Anda di halaman 1dari 18

Kisah Tentang Kilab bin Umaiyah dan Baktinya Kepada Orang Tua

Seorang laki-laki bernama Kilab bin Umayyah bin Askar. Dia memiliki ayah dan ibu yang
sudah tua. Dia menyiapkan susu untuk keduanya tiap pagi dan petang hari. Kemudian datanglah
dua orang menemui Kilab, mereka membujuknya untuk pergi berperang. Ternyata Kilab tertarik
dengan ajakan tersebut, lalu dia membeli seorang hamba sahaya untuk menggantikannya
mengasuh kedua orang tuanya. Setelah itu Kilab pun pergi berjihad.

Suatu malam, hamba sahaya tersebut datang dan membawa gelas jatah susu petang hari
kepada ibu dan bapak Kilab, ketika keduanya sedang tidur. Dia menunggu sesaat dan tidak
membangunkannya lalu pergi. Di tengah malam keduanya terbangun dalam keadaan lapar, bapak
Kilab berkata,

“Dua orang telah memohon kepada Kilab dengan kitabullah. Keduanya telah bersalah dan
merugi. Kamu meninggalkan bapakmu yang kedua tangannya gemetar, dan ibumu tidak bisa
minum dengan nikmat. Jika merpati itu bersuara di lembah Waj karena telur-telurnya, kedunya
mengingat Kilab. Dia didatangi oleh dua orang yang membujuknya. Wahai hamba-hamba Allah,
sungguh keduanya telah durhaka dan merugi. Aku memanggilnya lalu dia berpaling dengan
menolak. Maka dia tidak berbuat yang benar. Sesungguhnya ketika kamu mencari pahala selain
dari berbakti kepadaku, hal itu seperti pencari air yang memburu fatamorgana. Apakah ada
kebaikan setelah menyia-nyiakan kedua orang tua? Demi bapak Kilab, perbuatannya tidak
dibenarkan.”

Jika ada orang luar Madinah yang datang ke kota Madinah, Umar bin Khatab radhiallahu
‘anhu selalu menanyakan tentang berita-berita dan keadaan mereka. Umar bertanya kepada salah
seorang yang datang, “Dari mana?” Orang itu menjawab, “Dari Thaif.” Umar bertanya, “Ada
berita apa?” Orang itu menjawab, “Aku melihat seorang laki-laki berkata (laki-laki ini menyebut
ucapan bapak Kilab di atas).” Umar menangis dan berkata, “Sungguh Kilab mengambil langkah
yang keliru.”

Kemudian bapak Kilab, Umaiyah bin Askar dengan penuntunnya menemui Umar yang
sedang di masjid. Dia mengatakan, “Aku dicela. Kamu telah mencelaku tiada batas, dan kamu
tidak tahu penderitaan yang kurasakan. Jika kamu mencelaku, maka kembalikanlah Kilab
manakala dia berangkat ke Irak. Pemuda mulia dalam kesulitan dan kemudahan, kokoh dan
tangguh pada hari pertempuran. Tidak, demi bapakmu, cintaku kepadamu tidaklah usang. Begitu
pula harapanku dan kerinduanku kepadamu. Seandainya kerinduan yang mendalam membelah
hati, niscaya hatiku telah terbelah karena kerinduan kepadanya. Aku akan mengadukan al-Faruq
(maksudnya Umar bin Khattab) kepada Tuhannya yang telah menggiring jamaah haji ke tanah
berbatu hitam. Aku berdoa kepada Allah dengan berharap pahala dari-Nya di lembah Akhsyabain
sampai air hujan mengalirinya. Sesungguhnya al-Faruq tidak memanggil Kilab untuk pulang
kepada dua orang tua yang sedang kebingungan.”

Umar menangis, lalu beliau menulis surat kepada Abu Musa al-Asy’ari agar memulangkan
Kilab ke Madinah. Abu Musa berkata kepada Kilab, “Temuilah Amirul Mukminin Umarbin
Khattab.” Kilab menjawab, “Aku tidak melakukan kesalahan, tidak pula melindungi orang yang
bersalah.” Abu Musa berkata, “Pergilah!”

Kilab pulang ke Madinah. Ketika Umar bertemu dengannya, beliau mengatakan, “Sejauh
mana kamu berbuat baik kepada orang tuamu?” Kilab menjawab, “Aku mementingkannya dengan
mencukupi kebutuhannya. Jika aku hendak memerah susu untuknya, maka aku memilih onta
betina yang paling gemuk, paling sehat dan paling banyak susunya. Aku mencuci puting susu onta
itu, dan barulah aku memerah susunya lalu menghidangkannya kepada mereka.”

Umar mengutus orang untuk menjemput bapaknya. Bapak Kilab datang dengan tertatih-
tatih dan menunduk. Umar bertanya kepadanya, “Apa kabarmu, wahai Abu Kilab?” Dia
menjawab, “Seperti yang Anda lihat wahai Amirul Mukminin.” Umar bertanya, “Apakah kamu
ada kepeluan?” Dia menjawab, “Aku ingin melihat Kilab. Aku ingin mencium dan memeluknya
sebelum aku mati.” Umar menangis dan berkata, “Keinginanmu akan tercapai insya Allah.”

Kemudian Umar memerintahkan Kilab agar memerah susu onta untuk bapaknya seperti
yang biasa dia lakukan. Umar menyodorkan gelas susu itu kepada bapak Kilab sambil berkata,
“Minumlah ini, wahai bapak Kilab.” Ketika bapak Kilab mendekatkan gelas ke mulutnya, dia
berkata, “Demi Allah, aku mencium bau kedua tangan Kilab.” Umar mengatakan, “Ini Kilab, dia
ada di sini. Kami yang menyuruhnya pulang.” Bapak Kilab menangis dan Umar bersama orang-
orang yang hadir juga menangis. Mereka berkata, “Wahai Kilab, temani kedua orang tuamu.”
Maka Kilab tidak pernah lagi meninggalkan mereka sampai wafat.
Uwais Al Qarni, Pemuda Berbakti Kepada Orang Tuanya

Di Yaman, tinggalah seorang pemuda bernama Uwais Al Qarni yang berpenyakit sopak,
tubuhnya belang-belang. Walaupun cacat, ia adalah pemuda yang soleh dan sangat berbakti
kepadanya Ibunya. Ibunya adalah seorang wanita tua yang lumpuh. Uwais senantiasa merawat dan
memenuhi semua permintaan Ibunya. Hanya satu permintaan yang sulit ia kabulkan.

“Anakku, mungkin Ibu tak lama lagi akan bersama dengan kamu, ikhtiarkan agar Ibu dapat
mengerjakan haji,” pinta Ibunya. Uwais tercenung, perjalanan ke Mekkah sangatlah jauh melewati
padang pasir tandus yang panas. Orang-orang biasanya menggunakan unta dan membawa banyak
perbekalan. Namun Uwais sangat miskin dan tak memiliki kendaraan.

Uwais terus berpikir mencari jalan keluar. Kemudian, dibelilah seeokar anak lembu, Kira-
kira untuk apa anak lembu itu? Tidak mungkinkan pergi Haji naik lembu. Olala, ternyata Uwais
membuatkan kandang di puncak bukit. Setiap pagi beliau bolak balik menggendong anak lembu itu
naik turun bukit. “Uwais gila.. Uwais gila…” kata orang-orang. Yah, kelakuan Uwais memang
sungguh aneh.

Tak pernah ada hari yang terlewatkan ia menggendong lembu naik turun bukit. Makin hari
anak lembu itu makin besar, dan makin besar tenaga yang diperlukan Uwais. Tetapi karena latihan
tiap hari, anak lembu yang membesar itu tak terasa lagi.

Setelah 8 bulan berlalu, sampailah musim Haji. Lembu Uwais telah mencapai 100 kg, begitu
juga dengan otot Uwais yang makin membesar. Ia menjadi kuat mengangkat barang. Tahulah
sekarang orang-orang apa maksud Uwais menggendong lembu setiap hari. Ternyata ia latihan untuk
menggendong Ibunya.

