Anda di halaman 1dari 34

ASUHAN KEPERAWATAN PADA AN.

MN DENGAN DIAGNOSA
HIPOSPADIA DAN TINDAKAN CHORDECTOMY DI RUANG INSTALASI
BEDAH SENTRAL RSD DR. SOEBANDI JEMBER

MAKALAH INI DISUSUN SEBAGAI TUGAS PRAKTIK PELATIHAN


BASIC SKILL COURSE OPERATING ROOM NURSES 2019

Disusun Oleh:

Deddy Yuliansyah, S. Kep. Ns


Resa Novana Djauwardani, A.Md. Kep

RSD dr. SOEBANDI JEMBER


PESERTA LATIH BASIC SCRUB OPERATING ROOM
ANGKATAN 20
2019 – 2020

4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hipospadia merupakan kelainan abnormal dari perkembangan uretra anterior
dimana muara dari uretra terletak ektopik pada bagian ventral dari penis proksimal
hingga glans penis. Muara dari uretra dapat pula terletak pada skrotum atau
perineum. Semakin ke proksimal defek uretra maka penis akan semakin mengalami
pemendekan dan membentuk kurvatura yang disebut “chordee”.
Kelainan hipospadia ini terbatas pada uretra anterior. Pemberian estrogen dan
progestin selama kehamilan diduga meningkatkan insidensinya. Jika ada anak yang
hipospadia maka kemungkinan ditemukan 20% anggota keluarga yang lainnya juga
menderita hipospadia. Meskipun ada riwayat familial namun tidak ditemukan ciri
genetik yang spesifik.
Berdasarkan hasil survei, diketahui bahwa hipospadia hanya terjadi pada laki-
laki yang dibawa sejak lahir. Insidensinya 3: 1000 atau 3 dari 1000 kelahiran.
Berdasarkan data yang dicatat oleh Metropolitan Atlanta Congenital Defects
Program (MACDP) dan Birth Defects Monitoring Program (BDMP) insidensi
hipospadia mengalami dua kali peningkatan antara tahun 1970-1990.
Berdasarkan uraian diatas penyusun merasa tertarik untuk mengangkat
permasalahan hipospadia dan menyusun laporan kasus tentang asuhan keperawatan
pada pasien dengan diagnosa hipospadia dan tindakan chordectomy di ruang
Instalasi Bedah Sentral RSD dr. Soebandi Jember.

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Menggambarkan asuhan keperawatan pada pasien dengan diagnosa
diagnosa hipospadia dan tindakan chordectomy di ruang Instalasi Bedah
Sentral RSD dr. Soebandi Jember.
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan dari penulisan laporan ini adalah sebagai berikut:
a. Mampu melakukan pengkajian pada pasien hipospadia

5
b. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan selama memberikan asuhan
keperawatan dengan tepat
c. Mampu merumuskan rencana tindakan selama memberikan asuhan
keperawatan
d. Mampu melakukan rencana tindakan keperawatan
e. Mampu melakukan evaluasi dari asuhan keperawatan yang telah
diberikan.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Hipospadia berasal dari bahasa Yunani yang secara terminologi memiliki dua
arti kata yaitu “hypo” yang berati dibawah dan “spandon” yang berarti lubang.
Hipospadia merupakan kelainan abnormal dari perkembangan uretra anterior
dimana muara dari uretra terletak ektopik pada bagian ventral dari penis proksimal
hingga glans penis. Muara dari uretra dapat pula terletak pada skrotum atau
perineum. Semakin ke proksimal defek uretra maka penis akan semakin
mengalami pemendekan dan membentuk kurvatura yang disebut “chordee”.

B. Anatomi dan fisiologi


Anatomi organ genitalia eksterna maskulina

Gambar 2.1. Anatomi organ genitalia eksterna maskulina

a. Scrotum
Scrotum merupakan kantong yang menonjol keluar dari bagian bawah
dinding anterior abdomen. Scrotum berisi testis, epididimis, dan ujung
bawah funiculus spermaticus.
Dinding scrotum memiliki lapisan
1. Cutis

7
2. Fascia superficialis, musculus dartos (otot polos) menggantikan
panniculus adiposus.
3. Musculus dartos dipersarafi oleh serabut saraf simpatis dan berfungsi
untuk pengerutan kulit di atasnya. Pada saat dingin, tunika dartos akan
mengadakan kontraksi sehingga testis akan mendekati tubuh yang
temperaturnya lebih tinggi sehingga temperatur dalam testis akan sama
dengan temperatur tubuh. Pada saat panas. Tunika dartos mengalami
relaksasi sehingga testis akan menjauhi tubuh, scrotum menjadi turun.
4. Fascia spermatica eksterna, cremasterica dan spermatica interna
5. Fascia spermatica eksterna berasal dari aponeurosis musculus obliquus
eksternus abdominis. Sedangkan musculus obliquus internus abdominis
akan membentuk fascia cremasterica. Fascia spermatica interna berasal
dari fascia transversalis.
6. Tunica vaginalis
7. Terletak dalam fascia spermatica dan meliputi permukaan anterior,
media, dan lateralis masing-masing testis dan merupakan bagian bawah
processus vaginalis dan biasanya sesaat sebelum lahir menutup dan
memisahkan diri dari bagian atas processus vaginalis dan cavitas
peritonealis kemudian kantung tertutup dan diinvaginasi dari belakang
oleh testis.

Aliran limfe
Cairan limfe dari tunica vaginalis akan dialirkan ke nodi lymphoidei
inguinales superficialis.

