RHINITIS ALERGI
Pembimbing
dr Ersty Istyawati, SpTHT-KL
Disusun oleh :
21401101017
RSUD Kanjuruhan
2019
BAB I
PENDAHULUAN
b.
c.
Gambar 1. (a) Rangka hidung tampak ventral & Cartilaginea nasi ; (b) Rangka
hidung tampak lateral ; (c) Septum nasi 2
c) Vaskularisasi:
1) Arteri:
A. lateral nasi cabang dari A. Facialis
A. dorsalis nasi cabang dari A. Opthalmica
A. Infraorbitalis cabang dari A. Maxillaris interna.
2) Vena:
V. facialis
V. opthalmica
d) Inervasi pada nasal dibagi menjadi:
1) Motorik yang mengatur otot-otot hidung yaitu nervus VII (nervus
facialis)
2) Sensorik yang mengantarkan rangsangan dari sisi medial dan lateral
hidung.
Bagian medial punggung hidung sampai ujung hidung dipersarafi oleh
N. infratrochlearis dan N. nasalis externus cabang dari N. opthalmicus.
Sisi lateral hidung dipersarafi oleh N. infraorbitalis cabang dari N.
maxillaris.3,4
3) Regio fronto nasale yang membatasi rongga hidung dengan orbita melalui
foramen ethmoidalis anterior dan posterior serta ductus nasolacrimalis
b) Dasar dari rongga hidung dibentuk oleh:
1) Processus palatinus ossis maxilla
2) Lamina horizontalis ossis palatum
c) Vaskularisasi :
1) Arteri:
Ethmoidalis anterior dan posterior
Cabang dari A. sphenopalatina, yaitu A. maxillaris interna, A. palatinus
mayor, dan A. labialis superior.
2) Vena:
Berawal dari plexus cavernosis lalu ke V. sphenopalatina, V. facialis, dan
V. ethmoidalis anterior yang kemudian berujung pada V. Opthalmica
d) Inervasi :
1) N. olfaktorius
2) N. trigeminus
3) N. ethmoidalis anterior
4) N. infraorbitalis
5) N. canalis pterygoideus (n. vidianus)
e) Dinding lateral rongga hidung terdapat 3 elevasi yaitu:
1) Konka nasalis superior
2) Konka nasalis medius
3) Konka nasalis inferior
f) Terdapat tiga lekukan yaitu:
1) Meatus nasi superior
2) Meatus nasi medius
3) Meatus nasi inferior
Pada masing-masing konka terdapat suatu struktur bangunan yang
merupakan muara dari sinus-sinus paranasalis.3
a.
b
.
Gambar 3. (a) Dinding lateral rongga hidung ; (b) Cavitas nasi 2
c) Fungsi fonetik
Untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara
sendiri melalui konduksi tulang. Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas
suara ketika berbicara dan menyanyi. Hidung membantu proses pembentukan
kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir, dan palatum mole. 6
d) Fungsi statik dan mekanik
Untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung
panas. 6
e) Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan
menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu
akan menyebabkan sekresi kelenjar air liur, lambung dan pankreas. 6
Pasien rhinitis yang sudah di evaluasi di USA, 43% (58 juta orang)
mempunyai penyakit alergi, 23% (19 juta orang) mempunyai penyakit yang
non- alergi, dan 34% (26 orang) mempunyai rhinitis campuran. Tujuh puluh
persen dari pasien rhinitis alergi pada pasien anak-anak, sedangkan pasien
rhinitis non-alergi 70% kebanyakan pasien dewasa. Kurang lebih dua pertiga
non-alergi pasien mempunyai rhinitis vasomotor. Pada rhinitis non-alergi
perempuan lebih banyak dibanding dengan laki-laki.7
2.3.2 Patogenesis
Sistem saraf otonom mengontrol aliran darah ke mukosa hidung dan
sekresi dari kelenjar. Diameter resistensi pembuluh darah di hidung diatur oleh
sistem saraf simpatis sedangkan parasimpatis mengontrol sekresi kelenjar.