Uwais menggendong ibunya berjalan kaki dari Yaman ke Mekkah! Subhanallah, alangkah
besar cinta Uwais pada ibunya. Ia rela menempuh perjalanan jauh dan sulit, demi memenuhi
keinginan ibunya.

Uwais berjalan tegap menggendong ibunya tawaf di Ka’bah. Ibunya terharu dan bercucuran
air mata telah melihat Baitullah. Di hadapan Ka’bah, ibu dan anak itu berdoa. “Ya Allah, ampuni
semua dosa ibu,” kata Uwais. “Bagaimana dengan dosamu?” tanya ibunya heran. Uwais menjawab,
“Dengan terampunnya dosa Ibu, maka Ibu akan masuk surga. Cukuplah ridho dari Ibu yang akan
membawa aku ke surga.”

Subhanallah, itulah keinganan Uwais yang tulus dan penuh cinta. Allah SWT pun
memberikan karunianya, Uwais seketika itu juga disembuhkan dari penyakit sopaknya. Hanya
tertinggal bulatan putih ditengkuknya. Tahukah kalian apa hikmah dari bulatan disisakan di
tengkuk? itulah tanda untuk Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib, dua sahabat utama
Rasulullah SAW untuk mengenali Uwais.

Beliau berdua sengaja mencari Uwais di sekitar Ka’bah karena Rasullah SAW berpesan “Di
zaman kamu nanti akan lahir seorang manusia yang doanya sangat makbul. Kamu berdua pergilah
cari dia. Dia akan datang dari arah Yaman, dia dibesarkan di Yaman. Dia akan muncul di zaman
kamu, carilah dia. Kalau berjumpa dengan dia minta tolong dia berdua untuk kamu berdua.”
“Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kamu, durhaka pada ibu dan menolak kewajiban,
dan meminta yang bukan haknya, dan membunuh anak hidup-hidup, dan Allah, membenci padamu
banyak bicara, dan banyak bertanya demikian pula memboroskan harta (menghamburkan
kekayaan).” (HR. Bukhari dan Muslim)

CERITA KEHIDUPAN UWAIS AL QORNI

Pemuda bernama Uwais Al-Qarni. Ia tinggal dinegeri Yaman. Uwais adalah seorang yang
terkenal fakir, hidupnya sangat miskin. Uwais Al-Qarni adalah seorang anak yatim. Bapaknya
sudah lama meninggal dunia. Ia hidup bersama ibunya yang telah tua lagi lumpuh. Bahkan, mata
ibunya telah buta. Kecuali ibunya, Uwais tidak lagi mempunyai sanak family sama sekali.

Dalam kehidupannya sehari-hari, Uwais Al-Qarni bekerja mencari nafkah dengan


menggembalakan domba-domba orang pada waktu siang hari. Upah yang diterimanya cukup buat
nafkahnya dengan ibunya. Bila ada kelebihan, terkadang ia pergunakan untuk membantu
tetangganya yang hidup miskin dan serba kekurangan seperti dia dan ibunya. Demikianlah
pekerjaan Uwais Al-Qarni setiap hari.

Uwais Al-Qarni terkenal sebagai seorang anak yang taat kepada ibunya dan juga taat
beribadah. Uwais Al-Qarni seringkali melakukan puasa. Bila malam tiba, dia selalu berdoa,
memohon petunjuk kepada Allah. Alangkah sedihnya hati Uwais Al-Qarni setiap melihat
tetangganya yang baru datang dari Madinah. Mereka telah bertemu dengan Nabi Muhammad,
sedang ia sendiri belum pernah berjumpa dengan Rasulullah. Berita tentang Perang Uhud yang
menyebabkan Nabi Muhammad mendapat cedera dan giginya patah karena dilempari batu oleh
musuh-musuhnya, telah juga didengar oleh Uwais Al-Qarni. Segera Uwais mengetok giginya
dengan batu hingga patah. Hal ini dilakukannya sebagai ungkapan rasa cintanya kepada Nabi
Muhammmad saw, sekalipun ia belum pernah bertemu dengan beliau. Hari demi hari berlalu, dan
kerinduan Uwais untuk menemui Nabi saw semakin dalam. Hatinya selalu bertanya-tanya,
kapankah ia dapat bertemu Nabi Muhammad saw dan memandang wajah beliau dari dekat? Ia rindu
mendengar suara Nabi saw, kerinduan karena iman.

Tapi bukankah ia mempunyai seorang ibu yang telah tua renta dan buta, lagi pula lumpuh?
Bagaimana mungkin ia tega meninggalkannya dalam keadaan yang demikian? Hatinya selalu
gelisah. Siang dan malam pikirannya diliputi perasaan rindu memandang wajah nabi Muhammad
saw.

Akhirnya, kerinduan kepada Nabi saw yang selama ini dipendamnya tak dapat ditahannya
lagi. Pada suatu hari ia datang mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinyadan mohon ijin kepada
ibunya agar ia diperkenankan pergi menemui Rasulullah di Madinah. Ibu Uwais Al-Qarni walaupun
telah uzur, merasa terharu dengan ketika mendengar permohonan anaknya. Ia memaklumi perasaan
Uwais Al-Qarni seraya berkata, “pergilah wahai Uwais, anakku! Temuilah Nabi di rumahnya. Dan
bila telah berjumpa dengan Nabi, segeralah engkau kembali pulang.”

Betapa gembiranya hati Uwais Al-Qarni mendengar ucapan ibunya itu. Segera ia berkemas
untuk berangkat. Namun, ia tak lupa menyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkannya,
serta berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya selama ia pergi. Sesudah
berpamitan sembari mencium ibunya, berangkatlah Uwais Al-Qarni menuju Madinah.

Uwais Ai-Qarni Pergi ke Madinah


Setelah menempuh perjalanan jauh, akhirnya Uwais Al-Qarni sampai juga dikota madinah.
Segera ia mencari rumah nabi Muhammad saw. Setelah ia menemukan rumah Nabi, diketuknya
pintu rumah itu sambil mengucapkan salam, keluarlah seseorang seraya membalas salamnya.
Segera saja Uwais Al-Qarni menanyakan Nabi saw yang ingin dijumpainya. Namun ternyata Nabi
tidak berada dirumahnya, beliau sedang berada di medan pertempuran. Uwais Al-Qarni hanya dapat
bertemu dengan Siti Aisyah ra, istri Nabi saw. Betapa kecewanya hati Uwais. Dari jauh ia datang
untuk berjumpa langsung dengan Nabi saw, tetapi Nabi saw tidak dapat dijumpainya.

Dalam hati Uwais Al-Qarni bergolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi saw dari
medan perang. Tapi kapankah Nabi pulang? Sedangkan masih terngiang di telinganya pesan ibunya
yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman, “engkau harus lekas pulang”.

Akhirnya, karena ketaatannya kepada ibunya, pesan ibunya mengalahkan suara hati dan
kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi saw. Karena hal itu tidak mungkin,
Uwais Al-Qarni dengan terpaksa pamit kepada Siti Aisyah ra untuk segera pulang kembali ke
Yaman, dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi saw. Setelah itu, Uwais Al-Qarni pun segera
berangkat mengayunkan langkahnya dengan perasaan amat haru.

Peperangan telah usai dan Nabi saw pulang menuju Madinah. Sesampainya di rumah, Nabi
saw menanyakan kepada Siti Aisyah ra tentang orang yang mencarinya. Nabi mengatakan bahwa
Uwais Al-Qarni anak yang taat kepada ibunya, adalah penghuni langit. Mendengar perkataan Nabi
saw, Siti Aisyah ra dan para sahabat tertegun. Menurut keterangan Siti Aisyah ra, memang benar
ada yang mencari Nabi saw dan segera pulang kembali ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan
sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama. Nabi Muhammad saw
melanjutkan keterangannya tentang Uwais Al-Qarni, penghuni langit itu, kepada para sahabatnya.,
“Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia, perhatikanlah ia mempunyai tanda putih ditengah talapak
tangannya.”

