Anda di halaman 1dari 34

REFERAT RHINITIS VASOMOTOR DAN

RHINITIS ALERGI

Pembimbing
dr Ersty Istyawati, SpTHT-KL

Disusun oleh :

Lionita Putri Ayuda

21401101017

Departemen Telinga Hidung Tenggorokan Kepaniteraan Klinik

RSUD Kanjuruhan

2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Rhinitis merupakan suatu kondisi inflamasi yang melibatkan mukosa hidung.
Gejala-gejala rhinitis meliputi sumbatan pada hidung, hiper irratabilitas dan hipersekresi.
Rhinitis dapat disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya alergi dan non-alergi. Rhinitis
alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang disebabkan oleh reaksi alergi. Rhinitis
non-alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang disebabkan selain karena reaksi
alergi, seperti karena infeksi, medikamentosa, perubahan hormonal, maupun disfungsi
sistem otonom hidung.
Manifestasi klinis rhinitis alergi dengan rhinitis non-alergi sering sulit untuk
dibedakan. Hasil pemeriksaan sensitivitas yang diperantarai IgE terhadap aeroallergen
penting dalam menegakkan diagnosa antara rhinitis alergi dengan rhinitis non-allergi.
Rhinitis vasomotor merupakan salah satu rhinitis non-alergi dan non- infeksi.
Pada rhinitis vasomotor terdapat gangguan fisiologi lapisan mukosa hidung yang
disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis. Gangguan pada mukosa hidung
yang ditandai dengan adanya edema yang persisten dan hipersekresi kelenjar pada mukosa
hidung apabila terpapar oleh iritan spesifik terjadi pada rhinitis vasomotor.
Rinitis alergika sering ditemukan pada pasien dengan usia < 20 tahun, sedangkan
pada rinitis vasomotor lebih banyak dijumpai pada usia > 20 tahun dan terbanyak diderita
oleh perempuan. Berdasarkan epidemiologinya, kurang lebih 58 juta penduduk amerika
menderita rinitis alergika, 19 juta menderita rinitis non- alergika dan 26 juta menderita
rinitis tipe campuran.
Rinitis vasomotor mempunyai gejala yang mirip dengan rinitis alergi sehingga
sulit untuk dibedakan. Pada umumnya pasien mengeluhkan gejala hidung tersumbat,
ingus yang banyak dan encer serta bersin-bersin walaupun jarang. Adanya kemiripan
gejala antara rhinitis vasomotor dan rhinitis alergika menyebabkan dokter umum sebagai
primary care sering tidak tepat dalam menegakkan diagnosa. Pada rhinitis vasomotor
tidak ditemukan adanya skin tes yang (+) dan tes allergen yang (+). Sedangkan yang
alergik murni mempunyai skin tes yang (+) dan allergen yang jelas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Hidung


2.1.1 Hidung
Hidung merupakan organ tubuh yang berfungsi sebagai alat pernapasan
dan indera penciuman. Septum nasi membagi hidung menjadi sisi kiri dan sisi
kanan rongga nasal. Terdapat lubang hidung sebagai tempat masuk udara yaitu
nares anterior (lubang hidung depan) dan nares posterior (lubang hidung
belakang). Sementara kulit luar dipalisi oleh epitel berlapis gepeng bertanduk
bersama dengan kelenjar keringat dan kelenjar sebasea.1
Nasal di bagian eksternal berbentuk piramid dan tersusun dari rangka
hidung serta cuping hidung. Cuping hidung tersusun dari jaringan ikat
sedangkan rangka hidung terbagi lagi menjadi bagian yang terdiri dari tulang
keras dan bagian yang terdiri dari tulang rawan.
a) Bagian yang terdiri dari tulang keras terdapat:
1) Os nasale
2) Processus frontalis os maxillaris
3) Bagian nasal os frontalis
b) Bagian yang terdiri dari tulang rawan terdapat:
1) Cartilago septal nasi yang memisahkan nares nasi dextra dan sinistra
2) Cartilago nasi lateralis
3) Cartilago ala nasi mayor dan minor
Selain tulang, hidung eksternal juga dibungkus oleh dua otot yaitu M.
nasalis dan M. depressor septi nasi. Untuk bagian septum nasi, selain dibentuk
oleh cartilago septal nasi, juga dibentuk oleh os vomer dan lamina
perpendicular ossis ethmoidalis.
a.

b.

c.
Gambar 1. (a) Rangka hidung tampak ventral & Cartilaginea nasi ; (b) Rangka
hidung tampak lateral ; (c) Septum nasi 2

c) Vaskularisasi:
1) Arteri:
 A. lateral nasi cabang dari A. Facialis
 A. dorsalis nasi cabang dari A. Opthalmica
 A. Infraorbitalis cabang dari A. Maxillaris interna.
2) Vena:
 V. facialis
 V. opthalmica
d) Inervasi pada nasal dibagi menjadi:
1) Motorik yang mengatur otot-otot hidung yaitu nervus VII (nervus
facialis)
2) Sensorik yang mengantarkan rangsangan dari sisi medial dan lateral
hidung.
 Bagian medial punggung hidung sampai ujung hidung dipersarafi oleh
N. infratrochlearis dan N. nasalis externus cabang dari N. opthalmicus.
 Sisi lateral hidung dipersarafi oleh N. infraorbitalis cabang dari N.
maxillaris.3,4