Vaskularisasi scrotum
1. R. scrotalis anterior
2. A.spermatica externa
3. R. scrotalis posterior

Inervasi
1. Rr. Scrotales anterior

8
2. N pudendus eksterna
3. Rr. Scrotalis posterior
4. N. cutaneus femoris posterior

b. Penis
Penis merupakan organ genetalia laki-laki yang berfungsi sebagai alat
kopulasi. Dibedakan atas pars fixa dan pars libera. Pars fixa terdiri dari
radix penis (crus penis dan bulbus penis). Pars libera atau batang penis
terdiri dari 2 corpora cavernosum penis, 1 corpus cavernosum urethra dan 1
glans penis.
Bagian-bagian penis
1. Radix penis
Dibentuk dari tiga massa jaringan erektil, yaitu bulbus penis dan
crus penis dextra et sinistra. Bulbus penis terletak di garis tengah dan
melekat pada permukaan bawah diaphragma urogenital. Bulbus penis
ditembus oleh urethra dan permukaan luarnya dibungkus oleh musculus
bulbospongiosus.
Masing-masing crus penis melekat pada pinggir arcus pubis dan
diliputi oleh musculus ischiocavernosus pada permukaan luarnya.
Bulbus melanjutkan diri ke depan sebagai corpus penis dan membentuk
corpus spongiosum penis. Di anterior kedua crus saling mendekat dan
di bagian dorsal corpus penis terletak berdampingan membentuk corpus
cavernosum penis.
2. Corpus penis
Terdiri dari tiga jaringan erektil yang diliputi sarung fascia
berbentuk tubular (fascia buck). Jaringan erektil dibentuk dari dua
corpora cavernosa penis yang terletak di dorsal dan satu corpus
spongiosum penis yang terletak pada permukaan ventralnya.
Pada ujung glans penis terdapat celah yang merupakan muara
urethra disebut meatus urethra externus. Preputium penis merupakan
lipatan kulit seperti kerudung yang menutupi glans penis. Preputium

9
dihubungkan dengan glans penis oleh lipatan yang terdapat tepat di
bawah muara urethra dan dinamakan frenulum preputii.

Vaskularisasi
1. Arteri
Corpora cavernosa : a. profunda penis cabang a. pudenda interna
Corpus spongiosum penis : a. bulbi penis cabang a. pudenda interna dan
a. dorsalis penis cabang a. pudenda interna.
2. Vena
Vena bermuara ke vena pudenda interna.
3. Limfe
Cairan limfe dialirkan ke nodi superomedialis dan nodi inguinalis
superfisicales. Struktur profunda penis mengalirkan cairan life ke nodi
iliaci interni.
4. Persarafan
Persarafan berasal dari nervus pudendus dan plexus pelvicus.

C. Klasifikasi
Klasifikasi hipospadia berdasarkan anatomi:
a. Hipospadia anterior : meatus tampak pada bagian inferior dari glans penis
b. Hipospadia coronal : meatus tampak pada alur batang penis
c. Hipospadia distal : meatus tampak pada bagian bawah batang penis

Gambar 2.2. Klasifikasi hipospadia berdasarkan anatomi

10
Klasifikasi hipospadia berdasarkan letak dari meatus uretra:
a. Anterior (60-70%)
- Hipospadia tipe glans
- Hipospadia tipe coronal
b. Middle (10-15%)
- Hipospadia tipe penil
c. Posterior (20%)
- Hipospadia tipe penoscrotal
- Hipospadia tipe perineal

Gambar 2.3. Klasifikasi hipospadia berdasarkan letak meatus uretra

Namun, klasifikasi berdasarkan letak dari meatus uretra tidak cukup


menggambarkan tingkat keparahan dari malformasi. Klasifikasi lain yang praktis
untuk menentukan prosedur operasi adalah berdasarkan tingkat divisi dari korpus
spongiosum.
Pembagian hipospadia berdasarkan kesulitan rekonstruksi:
a. Glandular Hypospadias. Meatus terletak pada glans dibelakang tempat
meatus normal. Meatus tampak ketat namun jarang sekali menyebabkan
obstruksi aliran urine.

11
b. Hypospadias dengan divisi pada distal corpus spongiosum, bisa disertai
sedikit atau tanpa chordee.
c. Hypospadias dengan divisi pada proksimal corpus spongiosum dengan
kelengkungan ventral yang ditandai dengan perkembangan jaringan ventral
yang sedikit, dan kadang-kadang terkait dengan perkembangan asimetris dari
corpora cavernosa. Tipe ini lebih mudah ditangani karena teknik operasi
untuk mengoreksi chordee dan merekonstruksi uretra telah lama
diperkenalkan.
d. Hypospadias cripples. Tipe ini terjadi pada pasien yang telah menjalani
beberapa prosedur operasi namun gagal, dan meninggalkan jaringan parut,
meatus abnormal, striktur, fistula dan gangguan kosmetis dan psikologis.

Tabel 2.1. Klasifikasi Hipospadia

D. Patofisiologi
Hipospadia terjadi karena gangguan perkembangan uretra anterior yang
tidak sempurna, yaitu sepanjang batang penis sampai perineum. Semakin ke arah
proksimal muara meatus uretra, maka semakin besar kemungkinan ventral penis
memendek dan melengkung dengan adanya chordee.

12
Gambar 2.4. Hipospadia

Patofisiologi hipospadia masih belum diketahui dengan pasti, akan tetapi


beberapa teori yang menyatakan tentang penyebab hipospadia antara lain:
a. Faktor genetik
Usia ibu saat melahirkan dapat menjadikan salah satu faktor resiko
terjadinya hipospadia. Berdasarkan penelitian, terdapat korelasi antara usia
ibu yang tua dengan peningkatan kejadian hipospadia.
Berdasarkan penelitian, pada keluarga yang memiliki kelainan
hipospadia, maka risiko hipospadia yang akan terulang pada saudara laki-
laki kurang lebih 7-9%. Jika orangtua kandung laki-laki memiliki
hipospadia, maka risiko yang akan diturunkan kepada anak kandung laki-
laki 12-14%.

