Anda di halaman 1dari 12

1.

Tragedi Trisakti
Tragedi Trisakti adalah peristiwa penembakan, pada tanggal 12 Mei 1998, terhadap
mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Kejadian ini
menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta,Indonesia serta puluhan
lainnya luka.

Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana (1978-1998), Heri Hertanto (1977 -
1998), Hafidin Royan (1976 - 1998), dan Hendriawan Sie (1975 - 1998). Mereka tewas
tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala,
tenggorokan, dan dada.

Latar belakang dan kejadian


Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal 1998, yang terpengaruh oleh krisis finansial Asia
sepanjang 1997 - 1999. Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke
gedung DPR/MPR, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti.

Mereka melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju Gedung Nusantara pada pukul
12.30. Namun aksi mereka dihambat oleh blokade dari Polri dan militer datang kemudian.
Beberapa mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri.

Akhirnya, pada pukul 5.15 sore hari, para mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak
majunya aparat keamanan. Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru ke arah
mahasiswa. Para mahasiswa panik dan bercerai berai, sebagian besar berlindung di
universitas Trisakti. Namun aparat keamanan terus melakukan penembakan. Korban pun
berjatuhan, dan dilarikan ke RS Sumber Waras.

Satuan pengamanan yang berada di lokasi pada saat itu adalah Brigade Mobil Kepolisian RI,
Batalyon Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203, Artileri Pertahanan Udara Kostrad, Batalyon
Infanteri 202, Pasukan Anti Huru Hara Kodam seta Pasukan Bermotor. Mereka dilengkapi
dengan tameng, gas air mata, Steyr, dan SS-1.

Pada pukul 20.00 dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dan satu orang
dalam keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan membantah telah menggunakan
peluru tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru tajam. Hasil sementara
diprediksi peluru tersebut hasil pantulan dari tanah peluru tajam untuk tembakan
peringatan.

Rentang waktu

 10.30 -10.45

Aksi damai civitas akademika Universitas Trisakti yang bertempat di pelataran parkir depan
gedung M (Gedung Syarif Thayeb) dimulai dengan pengumpulan segenap civitas Trisakti
yang terdiri dari mahasiswa, dosen, pejabat fakultas dan universitas serta karyawan.
Berjumlah sekitar 6000 orang di depan mimbar.

 10.45-11.00

Aksi mimbar bebas dimulai dengan diawali acara penurunan bendera setengah tiang yang
diiringi lagu Indonesia Raya yang dikumandangkan bersama oleh peserta mimbar bebas,
kemudian dilanjutkan mengheningkan cipta sejenak sebagai tanda keprihatinan terhadap
kondisi bangsa dan rakyat Indonesia sekarang ini.

 11.00-12.25

Aksi orasi serta mimbar bebas dilaksanakan dengan para pembicara baik dari dosen,
karyawan maupun mahasiswa. Aksi/acara tersebut terus berjalan dengan baik dan lancar.

 12.25-12.30

Massa mulai memanas yang dipicu oleh kehadiran beberapa anggota aparat keamanan
tepat di atas lokasi mimbar bebas (jalan layang) dan menuntut untuk turun (long march) ke
jalan dengan tujuan menyampaikan aspirasinya ke anggota MPR/DPR. Kemudian massa
menuju ke pintu gerbang arah Jl. Jend. S. Parman.

 12.30-12.40

Satgas mulai siaga penuh (berkonsentrasi dan melapis barisan depan pintu gerbang) dan
mengatur massa untuk tertib dan berbaris serta memberikan himbauan untuk tetap tertib
pada saat turun ke jalan.

 12.40-12.50

Pintu gerbang dibuka dan massa mulai berjalan keluar secara perlahan menuju Gedung
MPR/DPR melewati kampus Untar.

