Anda di halaman 1dari 13

PENDIDIKAN BUDAYA ANTI KORUPSI

OLEH:
ANITA ROHMANA
CAHYA PUTRI AYUNI
ELFAYANA LESFITA SARI
FRAYA NADILLA PUTRI
FREETY URWATI WUSKA
MULIA RAHMA
NELY SUHAINI
RIVANI NOOR PERDANI TUMRAP
YESSY KARMILA SAPUTRI

DOSEN PEMBIMBING:

IBU HAMIDAH,SST.M.Kes

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES RIAU
JURUSAN KEBIDANAN TINGKAT 1A
TAHUN PELAJARAN 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat ALLAH SWT karna atas rahmat dan
hidayahnya berupa kesehatan sehingga makalah dengan judul “PENDIDIKAN BUDAYA
ANTI KORUPSI” dapat terselesaikan tepat waktu.

Makalah ini di susun sederhana agar pembaca dapat lebih memudah memahami
bagaimana kerja sistem endokrin dalam tubuh manusia. Kami mengharapakan semoga
makalah ini dapat bermanfaat dan memberikan pengetahuan bagi pembaca.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
hingga terselesaikannya makalah ini. Dan penulis memahami jika makalah tentu jauh dari
kesempurnaan maka kritik dan saran sangat kami butuh guna memperbaiki karya-karya kami
dilain waktu.

Pekan Baru, 22 Januari 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................................................
DAFTAR ISI ................................................................................................................................................
BAB I..........................................................................................................................................................
Latar Belakang .......................................................................................................................................
Tujuan Penulisan ...................................................................................................................................
Rumusan Masalah .................................................................................................................................

BAB II.........................................................................................................................................................
Pembahasan ..........................................................................................................................................

BAB III .......................................................................................................................................................


Kesimpulan ............................................................................................................................................
Saran .....................................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG

Korupsi adalah tindakan seseorang yang menyalahgunakan kepercayaan dalam suatu


masalah atau organisasi untuk mendapatkan keuntungan. Tindakan korupsi ini terjadi karena
beberapa faktor faktor yang terjadi di dalam kalangan masyarakat.

Korupsi dalam konteks sejarah Indonesia sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka,
bahkan beberapa referensi menyatakan korupsi sudah ada sejak jaman kerajaan nusantara
melalui venalty of power, dimana kedudukan atau jabatan diperjualbelikan secara bebas
kepada siapa saja yang mampu membayar (Retnowati & Utami, 2014).

Pasca Indonesia merdeka korupsi dilakukan sejak dari era Orde Lama, era Orde Baru,
hingga era Reformasi dan menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan indeks
korupsi tertinggi di dunia (Kami, 2018). Tidak heran apabila sebagian kalangan sudah
menganggap korupsi memiliki sifat lintas waktu/cross-temporal (Farrales dalam Thohari,
2011) dan menjelma menjadi sebuah budaya yang tidak bisa dipisahkan dalam
penyelenggaraan pemerintahan Indonesia (Junaidi & Patra, 2018; Ka`bah, 2007).

Realitasnya, ada kecenderungan semakin banyak peraturan perundang-undangan


dibuat, maka semakin besar dan meluasnya korupsi yang dilakukan (Soemanto, Sudarto, &
Sudarsana, 2014). Bahkan ada kecenderungan korupsi yang ada saat ini jauh lebih masif
dibandingkan dengan era-era sebelumnya (Samad, 2017). Apabila di era Orde Baru korupsi
dilakukan terkonsolidasi di level pemerintah pusat yang meliputi aspek politik dan
pembangunan (Widjojanto, 2016; Widoyoko, 2011), pada era Reformasi korupsi telah
terdesentralisasi ke daerah-daerah yang meliputi hampir seluruh aspek penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Bahkan, korupsi melibatkan oligarki elit lokal (Izziyana, 2016; Lestari,
2016), sehingga tidak heran banyak pejabat daerah beserta keluarganya terlibat kasus korupsi,
seperti kasus Walikota Cilegon Tubagus Iman, kasus Bupati Kutai Kartanegara Rita
Widyasari, kasus Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra dan masih banyak lagi (Kuswandi,
2018; Madia, 2018). Berbagai kasus tersebut menegaskan bahwa pelaku korupsi semakin
banyak dan bersifat lokal, hal ini sejalan dengan pemahaman Rosidi (2009) yang menyatakan
bahwa korupsi di era reformasi bukan berkurang, melainkan bertambah dan sudah merebak
ke daerah-daerah.

B.RUMUSAN MASALAH

Untuk memudahkan pembahasannya maka akan dibahas sub masalah sesuai dengan
latar belakang diatas yakni sebagai berikut:

1.Bagaimana pola korupsi di Indonesia?

