosis
Prognosis crohn’s disease tidak begitu baik. Pada mayoritas pasien
crohn’s disease perjalanan penyakitnya berlangsung kronik dan intermitten
tidak tergantung lokasi terjadinya. Crohn’s disease tidak berespon baik pada
terapi medis. Lebih dari dua pertiga pasien dengan crohn’s disease berlanjut
ke komplikasi yang memerlukan pembedahan pada proses terapinya. Pada
crohn’s disease angka mortalitas meningkat dengan lamanya penyakit.
Kebanyakan kematian terjadi akibat peritonitis dan sepsis. 12

2.4.3 Kolitis Radiasi1


Definisi
Kolitis radiasi (juga dikenal dengan sebutan proktitis radiasi)
adalah penyakit peradangan kolon sebagai komplikasi abdominal dan
pelvis akibat terapi radiasi terhadap kanker ginekologi (karsinoma
serviks), urologi (karsinoma prostat, kandung kemih dan testis) dan
rektum.
Walaupun kolon relatif radioresisten, namun insiden kerusakan
jaringan akibat radiasi lebih tinggi dibanding segmen usus yang lain. Ini
terjadi karena umumnya dosis yang diberikan untuk terapi tumor pada
daerah ini lebih tinggi serta akibat rektum dan sigmoid relatif terfiksir
(imobilitas) didaerah ini. 75% pasien tumor daerah pelvis dengan
radioterapi akan beresiko mengakibatkan colitis radiasi.

Patofisiologi
Terjadinya klinis bergantung dari dosis radiasi yang diterima, cara
dan frekuensi pemberian, keadaan nutrisi, umur dan adanya penyakit
vaskular serta ada tidaknya operasi saluran cerna sebelumnya.
Kerusakan jaringan akibat radiasi dapat dibedakan atas kerusakan
akibat whole body radiation dan localized iradiation.

50
Whole body Radiation
Akibat radiasi dengan dosis > 600 rad. Gejala awal berupa mual,
muntah penurunan sekresi lambung, Dekstruksi difus mukosa sal cerna
(usus halus), gangguan tulang belakang, terganggunya fungsi mukosa sal
cerna, perubahan flora usus, kehilangan cairan elektrolit, sepsis
(pertumbuhan mikroorganisme fakultatif). Jika dosis dradiasi < 150rad
gejala dapat hilang dengan sendirinya.

Localized irradiation
Dalam fase akut terjadi kerusakan sel-sel epitel mukosa dan sel2
endotel pembuluh darah saluran cerna yang diikuti dengan edema
submukosa akibat terjadinya peningkatan permiabilitas kapiler. Dalam
fase akut jarang ditemukan ulkus. Jika dosis yang diberikan relatif kecil,
semua kerusakan ini akan reversibel tanpa sekuele.
Dengan meningkatnya dosis radiasi dalam fase lanjut akan terjadi
ulserasi yang ekstensif dan persisten serta terjadi pelebaran ireguler dari
pembuluh darah kecil yang disebut sebagai teleangiektasia. Dapat terjadi
perubahan epitel yang progresif sssehingga terjadi atrofi, fibrosis bahkan
bisa timbul striktur serta trombosis yang mengakibatkan iskemi jaringan.
Pada kasus-kasus tertentu dapat terjadi fistula bahkan perforasi. Sebagian
penulis melaporkan timbulnya efek karsinogenesis sebagai akibat lanjut
dari terapi radiasi namun mekanismenya belum diketahui.

Gejala Klinis
Manifestasi klinis kolitis radiasi dibagi atas gejala akut dan gejala
kronik. Gejala akut dapat berupa mual, muntah, diare dan tenesmus.
Umumnya dapat terjadi dalam kurun waktu 6 minggu setelah selesai
radiasi. Sanagat jarang terjadi perdarahan pada fase akut ini. Keluhan
umumnya berkurang dengan pengurangan dosis atau frekuensi pemberian
serta hilang dalam waktu 2-6 bulan. Gejala kronik biasanya terjadi dalam 2

51
tahun pertama pasca radiasi, umumnya 6-9 bulan setelah terapi radiasi
selesai. Pada beberapa pasien gejala timbul setelah lebih dari sepuluh
tahun pasca radiasi. Gejala yang timbul biasanya berupa hematoskezia,
diare, kolik, tenesmus.
Pasien dengan perdarahan minimal umumnya tidak memerlukan
transfusi darah, 70% diantaranya mengalami remisis spontan. Hanya kira-
kira 5% yang memerlukan tindakan pembedahan. Namun pada pasien
dalam kondisi lebih berat memerlukan tindakan transfusi darah, angka
remisi spontan kecil sekali (0-20%) 50% diantaranya memerlukan
tindakan pembedahan dengan tingkat kematian yang tinggi (60%).
Ada dua mekanisme yang dapat menjelaskan patofisiologi
timbulnya keluhan dan gejala kolitis radiasi yaitu nekrosis mukus dan
kerusakan vaskular submukosa. Keluhan ini biasanya disebabkan
kerusakan mukosa, tetapi sebagian lagi dapat diakibatkan oleh perubahan
sfingter ani interna karena kerusakan pada pleksus mesenterikus.