2.1.2 Rongga Hidung


Rongga hidung kiri dan kanan terdiri atas dua struktur: vestibulum di luar
dan rongga hidung (fossa nasalis) di dalam. Vestibulum adalah bagian paling
anterior dan paling lebar di setiap rongga hidung. Kulit hidung memasuki
nares yang berlanjut ke dalam vestibulum dan memiliki kelenjar keringat,
kelenjar sebasea, dan vibrissae yang menyaring partikel-partikel besar dari
udara inspirasi. Di dalam vesibulum, epitelnya tidak berlapis tanduk lagi dan
akan beralih menjadi epitel respiratorik sebelum memasuki fossa nasalis.
Rongga hidung berada di dalam tengkorak yang dipisahkan oleh septum nasi
oseosa. Dari setiap dinding lateral, terdapat tiga tonjolan bertulang disebut
conchae. Conchae terdiri atas conchae nasalis superior, medius, inferior
dimana meatus nasi superior, medius, inferior merupakan jalan udara rongga
nasal yang terletak dibawah conchae. Di dalam lamina propia conchae terdapat
pleksus venosus yang dikenal sebagai badan pengembang (swell bodies) yang
berperan untuk menghangatkan udara, juga terdapat glandula nasalis yang
sekretnya berfungsi untuk melembabkan udara. 5
a) Atap rongga hidung dibagi menjadi 3 regio yaitu
1) Regio sphenoidalis yang membatasi rongga hidung dengan fossa
pterygoplaatina melalui foramen pterygopalatum
2) Regio ethmoidalis yang membatasi rongga hidung dengan fossa cranialis
anterior melalui lamina cribosa

3) Regio fronto nasale yang membatasi rongga hidung dengan orbita melalui
foramen ethmoidalis anterior dan posterior serta ductus nasolacrimalis
b) Dasar dari rongga hidung dibentuk oleh:
1) Processus palatinus ossis maxilla
2) Lamina horizontalis ossis palatum
c) Vaskularisasi :
1) Arteri:
 Ethmoidalis anterior dan posterior
 Cabang dari A. sphenopalatina, yaitu A. maxillaris interna, A. palatinus
mayor, dan A. labialis superior.
2) Vena:
Berawal dari plexus cavernosis lalu ke V. sphenopalatina, V. facialis, dan
V. ethmoidalis anterior yang kemudian berujung pada V. Opthalmica

Gambar 2. Vaskularisasi Rongga Hidung

d) Inervasi :
1) N. olfaktorius
2) N. trigeminus
3) N. ethmoidalis anterior
4) N. infraorbitalis
5) N. canalis pterygoideus (n. vidianus)
e) Dinding lateral rongga hidung terdapat 3 elevasi yaitu:
1) Konka nasalis superior
2) Konka nasalis medius
3) Konka nasalis inferior
f) Terdapat tiga lekukan yaitu:
1) Meatus nasi superior
2) Meatus nasi medius
3) Meatus nasi inferior
Pada masing-masing konka terdapat suatu struktur bangunan yang
merupakan muara dari sinus-sinus paranasalis.3

a.

b
.
Gambar 3. (a) Dinding lateral rongga hidung ; (b) Cavitas nasi 2

Sinus paranasalis terdiri dari sinus frontalis, maxillaris, ethmoidalis, dan


sphenotidalis. Fungsi dari sinus paranasalis adalah untuk meringankan tulang
tengkorak, menambah resonansi suara, dan mengubah ukuran serta bentuk wajah setelah
pubertas.
a) Sinus frontalis bermuara pada anterior meatus nasi medius. Sinus frontalis
ini diperdarahi oleh A. supra orbitalis dan A. ethmoidalis anterior serta
dipersarafi oleh N. supra orbitalis.
b) Sinus ethmoidalis, dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok anterior
bermuara di duktus frontonasalis, kelompok medius bermuara di meatus
nasi medius, dan kelompok posterior bermuara di meatus nasi superior.
c) Sinus ethmoidalis diperdarahi oleh A. Ethmoidalis anterior dan posterior dan
A. sphenopalatina serta dipersarafi oleh N. ethmoidalis anterior dan
posterior dan cabang orbital ganglion pterygopalatinum.
d) Sinus sphenoidalis, bermuara ke dalam recessus spheno-ethmoidalis. Sinus
ini diperdarahi oleh A. ethmoidalis posterior dan cabang faringeal A.
maxillaris interna serta dipersarafi oleh N. ethmoidalis posterior dan
cabang orbital ganglion pterygopalatinum.
e) Sinus maxillaris yang bermuara di bagian terendah hiatus semilunaris.
Daerah ini diperdarahi oleh A. facialis, A. palatina mayor, A. infraorbitalis,
dan A. alveolaris superior anterior dan posterior serta dipersarafi oleh N.
infraorbitalis dan N. alveolaris superior anterior, medius, dan posterior.3