b. Faktor hormonal
Faktor hormon androgen atau estrogen sangat berpengaruh terhadap
kejadian hipospadia karena berpengaruh terhadap proses maskulinisasi masa
embrional. Estrogen sangat berperan dalam pembentukan genital eksterna
laki-laki saat embrional. Perubahan kadar estrogen dapat diakibatkan dari
konsumsi kontrasepsi oral dan adanya penurunan hormon androgen.
Penurunan hormon androgen yang dihasilkan oleh testis dan plasenta
akan menyebabkan penurunan produksi dehidrotestosterone (DHT) yang
dipengaruhi oleh 5-α-reduktase. Hormon ini berperan dalam pembentukan

13
phallus (penis) sehingga jika terjadi defisiensi androgen akan menyebabkan
kegagalan perkembangan dan pembentukan urethra dan terjadi hipospadia.

c. Faktor pencemaran limbah industri


Limbah industri berperan sebagai endocrine discrupting chemicals
dengan sifat antiandrogenik, seperti polychlorobiphenyls, dioxin, furan,
peptisida organochlorin, alkilphenol polyethoxsylates dan phtalites.
Adanya kontaminasi lingkungan ini dapat mengintervensi jalur
androgen yang normal dan dapat mengganggu sinyal seluler. Hal ini dapat
diketahui dari beberapa bahan yang sering dikonsumsi oleh manusia yang
banyak mengandung aktivitas estrogen, seperti pada insektisida yang sering
digunakan untuk tanaman, estrogen alami pada tumbuhan, produk-produk
plastik, dan produk farmasi. Selain itu, banyak bahan logam yang digunakan
untuk industry makanan, bagian dalamnya dilapisi oleh bahan plastik yang
mengandung substansi estrogen.

E. Manifestasi klinis
Gejala yang timbul pada kebanyakan penderita hipospadia, biasanya datang
dengan keluhan kesulitan dalam mengatur pancaran urine pada saat berkemih
(miksi). Chordee dapat menyebabkan batang penis melengkung ke ventral yang
dapat mengganggu hubungan seksual. Hipospadia tipe perineal dan penoscrotal
menyebabkan penderita harus miksi dalam posisi duduk, dan hipospadia jenis ini
dapat menyebabkan infertilitas.
Tanda-tanda klinis hipospadia:
a. Lubang orifisium urethra externa tidak berada di ujung glans penis.
b. Preputium tidak ada di bagian bawah penis dan menumpuk di bagian
punggung penis.
c. Biasanya jika penis mengalami kurvatura (melengkung) ketika ereksi, maka
dapat disimpulkan adanya chordee, yaitu jaringan fibrosa yang membentang
hingga ke glans penis.
d. Dapat timbul tanpa chordee, bila letak meatus pada dasar glans penis.

14
F. Penegakan diagnosis
Diagnosis hipospadia biasanya jelas pada pemeriksaan fisik inspeksi.
Kadang-kadang hipospadia dapat didiagnosis pada pemeriksaan ultrasound
prenatal. Jika tidak teridentifikasi sebelum kelahiran, maka biasanya dapat
teridentifikasi pada pemeriksaan setelah bayi lahir.
a. Anamnesis
Ketika pasien pertama kali datang, pertanyaan dibuat mengenai
riwayat obat-obatan di awal kehamilan, riwayat keluarga, arah dan kekuatan
aliran urine dan adanya penyemprotan pada saat buang air kecil.
b. Pemeriksaan fisik
Kelainan hipospadia dapat diketahui segera setelah kelahiran dengan
pemeriksaan inspeksi genital pada bayi baru lahir. Selain pada bayi baru
lahir, diagnosis hipospadia sering dijumpai pada usia anak yang akan
disirkumsisi (7-9 tahun). Jika pasien diketahui memiliki hipospadia, maka
tindakan sirkumsisi tersebut tidak boleh dilakukan karena hal tersebut
merupakan kontraindikasi tindakan sirkumsisi.
Pemeriksaan fisik meliputi kesehatan umum dan perkembangan
pertumbuhan dengan perhatian khusus pada sistem saluran kemih seperti
pembesaran salah satu atau kedua ginjal dan amati adanya cacat lahir
lainnya. Khas pada hipospadia adalah meatus uretra pada bagian ventral dan
perselubungan pada daerah dorsal serta terdapat defisiensi kulit preputium,
dengan atau tanpa chordee.
Derajat hipospadia sering digambarkan sesuai dengan posisi meatus
uretra terhadap penis dan skrotum. Meatus yang berada di wilayah
subcoronal, dekat dengan persimpangan penoscrotal dan setelah koreksi
chordee, meatus surut ke daerah proksimal batang penis memerlukan
rekonstruksi uretra yang luas. Sebaliknya, meatus yang terletak di wilayah
subcoronal yang tidak disertai chordee merupakan hipospadia ringan.

15
c. Pemeriksaan penunjang
Untuk mengatahui hipospadia pada masa kehamilan sangat sulit.
Berbagai sumber menyatakan bahwa hipospadia dapat diketahui segera
setelah kelahiran dengan inspeksi genital pasa bayi baru lahir.
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yaitu
urethtroscopy dan cytoscopy untuk memastikan organ-organ seks internal
terbentuk secara normal. Excretory urography dilakukan untuk mendeteksi
ada tidaknya abnormalitas kongenital pada ginjal dan ureter.

G. Penatalaksanaan
Rekonstrusi phallus (penis) pada hipospadia dapat dilakukan sebelum usia
belajar (± 1,5 bulan - 2 tahun). Terdapat beberapa cara penatalaksanaan
pembedahan untuk merekonstruksi phallus pada hipospadia. Tujuan
penatalaksanaan hipospadia, yaitu untuk memperbaiki kelainan anatomi phallus
dengan keadaan bentuk phallus yang melengkung (kurvatura) karena pengaruh
adanya chordee dan menghasilkan bentuk yang baik secara kosmetik. Aspek
penting lainnya untuk rekonstruksi adalah untuk menghindari penis yang
memendek dan penggunaan kulit yang optimal tanpa menggunakan kulit scrotum
untuk menutup penis.
Tindakan rekonstruksi hipospadia:
a. Chordectomy
Chordectomy adalah melepas chordee untuk memperbaiki fungsi dan
memperbaiki penempilan phallus (penis). Chordectomy memotong uretra
plat distal, meluruskan penis sehingga meatus tertarik lebih proksimal.