 12.50-13.00

Long march mahasiswa terhadang tepat di depan pintu masuk kantor Wali Kota Jakarta
Barat oleh barikade aparat dari kepolisian dengan tameng dan pentungan yang terdiri dua
lapis barisan.
 13.00-13.20

Barisan satgas terdepan menahan massa, sementara beberapa wakil mahasiswa (Senat
Mahasiswa Universitas Trisakti) melakukan negoisasi dengan pimpinan komando aparat
(Dandim Jakarta Barat, Letkol (Inf) A Amril, dan Wakapolres Jakarta Barat). Sementara
negoisasi berlangsung, massa terus berkeinginan untuk terus maju. Di lain pihak massa yang
terus tertahan tak dapat dihadang oleh barisan satgas samping bergerak maju dari jalur
sebelah kanan. Selain itu pula masyarakat mulai bergabung di samping long march.

 13.20-13.30

Tim negosiasi kembali dan menjelaskan hasil negosiasi di mana long march tidak
diperbolehkan dengan alasan kemungkinan terjadinya kemacetan lalu lintas dan dapat
menimbulkan kerusakan. Mahasiswa kecewa karena mereka merasa aksinya tersebut
merupakan aksi damai. Massa terus mendesak untuk maju. Di lain pihak pada saat yang
hampir bersamaan datang tambahan aparat Pengendalian Massa (Dal-Mas) sejumlah 4 truk.

 13.30-14.00

Massa duduk. Lalu dilakukan aksi mimbar bebas spontan di jalan. Aksi damai mahasiswa
berlangsung di depan bekas kantor Wali Kota Jakbar. Situasi tenang tanpa ketegangan
antara aparat dan mahasiswa. Sementara rekan mahasiswi membagikan bunga mawar
kepada barisan aparat. Sementara itu pula datang tambahan aparat dari Kodam Jaya dan
satuan kepolisian lainnya.

 14.00-16.45

Negoisasi terus dilanjutkan dengan komandan (Dandim dan Kapolres) dengan pula dicari
terobosan untuk menghubungi MPR/DPR. Sementara mimbar terus berjalan dengan
diselingi pula teriakan yel-yel maupun nyanyian-nyanyian. Walaupun hujan turun massa
tetap tak bergeming. Yang terjadi akhirnya hanya saling diam dan saling tunggu. Sedikit
demi sedikit massa mulai berkurang dan menuju ke kampus.

Polisi memasang police line. Mahasiswa berjarak sekitar 15 meter dari garis tersebut.

 16.45-16.55

Wakil mahasiswa mengumumkan hasil negoisasi di mana hasil kesepakatan adalah baik
aparat dan mahasiswa sama-sama mundur. Awalnya massa menolak tapi setelah dibujuk
oleh Bapak Dekan FE dan Dekan FH Usakti, Adi Andojo SH, serta ketua SMUT massa mau
bergerak mundur.

 16.55-17.00

Diadakan pembicaraan dengan aparat yang mengusulkan mahasiswa agar kembali ke dalam
kampus. Mahasiswa bergerak masuk kampus dengan tenang. Mahasiswa menuntut agar
pasukan yang berdiri berjajar mundur terlebih dahulu. Kapolres dan Dandim Jakbar
memenuhi keinginan mahasiswa. Kapolres menyatakan rasa terima kasih karena mahasiswa
sudah tertib. Mahasiswa kemudian membubarkan diri secara perlahan-lahan dan tertib ke
kampus. Saat itu hujan turun dengan deras.

Mahasiswa bergerak mundur secara perlahan demikian pula aparat. Namun tiba-tiba
seorang oknum yang bernama Mashud yang mengaku sebagai alumni (sebenarnya tidak
tamat) berteriak dengan mengeluarkan kata-kata kasar dan kotor ke arah massa. Hal ini
memancing massa untuk bergerak karena oknum tersebut dikira salah seorang anggota
aparat yang menyamar.

 17.00-17.05

Oknum tersebut dikejar massa dan lari menuju barisan aparat sehingga massa mengejar ke
barisan aparat tersebut. Hal ini menimbulkan ketegangan antara aparat dan massa
mahasiswa. Pada saat petugas satgas, ketua SMUT serta Kepala kamtibpus Trisakti menahan
massa dan meminta massa untuk mundur dan massa dapat dikendalikan untuk tenang.
Kemudian Kepala Kamtibpus mengadakan negoisasi kembali dengan Dandim serta Kapolres
agar masing-masing baik massa mahasiswa maupun aparat untuk sama-sama mundur.

