Mice (Mus musculus) are often used as a reference for various research in
small laboratory animals. The purpose of this research was to know the effect of
pre-treated on lungs morphology of mice to minimizing various pathogen
infection. Mice that have been pre-treated with anthelmintic (albendazole),
antibiotic (azithromycin) and antiprotozoal (metronidazole) drugs along 29 days,
followed one weeks to withdrawl the rest of drugs. Mice euthanized using
combination of ketamine and xylazine than necropsied to collect lung samples.
The respiratory organs samples prepared for histopathology slides stained with
Hematoxylin-Eosin (HE) and Periodic Acid Schiff-Alcian Blue pH 2.5(PAS/AB pH
2.5). The slides with HE staining observed for proliferation of bronchiole
epithelial cells, exfoliation of bronchiole ephitelial cells, inflammatory cells,
production of mucus, normal alveoli, atelectasis, emphysema and congestion. The
slides with PAS/AB pH 2.5 staining are to observed amount of goblet cells. The
result shows that male and female mice which have been pre-treated with
albendazole, azythromycin, and metronidazole able to maintain lungs morphology
in the good condition for biomedical research. The male mice showed more
consistent result than the female. This happened because the female mice have
hormonal cycle that is more complex than male. This is recommended that pre-
treated drugs were able to prepare lungs on mice laboratory for further research.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Mei 2014 sampai Juli 2014 ini
ialah Analisis Histopatologi Organ Paru-Paru Mencit (Mus musculus) yang
Diberi Pretreatment untuk Penyiapan Penelitian Biomedis. Skripsi ini
merupakan salah satu persyaratan untuk memeroleh gelar Sarjana Kedokteran
Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Penulis Mengucapkan terima kasih ucapkan kepada :
1. Ibu Dr Drh Sri Estuningsih, MSi, APVet selaku dosen pembimbing
akademik dan skripsi atas segala bimbingan, masukan, dukungan, nasihat,
serta kesabarannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan
penulisan skripsi.
2. Ibu Drh Dewi Ratih Agungpriyono, PhD, APVet selaku pembimbing
skripsi atas segala bimbingan, masukan, dukungan, nasihat, serta
kesabarannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan
penulisan skripsi.
3. Divisi Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi yang
dikepalai oleh Prof Drh Ekowati Handharyani, MS, PhD, APVet atas
fasilitas dan sebagian dana penelitian.
4. Teknisi di Divisi Patologi dan Mbak Rizqi Awaliyah atas bantuannya
dalam melaksanakan penelitian.
5. Seluruh staf pendidik di Divisi Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi
dan Patologi.
6. Keluarga tercinta, Bapak I Wayan Winasa, Ibu Neli Suciati, Kakak Sri
Ayu Dwi Lestari atas dukungan dan doa kepada penulis selama ini.
7. Teman-teman satu penelitian Oktavia Pusparini, Ayu Herawati, Ririn
Ariyani Harto, dan Indri Saptorini atas dukungan, doa dan kerjasamanya.
Penulis menyadari penyusunan skripsi ini tidak luput dari kekurangan, oleh
karena itu penulis berterima kasih atas kritik dan saran-saran yang bersifat
membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini
dapat bermanfaat.
