Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS STASE KOMPREHENSIF

Seorang Anak Perempuan Berusia 2 Tahun Datang


Dengan Keluhan Sesak Nafas

Diajukan Kepada :

Pembimbing : dr. Achirudin Timora

Disusun Oleh :

Fiska Rahmawati H2A010017


Stase Komprehensif

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

RS PKU MUHAMMADIYAH TEMANGGUNG

Periode 04 Januari – 27 Februari 2016


BAB I
PENDAHULUAN

Pneuomonia masih menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas


anak berusia dibawah lima tahun. Diperkirakan hampir seperlima kematian anak
diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat
pneumonia (Afrika dan Asia Tenggara). Di Indonesia sendiri terjadi kematian
bayi sebesar 27,6% dan kematian balita sebesar 22,8% karena pneumonia.

Terdapat berbagai faktor resiko yang menyebabkan tingginya angka


mortalitas pneumonia pada anak balita di negara berkembang, diantaranya:
pneumoni yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah (BBLR), tidak
mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi
vitamin A, tingginya prevalens kolonisasibakteri patogen di nasofaring, dan
tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi industri atau asap rokok).

Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru, yang sebagian


besar disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil oleh
karena hal lain (aspirasi). Pneuomonia oleh karena bakteri biasanya awitannya
cepat, batuk produktif, pasien tampak toksik, leukositosis, dan perubahan nyata
pada pemeriksaan radiologis. Bakteri yang paling sering sebagai penyebab
pneumonia di negara berkembang adalah Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus.

Berdasarkan tempat infeksi, dikenal 2 bentuk pneumoniae, yaitu:


pneumonia masyarakat (community acquaired pneumonia) – infeksi yang terjadi
di masyarakat, pneumonia RS/nosokomial (hospital acquaired pneumonia) –
infeksi yang terjadi di RS.

1
BAB II
CATATAN MEDIS KASUS ILMU PENYAKIT ANAK

I. IDENTITAS
Nama anak : An. K
Umur : 2 Tahun
Tanggal lahir : 14 Mei 2014
Agama : Islam
Alamat : Petiran Pagergunung Bulu Temanggung
No Rekam Medis : 0209770
Tanggal masuk Rumah Sakit : 14 Januari 2016
Jaminan Kesehatan : Umum

Nama Bapak : Tn. R


Umur : 37 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Pendidikan : SMA
Alamat : Petiran Pagergunung Bulu Temanggung

Nama Ibu : Ny. P


Umur : 36 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SMP
Alamat : Petiran Pagergunung Bulu Temanggung

2
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara Alloanamnesa dari Ibu Pasien pada tanggal
15 Januari 2016 pukul 10.00 WIB di Bangsal Multazam RS PKU
Muhammadiyah Temanggung.
a. Keluhan Utama : Sesak nafas
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 3 hari sebelum masuk
rumah sakit. Sesak napas tidak berhubungan dengan aktivitas dan cuaca.
Keluhan sesak nafas tidak disertai adanya suara nafas berbunyi (mengi)
atau mengorok. Pasien juga mengeluh demam hingga membuat pasien
menggigil. Demam dirasakan naik turun, mulai naik saat sore hari dan
mulai turun di pagi hari. Demam juga turun dengan pemberian
paracetamol sirup, namun tak lama kemudian demam naik lagi. Pasien
juga mengeluh batuk pilek yang muncul bersamaan dengan demamnya (3
hari sebelum masuk ke rumah sakit). Batuk terus menerus disertai dengan
dahak yang berwarna kekuningan dan tidak ada darah. Pasien juga
mengeluh sesak nafas yang awalnya biasa namun semakin lama semakin
memberat. Pasien juga mengeluh nyeri kepala dan sulit makan.
Pasien menyangkal keluhan kejang, mual, dan muntah. Berat badan
turun disangkal, demam lebih dari 2 minggu disangkal, berat badan turun
atau susah naik disangkal. Buang air besar sama seperti biasa, buang air
kecil sama seperti biasa.
c. Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien pernah mengalami keluhan serupa saat berusia 6 bulan hingga
dirawat inap di RS lain dengan diagnosis bronchitis. Keluarga pasien
menyangkal bahwa pasien memiliki riwayat alergi dan asma.
d. Riwayat Penyakit Keluarga :
Penyakit yang serupa pada keluarga disangkal. Riwayat alergi dan
asma pada keluarga disangkal.

3
e. Riwayat Sosial Ekonomi :
Pasien tinggal bersama ayah ibu dan kedua neneknya. Ayah pasien
bekerja sebagai pegawai swasta dan ibu pasien sebagai ibu rumah
tangga. Biaya pengobatan ditanggung oleh BPJS.
Kesan sosial ekonomi : kurang
f. Data Khusus
1. Riwayat Kehamilan/Pre Natal :
An.K adalah anak pertama dari Ny.P saat berusia 30 tahun. Ibu
rutin periksa kehamilan lebih dari 4 kali di bidan. Saat hamil, ibu
pasien mengeluh sering mual muntah selama 4 bulan kehamilan, ibu
pasien tidak memiliki tekanan darah tinggi atau penyakit gula selama
kehamilan. Ibu pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan tertentu,
alkohol, maupun rokok selama kehamilan. Suntik tetanus toksoid (TT)
sebanyak dua kali. kehamilan cukup bulan (39 minggu).
2. Riwayat persalinan/natal :
Lahir spontan dengan bantuan bidan, langsung menangis kuat,
dan segera dilakukan inisiasi menyusui dini. Berat badan saat lahir
sekitar 3100 gram, panjang badan tidak ingat.
3. Riwayat pasca persalinan/ post natal :
Tidak ada perdarahan post partum.
4. Riwayat Imunisasi :
Macam imunisasi Frekuensi Umur Keterangan
Imunisasi dasar: Dilakukan di Bidan
BCG 1 kali 2 bulan Lengkap
DPT 3 kali 2,4,6 bulan Lengkap
Hepatitis B 3 kali 0,1,6 bulan Lengkap
Polio 4 kali 0,2,4,6 bulan Lengkap
Campak 1 kali 9 bulan Lengkap
Kesan : imunisasi dasar lengkap

4
5. Riwayat makan dan minum :
Umur Makanan dan Minuman Jumlah Frekuensi
0 - 6 bulan ASI saja Semau anak Semau anak
6 - 9 bulan ASI Semau anak Semau anak
Air tajin ½ gelas belimbing, 2-3 kali/ hari
selalu habis
9 - 12 bulan ASI Semau anak Semau anak
Air tajin 1 gelas belimbing 2-3 kali/ hari
Nasi tim, sayur wortel, 1 piring kecil 2-3 kali /hari
bayam, tahu-tempe Selalu habis
buah (pisang, pepaya) 1 potong 2 kali/hari
12 – 24 bulan ASI Semau anak Semau anak
Nasi, sayur wortel, bayam, ½ piring 2 kali /hari
kangkung, tahu/tempe Selalu habis
Kesan : ASI eksklusif dan pemberian MPASI sesuai usia
6. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan anak :
Umur Perkembangan
2 bulan Senyum sosial
3 bulan Mengangkat kepala
5 bulan Berguling
6 bulan Duduk tanpa dibantu, tengkurap dan berbalik sendiri
11 bulan Berjalan
Pertumbuhan : berat badan bulan lalu tidak ingat
tinggi badan bulan lalu tidak ingat
7. Riwayat lingkungan dan sosial ekonomi :
Ayah pasien merokok, tidak mengkonsumsi minuman
beralkohol dan obat-obatan. Pasien tinggal bersama kedua orangtua,
kakak, nenek dan kedua sepupunya. Ventilasi rumah cukup, lantai
kamar pasien berupa kayu, keadaan rumah tidak lembab dan
pencahayaan cukup. Nenek tinggal serumah menderita asma.
Tetangga sekitar dan teman bermain tidak ada yang mengalami batuk-
batuk lama.
Ayah pasien bekerja sebagai pegawai swasta dan pasien berobat
dengan menggunakan jaminan kesehatan jamkesmaskot.
Kesan : Keadaan sosial dan ekonomi kurang
8. Riwayat KB
Riwayat KB suntik 3 bulan.

