Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Glaukoma adalah suatu kelainan yang berhubungan dengan tekanan
intraokular yang disertai dengan kerusakan pada saraf optik yang terjadi secara
perlahan. Pada sebagian besar penderitanya terjadi akibat peningkatan intra okular
oleh karena adanya sumbatan pada sirkulasi atau drainase aquos. Pada beberapa
pasien, kerusakan bisa disebabkan oleh suplai darah yang tidak adekuat ke serabut
saraf optik vital, kelemahan struktur saraf dan atau adanya masalah pada serabut
saraf itu sendiri.
Pada glaukoma akan terdapat melemahnya fungsi mata dengan terjadinya
cacat lapang pandang, kerusakan anatomi berupa ekskavasi (penggaungan) serta
degenerasi papil saraf optik,yang dapat berakhir dengan kebutaan.

Glauoma merupakan masalah kesehatan mata yang penting di Indonesia.


Distribusi penyakit glaukoma di Indonesia sebesar 13,4%. Prevalensi kebutaan
akibat penyakit glaukoma sebesar 0,2%. Glaukoma adalah penyebab kebutaan
nomor dua terbesar di Indonesia setelah katarak dan seringkali mengenai orang
berusia lanjut.

Hinggga kini penyebab timbulnya penyakit glaukoma belum diketahui,


namun ada beberapa hal yang ditemukan seperti penyakit ini biasanya mengenai
manusia dewasa di atas usia 40 tahun terutama pada usia lanjut, biasanya dalam
keluarga sedarah terdapat penderita glaukoma.

Di Amerika Serikat, penyakit ini lebih dominan pada masyarakat berkulit


berwarna (etnis Afrika) daripada yang berkulit putih (4:1), sedangkan di Indonesia
belum ada penelitian mendalam dan menyeluruh mengenai pola penyakit
glaukoma.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anotomi dan Fisiologi


Humor akueus atau cairan aquos adalah cairan jernih yang
mengisi bilik mata depan dan belakang. Volumenya sekitar 250
μL dan kecepatan pembentukannya yang bervariasi diurnal adalah
1,5-2 μL/mnt. Cairan aquous diproduksi di badan siliar dan
berjalan antara lensa dan iris, dan melalui pupil. Cairan aquous
membawa oksigen, glukosa dan beberapa nutrisi penting lainnya.
Cairan ini masuk di bilik anterior dan mengalirkannya melalui
sudut drainase (trabecullar meshwork). Jalinan/jala trabekula terdiri dari
berkas-berkas jaringan kolagen dan elastic yang dibungkus oleh sel-sel
trabekular yang membentuk saringan dengan ukuran pori-pori semakin
mengecil sewaktu mendekati kanalis Schelmm.
Terdapat dua jalur utama keluarnya cairan akuos yaitu:
1. Aliran keluar konvensional menyediakan mayoritas drainase akuos
menuju Trabecullar meshwork. Kontraksi otot siliaris melalui
insersinya ke dalam jalinan trabekula memperbesar ukuran pori-pori di
jalinan tersebut sehingga kecepatan drainase cairan akuos juga
meningkat. Aliran cairan akuos ke dalam kanalis Schelmm tergantung
pada permukaan saluran-saluran transelular siklik di lapisan endotel.
Saluran eferan dari kanalis Schelmm (sekitar 30 saluran pengumpuldan
12 vena akuos).
2. Aliran keluar non konvensional atau aliran keluar uveoskeral,
menyediakan sisa drainase aliran keluar akuos dari mata antara berkas
otot siliaris dan lewat sela-sela sklera. Drainase akuos melawan
tahanan jadi tekanan intraokular dijaga agar tetap lebih tinggi
dibanding tekanan udara namun lebih rendah dibanding tekanan darah.

2
Gambar 2.1 Aliran Humor Akuos Normal

2.2 Definisi
Glaukoma bersal dari kata Yunani “Glaukos” yang berarti hijau
kebiruan yang memberikan kesan warna tersebut pada pupil penderita
galukoma. Glaukoma merupakan penyebab kebutaan pertama yang
irreversibel. Glaukoma adalah suatu keadaan pada mata yang ditandai
dengan kenaikan tekanan intraokuli, penurunan visus, penyempitan lapang
pandang, dan nervus optikus.
Glaukoma merupakan kumpulan beberapa penyakit dengan tanda
utama tekanan intraokuler yang tinggi dengan segala akibatnya yaitu,
penggaungan dan atrofi saraf optik serta defek lapang pandang yang khas.
Di dalam bola mata (intraokular) terdapat cairan bola mata atau humor
akuos yang setiap saat mengalir dari tempat pembuatannya sampai
berakhir disaluran keluar. Bila dalam pengalirannya mengalami hambatan,
maka akan terjadi peningkatan tekana bola mata sehingga mengganggu
saraf penglihatan dan terjadi kerusakan lapang pandang mulai ringan
sampai berat sesuai tinggi dan lamanya tekanan tersebut mengenai saraf
mata.

3
2.3 EPIDEMIOLOGI
Glaukoma merupakan penyebab kebutaan nomor dua di Indonesia
setelah katarak. Penyakit mata ini biasanya terjadi pada usia 40 tahun ke
atas. Etnis Afrika dibandingkan etnis kaukasus pada glaukoma sudut
terbuka primer adalah 4:1. Glaukoma berpigmen terutama etnis kaukasus.
Pada orang asia lebih sering dijumpai glaukoma sudut tertutup.

