Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gagal Jantung Kongestif (CHF)


2.1.1 Definisi Gagal Jantung Kongestif (CHF)
Jantung adalah organ berupa otot , berbentuk kerucut, berongga, dan
dengan basisnya di atas dan puncaknya di bawah. Apexnya (puncak)
miring ke sebelah bawah kiri. Berat jantung kira-kira 300 gram. Agar
jantung dapat berfungsi sebagai pompa yang efisien, otot-otot jantung di
bagian atas dan bawah akan berkontraksi secara bergantian (Rachma,
2014).
Gagal jantung merupakan ketidakmampuan jantung memompa
darah untuk memenuhi kebutuhan tubuh, gagal jantung kongestif adalah
kumpulan gejala klinis akibat kelainan struktural atau fungsional jantung
yang menyebabkan gangguan kemampuan pengisian ventrikel dan ejeksi
darah ke seluruh tubuh (Kasron, 2012).
Congestive Heart Failure/gagal jantung adalah ketidakmampuan
jantung untuk mempertahankan curah jantung yang adekuat guna
memenuhi kebutuhan metabolic dan kebutuhan oksigen pada jaringan
meskipun aliran balik vena adekuat (AHA, 2014).

2.1.2 Etiologi
Beberapa etiologi dari penyakit gagal jantung kongestif Menurut
(Agustina, Alfiyanti, & Ilmi, 2017) sebagai berikut:
a. Penyakit jantung koroner
Seseorang dengan penyakit jantung koroner (PJK) rentan untuk
menderita penyakit gagal jantung, terutama penyakit jantung koroner
dengan hipertrofi ventrikel kiri. Lebih dari 36% pasien dengan
penyakit jantung koroner selama 7-8 tahun akan menderita penyakit
gagal jantung kongestif.

6
7

b. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah yang bersifat kronis merupakan
komplikasi terjadinya gagal jantung. Hipertensi menyebabkan gagal
jantung kongestif melalui mekanisme disfungsi sistolik dan diastolik
dari ventrikel kiri. Hipertrofi ventrikel kiri menjadi predisposisi
terjadinya infark miokard, aritmia atrium dan ventrikel yang nantinya
akan berujung pada gagal jantung kongestif.
c. Cardiomiopathy
Cardiomiopathy merupakan kelainan pada otot jantung yang tidak
disebabkan oleh penyakit jantung koroner, hipertensi, atau kelainan
kongenital. Cardiomiopathy terdiri dari beberapa jenis. Diantaranya
ialah dilated cardiomiopathy yang merupakan salah satu penyebab
tersering terjadinya gagal jantung kongestif. Dilated Cardiomiopathy
berupa dilatasi dari ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel
kanan. Dilatasi ini disebabkan oleh hipertrofi sel miokardium dengan
peningkatan ukuran dan penambahan jaringan fibrosis.
d. Kelainan katup jantung
Dari beberapa kelainan katup jantung, yang paling sering
menyebabkan gagal jantung kongestif ialah regurgitasi mitral.
Regurgitasi mitral meningkatkan preload sehingga terjadi peningkatan
volume di jantung. peningkatan volume jantung memaksa jantung
untuk berkontraksi lebih kuat agar darah tersebut dapat di distribusi ke
seluruh tubuh. Kondisi ini jika berlangsung lama menyebabkan gagal
jantung kongestif.
e. Aritmia
Atrial fibrasi secara independen menjadi pencetus gagal jantung
tanpa perlu adanya faktor concomitant lainnya seperti PJK atau
hipertensi. 31% dari pasien gagal jantung ditemukan gejala awal
berupa atrial fibrilasi dan ditemukan 50% pasien gagal jantung
memiliki gejala atrial fibrilasi setelah dilakukan pemeriksaan
echocardiografi. Aritmia tidak hanya sebagai penyebab gagal jantung
8

tetapi juga memperparah prognosis dengan meningkatkan mordibitas


dan mortalitas
f. Alkohol dan obat-obatan
Alkohol memiliki efek toksik terhadap jantung yang menyebabkan
atrial fibrilasi ataupun gagal jantung akut. Konsumsi alkohol dalam
jangka panjang menyebabkan dilated cardiomiopathy. Didapatkan 2-
3% kasus gagal jantung kongestif yang disebabkan oleh konsumsi
alkohol jangka panjang. Sementara itu beberapa obat yang memiliki
efek toksik terhadap miokardium
g. Lain-lain
Merokok merupakan faktor resiko yang kuat dan independen
untuk menyebabkan penyakit gagal jantung kongestif pada laki-laki
sedangkan pada wanita belum ada fakta yang konsisten. Sementara
diabetes merupakan faktor independen dalam mortalitas dan kejadian
rawat inap ulang pasien gagal jantung kongestif melalui mekanisme
perubahan struktur dan fungsi dari miokardium. selain itu, obesitas
menyebabkan peningkatan kolesterol yang meningkatkan resiko
penyakit jantung koroner yang merupakan penyebab utama dari gagal
jantung kongestif