Sesudah itu Nabi saw memandang kepada Ali ra dan Umar ra seraya berkata, “suatu ketika
apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah doa dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit, bukan
orang bumi.” Waktu terus berganti, dan Nabi saw kemudian wafat. Kekhalifahan Abu Bakar pun
telah digantikan pula oleh Umar bin Khatab. Suatu ketika, khalifah Umar teringat akan sabda Nabi
saw tentang Uwais Al-Qarni, penghuni langit. Beliau segera mengingatkan kembali sabda Nabi saw
itu kepada sahabat Ali bin Abi Thalib ra. Sejak saat itu setiap ada kafilah yang datang dari Yaman,
Khalifah Umar ra dan Ali ra selalu menanyakan tentang Uwais Al Qarni, si fakir yang tak punya
apa-apa itu, yang kerjanya hanya menggembalakan domba dan unta setiap hari? Mengapa khalifah
Umar ra dan sahabat Nabi, Ali ra, selalu menanyakan dia?

Rombongan kalifah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan
mereka. Suatu ketika, Uwais Al-Qarni turut bersama mereka. Rombongan kalifah itu pun tiba di
kota Madinah. Melihat ada rombongan kalifah yang baru datang dari Yaman, segera khalifah Umar
ra dan Ali ra mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais Al-Qarni turut bersama mereka.
Rombongan kafilah itu mengatakan bahwa Uwais Al-Qarni ada bersama mereka, dia sedang
menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, khalifah Umar ra dan Ali ra
segera pergi menjumpai Uwais Al-Qarni.

Sesampainya di kemah tempat Uwais berada, khalifah Umar ra dan Ali ra memberi salam.
Tapi rupanya Uwais sedang shalat. Setelah mengakhiri shalatnya dengan salam, Uwais menjawab
salam khalifah Umar ra dan Ali ra sambil mendekati kedua sahabat Nabi saw ini dan mengulurkan
tangannya untuk bersalaman. Sewaktu berjabatan, Khalifah Umar ra dengan segera membalikkan
tangan Uwais, untuk membuktikan kebenaran tanda putih yang berada di telapak tangan Uwais,
seperti yang pernah dikatakan oleh Nabi saw. Memang benar! Tampaklah tanda putih di telapak
tangan Uwais Al-Qarni.

Wajah Uwais Al-Qarni tampak bercahaya. Benarlah seperti sabda Nabi saw bahwa dia itu
adalah penghuni langit. Khalifah Umar ra dan Ali ra menanyakan namanya, dan dijawab,
“Abdullah.” Mendengar jawaban Uwais, mereka tertawa dan mengatakan, “Kami juga Abdullah,
yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya?” Uwais kemudian berkata, “Nama
saya Uwais Al-Qarni”.

Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais Al-Qarni telah meninggal
dunia. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu. Akhirnya,
Khalifah Umar dan Ali ra memohon agar Uwais membacakan do’a dan istighfar untuk mereka.
Uwais enggan dan dia berkata kepada Khalifah, “saya lah yang harus meminta do’a pada kalian.”

Mendengar perkataan Uwais, khalifah berkata, “Kami datang kesini untuk mohon doa dan
istighfar dari anda.” Seperti yang dikatakan Rasulullah sebelum wafatnya. Karena desakan kedua
sahabat ini, Uwais Al-Qarni akhirnya mengangkat tangan, berdoa dan membacakan istighfar.
Setelah itu Khalifah Umar ra berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal kepada
Uwais untuk jaminan hidupnya. Segera saja Uwais menampik dengan berkata, “Hamba mohon
supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir
ini tidak diketahui orang lagi.”

Fenomena Ketika Uwais Al-Qarni Wafat

Beberapa tahun kemudian, Uwais Al-Qarni berpulang ke rahmatullah. Anehnya, pada saat
dia akan dimandikan, tiba-tiba sudah banyak orang yang berebutan untuk memandikannya. Dan
ketika dibawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana pun sudah ada orang-orang yang
menunggu untuk mengkafaninya. Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali kuburannya,
disana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan
dibawa menuju ke pekuburan, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk mengusungnya.

Meninggalnya Uwais Al-Qarni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak


terjadi hal-hal yang amat mengherankan. Sedemikian banyaknya orang yang tak kenal berdatangan
untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais Al-Qarni adalah seorang fakir yang
tidak dihiraukan orang. Sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam
kubur, disitu selalu ada orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu.

Penduduk kota Yaman tercengang. Mereka saling bertanya-tanya, “siapakah sebenarnya engkau
wahai Uwais Al-Qarni? bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir, yang tak memiliki
apa-apa, yang kerjanya sehari-hari hanyalah sebagai penggembala domba dan unta? Tapi, ketika
hari wafatmu, engkau menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing
yang tidak pernah kami kenal. Mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya
mereka adalah para malaikat yang diturunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan
pemakamanmu.”

Berita meninggalnya Uwais Al-Qarni dan keanehan-keanehan yang terjadi ketika wafatnya
telah tersebar ke mana-mana. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya, siapa sebenarnya
Uwais Al-Qarni. Selama ini tidak ada orang yang mengetahui siapa sebenarnya Uwais Al-Qarni
disebabkan permintaan Uwais Al-Qarni sendiri kepada Khalifah Umar ra dan Ali ra, agar
merahasiakan tentang dia. Barulah di hari wafatnya mereka mendengar sebagaimana yang telah
disabdakan oleh Nabi saw, bahwa Uwais Al-Qarni adalah penghuni langit.
KISAH SEORANG ANAK YANG BERBAKTI KEPADA ORANG TUA