2.4 FAKTOR RISIKO


Faktor risiko glaukoma meliputi hipermetropi (glaukoma sudut
tertutup), miopi (glaukoma sudut terbuka), usia >45 tahun, keturunan
(riwayat glaukoma dalam keluarga), dan ras (Asia lebih berisiko). Faktor
risiko lainnya adalah migrain, hipertensi, hipotensi, diabetes melitus,
peredaran darah dan regulasinya (darah yang kurang akan menambah
kerusakan), fenomena autoimun, degenerasi primer sel ganglion, dan
pasca bedah dengan hifema/infeksi.
Hal yang memperberat risiko glaukoma:
 Tekanan bola mata, makin tinggi makin berat
 Usia
 Risiko kulit hitam 7 kali dibangding kulit putih
 Hipertensi, risiko 6 kali lebih sering
 Miopia, risiko 2 kali lebih sering
 Diabetes melitus, risiko 2 kali lebih sering

2.5 ETIOPATOGENESIS
Penyebab glaukoma tidak diketahui secara pasti, bisa juga karena
trauma/benturan, atau karena penyakit mata lain seperti katarak yang
sudah pecah (katarak hipermatur), uveitis, dan pengaruh obat-obatan.
Tiga faktor sehingga terjadinya peningkatan tekanan intraokuler yang
akhirnya menyebabkan terjadinya glaukoma adalah:
1. Produksi berlebih humor akuos pada corpus siliaris
2. Adanya resistensi dan aliran akuous pada sistem trabekular maupun
kanal Schlemm
4
3. Peningkatan tekanan vena episklera.
Bilik anterior dan posterior mata terisi oleh cairan encer yang disebut
humor akuous. Dalam kedaan normal, cairan ini dihasilkan di dalam bilik
posterior, melewati pupil masuk ke dalam bilik anterior lalu mengalir dari
mata melalui suatu saluran. Jika aliran cairan ini terganggu (biasanya
karena penyumbatan yang menghalangi keluarnya cairan dari bilik
anterior), maka akan terjadi peningkatan tekanan sehingga merusak
serabut saraf mata. Perlu diketahui, saraf mata berfungsi meneruskan
bayangan yang dilihat ke otak. Di otak, bayangan tersebut akan bergabung
di pusat penglihatan dan membentuk suatu benda (vision). Peningkatan
tekanan intraokuler akan mendorong perbatasan antara saraf optikus dan
retina di bagian belakang mata. Akibatnya pasokan darah ke saraf optikus
berkurang sehingga sel-sel sarafnya mati. Karena saraf optikus mengalami
kemunduran, maka akan terbentuk bintik buta pada lapang pandang atau
menimbulkan skotoma (kehilangan lapangan pandang). Bila seluruh
serabut saraf rusak dan tidak diobati, glaukoma pada akhirnya akan
menimbulkan kebutaan total. Yang pertama terkena adalah lapang
pandang tepi, lalu diikuti oleh lapang pandang sentral. Pada penderita
glaukoma, yang terjadi adalah kerusakan serabut saraf mata sehingga
menyebabkan blind spot.
Faktor-faktor penyebab penggaungan dan degenerasi papil saraf optik:
1. Gangguan pendarahan pada pupil yang disebabkan oleh peninggian
tekanan intraokuler.
2. Tekanan intraokuler yang tinggi secara mekanik menekan papil sraf
optik yang merupakan tempat dengan daya tahan paling lemah pada
bola mata.
3. Penggaungan papil yang tidak simetris antara mata kanan dan mata
kiri.

5
Gambar2.2 Kerusakan optikus pada glaukoma.

2.6 KLASIFIKASI
Klasifikasi Vaughan untuk glaukoma adalah sebagai berikut:
1. Glaukoma primer
a. Glaukoma sudut terbuka (simpleks)
Penyebab glaukoma ini belum pasti, mula timbulnya gejala simpleks
ini agak lambat yang kadang tidak disadari oleh penderita sampai
akhirnya berlanjut dengan kebutaan. Umumnya ditemukan pada
pasien usia lebih dari 40 tahun. Gambaran patologik utama pada
glaukoma sudut terbuka adalah proses degeneratif di jalinan
trabekular, termasuk pengendapan bahan ekstrasel di dalam jalinan
dan di bawah lapisan endotel kanalis Schlemm. Hal ini berbeda dari
proses penuaan normal. Akibatnya adalah penurunan drainase cairan
akuous yang menyebabkan peningkatan tekanan intraokuler.
b. Glaukoma sudut tertutup, terdiri atas:
 Akut
Glaukoma sudut terrutup akut primer terjadi apabila terbentuk
iris bombe yang menyebabkan sumbatan sudut bilik mata
depan (BMD) oleh iris perifer. Hal ini menyumbat aliran
cairan akuos dan tekanan intraokuler meningkat dengan cepat.
Galukoma sudut tertutup terjadi pada mata yang sudah
mengalami penyempitan anatomik BMD.