Pada rinitis vasomotor terjadi disfungsi sistem saraf otonom yang
menimbulkan peningkatan kerja parasimpatis yang disertai penurunan kerja
saraf simpatis. Baik sistem simpatis yang hipoaktif maupun sistem parasimpatis
yang hiperaktif, keduanya dapat menimbulkan dilatasi arteriola dan kapiler
disertai peningkatan permeabilitas kapiler, yang akhirnya akan menyebabkan
transudasi cairan, edema dan kongesti.6,8 Teori lain mengatakan bahwa terjadi
peningkatan peptide vasoaktif dari sel-sel seperti sel mast. Termasuk diantara
peptide ini adalah histamin, leukotrin, prostaglandin, polipeptide intestinal
vasoaktif dan kinin. Elemen-elemen ini tidak hanya mengontrol diameter
pembuluh darah yang menyebabkan kongesti, tetapi juga meningkatkan efek
asetilkolin dari sistem saraf parasimpatis terhadap sekresi hidung, yang
menyebabkan rinore. Pelepasan peptide-peptide ini tidak diperantarai oleh Ig-E
(non-Ig E mediated) seperti pada rinitis alergi. 6,9
Adanya reseptor zat iritan yang berlebihan juga berperan pada rinitis
vasomotor. Banyak kasus yang dihubungkan dengan zat-zat atau kondisi yang
spesifik. Beberapa diantaranya adalah perubahan temperatur atau tekanan
udara, perfume, asap rokok, polusi udara dan stress (emosi atau fisik). 6,7
2.3.4 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan cara eksklusi, yaitu menyingkirkan
adanya rhinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal, dan akibat obat. Anamnesis
dilakukan untuk mencari faktor yang mempengaruhi timbulnya gejala.6,7
2.3.4.1 Anamnesis
Anamnesis juga mencari faktor yang mempengaruhi keseimbangan
vasomotor dan menyingkirkan kemungkinan rhinitis alergi. Biasanya
penderita tidak mempunyai riwayat alergi dalam keluarganya dan keluhan
dimulai pada usia dewasa. Beberapa pasien hanya mengeluhkan gejala sebagai
respon terhadap paparan zat iritan tertentu tetapi tidak mempunyai keluhan
apabila tidak terpapar. 7
2.3.4.2 Pemeriksaan Fisik
Pada rhinitis vasomotor, pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah
pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior.6,7
2.3.4.2.1 Rhinoskopi anterior
Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior, tampak gambaran yang khas berupa
edema mukosa hidung, konka berwarna merah gelap atau merah tua, tetapi
dapat pula pucat. Hal ini perlu dibedakan dengan rhinitis alergi. Permukaan
konka lebih licin atau berbenjol-benjol (hipertrofi). Sekret mukoid yang
sedikit dapat ditemukan di dalam rongga hidung. Pada golongan rinore sekret
yang ditemukan adalah serosa dan banyak jumlahnya. 6,7
Gambar 6. Rhinoskopi Anterior Rhinitis Non-alergi
Tidak ada komplikasi yang berbahaya dari rinitis vasomotor, komplikasi yang
mungkin terjadi hanyalah seperti infeksi pada hidung yang menyebabkan sekret
mukopurulen, dan juga dapat memberikan manifestasi kelainan di mata walaupun jarang
dijumpai. Komplikasi yang lebih mungkin terjadi adalah dari terapi neurektomi, yang
dapat menimbulkan sinusitis, diplopia, buta, gangguan lakrimasi, neuralgia atau
anestesis infraorbita dan palatum.7
2.3.8 Prognosis
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut (von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis
and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung
dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung
terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya (Irawati,
Kasakeyan, Rusmono, 2008). Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan
rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma)
tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4
minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non
spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah
sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag
berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau
memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi
respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1,
atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik,
tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed
hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di
bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
2. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner,
yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat
obstruksi hidung (Irawati, 2002). Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease
yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini
timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic
salute). Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna
pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga
dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala
hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau
penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media (Irawati,
2002).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian
pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali
menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu
macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau
urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau
ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung,
walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan
pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan
kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi
makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri
(Irawati, 2002).
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan
alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan
SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk
desensitisasi dapat diketahui (Sumarman, 2000). Untuk alergi makanan, uji kulit
seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan
dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan secara
tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test,
makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari,
selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali
dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan
meniadakan suatu jenis makanan (Irawati, 2002).
2.4.6 Penatalaksanaan Rhinitis Alergi
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan
eliminasi.
2. Simptomatis
a. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara inhibitor
komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik
yang paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan rinitis alergi.
Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan
secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin
generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat
lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP)
dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Preparat simpatomimetik golongan
agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa
kombinasi dengan antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara tropikal
hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis
medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung
akibat respons fase lambat berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai
adalah kortikosteroid tropikal (beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason,
mometasonfuroat dan triamsinolon). Preparat antikolinergik topikal adalah
ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor
kolinergik permukaan sel efektor (Mulyarjo, 2006).
b. Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka
inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi
memakai AgNO3 25 % atau troklor asetat (Roland, McCluggage, Sciinneider,
2001).
c. Imunoterapi
Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan hiposensitasi
membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya
berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan (Mulyarjo,
2006).