 17.05-18.30

Ketika massa bergerak untuk mundur kembali ke dalam kampus, di antara barisan aparat
ada yang meledek dan mentertawakan serta mengucapkan kata-kata kotor pada mahasiswa
sehingga sebagian massa mahasiswa kembali berbalik arah. Tiga orang mahasiswa sempat
terpancing dan bermaksud menyerang aparat keamanan tetapi dapat diredam oleh satgas
mahasiswa Usakti.

Pada saat yang bersamaan barisan dari aparat langsung menyerang massa mahasiswa
dengan tembakan dan pelemparan gas air mata sehingga massa mahasiswa panik dan
berlarian menuju kampus. Pada saat kepanikan tersebut terjadi, aparat melakukan
penembakan yang membabi buta, pelemparan gas air mata dihampir setiap sisi jalan,
pemukulan dengan pentungan dan popor, penendangan dan penginjakkan, serta pelecehan
seksual terhadap para mahasiswi. Termasuk Ketua SMUT yang berada di antara aparat dan
massa mahasiswa tertembak oleh dua peluru karet dipinggang sebelah kanan.

Kemudian datang pasukan bermotor dengan memakai perlengkapan rompi yang bertuliskan
URC mengejar mahasiswa sampai ke pintu gerbang kampus dan sebagian naik ke jembatan
layang Grogol. Sementara aparat yang lainnya sambil lari mengejar massa mahasiswa, juga
menangkap dan menganiaya beberapa mahasiswa dan mahasiswi lalu membiarkan begitu
saja mahasiswa dan mahasiswi tergeletak di tengah jalan. Aksi penyerbuan aparat terus
dilakukan dengan melepaskan tembakkan yang terarah ke depan gerbang Trisakti.
Sementara aparat yang berada di atas jembatan layang mengarahkan tembakannya ke arah
mahasiswa yang berlarian di dalam kampus.
Lalu sebagian aparat yang ada di bawah menyerbu dan merapat ke pintu gerbang dan
membuat formasi siap menembak dua baris (jongkok dan berdiri) lalu menembak ke arah
mahasiswa yang ada di dalam kampus. Dengan tembakan yang terarah tersebut
mengakibatkan jatuhnya korban baik luka maupun meninggal dunia. Yang meninggal dunia
seketika di dalam kampus tiga orang dan satu orang lainnya di rumah sakit beberapa orang
dalam kondisi kritis. Sementara korban luka-luka dan jatuh akibat tembakan ada lima belas
orang. Yang luka tersebut memerlukan perawatan intensif di rumah sakit.

Aparat terus menembaki dari luar. Puluhan gas air mata juga dilemparkan ke dalam kampus.

 18.30-19.00

Tembakan dari aparat mulai mereda, rekan-rekan mahasiswa mulai membantu


mengevakuasi korban yang ditempatkan di beberapa tempat yang berbeda-beda menuju
RS.

 19.00-19.30

Rekan mahasiswa kembali panik karena terlihat ada beberapa aparat berpakaian gelap di
sekitar hutan (parkir utama) dan sniper (penembak jitu) di atas gedung yang masih
dibangun. Mahasiswa berlarian kembali ke dalam ruang kuliah maupun ruang ormawa
ataupun tempat-tempat yang dirasa aman seperti musholla dan dengan segera
memadamkan lampu untuk sembunyi.

 19.30-20.00

Setelah melihat keadaan sedikit aman, mahasiswa mulai berani untuk keluar adari ruangan.
Lalu terjadi dialog dengan Dekan FE untuk diminta kepastian pemulangan mereka ke rumah
masing- masing. Terjadi negoisasi antara Dekan FE dengan Kol.Pol.Arthur Damanik, yang
hasilnya bahwa mahasiswa dapat pulang dengan syarat pulang dengan cara keluar secara
sedikit demi sedikit (per 5 orang). Mahasiswa dijamin akan pulang dengan aman.