6
 Sub akut
Pada glaukoma sudut tertutup sub akut episode peningkatan
TIO berlangsung singkat dan rekuren. Episode penutupan
sudut membaik secara spontan, tetapi terjadi akumulasi
kerusakan pada sudut BMD berupa pembentukan sinekia
anterior perifer.
 Kronik
Sejumlah kecil pasien dengan predisposisi penutupan BMD
tidak pernah mengalami episode peningkatan akut TIO tetapi
mengalami sinekia anterior perifer yang semakin meluas
disertai peningkatan bertahap dari TIO.
2. Glaukoma kongenital : primer atau infantil dan disertai kelainan
kongenital lainnya.
3. Glaukoma sekunder
Glaukoma sekunder merupakan glaukoma yang terjadi akibat
penyakit mata yang lain atau penyakit sistemik yang menyertainya,
seperti :
- Akibat perubahan lensa (dislokasi lensa, intumesensi lensa,
glaukoma fakolitik dan fakotoksik pada katarak, glaukoma
kapsularis/sindrom eksfoliasi)
- Akibat perubahan uvea (uveitis anterior, tumor, rubeosis iridis)
- Akibat trauma (hifema, kontusio bulbi, robeknya kornea atau
limbus yang disertai prolaps iris)
- Akibat post operasi (pertumbuhan epitel konjungtiva, gagalnya
pembentukan bilik mata depan post-operasi katarak, blok pupil post
operasi katarak.
- Akibat pemakaian kortikosteroid sistemik atau topikal dalam
jangka waktu yang lama.

7
4. Glaukoma absolute
Glaukoma absolute merupakan stadium akhir glaukoma
(sempit/terbuka) dimana sudah terjadi kebutaan total akibat tekanan
bola mata memberikan gangguan fungsi lanjut. Pada glaukoma
absolute terlihat kornea keruh, bilik mata dangkal, papil atrofi dengan
ekskavasi glaukomatosa, mata keras seperti bati dengan rasa sakit.

Gambar 2.3 Klasifikasi Glaukoma

2.7 PATOFISIOLOGI GLAUKOMA SEKUNDER


Patofisiologi peningkatan tekanan intraokular baik disebabkan oleh
mekanisme sudut terbuka atau sudut tertutup pada glaukoma sekunder,
sesuai dengan bentuk kelainan klinis yang menjadi penyebabnya. Efek
peningkatan tekanan intraokular didalam mata dipengaruhi oleh perjalanan
waktu dan besar peningkatan intraokuler.
Kerusakan sraf optik berupa penggaungan dan degenerasi papil saraf
optik diduga disebabkan oleh:
1. Gangguan pendarahan pada pail yang menyebabkan degenerasi berkas
serabut saraf pada pupil saraf optik.
2. Tekanan intraokular yang tinggi secara mekanik menekan papil sraf
optik.
3. Ekskavasio papil saraf optik.

8
Mekanisme utama penurunan penglihatan pada glaukoma adalah
atropi sel ganglion difus, yang menyebabkan penipisan lapisan serat
saraf dan inti bagian dalam retina dan berkurangnya akson di saraf
optikus. Diskus optikus menjadi atropi, disertai pembesaran cekungan
optikus, iris, dan korpus siliaris juga.

2.8 GLAUKOMA SEKUNDER AKIBAT PERUBAHAN LENSA


Kelainan ini dapat berupa mekanik yaitu lensanya dan kimiawi yaitu
fakolitik atau fakotoksik. Dislokasi lensa dapat berupa subluksasi ke depan
atau ke belakang. Trauma tumpul lensa dapat mengakibatkan dislokasi
lensa, antara lain:
 Glaukoma pada subluksasi ke depan:
Subluksasi lensa ke depan dapat menyebabkan glaukoma karena
terjadinya hambatan pupil sehingga aliran akuos dari bilik mata
belakang ke bilik mata depan sehingga menyebabkan penutupan sudut
bilik mata depan dan mata depan. Subluksasi ini juga dapat
mendorong iris ke depan sehingga menyebabkan penutupan sudut
bilik mata depan dan perlengketan di sudut tersebut yang kedua-
duanya dapat menyebabkan glaukoma.
 Glaukoma pada subluksasi ke belakang:
Pada subluksasi ke belakang dapat terjadi rangsangan yang menahun
pada badan siliar akibat tarikan-tarikan zonula zin atau gesekan lensa
pada badan siliar. Rangsangan ini menyebabkan produksi akuos yang
berlebihan yang dapat menimbulkan glaukoma.
 Glaukoma pada luksasi ke depan:
Pada luksasi ke depan lensa terletak langsung dalam bilik mata depan
dan ini menutup jalur keluar akuos sehingga terjadi galukoma.
 Glaukoma pada luksasi ke belakang:
Dalam keadaan ini lensa terletak langsung dalam bilik mata depan dan
ini menutup jalur keluar akuos sehingga terjadi glaukoma.
Kelainan kimiawi dapat terjadi pada katarak hipermatur dimana
protein lensa dan makrofag menutup sudut bilik mata depan, hal ini
9
disebut glaukoma fakolitik. Protein lensa yang terlepas dari kapsulnya
dapat menyebabkan iridosiklitis, hal ini disebut glaukoma fakotoksik.
Pengobatan
 Dapat diberikan obat-obat anti glaukoma
 Bila tidak berhasil dapat dilakukan iridektomi perifer
 Operasi pengeluaran lensa merupakan cara untuk menghilangkan
penyebab utamanyadan hal ini merupakan pengobatan yang berhasil.

