Anda di halaman 1dari 50

ANALISIS HISTOPATOLOGI ORGAN PARU-PARU MENCIT

(Mus musculus) YANG DIBERI PRETREATMENT UNTUK


PENYIAPAN PENELITIAN BIOMEDIS

MADE OKA NOVITASARI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Histopatologi


Organ Paru-Paru Mencit (Mus musculus) yang Diberi Pretreatment untuk
Penyiapan Penelitian Biomedis adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2017

Made Oka Novitasari


NIM B04110073
ABSTRAK
MADE OKA NOVITASARI. Analisis Histopatologi Organ Paru-Paru Mencit
(Mus musculus) yang Diberi Pretreatment untuk Penyiapan Penelitian Biomedis.
Dibimbing oleh SRI ESTUNINGSIH dan DEWI RATIH AGUNGPRIYONO.

Mus musculus (mencit) sering digunakan sebagai referensi berbagai


macam penelitian yang menggunakan hewan laboratorium kecil. Tujuan
penelitian ini menguji efek pretreatment terhadap morfologi paru-paru dalam
tubuh mencit untuk mengurangi kemungkinan adanya efek infeksi berbagai agen
patogen yang didapat selama berada di tempat asal mencit saat diternakan
(breeding). Pretreatment mencit dilakukan selama 29 hari menggunakan
antihelmintika (albendazol), antibiotika (azitromisin) dan antiprotozoa
(metronidazol) lalu istirahat selama seminggu. Mencit dieuthanasia menggunakan
kombinasi ketamin dan xylazin lalu dinekropsi untuk diambil sampel paru-
parunya. Setelah itu, sampel organ paru disiapkan untuk pembuatan sediaan
histopatologi. Sediaan histopatolgi menggunakan pewarnaan HE (hematoksilin-
eosin) and PAS/AB pH 2.5 (Periodic Acid Schiff-Alcian Blue pH 2.5). Pewarnaan
HE untuk mengamati hiperplasia sel epitel bronkhiolus, deskuamasi sel, sel
radang, sekresi mukus, alveol normal, atelektasis, emfisema dan kongesti.
Pewarnaan PAS/AB pH 2.5 untuk mengamati jumlah sel goblet. Hasil
menunjukkan bahwa pretreatment menggunakan albendazol, azitromisin dan
metronidazol pada mencit jantan dan betina mampu menjaga morfologi paru-paru
dalam kondisi terbaik dan sesuai untuk kebutuhan penelitian biomedis. Kelompok
mencit jantan menunjukkan hasil yang lebih konsisten dibandingan kelompok
mencit betina. Hal tersebut disebabkan adanya siklus hormonal yang lebih
kompleks pada mencit betina. Secara umum, pretreatment dapat digunakan dalam
mempersiapkan paru-paru mencit untuk berbagai penelitian.

Kata kunci: albendazol, alveol, azitromisin, bronkhiolus, metronidazol


ABSTRACT

MADE OKA NOVITASARI. Histopathology Analysis on Mice (Mus musculus)


Lungs Pretreated for Biomedical Research Preparation. Supervised by SRI
ESTUNINGSIH and DEWI RATIH AGUNGPRIYONO.

Mice (Mus musculus) are often used as a reference for various research in
small laboratory animals. The purpose of this research was to know the effect of
pre-treated on lungs morphology of mice to minimizing various pathogen
infection. Mice that have been pre-treated with anthelmintic (albendazole),
antibiotic (azithromycin) and antiprotozoal (metronidazole) drugs along 29 days,
followed one weeks to withdrawl the rest of drugs. Mice euthanized using
combination of ketamine and xylazine than necropsied to collect lung samples.
The respiratory organs samples prepared for histopathology slides stained with
Hematoxylin-Eosin (HE) and Periodic Acid Schiff-Alcian Blue pH 2.5(PAS/AB pH
2.5). The slides with HE staining observed for proliferation of bronchiole
epithelial cells, exfoliation of bronchiole ephitelial cells, inflammatory cells,
production of mucus, normal alveoli, atelectasis, emphysema and congestion. The
slides with PAS/AB pH 2.5 staining are to observed amount of goblet cells. The
result shows that male and female mice which have been pre-treated with
albendazole, azythromycin, and metronidazole able to maintain lungs morphology
in the good condition for biomedical research. The male mice showed more
consistent result than the female. This happened because the female mice have
hormonal cycle that is more complex than male. This is recommended that pre-
treated drugs were able to prepare lungs on mice laboratory for further research.

Keywords: albendazole, alveoli, azithromycin, bronchiolus, metronidazole


ANALISIS HISTOPATOLOGI ORGAN PARU-PARU MENCIT
(Mus musculus) YANG DIBERI PRETREATMENT UNTUK
PENYIAPAN PENELITIAN BIOMEDIS

MADE OKA NOVITASARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Mei 2014 sampai Juli 2014 ini
ialah Analisis Histopatologi Organ Paru-Paru Mencit (Mus musculus) yang
Diberi Pretreatment untuk Penyiapan Penelitian Biomedis. Skripsi ini
merupakan salah satu persyaratan untuk memeroleh gelar Sarjana Kedokteran
Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Penulis Mengucapkan terima kasih ucapkan kepada :
1. Ibu Dr Drh Sri Estuningsih, MSi, APVet selaku dosen pembimbing
akademik dan skripsi atas segala bimbingan, masukan, dukungan, nasihat,
serta kesabarannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan
penulisan skripsi.
2. Ibu Drh Dewi Ratih Agungpriyono, PhD, APVet selaku pembimbing
skripsi atas segala bimbingan, masukan, dukungan, nasihat, serta
kesabarannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan
penulisan skripsi.
3. Divisi Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi yang
dikepalai oleh Prof Drh Ekowati Handharyani, MS, PhD, APVet atas
fasilitas dan sebagian dana penelitian.
4. Teknisi di Divisi Patologi dan Mbak Rizqi Awaliyah atas bantuannya
dalam melaksanakan penelitian.
5. Seluruh staf pendidik di Divisi Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi
dan Patologi.
6. Keluarga tercinta, Bapak I Wayan Winasa, Ibu Neli Suciati, Kakak Sri
Ayu Dwi Lestari atas dukungan dan doa kepada penulis selama ini.
7. Teman-teman satu penelitian Oktavia Pusparini, Ayu Herawati, Ririn
Ariyani Harto, dan Indri Saptorini atas dukungan, doa dan kerjasamanya.
Penulis menyadari penyusunan skripsi ini tidak luput dari kekurangan, oleh
karena itu penulis berterima kasih atas kritik dan saran-saran yang bersifat
membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini
dapat bermanfaat.