 20.00-23.25

Walau masih dalam keadaan ketakutan dan trauma melihat rekannya yang jatuh korban,
mahasiswa berangsur-angsur pulang.

Yang luka-luka berat segera dilarikan ke RS Sumber Waras. Jumpa pers oleh pimpinan
universitas. Anggota Komnas HAM datang ke lokasi.

 01.30

Jumpa pers Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin di Mapolda Metro Jaya. Hadir
dalam jumpa pers itu Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin, Kapolda Mayjen (Pol)
Hamami Nata, Rektor Trisakti Prof. Dr. R. Moedanton Moertedjo, dan dua anggota Komnas
HAM AA Baramuli dan Bambang W Soeharto.
Analisa :

Demontrasi di lakukan oleh para mahasiswa bertambah gencar setelah pemerintah


mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan pada tanggal 4 Mei 1998. Puncak
aksi para mahasiswa terjadi tanggal 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti Jakarta. Aksi
mahasiswa yang semula damai itu berubah menjadi aksi kekerasan setelah tertembaknya
empat orang mahasiswa Trisakti yaitu Elang Mulia Lesmana, Heri Hartanto, Hendriawan
Lesmana, dan Hafidhin Royan. Tragedi Trisakti itu telah mendorong munculnya solidaritas
dari kalangan kampus dan masyarakat yang menantang kebijakan pemerintahan yang
dipandang tidak demokratis dan tidak merakyat. Soeharto kembali ke Indonesia, namun
tuntutan dari masyarakat agar Presiden Soeharto mengundurkan diri semakin banyak
disampaikan. Rencana kunjungan mahasiswa ke Gedung DPR / MPR untuk melakukan dialog
dengan para pimpinan DPR/MPR akhirnya berubah menjadi mimbar bebas dan mereka
memilih untuk tetap tinggal di gedung wakil rakyat tersebut sebelum tuntutan reformasi
total di penuhinya. Tekanan-tekanan para mahasiswa lewat demontrasinya agar presiden
Soeharto mengundurkan diri akhirnya mendapat tanggapan dari Harmoko sebagai pimpinan
DPR/MPR. Maka pada tanggal 18 Mei 1998 pimpinan DPR/MPR mengeluarkan pernyataan
agar Presiden Soeharto mengundurkan diri. Presiden Soeharto mengadakan pertemuan
dengan tokoh-tokoh agama maupun tokoh-tokoh masyarakat di Jakarta. Kemudian Presiden
mengumumkan tentang pembentukan Dewan Reformasi, melakukan perubahan kabinet,
segera melakukan Pemilihan Umum dan tidak bersedia dicalonkan kembali sebagai
Presiden. Dalam perkembangannya, upaya pembentukan Dewan Reformasi dan perubahan
kabinet tidak dapat dilakukan. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto
menyatakan mengundurkan diri/berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia dan
menyerahkan Jabatan Presiden kepada Wakil Presiden Republik Indonesia, B.J. Habibie dan
langsung diambil sumpahnya oleh Mahkamah Agung sebagai Presiden Republik Indonesia
yang baru di Istana Negara.
2. Tragedi Pembantaian di Indonesia 1965–1966
Pembantaian di Indonesia 1965–1966 (terkadang disebut sebagai Genosida di
Indonesia[1]) adalah peristiwa pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh komunis di
Indonesia pada masa setelah terjadinya Gerakan 30 September di Indonesia. Diperkirakan
lebih dari setengah juta orang dibantai dan lebih dari satu juta orang dipenjara dalam
peristiwa tersebut. Pembersihan ini merupakan peristiwa penting dalam masa transisi ke
Orde Baru: Partai Komunis Indonesia (PKI) dihancurkan, pergolakan mengakibatkan
jatuhnya presiden Soekarno, dan kekuasaan selanjutnya diserahkan kepada Soeharto.