2.1.3 Tanda dan Gejala


Tanda gejala yang muncul pada pasien CHF antara lain dispnea,
fatigue, dan gelisah. Dyspnea merupakan gejala yang paling sering
dirasakan oleh penderita CHF yang menyatakan bahwa dispnea selama
menjalankan aktivitas sehari-sehari sering terganggu. CHF mengakibatkan
kegagalan fungsi pulmonal sehingga terjadi penimbunan cairan di alveoli.
Hal ini menyebabkan jantung tidak dapat berfungsi dengan maksimal
dalam memompa darah, dampak lain yang muncul adalah perubahan yang
terjadi pada otot-otot respiratoti. Hal-hal tersebut terganggu sehingga
terjadi dispnea (Wendy, 2010).
9

2.1.4 Patofisiologi
Menurut (Mariyono & Santoso, 2007) kongesti paru menonjol pada
gagal ventrikel kiri, karena ventrikel kiri tidak mampu memompa darah
yang datang dari paru. Peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru
menyebabkan cairan terdorong ke jaringan paru, dispnea dapat terjadi
akibat penimbunan cairan dalam alveoli yang mengganggu pertukaran gas.
Sedangkan menurut muttaqin (2012) di jelaskan bahwa mudah lelah dapat
terjadi akibat curah jantung yang kurang menghambat jaringan dari
sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan sisa hasil
katabolisme, juga terjadi akibat meningkatkan energi yang digunakan
untuk bernafas dan terjadi insomnia akibat distress pernafasan dan batuk.
bila ventrikel kanan gagal, yang menonjol adalah kongesti viscera dan
jaringan perifer. Hal ini terjadi karena sisi kanan jantung tidak mampu
mengosongkan volume darah dengan adekuat sehingga tidak dapat
mengakomodasikan semua darah secara normal kembali dari sirkulasi
vena. Manifestasi klinis yang tampak dapat meliputi edema ekstremitas
bawah, peningkatan berat badan, hepatomegali, distensi vena leher, asites,
anoreksia, mual dan nokturia.

2.1.5 Pencegahan
Penyebab gagal jantung terutama berasal dari penyakit jantung,
maka pencegahan penyakit jantung merupakan tahap pertama pencegahan
gagal jantung. Pencegahan atau pengobatan dini penyakit jantung seperti
CAD, endokartitis infektif, perikarditis, konstriktif, hipertensi, dan
penyakit jantung reumatik adalah sangat penting. Bagaimanapun, penyakit
jantung tidak selalu dapat dicegah, maka tahap berikutnya adalah menunda
serangan mendadak gagal jantung. Hal ini meliputi manajemen diet seperti
diet rendah garam, rendah lemak, atau diet untuk menurunkan berat badan,
program penghentian merokok, menyusun program aktivitas/latihan dan
pengobatan dini terhadap infeksi (Udjianti, 2011).
Kecemasan merupakan masalah psikologis penyebab fatigue. Selain
masalah psikologis, kelelahan pada pasien gagal jantung juga disebabkan
10

oleh masalah fisiologis yang terjadi akibat penurunan suplai oksigen dan
nutrisi ke jaringan. Gangguan sirkulasi terjadi akibat kegagalan jantung
dalam memompa. Gangguan vaskularisasi dan gangguan metabolisme
pembentukan energi

2.1.6 Pemeriksaan Menunjang


a. EKG
Elektrocardiography mengungkapkan adanya tachicardi, hipertrofi
bilik jantung dan iskemi, jika meliputi: elektrolit serum yang
mengungkapkan kadar natrium yang rendah sehingga hasil hemodelusi
darah dari adanya kelebihan retensi air, K, Na, CI, Ureum, Gula darah
(Wijaya & Putri, 2013).
b. Echocardiografi
Menurut National Clinical Guideline Cetre (2010), Pemeriksaan ini
direkomendasikan untuk semua pasien gagal jantung. Tes ini
membantu menetapkan ukuran ventrikel kiri, massa, dan fungsi.
Kelemahan echocardiogragi adalah relative mahal, hanya ada di
rumah sakit dan tidak tersedia untuk pemeriksaan skrining yang rutin
untuk hipertensi pada praktek umum.
c. Radiologi
Menurut National Clinical Guideline Centre (2010) Foto thorax dapat
membantu dalam mendiagnosis gagal jantung. Kardiomegali biasanya
ditunjukkan dengan adanya peningkatan cardiothoracic ratio / CTR
(lebih besar dari 0,5) pada tampilan postanterior. Pada pemeriksaan ini
tidak dapat menentukan gagal jantung pada disfungsi sistolik karena
ukuran biasa terlihat normal.