DAFTAR TABEL iv
DAFTAR GAMBAR iv
DAFTAR LAMPIRAN iv
PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian 2
Alat 2
Bahan 3
Prosedur Penelitian 3
Adaptasi Mencit Percobaan 3
Uji TTGT Metode McMaster 3
Pengelompokan dan Pretreatment 3
Euthanasia 4
Nekropsi dan Pengambilan Sampel Organ 4
Pembuatan Sediaan Histopatologi (HP) 5
Dehidrasi 5
Pembuatan Blok Embedding 5
Trimming 5
Deparafinasi 5
Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE) 5
Pewarnaan Periodic Acid Schiff –Alcian Blue pH 2.5 6
Pengamatan Sediaan Histopatologi (HP) 6
Analisis Statistik 7
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perubahan Histopatologi pada Bronkhiolus 7
Perubahan Histopatologi pada Alveol 17
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 27
Saran 27
DAFTAR PUSTAKA 27
LAMPIRAN 30
RIWAYAT HIDUP 32
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1 Pengelompokkan dan pretreatment mencit (Mus musculus) 4
2 Jadwal kegiatan penelitian dan pretreatment 4
3 Analisis statistik kondisi bronkhiolus mencit yang diberi 8
pretreatment
4 Analisis statistik perbandingan jenis kelamin pada 17
bronkhiolus mencit yang diberi pretreatment
5 Analisis statistik kondisi jaringan parenkim paru-paru 18
(alveol) mencit yang diberi pretreatment
6 Analisis statistik perbandingan jenis kelamin pada jaringan 27
parenkim paru-paru (alveol) mencit yang diberi pretreatment
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1 Gambaran mikroskopis hiperplasia pada bronkhiolus. 11
Pewarnaan HE. Perbesaran 40x
2 Gambaran mikroskopis eksudat dalam lumen bronkhiolus. 12
Pewarnaan HE. Perbesaran 40x
3 Gambaran mikroskopis sel radang di sekitar bronkhiolus. 13
Pewarnaan HE. Perbesaran 40x
4 Gambaran mikroskopis deskuamasi sel epitel bronkhiolus. 15
Pewarnaan HE. Perbesaran 40x
5 Gambaran mikroskopis sel goblet yang berada pada 16
bronkhiolus. Pewarnaan PAS/AB pH 2.5. Perbesaran 40x
6 Gambaran mikroskopis alveol normal pada jaringan parenkim 20
paru-paru. Pewarnaan HE. Perbesaran 40x
7 Gambaran mikroskopis atelektasis pada jaringan parenkim 21
paru-paru. Pewarnaan HE. Perbesaran 40x
8 Gambaran mikroskopis emfisema pada jaringan parenkim 23
paru-paru. Pewarnaan HE. Perbesaran 40x
9 Gambaran mikroskopis kongesti pada pembuluh darah 24
kapiler dinding alveolar jaringan parenkim paru-paru.
Pewarnaan HE. Perbesaran 40x
10 Gambaran mikroskopis sel radang pada jaringan parenkim 26
paru-paru. Pewarnaan HE. Perbesaran 40x
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1 Prosedur pewarnaan hematoksilin eosin (HE) 30
2 Prosedur pewarnaan Periodic Acid Schiff/Alcian Blue pH 2.5 31
(PAS/AB pH 2.5)
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
fisiologis mencit dapat berpengaruh terhadap hasil akhir penelitian biomedis. Oleh
karena itu, pretreatment diperlukan untuk mengurangi dampak variabel tersebut.
Dalam penelitian ini pretreatment yang dilakukan berupa pemberian anticacing,
antibiotika, dan antiprotozoa.
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
METODE
Penelitian ini dilaksanakan mulai Mei 2014 hingga Juli 2014 di Divisi
Patologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Alat
Bahan
Prosedur Penelitian
kandang dan diberi pretreatment sesuai dengan Tabel 1. Penggunaan tiga ekor
mencit dalam setiap perlakuan bertujuan untuk menghindari data yang bias.
Penggunaan mencit kontrol berfungsi untuk membandingkan gambaran paru-paru
tanpa pretreatment. Pemberian semua sediaan obat pretreatment secara oral
dengan menggunakan sonde lambung. Pretreatment dilakukan sesuai dengan
jadwal di dalam Tabel 2.
Euthanasia
Euthanasia yang dilakukan pada penelitian ini adalah pemberian
kombinasi ketamin dan xylazin secara intraperitoneal dengan dosis berlebih
(overdosis) dengan pemberian masing-masing sebesar 0,3 mg/kg BB serta
dilanjutkan dengan dislokasio atlanto-occipitalis untuk memastikan hewan telah
mati. Setelah mencit mati kemudian dilakukan nekropsi untuk pengambilan organ
paru-paru.
a. Dehidrasi
Dehidrasi merupakan proses pengambilan air dari dalam jaringan secara
perlaha-lahan menggunakan alkohol bertingkat (konsentrasinya). Tahapan
dehidrasi yaitu dengan merendam organ pada etanol 70%, 80%, 90%, 95%,
absolut 1 pro analisa (pa), dan absolut 2 pro analisa (pa). Organ direndam selama
2 jam pada setiap masing-masing larutan. Kemudian setelah selesai pada alkohol
bertingkat, organ direndam masing-masing selama 40 menit ke dalam xylol 1 dan
xylol 2. Setelah itu, sampel diinfiltrasi dengan parafin 1 dan 2 selama 30 menit
pada suhu 60 oC. Semua proses tersebut dilakukan secara otomatis selama satu
malam dalam automatic tissue processor.
