Anda di halaman 1dari 4

Biografi Sartono

Mengikuti sayembara mencipta himne guru dari secarik koran di bis. Selama 24 tahun tetap
setia menjadi guru honorer di SMP swasta. Penghargannya kebanyakan piagam saja.

Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru


Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sbagai prasasti trimakasihku tuk pengabdianmu
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa

Siapa yang tak kenal lagu ini lirik himne guru berjudul Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, ini
sangat sering terdengar di telinga kita. Masih terngiang betapa di era 1980-an, lagu ini sangat
sering dinyanyikan di sekolah-sekolah. Sebab setiap upacara bendera pada hari Senin, lagu
ini selalu dinyanyikan.

Istilah “pahlawan tanpa tanda jasa” bahkan kemudian menjadi ikon yang disematkan kepada
para guru. Siapa sangka bila “sang pahlawan” yang tanpa tanda jasa itu sejatinya dialami si
pencipta lagu tersebut. Ya, Sartono, pencipta lagu yang juga guru itu di masa senjanya hidup
dalam kesederhanaan. Laki- laki asal Madiun yang genap berusia 72 tahun, 29 Mei ini,
tinggal rumah sederhana di Jalan Halmahera 98, Madiun.

Sejak ia mengajar musik di SMP Purna Karya Bhakti Madiun pada 1978, hingga “pensiun”
pada 2002 lalu, Sartono tetap menyandang guru honorer. Ia tak punya gaji pensiunan, karena
statusnya bukan guru Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Kawan-kawan sesama guru sempat membantu mengajukan dia menjadi PNS. “Katanya sih
sering diajukan nama saya, tetapi sampai saya pensiun dari tugas sebagai guru, PNS untuk
saya kok tidak datang juga,” kata Sartono.

Sartono memang minder dengan latar belakang pendidikannya yang tak tamat SMA. Ia
mengajar di SMP Purna Karya Bhakti, yang belakangan lebih dikenal sebagai SMP Kristen
Santo Bernadus, berbekal bakatnya di bidang musik. Sartono yang beragama Islam itu
melamar di Santo Bernadus berbekal sertifikat pengalaman kerja di Lokananta, perusahan
pembuat piringan hitam di Solo, Jawa Tengah.

Hidup serba dalam kesempitan, tak membuat Sartono meratapi nasib. Ia merasa terhibur,
dengan kebersamaan dengan Damiyati, BA, 59 tahun, isterinya yang guru PNS. Damiyati
dinikahi Sartono pada 1971. Dari pernikahan mereka belum jua dikaruniai anak. Sehingga
mereka mengasuh dua orang keponakan. Damiyati yang juga guru, juga seniman biasa
manggung bersama Ketoprak Siswo Budoyo Tulungagung, di masa mudanya.

Kehidupan sehari-harinya kini hanya dari pensiun istrinya yang tak lebih dari dari Rp 1 juta.
Sartono sendiri kala masih aktif mengajar, gajinya pada akhir pengabdiannya sebagai guru
seni musik cuma Rp 60.000 per bulan. “Gaji saya sangat rendah, bahkan mungkin paling
rendah diantara guru-guru lainnya,” katanya mengenang masa lalunya.

Kala masih kuat, Sartono menambal periuk dapurnya dengan mengajar musik. Sepekan
sekali, Sartono yang pandai bermain piano, gitar, dan saksofon, ini rutin mengajar kulintang
di Perhutani Nganjuk, sekira 60 kilometer dari rumahnya di Madiun.

BERMULA DARI LOKANANTA

Jalan menjadi guru berawal dari kegemarannya bermain musik. Putra sulung dari lima
bersaudara ini sebenarnya lahir dari keluarga cukup berada. Maklum, ayahnya R. Soepadi
adalah Camat Lorog, Pacitan. Sartono kecil memang suka bermain musik secara otodidak.
Namun, hidup nyaman tak bisa dirasakan berlama-lama. Ketika ia berusia 7 tahun, Jepang
menduduki Indonesia. Ayahnya pun tak lagi menjabat camat.

Sartono, bersama empat adiknya, Sartini, Sartinah, Sarwono dan Sarsanti, tak bisa
mengenyam pendidikan tinggi. Ia sendiri putus sekolah kala kelas dua di SMA Negeri 3
Surabaya.