2.9 GLAUKOMA SEKUNDER AKIBAT UVEITIS ANTERIOR


Badan siliaris berfungsi sebagai pembentuk cairan bilik mata (humor
akuos) yang memberi makanan kepada lensa dan kornea. Adanya
peradangan diiris dan badan siliaris, maka timbul hiperemi yang aktif,
pembuluh darah melebar, pembentukan cairan bertambah, sehingga dapat
menyebabkan glaukoma sekunder.
Di sudut COA, cairan melalui trabekulum masuk ke dalam kanal
Schlemm untuk menuju ke pembuluh darah episklera. Bila keluar
masuknya cairan ini masih seimbang, maka tekanan mata masih dalam
batas-batas normal 15-20 mmHg. Jika banyak sel radang dan fibrin dapat
pula menyumbat sudut COA, sehingga aliran cairan COA keluar
terhambat dan menimbulkan glaukoma sekunder.
Elemen-elemen radang mengandung fibrin, yang menempel pada
pupil, dapat juga mengalami jaringan organisasi, sehingga melekatkan
ujung iris pada lensa. Perlekatan ini disebut sinekia posterior. Bila seluruh
pinggir iris melekat pada lensa, disebut seklusio pupil, sehingga cairan dari
COP, tidak dapat melalui pupil untuk masuk ke COA, iris terdorong ke
depan, menyebabkan sudut KOA sempit dan timbullah glaukoma
sekunder. Perlekatan-perlekatan iris pada lensa, menyebabkan pupil
bentuknya tak teratur. Pupil dapat pula diisi oleh se-selradang dan fibrin,
yang kemudian mengalami jaringan organisasi dan terbentuklah oklusi
pupil sehingga akan menghambat aliran humor akuos dan dapat
menyebabkan galukoma sekunder.

10
Hal-hal tersebut dapat mengakibatkan glaukoma sekunder yang dapat
terjadi pada stadium dini dan juga stadium lanjut pada stadium dini terjadi
peradangan uvea anterior, timbul hiperemi yang menimbulkan
bertambahnya produk humor akuos, juga ikut keluarnya sel-sel radang
dengan fibrinnya akibat gangguan permeabilitas dari pembuluh darah dan
menyebabkan meningginya tekanan intraokuler. Pada stadium lanjut
adanya seklusio pupil, oklusi pupil, sinekia perifer dapat menimbulkan iris
bombe yang meneybabkan sudut iridokornealis sempit dan menimbulkan
gangguan aliran keluar dari humor akuos sehingga tekanan intraokuler
meningkat yang pada akhirnya dapat menyebabkan glaukoma sekunder.
Glaukoma sekunder akibat uveitis anterior itu sendiri dikelompokkan
menjadi glaukoma sekunder sudut terbuka dan glaukoma sudut tertutup.
1. Glaukoma sekunder sudut terbuka akibat uveitis anterior

Gambar 2.4 Glaukoma sekunder sudut terbuka akibat uveitis anterior

Pada tahap awal glaukoma sekunder akibat uveitis anterior, banyak


berhubungan dengan glaukoma sudut terbuka seperti yang terlihat pada
gambar. Hambatan aliran humor akuos berhubungan dengan
menumpuknya sel-sel inflamasi dan serat fibrin di trabekulum (T). Pada
tahap lanjut, sinekia perifer (P) dapat muncul dan sudut iridikornealis akan
11
terbuka kurang dari 50% jika sudut tertutup oleh sinekia perifer. Terapi
pada glaukoma sudut terbuka ini lebih banyak dengan medikamentosa.
Pada tahap yang lebih lanjut dari penyakit ini, pada banyak kasus,
dapat terjadi glaukoma sudut tertutup sebagai efek sekunder dari sinekia
perifer atau efek sekunder blok pupil dari produk hasil inflamasi di pupil.
Ini dapat juga karena pada awalnya terjadi sebagai serangan berulang
ringan dari uveitis yang tidak terdeteksi yang menyebabkan sinekia perifer
dan menjadi glaukoma sudut tertutup kronik.

2. Glaukoma sekunder sudut tertutup akibat uveitis anterior

Gambar 2.5 Glaukoma sekunder sudut tertutup akibat uveitis anterior

Gambar menunjukkan keadaan sudut tertutup (A) dengan presentase


lebih dari 50%. Pada uveitis tahap lanjut ini glaukoma sudut tertutup dapat
berasal dari sinekia perifer atau efek sekunder blok pupil dari produk
inflamasi yang ada di pupil (P). Anatomi dari sudut iridokornealis tidak
dapat dilihat dengan jelas pada pemeriksaan gonioskopi disebabkan
adanya sinekia perifer dari iris dan adanya iris bombe sehingga iris
terdorong kedepan oleh cairan humor akuos pada kamera okuli posterior
12
sehingga menutupi sudut iridokornealis tersebut. Jika sudut terbuka maka
kita dapat mengontrol glaukoma sekunder dan uveitis sehingga dapat
menurunkan tekanan intraokuler, pengontrolan ini sulit dilakukan jika
kondisi sudah berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama dan telah
ada jaringan fibrotik permanen pada trabekulum, pada keadaan ini
glaukoma sekunder yang terjadi dapat berlangsung permanen selamanya.
Pada kasus yang lain, setelah periode panjang pada uveitis yang tidak
diterapi atau dikontrol, sudut perlahan-lahan akan tertutup oleh sinekia
perifer, pada keadaan ini, tentu saja glaukoma juga dapat berlangsung
permanen pula.