c. Trimming
Trimming adalah proses pengirisan organ untuk mendapatkan bagian
organ yang ingin diamati dengan bentuk yang bagus. Prosedur trimming diawali
dengan mengeluarkan blok organ terpilih dan dipotong menggunakan microtom
dengan ketebalan 3-5 µm. Hasil potongan akan berbentuk pita (ribbon). Untuk
menghilangkan lipatan akibat pemotongan pada pita, pita diletakkan di atas
permukaan air hangat suhu sekitar 59 oC. Kemudian diangkat dengan
menggunakan gelas objek yang telah coating dan dikeringkan pada suhu 60 oC
selama 1 malam.
d. Deparafinasi
Preparat direndam dalam xylol sebanyak dua kali dengan masing-masing
waktu 5 menit. Kemudian dilakukan tahapan rehidrasi dengan alkohol bertingkat
(absolute, 96%, 80%, 70%). Perendaman pada masing-masing larutan dilakukan
selama 5 menit lalu dibilas dengan menggunakan air mengalir dan dikeringkan.
Analisis Statistik
untuk mempertahankan diri dan mengeliminasi partikel asing atau sel-sel yang
rusak (McGavin 2007). Pada penelitian ini hasil analisis rataan jumlah sel radang
dalam bronkhiolus mencit jantan menunjukkan tidak adanya perbedaan yang
signifikan. Peningkatan jumlah sel radang terjadi pada semua kelompok mencit
jantan yang diberi pretreatment jika dibandingkan dengan kontrol. Pada kelompok
kontrol jantan dan betina juga tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan
walaupun jumlah sel radang yang ditemukan pada kelompok kontrol mencit
betina lebih banyak. Perbedaan jumlah sel radang pada kelompok pretreatment
mencit betina dipengaruhi oleh aktivitas Azitromisin yang berfungsi sebagai
antibiotik sekaligus antiinflamasi pada saluran pernafasan. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa mencit betina yang diberikan sediaan Albendazol dan
Azitromisin (kelompok B) memiliki respon paling baik karena jumlah sel radang
menurun jika dibandingkan dengan kontrol dan kelompok lainnya. Hal tersebut
sesuai dengan pernyataan Giguѐre (2006) dan Tsai (2009) yang menyebutkan
bahwa Azitromisin akan menghambat kemotaksis dan infiltrasi neutrofil ke dalam
saluran pernafasan serta menurunkan sekresi mukus.
Hasil secara umum menunjukkan respon yang dihasilkan kelompok betina
lebih bervariasi jika dibandingkan dengan kelompok mencit jantan dapat terlihat
saat respon adanya eksudat dalam lumen dan jumlah sel radang. Hal ini terjadi
karena mencit betina tidak diamati secara individual mengenai siklus estrusnya.
Sehingga siklus estrus pada setiap mencit betina saat pretreatment dilaksanakan
kemungkinan dalam fase yang berbeda-beda. Kondisi proestrus hingga menuju
saat terjadi kehamilan merupakan kondisi paling baik karena kadar estrogen yang
meningkat dalam tubuh mampu meningkatkan juga peredaran sel radang ke dalam
jaringan (Straub 2007). Secara detail, gambaran HP sel radang di sekitar
bronkhiolus pada setiap kelompok mencit ditunjukkan pada Gambar 3.
11
K1 K2
A E
B F
C G
D H
Gambar 1 Gambaran mikroskopis hiperplasia pada bronkhiolus. Pewarnaan HE. Perbesaran 40x. K1, A, B, C,
D adalah kelompok mencit jantan dengan pretreatment A=Albendazol, B= Albendazol dan
Azitromisin, C=Albendazol dan Metronidazol, D=Albendazol, Azitromisin dan Metronidazol
sedangkan K2, E, F, G, H adalah kelompok mencit betina dengan pretreatment E= Albendazol,
F=Albendazol dan Azitromisin, G=Albendazol dan Metronidazol, H=Albendazol, Azitromisin
dan Metronidazol.