Gambar 4. Sinus Paranasal


2.2 Fisiologi Hidung

Fungsi fisiologis hdung dan sinus paranasal adalah:


a) Fungsi respirasi
Untuk mengatur kondisi udara, penyaring udara, humidifikasi,
penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal.
Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares
anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah
ke arah nasofaring. Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh
palut lendir.
Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 derajat Celcius.
Fungsi pengatur suhu dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di
bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas.
Partikel debu, virus, bakteri, dan jamur yang terhirup bersama udara akan
disaring di hidung oleh: rambut pada vestibulum nasi, silia, palut lendir. Debu
dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar
akan dikeluarkan dengan refleks bersin.6
b) Fungsi penghidu
Membran mukosa olfaktorius mengandung sel-sel yang berasal dari serabut
saraf olfaktorius yang dilapisi neuroepitelium (Gambar 5). Bagian basal sel ini
tipis dan berjalan ke atas untuk membentuk pleksus, serabut saraf tidak
bermielin yang mangandung lebih kurang 20 serabut saraf. Serabut saraf ini
menembus lamina kribiformis dan menuju ke bulbus olfaktorius pada setiap
sisi simpel galli.
Stimulus penghidu akan diterima oleh mukosa olfaktorius dan reservoir
udara. Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan
adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum.
Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut
lendir atau bila menarik napas dengan kuat. Fungsi hidung untuk membantu
indra pengecap adalah untuk membedakan rasa manis yang berasal dari
berbagai macam bahan. 6
Gambar 5. Nervus Olfaktorius

c) Fungsi fonetik

Untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara
sendiri melalui konduksi tulang. Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas
suara ketika berbicara dan menyanyi. Hidung membantu proses pembentukan
kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir, dan palatum mole. 6
d) Fungsi statik dan mekanik
Untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung
panas. 6
e) Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan
menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu
akan menyebabkan sekresi kelenjar air liur, lambung dan pankreas. 6

2.3 Rhinitis Vasomotor


Rhinitis merupakan suatu peradangan dari mukosa hidung dan ditandai
dengan gejala seperti; hidung tersumbat, keluar cairan dari hidung (rhinorrhea),
bersin-bersin, dan rasa gatal pada hidung. Rhintis dapat disebabkan karena
alergi, infeksi dan non-alergi. 7
Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang disebabkan
antara interaksi antibodi dengan antigen atau substansi di lingkungan yang
menyebabkan peningkatan kepekaan. Rhinitis infeksi merupakan peradangan
mukosa hidung yang disebabkan oleh infeksi bakteri atau virus. 7
Rhinitis vasomotor merupakan suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis
tanpa adanya infeksi, alergi, eosinophilia, perubahan hormonal (kehamilan,
hipertiroid), dan pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, B-bloker,
aspirin, klopromazin dan obat topical hidung dekongestan).6
Rhinitis vasomotor merupakan rhinitis non-alergi jika tidak terdapat
alergi spesifik yang dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan alergi yang sesuai
seperti tes cukit kulit, kadar antibody IgE spesifik serum. Rhinitis vasomotor
juga disebut vasomotor catarrj, vasomotor rinorhea, nasal vasomotor
instability atau non- allergic perennial rhinitis.6

Pasien rhinitis yang sudah di evaluasi di USA, 43% (58 juta orang)
mempunyai penyakit alergi, 23% (19 juta orang) mempunyai penyakit yang
non- alergi, dan 34% (26 orang) mempunyai rhinitis campuran. Tujuh puluh
persen dari pasien rhinitis alergi pada pasien anak-anak, sedangkan pasien
rhinitis non-alergi 70% kebanyakan pasien dewasa. Kurang lebih dua pertiga
non-alergi pasien mempunyai rhinitis vasomotor. Pada rhinitis non-alergi
perempuan lebih banyak dibanding dengan laki-laki.7