2.10 GLAUKOMA SEKUNDER AKIBAT TRAUMA


Cedera kontusio bola maa dapat disertai dengan peningkatan dini
tekanan intraokular akibat perdarahan kedalam bilik mata depan (hifema).
Darah bebas menyumbat anyaman trabekular, yang juga mengalami
edema akibat cedera. Terapi awal dilakukan dengan obat-obatan, tetapi
mungkin diperlukan tindakan bedah bila tekanannya tetap tinggi, yang
kemungkinana besar terjadi bila ada episode perdarahan kedua.
Cedera kontusio berefek lambat pada tekanan intraokular, efek ini
timbul akibat kerusakan langsung pada sudut. Selang waktu antara cedera
dan timbulnya glaukoma mungkin menyamarkan hubungan tersebut.
Secara klinis, bilik mata depan tampak lebih tajam lebih dalam daripada
mata yang satunya, dan gonioskopi memperlihatkan resesi sudut. Terapi
medis biasanya efektif, tetapi mungkin diperlukan tindakan bedah.
Laserasi atau robek akibat kontusio pada segmen anterior sering
disertai dengan hilangnya bilik mata depan. Apabila bilik mata tidak
segera dibentuk kembali setelah cedera -baik secara spontan, dengan
inkarserasi iris kedalam luka, atau secara bedah- akan terbentuk sinekia
anterior perifer dan menyebabkan penutupan sudut yang irreversibel.

13
2.11 GLAUKOMA SEKUNDER AKIBAT OPERASI
 Glaukoma sumbatan siliaris (glaukoma maligna)
Tindakan bedah pada mata yang menimbulkan peningkatan tekanan
intraokular yang bermakna dan sudut sempit atau tertutup dapat
menyebabkan glaukoma sumbatan siliaris. Segera setelah
pembedahan, tekanan intraokular meningkat hebat dan lensa terdoring
ke depan akibat penimbunan akuos di dalam dan di belakang korpus
vitreum. Pasien awalnya merasakan penglihatan jauh yang kabur,
tetapi penglihatan dekatnya membaik. Ini diikuti dengan nyeri dan
perdangan. Terapi terdiri atas siklopelgik, midriatik, penekanan humor
akuos, dan obat-obat hiperosmotik. Obat hiperosmotik digunakan
untuk menciutkan korpus vitreum dan membiarkan lensa bergeser ke
belakang. Mungkin diperlukan sklerotomi posterior, vitrektomi, dan
bahkan ekstraksi lensa.
 Sinekia anterior perifer
Seperti halnya trauma pada segmen anterior, tindakan bedah yang
menyebabkan mendatarnya bilik mata depan menimbulkan
pembentukan sinekia anterior perifer. Diperlukan pembentukan
kembali bilik mata depan melalui tindakan bedah dengan segera
apabila hal tersebut tidak terjadi secara spontan.

2.12 GLAUKOMA SEKUNDER AKIBAT TUMOR INTRAOKULER


Pada retinoblastoma mempunyai gejala mata merah, mata merah ini
sering berhubungan dengan glaukoma sekunder yang terjadi akibat
retinoblastoma. Apabila sudah terjadi galukoma maka dapat diprediksi
sudah terjadi invasi ke nervus optikus. Selain glaukoma, penyebab mata
merah ini dapat pula akibat gejala inflamasi okuler atau periokuler yang
tampak sebagai selulitis preseptal atau endoftalmitis. Inflamasi ini
disebabkan oleh adanya tumor yang nekrosis.

14
Pada retinoblastoma didapatkan tiga stadium, yaitu:
1. Stadium tenang
Pupil lebar, di pupil tampak refleks kuning yang disebut
“amaurotic cat’s eye”. Pada funduskopi, tampak bercak yang
berwarna kuning mengkilat dapat menonjol ke dalam badan kaca. Di
permukaannya ada neovaskularisasi dan perdarahan, dapat disetai
dengan ablatio retina.
2. Stadium glaukoma
Tumor menjadi besar, menyebabkan tekanan intraokuler
meningkat (glaukoma sekunder) yang disertairasa sakit yang sangat.
Media refraktar keruh, pada funduskopi sukar menentuka besarnya
tumor.
3. Glaukoma ekstraokuler
Tumor menjadi lebih besar, bola mata membesar menyebabkan
eksoftalmus kemudian dapat pecah ke depan sampai ke luar dari
rongga orbita disertai nekrosis di atasnya. Pertumbuhan dapat pula
terjadi ke belakang sepanjang N.II dan masuk ke ruang tengkorak.
Penyebaran ke kelenjar getah bening, dapat masuk ke pembuluh darah
untuk kemudian menyebar ke seluruh tubuh.

