Anda di halaman 1dari 24

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN TN.T DENGAN DIAGNOSA BPH DAN TINDAKAN TURP DI


INSTALASI BEDAH SENTRAL

RSD. DR SOEBANDI

MAKALAH INI DISUSUN SEBAGAI TUGAS PRAKTIK PELATIHAN BASIC


SKILL COURSE OPERATING ROOM NURSES 2019

Disusun Oleh :
Deddy Yuliansyah, S.KEP.,NS
Resa Novana Djauwardani, Amd. Kep

RSUD DR. SOEBANDI JEMBER


PESERTA LATIH BASIC SCRUB OPERATING ROOM
ANGKATAN 20

2019-2020
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Hiperplasia prostatis benigna (BPH) adalah pembesaran prostat yang

mengenai uretra, menyebabkan gejala urinaria (Nursalam, M & Batticaca, 2011).

Seiring dengan bertambahnya umur, maka akan terjadi perubahan

keseimbangan testosteron dan estrogen karena produksi testoteron menurun dan

akan terjadi konversi testosteron menjadi esterogen pada jaringan adiposa di perifer.

Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat

dittemukan pada umur 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus

berkembang, akan terjadi perubahan patologik anatomik. Pada laki-laki umur 50

tahun, angka kejadiannya sekitar 50% dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar

50% dari angka tersebut di atas akan menyebabkan gejala dan tanda klinis. Karena

proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahandan efek dari

perubahannya juga terjadi perlahan-lahan (Sjamsuhidajat, R & Jong, 2004).

Di wilayah Amerika Serikat, terdapat lebih dari setengah (50%) pada jenis

kelamin laki-laki berusia 60-70 tahun yang mengalami gejala-gejala Benigna Prostat

Hiperplasi (BPH) dan antara usia 70-90 tahun sebanyak 90% mengalami gejala-

gejala Benigna Prostat Hiperplasi (BPH). Hasil riset mengatakan bahwa laki-laki

yang hidup di daerah pedesaan sangat rendah terkenan Benigna Prostat Hiperplasi

(BPH) dibandingkan dengan laki-laki yang hidup di daerah perkotaan. Ini terkait

dengan gaya hidup seseorang. Laki-laki yang bergaya hidup modern cenderung

lebih besar terkena Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) dibandingkan dengan laki-laki

di daerah pedesaan (Suharyanto, 2009).


Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) terjadi pada usia yang semakin tua (>45

tahun) dimana saat keadaan fungsi testis menurun. Penurunan yang diakibatkan

oleh fungsi testis ini menyebabkan ketidakseimbangan hormon testosteron dan

dehidrotesteosteron sehingga memicu pertumbuhan atau pembesaran prostat.

(Rendi, M. Clevo, 2012).

Karakteristik pasien Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) pada penelitian

yang dilaksanakan di RS Bhayangkara Mataram pada bulan April sampai dengan

Juni 2015 untuk usia terbanyak ada pada kelompok usai 61-70 tahun (38,2 %)

dengan rata-rata usia 65,75. Usia paling muda yaitu 46 tahun dan usia paling tua

adalah 86 tahun (Mahendrakrisna et al., 2016).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Instalasi Rekam Medik

RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado selama periode Januari 2014 hingga Juli

2017, didapatkan 61 pasien dengan diagnosis utama Benigna Prostat Hiperplasi

(BPH) tetapi data pasien yang tersedia dan lengkap hanya 39 kasus. Dari tahun

2014-2017 jumlah kasus paling tertinggi yaitu tahun 2016 dengan pasien 15

(38,46%) dan terendah pada tahun 2015 dengan 3 pasien (7,69%). Menurut hasil

studi pendahuluan kabupaten Gianyar berada di wilayah keduan setelah kabupaten

Tabanan yang memiliki kejadiah BPH tertinggi yaitu 30% dari 284 pasien pada

tahun 2015 dan tahun 2016 jumlah kasus BPH di RSUD Sanjiwani Gianyar

sebanyak 200 kasus.