Pada suatu hari saat aku sedang bertugas di sebuah klinik didalam rumah sakit ditempat
kota ku tinggal, datanglah pasien yang merupakan seorang wanita yang sudah lanjut usia bersama
anak lelakinya yang berumur sekitar 30 tahun itu kedalam klinik tempatku bertugas. Saat saya
memperhatikan pasien beserta anak lelakinya tersebut, saya melihat bahwa si anak lelakinya ini
memberikan perhatian yang ekstra kepada ibunya ini. Ia memegang tangan ibunya, kemudian ia
merapihkan pakaian ibunya dan memberikan ibunya makan serta minum.
Setelah saya berbincang bersama anaknya mengenai masalah kesehatan ibunya dan saya
pun meminta ibunya untuk diperiksa. Setelah di periksa, aku bertanya kepada anak lelakinya
mengenaik kondisi akal si ibu yang menurutku agak terlihat dan terasa janggal. Setelah saya
bertanya, anak lelakinya itu pun menjawab, “Dia adalah ibuku, dok. Ibuku memiliki penyakit
keterbelakangan mental sejak aku dilahirkan.” Ketika mendengar hal tersebut, rasa ingin tahuku
pun semakin bertambah. Akupun kembali menanyakan beberapa hal kepada anak lelakinya itu,
“Lalu, siapa yang merawatnya selama ini?” Dan anaknya itu langsung menjawab, “Aku yang
merawatnya dokter.”
Mendengar hal tersebut aku merasa takjub dan juga terkejut, melihat seorang anak yang
sangat berbakti kepada orangtua. Aku pun kembali mengajukan pertanyaan kepada anak itu, “Dan
selama ini, siapakah yang memandikan dan mencuci pakaian ibumu?” Kemudian pemuda tersebut
pun menjawab, “Aku menyuruh ibuku masuk ke kamar mandi untuk mandi sendiri. Aku
menunggunya di luar pintu kamar mandi hingga ibuku selesai mandi. Setelah ia selesai mandi, aku
memberikannya baju untuk dipakai. Pakaian kotor bekas ibuku pakai kemudia aku kumpulkan dan
aku masukkan kedalam mesin cuci untukku cuci. Aku membelikan pakaian yang ibu butuhkan.”
Setelah mendengar semua itu akupun akhirnya menanyakan hal – hal lainnya lebih dalam
tentang ibunya itu, “Mengapa kamu tidak mencarikan pembantu yang bisa mengurus ibumu?”
Anaknya tersebut lalu menjawab, “Tidak dokter, pembantu tidak pernah memperhatikannya
dengan baik. pembantu juga tidak bisa benar – benar memahaminya. Aku merasa khawatir dengan
ibu, jadi aku memutuskan supaya aku yang merawat ibuku langsung. Karena ibuku itu seperti anak
kecil. Ia tidak bisa melakukan hal – hal yang biasa dilakukan oleh orang dewasa normal lainnya.
Dan akulah yang sangat memahami dan mengerti ibuku. Karena aku sudah mengurus ibuku hampir
20tahun lamanya.”
Mendengar semua itu, rasanya tenggorokan ku sakit. Tak kuat aku menahan haru
mendengar kisah dan perlakuannya kepada ibunya itu. Sungguh benar – benar anak yang berbakti
kepada orangtua. Akupun kembali mengajukan pertanyaan kepada anaknya itu, “Apakah sekarang
kamu sudah menikah?”, “Alhamdulillah dok, saya telah menikah dan juga memiliki dua orang
anak” jawabnya kepada ku. Aku pun bertanya lagi, “Berarti selama ini, istrimu juga membantu mu
untuk mengurus ibu mu?” Lalu anak itu menjawab, “Iya dok, istriku membantu ku semampunya
karena aku juga tidak ingin memaksakannya. Istriku yang memasak dan menyuapi ibu ku untuk
makan. Ibuku sangat menyukai masakan istriku, dan ibuku juga sangat senang disuapi oleh istriku.
Aku juga telah mendatangkan pembantu untuk membantu pekerjaan lain yang seharusnya istriku
lakukan. Namun, aku selalu berusaha supaya aku bisa makan bersama dengan ibuku. Karena aku
harus memperhatikan kadar gula yang ibuku makan. Karena, sudah dari dulu ibuku mengidap
penyakit Diabetes. Oleh karena itu aku harus selalu memperhatikannya agar ibuku tetap sehat. Aku
selalu bersyukur kepada Allah SWT karena aku dikelilingi oleh orang – orang yang menyayangiku
dan juga ibuku. Allah SWT memang sangat baik.”
Mendengar semua itu aku semakin takjub dengan anak yang berbakti kepada orangtua ini
beserta dengan istrinya. Saat aku memandang ke arah si ibu, aku tak sengaja melihat betapa rapih
dan bersihnya kuku si ibu ini. Saat itu aku bertanya kembali kepada si anak, “Lalu siapakah yang
memtong kuku ibumu ini? Aku melihat kukunya sangat rapih bersih dan terawat.” Kemudian si
anak menjawab, “Aku dokter. Aku melakukannya karena ibuku tidak bisa melakukan apa – apa.
Hanya itu yang bisa ku lakukan untuk membuat kukunya bersih.”
Saat kami sedang mengobrol, tiba – tiba sang ibu memandang ke arah anaknya itu dan
bertanya kepada anaknya, “Kapan engkau akan membelikan aku kentang? Aku sangat ingin makan
ketang. Aku lapar.” Tanya ibu tersebut kepada anaknya. Dan anaknya pun segera menjawab
permintaan ibunya itu, “Tenanglah ibu, setelah semua ini selesai kita akan pergi ketempat makanan
yang menjual kentang yang ibu inginkan. Ibu jangankhawatir, ya? Aku pasti akan membelikan ibu
kentang.” Setelah mendengar hal tersebut ibunya pun terlihat kegirangan bahagia sambil melompat
– lompat. Setelah itu, si anak menatap ku dan berkata kepadaku, “Dok, demi Allah… Saat aku
melihat ibuku bahagia seperti itu aku sangat bahagia sekali. Bahagianya melebihi ketika aku
melihat anak – anakku bahagia. Ibuku adalah orang paling berharga yang melahirkan ku kedunia
ini dengan mempertaruhkan nyawanya.”
Akupun merasa iba dan tersentuh mendengar perkataan dari si anak yang berbakti kepada
orangtua tersebut. Rasa tangis yang ku tahan ini adalas tangis haruku melihat mereka dan anaknya
yang penuh kasih dan sayang itu. Setelah itu, aku pun kembali melihat –lihat berkas rekam medis
ibunya tersebut memastikan bahwa semua nya telah aku tuliskan dengan lengkap. Rasa
penasaranku pun kembali datang. Aku bertanya lagi kepada anak itu, “Apakah kamu memiliki
kakak atau adik?”, “Tidak. Aku tidak memiliki kakak maupun adik, aku adalah putra semata
wayang. Ibu ku diceraikan ayahku sebulan setelah mereka menikah. Hingga sekarang akupun tidak
tahu siapa ayahku yang sebenarnya.” “Jadi selama ini kamu di rawat oleh ayahmu?”, tanyaku lagi
kepadanya. Ia pun menjawab, “Tidak. Selama ini aku dirawat oleh nenekku. Dan nenekku juga
yang merawat ibuku ketika aku masih kecil dulu. Namun nenek telah meninggal. Tapi aku yakin
Allah SWT telah bersaama nenek di surga, karena kebaikan nenek yang tak terhingga. Nenek
meninggal saat usiaku 10 tahun.”