12
K1 K K2 K
1 2
A A E E
B B F F
C C G G
D D H H
Gambar 2 Gambaran mikroskopis eksudat dalam lumen bronkhiolus. Pewarnaan HE. Perbesaran 40x. K1,
A, B, C, D adalah kelompok mencit jantan dengan pretreatment A=Albendazol, B= Albendazol
dan Azitromisin, C=Albendazol dan Metronidazol, D=Albendazol, Azitromisin dan
Metronidazol sedangkan K2, E, F, G, H adalah kelompok mencit betina dengan pretreatment
E= Albendazol, F=Albendazol dan Azitromisin, G=Albendazol dan Metronidazol,
H=Albendazol, Azitromisin dan Metronidazol.
13
K1 K K2 K
1 2
A A E E
B B F F
C C G G
D D H H
Gambar 3 Gambaran mikroskopis sel radang di sekitar bronkhiolus. Pewarnaan HE. Perbesaran 40x. K1,
A, B, C, D adalah kelompok mencit jantan dengan pretreatment A=Albendazol, B=
Albendazol dan Azitromisin, C=Albendazol dan Metronidazol, D=Albendazol, Azitromisin
dan Metronidazol sedangkan K2, E, F, G, H adalah kelompok mencit betina dengan
pretreatment E= Albendazol, F=Albendazol dan Azitromisin, G=Albendazol dan
Metronidazol, H=Albendazol, Azitromisin dan Metronidazol.
14
K1 K K2 K
1 2
A A E E
B B F F
C C G G
D D H H
Gambar 4 Gambaran mikroskopis deskuamasi sel epitel bronkhiolus. Pewarnaan HE. Perbesaran 40x. K1,
A, B, C, D adalah kelompok mencit jantan dengan pretreatment A=Albendazol, B=
Albendazol dan Azitromisin, C=Albendazol dan Metronidazol, D=Albendazol, Azitromisin
dan Metronidazol sedangkan K2, E, F, G, H adalah kelompok mencit betina dengan
pretreatment E= Albendazol, F=Albendazol dan Azitromisin, G=Albendazol dan
Metronidazol, H=Albendazol, Azitromisin dan Metronidazol.
16
K1 K K2 K
1 2
A A E E
B B F F
C C G G
D D H H
Gambar 5 Gambaran mikroskopis sel goblet yang berada pada bronkhiolus. Pewarnaan PAS AB pH 2.5.
Perbesaran 40x. K1, A, B, C, D adalah kelompok mencit jantan dengan pretreatment
A=Albendazol, B=Albendazol dan Azitromisin, C=Albendazol dan Metronidazol,
D=Albendazol, Azitromisin dan Metronidazol sedangkan K2, E, F, G, H adalah kelompok
mencit betina dengan pretreatment E= Albendazol, F=Albendazol dan Azitromisin,
G=Albendazol dan Metronidazol, H=Albendazol, Azitromisin dan Metronidazol.
17
Jenis Kelamin
Jantan 8,85a 3,23a 9,45a 8,53a 1,04a
Betina 9,59a 3,50a 10,73a 9,16a 2,06a
Kelompok Pretreatment
Kontrol 8,80a 2,69a 9,10ab 8,28a 1,39a
a a ab a
A 8,84 2,71 9,73 8,20 0,99a
a a a a
B 9,36 2,99 7,10 9,00 1,40a
C 9,31a 4,17a 9,38ab 9,23a 1,92a
a a b a
D 9,76 4,27 15,11 9,49 2,06a
Keterangan : Huruf superscipt yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya
perbedaan yang signifikan (p<0.05) antar kelompok perlakuan. Kelompok
pretreatment A= Albendazol, B= Albendazol dan Azitromisin, C= Albendazol dan
Metronodazol, dan D= Albendazol, Azitromisin dan Metronidazol.
sudah berada dalam tubuh mencit sehingga kegunaan sediaan obat dalam
memelihara sel-sel dalam jaringan parenkim paru-paru mencit agar tetap normal
menjadi berkurang. Hasil analisis persentase alveol normal baik pada jantan
maupun betina membuktikan bahwa pemberian pretreatment mampu memelihara
agar sel-sel di dalam jaringan parenkim paru-paru tetap berfungsi secara normal.
Ateletaksis adalah suatu keadaan dimana sebagian atau seluruh paru-paru
kehilangan volume karena alveoli gagal kembali mengembang dan tidak berisi
udara. Atelektasis dapat disebabkan karena adanya perubahan dari segi kualitas
dan kuantitas surfaktan yang dihasilkan oleh sel alveolar tipe II (McGavin 2007).