Ia kemudian bekerja di Lokananta, perusahaan rekaman dan produsen piringan hitam. “Saya
Lupa tahun berapa itu, tapi saya hanya bekerja selama dua tahun saja,” kata Sartono, yang
mengaku sudah susah mengingat tahun.

Selepas kerja di Lokananta, Sartono bergabung dengan grup musik keroncong milik TNI AU
di Madiun. Ia bersama kelompok musik tentara itu pernah penghibur tentara di Irian. “Di sana
selama tiga bulan,” jelasnya.
DARI SECARIK KORAN

Ihwal penciptaan lagu himne guru itu boleh dibilang tak sengaja. Ketika itu, tahun 1980,
Sartono tengah naik bis menuju Perhutani Nganjuk, untuk mengajar kulintang. Di perjalanan,
secara tidak sengaja ia membaca di secarik koran, mengenai sayembara penciptaan lagu
himne guru yang diselenggarakan Depdiknas. Hadiahnya besar untuk saat itu, Rp 750.000.
Waktu yang tersisa dua pekan, untuk merampungkan lagu.

Sartono yang tak bisa membaca not balok ini, mulai tenggelam dalam kerja keras mengarang
lagu saban harinya. “Saya mencermati betul seperti apa sebenarnya guru itu,” jelas Sartono
sambil memulai membuat lagu itu.

Waktu sudah mepet, lagu belum juga jadi. Sartono pusing bukan kepalang. Syairnya masih
amburadul. Pada hari pertama Hari Raya Idul Fitri, Sartono tidak keluar rumah. Ia bahkan tak
turut beranjang sana mengantar istri dan dua keponakannya silaturrahmi ke orangtua dan
sanak famili. “Saat itu kesempatan bagi saya untuk membuat lagu dan syair secara serius,”
katanya. “Waktu itu saya merasa begitu lancar membuat lagu dan menulis syairnya.”

Awalnya, lirik yang ia ciptakan kepanjangan. Padahal, durasi lagu tak lebih dari empat menit.
Sartono pun berkali- kali mengkajinya untuk mengetahui mana yang harus dibuang. “Karena
panjang sekali, maka saya harus membuang beberapa syairnya,” jelas Sartono. Hingga
muncullah istilah “pahlawan tanpa tanda jasa.”

“Guru itu juga pahlawan. Tetapi selepas mereka berbakti tak satu pun ada tanda jasa
menempel pada mereka, seperti yang ada pada polisi atau tentara,” katanya.

Persoalan tak begitu saja beres. Lagu ada, Sartono kebingungan mengirimnya ke panitia
lomba di Jakarta. Sebab ia tidak punya uang untuk biaya pengiriman via pos. “Akhirnya saya
menjual jas untuk biaya pos,” katanya.

Sartono menang. “Hadiahnya berupa cek. Sesampainya di Madiun saya tukarkan dengan
sepeda motor di salah satu dealer,” kata Sartono.

PENGHARGAAN MINIM

Lagunya melambung, Sartono tidak. Sang pencipta tetap saja menggeluti dunia mengajar
sebagai guru honorer hingga “pensiun.” Kalaulah ada penghargaan selain hadiah mencipta
lagu, “cuma” beberapa lembar piagam ucapan terimakasih. Nampak piagam berpigura dari
Gubernur Jawa Timur Imam Utomo yang diberikan pada 2005. Pak Gubernur juga
memberikan bantuan Rp 600.000, plus sebuah keyboard.

Piagam lainnya diberikan Menteri Pendidikan Nasional Yahya Muhaimin pada 2000.
Kemudian piagam dari Menteri Pendidikan Nasional Bambang Soedibyo pada 2005, plus
bantuan uang. “Isinya enam ratus ribu rupiah,” kata Sartono.

Tahun 2006 lalu, giliran Walikota Madiun yang dalam sepanjang sejarah baru kali ini
memberikan perhatian kepadanya. “Pak Walikota menghadiahi saya sepeda motor Garuda,”
kata Sartono seraya menunjuk sepeda motor pemberian Walikota Madiun.

Meski minim perhatian, Sartono tetaplah bangga, lagunya menjadi himne para guru.
Pekerjaan yang dilakoninya selama 24 tahun. Pengabdian yang tak pendek bagi seorang
pahlawan tanpa tanda jasa

Anda mungkin juga menyukai