2.3.1 Etiologi Rhinitis Vasomotor


Etiologi dan patofisiologi rhinitis vasomotor belum diketahui secara
pasti. Beberapa hipotesis telah dikemukakan untuk menerangkan etiologi &
patofisiologi rhinitis vasomotor, diantaranya ;
2.3.1.1 Neurogenik (disfungsi sistem otonom).
Serabut simpatis hidung berasal dari korda spinalis segmen Th 1-2, menginervasi
terutama pembuluh darah mukosa dan sebagian kelenjar. Serabut simpatis
melepaskan ko-transmiter noradrenalin dan neuropeptida Y yang menyebabkan
vasokonstriksi dan penurunan sekresi hidung. Tonus simpatis ini berfluktuasi
sepanjang hari yang menyebabkan adanya peningkatan tahapan rongga hidung
yang bergantian setiap 2-4 jam. Keadaan ini disebut sebagai ‘siklus nasi’. Serabut
saraf parasimpatis berasal nukleus salivatori superior menuju ganglion
sfenopalatina dan membentuk n.vidianus, kemudian menginervasi pembuluh
darah dan terutama kelenjar eksokrin. Pada rangsangan akan terjadi pelepasan ko-
transmitter asetilkolin dan vasoaktif intestinal peptida yang menyebabkan
peningkatan sekresi hidung dan vasodilatasi, sehingga terjadi kongesti hidung.6
2.3.1.2 Neuropeptida.
Pada mekanisme ini terjadi disfungsi hidung yang diakibatkan oleh
meningkatnya rangsangan terhadap saraf sensori serabut C di hidung. Adanya
rangsangan abnormal saraf sensoris ini akan diikuti dengan peningkatan
pelepasan neuropeptida seperti substansi P dan calcitonin gen- related protein
yang menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler dan sekresi kelenjar.
Keadaan ini menerangkan terjadinya peningkatan respin pada hiper-reaktifitas
hidung.6
2.3.1.3 Nitrit oksida.
Kadar nitrit oksida (NO) yang tinggi dan persisten di lapisan epitel hidung dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan atau nekrosis epitel, sehingga rangsangan
non-spesifik berinteraksi langsung ke lapisan sub-epitel. Akibatnya terjadi
peningkatan reaktifitas serabut trigeminal dan recruitment refleks vaskuler dan
kelenjar mukosa hidung.6
2.3.1.4 Trauma.
Rhinitis vasomotor dapat merupakan komplikasi jangka panjang dari trauma
hidung melalui mekanisme neurogenik dan/atau neuropeptida.6
Beberapa faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor antara lain ;
1) Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis,
seperti ergotamin, chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat
vasokonstriktor topikal.
2) Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban
udara yang tinggi dan bau yang merangsang.
3) Faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil
anti hamil dan hipotiroidisme.
4) Faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue. 6

2.3.2 Patogenesis
Sistem saraf otonom mengontrol aliran darah ke mukosa hidung dan
sekresi dari kelenjar. Diameter resistensi pembuluh darah di hidung diatur oleh
sistem saraf simpatis sedangkan parasimpatis mengontrol sekresi kelenjar.
Pada rinitis vasomotor terjadi disfungsi sistem saraf otonom yang
menimbulkan peningkatan kerja parasimpatis yang disertai penurunan kerja
saraf simpatis. Baik sistem simpatis yang hipoaktif maupun sistem parasimpatis
yang hiperaktif, keduanya dapat menimbulkan dilatasi arteriola dan kapiler
disertai peningkatan permeabilitas kapiler, yang akhirnya akan menyebabkan
transudasi cairan, edema dan kongesti.6,8 Teori lain mengatakan bahwa terjadi
peningkatan peptide vasoaktif dari sel-sel seperti sel mast. Termasuk diantara
peptide ini adalah histamin, leukotrin, prostaglandin, polipeptide intestinal
vasoaktif dan kinin. Elemen-elemen ini tidak hanya mengontrol diameter
pembuluh darah yang menyebabkan kongesti, tetapi juga meningkatkan efek
asetilkolin dari sistem saraf parasimpatis terhadap sekresi hidung, yang
menyebabkan rinore. Pelepasan peptide-peptide ini tidak diperantarai oleh Ig-E
(non-Ig E mediated) seperti pada rinitis alergi. 6,9
Adanya reseptor zat iritan yang berlebihan juga berperan pada rinitis
vasomotor. Banyak kasus yang dihubungkan dengan zat-zat atau kondisi yang
spesifik. Beberapa diantaranya adalah perubahan temperatur atau tekanan
udara, perfume, asap rokok, polusi udara dan stress (emosi atau fisik). 6,7

2.3.3 Gejala Klinis


Pada rhinitis vasomotor, gejala sering dicetuskan oleh berbagai
rangsangan non-spesifik, seperti asap/rokok, bau yang menyengat, parfum,
minuman beralkohol, makanan pedas, udara dingin, pendingin dan pemanas
ruangan, perubahan kelembaban, perubahan suhu luar, kelelahan, dan
stress/emosi. 6,7
Kelainan ini mempunyai gejala yang mirip dengan rhinitis alergi,
namun gejala yang dominan adalah hidung tersumbat, bergantian kanan dan
kiri, tergantung pada posisi pasien. Selain itu terdapat rinore yang mukoid atau
serosa. Keluhan ini jarang disertai dengan gejala mata.6
Gejala dapat memburuk dipagi hari waktu bangun tidur oleh karena
adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, juga oleh karena asap
rokok dan sebagainya. Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan ini
dibedakan dalam 3 golongan, yaitu 1) golongan bersin (sneezers), gejala
biasanya member respon baik terhadap antihistamin dan glukokortikosteroid
topikal; 2) golongan rinore (runners), gejala dapat diatasi dengan pemberian
anti kolinergik topikal; 3) golongan tersumbat (blockers), kongesti umumnya
memberikan respon yang baik dengan terapi glukokortikosteroid topikal dan
vasokonstriktor oral. 6,7
Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada golongan
rinore. Oleh karena golongan rinore sangat mirip dengan rhinitis alergi, perlu
anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk memastikan diagnosisnya.7