5
III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 15 Januari 2016 pukul 10.10
WIB di Bangsal Multazam RS PKU Muhammadiyah Temanggung.
a. Keadaan Umum dan Tanda Vital
Keadaan umum : tampak sesak nafas, rewel
Kesadaran : compos mentis
TD : tidak dilakukan
Nadi : 120 kali/menit, isi dan tegangan cukup
Respiratory rate : 52 kali/menit
Suhu : 38,8 0 C (aksiler)
BB : 13 kg
TB : 104 cm
b. Status Interna
1. Kepala : kesan mesocephal
2. Mata : konjungtiva palpebra anemis (+/+), sklera ikterik(-/-),
mata cowong (-/-), reflek pupil direct (+/+), reflek
pupil indirect (+/+),pupil isokor Ø: 2,5 mm/2,5 mm.
3. Hidung : nafas cuping (+/+), deformitas (-/-), sekret (+/+)
4. Telinga : serumen (-/-), nyeri tragus (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-)
5. Mulut : lembab (+), sianosis (-), faring tidak hiperemis,
tonsil T2-T2 kripte tidak melebar dan tidak hiperemis.
6. Leher : tiroid (N), pembesaran limfonodi (-), penggunaan otot
bantu nafas (+)
7. Thorax :Pulmo
Dextra Sinistra
Pulmo Depan
Inspeksi Normochest. Normochest.
Diameter Lateral > Antero Diameter Lateral > Antero
posterior. posterior.
Hemithorax Simetris Statis Hemithorax Simetris Statis
Dinamis. Dinamis.
Retraksi otot suprasternal (+), Retraksi otot suprasternal (+),
subcostal (+), epigastrial (+). subcostal (+), epigastrial (+).
Kelainan kulit (-). Kelainan kulit (-).

6
Palpasi Stem fremitus simetris kanan Stem fremitus simetris kanan
sama dengan kiri. sama dengan kiri.
Nyeri tekan (-). Nyeri tekan (-).
Arcus costa normal. Arcus costa normal.
Perkusi Sonor seluruh lapang paru Sonor seluruh lapang paru

Auskultasi Suara dasar paru vesikuler Suara dasar paru vesikuler (+),
(+), wheezing (-), ronki (+) wheezing (-), ronki (+)
Pulmo Belakang
Inspeksi Normochest. Normochest.
Kelainan kulit (-). Simetris. Kelainan kulit (-). Simetris.
Palpasi Stem fremitus simetris kanan Stem fremitus simetris kanan
sama dengan kiri. sama dengan kiri.
Hemithorax simetris. Hemithorax simetris.
Nyeri tekan (-). Nyeri tekan (-).
Pelebaran SIC (-). Pelebaran SIC (-).
Perkusi Sonor seluruh lapang paru Sonor seluruh lapang paru

Auskultasi Suara dasar paru vesikuler Suara dasar paru vesikuler


(+), wheezing (-), ronki (+) (+), wheezing (-), ronki (+)

Tampak Depan Tampak Belakang

Suara Dasar Vesikuler Suara Dasar Vesikuler


Wheezing (-), ronchi (+) Wheezing (-), ronchi (+)
Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis (teraba tidak kuat angkat), thrill (-)
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : bunyi jantung I dan II murni, gallop (-), murmur (-)
8. Abdomen
Inspeksi : bentuk perut datar, warna sama seperti kulit sekitar.
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani seluruh regio abdomen
Palpasi : Nyeri tekan (-), suprapubik, hepatomegali (-), ginjal tidak
teraba, lien tidak teraba, pembesaran limfonodi inguinal (-)
7
9. Ekstremitas
Superior Inferior
Akral hangat +/+ +/+
Oedem -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Capillary Refill < 2 detik/< 2 detik < 2 detik/< 2 detik
Gerak +/+ +/+

IV. PEMERIKSAAN KHUSUS


a. Pemeriksaan Antropometri
1. Jenis kelamin : Perempuan
2. Umur : 2 Tahun
3. Berat badan : 13 kg
4. Tinggi badan : 104 cm
5. Status Gizi :
- BB/U : ((13-19,5) / 2,20 = - 2,95 (gizi kurang)
- TB/U : (104-114,6)/4,90 = -2,16 (pendek)
- BB/TB : (13-16,5)/1,5 = -2,3 (kurus)
Kesan gizi : gizi anak kurang

b. Pemeriksaan Penunjang
Darah Rutin tanggal 14 Januari 2016
Jenis Hasil Satuan Nilai normal
Leukosit H 11.80 103/mm3 3.50 – 10.00
Eritrosit 4.66 103/mm3 3.50 – 5.50
Hemoglobin L 10.40 g/dl 11.50 – 16.50
Hematokrit L 30.60 % 35 – 55
Trombosit 244 3
10 /mm 3
150 – 400
MCV L 65.70 fL 75 – 100
MCH L 22.50 pg 25 – 35
MCHC 34.20 g/dl 31 – 38
RDW 16 % 11 – 16
Granulosit absolute 5.00 103/mm3 1.20 – 8.00

8
Jenis Hasil Satuan Nilai normal
Limfosit absolute 1.30 103/mm3 0.5 – 5.0
Granulosit 73.10 % 35 – 80
Limfosit 19.9 % 15 – 50
GDS 132

V. RESUME
An.K usia 1 tahun 8 bulan datang dengan keluhan sesak nafas sejak 3
hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak nafas awalnya biasa namun semakin
lama semakin memberat. Sesak napas tidak berhubungan dengan aktivitas
dan cuaca. Keluhan sesak nafas tidak disertai adanya suara nafas berbunyi
(mengi) atau mengorok. Pasien juga mengeluh demam hingga membuat
pasien menggigil. Demam dirasakan naik turun, mulai naik saat sore hari
dan mulai turun di pagi hari. Demam juga turun dengan pemberian penurun
panas, namun tak lama kemudian demam naik lagi. Pasien juga mengeluh
batuk pilek yang muncul bersamaan dengan demamnya (3 hari sebelum
masuk ke rumah sakit). Batuk terus menerus disertai dengan dahak yang
berwarna kekuningan dan tidak ada darah. Pasien juga mengeluh sesak
nafas yang awalnya biasa namun semakin lama semakin memberat. Sesak
napas tidak berhubungan dengan aktivitas dan cuaca. Keluhan sesak nafas
tidak disertai adanya suara nafas berbunyi (mengi) atau mengorok, Pasien
juga mengeluh nyeri kepala dan sulit makan. Pasien pernah mengalami
keluhan serupa saat berusia 6 bulan hingga dirawat inap di RS lain dengan
diagnosis bronchitis. Nenek pasien memiliki riwayat asthma. Ayah pasien
merokok, kesan keadaan sosial dan ekonomi kurang.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum: tampak sesak, Suhu:
38,80 C (aksiler), RR 52x/menit, mata : konjungtiva palpebra anemis (+/+),
hidung : nafas cuping hidung (+/+), sekret (+) mukopurulen, leher :
penggunaan otot-otot bantu nafas (+), thorax : retraksi otot suprasternal (+),
subcostal (+), epigastrial (+), rhonki (+/+). Pemeriksaan Antropometri
didapatkan gizi anak kurang.