Penyebab terjadinya kasus BPH sampai saat ini belum diketahui pasti,

namun beberapa hipotesis mengatakan bahwa BPH erat berkaitan dengan

peningkatan kadar dihidrotesteron (DHT) dan proses aging (penuaan) (Purnomo,

2003).

2
Pembesaran prostat mengakibatkan rangsangan pada kandung kemih atau

vesika, maka dari itu vesika sering berkontraksi walaupun belum penuh.

Meskipun vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga pada

akhir dari miksi akan dietmukan sisa urin di dalam kandung kemih. Karena sering

terdapat sisa urin, akibatnya terbentuk bantu endapan di dalam kandung kemih

atau Vesicolithhiasis (Sjamsuhidajat, R & Jong, 2004). Jika sumbatan urin parah,

maka akan dilakukan pembedahan Transurethral Reseksi Prostatectomy (TURP)

(Corwin, 2009). Transurethral Reseksi Prostatectomy (TURP) merupakan

prosedur yang paling umum dan dapat dilakukan melalui endoskopi (Price, A.

Syilvia, 2005). Transurethral Reseksi Prostatectomy (TURP) merupakan suatu

pembedahan yang dilakukan pada BPH dan mempunyai tingkat keberhasilan 80-

90%. (Suharyanto, 2009).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Peters, dkk (2010) Angka

kejadian nyeri setelah operasi dalam sampel 1490 klien rawat inap bedah,

didapatkan hasil nyeri sedang atau berat, dilaporkan 41% klien pada hari 0, 30%

pada hari 1 dan 19%, 16% dan 14% pada hari 2,3 dan 4. Nyeri adalah salah satu

keluhan yang terjadi pada pasien setelah mengalami tindakan pembedahan.

Pembedahan adalah peristiwa yang bersifat bifasik terhadap tubuh manusia yang

berimplikasi pada pengelolaan nyeri (Potter & Perry, 2006).

3
4
B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan asuhan keperawatan pada

Post Transurethral Resection of The Prostate (TURP) Benigna Prostat

Hiperplasia (BPH) dengan nyeri akut di Instalasi Bedah Sentralqq RSUD

Soebandi Jember .

2. Tujuan Khusus

1. Mampu mengidentifikasi hasil pengkajian pada pasien post Transurethral

Resection of The Prostate (TURP) Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)

dengan nyeri akut.

2. Mampu mengidentifikasi hasil diagnose keperawatan yang dirumuskan

pada pasien post Transurethral Resection of The Prostate (TURP) Benigna

Prostat Hiperplasia (BPH) dengan nyeri akut.

3. Mampu mengidentifikasi hasil intervensi keperawatan yang dirumuskan

pada pasien post Transurethral Resection of The Prostate (TURP) Benigna

Prostat Hiperplasia (BPH) dengan masalah keperawatan nyeri akut.

4. Mampu mengidentifikasi hasil implementasi keperawatan yang

dirumuskan pada pasien post Transurethral Resection of The Prostate

(TURP) Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) dengan nyeri akut.

5. Mampu mengidentifikasi hasil evaluasi asuhan keperawatan pada pasien

post Transurethral Resection of The Prostate (TURP) Benigna Prostat

Hiperplasia (BPH) dengan nyeri akut.