2.3.4 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan cara eksklusi, yaitu menyingkirkan
adanya rhinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal, dan akibat obat. Anamnesis
dilakukan untuk mencari faktor yang mempengaruhi timbulnya gejala.6,7
2.3.4.1 Anamnesis
Anamnesis juga mencari faktor yang mempengaruhi keseimbangan
vasomotor dan menyingkirkan kemungkinan rhinitis alergi. Biasanya
penderita tidak mempunyai riwayat alergi dalam keluarganya dan keluhan
dimulai pada usia dewasa. Beberapa pasien hanya mengeluhkan gejala sebagai
respon terhadap paparan zat iritan tertentu tetapi tidak mempunyai keluhan
apabila tidak terpapar. 7
2.3.4.2 Pemeriksaan Fisik
Pada rhinitis vasomotor, pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah
pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior.6,7
2.3.4.2.1 Rhinoskopi anterior
Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior, tampak gambaran yang khas berupa
edema mukosa hidung, konka berwarna merah gelap atau merah tua, tetapi
dapat pula pucat. Hal ini perlu dibedakan dengan rhinitis alergi. Permukaan
konka lebih licin atau berbenjol-benjol (hipertrofi). Sekret mukoid yang
sedikit dapat ditemukan di dalam rongga hidung. Pada golongan rinore sekret
yang ditemukan adalah serosa dan banyak jumlahnya. 6,7
Gambar 6. Rhinoskopi Anterior Rhinitis Non-alergi

2.3.4.2.2 Rhinoskopi posterior


Pada rinoskopi posterior dapat dijumpai post nasal drip.7
2.3.4.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan rhinitis alergi. Test kulit ( skin test ) biasanya negatif,
demikian pula test RAST, serta kadar IgE total dalam batas normal. Kadang-
kadang ditemukan juga eosinofil pada sekret hidung, akan tetapi dalam
jumlah yang sedikit. Infeksi sering menyertai yang ditandai dengan adanya
sel neutrofil dalam sekret. Pemeriksaan radiologi sinus memperlihatkan
mukosa yang edema dan mungkin tampak gambaran cairan dalam sinus
apabila sinus telah terlibat. 6,7
Tabel 1. Diagnosis Rhinitis Vasomotor

Riwayat Penyakit  Tidak berhubungan


dengan musim
 Tidak ada riwayat
keluarga
 Tidak ada riwayat
alergi saat masih
anak-anak
 Gejala timbul setelah
dewasa
 Keluhan gatal dan
bersin tidak ada
Pemeriksaan THT  Struktur hidung
normal, tidak ada
deviasi
 Tanda-tanda infeksi
tidak ada
 Adanya
pembengkakan
mukosa
 Adanya hipertrofi
konka inferior
Radiologi X-ray / CT  Tidak ada bukti
Scan keterlibatan sinus
 Adanya penebalan
mukosa
Bakteriologi  Tidak ada infeksi
bakteri yang
ditemukan
Tes alergi IgE total Normal
Prick Test Negatif atau positif lemah
RAST Negatif atau positif lemah

2.3.5 Diagnosis Banding


2.3.5.1 Rhinitis Alergi
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi
alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen
yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika anterior.
Gambar 7. Rhinoskopi Anterior Rhinitis Alergi

Pemeriksaan rhinoskopi anterior akan tampak mukosa edem, basah, warna


pucat atau livid disertai adanya sekret terjadi paparan ulangan dengan alergen
spesifik tersebut. Rhinitis alergi menurut ARIA 2011 adalah kelainan pada hidung
dengan gejala bersin-bersin, rinore encer, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa
hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.10
Tabel 2. Perbedaan Rhinitis Alergi dan Vasomotor7