9
Dari pemeriksaan darah rutin didapatkan hasil Hemoglobin L 10,40
mg/dl, Hematokrit L 30,60 %, Leukositosis 11,80, MCV L 65.70, MCHC L
22.50.

VI. DAFTAR MASALAH


Anamnesis: Pemeriksaan Fisik: Pemeriksaan
Penunjang:

1. Sesak nafas sejak 3 hari 10. Keadaan umum: tampak 22. Hemoglobin L
yang lalu sesak 10,40 mg/dl
2. Demam 3 hari, demam 11. Suhu: 38,80 C (aksiler) 23. Leukositosi H 11,80
naik turun, demam naik 12. RR 52x/menit 24. Hematokrit L 30,60
pada sore hari dan turun 13. konjungtiva palpebra %
pada pagi hari. anemis (+/+) 25. MCV L 65.70
3. Batuk berdahak, dahak 14. nafas cuping hidung 26. MCHC L 22.50
berwarna kekuningan (+/+)
bersamaan dengan 15. sekret (+) mukopurulen
demamnya 16. penggunaan otot-otot
4. Pilek bantu nafas (+)
5. Nenek pasien memiliki 17. Retraksi otot
riwayat asma sejak 14 suprasternal (+)
tahun yang lalu 18. Retraksi subcostal (+)
6. Nyeri kepala 19. Retraksi epigastrial (+)
7. Pasien susah makan 20. Rhonki (+/+)
8. Ayah pasien merokok 21. Status gizi kurang
9. kesan keadaan sosial dan
ekonomi kurang

VII. DIAGNOSIS BANDING


1. Observasi febris 3 hari Bronkopneumonia
Demam Dengue
Dehidrasi
Infeksi Saluran Kencing

2. Batuk + sesak Bronkopneumonia


Bronkiolitis
Asthma attact

10
Masalah aktif Masalah pasif
1. 1,2,3,4,5,6,7,8,910,11,12,13,14,15,16,17,18,19,2 4. Nenek pasien
0,22,23 Bronkopneumonia memiliki riwayat asma
2. 6,7,9,13,21,25,26  Anemia defisiensi besi sejak 14 tahun yang
3. 7,9,21  gizi kurang lalu
5. Ayah pasien merokok

VIII. DIAGNOSIS KERJA


- Diagnosis klinis : Bronkopneumonia, Anemia defisiensi
besi
- Diagnosis Pertumbuhan : Perawakan pendek dan kurus
- Diagnosis Perkembangan : Perkembangan sesuai dengan umur
- Diagnosis gizi : Gizi Kurang
- Diagnosis Imunisasi : Imunisasi dasar lengkap
- Diagnosis sosial : Kesan ekonomi kurang
IX. INITIAL PLAN
1. Bronkopneumonia
- Ip. Dx
S : Bronkopneumonia
O : X-foto thorax PA
- Ip. Tx
- Infus Kaen 3A 10 tpm
- O2 2 liter/menit
- Inj. Cefotaxime 2 x 200 mg
- Inj Dexamethasone 3 x 0,5 cc
- Nebulizer: pulmicort + ventolin (3x sehari)
- Ambroxol 3 x 1/2 cth
- Sanmol syr 3 x 1 cth prn
- Ip. Mx
1) Monitoring kepatuhan pasien untuk minum obat
2) Monitoring bila terjadi sesak napas
11
- Ip. Ex
- Menjelaskan kepada keluarga pasien mengenai penyakit yang
sedang dialami pasien, yaitu bronkopneumonia yang disebabkan
dapat karena virus atau bakteri yang masuk ke dalam tubuh
melalui hidung anak sehingga menyebabkan keluhan yang saat ini
dialami anak.
- Menjelaskan kepada keluarga pasien bahwa penyebab penyakit
melalui udara dan lingkungan yang tidak bersih, sehingga
diperlukan untuk menjaga higienitas makanan yang akan dimakan
pasien.
- Motivasi untuk ikut memantau tanda dan gejala kegawatan pada
anak
2. Anemia Defisiensi Besi
- Ip. Dx
S : Anemia Defisiensi Besi
O : Pemeriksaan darah tepi
- Ip. Tx
- Pemberian tablet Fe dosis 3 mg/kgBB sebelum makan atau 5
mg/kgBB setelah makan dibagi dalam 2 dosis.
- Pemberian asam folat 2 X 5-10 mg/hari
- Ip. Mx
- Monitoring kepatuhan orang tua pasien dalam memberikan obat
kepada anaknya selama 2 bulan penuh
- Monitoring keadaan umum pasien
- Ip. Ex
- Menjelaskan kepada keluarga pasien mengenai penyakit yang
sedang dialami pasien, yaitu anemia defisiensi besi yang bisa
disebabkan karena asupan gizi kurang dan kebutuhan zat besi
meningkat karena adanya infeksi
- Jelaskan pemberian fe minimal 2 bulan berturut-turut atau hingga
hb pasien sudah normal
12
- Hindari makanan yang menghambat absorpsi besi (teh, susu
murni, kuning telur, serat) dan obat seperti antasida dan
kloramfenikol
- Banyak minum untuk mencegah terjadinya konstipasi (efek
samping pemberian preparat besi)

3. Gizi Kurang
- Ip. Dx
S:-
O:-
- Ip. Tx
Lanjutkan pemberian susu formula
Beri makanan sedikit-sedikit tapi sering
Perbaiki gizi anak
- Ip. Mx
Monitoring kenaikan BB
Monitoring keadaan umum
- Ip. Ex
Menjelaskan kepada keluarga tentang kondisi anak
Memotivasi kepada keluarga untuk memperbaiki gizi pasien

X. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad Bonam
Quo ad sanam : Dubia
Quo ad Fungsionam : Dubia ad Bonam

13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. DEFINISI
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru; peradangan
pada paru dimana proses peradangannya ini menyebar membentuk bercak-
bercak infiltrat yang berlokasi di alveoli paru dan dapat pula melibatkan
bronkiolus terminal.1 Walaupun banyak pihak yang sependapat bahwa
pneumonia adalah suatu keadaan inflamasi, namun sangat sulit untuk
merumuskan satu definisi tunggal yang universal. Pneumonia adalah sindrom
klinis, sehingga didefinisikan berdasarkan gejala dan tanda klinis, dan
perjalanan penyakitnya. Salah satu definisi klinis klasik menyatakan
pneumonia adalah penyakit respiratorik yang ditandai dengan batuk, sesak
napas, demam, ronki basah, dengan gambaran infiltrat pada foto rontgen
toraks.2 Dikenal istilah lain yang mirip yaitu pneumonitis yang maksudnya
lebih kurang sama. Banyak yang menganut pengertian bahwa pneumonia
adalah inflamasi paru karena proses infeksi sedangkan pneumonitis adalah
inflamasi paru non-infeksi. Namun hal inipun tidak sepenuhnya ditaati oleh
para ahli.2
ANATOMI
Struktur dasar jalan nafas telah ada sejak lahir dan berkembang selama
neonatus dan dewasa menjadi sistem bronkhopulmonal. Jalan nafas pada
setiap usia tidak simetris. Apabila dibagi menjadi dua bagian, ada perbedaan
bentuk dan jumlah cabang yang tergantung dari lokasinya. Variasi tersebut
menyebabkan implikasi fisiologi yang berbeda. Alur yang berbeda
menyebabkan perbedaan resistensi terhadap aliran udara, sehingga
menyebabkan distribusi udara atau partikel yang terhisap tidak merata.
Cabang dari bronkus mengalami pengecilan ukuran dan kehilangan kartilago,
yang kemudian disebut bronkhiolus. Bronkhiolus terminalis membuka saat
pertukaran udara dalam paru-paru.