2.Apa penyebab-penyebab korupsi di Indonesia?

3.Bagaimana modus-modus korupsi di Indonesia?

C.TUJUAN

Makalah ini bertujuan untuk:

1.Mengetahui apa saja pola korupsi di Indonesia

2.Mengetahui penyebab-penyebab korupsi di Indonesia

3.Mengetahui modus-modus korupsi di Indonesia


BAB II

PEMBAHASAN

1.Pola Korupsi

-Pola kuitansi fiktif

Sebenarnya pola ini lebih dikenal oleh masyarakat luas dengan istilah manipulasi alias
penyelewengan. Sesuatu yang kecil dibikin jadi besar. Yang besar dijadikan kecil. Yang ada
dibuat tidak ada. Yang tidak ada diadakan, dan sebagainya. Tapi karena pola ini lebih banyak
mengandalkan pada buku kuitansi dalam rangka menghadapi petugas inspektorat, audit,
maupun pajak, maka saya cenderung menamakannya sebagai pola kuitansi fiktif. Saya sebut
kuitansi fiktif karena kuitansinya memang terbukti ada. Tapi barang atau jasa atau kegiatan
yang dibeli/diselenggarakan justru lain dengan bukti kuitansinya, atau malah sama sekali
tidak ada. Kasus seperti ini boleh dibilang umum dilakukan oleh kantor-kantor pemerintah,
swasta, maupun BUMN.

Contoh yang paling sederhana misalnya, kantor saya membeli barang/jasa atau
menyelenggarakan sebuah kegiatan. Bukti riel uang keluar yang harus saya
pertanggungjawabkan terhadap kantor saya adalah kuitansi. Supaya saya bisa mendapatkan
keuntungan, ada beberapa cara yang bisa saya tempuh. Pertama, barang/jasa yang saya beli
atau kegiatan yang saya selenggarakan saya kecilkan/saya kurangi jumlah maupun mutunya,
sementara harganya tetap. Jumlah yang harus saya bayarkan otomatis juga ikut turun
sementara jumlah yang harus saya pertanggungjawabkan ke kantor tetap seperti rencana.
Selisih jumlah tersebut bisa langsung masuk kantung. Cara kedua, kalau saya sulit
menurunkan jumlah maupun kualitas barang/jasa atau kegiatan, maka harganya yang justru
saya naikkan. Selisih antara harga yang sebenarnya dengan harga yang sudah naik tadilah
yang saya kantungi.

-Pola komisi

Sebuah kantor pemerintah, swasta, maupun BUMN pastilah sering belanja barang dalam
jumlah besar, baik untuk kegiatan rutin maupun untuk menunjang proyek-proyeknya.
Taruhlah kantor saya perlu 200 baju seragam untuk karyawannya. Harga baju di toko per
lembar Rp 10.000. Tapi karena membeli di pengusaha konfeksi, saya bisa memperoleh
potongan harga sampai 20 persen. Kalau manajemen di kantor saya jelek, dengan mudah
seluruh komisi itu saya makan sendiri.

Misalnya komisi resmi yang diberikan oleh perusahaan untuk perusahaan adalah 20 persen.
Ternyata di samping itu masih ada “komisi khusus” 2,5-5 persen yang “diselipkan” ke
kantung si petugas pembelian. Bisakah komisi seperti ini dibuktikan secara hukum di
pengadilan; tentu saja sulit. Bukankah kuitansi atau tanda terimanya tidak ada? Tapi, sangat
sulit bukan lalu berarti mustahil. Kalau kita mampu melakukan pendekatan terhadap pihak
pemberi komisi hingga berhasil membuatnya “menyanyi”, maka bukan mustahil para
penerima komisi di kantor kita mengalami banyak kerepotan seperti halnya eks-PM Jepang
Kakuei Tanaka dulu.

Kadang-kadang kasus korupsi dengan pola komisi ini menjadi teramat rumit untuk diusut
lebih lanjut, manakala komisi yang diberikan bukanlah berbentuk uang sesuai dengan
persentase melainkan berupa barang sebagai hadiah, misalnya arloji, video. mobil, rumah,
bahkan tak jarang berupa perempuan cantik yang bisa diajak kencan. Tapi bagaimanapun
rumitnya, korupsi dengan pola ini toh masih tetap ada peluang untuk diusut dan dibuktikan
secara hukum.