Bogor, Juni 2017

Made Oka Novitasari


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL iv
DAFTAR GAMBAR iv
DAFTAR LAMPIRAN iv
PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian 2
Alat 2
Bahan 3
Prosedur Penelitian 3
Adaptasi Mencit Percobaan 3
Uji TTGT Metode McMaster 3
Pengelompokan dan Pretreatment 3
Euthanasia 4
Nekropsi dan Pengambilan Sampel Organ 4
Pembuatan Sediaan Histopatologi (HP) 5
Dehidrasi 5
Pembuatan Blok Embedding 5
Trimming 5
Deparafinasi 5
Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE) 5
Pewarnaan Periodic Acid Schiff –Alcian Blue pH 2.5 6
Pengamatan Sediaan Histopatologi (HP) 6
Analisis Statistik 7
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perubahan Histopatologi pada Bronkhiolus 7
Perubahan Histopatologi pada Alveol 17
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 27
Saran 27
DAFTAR PUSTAKA 27
LAMPIRAN 30
RIWAYAT HIDUP 32
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman
1 Pengelompokkan dan pretreatment mencit (Mus musculus) 4
2 Jadwal kegiatan penelitian dan pretreatment 4
3 Analisis statistik kondisi bronkhiolus mencit yang diberi 8
pretreatment
4 Analisis statistik perbandingan jenis kelamin pada 17
bronkhiolus mencit yang diberi pretreatment
5 Analisis statistik kondisi jaringan parenkim paru-paru 18
(alveol) mencit yang diberi pretreatment
6 Analisis statistik perbandingan jenis kelamin pada jaringan 27
parenkim paru-paru (alveol) mencit yang diberi pretreatment

DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1 Gambaran mikroskopis hiperplasia pada bronkhiolus. 11
Pewarnaan HE. Perbesaran 40x
2 Gambaran mikroskopis eksudat dalam lumen bronkhiolus. 12
Pewarnaan HE. Perbesaran 40x
3 Gambaran mikroskopis sel radang di sekitar bronkhiolus. 13
Pewarnaan HE. Perbesaran 40x
4 Gambaran mikroskopis deskuamasi sel epitel bronkhiolus. 15
Pewarnaan HE. Perbesaran 40x
5 Gambaran mikroskopis sel goblet yang berada pada 16
bronkhiolus. Pewarnaan PAS/AB pH 2.5. Perbesaran 40x
6 Gambaran mikroskopis alveol normal pada jaringan parenkim 20
paru-paru. Pewarnaan HE. Perbesaran 40x
7 Gambaran mikroskopis atelektasis pada jaringan parenkim 21
paru-paru. Pewarnaan HE. Perbesaran 40x
8 Gambaran mikroskopis emfisema pada jaringan parenkim 23
paru-paru. Pewarnaan HE. Perbesaran 40x
9 Gambaran mikroskopis kongesti pada pembuluh darah 24
kapiler dinding alveolar jaringan parenkim paru-paru.
Pewarnaan HE. Perbesaran 40x
10 Gambaran mikroskopis sel radang pada jaringan parenkim 26
paru-paru. Pewarnaan HE. Perbesaran 40x

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman
1 Prosedur pewarnaan hematoksilin eosin (HE) 30
2 Prosedur pewarnaan Periodic Acid Schiff/Alcian Blue pH 2.5 31
(PAS/AB pH 2.5)
1

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Penggunaan hewan percobaan sering digunakan sebagai model untuk


mempelajari dan mencari metode serta obat untuk menyembuhkan berbagai
penyakit pada hewan dan juga manusia (Conn 2013; Galley 2010). Penggunaan
hewan laboratorium yang berukuran kecil terutama mencit sering dijadikan
referensi untuk berbagai macam penelitian (Houdebine 2004). Mencit merupakan
salah satu hewan yang sering digunakan dalam penelitian biomedis sejak abad ke-
16 ketika penelitian biologi berangsur-angsur berubah dari pengetahuan deskriptif
menjadi pengetahuan eksperimental (Hedrich 2012). Persentase penggunaan
mencit sebagai hewan laboratorium sebesar 60% jika dibandingkan dengan hewan
laboratorium lainnya (OGL 2015). Selain itu, mencit memiliki morfologi tubuh
mungil sehingga mudah dipelihara dalam jumlah banyak, mudah berkembang
biak, dan variasi genetiknya cukup besar serta sifat anatomis dan fisiologisnya
terkarakteristik dengan baik membuat mencit sering digunakan dalam berbagai
penelitian (Setijono 1985; Malole dan Pramono 1989).
Saluran pernafasan termasuk ke dalam kelompok saluran terbuka yang
artinya berhubungan langsung dengan lingkungan luar (Aspinall 2015). Oleh
karena itu, saluran pernafasan memiliki kerentanan terserang penyakit lebih tinggi
dibandingkan saluran organ lain yang tertutup. Organ paru-paru memiliki peranan
penting dalam menjaga kestabilan proses metabolisme tubuh yang berkaitan
dengan O2 (Parent 2015). Hal tersebut juga membuat mencit sering digunakan
sebagai hewan percobaan pada pengujian terhadap obat-obatan baru untuk terapi
berbagai penyakit termasuk pada sistem pernafasan (Conn 2013).
Hewan percobaan harus diseleksi dan dipersiapkan secara khusus agar
menjadi bahan pengamatan yang baik sehingga peneliti dapat mengambil suatu
simpulan (Setijono 1985). Persiapan secara khusus juga dimaksudkan agar
sebelum digunakan, mencit telah terbebas dari berbagai agen infeksi seperti
bakteri, jamur, dan parasit yang bisa saja mempengaruhi kondisi tubuh mencit
serta dapat menimbulkan kesalahan dalam interpretasi data. Seleksi hewan
percobaan diantaranya dengan melakukan pretreatment yaitu memberikan obat-
obatan tertentu seperti obat antihelmintika, antibiotik dan antiprotozoa/antijamur.
Hal tersebut mutlak dilakukan agar efek yang ditunjukkan pada percobaan
menjadi akurat dan dapat menjadi parameter yang baik untuk analisa penelitian
dalam bidang biomedis terutama histopatologi (HP). Oleh karena itu, penelitian
ini dilakukan untuk mencari pola pretreatment pada mencit agar memenuhi syarat
untuk penelitian yang baik.

Rumusan Masalah

Mencit dapat langsung digunakan untuk penelitian setelah dinilai


memenuhi syarat secara fisik maupun klinis (Malole dan Pramono 1989).
Persyaratan tersebut bertujuan untuk mengetahui status fisiologis mencit sebelum
digunakan dalam penelitian biomedis. Hal ini dikarenakan adanya variabel
mikroba yang mampu menyebabkan perubahan fisiologis pada tubuh mencit baik
yang disadari maupun yang tidak disadari oleh peneliti. Perubahan status
2

fisiologis mencit dapat berpengaruh terhadap hasil akhir penelitian biomedis. Oleh
karena itu, pretreatment diperlukan untuk mengurangi dampak variabel tersebut.
Dalam penelitian ini pretreatment yang dilakukan berupa pemberian anticacing,
antibiotika, dan antiprotozoa.

Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah menguji efek pretreatment


terhadap morfologi paru-paru dalam tubuh mencit untuk mengurangi
kemungkinan adanya efek infeksi berbagai agen patogen yang didapat selama
berada di tempat asal mencit saat diternakkan (breeding).