5
BAB 2
KONSEP TEORI
BENIGNA PROSTATE HYPERPLASI (BPH)
A. Definisi
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh
penuaan. Price&Wilson (2005) .BPH adalah suatu keadaan dimana prostat
mengalami pembesaran memanjang keatas kedalam kandung kemih dan
menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra. (Smeltzer dan Bare,
2002)
Menurut Doenges (1999) dan Engram (1998) untuk mengatasi BPH, tindakan
infasif medikal yang sering digunakan oleh Rumah Sakit adalah prostatektomy,
yaitu tindakan pembedahan bagian prostat (sebagian/seluruh) yang memotong
uretra bertujuan untuk memperbaiki aliran urin dan menghilangkan retensi urinaria
akut.
Kesimpulan BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang
disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran
memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara
menutupi orifisium uretra. Prostatektomy merupakan tindakan pembedahan bagian
prostate (sebagian/seluruh) yang memotong uretra, bertujuan untuk memeperbaiki
aliran urin dan menghilangkan retensi urinaria akut.
B. Etiologi
Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti
penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa
hiperplasi prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron
(DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab
timbulnya hiperplasi prostat adalah :
1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada
usia lanjut
2. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu pertumbuhan
stroma kelenjar prostat
3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati
4. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem
sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat
menjadi berlebihan.
6
Pada umumnya dikemukakan beberapa teori :
- Teori Sel Stem, sel baru biasanya tumbuh dari sel stem. Oleh karena suatu sebab
seperti faktor usia, gangguan keseimbangan hormon atau faktor pencetus lain.
Maka sel stem dapat berproliferasi dengan cepat, sehingga terjadi hiperplasi
kelenjar periuretral.
- Teori kedua adalah teori Reawekering (Neal, 1978) menyebutkan bahwa
jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat embriologi sehingga
jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya.
- Teori lain adalah teori keseimbangan hormonal yang menyebutkan bahwa
dengan bertambahnya umur menyebabkan terjadinya produksi testosteron dan
terjadinya konversi testosteron menjadi estrogen. (Kahardjo, 1995).
C. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu
obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi
dengan cukup lama dan kuat sehingga mengakibatkan: pancaran miksi melemah,
rasa tidak puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy),
harus mengejan (straining) kencing terputus-putus (intermittency), dan waktu miksi
memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena overflow.
Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran
prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun
belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor dengan tanda dan
gejala antara lain: sering miksi (frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari
(nokturia), perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi
(disuria) (Mansjoer, 2000).
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium :
1. Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai
habis.
2. Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun
tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa tidak enak BAK
atau disuria dan menjadi nokturia.
3. Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
4. Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes
secara periodik (over flow inkontinen).
7
Menurut Brunner and Suddarth (2002) menyebutkan bahwa :
Manifestasi dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan
ingin berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine yang turun dan
harus mengejan saat berkemih, aliran urine tak lancar, dribbing (urine terus menerus
setelah berkemih), retensi urine akut.
Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini :
1. Rectal Gradding
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
a. Grade 0 : Penonjolan prostate 0-1 cm ke dalam rektum.
b. Grade 1 : Penonjolan prostate 1-2 cm ke dalam rektum.
c. Grade 2 : Penonjolan prostate 2-3 cm ke dalam rektum.
d. Grade 3 : Penonjolan prostate 3-4 cm ke dalam rektum.
e. Grade 4 : Penonjolan prostate 4-5 cm ke dalam rektum.
2. Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh kencing
dahulu kemudian dipasang kateter.
a. Normal : Tidak ada sisa
b. Grade I : sisa 0-50 cc
c. Grade II : sisa 50-150 cc
d. Grade III : sisa > 150 cc
e. Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing

D. Patofisiologi

8
E. Komplikasi
1. Perdarahan
2. Inkotinensia
3. Batu kandung kemih
4. Retensi urine
5. Impotensi
6. Epididimitis 9
7. Haemorhoid, hernia, prolaps rectum akibat mengedan
8. Infeksi saluran kemih disebabkan karena catheterisasi
9. Hydronefrosis
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadargula
digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan klien.
b. Pemeriksaan urin lengkap dan kultur.
c. PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa sebagai
kewaspadaan adanya keganasan.
2. Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin.
Secaraobyektif pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan
penilaian :
a. Flow rate maksimal > 15 ml / dtk = non obstruktif.
b. Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line.
c. Flow rate maksimal < 10 ml / dtk = obstruktif.
3. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
a. BOF (Buik Overzich ) : Untuk melihat adanya batu dan metastase pada
tulang.
b. USG (Ultrasonografi),
c. IVP (Pyelografi Intravena)
Digunakan untuk melihat fungsi ekskresi ginjal dan adanya
hidronefrosis.
4. Pemeriksaan Panendoskop : untuk mengetahui keadaan uretra dan buli –
buli.
5. Pemeriksaan CT- Scan dan MRI
Computed Tomography Scanning (CT-Scan) dapat memberikan gambaran
adanya pembesaran prostat, sedangkan Magnetic Resonance Imaging (MRI)
dapat memberikan gambaran prostat pada bidang transversal maupun sagital
pada berbagai bidang irisan, namun pameriksaan ini jarang dilakukan karena
mahal biayanya.
6. Pemeriksaan sistografi
Dilakukan apabila pada anamnesis ditemukan hematuria atau pada
pemeriksaan urine ditemukan mikrohematuria. pemeriksaan ini dapat memberi
gambaran kemungkinan tumor di dalam kandung kemih atau sumber perdarahan
1
dari atas apabila darah datang dari muara
0 ureter atau batu radiolusen di dalam
vesica. Selain itu sistoscopi dapat juga memberi keterangan mengenai besar
prostat dengan mengukur panjang urethra pars prostatica dan melihat penonjolan
prostat ke dalam urethra.
G. Penatalaksanaan Medis
Modalitas terapi BPH adalah :
1. Observasi
Yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3 – 6 bulan kemudian setiap
tahun tergantung keadaan klien
2. Medikamentosa
Terapi ini diindikasikan pada BPH dengan keluhan ringan, sedang, dan
berat tanpa disertai penyulit.Obat yang digunakan berasal dari:
phitoterapi (misalnya: Hipoxis rosperi, Serenoa repens, dll), gelombang alfa
blocker dan golongan supresor androgen.
3. Pembedahan
Indikasi pembedahan pada BPH adalah :
a. Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut.
b. Klien dengan residual urin > 100 ml.
c. Klien dengan penyulit.
d. Terapi medikamentosa tidak berhasil.
e. Flowmetri menunjukkan pola obstruktif.
Pembedahan dapat dilakukan dengan :
a. TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui
sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui uretra.
b. Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada kandung
kemih.
c. Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian
bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih.
d. Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi diantara
skrotum dan rektum.
e. Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula seminalis
1
dan jaringan yang berdekatan melalui
1 sebuah insisi pada abdomen bagian
bawah, uretra dianastomosiskan ke leher kandung kemih pada kanker
prostat.
4. Terapi Invasif Minimal
a. Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke
kelenjar prostat melalui antena yang dipasang melalui /pada ujung kateter.
b. Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP)
c. Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)

1
2
BAB 3
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian Fokus
a. Anamnesa
1) Identitas Klien
 nama klien : Tn. Tarno
 tempat tanggal lahir : jember, 02/04/1964
 jenis kelamin : laki-laki
 agama/suku : islam
 pendidikan :-
 pekerjaan : petani
 alamat rumah : jember
2) Keluhan Utama
Pasien mengatakan “sulit dan nyeri saat buang air kecil”
3) Frekuensi berkemih yang meningkat, urine yang masih menetes setelah
berkemih, merasa tidak puas setelah berkemih, sering berkemih pada
malam hari, penurunan kekuatan, dan ukuran pancaran urine, mengedan
saat berkemih, tidak dapat berkemih sama sekali, nyeri saat berkemih,
hematuria, nyeri pinggang, peningkatan suhu tubuh disertai menggigil,
penurunan fungsi seksual, keluhan gastrointestinal seperti nafsu makan
menurun, mual,muntah dan konstipasi.
b. Pemeriksaan Fisik
1. Status Kesehatan Umum
Tanda-tanda vital: TD: 139/76 mmhg, N: 76, S: 36,3 , RR: 18 x/menit
2. Kepala
Normal tidak ada kelainan. Rambut pendek beruban
3. Muka
Bagaimana bentuk normal, tidak terdapat edema,tidak terdapat paralysis
otot muka dan otot rahang.
4. Mata
Mata normal, penglihatan sedikit kabur. Tidak anemis
5. Telinga
Bentuk kedua telinga simetris, terdapat sekret, serumen, pendengaran
klien masih dapat mendengar dengan baik.
6. Hidung
Normal simetris tidak ada sekret,
1 daya penciuman masih baik.
7. Mulut Faring 3
Mulut dan Faring, lembab, gigi tidak utuh, mukosa mulut apakah
terdapat ulkus, karies, karang gigi.
8. Leher
Bentuk leher simetis, tidak terdapat kaku kuduk, kelenjar limfe terjadi
pembesaran atau tidak.
9. Dada
Tidak ada kelainan paru-paru dan jantung.
10. Abdomen
Bentuk abdomen normal tidak membuncit, terdapat nyeri tekan di area
suprapubis
11. Inguinal /Genetalia/ anus
Apakah terdapat hernia, pembesaran kelejar limfe, bagaimana bentuk
penis dan scrotum, apakah terpasang keteter atau tidak, pada anus apakah
terdapat hemoroid, pendarahan pistula maupun tumor, pada klien
vesikollitiasis biasanya dilakukan pemeriksaan rectal toucer untuk
mengetahuan pembesaran prostat dan konsistensinya.
12. Ekstermintas
Apakah pada ekstermitas bawah dan atas terdapat keterbatasan gerak,
nyeri sendi atau edema, bagaimana kekuatan otot dan refleknya.