Tragedi Kemanusiaan ini berawal dari konflik internal dalam tubuh Angkatan Darat
yang muncul sebagai akibat kesenjangan perikehidupan antara tentara prajurit dengan
tentara perwira. Konflik laten dalam tubuh Angkatan Darat yang sudah dimulai sejak 17
tahun sebelumnya, kemudian mendapatkan jalan manifestasinya ketika muncul isu tentang
rencana Kudeta terhadap kekuasaan Soekarno yang akan dilancarkan oleh Dewan Jenderal.
Perwira-perwira Angkatan Darat yang mendukung kebijakan Sosialisme Soekarno kemudian
memutuskan untuk melakukan manuver (aksi) polisionil dengan menghadapkan tujuh orang
Jendral yang diduga mengetahui tentang Dewan Jendral ini ke hadapan Soekarno. Target
operasi adalah menghadapkan hidup-hidup ketujuh orang Jendral tersebut. Fakta yang
terjadi kemudian adalah tiga dari tujuh orang Jendral yang dijemput paksa tersebut, sudah
dalam keadaan anumerta.

Soeharto yang paling awal menuduh PKI menjadi dalang dari peristiwa pagi hari
Jumat tanggal 01 Oktober 1965 tersebut. Tanpa periksa dan penyelidikan yang memadai,
Soeharto mengambil kesimpulan PKI sebagai dalang hanya karena Kolonel Untung —yang
mengaku menjadi pimpinan Dewan Revolusi (kelompok tandingan untuk Dewan jendral)—
memiliki kedekatan pribadi dengan tokoh-tokoh utama Biro Chusus Partai Komunis
Indonesia. Hasil akhirnya adalah Komunisme dibersihkan dari kehidupan politik, sosial, dan
militer, dan PKI dinyatakan sebagai partai terlarang.

Pembantaian dimulai pada Januari 1966 seiring dengan maraknya aksi demonstrasi
mahasiswa yang digerakkan oleh Angkatan Darat melalui Jendral Syarif Thayeb dan
memuncak selama kuartal kedua tahun 1966 sebelum akhirnya mereda pada awal tahun
1967 (menjelang pelantikan Jendral Soeharto sebagai Pejabat Presiden). Pembersihan
dimulai dari ibu kota Jakarta, yang kemudian menyebar ke Jawa Tengah dan Timur, lalu Bali.
Ribuan vigilante (orang yang menegakkan hukum dengan caranya sendiri) dan tentara
angkatan darat menangkap dan membunuh orang-orang yang dituduh sebagai anggota PKI.
Meskipun pembantaian terjadi di seluruh Indonesia, namun pembantaian terburuk terjadi di
basis-basis PKI di Jawa Tengah, Timur, Bali, dan Sumatera Utara.
Usaha Soekarno yang ingin menyeimbangkan nasionalisme, agama, dan komunisme
melalui Nasakom telah usai. Pilar pendukung utamanya, PKI, telah secara efektif
dilenyapkan oleh dua pilar lainnya-militer dan Islam politis;[2][3] dan militer berada pada
jalan menuju kekuasaan. Pada Maret 1967, Soekarno dicopot dari kekuasaannya oleh
Parlemen Sementara, dan Soeharto menjadi Pejabat Presiden. Pada Maret 1968 Soeharto
secara resmi ditetapkan menjadi Presiden oleh MPRS yang diketuai oleh Jendral Abdul
Harris Nasution (yang memang sengaja Soeharto tempatkan setelah menangkap dan
memenjarakan seluruh pimpinan MPRS yang notabene adalah tokoh-tokoh PKI dan tokoh-
tokoh Soekarnois).