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menentukan prosedur pretreatment


yang tepat untuk mengurangi variabel mikroba pada organ paru-paru sehingga
dapat diperoleh hasil penelitian yang lebih akurat, memberi kontribusi kepada
para peneliti yang akan menggunakan mencit sebagai probandus, dan juga
diharapkan hasil penelitian ini dapat diadopsi sebagai salah satu acuan persyaratan
hewan percobaan mencit untuk penelitian biomedis oleh Komisi Etik Hewan
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai Mei 2014 hingga Juli 2014 di Divisi
Patologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat perlindungan


individu, alat kebersihan kandang, kandang mencit berupa kotak plastik berukuran
36 cm x 28 cm x 12 cm, penutup kandang mencit terbuat dari kawat yang diberi
bingkai kayu, sonde lambung, syringe ukuran 1 ml, syringe ukuran 3 ml, tempat
pakan, tempat minum kapasitas 250 ml, timbangan digital, lap kanebo, panci
kecil, kompor listrik, gelas objek, kotak preparat, kain alas kandang dan alas
kandang serutan kayu. Alat yang digunakan dalam uji telur dalam tiap gram tinja
adalah gelas, saringan dan sendok. Pada tahap nekropsi, peralatan yang digunakan
adalah styrofoam, jarum pentul fixator, scalpel, gunting, pinset, kertas label, dan
wadah plastik sampel ukuran 100 ml. Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan
sediaan histopatologi yaitu tissue cassette, automatic tissue processor, mikrotom,
paraffin embedding console, gelas objek, gelas penutup. Alat yang digunakan
untuk menganalisis data hasil penelitian adalah komputer, alat fotomikrografi
dengan perangkat lunak digital electronic eyepiece camera. Perangkat lunak
dalam koleksi data adalah Software ImageJ.
3

Bahan

Hewan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah 15 ekor


mencit jantan dan 15 ekor mencit betina berumur 28 hari dari indukan yang sama
berasal dari Unit Pemeliharaan Hewan Laboratorium (UPHL) dan dipelihara serta
diperlakukan dengan mengikuti tata cara dalam Institutional Animal Care and Use
Commite (Silverman et al 2014). Air minum yang digunakan adalah air mineral
komersial, sedangkan pakan yang dipergunakan adalah pakan komersial yang
berbentuk pellet. Bahan yang digunakan dalam uji telur dalam tiap gram tinja
adalah larutan garam jenuh dan feses. (Bahan yang digunakan untuk perlakuan
adalah antihelmintika albendazol (Albendazole® 400 mg) yang mengandung
Albendazol 10 mg/kg BB, antijamur dan protozoa metronidazol (Flagyl® 500 mg)
mengandung metronidazol 10 mg/kg BB dan antibiotika azitromisin (Zithromax®
250 mg) mengandung 5 mg/kg BB. Bahan yang digunakan dalam pembuatan
preparat histopatologi adalah organ paru-paru mencit, Buffered Neutral Formalin
(BNF) 10%, etanol (70%, 80%, 90%, absolut), pewarna Hematoksilin-Eosin
(HE), pewarna Periodic Acid Schiff – Alcian Blue pH 2,5 (PAS AB/ pH 2,5),
aquades, xylol dan parafin. Anaesthetikum yang digunakan untuk euthanasia
adalah ketamin 10% (Ketamil®) mengandung 100 mg/kg BB dan xylazin 2%
(Ilium Xylazil-20®) mengandung 10 mg/kg BB. Bahan yang digunakan untuk
membersihkan kandang mencit dan alas kandang adalah bayclin, deterjen cair,
dan air yang mendidih untuk merebus kain alas kandang.

Prosedur Penelitian

Adaptasi Mencit Percobaan


Sebanyak 30 ekor mencit dengan kisaran berat badan 32-45 gram
dipelihara selama tujuh hari untuk beradaptasi dengan kelompok barunya dalam
lingkungan yang berventilasi dengan bantuan exhaust fan dan memiliki kisaran
suhu ruangan 25-27 ºC. Pakan diberikan sebanyak 5 gram/ekor setiap hari pada
pukul 07.00 WIB dan 17.00 WIB sedangkan minum disediakan ad libitum.
Kandang dan kain alas kandang (bedding) dicuci dan diganti sekali dalam sehari.
Kandang plastik mencit dicuci dengan detergen dan direndam dengan desinfektan
lalu dikeringkan dengan lap kanebo. Kain alas kandang direndam menggunakan
desinfektan dan dicuci dengan detergen, kemudian direbus terlebih dahulu lalu
dikeringkan. Selama masa adaptasi tersebut juga dilakukan pemeriksaan feses
untuk mengetahui keberadaan telur cacing pada mencit.

Uji TTGT (Telur dalam Tiap Gram Tinja) Metode McMaster


Sampel feses sebanyak 2-4 gram dimasukkan ke dalam gelas yang berisi
larutan garam jenuh sebanyak 56-58 ml kemudian dihomogenkan. Setelah itu,
larutan dimasukkan ke dalam kamar hitung McMaster. Pengamatan sampel feses
dilakukan dengan mikroskop pembesaran 40 kali. Uji TTGT dilakukan berulang
hingga mencit dinyatakan terbebas dari telur cacing.

Pengelompokan dan Pretreatment


Mencit yang digunakan sebanyak 30 ekor terdiri atas 15 ekor mencit
jantan dan 15 ekor mencit betina. Mencit tersebut dikelompokkan menjadi lima
4

kandang dan diberi pretreatment sesuai dengan Tabel 1. Penggunaan tiga ekor
mencit dalam setiap perlakuan bertujuan untuk menghindari data yang bias.
Penggunaan mencit kontrol berfungsi untuk membandingkan gambaran paru-paru
tanpa pretreatment. Pemberian semua sediaan obat pretreatment secara oral
dengan menggunakan sonde lambung. Pretreatment dilakukan sesuai dengan
jadwal di dalam Tabel 2.

Tabel 1 Pengelompokkan dan Pretreatment Mencit (Mus musculus)


Jumlah
Kandang Jantan Betina Perlakuan
(♂) (♀)
A 3 ekor 3 ekor Antihelmintik
B 3 ekor 3 ekor Antihelmintik + Antibiotik
C 3 ekor 3 ekor Antihelmintik + Antiprotozoa
D 3 ekor 3 ekor Anthelmentik + Antibiotik + Antiprotozoa
E 3 ekor 3 ekor Kontrol

Tabel 2 Jadwal kegiatan penelitian dan pretreatment


Perlakuan hari ke- Kegiatan Kandang
1,2,3 Pengumpulan sampel feses uji TTGT I Semua
4 Pemberian Albendazole I A,B,C,D
5,6,7 Pengumpulan sampel feses uji TTGT II Semua
11 Pemeriksaan TTGT I dan II* Semua
11,12,13 Pemberian Azitromisin B dan D
15,16,17 Pengumpulan sampel feses uji TTGT III Semua
18 Pemberian Albendazole II A,B,C,D
19,20,21 Pengumpulan sampel feses uji TTGT IV Semua
25,26,27,28,29 Pemberian Metronidazole C dan D
25 Pemeriksaan TTGT III dan IV* Semua
36 Nekropsi dan pengambilan organ paru-paru Semua
37-67 Pembuatan sediaan histopatologi Semua
*TTGT = Telur dalam Tiap Gram Tinja

Euthanasia
Euthanasia yang dilakukan pada penelitian ini adalah pemberian
kombinasi ketamin dan xylazin secara intraperitoneal dengan dosis berlebih
(overdosis) dengan pemberian masing-masing sebesar 0,3 mg/kg BB serta
dilanjutkan dengan dislokasio atlanto-occipitalis untuk memastikan hewan telah
mati. Setelah mencit mati kemudian dilakukan nekropsi untuk pengambilan organ
paru-paru.