Gambar 2.5. Chordectomy

16
b. Urethroplasty
Urethroplasty membuat osteum urethra externa di ujung glans penis
sehingga pancaran urine dan semen bisa lurus ke depan.

Gambar 2.6. Urethroplasty


Chordectomy dan urethroplasty yang dilakukan dalam satu waktu
operasi yang sama (satu tahap) dan bila dilakukan dalam waktu yang
berbeda disebut dua tahap.

Hal yang perlu dipertimbangkan dalam mencapai keberhasilan tindakan


operasi bedah hipospadia:
a. Usia ideal untuk repair hypospadia, yaitu usia 1,5 bulan – 2 tahun (sampai
usia belum sekolah) karena mempertimbangkan faktor psikologis anak
terhadap tindakan operasi dan kelainannya itu sendiri sehingga tahapan
repair hypospadia sudah tercapai sebelum anak sekolah.
b. Tipe hipospadia, besarnya penis, dan ada tidaknya chordee.
c. Tiga tipe hipospadia dan besarnya phallus sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan operasi. Semakin kecil phallus dan semakin ke proksimal tipe
hipospadia semakin sukar teknik operasinya.

17
Beberapa metode operasi yang telah ditemukan:
a. Metode Duplay
Untuk merekonstruksi hipospadia tipe middle.
b. Metode Ombredane
Untuk merekonstruksi hipospadia tipe coronal dan tipe distal.
c. Metode Nove-josserand
Untuk merekonstruksi hipospadia berbagai tipe tapi urethroplastinya
menggunakan skin graft. Namun karena metode ini memiliki banyak
komplikasi seperti stenosis, maka pada saat ini tidak dipergunakan lagi.

Pada semua tindakan operasi bedah hipospadia dilakukan dengan tahapan


sebagai berikut:
a. Eksisi chordee
Teknik untuk tindakan penutupan luka dilakukan dengan
menggunakan preputium yang diambil dari bagian dorsal kulit penis. Tahap
pertama ini dilakukan pada usia 1,5 – 2 tahun. Eksisi chordee bertujuan
untuk meluruskan phallus (penis), akan tetapi meatus masih pada tempatnya
yang abnormal.
b. Urethroplasty
Urethroplasty yang dikerjakan 6 bulan setelah tahap pertama. Teknik
reparasi yang dilakukan oleh dokter bedah plastik adalah teknik modifikasi
uretra. Kelebihan jaringan preputium ditransfer dari dorsum penis ke
permukaan ventral yang berfungsi menutupi uretra baru.

Penatalaksanaan hipospadia berdasarkan klasifikasi


a. Hipospadia anterior
Teknik yang dilipih untuk hipospadia anterior tergantung pada posisi
anatomi dari penis yang hipospadia. Teknik yang paling sering digunakan
adalah MAGPI (meatal advance glansplasty), GAP (glans approximation
procedure), dan metode Mathieu.

18
1) MAGPI (Meatal Advance and Glansplasty Incorporated)

Gambar 2.7. Meatal Advance and Glansplasty Incorporated

Teknik MAGPI dirancang oleh Duckett pada tahun 1981. Teknik ini
akan memberikan hasil yang maksimal jika pasien mengikuti dengan tepat.
Penis dengan hipospadia yang cocok untuk dilakukan MAGPI adalah
dengan jaringan pada punggung dalam glans yang mengalirkan urine baik
dari coronal atau sedikit ke meatus subcoronal.
Teknik MAGPI ini dapat digunakan untuk pasien dengan hipospadia
glanular distal. Setelah penis terlihat lurus pada tes ereksi artifisial, insisi
sirkumsis dilakukan. Skin hook diletakkan pada tepi ujung dari saluran
uretra glanular lalu kemudian ditarik ke arah lateral. Gerakan ini dapat
meningkatkan transverse band dari mukosa yang nantinya akan diinsisi
longitudinal pada garis tengah.
Insisi pada dinding dorsal glanular uretra ini nantinya akan ditutup
dengan jahitan transversal dengan chromic catgut 6-0. Skin hook
ditempatkan pada tepi kulit dari korona pada garis tengah ventral.
Dengan traksi distal, ujung glans ditarik ke depan dan dijahitkan pada
garis tengah dengan jahitan subkutikuler. Epitel glans ditutup dengan
jahitan interrupted. Kelebihan kulit dari prepusium dorsal dapat dijahitkan
untuk penutupan kulit.

19
2) GAP (Glans Approximation Procedure)

Gambar 2.8. Glans Approximation Procedure

Prosedur GAP berlaku pada pasien dengan hipospadia anterior kecil


yang memiliki alur glans luas dan mendalam. Pada pasien ini tidak memiliki
jembatan jaringan kelenjar yang biasanya mngalirkan aliran kemih, seperti
yang terlihat pada pasien yang akan lebih tepat diobati dengan teknik
MAGPI. Dalam teknik GAP, uretra yang berlubang lebar akan dilakukan
tubularisasi primer dengan mnggunakan stent.
3) Insisi tubularisasi urethroplasty

Gambar 2.9. Insisi tubularisasi urethroplasty

Jika alur uretra tidak cukup lebar untuk tubularisasi, seperti pada
teknik GAP, flap pedikel dengan vascularisasi bisa dilakukan. Baru-baru ini
konsep sayatan di kulit uretra dan dilakukannya tubularisasi dan