14
Jalan nafas dilapisi oleh membran epitel yang berganti secara bertahap dari
epitel kolumner bertingkat bersilia di bronkus menjadi epitel kubus bersilia
pada area tempat pertukaran udara. Sillia berfungsi untuk menghantarkan
mukus dari pinggir jalan nafas ke faring. Sistem transport mukosilier ini
berperan penting dalam mekanisme pertahanan paru. Sel goblet pada trakhea
dan bronkhus memproduksi musin dalam retikulum endoplasma kasar dan
apparatus golgi. Sel goblet meningkat jumlahnya pada beberapa gangguan
seperti bronkhitis kronis yang hasilnya terjadi hipersekresi mukus dan
peningkatan produksi sputum.
Unit pertukaran udara (terminal respiratory) terdiri dari bronkhiolus distal
sampai terminal : bronkhiolus respiratorius, duktus alveolaris dan alveoli.
Pada pemeriksaan luar pulmo dekstra lebih pendek dan lebih berat
dibanding pulmo sinistra. Pulmo dekstra dan sinistra dibagi oleh alur yang
disebut incissura interlobaris dalam beberapa Lobus Pulmonis. Pulmo
dekstra dibagi menjadi 3 lobus, yaitu:
1. Lobus Superior
Dibagi menjadi 3 segmen: apikal, posterior, inferior
2. Lobus Medius
Dibagi menjadi 2 segmen: lateralis dan medialis
3. Lobus Inferior
Dibagi menjadi 5 segmen: apikal, mediobasal, anterobasal, laterobasal,
posterobasal
Pulmo sinistra dibagi menjadi 2 lobi, yaitu:
1. Lobus Superior
Dibagi menjadi segmen: apikoposterior, anterior, lingularis superior,
lingularis inferior.
2. Lobus Inferior
Dibagi menjadi 4 segmen: apikal, anteromediobasal, laterobasal, dan
posterobasal

15
MEKANISME PERTAHANAN PARU
Saluran napas bagian bawah yang normal adalah steril, walaupun
bersebelahan dengan sejumlah besar mikroorganisme yang menempati
orofaring dan terpajan oleh mikroorganisme dari lingkungan di dalam udara
yang dihirup. Sterilitas saluran napas bagian bawah adalah hasil mekanisme
penyaringan dan pembersihan yang efektif. 3
1. PEMBERSIHAN UDARA
Temperatur dan kelembapan udara bervariasi, dan alveolus harus
terlindung dari udara dingin dan kering. Mukosa hidung, turbinasi
hidung, orofaring dan nasofaring, mempunyai suplai darah yang besar
dan memiliki area permukaan yang luas. Udara yang terhirup melewati
area-area tersebut dan diteruskan ke cabang trakeobonkial, dipanaskan
pada temperatur tubuh dan dilembapkan. 3
2. PEMBAU
Reseptor pembau berada lebih banyak di posterior hidung dibandingkan
dengan di trakhea n alveoli, sehingga seseorang dapat mencium untuk
mendeteksi gas yang secara potensial berbahaya, atau bahan-bahan
berbahaya di udara yang dihirup. Inspirasi yang cepat tersebut membawa
udara menempel pada sensor pembau tanpa membawanya ke paru-paru. 3
3. MENYARING DAN MEMBUANG PARTIKEL YANG TERHIRUP
Udara yang melewati saluran traktus respiratorius awalnya difiltrasi oleh
bulu hidung. Gerakannya menyebabkan partikel berukuran besar dapat
dikeluarkan. Sedimentasi partikel berukuran lebih kecil terjadi akibat
gravitasi di jalan nafas yang lebih kecil. Partikel-partikel tersebut
terperangkap dalam mukus yang ada di saluran pernafasan atas, trakhea,
bronkus dan bronkhiolus. Partikel kecil dan udara iritan mencapai duktus
alveolaris dan alveoli. Partikel kecil lainnya disuspensikan sebagai
aerosol dan 80% nya dikeluarkan. 3
Pembuangan partikel dilalui dengan beberapa mekanisme :
- Refleks jalan nafas : refleks batuk, refleks bersin dan refleks glottis