Nekropsi dan Pengambilan Sampel Organ


Langkah pertama dalam pembuatan preparat adalah sampling pengambilan
organ yang dilakukan dengan cara nekropsi. Setelah mencit dinekropsi, organ
paru-paru diambil dan dimasukan ke dalam larutan Buffered Neutral Formalin
(BNF) 10% selama 7 hari. Hal ini dimaksudkan agar organ tidak membusuk dan
dapat terfiksasi pada kondisi saat itu. Setelah terfiksasi, organ dipotong kecil
berukuran luas 1 x 0,5 cm2 dan dimasukkan ke dalam tissue cassette untuk
selanjutnya dilakukan pembuatan sediaan histopatologi.
5

Pembuatan Sediaan Histopatologi

a. Dehidrasi
Dehidrasi merupakan proses pengambilan air dari dalam jaringan secara
perlaha-lahan menggunakan alkohol bertingkat (konsentrasinya). Tahapan
dehidrasi yaitu dengan merendam organ pada etanol 70%, 80%, 90%, 95%,
absolut 1 pro analisa (pa), dan absolut 2 pro analisa (pa). Organ direndam selama
2 jam pada setiap masing-masing larutan. Kemudian setelah selesai pada alkohol
bertingkat, organ direndam masing-masing selama 40 menit ke dalam xylol 1 dan
xylol 2. Setelah itu, sampel diinfiltrasi dengan parafin 1 dan 2 selama 30 menit
pada suhu 60 oC. Semua proses tersebut dilakukan secara otomatis selama satu
malam dalam automatic tissue processor.

b. Pembuatan blok embedding


Embedding merupakan proses pembuatan blok dengan menggunakan
parafin. Sampel organ yang diambil harus disesuaikan dengan ukuran cetakannya.
Satu cetakan dapat berisi beberapa potongan sampel organ yang telah didehidrasi.
Cetakan diberi gliserin terlebih dahulu agar mudah melepaskan parafin. Cetakan
diisi dengan parafin dari larutan cair pada tissue embedding console. Organ dari
parafin II dalam automatic tissue processor diambil lalu dimasukkan pada cetakan
dengan posisi bagian yang akan dipotong pada bagian bawah kemudian cetakan
diisi penuh parafin. Cetakan didinginkan pada cold plate untuk mencegah
terjadinya pembekuan pada parafin bagian atas. Setelah parafin membeku,
cetakan diinkubasi dalam air dingin agar mudah dikeluarkan dari dalam cetakan.
Blok parafin dapat langsung memasuki proses trimming dengan menggunakan
microtome.

c. Trimming
Trimming adalah proses pengirisan organ untuk mendapatkan bagian
organ yang ingin diamati dengan bentuk yang bagus. Prosedur trimming diawali
dengan mengeluarkan blok organ terpilih dan dipotong menggunakan microtom
dengan ketebalan 3-5 µm. Hasil potongan akan berbentuk pita (ribbon). Untuk
menghilangkan lipatan akibat pemotongan pada pita, pita diletakkan di atas
permukaan air hangat suhu sekitar 59 oC. Kemudian diangkat dengan
menggunakan gelas objek yang telah coating dan dikeringkan pada suhu 60 oC
selama 1 malam.

d. Deparafinasi
Preparat direndam dalam xylol sebanyak dua kali dengan masing-masing
waktu 5 menit. Kemudian dilakukan tahapan rehidrasi dengan alkohol bertingkat
(absolute, 96%, 80%, 70%). Perendaman pada masing-masing larutan dilakukan
selama 5 menit lalu dibilas dengan menggunakan air mengalir dan dikeringkan.

e. Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE)


Pewarnaan HE dilakukan agar perubahan-perubahan yang terjadi pada
jaringan dapat diamati. Pewarnaan diawali dengan memasukkan preparat ke
dalam pewarnaan Mayer’s Hematoksilin terlebih dahulu selama 8 menit.
Kemudian dicuci dengan air mengalir. Selanjutnya preparat dicelupkan ke dalam
6

pewarna Eosin selama 15 detik. Dibilas kembali untuk menghilangkan pewarna


Eosin yang berlebih. Setelah kering, preparat dicelupkan ke dalam alkohol 90%
sebanyak 10 kali celupan, alkohol absolute I 10 kali celupan, alkohol absolute II
selama 2 menit, xylol I dan xylol II masing-masing 1 menit. Setelah kering,
perekat permount diteteskan pada sediaan, ditutup dengan gelas penutup, dan
dibiarkan kering. Sediaan siap diamati dan dianalisis menggunakan mikroskop
setelah perekat kering (Kiernan 1990).

f. Pewarnaan Periodic Acid Schiff - Alcian Blue pH 2,5 (PAS/AB pH 2,5)


Pewarnaan yang kedua, yaitu pewarnaan Periodic Acid Schiff – Alcian Blue
pH 2,5 (PAS/AB pH 2,5) yang dilakukan pada preparat organ paru-paru.
Pewarnaan dimulai dengan preparat dimasukkan ke dalam larutan asam asetat
glasial 3% selama 3-5 menit, diwarnai dengan 1% alcian blue pH 2,5 selama 15-
30 menit, dibilas dengan larutan asam asetat glasial 3% selama 1-5 menit, dibilas
dengan air keran selama 3-5 menit, dibilas dengan aquadest sebanyak 2 kali.
Pewarnaan digabungkan dengan pewarnaan PAS. Preparat dioksidasi ke dalam
periodic acid 1% yang digunakan dalam keadaan segar selama 5-10 menit, dibilas
dengan aquadest sebanyak 3 kali masing-masing selama 5 menit, di masukkan ke
dalam schiff reagent selama 15-30 menit, dibilas dengan air sulfit sebanyak 3 kali
masing-masing selama 2 menit, dibilas dengan air mengalir, dibilas dengan
aquadest. Pewarnaan dilanjutkan dengan pewarnaan inti, preparat di masukkan ke
dalam hematoksilin, dibilas air mengalir dan aquadest. Preparat di masukkan ke
dalam xilol untuk proses dehidrasi dan ditutup (Kiernan 1990).

Pengamatan Sediaan Histopatologi

Pengamatan pada organ paru-paru dilakukan dengan cara mengamati


preparat di bawah mikroskop cahaya dan didokumentasikan menggunakan alat
mikrofotografi digital electronic eyepiece camera. Pembesaran yang digunakan
disesuaikan dengan keadaan preparat agar pengamatan dapat dilakukan dengan
optimal. Pengamatan dilakukan terhadap saluran pernafasan yang terdapat di
paru-paru sampai ke jaringan parenkim paru-paru. Variabel yang diamati adalah
jumlah bronkhiolus pada setiap sediaan yang dapat terlihat pada lapang pandang
6,42 mm2 serta mengamati perubahan-perubahan yang terjadi pada sediaan yang
telah diwarnai dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE) yaitu sel radang, sel
epitel (hiperplasia dan deksuamasi) dan kehadiran eksudat dalam lumen dengan
perbesaran 40x. Pengamatan sel epitel bronkhiolus dilakukan dengan menghitung
jumlah bronkhiolus yang mengalami kejadian hiperplasia, deskuamasi dan
kehadiran eksudat pada 30 lapang pandang dan membaginya dengan total
keseluruhan jumlah bronkhiolus pada 30 lapang pandang dengan menggunakan
perbesaran 40x. Hasil pengamatan sel epitel bronkhiolus tersebut disajikan dalam
bentuk persentase. Pengamatan sel radang dilakukan dengan cara menghitung
rata-rata jumlah sel radang pada 30 lapang pandang di sekitar bronkhiolus dan
menggunakan perbesaran 40x sedangkan menghitung keberadaan jumlah sel
goblet sepanjang 1000 µm dalam deretan epitel bronkhiolus pada 30 lapang
pandang akan dilakukan dengan pewarnaan Periodic Acid Schiff-Alcian Blue pH
2,5 (PAS/AB pH 2,5) dan menggunakan perbesaran yang sama yaitu 40x.
7