20
penyembuhan sekunder telah diperkenalkan oleh Snodgrass. Hasil jangka
pendek sangat baik dan prosedur ini memiliki popularitas yang luas. Salah
satu aspek yang menarik adalah adanya celah yang menyerupai meatus,
yang dibuat dengan sayatan pertengahan garis punggung. Baru-baru ini,
teknik ini telah diterapkan untuk bentuk-bentuk hipospadia posterior. Secara
teoritis, ada kekhawatiran tentang kemungkinan stenosis meatus dari
jaringan parut, dimana sering terjadi striktur uretra pada pasien. Pada
hipospadia, pada jaringan dengan suplai darah yang sangat baik dan aliran
pembuluh darah yang besar, tampaknya dapat merespon baik terhadap
sayatan primer dan sekunder pada penyembuhan tanpa meninggalkan bekas
luka.

b. Hipospadia posterior

Gambar 2.11. Teknik Onlay island flap

. Teknik Onlay island flap telah berhasil diuji dengan hasil jangka
panjang yang sangat baik. Tidak membuang kulit uretra pada teknik onlay
island flap telah menyingkirkan striktur anastomosis bagian proksimal dan
telah mengurangi kejadian formasi fistula.

21
H. Komplikasi
Berdasarkan hasil penelitian meta analisis, disimpulkan bahwa rata-rata 5%
komplikasi terjadi pada tipe hipospadia distal dan rata-rata 10% komplikasi terjadi
pada tipe hipospadia proksimal.
Komplikasi yang terjadi setelah rekonstruksi phallus dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain
a. Usia pasien
b. Tipe hipospadia
c. Tahapan operasi yang meliputi ketelitian teknik operasi

Komplikasi awal yang dapat terjadi meliputi


a. Perdarahan
Perdarahan post operasi jarang terjadi dan biasanya dapat dikontrol
dengan balut tekan. Tidak jarang hal ini membutuhkan eksplorasi ulang
untuk mengeluarkan hematoma dan untuk mengidentifikasi dan mengatasi
sumber perdarahan.
b. Infeksi
Infeksi merupakan komplikasi yang cukup jarang dari hipospadia
dengan persiapan kulit dan pemberian antibiotika perioperatif hal ini dapat
dicegah.
c. Edema
d. Nekrosis flap

Komplikasi lanjut yang dapat terjadi


a. Ketidakpuasan kosmetik
Komplikasi ini biasa terjadi hasil dari penjahitan yang irregular,
gumpalan kulit (skin blobs), atau kulit bagian ventral yang berlebihan. Jika
aspek ventral glans pendek dan tidak ada mucosal collar di sekeliling glans,
hasilnya adalah mengecewakan. Namun yang harus diingat sering pasien
dan ahli bedah masing-masing mempunyai tanggapan yang beda tentang
kosmetis.

22
b. Striktur uretra, stenosis uretra
Stenosis atau menyempitnya meatus uretra karena edema atau
hipertropi scar pada tempat anastomosis. Adanya aliran urine yang mengecil
dapat menimbulkan kewaspadaan atas adanya stenosis meatus. Stenosis
meatal lazimnya mudah untuk ditangani dengan melakukan operasi meatal
revision. Namun, stenosis di proksimal adalah paling parah dan cuma bisa
diperbaiki dengan dilatasi uretra, yang mana tidak memungkinkan untuk
dilakukan pada anak.
c. Divertikula uretra
Divertikula uretra dapat juga terbentuk ditandai dengan adanya
pengembangan uretra saat berkemih. Striktur pada distal dapat
mengakibatkan obstruksi aliran dan berakhir pada divertikula uretra.
Divertikula dapat terbentuk walaupun tidak terdapat obstruksi pada bagian
distal. Hal ini dapat terjadi berhubungan dengan adanya graft atau flap pada
operasi hipospadia, yang disangga dari otot maupun subkutan dari jaringan
uretra asal.
d. Fistula uretrokutan
Fistula uretrokutan merupakan masalah utama yang sering muncul
pada operasi hpospadia. Fistula jarang menutup spontan dan dapat
diperbaiki dengan penutupan berlapis dari flap kulit lokal. Fistula yang kecil
dan tidak berhubungan dengan striktur uretra bisa sembuh secara spontan.
Lokasi terjadinya fistula sering di proksimal corona pada sisi lateral. Jika
fistula masih bertahan lebih dari 6 bulan setelah prosedur inisial, salurnya
harus di eksisi, di jahit, dan ditutup dengan beberapa lapis jaringan.
Kombinasi diantara fistula dan stenosis uretra adalah biasa, justru itu
uretroplasti perlu diperiksa secara berterusan sebelum fistula ditutup. Fistula
yang letaknya di belakang corona tidak mudah untuk di tutup dan sering
mengalami rekurensi jika eksisi dan penutupan dengan teknik sederhana
dilakukan.

23
BAB III
KONSEP KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Data subjektif :
a. Identitas
Nama : An. MN
No RM : 000002728xx
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tgl Lahir : 08-03-2012
Alamat : Dusun Langsepan Lumajang
Ruangan : Alamanda
b. Keluhan utama :
Pasien mengatakan takut operasi.
c. Riwayat penyakit :
Keluarga pasien mengatakan dari kecil pasien mengalami kesulitan saat
BAK, sering tercecer karena kencing tidak keluar dari ujung penis.
d. Allergi (alergi):
Pasien megatakan tidak mempunyai riwayat alergi terhadap makanan dan
obat.
e. Medication (pengobatan):
Pasien sudah mendapatkan pengobatan diruangan, RL 1 liter 14 tpm,
Anbacym 450 mg.
f. Past Medical History (riwayat penyakit sebelumnya):
Pasien tidak sedang menderita penyakit tertentu sebelumnya
g. Last Oral Intake (makan terakhir):
Pasien mengatakan telah puasa selama 8 jam.
h. Event Leading Injury (peristiwa sebelum/awal cedera):
-