16
Stimulasi reseptor kimia dan mekanik di hidung, trakhea, laring, dan
tempat lain di traktus respiratorius menyebabkan bronkokonstriksi
untuk mencegah penetrasi lebih lanjut dari iritan ke jalan nafas dan
juga menghasilkan batuk atau bersin. Bersin terjadi akibat stimulasi
reseptor di hidung atau nasofaring, dan batuk terjadi sebagai akibat
stimulasi reseptor di trakhea. Inspirasi yang dalam demi mencapai
kapasitas paru total, diikuti oleh ekspirasi melawan glotis yang
terutup. Tekanan intrapleura dapat meningkat lebih dari 100mmHg.
Selama fase refleks tersebut glotis tiba-tiba membuka dan tekanan di
jalan nafas menurun cepat, menghasilkan penekanan jalan nafas dan
ekspirasi yang besar, dengan aliran udara yang cdepat melewati jalan
nafas yang sempit, sehingga iritan ikut terbawa bersama-sama mukus
keluar dari traktus respiratorius. Saat bersin, ekspirasi melewati
hidung; saat batuk ekspirasi melewati mulut. Kedua refleks tersebut
juga membantu mengeluarkan mukus dari jalan nafas. 3
- Sekresi trakheobronkial dan transport mukosilier
Sepanjang traktus respiratorius dilapisi oleh epitel bersilia dimana
terdapat mukus yang dihasilkan oleh sel goblet. “Eskalator
mukosilier” adalah mekanisme yang penting dalam menghilangkan
dalam menghilangkan partikel yang terinhalasi. Partikel terperangkap
dalam mukus kemudian dibawa ke atas kefaring. Pergerakan tersebut
dapat meningkat cepat selama batuk. Mukus yang mencapai faring
dikentalkan atau dikeluarkan melalui mulut atau hidung. Karenanya,
pasien yang tidak bisa mengeluarkan sekret trakheobronkial (misal
tidak dapat batuk) terus menghasilkaan sekret yang apabila tidak
dikeluarkan dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas. 3
4. MEKANISME PERTAHANAN DARI UNIT RESPIRASI TERMINAL
- makrofag alveolar
- pertahanan imun
Paru merupakan struktur kompleks yang terdiri atas kumpulan unit-
unit yang dibentuk melalui percabangan progresif jalan napas. Kurang
17
lebih 80% sel yang membatasi jalan napas di bagian tengah
merupakan epitel bersilia, bertingkat, kolumner dengan jumlah yang
semakin berkurang pada jalan napas bagian perifer. Masing-masing
sel bersilia memiliki kira-kira 200 silia yang bergerak dalam
gelombang yang terkoordinasi kira-kira 1000 kali per menit, dengan
gerakan ke depan yang cepat dan kembali dalam gerakan yang lebih
lambat. Gerakan silia juga terkoordinasi antara sel yang bersebelahan
sehingga setiap gelombang disebarkan ke arah orofaring. 3
Partikel infeksius yang terkumpul pada epitel skuamosa permukaan
hidung sebelah distal biasanya akan dibersihkan pada saat bersin,
sementara partikel yang terkumpul pada permukaan bersilia yang
lebih proksimal akan disapukan ke sebelah posterior ke lapisan mukus
nasofaring, saat partikel tersebut ditelan atau dibatukkan. Penutupan
glottis secara refleks dan batuk akan melindungi saluran napas bagian
bawah. Partikel infeksius yang melewati pertahanan di dalam saluran
napas dan diendapkan pada permukaan alveolus dibersihkan oleh sel
fagosit dan faktor humoral. Makrofag alveolar merupakan fagosit
utama di dalam saluran napas bagian bawah. Makrofag alveolar akan
menyiapkan dan menyajikan antigen mikrobial pada limfosit dan
mensekresikan sitokin yang mengubah proses imun dalam limfosit T
dan B. 3
3.2. EPIDEMIOLOGI
Insidens penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian dan
kecacatan yang tinggi di seluruh dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus baru
praktek umum berhubungan dengan infeksi saluran napas yang terjadi di
masyarakat (PK) atau di dalam rumah sakit/pusat perawatan (pneumonia
nosokomial/PN).4
Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama
dalam bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun
yang sudah maju. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab
kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran
18
napas akut termasuk pneumonia dan influenza. Insidensi pneumonia
komuniti di Amerika adalah 12 kasus per 1000 orang per tahun dan
merupakan penyebab kematian akibat infeksi pada orang dewasa di negara
itu. Angka kematian utama akibat infeksi pada orang dewasa di negara itu.
Angka kematian akibat pneumonia di Amerika adalah 10%. Di Amerika
dengan cara invasif pun penyebab pneumonia hanya ditemukan 50%.
Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari
untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia dapat menyebabkan
kematian bila tidak segera diobati, maka pada pengobatan awal pneumonia
diberikan antibiotik secara empiris.1
3.3. KLASIFIKASI
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan,
dan pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa
ahli telah membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi
terbukti secara klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan.5
a. Berdasarkan lokasi lesi di paru
Pneumonia lobaris
Pneumonia lobularis
Pneumonia intersitialis
b. Berdasarkan asal infeksi
Pneumonia yang didapat dari masyarakat (community acquired
pneumonia)
Pneumonia yang didapat dari Rumah Sakit (hospital based pneumonia)
c. Berdasarkan mikroorganisme penyebab
Pneumonia bakteri
Pneumonia virus
Pneumonia mikoplasma
Pneumonia jamur
d. Berdasarkan karakteristik penyakit pneumonia
Pneumonia tipikal
Pneumonia atipikal
19
e. Berdasarkan lama penyakit
Pneumonia akut
Pneumonia persisten

Klasifikasi berdasarkan Lingkungan dan Pejamu


Tipe Klinis Epidemiologi
Pneumonia Komunitas Sporadis atau endemis; orang tua atau orang muda
Pneumonia Nosokomial Didahului perawatan di RS
Pneumonia Rekurens Terdapat dasar penyakit paru kronik
Pneumonia Aspirasi Alkoholik, usia tua
Pneumonia pada gangguan imun Pasien transplantasi, onkologi, AIDS

3.4. ETIOLOGI
Etiologi pneumonia sulit dipastikan karena kultur sekret bronkus merupakan
tindakan yang sangat invasif sehingga tidak dilakukan. Patogen penyebab
pneumonia pada anak bervariasi tergantung : 5
a. Usia
b. Status imunologis
c. Status lingkungan
d. Kondisi lingkungan (epidemiologi setempat, polusi udara)
e. Status imunisasi
f. Faktor pejamu (penyakit penyerta, malnutrisi)
Usia pasien mrupakan peranan penting pada perbedaan dan kekhasan
pneumonia anak, terutama dalam sprectrum etiologi, gambaran klinis dan
strategi pengobatan.
Berikut daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan usia yang
bersumber dari data di negara maju : 5,6
Usia Etiologi tersering Etiologi terjarang
Lahir – 20 hari Bakteri : E.colli, Streptococcus Bakteri : Bkateri anaerob,
grup B, Listeria monocytogenes Streptococcus grup D,
Haemophilus influenza,
Streptococcus pneumoniae
Virus : CMV, HMV
3 minggu – 3 bulan Bakteri : Clamydia trachomatis, Bakteri : Bordetella pertusis,
Streptococcus pneumoniae Haemophilus influenza tipe B,
Virus : Adenovirus, Influenza, Moraxella catharalis,
Parainfluenza 1, 2, 3 Staphylococcus aureus
Virus : CMV
20
Usia Etiologi tersering Etiologi terjarang
4 bulan – 5 tahun Bakteri : Clamydia Bakteri : Haemophilus influenza
pneumoniae, Mycoplasma tipe B, Moraxella catharalis,
pneumoniae, Streptococcus Staphylococcus aureus, Neisseria
pneumoniae meningitidis
Virus : Adenovirus, Rinovirus, Virus : Varicela zoster
Influenza, Parainfluenza
5 tahun - remaja Bakteri : Clamydia Bakteri : Haemophilus
pneumoniae, Mycoplasma influenza, Legionella sp.
pneumoniae

3.5. PATOGENESIS
Istilah pneumonia mencakup setiap keadaan radang paru dimana
beberapa atau seluruh alveoli terisi dengan cairan dan sel-sel darah. Jenis
pneumonia yang umum adalah pneumonia bakterialis yang paling sering
disebabkan oleh pneumokokus. Penyakit ini dimulai dengan infeksi dalam
alveoli, membran paru mengalami peradangan dan berlubang-lubang
sehingga cairan dan bahkan sel darah merah dan sel darah putih keluar dari
darah masuk kedalam alveoli. Dengan demikian, alveoli yang terinfeksi
secara progresif menjadi terisi dengan cairan dan sel-sel, dan infeksi
disebarkan oleh perpindahan bakteri dari alveolus ke alveolus.3
Dalam keadaan normal, saluran respiratorik mulai dari area sublaring
sampai parenkim paru adalah steril. Saluran napas bawah ini dijaga tetap
steril oleh mekanisme pertahanan bersihan mukosiliar, sekresi
imunoglobulin A, dan batuk. Mekanisme pertahanan imunologik yang
membatasi invasi mikroorganisme patogen adalah makrofag yang terdapat
di alveolus dan bronkiolus, IgA sekretori, dan imunoglobunlin lain.5
Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer
melalui saluran respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan
yang mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan
sekitarnya. Bagian paru yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi
serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan ditemukannya kuman
di alveoli. Stadium ini disebut stadium hepatisasi merah. Selanjutnya,
deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin dan leukosit PMN di
alveoli dan terjadi proses fagositosis yang cepat. Stadium ini disebut