Perubahan jaringan parenkim paru-paru yang akan diamati dengan


menggunakan pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE) adalah alveol normal,
emfisema, atelektasis, kongesti dan keberadaan fokus-fokus radang. Pengamatan
dilakukan dengan cara mengukur daerah alveol normal, alveol yang mengalami
atelektasis dan emfisema menggunakan perangkat lunak ImageJ® pada 30 lapang
pandang dan perbesaran 40x. Kemudian dibagi dengan luas lapang pandang
secara keseluruhan yaitu 14,34 x 103 µm2 dan disajikan dalam bentuk persentase.
Kongesti diamati dengan perbesaran 40x lalu menghitung rata-rata jumlah
diameter pembuluh darah kapiler dinding alveolar yang mengalami kongesti
dalam setiap lapang pandang. Pengamatan sel radang dilakukan dengan
menghitung jumlah sel radang alveolar dengan menggunakan perbesaran 40x pada
30 lapang pandang. Data kuantitatif variabel pengamatan diperoleh dengan
menggunakan perangkat lunak ImageJ®. Hasil perhitungan variabel tersebut dapat
dijadikan indikator dari efek pemberian pretreatment pada mencit terhadap
gambaran histologi organ paru-paru. Perubahan histopatologi (HP) yang diamati
direkam menjadi foto untuk kemudian dihitung menjadi data.

Analisis Statistik

Hasil pengamatan berupa data perubahan-perubahan yang terjadi pada


saluran pernafasan seperti hiperplasia sel epitel saluran nafas, adanya eksudat
dalam lumen, deskuamasi sel epitel, kehadiran sel radang, jumlah sel goblet dan
jaringan parenkim paru-paru yaitu persentase daerah alveol normal, atelektasis,
emfisema, diameter kongesti dan jumlah sel radang. Data hasil pengamatan
kemudian dianalisa secara statistik menggunakan ANOVA dan uji selang ganda
Duncan untuk melihat perbedaan yang nyata pada kelompok perlakuan dan jenis
kelamin.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pemeriksaan uji TTGT I pada mencit percobaan menunjukkan tidak


ditemukan lagi keberadaan telur cacing dalam feses. Pengulangan dalam
pemberian albendazol dan uji TTGT II, III, IV dilakukan sebagai bentuk antisipasi
adanya telur cacing yang tidak terdeteksi saat uji TTGT I. Pengaruh pretreatment
terhadap sistem pernafasan mencit (Mus musculus) dapat dipelajari dari gambaran
histopatologi organ paru-paru dengan adanya perubahan pada jaringan organ
tersebut. Perubahan yang terjadi pada organ paru-paru mencit dapat dilihat dengan
mengamati sistem saluran pernafasan, bronkhiolus, dan jaringan parenkim paru-
paru yaitu alveol. Pada penelitian ini pengamatan dilakukan terhadap bronkhiolus
dengan melihat keberadaan sel radang, jumlah sel goblet, hiperplasia dan
deskuamasi pada sel epitel bronkhiolus, serta keberadaan eksudat dalam lumen.
Pengamatan terhadap jaringan parenkim paru-paru meliputi pengamatan terhadap
jumlah alveol normal, atelektasis, emfisema, dan pembuluh darah yang
mengalami kongesti. Selain itu, pengamatan terhadap jumlah sel radang pada
jaringan parenkim paru-paru juga dilakukan.
8

Perubahan Histopatologi pada Bronkhiolus

Pengamatan pada bronkhiolus dilakukan terhadap sel yang mengalami


hiperplasia dan deskuamasi, serta kehadiran eksudat dalam lumen bronkhiolus dan
jumlah sel goblet. Hasil analisis rataan pengamatan bronkhiolus dapat dilihat pada
Tabel 3. Permukaan lumen bronkhiolus yang terpapar oleh zat asing akan
menginduksi hiperplasia sebagai proses pertahanan diri. Selain itu, hiperplasia
juga merupakan salah satu respon sel dalam proses regenerasi sel tua dan rusak
(McGavin 2007). Pada hasil analisis rataan hiperplasia menunjukkan tidak adanya
perbedaan yang signifikan antara mencit kontrol dengan mencit pretreatment baik
pada betina maupun jantan (Tabel 3). Hal tersebut menunjukkan bahwa
pretreatment tidak mempengaruhi tingkat kejadian hiperplasia. Pemberian rute
obat per oral dan udara sekitar lingkungan yang baik merupakan penyebab tidak
menginduksi terjadinya hiperplasia secara berlebihan pada bronkhiolus.

Tabel 3 Analisis statistik kondisi bronkhiolus mencit yang diberi pretreatment


Jenis Kelamin
Variabel Kelompok
Jantan (n =15) Betina (n=15)
Hiperplasia Kontrol 7,76 ± 3,91a 9,85 ± 0,29a
(%) A 7,84 ± 2,91a 9,85 ± 0,29a
B 9,85 ± 0,29a 8,88 ± 1,55a
a
C 8,96 ± 0,56 9,67 ± 0,61a
D 9,85 ± 0,29a 9,68 ± 0,29a
a
Eksudat dalam lumen Kontrol 2,31 ± 2,77 3,07 ± 4,08ab
(%)
A 3,87 ± 2,88a 1,55 ± 1,46b
a
B 2,83 ± 1,94 3,16 ± 2,41ab
a
C 5,18 ± 2,34 3,16 ± 2,41ab
D 1,98 ± 2,20a 6,55 ± 1,14a
a
Jumlah Sel Radang Kontrol 7,57 ± 7,20 10,63 ± 5,82ab
(/6,42 mm2) A 9,40 ± 6,68 a
10,07 ± 4,22ab
B 9,83 ± 2,31a 4,37 ± 0,86b
C 9,67 ± 1,69a 9,10 ± 2,27ab
D 10,77 ± 2,20a 19,47 ± 12,37a
Deskuamasi sel (%) Kontrol 7,42 ± 3,62a 9,15 ± 0,31 a
A 7,44 ± 2,76a 8,96 ± 0,56a
B 9,31 ± 0,83a 8,70 ± 1,47a
a
C 9,15 ± 0,31 9,32 ± 0,61a
D 9,31 ± 0,83a 9,68 ± 0,29a
Sel Goblet (/1000µm) Kontrol 0,71 ± 0,00a 2,08 ± 2,37a
A 1,27 ± 0,97a 0,71 ± 0,00a
B 0,71 ± 0,00a 2,08 ± 2,38a
a
C 1,82 ± 1,92 2,02 ± 2,27a
D 0,71 ± 0,00a 3,40 ± 2,82a
Keterangan : Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan yang signifikan
(p<0.05) antar kelompok perlakuan. Kelompok pretreatment A= Albendazol, B= Albendazole dan
Azitromisin, C= Albendazol dan Metronidazol, dan D= Albendazol, Azitromisin, dan Metronidazol.