Diagnosis
Diagnosis umumnya ditegakkan berdasarkan anamnesis
yang cermat, pemeriksaan fisik, endoskopi saluran cerna
(rektosigmoidoskopi/kolonoskopi) dan pemeriksaan histopatologi. Jika
pemeriksaan endoskopi sulit dilakukan (oleh karena striktur hebat atau
fistula), dilakukan pemeriksaan barium enema .
Pada pemeriksaan kolonoskopi dapat ditemukan adanya gambaran
teleangektasia, edema, ulkus, striktur bahkan fistula, mukosa yang kaku
serta mudah berdarah.
Klasifikasi Kottmeier :
- Derajat I  keluhan ringan, kelainan mukosa minimal
- Derajat II diare yang sering + mucus & darah, kolonoskopi  jar
nekrosis, ulkus/ stenosis sedang
- Derajat III  stenosis berat sehingga dibutuhkan kolonostomi
- Derajat IV  terdapat fistula

52
Tatalaksana
Penatalaksanaan kolitis radiasi terutama dengan kerusakan yang
berat,sampai saat ini masih merupakan masalah. Pada umumnya terapi
dimulai dengan pemberian steroid enema, sulfasalazin/mesalazin serta
sukralfat enema. Suatu studi prospektif menunjukkan beberapa
keuntungan klinis bila sulfasalazin oral dikombinasikan dengan steroid
enema dibandingkan dengan pemberian sukralfat enema sendiri. Hasil
pengobatan akan lebih baik bila sulfasalazin oral dikombinasikan dengan
steroid enema dan sukralfat enema. Akhir-akhir ini dilaporkan tentang
efektifitas terapi oksigen hiperbarik, instilasi formalin serta ablasi laser
per-endoskopi.

53
BAB III
KESIMPULAN

Kolitis adalah suatu peradangan akut atau kronik pada kolon, yang
berdasarkan penyebabnya dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a) kolitis
infeksi, misalnya shigelossis, kolitis tuberkulosis, kolitis amoeba, kolitis
pseudomembran, kolitis karena virus/bakteri/parasit lain; b) kolitis non infeksi,
misalnya kolitis ulseratif, penyakit Crohn’s, kolitis radiasi, kolitis iskemik, kolitis
mikroskopik, kolitis non spesifik (simple kolitis).
Umumnya kolitis disertai gejala berupa nyeri perut dan diare. Nyeri perut
biasanya bertambah saat diare dan kemudian berkurang. Beberapa gejala lain yang
mungkin menyertai adalah kembung, peningkatan volume udara usus, perdarahan,
tenesmus, dan dapat pula timbul demam, menggigil dan tanda-tanda infeksi
lainnya.
Pemeriksaan kolitis dimulai dengan mengambil data mengenai perjalanan
penyakit, riwayat keluarga, riwayat penyakit dahulu kemudian dilakukan
pemeriksaan fisik abdomen dan colok dubur jika diperlukan, laboratorium serta
pemeriksaan pencitraan. Pemeriksaan laboratorium meliputi tes darah lengkap,
elektrolit, ginjal, feses (feses lengkap, kultur feses). Pemeriksaan pencitraan
berupa kolonoskopi, biopsi, barium enema dan CT Scan.
Pengobatan pada kolitis didasari dengan pemberian cairan yang adekuat
secara intravena, transfusi darah jika diperlukan, diet cair tanpa serat. Obat-obatan
yang diberikan adalah antibiotik, analgetik, antiinflamasi, imunosupresan dan
penghenti diare. Terapi bedah akan dilakukan jika memang diperlukan. Keputusan
operasi tergantung dari tingkat keparahan penyakit, respon terhadap terapi
konservatif dan penyebabnya.

54
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I , Simadibrata KM, Setiati S. Buku


Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II, Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing.
2. Navaneethan, Udayakumar; Giannella, Ralph A. 2011. Infectious Colitis.
http://www.medscape.com/ (Diakses pada 28 Juni 2017)
3. Piccoli, David A.; et al. 2016. Colitis. http://emedicine.medscape.com/
(Diakses pada 28 Juni 2017)
4. Hadi, Sujono. 2013. Gastroenterologi. Bandung : Penerbit PT Alumni.
5. Hopkins Medicine. 2013. Ulcerative Colitis. Baltimore, Maryland.
www.hopkinsmedicine.org (Diakses pada 23 Juni 2017)
6. F. Magro. Et al. 2017. Third European Evidence-based Consensus on
Diagnosis and Management of Ulcerative Colitis, Journal of Crohn's and
Colitis. European Crohn’s and Colitis Organisation (ECCO) : Oxford
University Press
7. Heller, Caren. 2013. What Is Crohn’s Disease?. CCFA (Crohn’s and Colitis
Foundation of America). Available at URL : http://www.ccfa.org/what-are-
crohns-and-colitis/what-is-crohns-disease/. (Diakses pada 23 Juni 2017)
8. Molodecky Na, Soon IS, Rabi DM, et al. 2012. Increasing incidence and
prevalence of the inflammatory bowel diseases with time, based on systematic
review. Gastroenterology; 142:46. e42–54.e42.
9. Firmansyah, MA. 2013. Perkembangan Terkini Diagnosis dan
Penatalaksanaan Imflammatory Bowel Disease. Jurnal CDK-203; 40 (4).
10. Sugiarto. 2016. Hubungan Inflammatory Bowel Disease dengan Kanker
Kolorektal. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan; 12(3).
11. Kaloo, Anthony. 2017. Crohn’s Disease. Johns Hopkins Medicine
Gastroenterology & Hepatology.
12. Glickman, Robbert M. 2014. Penyakit Radang Usus (Kolitis Ulserativa dan
Penyakit Crohn) dalam Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam;
13(4):1577-90. Jakarta: EGC.
13. Mcdonald, JWD, Tsoulis DJ, Macdonald JK and Feagan BG. 2012.
Methotrexate for Induction of Remission Refractory Crohn’s Disease.
Cochrane Database of Systematic Reviews. Published by JohnWiley & Sons,
Ltd.

55

Anda mungkin juga menyukai