21
stadium hepatisasi kelabu. Berikutnya, jumlah makrofag meningkat di
alveoli, dimana sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan
debris menghilang. Stadium ini disebut stadium resolusi. Sistem
bronkopulmoner jaringan paru yang tidak terkena akan tetap normal.5
Pneumonia viral biasanya berasal dari penyebaran infeksi di sepanjang
jalan napas atas yang diikuti oleh kerusakan epitel respiratorius,
menyebabkan obstruksi jalan napas akibat bengkak, sekresi abnormal, dan
debris seluler. Diameter jalan napas yang kecil pada bayi menyebabkan bayi
rentan terhadap infeksi berat. Atelektasis, edema intersitial, dan ventilation-
perfusition mismatch menyebabkan hipoksemia yang sering disertai
obstruksi jalan napas. Infeksi viral pada traktus respiratorius juga dapat
meningkatkan risiko terhadap infeksi bekteri sekunder dengan mengganggu
mekanisme pertahanan normal pejamu, mengubah sekresi normal, dan
memodifikasi flora bakterial.5
Ketika infeksi bakteri terjadi pada parenkim paru, proses patologik
bervariasi tergantung organisme yang menginvasi. M. penumoniae
menempel pada epitel respiratorius, menghambat kerja silier, dan
menyebabkan destruksi seluler dan memicu respons inflamasi di
submukosa. Ketika infeksi berlanjut, debris seluler yang terlepas, sel-sel
inflamasi, dan mukus menyebabkan onstruksi jalan napas, dengan
penyebaran infeksi terjadi di sepanjang cabang-cabang bronkial, seperti
pada pneumonia viral. S. pneumoniae menyebabkan edema lokal yang
membantu proliferasi mikroorganisme dan penyebarannya ke bagian paru
lain, biasanya menghasilkan karakteristik sebagai bercak-bercak konsolidasi
merata di seluruh lapangan paru.7,8
Infeksi streptokokus grup A pada saluran napas bawah menyebabkan
infeksi yang lebih difus dengan pneumonia intersitial. Pneumonia lobar
tidak lazim. Lesi terdiri atas nekrosis mukosa trakeobronkial dengan
pembentukan ulkus yang compang-camping dan sejumlah besar eksudat,
edema, dan perdarahan terlokalisasi. Proses ini dapat meluas ke sekat
interalveolar dan melibatkan fasa limfatika. Pneumonia yang disebabkan
22
S.aureus adalah berat dan infeksi dengan cepat menjadi jelek yang disertai
dengan morbiditas yang lama dan mortalitas yang tinggi, kecuali bila diobati
lebih awal. Stafilokokus menyebabkan penggabungan bronkopneumoni
yang sering unilateral atau lebih mencolok pada sati sisi ditandai adanya
daerah nekrosis perdarahan yang luas dan kaverna tidak teratur.1
3.6. MANIFESTASI KLINIK
Gejala dan tanda klinis pneumonia bervariasi tergantung dari kuman
penyebab, usia pasien, status imunologis pasien, dan beratnya penyakit.
Manifestasi klinis biasanya berat yaitu sesak, sianosis, tetapi dapat juga
gejalanya tidak terlihat jelas seperti pada neonatus. Gejala dan tanda
pneumonia dapat dibedakan menjadi gejala umum infeksi (nonspesifik),
gejala pulmonal, pleural, atau ekstrapulmonal. Gejala nonspesifik meliputi
demam, menggigil, sefalgia, resah dan gelisah. Beberapa pasien mungkin
mengalami gangguan gastrointestinal seperti muntah, kembung, diare, atau
sakit perut.3
Gejala pada paru timbul setelah beberapa saat proses infeksi berlangsung.
Setelah gejala awal seperti demam dan batuk pilek, gejala napas cuping
hidung, takipnu, dispnu, dan timbul apnu. Otot bantu napas interkostal dan
abdominal mungkin digunakan. Batuk umumnya dijumpai pada anak besar,
tapi pada neonatus bisa tanpa batuk.2
Frekuensi napas merupakan indeks paling sensitif untuk mengetahui
beratnya penyakit. Hal ini digunakan untuk mendukung diagnosis dan
memantau tata laksana pneumonia. Pengukuran frekuensi napas dilakukan
dalam keadaan anak tenang atau tidur. Tim WHO telah merekomendasikan
untuk menghitung frekuensi napas pada setiap anak dengan batuk. Dengan
adanya batuk, frekuensi napas yang lebih dari normal serta adanya tarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing), WHO menetapkan
sebagai pneumonia (di lapangan), dan harus memerlukan perawatan dengan
pemberian antibiotik. Perkusi toraks pada anak tidak mempunyai nilai
diagnostik karena umumnya kelainan patologinya menyebar; suara redup
pada perkusi biasanya karena adanya efusi pleura.2
23
Suara napas yang melemah seringkali ditemukan pada auskultasi. Ronkhi
basah halus yang khas untuk pasien yang lebih besar, mungkin tidak
terdengar pada bayi. Pada bayi dan balita kecil karena kecilnya volume
toraks biasanya suara napas saling berbaur, dan sulit untuk diidentifikasi. 2
Secara klinis pada anak sulit membedakan pneumonia bakterial dengan
pneumonia viral. Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa
pneumonia bakterial awitannya cepat, batuk produktif, pasien tampak
toksik, leukositosis, dan perubahan nyata pada pemeriksaan radiologis. 2
Namun keadaan seperti ini kadang-kadang sulit dijumpai pada seluruh
kasus.
3.6.1. Pneumonia pada neonatus dan bayi kecil
Pneumonia ini sering terjadi akibat transmisi vertikal ibu-anak yang
berhubungan dengan proses persalinan, misalnya melalui aspirasi
mekonium, cairan amnion, dari serviks ibu, atau berasal dari
kontaminasi dengan sumber infeksi dari RS. infeksi juga dapat
terjadi karena kontaminasi dari komunitasnya. Gambaran klinis
pneumonia pada neonatus dan bayi kecil tidak khas, mencakup
serangan apnea, sianosis, merintih, napas cuping hidung, takipnea,
letargi, muntah, tidak, mau minum, takikardi atau bradikardi, retraksi
subkosta dan demam. Pada bayi BBLR sering terjadi hipotermi.
Keadaan ini sering sulit dibedakan dengan keadaan sepsis dan
meningitis.6
3.6.2. Pneumonia pada balita dan anak yang lebih besar
Gejala klinis yang timbul pada pneumonia yang terjadi pada balita
dan anak yang lebih besar meliputi demam, menggigil, batuk, sakit
kepala, anoreksia, dan kadang-kadang keluhan gastrointestinal
(muntah dan diare). Secara klinis gejala respiratori seperti takipnea,
retraksi subkosta (chest indrwaing), napas cuping hidung, ronki, dan
sianosis. Penyakit ini sering ditemukan bersama konjungtivitis, otitis
media, faringitis, dan laringitis. Anak besar dengan pneumonia lebih
suka berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk karena
24
nyeri dada. Ronki hanya ditemukan bila ada infiltrat alveoler. Bila
terjadi efusi pleura atau empiema, gerakan ekskursi dada tertinggal
di daerah efusi. Gerakan dada juga terganggu bila terdapat nyeri
dada akibat iritasi pleura. Bila efusi bertambah, sesak napas akan
semakin bertambah, tetapi nyeri pleura akan semakin berkurang dan
berubah menjadi nyeri tumpul. 6
Kadang timbul nyeri abdomen bila terdapat pneumonia lobus kanan
bawah yang menimbulkan iritasi diafragma. Nyeri ini dapat
menyebar ke kuadran kanan bawah dan menyerupai appendisitis.
Abdomen mengalami distensi akibat dilatasi lambung yang
disebabkan oleh aerografi atau ileus paralitik. Hati akan teraba bila
tertekan oleh diafragma, atau memang membesar karena terjadi
gagal jantung kongestif sebagai akibat komplikasi pneumonia. 6
3.6.3. Pneumonia atipik
Mikroorganisme penyebab adalah Mycoplasma pneumoniae,
Chlamydia spp, Legionnela pneumofilia, dan Ureaplasma
urealyticum. Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae
merupakan penyebab potensial infeksi respiratori dan pneumonia
pada anak, terutama pada anak usia sekolah dan remaja. Chlamydia
trachomatis sering ditemukan sebagai penyebab infeksi akut
respiratori pada bayi melalui transmisi vertikal (proses kersalinan)
dan merupakan etiologi infeksi perinatal yang penting. Legionnela
pneumofilia, dan Ureaplasma urealyticum jarang dilaporkan
menyebabkan ifeksi pada anak. 6
3.6.3.1. Infeksi oleh Mycoplasma pneuoniae
Infeksi diperoleh melalui droplet dari kontak dekat (di asrama,
keluarga dengan jumlah anggota keluarga yang sangat banyak).
Masa inkubasi lebih kurang 3 minggu. Gambaran klinis
pneumonia atipik didahului dengan gejala menyerupai influenza
(influenza like flu syndrome) seperti demam (jarang lebih dari
380C), malaise, sakit kepala, mialgia, tenggorokan gatal dan
25
batuk. Kadang-kadang dapat sembuh sendiri, tetapi kasus berat
seperti severe necrotizing pneumonitis dengan konsolidasi luas
pada jaringan paru dan efusi pleura pernah dilaporkan. Kadang
dapat berlanjut menjadi bronkitis, bronkiolitis, dan pneumonia. 6
Batuk terjadi 3-5 hari setelah awitan penyakit, awalnya tidak
produktif tetapi kemudian menjadi produktif. Sputum mungkin
berbercak darah dan batuk dapat menetap hingga berminggu-
minggu. Mengi dapat ditemukan pada 30-40% kasus pneumonia
mikoplasma dan lebih sering ditemukan pada anak yang lebih
besar. Kultur bakteri memerlukan waktu 2 minggu dan uji serolig
hanya bermanfaat bila telah terjadi pembentukan antibodi (ketika
penyakit telah sangat berkembang). Gambaran foto rontgennya
sangat bervariasi, meliputi gambaran infiltrat intersisial, retikuler,
retikulonoduler, bercak konsolidasi, pembesaran kelenjar hilus,
dan kadang-kadang disertai efusi pleura. 6
3.6.3.2. Infeksi oleh Chlamydia penumoniae
Gejala klinis awalnya berupa gejala seperti flu, yaitu batuk
kering, mialgia, sakit kepala, malaise, pilek, dan demam yang
tidak tinggi. Pada pemeriksaan auskultasi dada tidak ditemukan
kelainan. Gejala respiratori umunya tidak mencolok. Leukosit
darah tepi biasanya normal. Gambaran foto rontgen toraks
menunjukan infiltrat difus atau gambaran peribronkial nonfokal
yang jauh lebih berat daripada gejala klinis. Pneumonia Klamidia
lebih sering ditemukan di daerah tropis, bersifat endemik, dan
epidemik dengan interval 3-4 tahun. Infeksi Klamidia juga dapat
berperan dalam patogenesis asma. 6
3.7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a) Darah Perifer Lengkap
Pada pneumoia virus dan juga mikoplasma umumnya ditemukan leukosit
dalam batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi pada pneumonia
bakteri didapatkan leukositosis (15.000 – 40.000/mm3). Dengan
26
prdominan PMN. Leukopenia (< 5000/mm3) menunjukkan prognosis
yang buruk. Pada infeksi Chlamydia kadang – kadang ditemukan
eosinofilia. Pada efusi pleura didapatkan sel PMN pada cairan eksudat
berkisar 300-100.000/mm3, protein > 2,5 g/dl, dan glukosa relatigf lebih
rendah daripada glukosa darah. Kadang – kadang terdapat anemia ringan
dan LED yang meningkat. Secara umum hasil peneriksaan darah perifer
lengkap tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan bakteri secara
pasti. 6
b) C- Reaktif Protein (CRP)
CRP adalah suatu protein fase akut yang disisntesis oleh hepatosit.
Sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara
cepat distimulasi oleh sitokin, terutama IL-6, IL-1 da TNF. Meskipun
fungsi pastinya belum diketahui, CRP sangat mungkin berperan dalam
opsonisasi mikroorganisme atau sel rusak. 6
Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan
antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeki virus dan bakteri, atau infeksi
superfisialis atau profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada
infeksi virus atau infeksi superfisialis daripada profunda. 6
c) Uji Serologis
Uji serologik untuk mendateksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri
tipik mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Secara umum,
uji serologis tidak terlalu bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi bakteri
tipik, namun bakteri atipik seperti Mycoplasma dan chlamydia tampak
peningkatan anibodi IgM dan IgG. 6
d) Pemeriksaan mikrobiologis
Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat diambil dari usap
tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, punksi pleura atau
aspirasi paru. Diagnosis dikatakan definitif apabila kuman ditemukan
dari darah, cairan pleura, atau aspirasi paru. 6
Kultur darah jarang positif pada infeksi Mycoplasma dan Chlamydia. 6