Rhinitis Alergi Rhinitis Vasomotor


Mulai Serangan Usia belasan tahun, Onset pada usia
Riwayat terpapar dekade ke 3-4
allergen (+)
Etiologi Reaksi Ag-Ab Riwayat terpapar
terhadap rangsangan allergen (-)
spesifik
Gatal & Bersin Menonjol Reaksi neurovaskuler
terhadap beberapa
rangsangan mekanis
atau kimia, juga faktor
psikologis
Gatal di Mata Sering dijumpai Tidak menonjol
Test Kulit Positif Negatif
Sekret Hidung Peningkatan eosinofil Tidak ada eosinofil
dalam sekret dalam sekret hidung
Eosinofil Darah Meningkat Normal
IgE darah Meningkat Tidak meningkat
2.3.5.2 Rhinitis Virus
Rhinitis virus (rhinitis simplek) merupakan penyakit virus yang
paling sering ditemukan pada manusia. Sering disebut juga sebagai
selesma, flu atau common cold. Penyebabnya ialah beberapa jenis virus dan
yang paling penting adalah rhinovirus, yang lainnya adalah myxovirus,
coxsackie dan virus ECHO. Penyakit ini sangat menular dan gejala dapat
timbul sebagai akibat tidak adanya kekebalan, atau menurunnya daya tahan
tubuh. Pada stadium prodormal yang berlangsung beberapa jam,
didapatkan rasa panas, kering dan gatal dalam hidung, kemudian akan
timbul bersin berulang- ulang, hidung tersumbat dan ingus encer, yang
biasanya disertai demam dan nyeri kepala. Mukosa hidung tampak merah
dan membengkak dan bila terjadi infeksi sekunder sekret menjadi
mukopurulen.6,11
2.3.5.3 Rhinitis Hipertrofi
Rhinitis hipertrofi didapatkan perubahan mukosa hidung pada konka
inferior. Konka inferior mengalami hipertrofi karena proses inflamasi
kronis yang disebabkan oleh infeksi bakteri primer atau sekunder. Konka
inferior dapat juga mengalami hipertrofi tanpa terjadi infeksi bakteri, seperti
pada keadaan lanjutan dari rhinitis alergi dan rhinitis vasomotor.6

Gambar 8. Mukosa Konka Inferior Pada Rhinitis Hipertrofi


2.3.6 Tata Laksana
Pengobatan rinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada
faktor penyebab dan gejala yang menonjol. Penatalaksanaan rhinitis vasomotor
terbagi menjadi ;

1. Menghindari penyebab / pencetus ( Avoidance therapy )


2. Pengobatan konservatif ( Farmakoterapi ) :
 Dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan untuk mengurangi
keluhan hidung tersumbat. Contohnya : Pseudoephedrine dan
Phenylpropanolamine ( oral ) serta Phenylephrine dan Oxymetazoline (
semprot hidung ).
 Anti histamin : untuk golongan rinore.
 Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung tersumbat, rinore dan
bersin-bersin dengan menekan respon inflamasi lokal yang disebabkan oleh
mediator vasoaktif. Biasanya digunakan paling sedikit selama 1 atau 2
minggu sebelum dicapai hasil yang memuaskan. Contoh steroid topikal :
Budesonide, Fluticasone, Flunisolide atau Beclomethasone
 Anti kolinergik juga efektif pada pasien dengan rinore sebagai keluhan
utamanya. Contoh : Ipratropium bromide (nasal spray).6,7
Gambar 9. Algoritma Tata Laksana Rhinitis Vasomotor
3. Terapi operatif ( dilakukan bila pengobatan konservatif gagal ) :
 Kauterisasi konka yang hipertrofi dengan larutan AgNO3 25% atau
triklorasetat pekat ( chemical cautery ) maupun secara elektrik (lectrical
cautery).
 Diatermi submukosa konka inferior ( submucosal diathermy of the inferior
turbinate )
 Bedah beku konka inferior ( cryosurgery )
 Reseksi konka parsial atau total (partial or total turbinate resection) -
Turbinektomi dengan laser ( laser turbinectomy )
 Neurektomi n. vidianus ( vidian neurectomy ), yaitu dengan melakukan
pemotongan pada n. vidianus, bila dengan cara diatas tidak memberikan
hasil. Operasi sebaiknya dilakukan pada pasien dengan keluhan rinore yang
hebat. Terapi ini sulit dilakukan, dengan angka kekambuhan yang cukup
tinggi dan dapat menimbulkan berbagai komplikasi. 6,7

Tabel 3. Terapi Operatif Rhinitis Vasomotor7

Gejala Klinik Jenis Terapi Prosedur


Obstruksi Hidung Reduksi Konka  Kauterisasi
konka
(chemical atau
electrical)
 Diatermi sub
mukosa
 Bedah baku
(crysurgery)
Reseksi Konka  Turbinektomi
parsial atau
total
 Turbinektomi
dengan laser
Rinore Vidian neurectomy  Eksisi nervus
vidianus
 Diatermi nervus
vidianus
2.3.7 Komplikasi

Tidak ada komplikasi yang berbahaya dari rinitis vasomotor, komplikasi yang
mungkin terjadi hanyalah seperti infeksi pada hidung yang menyebabkan sekret
mukopurulen, dan juga dapat memberikan manifestasi kelainan di mata walaupun jarang
dijumpai. Komplikasi yang lebih mungkin terjadi adalah dari terapi neurektomi, yang
dapat menimbulkan sinusitis, diplopia, buta, gangguan lakrimasi, neuralgia atau
anestesis infraorbita dan palatum.7

2.3.8 Prognosis

Prognosis pengobatan rinitis vasomotor golongan obstruksi lebih baik daripada


golongan rinore. Oleh karena golongan rinore sangat mirip dengan rinitis alergi, perlu
anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk memastikan diagnosisnya. Secara umum
prognosis baik karena tidak menimbulkan kelainan yang berbahaya, hanya membuat
rasa tidak nyaman, namun tanpa tindakan pembedahan, penyakit ini tidak dapat benar-
benar hilang/sembuh.7

2.4 Rhinitis Alergi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut (von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis
and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung
dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung
terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.