2.1.7 Klasifikasi
Klasifikasi menurut (Figueroa & Peters, 2006), Selain menggunakan
kriteria framingham, terdapat beberapa pembagian kriteria yang dipakai
pada gagal jantung, diantaranya klasifikasi menurut New York Heart
Association (NYHA), dan pembagian stage menurut American Heart
11

Association. Klasifikasi fungsional yang biasanya dipakai menurut NYHA


terbagi klasifikasi yaitu: a. Klasifikasi I: tidak ada keterbatasan dalam
melakukan aktifitas apapun, tidak muncul gejala dalam aktivitas apapun, b.
Klasifikasi II: Mulai ada keterbatasan dalam aktivitas, pasien masih bisa
melakukan aktivitas ringan dan keluhan berkurang saat istirahat c.
Klasifikasi III: Terdapat keterbatasan dalam melaksanakan berbagai
aktivitas, pasien merasa keluhan berkurang dengan istirahat. d, Klasifikasi
IV: Keluhan muncul dalam berbagai aktivitas, dan tidak berkurang
meskipun dengan istirahat.
pada tahun 2014, the American College of Cardiology/American
heart Association working group membagi kegagalan jantung ini menjadi
empat stage yang meliputi, 1. Stage A: Memiliki resiko tinggi untuk
terkena CHF tapi belum ditemukan adanya kelainan struktural pada
jantung. 2. Stage B: Sudah terdapat keainan struktural pada jantung, akan
tetapi belum menimbukan gejala. 3. Stage C: Adanya kelainan struktural
pada jantung, dan sudah muncul manifestasi gejala awal jantung, masih
dapat diterapi dengan pengobatan standard. 4. Stage D: Pasien dengan
gejala tahap akhir jantung, dan sulit diterapi dengan pengobatan standard
(Figueroa & Peters, 2006)

2.1.8 Dampak
Dampak masalah potensial menurut yang mungkin terjadi pada
CHF ini dapat berupa:
a. Syok kardiogenik
Merupakan stadium akhir disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung
kongstif, terjadi bila ventrikel kiri mengalami kerusakan yang luas.
Otot jantung kehilangan kekuatan kontraktilitasnya, menimbulkan
penurunan curah jantung dengan perfusi jaringan yang tidak adekuat
ke organ vital (jantung, otak, ginjal).pada keadaan syok, hipoperfusi
yang terjadi pada miokardium dan jaringan perifer akan mendorong
terjadinya metabolisme anaerobik sehingga dapat menyebabkan
asidosis laktat
12

b. Efusi parkardial dan tamponade jantung


Efusi perikardium mengacu pada masuknya cairan ke dalam kantung
perikardium. Secara normal kantong perikardium berisi cairan
sebanyak kurang dari 50 ml. Cairan perikardium akan terakumulasi
secara lambat tanpa menyebabkan gejala yang nyata. Namun demikian
perkembangan efusi yang cepat dapat meregangkan perikardium
sampai ukuran maksimal dan menyebabkan penurunan curah jantung
serta aliran balik vena ke jantung. Hasil akhir dari proses ini adalah
tamponade jantung (Mariyono & Santoso, 2007)

2.1.9 Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan gagal jantung pada orang tua ialah
untuk mengembalikan kualitas hidup, mengurangi frekuensi eksaserbasi
gagal jantung dan memperpanjang hidup. Tujuan sekunder ialah
memaksimalkan kemandirian serta kapasitas kerja dan mengurangi biaya
perawatan. Untuk mencapai tujuan ini terapi harus mencapai tujuan ini
terapi harus mencakup penanggulangan etiologi dan faktor pencetus, terapi
non farmakologi (nonmedikamentosa) dan farmakologi (medikamentaso).
Terapi nonfarmakologi (nonmedikammentosa) antara lain dapat
berupa: (a) edukasi gejala, tanda, dan pengobatan gagal jantung (b)
manajemen diet, yaitu mengurangi jumlah garam, menurunkan berat badan
bila dibutuhkan, rendah kolesterol, rendah lemak, asupan kalori adekuat
(c) latihan fisik, penelitian menunjukkan bahwa pembatasan aktivitas fisik
yang berlebih akan menurunkan fungsi kardiovaskular dan
muskuloskeletal. Latihan fisik yang sesuai akan memperbaiki/kapasitas
fungsional dan kualitas hidup pasien gagal jantung (d) dukungan keluarga
untuk selalu memperhatikan dan merawat pasien gagal jantung di usia tua
sangat penting dan berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien.
Prinsip dasar terapi farmakologi medikamentosa gagal jantung adalah
mencegah remodelling progresif miokardium serta mengurangi gejala.
Gejala dikurangi dengan cara menurunkan preload (aliran darah balik ke
jantung), afterload (tahanan yang dilawan oleh kontraksi jantung), dan
13

memperbaiki kontraktilitas miokardium. prinsip terapi di atas di capai


dengan pemberian golongan obat diuretik, ACE-inhibitor, antikoagulan,
dan obat anttiaritmia (Imaligy, 2014)