Hiperplasia pada mencit jantan dan betina kontrol tidak menunjukkan


adanya perbedaan yang signifikan walaupun kejadian hiperplasia pada mencit
betina kontrol lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok mencit jantan
kontrol. Pada mencit jantan, kejadian hiperplasia meningkat saat diberikan
9

pretreatment sediaan obat Albendazol dan Azitromisin sedangkan kenaikan


hiperplasia pada mencit betina terjadi saat diberikan sediaan obat Albendazol saja
walaupun semua peningkatan yang terjadi ini tidak secara signifikan jika
dibandingkan dengan kontrol. Penggunaan Albendazol bertujuan mengurangi
sejumlah parasit cacing yang berada di saluran pencernaan dan mencegah larva
untuk bermigrasi ke dalam saluran pernafasan mencit. Albendazol memiliki target
kerja mengacaukan metabolisme parasit dengan menghambat pengambilan
glukosa oleh larva dan cacing parasit stadium dewasa, mengurangi penyimpanan
glikogen dan menurunkan pembentukan ATP cacing, sehingga menyebabkan
cacing parasit mati tanpa mempengaruhi kondisi tubuh inang (Katzung 1997;
Mycek et al. 2001). Mencit jantan dan betina memiliki kepekaan yang berbeda
termasuk dalam hal hiperlplasia yang terjadi pada sel epitel bronkhiolus.
Bronkhiolus memiliki sistem pertahanan yang terdiri dari mukus, lysozim,
immunoglobulin, dan mukosiliari. Mukus dalam lumen bronkhiolus dihasilkan
oleh sel goblet. Mukus merupakan campuran kompleks air, glikoprotein,
imunoglobulin, lipid dan elektrolit yang berfungsi mencegah terjadinya perlekatan
benda asing dengan lumen agar tidak menimbulkan kerusakan yang meluas
(McGavin 2007). Pemberian setiap jenis obat menghasilkan respon yang
bervariasi baik pada mencit jantan maupun betina. Hasil analisis rataan
keberadaan eksudat dalam lumen bronkhiolus mencit jantan tidak menunjukkan
adanya perbedaan signifikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pretreatment tidak
menginduksi sekresi mukus secara berlebih dalam bronkhiolus mencit jantan.
Keberadaan eksudat dalam lumen paling rendah terjadi saat mencit jantan diberi
ketiga jenis obat pretreatment (kelompok D) dan saat mencit betina diberikan satu
jenis obat yaitu Albendazol (kelompok A). Hasil analisis keberadaan eksudat
dalam lumen bronkhiolus pada kelompok mencit betina menunjukkan adanya
perbedaan yang signifikan antara kelompok yang diberikan satu macam obat yaitu
Albendazol dengan kelompok yang diberikan tiga macam obat yaitu Albendazol,
Azitromisin dan Metronidazol. Keberadaan eksudat paling tinggi dalam
bronkhiolus mencit betina terjadi saat diberikan sediaan Albendazol, Azitromisin
dan Metronidazol.
Kelompok mencit betina lebih peka terhadap kehadiran eksudat dalam
lumen. Sudah terlihat pada kelompok kontrol mencit betina memiliki nilai lebih
tinggi jika dibandingkan dengan mencit jantan. Hal tersebut dapat terjadi
kemungkinan saat pretreatment dilaksanakan mencit betina sedang dalam kondisi
estrogen yang rendah sehingga tidak mampu menghasilkan mediator inflamasi
(Straub 2007). Kehadiran sel radang akan meningkatkan aktivitas sel goblet dalam
memproduksi mukus (Saetta dan Turato 2001). Berdasarkan hasil pengamatan
yang telah dilakukan eksudat yang ditemukan masih dalam jumlah sedikit serta
tidak ditemukan adanya tanda-tanda edema pulmonum dan peradangan pada
bronkhiolus. Proses fisiologis seperti adanya regenerasi epitel permukaan lumen
bronkhiolus dapat menyebabkan terbentuknya eksudat dalam jumlah kecil (Akers
2008). Secara detail, perubahan HP hiperplasia epitel bronkhiolus pada setiap
kelompok mencit ditunjukkan pada Gambar 1. Perubahan HP keberadaan eksudat
dalam lumen bronkhiolus pada setiap kelompok perlakuan mencit ditunjukkan
pada Gambar 2.
Proses peradangan dapat dipicu oleh beberapa hal seperti trauma mekanis,
sel kanker, reaksi alergi dan mikroba. Peradangan merupakan respon dari tubuh
10

untuk mempertahankan diri dan mengeliminasi partikel asing atau sel-sel yang
rusak (McGavin 2007). Pada penelitian ini hasil analisis rataan jumlah sel radang
dalam bronkhiolus mencit jantan menunjukkan tidak adanya perbedaan yang
signifikan. Peningkatan jumlah sel radang terjadi pada semua kelompok mencit
jantan yang diberi pretreatment jika dibandingkan dengan kontrol. Pada kelompok
kontrol jantan dan betina juga tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan
walaupun jumlah sel radang yang ditemukan pada kelompok kontrol mencit
betina lebih banyak. Perbedaan jumlah sel radang pada kelompok pretreatment
mencit betina dipengaruhi oleh aktivitas Azitromisin yang berfungsi sebagai
antibiotik sekaligus antiinflamasi pada saluran pernafasan. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa mencit betina yang diberikan sediaan Albendazol dan
Azitromisin (kelompok B) memiliki respon paling baik karena jumlah sel radang
menurun jika dibandingkan dengan kontrol dan kelompok lainnya. Hal tersebut
sesuai dengan pernyataan Giguѐre (2006) dan Tsai (2009) yang menyebutkan
bahwa Azitromisin akan menghambat kemotaksis dan infiltrasi neutrofil ke dalam
saluran pernafasan serta menurunkan sekresi mukus.
Hasil secara umum menunjukkan respon yang dihasilkan kelompok betina
lebih bervariasi jika dibandingkan dengan kelompok mencit jantan dapat terlihat
saat respon adanya eksudat dalam lumen dan jumlah sel radang. Hal ini terjadi
karena mencit betina tidak diamati secara individual mengenai siklus estrusnya.
Sehingga siklus estrus pada setiap mencit betina saat pretreatment dilaksanakan
kemungkinan dalam fase yang berbeda-beda. Kondisi proestrus hingga menuju
saat terjadi kehamilan merupakan kondisi paling baik karena kadar estrogen yang
meningkat dalam tubuh mampu meningkatkan juga peredaran sel radang ke dalam
jaringan (Straub 2007). Secara detail, gambaran HP sel radang di sekitar
bronkhiolus pada setiap kelompok mencit ditunjukkan pada Gambar 3.
11

K1 K2

A E

B F

C G

D H

Gambar 1 Gambaran mikroskopis hiperplasia pada bronkhiolus. Pewarnaan HE. Perbesaran 40x. K1, A, B, C,
D adalah kelompok mencit jantan dengan pretreatment A=Albendazol, B= Albendazol dan
Azitromisin, C=Albendazol dan Metronidazol, D=Albendazol, Azitromisin dan Metronidazol
sedangkan K2, E, F, G, H adalah kelompok mencit betina dengan pretreatment E= Albendazol,
F=Albendazol dan Azitromisin, G=Albendazol dan Metronidazol, H=Albendazol, Azitromisin
dan Metronidazol.
12