B. Diagnosa Keperawatan
Pre Operasi
1. Retensi urine berhubungan dengan obstruksi mekanik pembesaran prostat
2. Nyeri Akut b.d. iritasi mukosa ; distensi kandung kemih, kolik ginjal;
infeksi urinaria; terapi radiasi.
3. Risiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan b.d. pasca obstruksi
diuresis dari drainase cepat.
Intra Operasi
4. Ketakutan / ansietas b.d perubahan status kesehatan : kemungkinan
prosedur/ malignansi
Post Operasi
5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
b.d kurang terpapar terhadap informasi, tidak mengenal sumber informasi
C. Intervensi Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan Benigna
Prostate Hyperplasi (BPH), antara lain :
a. Retensi Urin ( Akut/kronik ) b.d. obstruksi mekanik, pembesaran prostat,
dekompensasi otot detrusor, ketidakmampuan kandung kemih untuk
berkontraksi dengan adekuat. 1
4
Data pendukung : Frekuensi, keragu-raguan, ketidakmampuan
mengosongkan kandung kemih dengan lengkap, inkontinensia/menetes,
distensi kandung kemih dan residu urin lebih dari 50 cc.
Hasil yang diharapkan :
Pasien menunjukan :
- Peningkatan pola BAK
- Tidak teraba distensi abdomen
- Menunjukan residu setelah berkemih kurang dari 50 ml, tidak adanya
tetesan/kelebihan aliran.
Intervensi/tindakan:
1) Dorong pasien untuk berkemih tiap 2 – 4 jam atau bila pasien tiba-tiba
merasa untuk berkemih.
Rasional : Meminimalkan terjadinya retensi urin yang berlebihan pada
kandung kemih.
2) Awasi dan catat waktu, jumlah setiap berkemih, perhatikan penurunan
haluaran urin.
Rasional : Untuk mengetahui kemampuan ginjal untuk berfungsi secara
normal
3) Palpasi area supra pubik.
Rasional : Retensi urin dapat diketahui dengan palpasi daerah
suprapubik, yaitu teraba adanya masa pada daerah abdomen bawah.
4) Anjurkan pasien untuk mengintake cairan 3000 ml/hari ( 10 – 15 gelas
perhari.
Rasional : Peningkatan intake cairan dapat mempertahankan perfusi ke
ginjal dan kandung kemih dari pertumbuh bakteri
5) Observasi tanda-tanda vital setiap jam.Awasi terjadinya hipertensi,
edema perifer, perubahan mental.Timbang berat badan setiap hari,ukur
intake dan output cairan setiap hari.
Rasional : Kehilangan fungsi ginjal menyebabkan penurunan eliminasi
cairan dan akumulasi sisa toksik ; dapat berlanjut pada terjadinya gagal
ginjal total.
6) Lakukan kompres hangat atau rendam duduk.
Rasional : Untuk meningkatkan relaksasi otot, menurunkan edema dan
merangsang untuk berkemih.
1
7) Tindakan kateterisasi menggunakan
5 Kateter coude
Rasional : Mengurangi dan mencegah retensi urin. Kateter Coude
diperlukan karena ujungnya lengkung sehingga memudahkan masuknya
selang melalui uretra prostat.
8) Kolaborasi pemberian antispasmodik misalnya oksibutinin klorida
(Ditropan).
Rasional : Menghilangkan spasme kandung kemih sehubungan dengan
iritasi kateter.
9) Memberiakan antibiotik
Rasional : Untuk melawan infeksi.
10) Siapkan untuk drainase urin, misalnya sistostomy.
Rasional : untuk mengalirkan urin selama episode akut dengan azotemia.
11) Lakukan hipertermi transuretral ( pemanasan bagian sentral prostat
dengan memasukan elemen pemanas melalui uretra)
Rasional : Mengecilkan prostat ( 1 - 2 kali/ minggu )
b. Nyeri Akut b.d. iritasi mukosa ; distensi kandung kemih, kolik ginjal; infeksi
urinaria; terapi radiasi.
Data Pendukung :
Keluhan nyeri,penyempitan ureter; perubahan tonus otot, meringis, gelisah,
respon otonomik.
Kriteria evaluasi / hasil yang diharapkan :
Pasien akan :
- Memberitahukan nyeri hilang/ terkontrol
- Tampak rileks