-Pola upeti

Komisi – meski berupa hadiah barang, termasuk Hadiah lebaran, Natal dan Tahun Baru –
asalnya selalu dari relasi dan selalu dihitung sesuai dengan persentase nilai transaksi yang
telah atau akan dilakukan. Upeti meski juga bisa berupa uang maupun barang bahkan juga
“pacar” datangnya dari bawahan untuk atasan. Tujuannya bisa macam-macam. Misalnya saja
agar kondite tetap terjaga baik. Supaya kedudukan aman, tidak digeser atau dimutasikan ke
tempat yang “kering”. Supaya “permainan” yang dilakukannya tetap berlangsung dengan
selamat dan lain-lain.

Dalam bentuk kecil-kecilan, upeti ini bisa berupa makanan atau cenderamata untuk si
pengambil keputusan atau si penandatangan SPJ (Surat Perintah Jalan) manakala seseorang
akan bertugas keluar kota atau keluar negeri. Sepertinya hal ini sudah menjadi semacam
“budaya”. Saya sendiri selalu mencoba untuk tidak melakukan hal itu bila kebetulan sedang
ada tugas keluar. Tapi ketika teman-teman yang kebetulan saya beri tugas keluar melakukan
hal itu, terus terang saya jadi agak kerepotan untuk menolaknya. Pemecahannya paling
dengan ganti membagi-bagikan makanan atau memberikan cenderamata itu untuk teman
yang lain yang kebetulan memang tidak pernah mendapat tugas keluar.

-Pola menjegal order

Misalnya saya bekerja sebagai tenaga sales di sebuah perusahaan konfeksi. Gaji saya Rp
300.000 ditambah persentase dari transaksi yang berhasil saya dapatkan. Tiba-tiba saya
mendapatkan order senilai 500 juta rupiah. Persentase yang saya dapat dari kantor sesuai
dengan peraturan pastilah kecil sekali. Mendingan order ini saya lempar ke pengusaha
konfeksi lain hingga saya menerima komisi yang lebih gede. Kalau order ini datangnya dari
relasi baru, kemungkinan terbongkarnya kasus saya ini akan jadi kecil sekali.

Tapi yang lebih menguntungkan lagi adalah kalau order tadi saya garap sendiri. Itulah
sebabnya kita lalu sering melihat adanya tenaga sales di sebuah perusahaan percetakan yang
di rumah juga punya mesin cetak sendiri. Ada pegawai konfeksi yang di rumah punya usaha
jahit sendiri. Ada pegawai bengkel yang di rumah juga punya usaha perbengkelan dan
sebagainya. Order-order yang dijegal ini sebenarnya secara hukum adalah milik perusahaan.
Jadi karena pembuktian kasus seperti ini juga tidak sulit, penindakannya secara administratif
maupn hukum juga paling mudah untuk dilakukan. Biasanya oknum seperti ini kalau
ketahuan akan segera di-PHK.

-Pola perusahaan rekanan

Apabila Anda seorang pimpinan proyek atau pejabat pengambil keputusan, tentu akan terlalu
kentara manakala punya perusahaan yang bisa menangkap order-order dari kantor Anda
sendiri. Kalau Anda bekerja di sebuah kantor penerbitan lalu di rumah Anda punya
perusahaan percetakan untuk menampung order dari kantor, tentu teman-teman akan ribut
lantaran hal itu kelewat mencolok mata. Itulah sebabnya lalu banyak oknum pejabat yang
memberi modal pada si keponakan, si saudara sepupu, mertua, istri, anak, dan kerabat dekat
lain untuk bikin perusahaan rekanan. Kepadanyalah kemudian segala macam order mengalir
dengan lumayan deras. Di kalangan elite di negeri ini, gejala demikian sebenarnya sudah
bukan merupakan barang baru lagi. Cuma siapakah gerangan yang berani menulis atau
membeberkannya di muka umum?

2.Penyebab Korupsi
Faktor Internal, merupakan faktor pendorong korupsi yang berasal dari dalam diri setiap
individu. Faktor internal dapat diperinci menjadi:

a) Sifat tamak/rakus manusia


Sifat tamak merupakan sifat yang berasal dari dalam diri setiap individu. Hal itu
terjadi ketika seseorang mempunyai hasrat besar untuk memperkaya diri dan tidak
pernah merasa puas terhadap apa yang telah dimiliki.

b) Gaya hidup konsumtif

Pada era-modern ini, terutama kehidupan dikota- kota besar merupakan hal yang
sering mendorong terjadinya gaya hidup konsumtif. Oleh karena itu, apabila Perilaku
konsumtif tidak di imbangi dengan pendapatan yang memadai,maka hal tersebut akan
membuka peluang seseorang untuk melakukan berbagai tindakan demi memenuhi
hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan itu adalah dengan korupsi.

c) Moral yang kurang kuat

Seseorang yang mempunyai moral lemah cenderung mudah tergoda untuk melakukan
tindakan korupsi. Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahan, atau
pihak lain yang memberi kesempatan untuk melakukan korupsi.