K1 K K2 K
1 2

A A E E

B B F F

C C G G

D D H H

Gambar 2 Gambaran mikroskopis eksudat dalam lumen bronkhiolus. Pewarnaan HE. Perbesaran 40x. K1,
A, B, C, D adalah kelompok mencit jantan dengan pretreatment A=Albendazol, B= Albendazol
dan Azitromisin, C=Albendazol dan Metronidazol, D=Albendazol, Azitromisin dan
Metronidazol sedangkan K2, E, F, G, H adalah kelompok mencit betina dengan pretreatment
E= Albendazol, F=Albendazol dan Azitromisin, G=Albendazol dan Metronidazol,
H=Albendazol, Azitromisin dan Metronidazol.
13

K1 K K2 K
1 2

A A E E

B B F F

C C G G

D D H H

Gambar 3 Gambaran mikroskopis sel radang di sekitar bronkhiolus. Pewarnaan HE. Perbesaran 40x. K1,
A, B, C, D adalah kelompok mencit jantan dengan pretreatment A=Albendazol, B=
Albendazol dan Azitromisin, C=Albendazol dan Metronidazol, D=Albendazol, Azitromisin
dan Metronidazol sedangkan K2, E, F, G, H adalah kelompok mencit betina dengan
pretreatment E= Albendazol, F=Albendazol dan Azitromisin, G=Albendazol dan
Metronidazol, H=Albendazol, Azitromisin dan Metronidazol.
14

Deskuamasi sel epitel permukaan lumen bronkhiolus merupakan proses


fisiologis untuk mengganti sel yang sudah tua atau terjadi kerusakan sel (nekrosis)
dengan sel-sel baru (McGavin 2007). Pada hasil analisis rataan deskuamasi sel
epitel permukaan bronkhiolus menunjukkan tidak adanya perbedaan yang
signifikan antara mencit kontrol dengan mencit pretreatment baik pada betina
maupun jantan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pretreatment tidak
mempengaruhi tingkat kejadian deskuamasi sel epitel bronkhiolus mencit. Udara
sekitar lingkungan yang baik merupakan penyebab tidak menginduksi terjadinya
deskuamasi sel secara berlebihan pada bronkhiolus. Kejadian deskuamasi sel
epitel bronkhiolus pada kelompok mencit betina cenderung lebih tinggi jika
dibandingkan dengan jantan. Hal tersebut terjadi karena siklus estrus mampu
mempengaruhi sistem pertahanan dan metabolisme tubuh mencit betina (Straub
2007; Chakrabarti 2008). Deskuamasi sel epitel bronkhiolus yang terjadi pada
semua kelompok mencit betina dan jantan termasuk respon fisiologis bronkhiolus
dalam proses regenerasi sel epitelnya yang sudah tua atau rusak. Sesuai dengan
pernyataan McGavin (2007) dan Rock (2010) bahwa dalam keadaan normal, sel
epitel permukaan lumen bronkhiolus yang rusak akan mengalami perbaikan
dengan melewati proses deskuamasi sel, peradangan (makrofag), mitosis,
proliferasi, dan proses terakhir ialah diferensiasi.
Sel goblet merupakan sel yang menghasilkan mukus pada bronkhiolus.
Keberadaan sel goblet dapat diketahui dengan jelas menggunakan pewarnaan
Periodic Acid Schiff/Alcian Blue (PAS/AB) (Prathima 2012). Mukus yang
dihasilkan sel goblet akan terwarnai dengan pewarnaan PAS (Aughey 2001)
sehingga sel goblet menjadi mudah dibedakan dengan sel epitel. Hasil analisis
rataan jumlah sel goblet yang terdapat pada bronkhiolus mencit jantan dan betina
tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Peningkatan jumlah sel
goblet terjadi pada mencit betina yang diberikan sediaan Albendazol, Azitromisin
dan Metronidazol. Hal tersebut menunjukkan bahwa betina lebih rentan terhadap
kejadian infeksi karena pengaruh perubahan hormonal pada siklus estrus dan
kemungkinan saat pretreatment berlangsung, daya imunitas betina sedang rendah
akibat faktor hormonal tersebut (Ariyani 2015). Secara detail, perubahan HP
deskuamasi sel epitel bronkhiolus pada setiap kelompok mencit ditunjukkan pada
Gambar 4, sedangkan gambaran HP sel goblet yang berada pada bronkhiolus pada
setiap kelompok mencit ditunjukkan pada Gambar 5.
15

K1 K K2 K
1 2

A A E E

B B F F

C C G G

D D H H

Gambar 4 Gambaran mikroskopis deskuamasi sel epitel bronkhiolus. Pewarnaan HE. Perbesaran 40x. K1,
A, B, C, D adalah kelompok mencit jantan dengan pretreatment A=Albendazol, B=
Albendazol dan Azitromisin, C=Albendazol dan Metronidazol, D=Albendazol, Azitromisin
dan Metronidazol sedangkan K2, E, F, G, H adalah kelompok mencit betina dengan
pretreatment E= Albendazol, F=Albendazol dan Azitromisin, G=Albendazol dan
Metronidazol, H=Albendazol, Azitromisin dan Metronidazol.
16

K1 K K2 K
1 2

A A E E

B B F F

C C G G

D D H H

Gambar 5 Gambaran mikroskopis sel goblet yang berada pada bronkhiolus. Pewarnaan PAS AB pH 2.5.
Perbesaran 40x. K1, A, B, C, D adalah kelompok mencit jantan dengan pretreatment
A=Albendazol, B=Albendazol dan Azitromisin, C=Albendazol dan Metronidazol,
D=Albendazol, Azitromisin dan Metronidazol sedangkan K2, E, F, G, H adalah kelompok
mencit betina dengan pretreatment E= Albendazol, F=Albendazol dan Azitromisin,
G=Albendazol dan Metronidazol, H=Albendazol, Azitromisin dan Metronidazol.
17

Hasil keseluruhan pengamatan morfologi bronkhiolus pada mencit jantan


menunjukkan hasil yang lebih konsisten jika dibandingkan dengan mencit betina
(Tabel 3) walaupun secara statistik antara mencit jantan dan betina tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan pada setiap perubahan yang terjadi di
dalam bronkhiolus (Tabel 4). Hal ini menjelaskan bahwa pemakaian mencit jantan
sangat dianjurkan dalam mengamati morfologi bronkhiolus karena mencit jantan
menghasilkan hiperplasia, eksudat, sel radang, deskuamasi sel epitel dan sel
goblet yang lebih rendah jika dibandingkan dengan mencit betina.