- Istirahat dengan tenang.
Intervensi :
1) Kaji dan catat kualitas, lokasi dan durasi nyeri. Gunakan skala nyeri (0-
10) 0 (tidak ada nyeri) 10 (nyeri yang paling hebat).
2) Jelaskan penyebab rasa sakit dan cara menguranginya
3) Kolaborasi terapi dengan pemberian Analgesik sesuai program.
4) Ajarkan teknik mengatasi rasa nyeri : napas dalam untuk menurunkan
stress dan membantu rilaks otot yang tegang
5) Kompres es pada daerah yang sakit untuk mengurangi nyeri
6) Ciptakan lingkungan yang tenang
c. Risiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan b.d. pasca obstruksi
1
diuresis dari drainase cepat, kandung
6 kemih yang terlalu distensi secara
kronis ; Endokrin, ketidakseimbangan elektrolit ( disfungsi ginjal )
Data pendukung : (Tidak dapat diterapkan ; adanya tanda-tanda dan gejala-
gejala membuat diagnosa aktual ).
Hasil yang diharapkan / kriteria evaluasi :
Pasien akan mempertahankan hidrasi yang adekuat yang dibuktikan dengan
tanda-tanda vital dalam batas normal, pengisian kapiler baik, dan membran
mukosa lembab.
Intervensi / rencana tindakan :
1) Monitor pengeluaran urin tiap jam.
Rasional : Diuresis dapat meneyababkan kekurangan volume cairan,
karena natrium tidak cukup diabsorbsi dalam tubulus ginjal.
2) Monitor tanda-tanda vital : nadi, tekanan darah; evaluasi pengisian
kapiler dan membran mukosa oral
Rasional : untuk mendeteksi terjadinya hipovolemik.
3) Motivasi pasien untuk meningkatkan intake cairan peroral
Rasional : untuk mengimbangi cairan yang keluar akibat diuresis
4) Berikan posisi semi fowler kepala pasien
Rasional : Menurunkan kerja jantung, memudahkan homeostasis
sirkulasi.
5) Berikan cairan IV
Rasional : Menggantikan cairan yang hilang.
d. Ketakutan / ansietas b.d perubahan status kesehatan : kemungkinan prosedur/
malignansi
Data pendukung : Perut tegang
Hasil yang diharapkan :
Rasa takut dan tegang berkurang, pasien tampak rileks.
Intervensi :
1) Selalu bersama – sama dengan pasien bina hubungan saling percaya
Rasional : Menunjukan perhatian dan keinginan untuk membantu
2) Berikan informasi tentang tanda / prosedur dan tes khusus seperti
pemasangan kateter, urin berdarah, iritasi pada kandung kemih.
Rasional : Meningkatkan pemahaman pasien tentang tujuan dari apa
yang dilakukan, sehingga dapat mengurangi rasa takut dan kecemasan
3) Anjurkan kepada pasien untuk mengungkapkan perasaannya kepada
orang terdekat
1
Rasional : mengurangi kecemasan
7
e. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
b.d kurang terpapar terhadap informasi, tidak mengenal sumber informasi
Data pendukung :
Pasien sering bertanya tentang penyakit, pasien tidak melakukan intervensi
sesuai instruksi.
Hasil yang diharapkan / Kriteria evaluasi :
- Pasien akan memahami tentang proses penyakit
- Pasien akan dapat mengidentifikasi tentang tanda dan gejala proses
penyakit
- Pasien akan berpartisipasi dalam program pengobatan.
Tindakan/Intervensi : Pendidikan Kesehatan
1) Berikan informasi tentang penyakit : pengertian,etiologi, tanda dan gejala
penyakit.
2) Berikan informasi kepada pasien bahwa penyakit ini tidak ditularkan
secara seksual atau melalui hubungan seksual.
3) Anjurkan pasien untuk menghindari makanan berbumbu, kopi, alkohol,
mengemudikan dalam waktu yang lama, karena dapat menyebabkan
iritasi dan meningkatkan produksi urin sehingga terjadi distensi otot
bladder.
4) Berikan latihan berkemih kepada pasien post pemasangan kateter.
5) Anjurkan kepada pasien untuk melakukan kunjungan ulang selama 6
bulan sampai 1 tahun.