2.4.7 Komplikasi Rhinitis Alergi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:
a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands,
akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit
T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.
b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal.
Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang
menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan
udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama
bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain
akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil
(MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah (Durham, 2006).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Rhinitis vasomotor adalah suatu inflamasi pada mukosa hidung yang bukan
merupakan proses alergi, non infeksius dan menyebabkan terjadinya obstruksi
hidung dan rhinorea. Etiologinya dipercaya sebagai akibat ketidakseimbangan saraf
otonom pada mukosa hidung sehingga terjadi pelebaran dan pembengkakan
pembuluh darah di hidung.
Rhinitis vasomotor sering ditemukan pada usia > 20 tahun dan insidensi
tertinggi pada perempuan. Diagnosa rhinitis vasomotor ditegakkan berdasarkan
gejala klinis dan hasil pemeriksaan skin test. Rhinitis vasomotor mempunyai hasil
skin test yang (-) dan test allergen yang (-).
Rhinitis vasomotor merupakan suatu gangguan fisiologik neurovaskular
mukosa hidung dengan gejala hidung tersumbat, rinore yang hebat dan kadang –
kadang dijumpai adanya bersin-bersin. Rhinitis vasomotor sering tidak terdiagnosis
karena gejala klinisnya yang mirip dengan rhinitis alergi, sehingga sangat
diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan yang teliti untuk menyingkirkan
kemungkinan rhinitis lainnya terutama rhinitis alergi dan mencari faktor pencetus
yang memicu terjadinya gangguan vasomotor. Penatalaksanaan dapat dilakukan
secara konservatif dan apabila gagal dapat
dilakukan tindakan operatif. Rinitis alergi adalah wujud yang paling sering
ditemui dari rinitis non-infeksi dan berkaitan dengan respon imun setelah paparan
allergen yang diperantarai oleh immunoglobulin E (IgE). Rinitis alergi sering pula
udara, populasi dust mite, kurangnya ventilasi di rumah atau kantor, dan lain-lain
(Ikawati, 2011). Lebih dari 500 juta orang di dunia menderita rinitis alergi, dengan
50% penderitanya adalah remaja. Usia rata-rata terjadinya rinitis alergi adalah antara
usia 8-11 tahun, dan 80% rinitis alergi berkembang pada usia 20 tahun, namun di
Amerika Serikat rinitis alergi biasanya dimulai pada usia di bawah 20 tahun (Pinto
Ada beberapa cara untuk menegakkan diagnosis rinitis alergi, yaitu dengan
pemeriksaan fisik, skin test, ataupun RAST (Radio Allergo Sorbent Test). Skin test
ataupun skin prick test merupakan tes obyektif untuk mendeteksi reaksi alergi pasien
terhadap allergen tertentu secara spesifik. Sedangkan RAST yaitu test alergi untuk
mengukur kadar IgE dalam darah, namun kurang banyak dipakai karena lebih mahal
dan kurang sensitif, sehingga hanya digunakan pada kasus- kasus tertentu di mana
rinitis alergi yang paling utama adalah menurunnya kualitas hidup pasien, mulai dari
1. Sloane E. Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2004.h.266-77.
2. Putz, R &R.Pabst. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Edisi 21. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2003.
3. Gunardi S. Anatomi sistem pernapasan. Jakarta: FKUI; 2007.h.2-98.
4. Netter FH. Atlas of human anatomy. London: Saunders; 2010.h.55-136.
5. Mescher AL. Sistem pernafasan. in: Mescher AL. Histologi dasar Junqueira.
12thed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009.h.292-9.
6. Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardani RS. Sumbatan hidung, dalam: Buku Ajar
Imu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI; 2014.h.100
7. Rambe, AYM, dalam : Rinitis Vasomotor. Sumatera Utara: Universitas Sumatera
Utara; 2003.h.1-10. Didapat dari: https://library.usu.ac.id/download/fk/tht-
andrina.pdf
8. Kopke RD, Jackson RL. Rhinitis. Dalam : Byron J, Bailey JB,Ed. Otolaryngology
Head and Neck Surgery. Philadelphia: Lippincott Comp, 1993.p. 269 – 87.
9. Wainwright M, Gombako LA. Vasomotor Rhinitis. Diunduh dari
http://www.medschool.lsuhsc.edu/otor/Vasorhi.html. 22 Agustus 2016
10. Herawati S, Rukmini S. Ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Jakarta: EGC;
2005. h.36.
11. Becker W, Naumann H H, Pfaltz C R. Ear, Nose, and Throat Diseases A Pocket
Reference. 2nd ed. New York : Thieme Medical Publishers Inc, 1994. p. 210-3.