Pembantaian ini hampir tidak pernah disebutkan dalam buku sejarah Indonesia, dan
hanya memperoleh sedikit perhatian dari orang Indonesia maupun warga
internasional.[4][5][6] Penjelasan memuaskan untuk kekejamannya telah menarik perhatian
para ahli dari berbagai prespektif ideologis. Kemungkinan adanya pergolakan serupa
dianggap sebagai faktor dalam konservatisme politik "Orde Baru" dan kontrol ketat
terhadap sistem politik. Kewaspadaan terhadap ancaman komunis menjadi ciri dari masa
kepresidenan Soeharto. Di Barat, pembantaian dan pembersihan ini digambarkan sebagai
kemenangan atas komunisme pada Perang Dingin.
Anlisa: Sekali lagi kita dihadapkan pada suatu kebenaran sejarah yang perlu dipertanyakan.
Sudah berpuluh-puluh tahun sejarah yang berkembang dimasyarakat telah menjadi doktrin
yang sulit untuk dirubah tidak terkecuali Gerakan 30 September 1965 (G 30 S PKI) serta
Supersemar ( Surat Perintah Sebelas Maret). Dua peristiwa yang berangkaian tersebut
hendaknya membuka lebar-lebar pengetahuan dan hati nurani kita bahwa masih perlu
dikoreksi akan kevalidan sejarah bangsa ini. Lewat NASAKOM yang di Indonesia dijembatani
PKI menjadi salah satu basis Soekarno dalam menunjukkan dimata dunia bahwa Indonesia
mampu menahan laju pengaruh Amerika Serikat. Namun ternyata para perwira tinggi
terutama TNI Angkata Darat tidak menyukai Soekarno dan berusaha melengserkannya
dengan cara membentuk Dewan Jendral. Namun mulai dari sinilah cerita sejarah yang mulai
dibelokkan terjadi. PKI dianggap lah yang justru akan mengkudeta Soekarno padahal yang
akan melakukan kudeta ialah Dewan Jendral. PKI dijadikan kambing hitam yang harus
ditumpas akibat telah membunuh para Dewan Jendral tersebut. Akibatnya Soeharto muncul
sebagai pahlawan baru yang nantinya akan mengukirkan sejarah baru di tanah air ini.
Soeharto berhasil melengserkan Soekarno lewat Supersemar yang sangat dipertanyakan
keabsahannya. Tetapi kita tidak bisa selalu menilai seseorang dari sisi negatifnya karena
setiap orang memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Apalagi sebagai sejarawan
atau guru sejarah kita harus berusaha bersikap netral tetapi obyektif.

Kesemua cerita sejarah tersebut terlegitimasi dalam suatu usaha golongan tertentu yaitu
Soeharto. Lewat Buku Putih yang dikeluarkan pada masa Orde Baru menjadikan sejarah
bangsa ini terus berada dalam keraguan. Sulit sekali menemukan sumber asli dan otentik
untuk mendapatkan fakta sejarah yang benar dan valid. Walaupun memang sangat sulit
tetapi hal ini membuat kita hendaknya lebih sadar akan pentingnya kejujuran dalam
menuliskan sejarah bangsa ini. Jangan sampai kita mewariskan cerita sejarah yang palsu
kepada anak-cucu kita kelak. Kita harus mengutamakan obyektivitas dan membuang jauh-
jauh subyektivitas. Sejarah mengajarkan kita bijaksana, dimana kita bisa belajar dari masa
lalu sehingga masa sekarang dan yang akan datang jauh lebih baik. Untuk itulah secara
bersama-sama mari kita luruskan sejarah bangsa ini untuk Indonesia yang lebih baik. Jangan
sekali-kali melupakan sejarah! Karena belajar sejarah berarti belajar masa depan!
3. kasus pelanggaran HAM dukun santet di Banyuwangi
pembantaian Banyuwangi 1998 adalah peristiwa pembantaian terhadap orang yang
diduga melakukan praktik ilmu hitam (santet atau tenung) yang terjadi di Banyuwangi, Jawa
Timur pada kurun waktu Februari hingga September 1998. Namun hingga saat ini motif pasti
dari peristiwa ini masih belum jelas

Kejadian Awal

Pembunuhan pertama terjadi pada Februari 1998 dan memuncak hingga Agustus
dan September 1998. Pada kejadian pertama di bulan Februari tersebut, banyak yang
menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa, dalam artian kejadian tersebut tidak akan
menimbulkan sebuah peristiwa yang merentet panjang. Pembunuh dalam peristiwa ini
adalah warga-warga sipil dan oknum asing yang disebut ninja. Dalam kejadian ini, setelah
dilakukan pendataan korban. Ternyata banyak di antara para korban bukan merupakan
dukun santet. Di antarapara korban terdapat guru mengaji, dukun suwuk (penyembuh) dan
tokoh-tokoh masyarakat seperti ketua RT atau RW.