2.2 Keluarga
2.2.1 Definisi Keluarga
Keluarga adalah sumber utama konsep sehat-sakit dan perilaku
sehat. Penelitian dibidang kesehatan keluarga secara jelas menunjukkan
bahwa keluarga berpengaruh besar terhadap kesehatan fisik anggota
keluarga sebaliknya disfungsi keluarga dapat menyebabkan tidak efektif
menjalani terapi atau pengobatan yang pada akhirnya terjadi gangguan
pada anggota keluarga (Friedman, 2010)
Keluarga berfungsi untuk mempertahankan keadaan anggota
keluarganya agar tetap memiliki produktifitas tinggi, selain itu tugas
keluarga dalam bidang kesehatan adalah kemampuan mengenal masalah
kesehatan, kemampuan mengambil keputusan untuk mengatasi masalah
kesehatan, kemampuan merawat anggota keluarga yang sakit, kemampuan
modifikasi lingkungan untuk keluarga agar tetap sehat dan optimal, serta
kemampuan memanfaatkan sarana kesehatan yang tersedia di
lingkungannya. Apabila keluarga dapat melaksanakan tugas keluarga
dalam bidang kesehatan dengan baik maka pasien dapat patuh terhadap
pengobatannya.

2.2.2 Peran Keluarga


Peran adalah seperangkat tingkah laku yang di harapkan oleh orang
lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu sistem
(Mubarak, 2009). Peran keluarga adalah tingkah laku spesifik yang di
harapkan oleh seseorang dalam konteks keluarga. Peran keluarga
menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang
berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu. setiap
anggota keluarga mempunyai peran masing-masing: a. Peran ayah dalam
keluarga: sebagai memimpin keluarga, bekerja mencari nafkah untuk
14

memenuhi kebutuhan keluarga, menjaga dan melindungi setiap anggota


keluarga, menjaga dan menciptakan keharmonisan dalam keluarga,
menyayangi anggota keluarga, b: Peran ibu dalam keluarga: membimbing
dan mendidik anak, mengurusi keperluan rumah tangga dan keluarganya,
memasak dan menyiapkan makanan untuk anggota keluarga, mencuci dan
menyetrika pakaian anggota keluarga, merapikan dan membersihkan
rumah, menciptakan suasana rumah yang nyaman, mengatur keuangan
rumah tangga, merawat dan membesarkan anak, c. Peran anak dalam
keluarga: berbakti kepada orangtua, membantu pekerjaan orangtua di
rumah, menyayangi orangtua, menjaga nama baik orangtua dan saudara,
rajin belajar, menjaga kerukunan dengan anggota keluarga lain, menjaga
dan merawat orang tua atau saudara (Setiadi, 2008).
Peran keluarga sangat penting dalam pencegahan dan penyembuhan
terhadap anggota keluarga yang sakit, sehingga setiap anggota keluarga
perlu mampu mengenal masalah kesehatan yang ada di keluarganya,
keluarga harus mampu memutuskan tindakan yang tepat saat anggota
keluarga sakit, keluarga mampu merawat anggota keluarga yang sakit,
keluarga mampu memodifikasi lingkungan, dan memanfaatkan fasilitas
kesehatan (Friedman, 2010).
Keluarga mempunyai peranan penting dan membantu anggota
keluarganya untuk hidup dalam kehidupan yang lebih sehat. Dengan
mempercayai kemampuan keluarga untuk menyediakan perawatan
kesehatan diri dan bertindak sesuai dengan keinginan mereka yang terbaik.
Tingkat pendidikan ikut berkonstribusi dalam menentukan peran
keluarga. Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh dalam memberi
respon terhadap sesuatu yang datang dari luar. Orang yang berpendidikan
dalam memberi respon terhadap informasi yang datang dan akan berpikir
sejauh mana keuntungan yang mungkin akan mereka peroleh dari gagasan
tersebut. Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang terhadap
perkembangan orang lain menuju kearah suatu cita-cita tertentu
(Notoadmodjo, 2010)
15

Pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku


seseorang akan pola hidup, terutama dalam motivasi sikap berperan serta
dalam perkembangan kesehatan, Notoadmodjo menyatakan bahwa
pengetahuan merupakan salah satu faktor internal yang dapat
mempengaruhi terbentuknya peran. Dimana semakin tinggi tingkat
pendidikan, seseorang makin menerima informasi sehingga makin banyak
pola pengetahuan dimiliki. Keluarga dengan pendidikan yang tinggi ini
akan mudah menerima informasi dan mengetahui tujuan dalam kepatuhan
minum obat sehingga dalam melakukan pemantauan minum obat pada
anggota keluarga yang menderita penyakit kronik akan berperan baik.