1
8
BAB 4

TEKNIK INSTRUMENTASI
TURP

A. Definisi

TURP adalah tindakan operasi pengerokan sebagian/ seluruh jaringan prostat


yang terjadi pembesaran sehingga menyebabkan penderita tidak bisa BAK,
dilakukan secara endoskopi dengan menggunakan alat pemotong (cuttingloop).
B. Indikasi
1. Pembedahan prostat
2. Volume prostat kurang dari 60 gr
3. Sumbatan prostat yang tidak bisa diobati dengan terapi obat
C. Tujuan
1. Mengatur alat secara sistematis di meja instrumen.
2. Memperlancar handling instrument.
3. Mempertahankan kesterilan alat – alat instrumen selama operasi.
D. Persiapan
a. Persiapan Alat:
1) Alat On Steril:
 Desinfektan (betadin) 10% pada tempatnya.
 Hypafix.
 Gunting Verban.
 Plat Diatermi endoscopy.
 Mesin Diatermi endoscopy (alat koagulasi + reseksi listrik).
 Meja Operasi.
 Meja Mayo.
 Meja Instrumen.
 Standar Infus.
 Tempat Sampah.
 Lampu operasi.
 Saringan, timba, selang air, ceret.
 Lampu storz (lampu endoscopy/ colid light fontain standar)
 Benower (penopang kaki).
 TV + monitor.
1
2) Alat steril 9
a) Set dasar
 Desinfeksi Klem 1
 Doek Klem 5.
 Krom 1.
b) Set tambahan
 Linen set TUR.
 Handschoen (sesuai ukuran operator).
 Desinfektan bethadin 10%.
 Kasa, deper, cucing, bengkok, korentang pada tempatnya.
c) Alat / set khusus
 Kran air untuk spoel (irrigator).
 Selang irigasi (pipa air dengan luer lock).
 Kabel lampu storz (kabel cahaya fiber optik).
 Kabel ces diathermi endoscopy.
 Sikat steril.
 Jelly k-y.
 Bugie roser 3 biji (no.21, 23, 25).
 Sheath no.27.
 Working elemen yang sudah di set dengan cutting loop no.27
(no.24, 27) beserta optiknya (30°) (0° atau 30°)/ telescope.
 Elix evacuator + balon karet.
 Three way catheter 24 F.
 Urobag.
 Spuit 20 cc.
 Blood set.
 Kamera + kabel.
b. Persiapan Penderita
 Persetujuan operasi.
 Alat-alat dan obat-obatan.
 Meja operasi diposisikan untuk operasi TUR-P meja bagian kaki
ditekuk ke bawah.
 Pasang benower (penopang kaki), posisi tidur lithotomic.
 Pasang plat diathermi endoscopy di bawah kaki penderita,
sambung kabel ke mesin diathermi endoscopy.
 Pasang kotak saringan + selang + timba tempat air di bawah meja
2
operasi. 0
 Siapkan infus PZ pada standar infus.
 Siapkan kran air pada standar infus + isi dengan aqua steril ± 10
liter.
 Siapkan ceret tempat water steril + saringan + timba.
E. Teknik Instrumentasi
1. Perawat instrumen cuci tangan, memakai baju operasi, handschoen steril.
2. Perawat Instrumen memberi + memakaikan baju operasi + handschoen
steril pada operator + asisten yang sudah cuci tangan.
3. Perawat instrumen mengatur instrumen di meja mayo secara sistematis
sesuai kebutuhan.