2.13 GLAUKOMA SEKUNDER AKIBAT PENGGUNAAN STEROID


JANGKA PANJANG
Kortikosteroid intraokular, periokular dan topikal dapat menimbulkan
sejenis glaukoma yang mirip dengan glaukoma sudut terbuka primer,
terutama pada individu dengan riwayat penyakit ini pada keluarganya, dan
akan memperparah peningkatan TIO pada para pengidap glaukoma sudut
terbuka primer. Penghentian pengobatan biasanya menghilangkan efek-
efek tersebut, tetapi dapat terjadi kerusakan permanen apabila keadaan
tersebut tidak disadari dalam waktu lama. Apabila terapi steroid topikal
mutlak diperlukan, terapi glaukoma secara medis biasanya dapat
mengontrol TIO. Terapi steroid sistemik jarang menyebabkan peningkatan

15
TIO. Pasien yang mendapatkan terapi steroid topikal atau sistemik arus
menjalani tonometri dan oftalmoskopi secara periodik, terutama apabila
terdapat riwayat glaukoma dalam keluarga.

2.14 DIOGNOSIS
a. Anamnesis
Keluhan utama atau gejala-gejala penderita dengan glaukoma
umumnya berupa gangguan penglihatan, mata sakit, mata merah.
Kehilangan penglihatan yang disebabkan oleh atropi serabut saraf
optik tidak disadari penderita, sampai kelainan sudah lanjut yaitu
hilangnya penglihatan sentral. Kadang-kadang pada bebeerapa
penderita mungkin sudah mengeluh adanya skotoma-skotoma di
daerah Bjerrum (parasentral pada lapang pandang). Tetapi umumnya
gangguan penglihatan baru dirasakan bila sudah ada kekeruhan media
atau kelainan makula.
Gangguan penglihatan subjektif pada penderita glaukoma paling
sering disebabkan oleh edema kornea akibat peninggian TIO
yangcepat. Gangguan penglihatan yang lain adalah halo glaukomatosa
yaitu penderita melihat lingkaran-lingkaran pelangi disekitar bola
lampu. Keadaan ini umumnya disebabkan oleh edema kornea atau
sudah ada sklerosis nukleus lensa. Selain itu astenopia seperti mata
cepat lelah, kesulitan akomodasi pada waktu membaca dekat dan
kehilangan penglihatan untuk beberapa saat (transient blackout) dapat
disebabkan keadaan glaukoma.
Rasa sakit pada penderita glaukoma mempunyai derajat yang
berbeda-beda. Sakit ini terdapat disekitar mata, pada alis mata atau
didalam bola mata dengan atau tanpa sakit kepala. Mata merah
terutama akibat injeksi siliar yang terjadi pada peninggian TIO yang
cepat, sering disertai mual dan muntah.
Riwayat-riwayat penyakit mata penderita hendaknya dicatat seperti
trauma, operasi-operasi mata, penyakit retina, pemakaian obat-obatan,

16
steroid, penyakit-penyakit sistemik seperti kelainan kardiovaskular,
penyakit endokrin seperti DM, kelianan tekanan darah.
b. Pemeriksaan-pemeriksaan pada mata
 Biomikroskopi
Dalam pemeriksaan biomikroskopi, terutama diperhatikan keadaan
segmen anterior, baik kelainan yang diakibatkan glaukoma mapun
keadaan ynng mungkin menyebabkan glaukoma. Sebelum ini
pemeriksaan inspeksi dilakukan terlebih dahulu, seperti posisi,
kedudukan dan gerakan bola mata.
Pada kasus glaukoma berbagai perubahan dapat dijumpai misalnya
injeksi siliar, pelebaran pembuluh darah konjungtiva dan episklera,
edema kornea, keratik prespitat, sinekia iris, atropi iris,
neovaskularisasi iris, pelebaran pupil, ekstropion uvea, dan kaarak
glaukomatosus.

 Pemeriksaan tajam penglihatan


Kehilangan penglihatan yang disebabkan oleh atropi serabut saraf
optik tidak disadari penderita, sampai kelainan sudah lanjut yaitu
hilangnya penglihatan sentral. Kadang-kadang pada bebeerapa
penderita mungkin sudah mengeluh adanya skotoma-skotoma di
daerah Bjerrum (parasentral pada lapang pandang). Tetapi
umumnya gangguan penglihatan baru dirasakan bila sudah ada
kekeruhan media atau kelainan makula. Kehilangan proyeksi
penglihatan ini umumnya dimulai dibagian nasal, kemudian
disebelah atas atau bawah, bagian temporal biasanya bertahan
cukup lama sampai menghilang sama sekali. Dalam keadaan ini
tajam penglihatan sudah ditingkatmenghitung jari, bahkan bila
lebih buruk lagi.