27
e) Pemeriksaan rontgen Thoraks
Secara umum gambaran oto thoraks terdiri dari:
 Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan
bronkovaskuler, peribronchial cuffing dan hiperaerasi.6
 Infiltrat alveoler, merupakan konsolidasi paru dengan air
bronchogram. Konsolidasi dapat mengenai satu lobus ( pneumonia
lobaris ), atau terlihat sebagai lei tunggal yang biasanya cukup besar,
berbentuk sferis, batas tidak terlalu tegas, menyerupai lesi tumor
paru, dikenal sebagai round pneumonia. 6
 Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada
kedua paru, berupa bercak – bercak infiltrat yang meluas hingga ke
daerah perifer paru, disertai dengan peningkatan corakan
peribronkial.6
Gambaran radiologis pneumonia meliputi infiltrat ringan pada satu paru
hingga konsolidasi luas pada kedua paru. Pada satu penelitian, ditemukan
bahwa lesi pneumonia pada anak terbanyak berada di paru kanan,
terutama di lobus atas. Bila ditemukan di pru kiri dan terbanyak di olbus
bawah, hal itu merupakan prediktor perjalanan penyakit yang lebih berat
dengan resiko terjadinya pleuritis lebih besar.6
3.8. DIAGNOSIS
Diagnosis etiologi berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan/atau
serologis merupakan dasar terpi yang optimal. Akan tetapi penemuan
bakteri penyebab tidak selalu mudah karena memerlukan laboratorim yang
memadai. Prediktor paling kuat adanya pneumonia adalah demam, sianosis,
dan lebih dari satu gejala respiratori sebagai berikut : takipnea, batuk, nafas
cuping hidung, rtraksi, ronki dan suara nafas melemah serta didukung oleh
gambaran radiologis.6
Akibat tingginya angka morbiditas dan mortalitas pneumonia pada balita,
maka dalam upaya peanggulangannya WHO mengembangkan pedoman
diagnosis dan tatalaksana pneumonia yang sederhana.6