2.2.3 Peran Informal keluarga


Peran-peran informal bersifat implisit, biasanya tidak tampak. Hanya
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan emosional individu atau untuk
menjaga keseimbangan dalam keluarga. Peran informal mempunyai
tuntutan yang berbeda, tidak terlalu didasarkan pada atribut-atribut
personalitas tau kepribadian anggota keluarga individu (Friedman, 2010).
Beberapa peran informal bersifat adaptif antara lain: (a) sebagai
Pendorong memiliki arti bahwa dalam keluarga terjadi kegiatan
mendorong, memuji, dan menerima kontribusi dari orang lain.(b)
Pengharmonisan yaitu berperan menengahi perbedaan pendapat yang
terdapat diantara para anggota keluarga.(c) Pendamai berarti jika terjadi
konflik dalam keluarga maka diselesaikan secara musyawarah dan damai,
(d) Perawatan keluarga yaitu peran yang dijalankan terkait dengan
merawat anggota keluarga jika ada yang sakit. (e) Penghubung keluarga
yang biasanya ibu mengirim dan memonitori komunikasi dalam keluarga.
(f) Koordinator, keluarga berarti mengorganisasi dan merencanakan
kegiatan-kegiatan keluarga yang berfungsi mengangkat keakraban dan
memerangi kepedihan.

2.2.4 Tugas keluarga dalam bidang kesehatan


Sesuai dengan fungsi keluarga dalam pemeliharaan kesehatan,
keluarga juga mempunyai tugas dalam Bidang Kesehatan yang harus
16

dilakukan sebagaimana yang dikemukakan oleh (Ahsan, Kumboyono, &


Faizah, 2018) Mengenal masalah kesehatan setiap anggota keluarga
Perubahan sekecil apapun yang dialami anggota keluarga secara tidak
langsung menjadi perhatian dan tanggung jawab keluarga, oleh karena itu
perlu mencatat dan memperhatikan segala perubahan yang terjadi dalam
keluarga
a. Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat bagi
keluarga. Tugas ini merupakan upaya tugas utama keluarga untuk
mencari pertolongan yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga,
dengan pertimbangan siapa diantara keluarga yang mempunyai
kemampuan memutuskan untuk menentukan tindakan keluarga. Walau
pembuat keputusan dipengaruhi oleh dinamika keluarga, anggota
keluarga terdekat atau yang mempunyai pengetahuan lebih akan
menjadi perwakilan keluarga untuk memberikan keputusan setelah
melakukan diskusi bersama dan mendapatkan informasi yang mereka
perlukan. Hal yang harus di pahami yaitu tingkat keterlibatan dan
peran dalam pembuatan keputusan dimana keluarga sebagai advocat
bagi pasien. Keluarga juga bertindak sebagai penjamin hak pasien
dengan penyaki kronik yang mengasumsikan terkait pengobatan
pasien. Kondisi pasien yang melemah dan mengalami kekambuhan
menjadikan keluarga sebagai pihak penting dalam membuat keputusan
yang berkaitan dengan pengobatan (Hafifah, 2018). Keluarga dalam
pengambilan keputusan mayoritas diputuskan dari semua atau anggota
keluarga yang ada dan dilakukan dengan cara diskusi dengan anggota
keluarga atau keluarga terdekat pasien. Keputusan keluaga di ambil
dengan cara diskusi dengan anggota keluarga semuanya.
b. Memberikan perawatan kepada anggota keluarganya yang sakit atau
yang tidak dapat membantu dirinya sendiri. Tugas ini dapat dilakukan
di rumah apabila keluarga memiliki kemampuan untuk melakukan
tindakan pertolongan pertama agar masalah yang lebih parah tidak
terjadi, untuk dapat mencapai tujuan kesehatan keluarga, keluarga
mempunyai tugas dan dan pemeliharaan kesehatan para angotanya dan
17