Faktor Eksternal,merupakan faktor pemicu terjadinya tindakan korupsi yang berasal dari
luar diri pelaku. Faktor eksternal dapat dibagi menjadi empat, yaitu:

1. Faktor Politik

Politik merupakan salah satu sarana untuk melakukan korupsi. Hal ini dapat dilihat
ketika terjadi intrabilitas politik atau ketika politisi mempunyai hasrat untuk
mempertahankan kekuasaannya.

2. Faktor Hukum
Hukum bisa menjadi faktor terjadinya korupsi dilihat dari dua sisi, disatu sisi dari
aspek perundang – undangan, dan disisi lain dari lemahnya penegak hukum. Hal lain
yang menjadikan hukum sebagai sarana korupsi adalah tidak baiknya substansi
hukum, mudah ditemukan aturan – aturan yang diskrimatif dan tidak adil, rumusan
yang tidak jelas dan tegas sehingga menumbulkan multi tafsir, serta terjadinya
kontradiksi dan overlapping dengan aturan lain.

3.Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi juga merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi. Hal itu dapat
dilihat ketika tingkat pendapat atau gaji yang tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhannya, maka seseorang akan mudah untuk melakukan tindakan korupsi demi
terpenuhinya semua kebutuhan.

4. Faktor Organisasi

Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, tidak hanya
organisasi yang ada dalam suatu lembaga, tetapi juga sistem pengorganisasian yang
ada didalam lingkungan masyarakat. Faktor - faktor penyebab terjadinya korupsi dari
sudut pandang organisasi meliputi:

1. Kurang adanya teladan dari pemimpin


2. Tidak adanya kultur organisasi yang benar
3. Sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai
4. Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi
5. Lemahnya pengawasan.

3.Modus Korupsi

Berdasarkan catatan ICW, ada 12 modus yang digunakan dalam kasus korupsi yang ditindak
selama semester I 2018. Modus-modus itu adalah:

1. Penyalahgunaan anggaran Ada 39 kasus dengan nilai kerugian negara sebesar Rp86,5
miliar yang menggunakan modus ini.
2. Modus mark up Modus ini ditemukan pada 26 kasus korupsi dengan total nilai kerugian
Rp372 miliar.

3. Modus suap Kasus dugaan korupsi yang menggunakan modus ini sebanyak 24 kasus
dengan total nilai suap sebesar Rp41,7 miliar

4. Modus korupsi dengan pungutan liar Ada 17 kasus dengan modus seperti ini, besaran nilai
pungutan liar Rp32 juta

5. Modus penggelapan Sebanyak 11 kasus dengan nilai pungutan sebesar Rp11,3 miliar

6. Modus laporan fiktif Jumlahnya ada 111 kasus menggunakan modus ini, dengan nilai
kerugian negara Rp52,2 miliar

7. Modus penyalahgunaan wewenang Ada 4 kasus dengan nilai kerugian negara Rp569 miliar
7. Modus gratifikasi Dua kasus korupsi dengan nilai gratifikasi Rp435 juta

8. Modus pemotongan anggaran Dua kasus dengan nilai Rp1,4 miliar

9. Modus anggaran ganda Modus ini ditemukan pada satu kasus dengan nilai pungutan liar
Rp1,6 miliar

10. Modus kegiatan atau proyek fiktif Ada satu kasus dengan nilai Rp810 juta

11. Modus mark down Ada satu kasus dengan nilai kerugian negara Rp1,4 miliar
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Korupsi merupakan sebuah tindakan yang dimana merugikan pihak-pihak tertentu.


Dalam pola tindakan korupsi ini mencakup beberapa kegiatan baik itu dipeusahaan,
perangkat kenegaraan bahkan dalam kehidupan sehari-hari yang tanpa disadari dalam
lingkungan hidup.

B. Saran

Ketegasan pemerintah sangat diperlukan dalam kasus-kasus korupsi baik itu berupa
sanksi ataupun denda yang membuat jera para pelaku korupsi dan perlunya kesadaran dari
masing-masing pribadi untuk tidak melakukan kejahatan ini dalam bentuk apapun.
DAFTAR PUSTAKA

https://frahardi.wordpress.com/artikel/tujuh-pola-korupsi-di-indonesia/

https://www.kompasiana.com/zurul_98/57ee2a6ab37e61951464bfe4/faktorfaktor-penyebab-
korupsi?page=all

https://www.kompasiana.com/kyberdian/5d3ffe1b0d823073df35f1d2/sejarah-korupsi-di-
indonesia?page=all

Anda mungkin juga menyukai