Dan ketikaaku bertanya apakah ibunya merawatnya ketika ia sakit, iapun menjawabt tidak.
Karena memang ibunya benar – benar tidak bisa melakukan dan tidak mengerti apapun. Setelah
itu, aku menulis resep obat untuk ibunya itu. akupun menjelaskan tentang obat dan cara
penggunaan obat tersebut. Setelah aku selesai menjelaskan semuanya, si anak tadi kemudian
memegang tangan ibunya tersebut sambil tersenyum dan berkata kepadanya, “Mari ibu, sekarang
kita sudah selesai. Ayo kita pergi untuk membeli kentang yang ibu inginkan itu. Terimakasih juga
aku ucapkan karena ibu telah mau sabar menunggu.” Namun tak diduga ibunya malah menjawab
seperti ini, “Tidaaakk.. Aku sudah tidak menginginkan kentang. Sekarang aku inginnya pergi ke
Mekkah. Ayo kita ke Mekkah”. Akupun heran dengan jawaban ibunya itu, dan aku bertanya
kepada ibunya itu, “Mengapa ibu ingin pergi ke Mekkah? Apa yang membuat ibu ingin pergi
kesana?” Lalu ibunya itupun menjawab pertanyaanku dengan riang gembira, “Supaya aku bisa
terbang di udara. Supaya aku bisa menaiki pesawat. Aku ingin naik pesawat. Ayo kita pergi ke
Mekkah.” Mendengar hal tersebut, akupun kembali bertanya kepada anaknya itu, “Apakah kamu
benar – benar akan membawa ibumu ke Mekkah?” Lalu anaknya itupun menjawab, “Iya, tentu
saja aku akan membawanya. Aku akan mengusahakannya supaya ibuku bisa pergi kesana akhir
bulan ini.”
Akupun mengatakan bahwa sebenarnya dalam agama tidak ada kewajiban umrah bagi
ibuya dan aku bertanya mengapa ia tetap akan membawa ibunya tersebut untuk umrah. Anaknya
itupun menjawab pernyataan dan pertanyaanku sambil tersenyum, “Memang tidak diwajibkan.
Namun mungkin kebahagiaan yang aku rasakan ketika aku membawa ibuku pergi ke Mekkah
merupakan kebahagiaan yang luar biasa bagi hidupku. Dan mungkin itu juga akan membuat pahala
ku lebih besar daripada aku umrah dengan tidak membawa ibuku bersama ku.” Setelah menjawab
pertanyaan terkahir dari ku anak itu pun berterimakasih kepadaku dan kemudian ia bersama ibunya
bergegas meninggalkan klinik tempat ku praktik. Setelah itu, aku meminta kepada perawatku
untuk meninggalkan ku sendiri diruangan dengan alasan karena aku lelah dan aku ingin
beristirahat. Namun sebenarnya itu hanyalah alasanku saja, karena aku tak ingin perawat melihatku
menangis. Perawat pun akhirnya meninggalkan ku sendiri diruangan. Saat perawat itu pergi, tak
kuasa aku menahan airmata ku. Ketika itu pipiku terasa basah di banjiri oleh air mata haruku
melihat seorang anak yang sungguh – sungguh berbakti kepada orangtua itu. Akupun menangis
sejadi – jadinya aku mengeluarkan seluruh perasaan yang ku rasakan didalam hatiku ini. Aku pun
berkata kepada diriku sendiri, “Begitu berbakti kepada orangtua anak itu. Ia sangat berbakti kepada
ibunya, ibunya yang tidak pernah sepenuhnya menjadi ibu yang sesungguhnya seperti ibu – ibu
normal lainnya. Namun kasih sayang yang dimiliki aka itu untuk ibunya sungguh tidak terbatas.
Sungguh benar – benar anak yang sangat berbakti kepada orangtua. Semoga Allah SWT selalu
memberikan anak yang berbakti kepada orangtua tersebut kesehatan, rezeki, serta kebahagiaan
agar anak yang berbakti kepada orang tua tersebut bisa memberikan semua yang ia miliki kepada
ibunya itu.”
Ibunya yang mengandung dan melihairkan anak itu, namun tak pernah sekalipun ibunya
itu merawatnya, menggendongnya dengan enuh kasih sayang, mengurusnya ketika ia sakit,
mengajarinya membaca menuulis, berjalan, menghitung, berbicara, dan tidak pernah melakukan
hal yang seharusnya seorang ibu lakukan kepada anaknya. Namun anaknya itu adalah sebuah
anugrah yang paling berharga yang ibu nya lahir kan kedunia ini. Pemberian luar biasa dari Allah
SWT kepada sang ibu yang memiliki keterbelakangan mental seperti itu.
KISAH ANAK BERBAKTI KEPADA ORANG TUA
Mentari besinar diufuk barat petanda telah terbentang semua harapan yang ingin di
capai,membentuk sebuah bola kehidupan dan kebahagiaan,
Di sebuah desa terpencil,tinggallah seseorang anak yang berusia 10 tahun yang bernama andi
dengan ibunya yang sudah tua,sehari-hari hanya membantu ibunya bekerja sebagai pembuat
tempe,ayah andi meninggal sejak andi berusia 5 tahun,kepergian ayahnya sungguh membuat
mereka semakin terpuruk perekonomiannya,
Saat subuh menjelang, suara ayam berkokok mereka sudah mulai bekerja sebagai pembuat
tempe,penghasilan mereka hanya bisa menghidupi makan sehari-hari itupun bila ada rejeki,tpi andi
tidak seperti temen lainnya yang menghabiskan waktu hanya untuk bermain,ia lebihh suka bekerja
membantu ibunya,
Meskipun banyak temen menghinannya ia tak hiraukan,anggap mereka sebagai angin berlalu
karena dia sadar kalu bukan sekarang kapan lagi,sesekali ia merenung,karena ia ingin sekali
bersekolah seperti yang lainnya,ia tak berani untuk berkata pada ibunya,tpi apalah daya dia sadar
bagaimana perekonomiannya sehari-hari,tetapi dia tetap bersyukur atas rezky yang ia dapatkan
bersama ibunya,walapun tak seberapa,ia tak ingin membuat ibunya lebih susah lagi karena dia,
Suatu ketika ibunya bertanya"mengapa kamu tak mau sekolah nak?"
"saya mau bantu ibu saja" jawab andi,
ibunya hanya terdiam melihat anakny yang sungguh peduli dan sayang pada dirinya kemana ia
pergi dialah yang selalu membantu,ia tak mau kehilangan orang yang satu-satunya harta ia miliki
meninggalkannya,
Pada suatu hari ibunya jatuh sakit tidak bisa berjalan hanya bisa berbaring ditempat tidur,andi
merasa sangat sedih karena tidak mau kehilanggannya,
setiap shalat ia selalu berdoa kepada tuhan agar cepat disembuhkan ia tak mau kehilangan orang
yang paling berharga di dunia lagi,karena mereka satu-satunya yang dia miliki,
Tapi tuhan berkehendak lain takdir tidak bisa dihindari,ibu yang sudah tua telah diambil nyawanya
pada yang maha kuasa,ia sangat terpukul atas kepergian ibunya,
hingga pada akhirnya ada seseorang yang ingin merawat andi dari keluarga kaya,tpi ia
menolaknya,ia masih blum bisa melupakan kepergian ibunya,
Namun akhirnya ia mau dirawat oleh saudagar kaya dan baik itu,karna ia tak punya siapa-siapa
lagi,akan tetapi ia masih ingat akan pesan ibunya untuk menjalani hidup.....
Anak Yang Berbakti kepada orang tuanya