2.4.1 Klasifikasi Rhinitis Alergi

Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat


berlangsungnya, yaitu:

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)


2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)

Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya (Irawati,
Kasakeyan, Rusmono, 2008). Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan
rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma)
tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4
minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:

1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian,


bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut
diatas (Bousquet et al, 2001).
2.4.2 Etiologi Rhinitis Alergi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi
genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat
berperan pada ekspresi rinitis alergi (Adams, Boies, Higler, 1997). Penyebab rinitis
alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak- anak.
Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan
pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi.
Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan
rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi
perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama
tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus,
jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk
terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi,
dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko
untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan
memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi
udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca (Becker, 1994).

Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:

 Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya


debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
 Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan,
misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang.
 Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin atau sengatan lebah.
 Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003).
2.4.3 Patofisiologi Rhinitis Alergi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase
yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung 24-48 jam.

Gambar 2.1 Patofisiologi alergi (rinitis, eczema, asma) paparan alergen


pertama dan selanjutnya (Benjamini, Coico, Sunshine, 2000).
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah
diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan
molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major
Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper
(Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang
akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E
(IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di
permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi
aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama,
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator
kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain
histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2
(PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet
Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang
disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf
Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini
tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak
6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan
jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di
mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte
Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung.
Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan
eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic
Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP),
dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen),
iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau
yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati,
Kasakayan, Rusmono, 2008).
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad)
dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga
pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan
infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran
yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa
kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten)
sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu
terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa
hidung menebal. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi
yang secara garis besar terdiri dari:

1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non
spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.

2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah
sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag
berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau
memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi
respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.

Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1,
atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik,
tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed
hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di
bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).

2.4.4 Gejala Klinis Rhinitis Alergi


Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang.
Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila
terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme
fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin
dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat
dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin patologis (Soepardi, Iskandar,
2004). Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air
mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga,
faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang – garis hitam
melintang pada tengah punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas
menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung
yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret
mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti
konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga
termasuk retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari
hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal termasuk faringitis granuler akibat
hiperplasia submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan
edema pita suara (Bousquet, Cauwenberge, Khaltaev, ARIA Workshop Group.
WHO, 2001). Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala,
masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip.
Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu
makan dan sulit tidur (Harmadji, 1993).
2.4.5 Diagnosis Rhinitis Alergi
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala
rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah
keluar hingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata
gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).
Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-
satunya gejala yang diutarakan oleh pasien (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan
keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik dan herediter
sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi
lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,
bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan,
hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata
merah serta berair maka dinyatakan positif (Rusmono, Kasakayan, 1990).

2. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner,
yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat
obstruksi hidung (Irawati, 2002). Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease
yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini
timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic
salute). Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna
pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga
dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala
hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau
penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media (Irawati,
2002).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian
pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali
menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu
macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau
urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau
ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung,
walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan
pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan
kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi
makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri
(Irawati, 2002).
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan
alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan
SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk
desensitisasi dapat diketahui (Sumarman, 2000). Untuk alergi makanan, uji kulit
seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan
dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan secara
tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test,
makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari,
selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali
dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan
meniadakan suatu jenis makanan (Irawati, 2002).
2.4.6 Penatalaksanaan Rhinitis Alergi

1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan
eliminasi.
2. Simptomatis
a. Medikamentosa

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara inhibitor
komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik
yang paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan rinitis alergi.
Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan
secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin
generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat
lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP)
dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Preparat simpatomimetik golongan
agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa
kombinasi dengan antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara tropikal
hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis
medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung
akibat respons fase lambat berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai
adalah kortikosteroid tropikal (beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason,
mometasonfuroat dan triamsinolon). Preparat antikolinergik topikal adalah
ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor
kolinergik permukaan sel efektor (Mulyarjo, 2006).

b. Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka
inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi
memakai AgNO3 25 % atau troklor asetat (Roland, McCluggage, Sciinneider,
2001).