24
2) Pemeriksaan fisik (B1-B6)
a. B1 (Breathing)
Jalan napas paten, napas reguler, 20 x/menit, suara napas vesikuler, tidak
ada suara napas tambahan dan tidak ada retraksi otot bantu napas.
b. B2 (Blood)
Suhu 36 °C, nadi 100 x/enit, akral hanyat, CRT < 2 detik, SpO2 98%
c. B3 (Brain)
Kesadaran komposmentis, GCS 456
d. B4 (Bladder)
BAK 4 – 5 x/hari, tidak ada nyeri, miksi normal, uretra terletak di bagian
proksimal.
e. B5 (Bowel)
Makan 3 x/hari, tidak ada gangguan masal pencernaan
BAB 1 x/ hari, tidak ada gangguan pada proses defekasi.
f. B6 (Bone)
Rentang gerak sendi normal,
tonus otot
5555 5555
5555 5555

B. Diagnosa Keperawatan
Pre Operasi
1. Cemas berhubungan dengan ancaman status terkini : prosedur pembedahan
Intra Operasi
1. Risiko perdarahan berhubungan dengan trauma, tindakan pembedahan
2. Risiko hipotermia perioperatif berhubungan dengan suhu lingkungan rendah
Post Operasi
1. Nyeri akut berhubungan dengan prosedur operasi
2. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif

25
C. Rencana Keperawatan
No Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
Keperawatan
Pre Operatif
1 Cemas berhubungan Kontrol Kecemasan Enhancement coping
Menurun Cukup Sedang Cukup Meningkat 1. Observasi
dengan ancaman Menurun Meningkat a. Identifikasi situasi yang
status terkini : Intensitas kecemasan 1 2 3 4 5 menimbulkan cemas.
b. Identifikasi pengetahuan pasien
prosedur pembedahan Kemampuan mengenali 1 2 3 4 5
masalah
tentang penyakitnya
Kemampuan 1 2 3 4 5
menggunakan teknik non- 2. Nursing Treatment
farmakologis a. Berikan teknik relaksasi napas
dalam untuk mengurangi rasa
cemas
b. Kontrol lingkungan yang nyaman
3. Health Edukasi
a. Jelaskan tentang penyakit yang
dihadapinya dan prosedur yang
akan dilakukan

4. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgesik
jika perlu
Intra Operatif
1 Risiko perdarahan Tingkat Perdarahan Pencegahan Perdarahan
Menurun Cukup Sedang Cukup Meningkat 1. Observasi
berhubungan dengan Menurun Meningkat a. Monitor tanda dan gejala
Kelembabapan 1 2 3 4 5
trauma, tindakan perdarahan
membran mukosa

26
pembedahan Kelembapan kulit 1 2 3 4 5 b. Monitor nilai
Hemoglobin 1 2 3 4 5 hematokrit/hemoglobin sebelum
Hematokrit 1 2 3 4 5 dan setelah kehilangan darah
Tekanan darah 1 2 3 4 5
c. Monitor tanda-tanda vital

2. Nursing Treatment
a. Pertahankan bed rest selama
perdarahan
b. Batasi tindakan invasif, jika
diperlukan

3. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian obat
pengontrol perdarahan
Kolaborasi pemberian produk darah
2 Risiko hipotermia Termoregulasi Menejemen Hipotermia
Meningkat Cukup Sedang Cukup Menurun 1. Observasi
perioperatif Meningkat Menurun a. Monitor suhu tubuh
Mengigil 1 2 3 4 5
berhubungan dengan b. Identifikasi penyebab hipotermia
Memburuk Cukup Sedang Cukup Membaik
Memburuk Membaik
c. Monitor tanda dan gejala akibat
suhu lingkungan
hipotermia
rendah Suhu tubuh 1 2 3 4 5
Suhu kulit 1 2 3 4 5
2. Nursing Treatment
a. Sediakan lingkungan yang hangat
b. Lakukakan penghangatan pasif
seperti selimut
c. Lakukan penghangatan aktif
eksternal seperti kompres hangat,
selimut hangat
d. Lakukan penghangatan aktif
internal seperti infus hangat,
oksigen hangat, lavase peritoneal

27
dengan cairan hangat.

3. Health Edukasi
Anjurkan makan dan minum hangat
Post Operatif
1 Nyeri akut Kontrol Nyeri Menejemen Nyeri
Menurun Cukup Sedang Cukup Meningkat 1. Observasi
berhubungan dengan Menurun Meningkat a. Identifikasi lokasi, karakteristik,
prosedur operasi Melaporkan nyeri 1 2 3 4 5 durasi, frekuensi, kualitas,
terkontrol
intensitas nyeri
Kemampuan mengenali 1 2 3 4 5
onset nyeri
b. Identifikasi skala nyeri
Kemampuan mengenali 1 2 3 4 5 c. Identifikasi respon nyeri non verbal
penyebab nyeri d. Identifikasi faktor yang
Kemampuan 1 2 3 4 5 memperberat dan memperingan
menggunakan teknik non- nyeri
farmakologis
e. Identifikasi pengetahuan dan
Meningkat Cukup Sedang Cukup Menurun
Meningkat Menurun
kenyakinan tentang nyeri
Keluhan nyeri 1 2 3 4 5
f. Identifikasi pengaruh budaya
terhadap respon nyeri
Tingkat Nyeri g. Identifikasi pengaruh nyeri pada
Meningkat Cukup Sedang Cukup Menurun kualitas hidup
Meningkat Menurun h. Monitor keberhasilan terapi
Keluhan nyeri 1 2 3 4 5 komplementer yang telah diberikan
Meringis 1 2 3 4 5 i. Monitor efek samping penggunaan
Sikap protektif 1 2 3 4 5 analgesik
Kesulitan tidur 1 2 3 4 5
Memburuk Cukup Sedang Cukup Membaik
Memburuk Membaik 2. Nursing Treatment
Frekuensi nadi 1 2 3 4 5 a. Berikan teknik relaksasi napas
dalam untuk mengurangi rasa nyeri
b. Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri seperti