saling memelihara kesehatan keluarga. Bagi penderita penyakit kronik


itu sendiri yaitu dengan mengatasi kekurangan dan melaksanakan
terapi pengobatan sesuai anjuran dokter, pengetahuan keluarga tentang
kesehatan khusunya tentang penyakit kronik harus ditingkatkan agar
keluarga bisa menjadi sumber yang efektif dengan memberikan
penjelasan dan pengetahuan kepada anggota keluarganya yang sakit.
Keluarga juga diharapkan selalu menyiapkan diri atau membawa
anggota keluarganya yang sakit ke pelayanan medis, mengingat
penyakit kronik memerlukan sarana kesehatan yang efektif dan
optimal bagi keluarga (Setiadi, 2008). Keluarga lebih menekankan
pada upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan terhadap berbagai
gangguan kesehatan anggota keluarga, dengan tidak melupakan upaya
pengobatan dan pemulihan kesehatan bagi penderita maupun dalam
kondisi pemulihan terhadap penyakit. Adapun pelayanan kesehatan
yang diberikan Rumah Sakit meliputi peningkata kesehatan,
pencegahan terhadap berbagai gangguan kesehatan, dengan tidak
melupakan upaya pengobatan dan pemulihan kesehatan ( Hasinuddin,
2008).
c. Mempertahankan suasana di rumah yang menguntungkan kesehatan
dan perkembangan kepribadian anggota keluarga.
d. Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga
kesehatan dengan memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang
ada

2.3 Konsep Kepatuhan


2.3.1 Definisi Kepatuhan
Kepatuhan merupakan fenomena multidimensi yang di tentukan oleh
lima dimensi yang saling terkait, yaitu faktor pasien, faktor terapi, faktor
sistem kesehatan, factor lingkungan, dan faktor sosial ekonomi, semua
faktor adalah faktor penting dalam mempengaruhi kepatuhan sehingga
tidak ada pengaruh lebih kuat dari faktor lainnya (Safii & Putri, 2015)
18

Kepatuhan adalah derajat dimana pasien mengikuti anjuran klinis


dari dokter yang mengobatinya. Kepatuhan berasal dari kata patuh yaitu
suka menurut perintah, taat kepada perintah/aturan dan disiplin yaitu
ketaatan melakukan sesuatu yang di anjurkan atau yang di tetapkan,
kepatuhan adalah secara sederhana sebagai perluasan perilaku individu
yang berhubungan dengan minum obat, mengikuti diet dan merubah gaya
hidup yang sesuai petunjuk medis (Arista, 2013)
Ada tiga model kepatuhan menurut (Wulandari, 2015) sebagai berikut:
a. Health Belief Model (HBM)
HBM menjelaskan model perilaku sehat (misal memeriksakan diri)
merupakan fungsi dari keyakinan personal tentang besarnya ancaman
penyakit dan penularannya, serta keuntungan dan rekomendasi yang
diberikan petugas kesehatan. Ancaman yang dirasakan berasal dari
keyakinan tentang keseriusan yang dirasakan terhadap penyakit dan
kerentanan orang tersebut. Individu kemudian menilai keuntungan
tindakan yang diambil (misal: berobat akan memperingan simptom),
meskipun dibyang-bayangi oleh resiko-resiko dari tindakan yang
diambilnya, seperti: takut atau efek samping atau pun biaya
pengobatan. Berdasarkan dinamika tersebut dapat dipahami bahwa
kepatuhan dalam mengkonsumsi obat merupakan proses yang diawali
oleh keyakinan seseorang akan keseriusan penyakitnya, yang berujung
pada tindakan untuk berobat, termasuk kepatuhan dalam
mengkonsumsi obat, walaupun dibayang-bayangi oleh risiko atau efek
samping dari tindakan tersebut.
b. Theory of Planned Behaviour (TPB)
Teori ini berusaha menguji hubungan antara sikap dan perilaku, yang
fokus utamanya adalah pada intensi (niat) yang mengantarkan
hubungan antara sikap dan perilaku, dan kontrol terhadap perilaku
yang dirasakan. Sikap terhadap perilaku merupakan produk dari
keyakinan tentang hasil akhir (misal: frekuensi kekambuhan
berkurang) dan nilai yang dirasakan dari hasil akhir tersebut (kondisi
jarang kambuh sangat penting bagi orang tersebut). Norma subjektif
19