c. Imunoterapi
Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan hiposensitasi
membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya
berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan (Mulyarjo,
2006).
2.4.7 Komplikasi Rhinitis Alergi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:
a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands,
akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit
T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.
b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal.
Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang
menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan
udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama
bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain
akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil
(MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah (Durham, 2006).
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Rhinitis vasomotor adalah suatu inflamasi pada mukosa hidung yang bukan
merupakan proses alergi, non infeksius dan menyebabkan terjadinya obstruksi
hidung dan rhinorea. Etiologinya dipercaya sebagai akibat ketidakseimbangan saraf
otonom pada mukosa hidung sehingga terjadi pelebaran dan pembengkakan
pembuluh darah di hidung.
Rhinitis vasomotor sering ditemukan pada usia > 20 tahun dan insidensi
tertinggi pada perempuan. Diagnosa rhinitis vasomotor ditegakkan berdasarkan
gejala klinis dan hasil pemeriksaan skin test. Rhinitis vasomotor mempunyai hasil
skin test yang (-) dan test allergen yang (-).
Rhinitis vasomotor merupakan suatu gangguan fisiologik neurovaskular
mukosa hidung dengan gejala hidung tersumbat, rinore yang hebat dan kadang –
kadang dijumpai adanya bersin-bersin. Rhinitis vasomotor sering tidak terdiagnosis
karena gejala klinisnya yang mirip dengan rhinitis alergi, sehingga sangat
diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan yang teliti untuk menyingkirkan
kemungkinan rhinitis lainnya terutama rhinitis alergi dan mencari faktor pencetus
yang memicu terjadinya gangguan vasomotor. Penatalaksanaan dapat dilakukan
secara konservatif dan apabila gagal dapat
dilakukan tindakan operatif. Rinitis alergi adalah wujud yang paling sering

ditemui dari rinitis non-infeksi dan berkaitan dengan respon imun setelah paparan

allergen yang diperantarai oleh immunoglobulin E (IgE). Rinitis alergi sering pula

memicu simptom okular.

Prevalensi rinitis alergi terus meningkat sepanjang 50 tahun terakhir. Perkiraan


yang tepat tentang prevalensi rinitis alergi agak sulit yaitu berkisar 4- 40%. Penyebab

belum bisa dipastikan, tetapi nampaknya berkaitan dengan meningkatnya polusi

udara, populasi dust mite, kurangnya ventilasi di rumah atau kantor, dan lain-lain

(Ikawati, 2011). Lebih dari 500 juta orang di dunia menderita rinitis alergi, dengan

50% penderitanya adalah remaja. Usia rata-rata terjadinya rinitis alergi adalah antara

usia 8-11 tahun, dan 80% rinitis alergi berkembang pada usia 20 tahun, namun di

Amerika Serikat rinitis alergi biasanya dimulai pada usia di bawah 20 tahun (Pinto

and Jeswani, 2010).

Ada beberapa cara untuk menegakkan diagnosis rinitis alergi, yaitu dengan

pemeriksaan fisik, skin test, ataupun RAST (Radio Allergo Sorbent Test). Skin test

ataupun skin prick test merupakan tes obyektif untuk mendeteksi reaksi alergi pasien

terhadap allergen tertentu secara spesifik. Sedangkan RAST yaitu test alergi untuk

mengukur kadar IgE dalam darah, namun kurang banyak dipakai karena lebih mahal

dan kurang sensitif, sehingga hanya digunakan pada kasus- kasus tertentu di mana

skin test tidak dapat dilakukan (Bousquet et al, 2008).

Terapi rinitis dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi gejala-gejala yang

mengganggu, meningkatkan performa kerja atau belajar pasien, meningkatkan

kualitas hidup pasien, serta mencegah peningkatan keparahan penyakit. Dampak

rinitis alergi yang paling utama adalah menurunnya kualitas hidup pasien, mulai dari

terganggunya tidur, menurunnya performa saat bekerja, ataupun menurunnya

konsentrasi di sekolah (Bousquet et al, 2008).


DAFTAR PUSTAKA

1. Sloane E. Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2004.h.266-77.
2. Putz, R &R.Pabst. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Edisi 21. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2003.
3. Gunardi S. Anatomi sistem pernapasan. Jakarta: FKUI; 2007.h.2-98.
4. Netter FH. Atlas of human anatomy. London: Saunders; 2010.h.55-136.
5. Mescher AL. Sistem pernafasan. in: Mescher AL. Histologi dasar Junqueira.
12thed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009.h.292-9.
6. Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardani RS. Sumbatan hidung, dalam: Buku Ajar
Imu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI; 2014.h.100
7. Rambe, AYM, dalam : Rinitis Vasomotor. Sumatera Utara: Universitas Sumatera
Utara; 2003.h.1-10. Didapat dari: https://library.usu.ac.id/download/fk/tht-
andrina.pdf
8. Kopke RD, Jackson RL. Rhinitis. Dalam : Byron J, Bailey JB,Ed. Otolaryngology
Head and Neck Surgery. Philadelphia: Lippincott Comp, 1993.p. 269 – 87.
9. Wainwright M, Gombako LA. Vasomotor Rhinitis. Diunduh dari
http://www.medschool.lsuhsc.edu/otor/Vasorhi.html. 22 Agustus 2016
10. Herawati S, Rukmini S. Ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Jakarta: EGC;
2005. h.36.
11. Becker W, Naumann H H, Pfaltz C R. Ear, Nose, and Throat Diseases A Pocket
Reference. 2nd ed. New York : Thieme Medical Publishers Inc, 1994. p. 210-3.

Anda mungkin juga menyukai