 Tonometri
1. Pengukuran tanpa alat

17
Pengukuran ini dikenal dengan palpasi atau finger tension.
Pengukuran ini memberikan hasil yang kasar, dan memerlukan
banyak pengalaman. Walaupun tidak teliti, cara palpasi ini masih
bermanfaat pada keadaan dimana pengukuran tekanan dengan alat
tidak dapat dilakukan, misalnya menghindari penularan
konjungtivitis dan infeksi kornea.5
Cara yang dianjurkan adalah sebagai berikut:
 Penderita dan pemeriksa duduk berhadap-hadapan
 Mata penderita disusruh melihat bawah, tetapi celah mata tidak
tertutup rapat
 Kedua jari telunjuk pemeriksa diletakkan di atas kelopak mata
atas, tepat di bawah rima orbita. Kedua telunjuk ini sedikit
ditekan sampai permukaan skelra terasa.
 Keadaan tekanan bola mata dinyatakan sebagai berikut:
TIO (palpasi) : N (normal)
Bila tinggi : N +
Bila rendah : N –

2. Pengukuran dengan alat


Faktor yang dapat mempengaruhi biasnya penilaian tergantung
pada ketebalan kornea masing-masing individu. Semakin tebal
kornea pasien maka tekanan intraokuler yang di hasilkan cenderung
tinggi, begitu pula sebaliknya, semakin tipis kornea pasien tekanan
intraokuler bola mata juga rendah.
Tonometer yang banyak digunakan adalah tonometer Schiotz
karena cukup sederhana, praktis, mudah dibawa, relatif murah,
kalibrasi alat mudah dan tanpa komponen elektrik.
Penilaian tekanan intraokuler normal berkisar 10-22 mmHg. Pada
usia lanjut rentang tekanan normal lebih tinggi yaitu sampai 24
mmHg.

18
 Funduskopi
Pada umumnya peeriksaan ini pada glaukoma bertujuan untu:
- Menentukan apakah ekskavasi papil masih dalam batas normal
- Menilai sudah berapa jauh kerusakan papil saraf optik
- Mencatat perubahan dan perkembangan papil dan retina
 Perimetri
Pemeriksaan lapang pandang merupakan salah satu pemeriksaan
terpenting pada glaukoma, karena hasil pemeriksaannya dapat
menunjukkan adanya gangguan fungsional pada penderita. Khas
pada glaukoma adalah penyempitan lapang pandang.
 Gonioskopi
Gonioskopi adalah pemeriksaan biomikroskopi sudut bilik mata
depan, tempat dilalui cairan intraokular sebelum keluar ke kanal
Schlemm. Dengan gonioskopi dapat ditentukan apakah sudut bilik
mata depan tertutup atau terbuka.
 Tonografi
Tonografi adalah cara pemeriksaan parameter lain dinamika
cairan intraokular yang diperkenalkan oleh W.Morton Grant
menunjukkan pencatatan TIO dengan tonometer indentasi
elektronik dalam jangka waktu tertentu digabung dengan tabel
Fridenwald dapat memperkirakan daya pengeluaran dan
pembentukan cairan intraokular.

19
2.15 PENATALAKSANAAN
1. Midriatika
Penggunaan midriatik pada pupil untuk mencegah blok pupil dan
untuk melepaskan sinekia yang ada.
2. Topikal kortikosteroid
Bentuk kedua dari terapi adalah penggunaan topikal kortikosteroid.
Penggunaan ini juga mempunyai resiko karena dapat meningkatkan
tekanan intraokuler pada 20%-30% individu. Jika hal ini terjadi maka
dapat diganti dengan fluoromethylone atau steroid yang mirip yang
mepunyai resiko lebih rendah menaikkan tekanan intraokuler tapi efek
anti inflamasinya kuat.
3. Injeksi steroid subkonjungtiva
Pada pasien yang tidak berespon pada midriatik dan topikal
kortikosteroid dapat digunakan injeksi steroid subkonjungtiva.
4. Steroid sistemik dengan terus memonitor uvea anterior
Pada pasien yang tetap tidak berespon adekuat terhadap anti inflamasi
topikal steroid digunakan steroid sistemik. Luntz memilih
menggunakan prednisolone oral dengan dosis awal 120 mg sehari dan
memonitor reaksi uvea anterior. Dimaksudkan jika dengan dosis mg
per hari dan sekresi dari uvea anterior menurun, maka dosis akan
diturunkan perlahan-lahan, dengan tetap memperhatikan reaksi uvea
anterior (untuk menaikkan dan menurunkan dosis).
5. Cytotoxic
Pada pasien dengan glaukoma sekunder yang menjadi uveitis kronis
dimana pengobatan dengan midriatik dan steroid tidak membaik,
penggunaan cytotoxic misalnya cylosporin atau methotrexate dapat
memberikan hasil yang baik dengan terkontrolnya glaukoma dan
proses peradangan pada uvea anterior.
6. Hipotensif agen
 Simpatomimetik
- Mengurangi produksi humor akuos
- Epinefrin 0,5-2%, 2 dd 1 tetes sehari
20
 Beta-blocker
- Menghambat produksi humor akuos
- Timolol maleat 0,25-0,05%, 1-2 dd 1 tetes sehari
 Carbonic anhidrase inhibitor
- Menghambat produksi humor akuos
- Asetolamide 250 mg, 4 dd 1 tablet
7. Trabekuloplasti laser
Trabekuloplasti laser melibatkan penmpatan serangkaian pembakaran
laser (lebar 50 mikrometer) pada jalinan trabekula, untuk memperbaiki
aliran keluar akuos. Pada awalnya terapi ini efektif, namun tekanan
intraokuler secara perlahan kembali meningkat. Di Inggris, terdapat
peningkatan kecenderungan untuk melakukan pembedahan draenase
dini.