Pertukaran gas akan tercapai apabila telah terjadinya keseimbangan rasio volume
udara yang masuk menuju kapiler darah. Udara yang masuk juga harus berdekatan
dengan dinding alveolar agar difusi gas dapat terjadi. Jika salah satu hal tersebut
tidak tercapai maka dapat menyebabkan terjadinya atelektasis (McGavin 2007).
Hasil analisis pada persentase atelektasis mencit jantan menunjukkan adanya
perbedaan yang signifikan antara kelompok pretreatment A dengan kelompok
pretreatment lainnya termasuk kontrol. Peningkatan persentase atelektasis
tertinggi terjadi pada kelompok mencit jantan dengan pemberian satu obat yaitu
Albendazol (A) sedangkan hasil analisis pada mencit betina menunjukkan tidak
adanya perbedaan yang signifikan. Pada mencit betina persentase atelektasis
paling tinggi terjadi juga pada kelompok pretreatment A (Albendazol). Hal
tersebut membuktikan bahwa pretreatment menggunakan Albendazol saja belum
dapat mengurangi persentase alveol yang mengalami atelektasis baik pada mencit
jantan maupun betina. Persentase atelektasis pada kelompok mencit betina
pretreatment cenderung mengalami peningkatan. Hal ini dapat terjadi
kemungkinan karena penggunaan sediaan anaesthesi (Ketamin dan Xylazine)
dengan dosis tinggi dapat menyebabkan pernafasan menjadi dangkal akibat
saluran pernafasan terhambat oleh mukus berlebih sehingga terganggunya
keseimbangan antara udara masuk dan keluar. Sesuai dengan pernyataan
McGavin (2007) bahwa kejadian atelektasis dapat disebabkan oleh adanya
penyumbatan yang terjadi karena terlalu banyaknya mukus sehingga menghambat
saluran pernafasan. Hal tersebut menjelaskan bahwa atelektasis yang terjadi pada
mencit jantan dan betina kelompok pretreatment kemungkinan terjadi akibat
produksi mukus meningkat, walaupun peningkatannya tidak signifikan. Tidak
ditemukannya peradangan ataupun edema di sekitarnya membuktikan juga bahwa
kejadian atelektasis terjadi secara akut (Sudomo 2012). Gambaran HP sel alveol
yang normal pada setiap kelompok mencit ditunjukkan pada Gambar 6, sedangkan
Gambar 7 menunjukkan sel alveol yang mengalami atelektasis dari setiap
kelompok percobaan.
20
K K2 K
K1
1 2
A A E E
B B F F
C G G
C
D D H H
Gambar 6 Gambaran mikroskopis alveol normal pada jaringan parenkim paru-paru. Pewarnaan HE.
Perbesaran 40x. K1, A, B, C, D adalah kelompok mencit jantan dengan pretreatment
A=Albendazol, B= Albendazol dan Azitromisin, C=Albendazol dan Metronidazol,
D=Albendazol, Azitromisin dan Metronidazol sedangkan K2, E, F, G, H adalah kelompok
mencit betina dengan pretreatment E= Albendazol, F=Albendazol dan Azitromisin,
G=Albendazol dan Metronidazol, H=Albendazol, Azitromisin dan Metronidazol.
21
K1 K K2 K
1 2
A A E E
B B F F
C G G
C
D D H H
Gambar 7 Gambaran mikroskopis atelektasis pada jaringan parenkim paru-paru. Pewarnaan HE. Perbesaran
40x. K1, A, B, C, D adalah kelompok mencit jantan dengan pretreatment A=Albendazol, B=
Albendazol dan Azitromisin, C=Albendazol dan Metronidazol, D=Albendazol, Azitromisin dan
Metronidazol sedangkan K2, E, F, G, H adalah kelompok mencit betina dengan pretreatment E=
Albendazol, F=Albendazol dan Azitromisin, G=Albendazol dan Metronidazol, H=Albendazol,
Azitromisin dan Metronidazol.
22
Emfisema alveolar dapat terjadi pada semua spesies yang ditandai dengan
adanya distensi dan pecahnya dinding alveolar, sehingga membentuk gelembung
udara yang ukurannya bervariasi di parenkim paru-paru (McGavin 2007). Hasil
analisis emfisema pada mencit jantan menunjukkan adanya perbedaan yang
signifikan antara kelompok pretreatment A (Albendazol) dan B (Albendazol dan
Azitromisin) jika dibandingkan dengan kontrol sedangkan hasil analisis
persentase emfisema mencit betina menunjukkan adanya perbedaan yang
signifikan pada kelompok yang diberikan tiga macam obat yaitu Albendazol,
Azitromisin dan Metronidazol (kelompok D) jika dibandingkan dengan kontrol.