Cerita tentang anak yang berbakti kepada orang tuanya


Suatu hari ada anak bernama Sholeh, dia tinggal berdua saja dengan Ibunya yang sudah tua, karena
Ayahnya telah meninggal dunia ketika ia berusia 2 tahun akibat sakit tumor.
Dalam kehidupannya ia selalu membantu Ibunya dalam melakukan sesuatu. Dia tidak pernah
mengeluh dalam hidupnya yang serba kekurangan. Dia tidak seperti anak-anak yang lain, dia lebih
suka menghabiskan waktunya untuk membantu ibunya. Suatu ketika dia sedang mencari kayu
bakar dihutan, diperjalanan dia bertemu dengan teman, kemudian temannya mengejek dia “Sholeh
itu Ibumu?”(tanya temannya). “Iya ini adalah Ibuku”(jawab Sholeh). “Jelek sekali Ibumu Leh,
seperti pengemis”(hina temannya). “Biarkan saja walaupun seperti ini dia tetap Ibu kandungku,
yang telah merawatku”(jawab Sholeh dengan tegas). “Dasar orang miskin, kerjaannya hanya
mencari kayu bakar saja”(hina temannya lagi). Kemudian Ibunya berbicara kepada Sholeh,
“Biarkan nak, jangan kau ladeni, keadaan kita memang seperti ini. Biarkan Allah yang
membalasnya”(nasihat Ibunya). Kemudian mereka berdua pulang ke rumah dengan membawa
kayu bakar. Sesampainya dirumah, Ibunya kemudian memasak makanan untuk makan siangnya.
Waktu sudah menginjak Dzhuhur, Sholeh pun pergi ke Masjid untuk melaksanakan sholat.
Setelah sholat, dia langsung mengaji sampai waktu ashar. Setelah dia selesai mengaji, dia pun
langsung melaksanakan sholat ashar, setelah sholat ia mendo’akan kedua orang tuanya. Setelah
berdo’a, ia pulang ke rumah dengan mengucapkan salam, “Assalamualaikum”(ucap Sholeh).
“Waalaikumsalam, kamu sudah pulang nak?”(tanya Ibu). “Iya bu”(jawab Sholeh). “Kamu pasti
lapar?”(tanya ibu). “Iya bu, aku sudah lapar”(jawab Sholeh). “Ya sudah makan saja dulu, ibu sudah
masak makanan kesukaanmu”(perintah ibu). Sholeh pun makan dengan lahap. 2 jam kemudian,
datang waktu maghrib. Sholeh pun bergegas berangkat ke masjid. Ibunya berbicara didalam hati,
“Ya Allah terima kasih atas karunia yang telah kau berikan kepadaku, karunia yang ternilai
harganya, berupa anak sholeh”(do’a ibu sambil meneteskan air mata). Tidak disangka ketika
ibunya sedang sholat maghrib, pada saat posisi sujud, seketika nyawa sudah hilang dari tubuhnya.
Tak lama kemudian Sholeh pun pulang dengan mengucap salam. “Assalamualaikum”(ucap
Sholeh). Kemudian Sholeh bingung, “Ko tidak ada yang menjawab salam?, apa ibu sudah tidur?.
Ah masa jam segini ibu sudah tidur , kan biasanya sedang sholat”(Sholeh bingung).
Akhirnya dia pun langsung masuk ke dalam rumah menemui ibunya dikamar. Saat itu Ibunya
sedang sujud dalam sholatnya, “Benarkan ku bilang, ibu pasti sedang sholat”(kata Sholeh). Sholeh
tidak tahu bahwa ibunya sudah tiada. Dia pun berangkat lagi ke masjid untuk mengaji qur’an
sampai waktu isya. Setelah selesai mengaji dan sholat, ia pulang ke rumah. Sesampainya dirumah,
dia mengucapkan salam, “Assalamualaikum”(ucap Sholeh). Sama seperti waktu maghrib, tidak
ada jawab dari dalam. Sholeh pun begegas masuk ke dalam. Kemudian dia berkata ”Pantas saja
tidak ada jawaban, ibu sedang sholat”(dengan wajah tersenyum). Kemudian dia pergi kekamarnya
untuk istirahat. 8 jam kemudian datang waktu shubuh, ia membangunkan ibunya. Tetapi ibunya
masih dalam posisi sujud. Ia kira ibunya sedang sholat, padahal ibunya sudah tidak ada. Sholeh
pun langsung berangkat ke masjid untuk melaksanakan sholat. Setelah sholat, ia pulang ke rumah.
Sesampainya dirumah ia mengucapkan salam. “Assalamualaikum”(ucap Sholeh). Tidak ada
jawaban, lalu dia masuk kedalam. Ia melihat ibunya masih sholat. Dia pun bingung dengan
keadaan ibunya yang sedang sholat. “Aku rasa, padahal setelah aku bangun tidur, ibu sedang
sholat, dan ketika aku mau pergi ke masjid, ibu masih belum selesai sholatnya”(Sholeh bingung).
“Aku tunggu saja sampai ibu selesai sholat di kamarnya”(kata Sholeh). Bermenit-menit sampai
berjam-jam. Ibunya tak kunjung bangun dari sujudnya, akhirnya Sholeh membangunkan ibunya.
“Bu, bangun bu, ibu kenapa?”(sambil menangis). Akhirnya dia pergi untuk meminta pertolongan.
Kemudian Sholeh bertemu dengan Pak Ustadz, Pak Ustadz bertanya “Ada apa Leh, sepertinya
kamu sedang kebingungan?”(tanya Pak Ustadz). “Iya Pak Ustadz, saya sedang mencari
pertolongan”(jawab Sholeh dengan sedih). “Memangnya ada apa?”(tanya Pak Ustadz). “Tidak
tahu Pak Ustadz, kan ketika saya tadi bangun tidur pada waktu shubuh, saya mau membangunkan
ibu saya, tapi ibu saya sedang sholat, dan ketika saya pulang dari masjid, dia pun masih sedang
sholat dalam posisi sujud”(jawab Sholeh sambil kebingungan dan sedih). “Ya sudah, kita kerumah
kamu”(ajak Pak Ustadz). Sesampainya dirumah Sholeh, Pak Ustadz langsung membangunkan ibu
Sholeh. “Bu, bangun bu”. Ibunya tak kunjung bangun, kemudian Pak Ustadz menggulingkannya
ke arah utara. Dengan terkejut, Pak Ustadz mengucapkan Innalillahi Wa Inna Ilaihi
Roji’un.Kemudian Sholeh langsung mengeluarkan air mata, tanda kesedihan atas kepergian
Ibunya. Pak Ustadz pun mencoba menyabarkan hati Sholeh, “Kamu harus sabar ya, ini memang
sudah keputusan Allah, kamu harus mengikhlaskan kepergian ibu kamu”(nasihat Pak Ustadz).
Kemudian Pak Ustadz menyuruh warga untuk mengumumkan di masjid atas meninggalnya ibu
Sholeh. Warga pun mulai mendatangi rumah Sholeh untuk Takziah. Setelah semua proses
pengurusan mayat selesai, mayat pun mulai untuk di kuburkan. Dengan perasaan yang sedih,
Sholeh tak kuasa menahan kesedihan atas meninggalnya ibunda tercinta. Setelah proses
pemakaman selesai, Pak Ustadz berbicara kepada Sholeh, “Sekarang kamu sudah tinggal seorang
diri, bagaimana kalau kamu tinggal dengan Pak Ustadz?”(ajak Pak Ustadz). “Apakah saya tidak
merepotkan Pak Ustadz?”(tanya Sholeh sambil mengeluarkan air mata). ”Tidak, kamu boleh
tinggal dirumah Pak Ustadz selama kamu, dan sekarang kamu menjadi anak angkat Pak
Ustadz”(ucap Pak Ustadz). “Terima kasih banyak ya Pak Ustadz, Pak Ustadz memang orang yang
baik”(terima kasih Sholeh kepada Pak Ustadz). “Iya sama-sama”(jawab Pak Ustadz).
Sungguh kasihannya, seorang anak yang masih berusia 9 tahun harus sudah di tinggal wafat kedua
orang tuanya, padahal pada usia tersebut, seorang anak harus mendapatkan kasih sayang yang
lebih dari Ibu Bapaknya.
KISAH SEORANG MURID YANG PATUH KEPADA GURU

Dahulu di sebuah pesantren ada seorang santri yang bodoh tetapi dia sangatlah taat kepada
gurunya. akhirnya pada suatu ketika cincin Bu Nyai jatuh kedalam wc, akhirnya si santri tersebut
di suruh mencarinya dan si santri langsung mencari cincin itu sampai ketemu.