8. Pembedahan
Menurut Luntz jika tekanan berkisar antara 35-40 mmHg dengan
nervus optikus normal, maka diikuti 1-2 bulan untuk memantau
keadaan papil nervus optikus, lapang pandang, peningkatan rasio
cupdisc, jika semua ini masih dalam batas normal sementara uveitis
masih aktif dan opthalmologis yakin masih ada kemungkinan terapi
berhasil makan terapi medikamentosa dapat diteruskan. Tetapi jika
papil nervus optikus sudah menunjukkan tanda-tanda kerusakan dan
defek lapang pandang sudah sangat spesifik glaukoma, maka harus

21
segera dioperasi. Jika sudah terjadi sinekia anterior perifer dan
kerusakan sudut iridokornealis sudah muncul, diperlukan
trabekulektomi, seklusio pupil dapat diatasi dengan iridektomi perifer
(dengan laser). Iridektomi perifer dan pembebasan pupil juga perlu
dilakukan jika terjadi sinekia posterior yang ekstensif antara iris dan
lensa, dilakukan secara dini sebagai terapi glaukoma.

Komplikasi pembedahan antara lain:


 Penyempitan bilik anterior pada masa pascaoperasi dini yang
beresiko merusak lensa dan kornea
 Infeksi intraokular
 Kemungkinan percepatan perkembangan katarak
 Kegagalan mengurangi tekanan intraokular yang adekuat.
Bukti-bukti menunjukkan bahwa beberapa pengobatan topikal,
terutama obat simpatomimetik, dapat meningkatkan pembentukan
parut konjungtiva dan menurunkan kemungkinan keberhasilan
pembedahan bila saluran drainase yang baru mengalami parut dan
menjadi nonfungsional. Pada pasien yang sangat rentan terhadap
pembentukan parut, obat antimetabolik (5-fluorourasil dan mtomisin)
dapat digunakan pada saat pembedahan untuk mencegah fibrosis.

22
2.16 KOMPLIKASI
Jika pengobatan terlambat akan cepat berlanjut pada tahap akhir
glaukoma yaitu glaukoma absolut.

2.17 PROGNOSIS
Diagnosis yang lebih awal dan penanganan dini pada glaukoma dapat
memberikan hasil yang memuaskan.

23
BAB III
KESIMPULAN

1. Glaukoma merupakan kumpulan beberapa penyakit dengan tanda


uama tekanan intraokuler yang tinggi dengan segala akibatnya yaitu,
penggaungan dan atrofi papil saraf optik serta defek lapang pandang
yang khas. Di dalam bola mata (intraokuler) terdapat humor akuos bila
dalam pengalirannya mengalami hambatan maka akan terjadi
peningkatan tekanan bola mata sehingga mengganggu saraf
penglihatan dan terjadi kerusakan lapang pandang.
2. Glaukoma sekunder merupakan glaukoma yang terjadi akibat penyakit
mata yang lain atau penyakit sistemik yang menyertainya
3. Glaukoma sekunder juga bisa disebabkan oleh tindakan pasca operasi
dengan disertai infeksi maupun pertumbuhan epitel di COA setelah
insisi kornea atau sklera sehingga mneutup COA yang dapat
menimbulkan glaukoma, trauma yang menyebabkan cedera mata dapat
terjadi perdarahan ke dalam bilik mata depan (hifema) atauoun hal lain
yang menutupi cairan mata keluar sehinggga tekanan intraokular
biasanya meningkat karena tersumbatnya aliran tersebut sehingga
terjadi galukoma sekunder serta pemakaian kortikosteroid jangka
panjang.
4. Penatalaksanaan glaukoma sekunder dapat dengan medikamentosa
seperti midriatik, topikal steroid, injeksi steroid subkonjungtiva,
cytotoxic, hipotensif agen, trabekuloplasti laser dan pembedahan
seperti iridektomi perifer maupun trabekulektomi.

24
DAFTAR PUSTAKA

1 Riordan, P., Whitcher, J.P. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum Edisi 17.
EGC. Jakarta. 2010.
2 Schuman, J. S., Christopoulos, V., Dhaliwal, D. K., Kahook, M. Y., et all.
Rapid Diagnosesin Ophthalmology Lens and Glaucoma. Mosby Elsevier.
Philadelphia. 2008.
3 Sidarta, I. Glaukoma (Tekanan Bola Mata Tinggi) Edisi ke-2. FKUI. Jakarta.
2001.
4 Boyd,B.F.,Luntz,M. Innovations In The Glaucomas Etiology, Diagnosis, and
Management Highlights of Ophthalmology International. 2002
5 Perhimpunan dokter spesialis mata Indonesia, 2002, Ilmu Penyakit Mata
untuk dokterumum dan mahasiswa kedokteran: edisi ke-2, Sagung Seto,
Jakarta.
6 Suhardjo et. Al. 2007. Ilmu Kesehatan Mata, Bagian Ilmu Penyakit Fakultas
KedokteranUniversitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
7 Suhardjo et. Al. 2007. Ilmu Kesehatan Mata, Bagian Ilmu Penyakit Fakultas
KedokteranUniversitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
8 Miranti, A., Arjo SM., 2002. Deteksi dini glaukoma, Medisinal, Vol. III,
Jakarta.
9 Friedman, NJ. Review of Ophthalmology : Pharmacology. 1st Edition.
Philadelphia. Elsevier Saunders. 2003.
10 Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 2007.

25

Anda mungkin juga menyukai