Berdasarkan pengamatan pada semua kelompok mencit betina dan jantan,
emfisema yang terjadi kemungkinan disebabkan oleh adanya eksudat berlebih
yang dihasilkan ketika mencit diberikan kombinasi ketamin dan xylazin dengan
dosis berlebih (overdosis) sebagai metode euthanasia dalam penelitian ini (Plumb
2008).
Kongesti terjadi akibat melambatnya aliran darah vena sehingga terjadi
penumpukan eritrosit di dalam pembuluh darah (McGavin 2007). Hal tersebut
dapat memicu kejadian edema dan keluarnya eritrosit menuju lumen alveolar serta
memicu munculnya makrofag untuk membersihkan lumen alveolar (McGavin
2007). Kongesti dapat berjalan secara aktif dan pasif. Kongesti aktif terjadi karena
dilatasi pembuluh darah sehingga pembuluh darah akan terisi oleh banyak
eritrosit, sedangkan kongesti pasif terjadi ketika hewan mengalami kelainan
jantung (Cheville 2006). Hasil analisis pada mencit jantan menunjukkan adanya
perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol dengan kelompok A
(Albendazol) dan D (Albendazol, Azitromisin dan Metronidazol) sedangkan pada
kelompok betina menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara kelompok A
dengan kelompok pretreatment lainnya. Hal ini menjelaskan bahwa pretreatment
mampu mempengaruhi kejadian kongesti dalam jaringan parenkim paru-paru.
Kelompok kontrol mencit betina memiliki nilai yang lebih tinggi dalam
mengalami kongesti walaupun tidak secara signifikan jika dibandingkan dengan
kelompok kontrol mencit jantan. Hal tersebut menunjukkan bahwa mencit betina
lebih peka terhadap kejadian kongesti akibat adanya siklus estrus karena estrogen
mampu meningkatkan kejadian dilatasi pembuluh darah (Koh et al 1999; Bonds
2013). Kongesti yang terjadi pada sediaan histopatologi penelitian ini bisa juga
disebabkan karena trauma yang terjadi saat penanganan hewan coba. Euthanasi
dengan cara penyuntikkan xylazin dan ketamin serta pemisahan sendi atlanto-
occipitalis diduga dapat menyebabkan terjadinya kongesti pada paru-paru.
Penggunaan xylazin dan ketamin mampu bekerja pada otot polos dan
menyebabkan dilatasi pembuluh darah (Plumb 2008; Struck 2011). Pernyataan
tersebut diperkuat dengan tidak adanya peradangan yang terjadi di sekitar
kongesti dan tidak disertai adanya edema sehingga menunjukkan kejadian
kongesti pada semua kelompok terjadi secara akut (Sudomo 2012). Gambaran HP
alveol yang mengalami emfisema pada setiap kelompok perlakuan mencit
ditunjukkan pada Gambar 8, sedangkan Gambar 9 menunjukkan gambaran
mikroskopis diameter kongesti yang terjadi pada setiap kelompok mencit.
23
K1 K K2 K
1 2
A A E E
B B F F
C G
C G
D D H H
Gambar 8 Gambaran mikroskopis emfisema pada jaringan parenkim paru-paru. Pewarnaan HE.
Perbesaran 40x. K1, A, B, C, D adalah kelompok mencit jantan dengan pretreatment
A=Albendazol, B= Albendazol dan Azitromisin, C=Albendazol dan Metronidazol,
D=Albendazol, Azitromisin dan Metronidazol sedangkan K2, E, F, G, H adalah kelompok
mencit betina dengan pretreatment E=Albendazol, F=Albendazol dan Azitromisin,
G=Albendazol dan Metronidazol, H=Albendazol, Azitromisin dan Metronidazol.
24
K1 K K2 K
1 2
A A E E
B B F F
C C G G
D D H H
Gambar 9 Gambaran mikroskopis kongesti pada pembuluh darah jaringan parenkim paru-paru.