akhirnya pada usatu hari Kiyai dari santri tersebut berpergian dan sebelum Kiyai pergi, Kiyai
berpesan kepada sang santri agar sang santri menggantikan Kiyai mengajar santri yang lainnya,
akhirnya sang santri langsung menjalankan apa yang diperintahkan oleh Kiyai. akhirnya sang
santri masuk kelas untuk mengajar santri-santri lainya, sang santri pun langsung membuka kitab
dan langsung membaca bismillah dan ketika setelah membaca bismillah sang santri terdiam karna
dia tidak bisa membaca dan tidak tahu apa yang akan di terangkannya pada santri-santri. akhirnya
sang santri tersebut di sorakin,ditertawakan dan sebagainya oleh para santri.
akhirnya kerena malu,grogi dan sebagainya sang santri langsung pergi ke kamar dan langsung
tidur. dan didalam tidurnya dia bermimpi bertemu sang Kyai, akhirnya sang santri terbangun dan
langsung membuka kitab yang akan diajarkannya. akhirnya dia kembali ke kelas untuk mengajar
kitab yang sebelumnya, akhirnya dia membuka kitab dan membaca bismillah dan dia pun langsung
bisa membaca dan menerangkan isi kitab tersebut seperti orang yang sudah terbiasa membaca dan
menerangkan kitab.
KISAH SEORANG MURID YANG PATUH KEPADA GURU
Pada suatu zaman ada seorang murid yang ta’at kepada gurunya, setelah ia belajar lama ia
pun kembali ke kampung asalnya, tahun demi tahun ia lalui yang akhirnya beliau menjadi seorang
yang alim yang terkenal di kampung itu dan di juluki “Syekh Maulana Kendi”. Kenapa beliau di
juluki Maulana Kendi?, karena beliau tidak lepas dengan kendi tersebut untuk mengambil air
wudhu dan untuk beliau minum airnya, keta’atan ibadahnya sehingga beliau tidak memiliki harta
apapaun, kecuali gubuk kecil yang beliau tempati bersama seorang muridnya yang beliau sayangi.
Keta’atan dan ketaqwaannya menjadikan contoh untuk muridnya yang selalu mendampinginya
sehingga muridnya pun menjunjung tinggi ahlak dan kebesaran ilmunya.
Pada suatu saat Syekh Kendi menceritakan tentang gurunya yang berada dinegeri seberang
dan akhirnya menyuruh muridnya untuk menemuinya, keesokan harinya sang murid berangkat
kenegeri seberang dan sampailah didepan gerbang guru besar Syekh Kendi, maka murid Syekh
Kendi bertanya : “Apakah ini rumah guru besar Syekh Kendi?”, rumah yang bagaikan istana yang
luas, penjaga yang begitu banyak membuat keraguan murid Syekh Kendi, seraya dihati berkata :
“Guruku Syekh Kendi miskin tak punya apa-apa sedangkan guru besarnya seperti ini”. Bertambah
keanehannya di kala melihat didalam istananya bangku-bangku emas dan mahkota emas dan
begitu gemerlapan emas yang ada di dalam rumahnya.
Dan akhirnya berjumpalah murid Syekh Kendi dengan guru besarnya yang bernama Syekh
Sulaiman (Guru dari Syekh Kendi), tiba-tiba beliau berkata : “Apakah engkau murid Syekh Kendi
murid dari pada kesayanganku?” benar wahai guru besar (Guru Sulaiman), beri kabar kepada
muridku agar dia lebih zuhud lagi didunia dan salamkan ini kepadanya, kebingungan bertambah,
guruku yang miskin di suruh tambah miskin lagi menurut kata hatinya, dan pertanyaan ini
membuat bingung dan akhirnya keesokan harinya dia pulang menuju rumah Syekh Kendi gurunya
dan membawa pertanyaan yang membingungkan, setibanya dia dirumah Syekh Kendi dengan
gembira Syekh Kendi menyambut kedatangannya seraya bertanya : “Apa kabar yang kau bawa
dari guruku tercinta?” muridnya menceritakan : “Wahai guruku aku diberi kabar agar engkau lebih
zuhud lagi hidup didunia.”, tiba-tiba Syekh Kendi menangis, menangis dan menangis lalu
mengambil kendinya dan memecahkannya seraya berkata : “Benar guruku, benar guruku”.
Ketahuilah wahai muridku kemewahan dan keindahan Syekh Sulaiman guruku tak sedikitpun
masuk kedalam hatinya, sedangkan aku selalu mencari-cari kendiku dan aku takut kehilangannya,
ini yang menyebabkan aku kurang zuhud kepada Allah SWT, karena masih ada dihatiku dunia.
Murid yang taat dan patuh

Pada suatu zaman ada seorang murid yang ta’at kepada gurunya, setelah ia belajar lama ia
pun kembali ke kampung asalnya, tahun demi tahun ia lalui yang akhirnya beliau menjadi seorang
yang alim yang terkenal di kampung itu dan di juluki “Syekh Maulana Kendi”. Kenapa beliau di
juluki Maulana Kendi?, karena beliau tidak lepas dengan kendi tersebut untuk mengambil air
wudhu dan untuk beliau minum airnya, keta’atan ibadahnya sehingga beliau tidak memiliki harta
apapaun, kecuali gubuk kecil yang beliau tempati bersama seorang muridnya yang beliau sayangi.
Keta’atan dan ketaqwaannya menjadikan contoh untuk muridnya yang selalu mendampinginya
sehingga muridnya pun menjunjung tinggi ahlak dan kebesaran ilmunya.

Pada suatu saat Syekh Kendi menceritakan tentang gurunya yang berada dinegeri seberang
dan akhirnya menyuruh muridnya untuk menemuinya, keesokan harinya sang murid berangkat
kenegeri seberang dan sampailah didepan gerbang guru besar Syekh Kendi, maka murid Syekh
Kendi bertanya : “Apakah ini rumah guru besar Syekh Kendi?”, rumah yang bagaikan istana yang
luas, penjaga yang begitu banyak membuat keraguan murid Syekh Kendi, seraya dihati berkata :
“Guruku Syekh Kendi miskin tak punya apa-apa sedangkan guru besarnya seperti ini”. Bertambah
keanehannya di kala melihat didalam istananya bangku-bangku emas dan mahkota emas dan
begitu gemerlapan emas yang ada di dalam rumahnya.

Dan akhirnya berjumpalah murid Syekh Kendi dengan guru besarnya yang bernama Syekh
Sulaiman (Guru dari Syekh Kendi), tiba-tiba beliau berkata : “Apakah engkau murid Syekh Kendi
murid dari pada kesayanganku?” benar wahai guru besar (Guru Sulaiman), beri kabar kepada
muridku agar dia lebih zuhud lagi didunia dan salamkan ini kepadanya, kebingungan bertambah,
guruku yang miskin di suruh tambah miskin lagi menurut kata hatinya, dan pertanyaan ini
membuat bingung dan akhirnya keesokan harinya dia pulang menuju rumah Syekh Kendi gurunya
dan membawa pertanyaan yang membingungkan, setibanya dia dirumah Syekh Kendi dengan
gembira Syekh Kendi menyambut kedatangannya seraya bertanya : “Apa kabar yang kau bawa
dari guruku tercinta?” muridnya menceritakan : “Wahai guruku aku diberi kabar agar engkau lebih
zuhud lagi hidup didunia.”, tiba-tiba Syekh Kendi menangis, menangis dan menangis lalu
mengambil kendinya dan memecahkannya seraya berkata : “Benar guruku, benar guruku”.
Ketahuilah wahai muridku kemewahan dan keindahan Syekh Sulaiman guruku tak sedikitpun
masuk kedalam hatinya, sedangkan aku selalu mencari-cari kendiku dan aku takut kehilangannya,
ini yang menyebabkan aku kurang zuhud kepada Allah SWT, karena masih ada dihatiku dunia.
Kisah Seorang Guru Dan Dua Orang Muridnya