4. Perawat instrumen memberikan desinfeksi klem + deper betadin 1% untuk
desinfeksi lapangan operasi pada operator. (penis, scrotum, kedua paha,
perut sebatas umbilicus).
5. Perawat instrumen menyiapkan + memberikan doek kecil 3 buah, bensloop
2 buah, doek lubang besar 1 buah, doek klem 4 buah untuk drapping.
6. Perawat instrumen memasang + mengatur kabel lampu storz, selang air
irigasi, kabel diathermi endoscopy, kabel kamera, pasang doek klem dan
disambungkan ke TV, mesin lampu, mesin diathermi endoscopy + kran air
oleh omploop dan memberitahu bahwa instrumen siap.
7. Perawat instrumen memberikan bugie roser dari ukuran terkecil (3buah)/
no.21, 23, 25 dan ujungnya diolesi jelly, kemudian berturut-turut
memberikan obturator + sheath no.27 dimasukkan lewat urethra sampai
masuk ke buli-buli, kemudian obturator dilepas diganti dengan working
element, optik 30° dan cutting loop sesuai dengan ukuran sheath nya.
8. Operator lalu melakukan evaluasi buli-buli apakah ada tumor, batu,
trabekulasi, dan divertikel buli. Selanjutnya dilakukan reseksi prostat
sambil merawat perdarahan.
9. Chips prostat dikeluarkan dengan menggunakan elix evacuator + bahan
karet yang yang sudah diisi dengan cairan water steril (spoel) sampai
bersih,
10. Selanjutnya dilakukan perawatan perdarahan.
11. Perawat instrumen mengambil hasil kerokan (chips) dengan krom dan
dimasukkan dalam cucing untuk di PA (sesuai instruksi dokter).
12. Pemotongan + penghentian perdarahan sudah selesai, perawat instrumen
memberikan three way catheter 24F + jelly, operator memasang
2
menyambung dengan urobag, 1
13. Perawat instrumen memberi balon 40 cc + spoel PZ (sesuai instruksi
dokter).
14. Operator memfixasi catheter secara lurus, agak ditarik pada paha dan
pada gland penis diberi kasa.
15. Perawat instrumen melakukan inventarisasi pada instrumen yang telah
dipakai.
F. Evaluasi
 Spoeling lancar tidak ada sumbatan
 Alat-alat lengkap dan tidak mengalami kerusakan

2
2
DAFTAR PUSTAKA
Pearce, Evelyn C.2008.Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.

Harrison. Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Editor dalam bahasa Inggris : kurt
J.Lessebacher. Et. Al : editor bahasa Indnesia Ahmad H. Asdie. Edisi 13.
Jakarta :EGC. 1999.
Suzanne, C, Smeltzer, Brenda G Bare. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Bruner
and Suddarth. Ali Bahasa Agung Waluyo. ( et,al) Editor bahasa Indonesia :
MonicaEster. Edisi 8 jakarta : EGC,2001
Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2013. Aplikasi Askep Berdasarkan Diagnosa
medis & NANDA NIC NOC. Yogyakarta : Mediaction Publishing

2
3

Anda mungkin juga menyukai