berasal dari pandangan orang-orang di sekitar tentang perilaku berobat


(misal: istri atau suami ingin agar tersebut mengikuti rekomendari dari
dokter), dan motivasi untuk mendukung pandangan-pandangan orang-
orang disekitar tersebut (misal: orang tersebut ingin menyenangkan
pasangannya dengan mengikuti rekomendarsi dokter). Kontrol perilaku
yang dirasakan menggambarkan tentang seberapa jauh orang tersebut
merasakan bahwa berperilaku patuh dapat dkendalikannya. Hal ini
tergantung keyakinan orang tersebut bahwa dirinya mampu untuk
mengontrol tindaknnya, misal: persepsi bahwa terdapat sumber
internal seperti kecukupan keterampilan atau informasi, serta sumber
eksternal seperti dukungan-dukungan dan hambatan-hambatan yang
berasal dari lingkungan sekitarnya.
c. Model of Adherence
Morgan & Horne (2014) mengemukakan model Unintentional
Nonadherence & Intentional Nonadherence, Unintentional
Nonadherence mengacu pada hambatan pasien dalam proses
pengobatan. Hambatan-hambatan dapat muncul dari kapasitas dan
keterbatasan-keterbatasan sumber-sumber dari pasien, meliputi
defisiensi memori (misal: lupa instruksi atau lupa untuk berobat),
ketrampilan (misal: kesulitan dalam membuka kemasan/penutup obat
atau menggunakan peralatan dalam berobat seperti jarum suntik dan
penghisap), pengetahuan (misal: tidak menyadari akan kebutuhan
untuk minum obat secara teratur) atau minum obat secara teratur) atau
kesulitan-kesulitan dengan rutinitas-rutinitas normal harian. Intentional
Nonadherence menggambarkan cara pasien yang terlibat dalam
pengambilan keputusan dalam pengobatan. Pada proses ini tindakan
rasional berasal dari keyakinan-keyakinan, kondisi-kondisi, prioritas-
prioritas, pilihan-pilihan, dan latihan-latihan, meskipun persepsi dan
tindakan berbeda antara harapan dalam pengobatan dan
rasionalitasnya.
Faktor-faktor yang berhubungan antara ketidakpatuhan dan kepatuhan
dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu:
20

a. Pemahaman tentang instruksi


Tak seorang pun dapat memenuhi instruksi jika ia salah paham tentang
instruksi yang diberikan padanya
b. Kualitas interaksi
Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan pasien merupakan
bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan
c. Interaksi sosial dan keluarga
Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam
menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta juga dapat
menentukan program pengobatan yang dapat mereka terima.
Kepatuhan akan meningkat secara umum bila instruksi pengobatan
jelas, hubungan obat terhadap penyakit jelas, pengobatan yang teratur
serta adanya keyakinan bahwa kesehatannya akan pulih, petugas
kesehatan yang menyenangkan dan berwibawa, dukungan sosial
pasien, efek obat minimum, pengobatan sederhana, harga terjangkau,
serta hubungan baik antara petugas kesehatan dengan pasien.

2.3.2 Aspek-aspek Kepatuhan Pengobatan


Adapun aspek-aspek kepatuhan pengobatan sebagaimana yang telah
dikemukakan sebagai berikut:
a. Pilihan dan tujuan pengaturan
Upaya individu untuk memilih sesuai dengan yang diyakininya
untuk mencapai kesembuhan.
b. Perencanaan pengobatan dan perawatan
Upaya perencanaan yang dilakukan oleh individu dalam
pengobatnya untuk mencapai suatu kesembuhan antara lain: jadwal
minum obat dan jadwal check up.
c. Pelaksanaan aturan hidup
Kemampuan individu untuk mengubah gaya hidup sebagai
upaya untuk menunjang kesembuhannya. Terdapat tiga aspek
kepatuhan adalah : pilihan dan tujuan pengaturan yaitu pasien memilih
pengobatan yang sesuai dengan keyakinannya yang dipercaya akan
21

membawa kesembuhan bagi dirinya, perencanaan pengobatan dan


perawatan yaitu menyangkut jadwal minum obat dan jadwal chek up
sesuai dengan anjuran dokter, pelaksanaan aturan hidup yaitu
keterampilan individu dalam mengubah gaya hidupnya guna untuk
menunjang kesembuhan. (Utami, 2016)

2.3.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Perilaku dalam Kepatuhan


Menurut (Wulandari, 2015) mempengaruhi 3 faktor yaitu :
a. Faktor Predisposisi (predisposing factors), Faktor yang mendahului
perilaku seseorang yang akan mendorong untuk berperilaku yaitu
pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai dan persepsi yang
mendorong seseorang atau kelompok untuk melakukan tindakan.
b. Faktor pendukung atau pendorong (enabling factors), faktor yang
memotivasi individu atau kelompok untuk melakukan tindakan yang
berwujud lingkungan fisik, tersedianya fasilitas dan sarana kesehatan,
waktu pelayanan, dan kemudahan transportasi. Keluarga dapat
berperan sebagai sistem pendukung bagi anggotanya. Anggota
keluarga juga berpandangan bahwa orang yang bersifat mendukung
selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika di perlukan.
Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan, dan penerimaan keluarga
terhadap penderita yang sakit. Dukungan keluarga merupakan suatu
bentuk perhatian, dorongan yang di dapatkan individu dari orang lain
melalui hubungan interpersonal seperti perhatian, emosional, dan
penilaian (Arista, 2013).
Jenis dukungan keluarga ada empat yaitu: Dukungan Keluarga
yang pertama adalah dukungan instrumental yaitu keluarga merupakan
sumber pertolongan praktis dan konkrit. Pemberian dukungan
instrumental meliputi penyediaan pertolongan finansial maupun
penyediaan pertolongan finansial maupun penyediaan barang atau jasa
lainnya, dukungan keluarga yang kedua adalah informasional yaitu
keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan disseminator
(Prasetyawati,2011). Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah
22

memberikan nasehat, usulan, saran, petunjuk dan pemberian informasi.