28
suhu ruangan, pencahayaan dan
kebisingan
c. Fasilitasi istirahat dan tidur

3. Health Edukasi
a. Jelaskan penyebab, periode dan
pemicu nyeri
b. Jelaskan strategi meredakan nyeri

4. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian analgesik
jika perlu
2 Risiko infeksi Mobilitas Fisik Dukungan Ambulasi
Menurun Cukup Sedang Cukup Meningkat 1. Observasi
berhubungan dengan Menurun Meningkat a. Identifikasi adanya nyeri atau
prosedur invasif Pergerakan 1 2 3 4 5 keluhan fisik lainnya
ekstremitas
b. Identifikasi toleransi fisik
Kekuatan otot 1 2 3 4 5
Rentang gerak 1 2 3 4 5
melakukan ambulasi
(ROM) c. Monitor frekuensi jantung dan
tekanan darah sebelum melakukan
ambulasi
d. Monitor kondisi umum selama
melakukan ambulasi

2. Nursing Treatment
a. Fasilitasi aktifitas ambulasi dengan
alat bantu
b. Libatkan keluarga untuk membantu
pasien dalam melakukan ambulasi

3. Health Edukasi
a. Jelaskan tujuan dan prosedur

29
ambulasi
b. Ajarkan ambulasi sederhana yang
harus dilakukan

30
D. Evaluasi
1. Setelah dilakukan tindakan keperawatan cemas berkurang.
2. Pasien tidak mengalami perdarahan
3. Pasien tidak mengalami hipotermia.
4. Pasien tidak mengalami infeksi atau tidak terdapat tanda-tanda infeksi pada
pasien.

E. Instrumen Teknik Chordectomy


1. Pengertian
Hipospadia adalah kelainan kongenital saluran kemih yaitu muara uretra
terletak tidak pada ujung penis, namun kearah lebih proksimal di sisi ventral
penis. Tujuan operasi hipospadia untuk membuang korde yang ada dan membuat
tambahan uretra sehingga muaranya berada di ujung gland penis.
2. Indikasi
Dilakukan pada pasien yang memiliki kelainan anatomi, baik bentuk penis
yang bengkok karena pengaruh adanya chordae maupun letak osteum uretra
eksterna.
3. Persiapan
a. Persiapan Pasien
1) Pasien dipersiapkan dalam kondisi bersih dan mengenakan pakaian
khusus masuk kamar operasi.
2) Pasien harus puasa.
3) Pasien telah menandatangani persetujuan tindakan kedokteran.
4) Lepas gigi palsu dan semua perhiasan bila ada.
5) Vital sign dalam batas normal.
6) Pasien dibaringkan di meja operasi dengan posisi supine di meja operasi.
7) Memasang plat diatermi pada tungkai kaki.
b. Persiapan Lingkungan
1) Mengatur dan mengecek fungsi mesin suction, mesin couter, lampu
operasi, meja mayo dan meja instrument.
2) Memasang U- Pad steril dan doek pada meja operasi.
3) Mempersiapkan linen dan instrument steril yang akan dipergunakan.

31
4) Mempersiapkan dan menempatkan tempat sampah medis agar mudah
dijangkau.
5) Mengatur suhu ruangan
c. Persiapan Alat
1) Persiapan meja instrumen
a) Duk lebar : 2 buah
b) Duk kecil : 4 buah
c) Duk kaki : 2 buah
d) Gown : 6 buah
e) Handuk steril : 6 buah
f) Sarung meja mayo : 1 buah
g) Bengkok : 1 buah
h) Cucing : 2 buah
i) Selang suction : 1 buah
j) Kabel couter (monopolar) : 1 buah

2) Persiapan meja mayo


Set Dasar
a) Desinfeksi klem : 1 buah
b) Duk klem : 5 buah
c) Pinset Anatomis : 2 buah
d) Pinset Cirrugis : 2 buah
e) Pinset Anatomis Sedang : 1 buah
f) Gunting Metzemboum Kecil : 1 buah
g) Gunting Kasar/Mayo Kecil : 1 buah
h) Handvad Mess No. 3 : 1 buah
i) Kocher Sedang : 1 buah
j) Nald Voeder Kecil : 1 buah
k) Gunting benang lurus kecil : 1 buah
l) Ujung suction kecil : 1 buah

32
Set Tambahan
a) Retraktor Matahari + kait : 1 set
b) Retraktor Gelpi : 1 buah
c) Busi Dilator no. 8,10,12,14,16,18 : 1 set
d) Gunting Jemson : 1 buah
e) Nelaton no. 8-10 : 1 buah
f) Mosquito : 1 buah
g) Set alat micro : 1 set
h) Bipolar : 1 buah

3) Bahan Habis Pakai


a) Handscoon steril : sesuai kebutuhan
b) Mess no. 15 : 1 buah
c) Cairan NS 0,9% : 1 buah
d) Povidon Iodine 10% : 100cc
e) Underpad steril :4
f) Spuit 10 cc/ 3 cc : 2 buah
g) Benang Monocyn 5-0/6-0 : 3 buah/2 buah
h) Kasa : 30 buah
i) Pen marker biru + penggaris : 1 buah
j) Sofratule :1
k) Hepavix : secukupnya
l) Elastomol : secukupnya
m) Cateter no 8-10 silicon : 1 buah
n) Urobag : 1 buah
o) Proline 4-0 : 1 buah
p) Wing needle no 23 : 1 buah
q) Jelly : 1 buah
r) EMP : 1 buah

