Anda di halaman 1dari 2

Benarkah Kota Malang Mulai Intoleran?

Toleransi umat beragama di Kota Malang diuji kembali. Jika pada tahun lalu muncul seruan dari Wali
kota Malang agar umat Nasrani tidak melakukan perayaan Natal secara demonstratif – yang bermakna
cukup ambigu – maka kali ini datang dari pihak lain. Tepatnya, pengelola Mall Olympic Garden (MOG),
salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Kota Malang.

Melalui edaran yang dikeluarkan manajeman MOG, seluruh tenant di Mall tersebut diimbau untuk tidak
menggunakan atribut natal selama perayaan hari besar umat Nasrani ini. Jelas, larangan ini kemudian
memicu pro dan kontra. Ada yang menganggapnya sebagai hal biasa lantaran untuk menjaga akidah
umat Islam tetapi banyak pula yang menganggapnya berlebihan.

Larangan ini dianggap kembali menciderai kerukunan umat beragama di Kota Malang yang sudah
terpupuk sejak ratusan tahun. Bahkan, tiga tempat ibadah di pusat Kota Malang – Masjid Jami’, GPIB
Immanuel, dan Gereja Katolik Kayutangan – sudah menjadi ikon toleransi di kota ini. Beberapa media
asing bahkan terus mewartakan hubungan baik umat beragama di kota ini terutama saat peryaaan hari
besar keagamaan.

Lantas, kenapa bibit-bibit intoleransi ini muncul di kota bunga ini?

Dari alasan yang dipaparkan oleh pengelola Mall, mereka takut jika pemasangan atribut natal di tenant
mereka akan mendapatkan masalah. Terkena sweeping dari salah satu ormas seperti yang terjadi
beberapa tahun lalu. Nah inilah yang harus dicari titik solusinya.

Dengan ketakutan semacam ini, bisa jadi timbul akibat tidak adanya jaminan keamanan selama
perayaan natal ini. Jaminan keamanan ini sebenarnya tidak hanya berada pada pusat peribadatan tetapi
juga pada pusat perbelanjaan dan tempat umum lain yang ikut meramaikan semarak natal.

Meski akhirnya dibantah, nyatanya edaran ini masih menimbulkan polemik. Banyak yang menduga jika
umat Nasrani di Kota Malang mulai dibatasi geraknya dalam merayakan Natal. Terlebih, kejadian ini
bukanlah yang pertama kali. Banyak yang mempertanyakan komitmen Wali kota Malang dalam
menangani masalah ini. Meski akhirnya, sang pemimpin kota ini memilih bersikap netral.

Jikalau surat edaran yang diberikan merupakan imbauan untuk tidak memaksakan atribut natal kepada
karyawan tenant itu masih tak masalah. Tapi lagi-lagi, dengan adanya kejadian ini, maka warga Kota
Malang harus bisa menyikapinya dengan dewasa. Jangan sampai kejadian semacam ini menjadi bibit
perpecahan di kota yang sudah terkenal akan toleransinya ini.

Kasus berbeda terjadi beberapa jam lalu. Sebuah unggahan di media sosial memperlihatkan seorang
yang kesulitan mencarikan kos untuk putri temannya di Malang. Beberapa kos yang didatangi menolak
menerimanya lantaran ia bukanlah seorang muslim.
Unggahan ini pun juga viral. Banyak warganet yang kembali mempertanyakan toleransi umat beragama
di Kota Malang. Ada juga ada yang mempertanyakan bahwa unggahan tersebut bisa saja menyulut
konflik kembali.

Untungnya, dari balasan yang diberikan pada unggahan tersebut, lebih banyak masyarakat Malang yang
membantu untuk mencarikan kos-kosan yang multiagama. Bahkan beberapa diantaranya, meski
beragama muslim, langsung menawarkan diri untuk mencarikan kos secara langsung. Apa yang terjadi
ini bisa jadi mematahkan stigma bahwa Kota Malang mulai intoleran. Nyatanya, warga Malang sendiri
dengan antusias menolong orang lain yang kesusahan walau berbeda agama. Banyak diantara mereka
lebih berfokus pada mencari kos-kosan tanpa memperdulikan dan mempermasalahkan sebab dari
kejadian ini.

Masalah agama memang menjadi masalah yang rawan. Berhati-hati dalam mengambil kebijakan juga
menjadi salah satu hal yang tidak boleh disepelekan. Terlepas dari hal itu, sebagai warga Kota Malang,
saya sendiri masih percaya bahwa Kota Malang memiliki tingkat toleransi yang cukup tinggi.

Beberapa bulan yang lalu, ada satu keluarga nasrani yang baru saja pindah di dekat rumah saya. Saat
mereka meminjam sound system dan karpet untuk acara kebaktian menyukuri kepindahan rumah, Pak
RT di kampung saya juga memberi izin. Sang empu rumah juga memberikan makanan kepada tetangga
sekitar layaknya hajatan biasa. Semua berlangsung lancar dan baik-baik saja. Tak ada tendensi ataupun
prasangka lantaran kami sudah sangat dewasa.

Meski demikian, dengan adanya kasus-kasus viral semacam ini, harus dijadikan pelajaran agar sumbu
untuk merusak intoleransi di Kota Malang tetaplah akan selalu ada. Terlebih, jika sumbu ini semakin
dipercikkan oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab.

Untuk itu, pemerintah kota dan elemen pemuka agama sangat berperan penting. Tetap menjaga agar
kedamaian umat beragama di kota ini berlangsung hingga kapanpun. Tidak sekadar membuat acara
seremonial semata, tetapi upaya preventif untuk menghidarkan statement atapun kegiatan yang
menyulut masalah.

Semoga kasus-kasus ini menjadi pembelajaran, baik di Kota Malang maupun di tempat lainnya. Karena
sesungguhnya hidup berdampingan sangatlah membahagiakan daripada mengungkit-ungkit perbedaan
yang ada.

Sekian, mohoh maaf jika ada kesalahan. Salam.

Anda mungkin juga menyukai