"Sasarannya malah komunitas Using dan komunitas santri. Dan ternyata yang terkena cuma
guru ngaji, seorang tua yang tukang suwuk, kalau ada tokoh, ya tokoh lokal. Sehingga
konseptor merasa gagal" –Hasnan Singodimayan, budayawan. wawancara TvOne.

Radiogram Bupati Pur

Pada 6 Februari 1998, Bupati Banyuwangi saat itu Kolonel Polisi (Purn) HT. Purnomo
Sidik mengeluarkan radiogram yang ditujukan untuk seluruh jajaran aparat pemerintahan
dari camat hingga kepala desa untuk mendata orang-orang yang ditengarai memiliki ilmu
supranatural dan untuk selanjutnya melakukan pengamanan dan perlindungan terhadap
orang-orang tersebut. Radiogram selanjutnya dikeluarkan pada bulan September yang berisi
penegasan terhadap radiogram sebelumnya. Namun yang terjadi, setelah radiogram
dikeluarkan dan dilakukan pendataan, pembantaian malah semakin meluas. Dalam sehari
ada 2-9 orang yang terbunuh. Sehingga masyarakat berasumsi bahwa radiogram bupati
tersebut adalah penyebab dari pembantaian dan radiogram yang berisi perintah
pengamanan tersebut adalah dalih pemerintah untuk membasmi tokoh-tokoh yang
berlawanan ideologi dengan pemerintah. Selain itu muncul spekulasi bahwa pembantaian
tersebut didalangi oleh oknum TNI, namun hal itu tidak terbukti hingga saat ini.

"Cepak! Cepak! Tentara itu yang nyuruh! Nah, kan. Tentara lagi yang dituduh. Jadi analisa
kami bahwa itu untuk menumbuhkan rasa ketidakpercayaan terhadap aparat" Djoko
Soebroto, mantan Pangdam V Brawijaya. Wawancara TvOne.

Kemudian, terlepas dari spekulasi yang muncul akibat radiogram yang dikeluarkan
bupati. Para ulama di Kabupaten Banyuwangi menganggap bahwa meskipun radiogram
yang dikeluarkan dimaksudkan untuk maksud sebenarnya (benar-benar bertujuan untuk
mengamankan orang-orang dengan ilmu supranatural), penerapannya kurang tersembunyi
sehingga informasi mengenai orang-orang tersebut bocor ke pihak massa pembantai
sehingga orang tadi kehilangan nyawanya sesaat setelah melapor ke aparat desa.

"Seperti di daerah Bubuk itu. Mereka didata, malamnya ada yang nyerbu" –Utomo Dauwis,
anggota TPF NU. Wawancara TvOne.

"Kita tidak menafsirkan berbeda (radiogram), jadi pelaksanaannya seperti itu dan kita
lakukan pengamanan terhadap mereka" Asmai Hadi, mantan camat Banyuwangi.
Wawancara TvOne.

Berdasarkan hal tersebut para ulama tersebut menilai bahwa kepemimpinan Bupati
Pur gagal dan membentuk Gerakan 101 untuk menuntut Bupati Pur mundur dari
jabatannya.
TUGAS PPKN
ANALISA KASUS PELANGGARAN HAM DI
INDONESIA
DISUSUN OLEH
AGHNI ANGI UTAMI
XI IPS 5

TAHUN PELAJARAN 2016 / 2017

SMA NEGERI 6 KOTA TANGERANG SELATAN

Anda mungkin juga menyukai