Alkisah di sebuah pesantren di suatu negeri hidup seorang guru silat yang sangat bijak, dan sudah
sangat tua. Ia mempunyai dua murid yang masing-masing memiliki tingkat ibadah, ketulusan,
kejujuran, kesalehan, keseriusan, semangat, dan keuletan belajar silat yang sama. Untuk
mewariskan pesantren dan perguruannya, ia harus memilih yang terbaik dari keduanya.
Pertandingan di antara mereka pun dilakukan. Namun, beberapa kali dilakukan pertandingan,
musabaqah, adu kepandaian dan adu kekuatan selalu berakhir dengan seimbang. Mereka ternyata
mampu menyerap ilmu yang sama dari sang guru. Selain itu, keduanya juga sering berlatih
bersama-sama sehingga masing-masing sudah mengetahui kelebihan dan kekurangannya. Untuk
mengetahui mana di antara mereka yang lebih baik dan lebih cerdik, gurutersebut terpaksa
menggunakan cara lain.
Suatu tengah malam seusai shalat, guru tersebut memanggil kedua muridnya dan memberi mereka
tugas,"Besok pagi ba'da subuh kalian pergilah ke hutan mencari ranting pohon. Siapa yang pulang
dengan hasil yang terbanyak, dialah yang keluar sebagai pemenang, dan berhak mewarisi
pesantren dan perguruan ini" Sambil menarik napas panjang sang guru memperhatikan kedua
muridnya yang sedang mendengarkan dengan serius kemudian ia melanjutkan, "Waktu yang
tersedia untuk kalian adalah jam lima pagi sampai jam lima sore." Kemudian guru tersebut
mengambil sesuatu dari bawah meja dan berkata,"Ini adalah dua bilah parang yang dapat kalian
gunakan, ada pertanyaan?"
Karena merasa tugas yang diembankan kepada mereka mudah, mereka pun serempak
menjawab,"Tidak.""Baiklah kalau begitu, sekarang, kalian cepatlah beristirahat dan besok bangun
lebih pagi," Nasihat sang guru.
Mendapat tugas yang baru ini, di benak murid yang pertama langsung terbayang bahwa keesokan
harinya ia harus bangun lebih awal, harus bekerja lebih keras dan lebih serius karena waktunya
terbatas. Ia terlalu terfokus pada waktu, yakni harus berangkat jam5 tepat , tidak boleh kurang satu
detik pun dan pulang jam 5 sore , tidak boleh lebih. Setelah yakin dengan waktunya, ia pun pergi
tidur.
Dengan tugas yang sama, murid kedua lebih terfokus pada pekerjaan yang harus dilakukannya. Ia
langsung memeriksa parang yang disediakan oleh gurunya, dan ternyata parang tersebut adalah
parang tua yang sudah tumpul.
Maka, ia pun memutuskan, besok sebelum berangkat ia akan mencari batu asah untuk mengasah
parangnya agar menjadi tajam dan siap digunakan. Dengan parang yang lebih tajam, hasil yang
sama dapat diperoleh dengan upaya yang lebih sedikit, pikirnya.
Tantangan kedua yang terbayang di benaknya adalah bagaimana cara membawa ranting pohon
lebih banyak secara efisien dan efektif ? Sementara temannya sudah tertidur lelap, ia bermunjat
dan berdoa kepada Allah, meminta agar dimudahkan segala urusannya sambil memikirkan cara
terbaik untuk membawa ranting dengan jumlah lebih banyak. Setelah berpikir cukup lama dan
mempertimbangkan berbagai kemungkinan, ia memutuskanuntuk menyiapkan tali pengikat dan
tongkat pikulan sebelum berangkat keesokan harinya.
Dengan memikul ranting menggunakan tongkat pikulan. Paling tidak, ia bisa membawa dua ikat
besar ranting-satu di depan dan satu lagi dibelakang , itu berarti dua kali lipat lebih banyak
dibandingkan memanggulnya.Dengan perasaan puas, ia shalat malam lalu pergi tidur.
Keesokan harinya, murid pertama yang sudah berencana akan bekerja keras, bangun tepat waktu
dan langsung berangkat ke hutan. Sementara itu, murid kedua masih asyik berdzikir dan membaca
Al-Qur'an. Tepat jam enam pagi, murid kedua bergagas. Sesuai rencana, ia segera mencari batu
asah dan mengasah parangnyasampai benar-benar tajam.Kemudian ia mencari tali dan tongkat
pikulan. Setelahsemua perlengkapan siap, ia segera berangkat ke hutan, jam menunjukkan
pukultujuh lebih.
Ketika jam menunjukkan pukul satu siang, murid kedua sudah berhasil mengumpulkan ranting
cukup banyak. Ia segera mengikatnya menjadi dua dan memikulnya pulang. Sesampainya di
pesantren, diserahkannya ranting-rantingtersebut kepada gurunya. Ia berhasil mendapat banyak
ranting dan pulang lebih cepat.
Sementara itu, murid pertama, karena tidak mengasah parangnya, harus menggunakan waktu dan
energi yang lebih besar untuk memotong ranting pohon.Dengan demikian ia juga memerlukan
waktu yang lebih banyak untuk beristirahat karena kelelahan. Belum waktu yang ia gunakan untuk
mencari tali pengikat. Selain itu, dengan caranya membawa ranting kayu yang dipanggul di
pundaknya, jumlah yang bisa dibawanya juga terbatas.
Kisah Murid yang hormat pada gurunya.

Salah satu rahasia seorang murid bisa berhasil mendapatkan ilmu dari gurunya adalah taat
dan hormat kepada gurunya. Guru adalah orang yang punya ilmu. Sedangkan murid adalah orang
yang mendapatkan ilmu dari sang guru. Seorang murid harus berbakti kepada gurunya. Dia tidak
boleh membantah apalagi menentang perintah sang guru (kecuali jika gurunya mengajarkan ajaran
yang tercela dan bertentangan dengan syariat Islam maka sang murid wajib tidak menurutinya).
Kalau titah guru baik, murid tidak boleh membantahnya.
Inilah yang dilakukan Kyai Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdlatul ‘Ulama). Beliau nyantri
kepada Kyai Kholil, Bangkalan. Di pondok milik Kyai Kholil, Kyai Hasyim dididik akhlaknya.
Saban hari, Kyai Hasyim disuruh gurunya angon (merawat) sapi dan kambing. Kyai Hasyim
disuruh membersihkan kandang dan mencari rumput. Ilmu yang diberikan Kyai Kholil kepada
muridnya itu memang bukan ilmu teoretis, melainkan ilmu pragmatis. Langsung penerapan.
Sebagai murid, Kyai Hasyim tidak pernah ngersulo (mengeluh) disuruh gurunya angon
sapi dan kambing. Beliau terima titah gurunya itu sebagai khidmat (penghormatan) kepada guru.
Beliau sadar bahwa ilmu dari gunya akan berhasil diperoleh apabila sang guru ridlo kepada
muridnya. Inilah yang dicari Kyai Hasyim, yakni keridoan guru. Beliau tidak hanya berhadap ilmu
teoretis dari Kyai Kholil tapi lebih dari itu, yang diinginkan adalah berkah dari Kyai Kholil.
Kalau anak santri sekarang dimodel seperti ini, mungkin tidak tahan dan langsung keluar
dari pondok. Anak santri sekarang kan lebih mengutamakan mencari ilmu teoretis. Mencari ilmu
fikih, ilmu hadits, ilmu nahwu shorof, dan sebagainya. Sementara ilmu “akhlak” terapannya malah
kurang diperhatikan.
Suatu hari, seperti biasa Kyai Hasyim setelah memasukkan sapi dan kambing ke
kandangnya, Kyai Hasyim langsung mandi dan sholat Ashar. Sebelum sempat mandi, Kyai
Hasyim melihat gurunya, Kyai Kholil termenung sendiri. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di
hati sang guru. Maka diberanikanlah oleh Kyai Hasyim untuk bertanya kepada Kyai Kholil.
“Ada apa gerangan wahai guru kok kelihatan sedih,” tanya Kyai Hasyim kepada Kyai Kholil.
“Bagaimana tidak sedih, wahai muridku. Cincin pemberian istriku jatuh di kamar mandi. Lalu
masuk ke lubang pembuangan akhir (septictank),” jawab Kyai Kholil dengan nada sedih.
Mendengar jawaban sang guru, Kyai Hasyim segera meminta ijin untuk membantu
mencarikan cincin yang jatuh itu dan diijini. Langsung saja Kyai Hasyim masuk ke kamar mandi
dan membongkar septictank (kakus). Bisa dibayangkan, namanya kakus dalamnya bagaimana dan
isinya apa saja. Namun Kyai Hasyim karena hormat dan sayangnya kepada guru tidak pikir
panjang.
Beliau langsung masuk ke septictank itu dan dikeluarkan isinya. Setelah dikuras
seluruhnya, dan badan Kyai Hasyim penuh dengan kotoran, akhirnya cincin milik gurunya berhasil
ditemukan.
Betapa riangnya sang guru melihat muridnya telah berhasil mencarikan cincinnya itu.
Sampai terucap doa: “Aku ridho padamu wahai Hasyim, Kudoakan dengan pengabdianmu dan
ketulusanmu, derajatmu ditinggikan. Engkau akan menjadi orang besar, tokoh panutan, dan semua
orang cinta padamu”.
Demikianlah doa yang keluar dari Kyai Kholil. Karena yang berdoa seorang wali, ya
mustajab. Tiada yang memungkiri bahwa di kemudian hari, Kyai Hasyim menjadi ulama besar.
Mengapa bisa begitu? Disamping karena Kyai Hasyim adalah pribadi pilihan, beliau mendapat
“berkah” dari gurunya karena gurunya ridho kepadanya.
Sumber: “Kisah Wali” Media Ummat edisi 30 Minggu I Bulan Oktober 2007 halaman 23.

Anda mungkin juga menyukai