Pewarnaan HE. Perbesaran 40x. K1, A, B, C, D adalah kelompok mencit jantan dengan
pretreatment A=Albendazol, B= Albendazol dan Azitromisin, C=Albendazol dan
Metronidazol, D=Albendazol, Azitromisin dan Metronidazol sedangkan K2, E, F, G, H adalah
kelompok mencit betina dengan pretreatment E= Albendazol, F=Albendazol dan Azitromisin,
G=Albendazol dan Metronidazol, H=Albendazol, Azitromisin dan Metronidazol.
25
K1 K K2 K
1 2
A A E E
B B F F
C C G G
D D H H
Gambar 10 Gambaran mikroskopis sel radang pada jaringan parenkim paru-paru. Pewarnaan HE.
Perbesaran 40x. K1, A, B, C, D adalah kelompok mencit jantan dengan pretreatment
A=Albendazol, B= Albendazol dan Azitromisin, C=Albendazol dan Metronidazol,
D=Albendazol, Azitromisin dan Metronidazol sedangkan K2, E, F, G, H adalah kelompok
mencit betina dengan pretreatment E= Albendazol, F=Albendazol dan Azitromisin,
G=Albendazol dan Metronidazol, H=Albendazol, Azitromisin dan Metronidazol.
27
Jenis Kelamin
Jantan 75,18a 2,31a 22,51a 2,01a 12,18a
Betina 73,94a 3,40a 22,60a 2,32a 12,45a
Kelompok Pretreatment
Kontrol 71,59a 2,19a 26,21c 1,73a 10,92a
b b a b
A 75,08 4,69 20,10 4,57 11,87ab
ab a bc a
B 73,77 2,08 24,15 1,10 12,80b
C 75,52b 2,14a 22,36ab 1,75a 12,69b
b a a a
D 76,85 3,20 19,94 1,68 13,29b
Keterangan : Huruf superscipt yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya
perbedaan yang signifikan (p<0.05) antar kelompok perlakuan. Kelompok
pretreatment A= Albendazol, B= Albendazol dan Azitromisin, C= Albendazol dan
Metronodazol, dan D= Albendazol, Azitromisin dan Metronidazol.
KESIMPULAN
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Akers RM, DM Denbow. 2008. Anatomy and Physiology of Domestic Animal, 2nd
Edition. Iowa: Blackwell Publishing: 396-397. ISBN : 978-1-118-68860-1
Ariyani R. 2015. Studi Histopatologi Organ Limfoid Mencit (Mus musculus)
dengan Pretreatment untuk Penyiapan Hewan Penelitian Bidang Biomedis
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Aspinall V, Capello M. 2015. Introduction to Veterinary Anatomy and Physiology
Textbook, 3rd Edition. London (UK): Elsevier Ltd. 98-106 ISBN 978-0-7020-
5735-9
Aughey E, FL Frye. 2001. Comparative Veterinary Histology with Clinical
Correlates. London (UK): Mansion Publishing Ltd : 82 ISBN 1-874545-66-9
Bonds RS dan Horiuti TM. 2013. Estrogen Effect in Allergy and Asthma. Curr
Opin Allergy Clin Immunol. 2013 February; 13(1): 92-99 doi:
10.1097/ACI.0b013e32835a6dd6.
Chakrabarti S, Lekontseva O dan Davidge ST. 2008. Estrogen is a Modulator of
Vascular Inflammation. Life, 60(6): 376-382 doi: 10.1002/iub.48
Cheville NF. 2006. Introduction to Veterinary Pathology 3rd Edition. Oxford
(UK) : Blackwell Publishing. 147-150 ISBN 0-8138-2495-8
Cochran PE. 2004. Laboratory Manual for Comparative Veterinary Anatomy and
Physiology. Thomson Learning Inc.: 238-243. ISBN 0-7668-6185-6
Conn PM. 2013. Animal Models for the Study of Human Disease. San Diego
(USA): Elsevier Inc.: 56-158 ISBN: 978-0-12-415894-8
Galley HF. 2010. Mice, Men and Medicine. British Journal of Anaesthesia 105
(4): 396-400 (2010) doi:10.1093/bja/aeq256.