28
Berikut adalah klasifikasi pneumonia berdasarkan pedoman tersebut. 6,8
 Bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun
o Pneumonia sangat berat
 Tidak dapat minum/makan
 Kejang
 Letargis
 Malnutrisi
o Pneumonia berat
 Bila ada sesak nafas, ada retraksi
 Harus dirawat dan diberikan antibiotik
o Pneumonia
 Bila tidak ada sesak nafas
 Ada nafas cepat dengan laju nafas
 > 50 kali/menit untuk anak usia 2 bulan – 1 tahun
 > 40 kali/menit untuk anak usia >1-5 tahun
 Tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral
o Bukan pneumonia
 Bila tidak ada nafas cepat dan sesak nafas
 Tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya diberikan
pengobatan simptomatis seperti penurun panas.
 Bayi berusia dibawah 2 bulan
o Pneumonia sangat berat
 Tidak mau menetek/minum
 Kejang
 Letargis
 Demam atau hipotermi
 Bradipnea atau pernapasan ireguler
o Pneumonia harus dirawat dan diberikan antibiotik
 Bila ada nafas cepat ( > 60 kali/menit ) atau sesak nafas
 Retraksi
 Harus dirawat dan diberikan antibiotik
29
o Bukan pneumonia
 Tidak ada nafas cepat atau sesak nafas
 Tidak perlu dirawat, cukup diberikan pengobatan simptomatis
3.9. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi meliputi empiema torasis (komplikasi
tersering oleh pneumonia bakteri), perikarditis purulenta, pneumotoraks,
atau infeksi ekstrapulmoner seperti meningitis purulenta. Miokarditis
(tekanan sistolik ventrikel kanan meningkat, kreatinin kinase juga
meningkat, dan gagal jantung) juga dilaporkan cukup tinggi pada seri
pneumonia anak berusia 2-24 bulan. 6
3.10.PENATALAKSANAAN
Sebagian pneumoni pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi
perawatan trutama berdasarkan berat ringannya penyakit, misalnya
toksis,distres pernafasan, tidak mau makan atau minum, atau ada penyakit
dasar yang lain, komplikasi, dan terutama mempertimbangkan usia pasien.
Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis pneumonia harus
dirawat inap. 6
Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal
dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif
meliputi pemeberin cairan intravena, oksigen, koreksi terhadap gangguan
asa basa, elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan
analgetik /antipiretik. Suplementasi vitamin A tidak terbukti efektif. 6
Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan
pengobatan. Terapi antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan
pneumonia yang diduga disebabkan oleh bakteri. 6
a. Pneumonia Rawat Jalan
Pada pneumonia rawat jalan diberikan antibiotik lini pertama
secara oral, misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Dosis amoksisilin
yang diberikan adalah 25 mg/kgBB, sedangkan kotrimoksazol adalah
4mg/kgBB TMP-20 mg/kgBB sulfametoksazol.6

30
Makrolid, baik eritromisin maupun makrolid baru dapat digunakan
sebagai terapi alternatif beta laktam untuk pengobatan inisial pneumonia,
dengan pertimbangan adanya aktivitas ganda terhadap S.pneumonia dan
bakteri atipik. Dosis eritromisin 30-50 mg/kgBB/hari, diberikan setiap 6
jam selama 10-14 hari. Klaritromisin diberikan 2 kali sehari dengan dosis
15 mg/kgBB. Azitromisin 1 kali sehari 10mg/kgBB 3-5 hari (hari
pertama) dilanjutkan dengan dosis 5mg/kgBB untuk hari berikutnya.6
b. Pneumonia Rawat Inap
Pada pneumonia rawat inap antibiotik yang diberikan adalah beta
laktam, ampisilin atau amoksisislin dikombinasikan degan
kloramfenikol. Antibiotik yang diberikan berupa : Penisilin G intrvena (
25.000 U/kgBB setiap 4 jam ) dan kloramfenikol ( 15 mg/kgBB setiap 6
jam ), dan seftriaxon intravena ( 50 mg/kgBB setiap 12 jam ). Keduanya
diberikan selama 10 hari. 6

3.12.PREVENTIF
3.12.1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor resiko
terhadap kejadian pneumonia. Upaya yang dapat dilakukan antara
lain: 9
a. Memberikan imunisasi campak pada usia 9 bulan dan imunisasi
DPT (Dipteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali yaitu pada usia
2, 3, dan 4 bulan.
b. Menjaga daya tahan tubuh anak dengan cara memberikan ASI
pada bayi neonatal sampai berumur 2 tahun dan makanan yang
bergizi pada balita. Di samping itu, zat-zat gizi yang dikonsumsi
bayi dan anak-anak juga perlu mendapat perhatian.
c. Mengurangi polusi lingkungan seperti polusi udara dalam
ruangan dan polusi di luar ruangan.
d. Mengurangi kepadatan hunian rumah.

31
3.12.2. Pencegahan Sekunder
Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk
mencegah orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat
progresifitas penyakit, menghindari komplikasi, dan mengurangi
ketidakmampuan. Pencegahan sekunder meliputi diagnosis dini dan
pengobatan yang tepat sehingga dapat mencegah meluasnya penyakit
dan ternjadinya komplikasi. Upaya yang dapat dilakukan antara
lain:9
a. Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik
parenteral dan penambahan oksigen.
b. Pneumonia : diberikan antibiotik kotrimoksasol oral, ampisilin,
atau amoksisilin.
c. Bukan pneumonia : perawatan di rumah saja. Tidak diberikan
terapi antibiotik. Bila demam tinggi diberikan paracetamol.
Bersihkan hidung pada anak yang mengalami pilek dengan
menggunakan lintingan kapas yang diolesi air garam. Jika anak
mengalami nyeri tenggorokan, beri penisilin dan dipantau selama
10 hari ke depan.
3.12.3. Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier adalah mencegah agar tidak
munculnya penyakit lain atau kondisi lain yang akan memperburuk
kondisi balita, mengurangi kematian serta usaha rehabilitasinya.
Pada pencegahan tingkat ini dilakukan upaya untuk mencegah proses
penyakit lebih lanjut seperti perawatan dan pengobatan. Upaya yang
dilakukan dapat berupa:9
a. Melakukan perawatan yang ekstra pada balita di rumah, beri
antibiotik selama 5 hari, anjurkan ibu untuk tetap kontrol bila
keadaan anak memburuk.
b. Bila anak bertambah parah, maka segera bawa ke sarana
kesehatan terdekat agar penyakit tidak bertambah berat dan tidak
menimbulkan kematian.
32
3.13. PROGNOSIS
Dengan pemberian antiboitik yang tepat dan adekuat, mortalitas dapat
diturunkan sampai kurang dari 1%. Anak dalam keadaan malnutrisi energi
protein dan yang datang terlambat menunjukan mortalitas yang lebih tinggi.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim. Bronkopneumoni. Diunduh dari : http://id.scribd.com


2. Supriyatno B. Infeksi Respiratori Akut pada Anak. September 2006. Diunduh
dari : Sari Pediatri, Vol.8, No.2. h.100-6
3. Guyton, Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Buku Kedokteran EGC.
Jakarta : 1997. Hal 633.
4. Soeparman, Waspadji S. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta: 1999. hal: 695-705.
5. Pedoman Diganosis dan Terapi Kesehatan Anak, UNPAD, Bandung: 2005
6. Said M. Pneumonia. Buku Ajar Respiratori Anak. Edisi II. Ikatan Dokter
Anaka Indonesia. Jakarta: 2008.h.350-64.
7. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia. Bandung: 2005.
8. Pedoman Pelayan Medis. Jilid 1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: 2010.
9. Definisi Pneumoni. Diunduh dari : Chapter II.pdf

34

Anda mungkin juga menyukai