33
4. Instrumentasi Tehnik

a. Pasien datang, mengecek kelengkapan pasien


b. Menulis identitas pasien di buku register dan buku kegiatan
c. Bantu memindahkan pasien ke meja operasi
Sign In
d. Mengatur posisi pasien supine untuk dilakukan pembiusan
e. Pasang arde di tungkai kaki sebelah kiri.
f. Mencuci area operasi dengan CHG 4%, keringkan dengan duk steril.
g. Perawat instrument melakukan cuci tangan, memakai gaun operasi, dan
memakai sarung tangan steril.
h. Perawat instrument memakaikan gaun operasi dan sarung tangan steril
kepada tim operasi
i. Antisepsis area operasi dengan povidon iodine 10% dalam cucing yang
berisi deppers dengan menggunakan desinfeksi klem.
j. Melakukan drapping:
- Pasang duk kaki pada kedua kaki
- Pasang duk kecil (underpad steril di bawah scrotum)
- Pasang duk besar pada bagian atas scrotum kemudian fixasi dengan
duk klem di 4 sisi.
k. Dekatkan meja mayo dan meja instrument ke dekat area operasi, pasang
kabel couter, slang suction, ikat dengan kasa lalu fiksasi dengan towel
klem. Pasang canule suction, cek fungsi kelayakan couter dan suction
Time Out
l. Time out dipimpin oleh perawat sirkuler dilanjutkan berdoa yang
dipimpin oleh dokter operator.
m. Berikan busi dilator satu persatu dari yang terkecil sampai yang terbesar
di tambah dengan jelly, untuk dimasukkan ke dalam uretra.
n. Memasang kateter no 10 yang telah di olesi dengan jelly pada pasien.
o. Berikan benang proline 4-0 pada operator, untuk fiksasi/tegel gland penis
lalu jepit dengan mosquito.
p. Asisten operator memasang cateter dan fiksasi ke arah umbilikus.

34
q. Berikan spidol marker pada operator untuk menggambar area yang akan
di insisi.
r. Berikan mess no. 15 kepada operator untuk insisi area operasi.
s. Berikan pinset anatomis dan gunting jemson ke operator, untuk
memotong melingkar kulit luar dengan gunting jemson. Operator
memotong dari kulit, kemudian lapisan corpura cavenosa, pada lapisan
ini terdapat jaringan ikat yang disebut tunica albuginea. Operator
memotong hingga pada tunica albuginea tersebut.
t. Berikan pinset anatomis ke asisten operator untuk membantu operator
memperluas area insisi.
u. Berikan nelaton no 10 untuk fiksasi penis, untuk mengetes ereksi jepit
dengan kocher.
v. Berikan wing needle 23 dan spuit 10 cc + NS untuk melihat chorde uretra
sejauh apakah posisi tegak lurus penis setelah di insisi.
w. Setelah chorde bersih dan ereksi maksimal, operator membentuk dorsal
inlae lateral dan medial dengan dijahit benang monosin 5.0 di tie over
dengan proline 4.0.
Sign Out
x. Perawat sirkuler membacakan sign out (jenis tindakan, kecocokan jumlah
instrumen, kasa, jarum sebelum dan sesudah operasi, label pada
spesimen, permasalahan pada alat dan perhatian khusus pada masa
pemulihan).
y. Berikan nald voeder dan pinset anatomis kepada operator untuk menjahit
lapis demi lapis dari jaringan ikat yang disebut tunica albuginea,
kemudian lapisan corpora cavenosa dengan menggunakan benang
monocyn 6-0 hingga membentuk uretra pada gland penis lalu menjahit
kulit dengan monocyn 5-0.
z. Bersihkan luka dengan kassa basah dan keringkan.
aa. Tutup luka dengan sofratul, di balut dengan kasa dan di balut lagi dengan
elastomul.
bb. Menutup luka ke arah atas dengan plaster hipavix dengan bentuk segitiga
atau menara.

35
cc. Rapikan pasien, bersihkan bagian tubuh pasien dari bekas betadin yang
masih menempel dengan kasa basah dan keringkan.
dd. Pindahkan pasien ke brankart, dorong ke ruang recovery.
ee. Semua instrument didekontaminasi menggunakan larutan enzimatik 50
cc dalam 5 liter air. Rendam selama 15 menit lalu cuci, bersihkan dan
keringkan, kemudian alat diinventaris dan diset kembali bungkus dengan
kain siap untuk disterilkan.
ff. Bersihkan ruangan dan lingkungan kamar operasi, rapikan dan
kembalikan alat- alat yang dipakai pada tempatnya.
gg. Inventaris bahan habis pakai pada depo farmasi.

36
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hipospadia merupakan suatu kelainan kelamin akibat penyatuan lipat uretra
yang tidak sempurna dan terdapat mulut uretra yang abnormal di sepanjang
permukaan anterior phallus (penis). Hipospadia merupakan kelainan kongenital
yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor genetik, faktor hormonal,
dan faktor pencemaran industri.
Secara morfologi, hipospadia dibagi menjadi 5 bagian, antara lain glandular
hypospadia, subcoronal hypospadia, mediopeneal hypospadia, penescrotal
hypospadia, dan perienal hypospadia. Sedangkan secara klinis, hipospadia dibagi
menjadi 3 bagian, antara lain anterior hypospadia, middle hypospadia, dan
posterior hypospadia.
Penatalaksaan hipospadia dilakukan dengan 2 tahap, yaitu chordectomy dan
urethroplasty. Chordectomy dilakukan untuk melepas chordee sehingga
memperbaiki fungsi dan memperbaiki penampilan phallus (penis). Urethroplasty
dilakukan untuk membuat ostium urethra externa diujung glans penis sehingga
pancaran urine dan semen bisa lurus ke depan.

B. Saran
Dengan memahami pembahasan Chordectomy kita dapat memberikan asuhan
keperawatan yang benar dan berfikir kritis dalam menghadapi kasus Hipospadia.
Dan bagi Instansi Rumah Sakit diharapkan mampu memberikan asuhan
keperawatan perioperatif yang optimal bagi klien.

37

Anda mungkin juga menyukai