Menurut Sudiharto, 2012) masalah-masalah kesehatan dalam keluarga
saling berkaitan. Apabila salah satu anggota keluarga memiliki
masalah kesehatan, anggota keluarga lainnya akan berpengaruh,
dukungan keluarga yang ketiga adalah dukungan penilaian (appraisal),
yaitu keluarga bertindak sebagai sebuah umpan balik, membimbing
dan mencegah pemecahan masalah sebagai sumber validitas identitas
keluarga. Jenis dukungan ini terjadi lewat ungkapan penghargaan yang
positif untuk individu, dorongan maju atau persetujuan dengan
gagasan atau perasaan individu lain (Prasetyawati, 2011), dukungan
keluarga yang keempat adalah dukungan emosional ini yaitu keluarga
sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan
pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi (Prasetyawati,
2011) dukungan emosional ini yaitu mengkomunikasikan cinta, peduli,
kasih sayang, percaya kepada anggota keluarganya. Jenis dukungan ini
dilibatkan rasa empati, peduli terhadap seseorang sehingga
memberikan perasaan nyaman, membuat pasien merasa lebih baik.
Pasien memperoleh kembali keyakinan diri, merasa dicintai pada saat
mengalami stres karena pengobatan. Dalam hal ini pasien merasa
memperoleh dukungan.
c. Faktor penguat (reinforce factors ), mencakup sikap dan dukungan
keluarga, teman, guru, majikan, penyedia layanan kesehatan,
pemimpin serta pengambilan keputusan.

2.3.4 Cara Meningkatkan Kepatuhan dalam Proses Pengobatan


Adapun cara meningkatkan kepatuhan menurut Choundry, 2009) meliputi:
a. Memberikan informasi kepada pasien akan manfaat dan pentingnya
kepatuhan untuk mencapai keberhasilan pengobatan.
b. Mengingatkan pasien untuk melakukan segala sesuatu yang harus
dilakukan demi keberhasilan pengobatan melalui telepon atau alat
komunikasi lain.
23

c. Menunjukkan kepada pasien kemasan obat yang sebenarnya atau


dengan cara menunjukkan obat aslinya, sera
d. Memberikan keyakinan kepada pasien akan efektivitas obat dalam
penyembuhan.
e. Memberikan informasi resiko ketidakpatuhan.
f. Memberikan layanan kefarmasian dengan obserasi langsung,
mengunjungi rumah pasien dan memberikan konsultasi kesehatan.
g. Menggunakan alat bantu kepatuhan seperti multikompartemen atau
sejenisnya.
h. Adanya dukungan dari pihak keluarga teman dan orang-orang yang
disekitarnya untuk selalu mengingatkan pasien jadwal berobat,
mengingatkan minum obat agar teratur dan demi mendapatkan
keberhasilan pengobatan.
i. Apabila obat yang digunakan hanya dikonsumsi sehari satu kali,
kemudian pemberian obat yang digunakan lebih dari satu kali dalam
sehari mengakibatkan pasien sering lupa, akibatnya menyebabkan
tidak teratur minum obat
Limbu dan Marni (2016) menyebutkan peran keluarga dalam
bentuk partisipasi terhadap proses pengobatan penderita penyakit kronik
yaitu merujuk penderita ke puskesmas, membawa penderita ke tenaga
kesehatan, membantu penderita pada pemeriksaan di rumah sakit,
pemenuhan kebutuhan penderita, mengingatkan penderita untuk minum
obat, dan memberi obat untuk diminum setiap malam dan melakukan
pengambilan obat untuk persediaan, serta mengantarkan penderita
melakukan pengontrolan di Rumah Sakit. Pemilihan PMO di utamakan
dari keluarga pasien, keluarga dapat dijadikan sebagai PMO, karena
dikenal, dipercaya, dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun
penderita, selain itu harus disegani, dihormati, dan tinggal dekat dengan
penderita serta bersedia membantu penderita dengan sukarela. Keluarga
melakukan dengan cara menemani pasien berobat ke pusat kesehatan,
mengingatkan tentang obat-obatan, dan memberi makan dan nutrisi sesuai
diit penderita gagal jantung (Dhake & Preeti, 2012).

Anda mungkin juga menyukai