Giguѐre S. 2006. Antimicrobial Therapy in Veterinary Medicine 4th Edition. Iowa
(USA): Blackwell Publishing: 192, 291-294 ISBN-13: 978-0-8138-0656-3
Hedrich HJ. 2012. The Laboratory Mouse 2nd Edition. San Diego (USA):
Elsevier Ltd.: 49-50 ISBN 978-0-12-382008-2
Houdebine LM. 2004. The Mouse as an Animal Model for Human Diseases : The
Laboratory Mouse. San Diego (USA): Elsevier Academic Press. ISBN 0-12-
336425-6
Katzung BG. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik. Agoes A, editor. Jakarta (ID):
EGC. ISBN 978-979-044-051-7
Kiernan JA. 1990. Histological and Histochemical Methods: Theory and Practice
2nd Edition. Pergamon Press (UK): England Pr.
Koh KK, Blum A, Hathaway L, Mincemoyer R, Csako G, Waclawiw MA, Panza
JA dan Cannon RO. 1999. Vascular Effects of Estrogens and Vitamin E
therapies in postmenopausal women. Circulation 1999;100:1851-1857 doi:
10.1161/01.CIR.100.18.1851.
Malole MBM, Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan di
Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor
McGavin MD, Zachary JF. 2007. Chapter 9. Respiratory System dalam
Pathologic Basis of Veterinary Disease 4th Edition. Philadelphia (USA) :
Mosby Elsevier Inc. : 463-558. ISBN-13 : 978-0-323-02870-7
29
Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC. 2001. Farmakologi: Ulasan Bergambar. Ed
ke-2. Agoes A, penerjemah. Hartanto H, editor. Jakarta (ID): Widya Medika.
Nebreda LM, Misharin AV, Perlman H dan Budinger GRS. 2015. The
Heterogeneity of Lungs Macrophages in The Susceptibility to Disease. Eur
Respir Rev 2015; 24: 505-509 doi: 10.1183/16000617.0031-2015
OGL (Open Goverment Licence). 2015. Annual Statistic of Scientific Procedures
on Living Animals Great Britain 2014. United Kingdom: Williams Lea
Group: 12. ISBN 978-1-4741-2500-0
Parent AR. 2015. Comparative Biology of The Normal Lung, 2nd Edition. San
Diego (USA): Elsevier Inc. 3-6 ISBN 978-0-12-404577-4
Plumb DC, Pharm D. 2008. Plumb’s Veterinary Drug Handbook 6th Edition.
Stockholm (UE): PharmaVet Inc: 17, 91, 610. ISBN : 978-0-8138-1097-3
Prathima S, Harendra KML. 2012. Mucin Profile of Upper Gastrointestinal Tract
Lesions. J Clin Biomed Sci 2012; 2 (4) 185-191
Rock JR, Randell SH dan Hogan BLM. 2010. Airway Basal Stem Cells: a
Perspective on their Roles in Epithelial Homeostasis and Remodeling.
Disease Models & Mechanisms 3, 545-556 (2010) doi: 10.1242/dmm.006031
Saetta M, G Turato. 2001. Airway Pathology in Asthma. Eur Respir J. 18: Suppl.
34: 18-23 doi: 10.1183/09031936.01.00229501.
Setijono MM. 1985. Mencit (Mus musculus) sebagai Hewan Percobaan [Skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Silverman J, Suckow MA, dan Murthy S. 2014. The Institutional Animal Care
and Use Commite (IACUC ) Handbook 3rd Edition. United State: CRC Press.
ISBN-13: 978-1-4987-0371-0
Sudomo A. 2012. Pengaruh Pemberian Ekstrak Minyak Jintan Hitam (Nigella
sativa) Terhadap Gambaran Mikroskopis Paru-paru Mencit (Mus musculus)
[Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Straub RH. 2007. The Complex Role of Estrogens in Inflammation. Endocrine
Rev 28(5):521-574 doi: 10.1210/er.2007-0001.
Struck MB, Andrutis KA,Ramirez HE dan Battles AH. 2011. Effect of a Short-
term Fast on Ketamine-Xylazine Anesthesia in Rats. Journal of the American
Association for Laboratory Animal Science Vol. 50(May 2011): 344-348.
Tsai WC, Hershenson MB, Zhou Y dan Sajjan U. 2009. Azithromycin Increases
Survival and Reduces Lung Inflammation in Cystic Fibrosis Mice. Inflamm
Res 2009 Aug;58(8):491-501. doi: 10.1007/s00011-009-0015-9
Venkatesan P. 1998. Albendazole. Journal of Antimicrobial Chemotherapy 41,
145-147
30
RIWAYAT HIDUP