Tabel 4 Analisis statistik perbandingan jenis kelamin pada bronkhiolus mencit


yang diberi pretreatment
Eksudat Jumlah Sel Deskuamasi
Hiperplasia Sel Goblet
Variabel dalam Lumen Radang sel
(%) (/1000µm)
(%) (/6,42 mm2) (%)

Jenis Kelamin
Jantan 8,85a 3,23a 9,45a 8,53a 1,04a
Betina 9,59a 3,50a 10,73a 9,16a 2,06a

Kelompok Pretreatment
Kontrol 8,80a 2,69a 9,10ab 8,28a 1,39a
a a ab a
A 8,84 2,71 9,73 8,20 0,99a
a a a a
B 9,36 2,99 7,10 9,00 1,40a
C 9,31a 4,17a 9,38ab 9,23a 1,92a
a a b a
D 9,76 4,27 15,11 9,49 2,06a
Keterangan : Huruf superscipt yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya
perbedaan yang signifikan (p<0.05) antar kelompok perlakuan. Kelompok
pretreatment A= Albendazol, B= Albendazol dan Azitromisin, C= Albendazol dan
Metronodazol, dan D= Albendazol, Azitromisin dan Metronidazol.

Perubahan Histopatologi pada Alveol

Gambaran HP yang diamati meliputi alveol normal, atelektasis dan


emfisema. Selain itu juga diamati adanya kongesti dan keberadaan sel radang.
Kondisi terbaik jaringan parenkim paru-paru adalah pada saat jumlah alveol
normal paling tinggi dibandingkan dengan alveol yang mengalami atelektasis,
emfisema dan kongesti, serta tidak ditemukannya fokus-fokus radang.
Sistem pernafasan bertugas melakukan ventilasi dan respirasi. Ventilasi
adalah bagian proses dari bernafas, yaitu memastikan terjadinya pertukaran udara
yang masuk dan keluar melalui saluran pernafasan (Aughey 2001). Respirasi
adalah suatu proses distribusi dan difusi gas (O2 dan CO2) yang terjadi antara
alveol dengan aliran darah (Cochran 2004). Sel penyusun utama alveol adalah sel
alveolar tipe I. Pada sel ini terjadi pertukaran antara oksigen dan karbon dioksida.
Sel alveolar tipe I merupakan sel yang berbentuk pipih. Inti sel alveolar tipe I
menonjol ke dalam kantung alveol. Selain sel alveolar tipe I pada paru-paru juga
terdapat sel alveolar tipe II dan otot polos. Sel alveolar tipe II merupakan sel
sekretori yang menghasilkan surfaktan untuk melindungi dinding alveolar serta
meningkatkan fagositosis (McGavin 2007). Pada mikroskop cahaya sel ini terlihat
berbentuk bulat atau kubus (Akers 2008).
18

Tabel 5 Analisis persentase kondisi jaringan parenkim paru-paru (alveol) mencit


yang diberi pretreatment
Jenis Kelamin
Variabel Kelompok
Jantan (n=15) Betina (n=15)
Area Normal (%) Kontrol 70,18 ± 7,19a 73,00 ± 9,32abc
A 78,00 ± 9,74b 72,16 ± 9,78ab
B 77,00 ± 8,70b 70,53 ± 9,86a
C 74,65 ± 8,03b 76,39 ± 8,98bc
b
D 76,08 ± 8,46 77,63 ± 7,12c
Area Atelektasis (%) Kontrol 2,11 ± 2,66ab 2,27 ± 2,71a
A 5,05 ± 5,46c 4,33 ± 5,26a
B 1,50 ± 1,48ab 2,65 ± 2,56a
a
C 0,51 ± 0,90 3,76 ± 3,38a
D 2,38 ± 3,39b 4,02 ± 4,06a
c
Area Emfisema (%) Kontrol 27,71 ± 7,63 24,26 ± 10,06bc
A 16,95 ± 9,39a 23,26 ± 7,93abc
B 21,49 ± 8,76b 26,82 ± 10,21c
bc
C 24,87 ± 7,97 19,85 ± 9,17ab
D 21,54 ± 7,69b 18,34 ± 8,59a
Jumlah Sel Radang Kontrol 0,33 ± 0,32 b
0,63 ± 0,32ab
(/14,34 x 103 µm2) a
A 2,00 ± 0,00 1,33 ± 0,58a
B 0,57 ± 0,40b 0,63 ± 0,32ab
C 0,43 ± 0,15b 0,70 ± 0,26ab
b
D 0,60 ± 0,40 0,37 ± 0,21b
Diameter Kongesti (µm) Kontrol 10,69 ± 4,03a 11,15 ± 6,43ab
A 13,36 ± 2,96b 10,37 ± 3,57a
B 11,84 ± 3,34ab 13,77 ± 5,03b
C 11,91 ± 3,11ab 13,46 ± 3,75b
b
D 13,08 ± 3,00 13,49 ± 5,53b
Keterangan : Huruf superscipt yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan yang signifikan
(p<0.05) antar kelompok perlakuan. Kelompok pretreatment A= Albendazol, B= Albendazole dan
Azitromisin, C= Albendazol dan Metronodazol, dan D= Albendazol, Azitromisin dan Metronidazol.

Hasil analisis persentase alveol normal pada mencit jantan menunjukkan


adanya perbedaan yang signifikan antara mencit jantan kontrol dengan mencit
jantan pretreatment (Tabel 5). Hasil tersebut menunjukkan bahwa pretreatment
dapat berpengaruh terhadap jumlah alveol normal pada mencit jantan.
Peningkatan persentase alveol normal terjadi pada saat mencit jantan diberi
pretreatment A (Albendazol), B (Albendazol dan Azitromisin), C (Albendazol
dan Metronidazol) dan D (Albendazol, Azitromisin, dan Metronidazol) jika
dibandingkan dengan kontrol. Peningkatan persentase alveol normal paling tinggi
terjadi pada kelompok pretreatment A (Albendazol). Hal tersebut membuktikan
bahwa pada mencit jantan dengan pemakaian satu sediaan obat saja sudah mampu
memelihara alveol normal lebih banyak dibandingkan dengan kelompok
pretreatment lainnya. Walaupun peningkatan persentase alveol normal antara
kelompok pretreatment tidak secara signifikan. Hasil analisis alveol normal pada
mencit betina menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara kelompok
pretreatment B dengan kelompok pretreatment D. Pada mencit betina kelompok
pretreatment B (Albendazol dan Azitromisin) memiliki hasil paling rendah dalam
memelihara alveol normal. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena sediaan obat
yang diberikan kemungkinan terfokus dalam membasmi mikroorganisme yang
19

sudah berada dalam tubuh mencit sehingga kegunaan sediaan obat dalam
memelihara sel-sel dalam jaringan parenkim paru-paru mencit agar tetap normal
menjadi berkurang. Hasil analisis persentase alveol normal baik pada jantan
maupun betina membuktikan bahwa pemberian pretreatment mampu memelihara
agar sel-sel di dalam jaringan parenkim paru-paru tetap berfungsi secara normal.
Ateletaksis adalah suatu keadaan dimana sebagian atau seluruh paru-paru
kehilangan volume karena alveoli gagal kembali mengembang dan tidak berisi
udara. Atelektasis dapat disebabkan karena adanya perubahan dari segi kualitas
dan kuantitas surfaktan yang dihasilkan oleh sel alveolar tipe II (McGavin 2007).
Pertukaran gas akan tercapai apabila telah terjadinya keseimbangan rasio volume
udara yang masuk menuju kapiler darah. Udara yang masuk juga harus berdekatan
dengan dinding alveolar agar difusi gas dapat terjadi. Jika salah satu hal tersebut
tidak tercapai maka dapat menyebabkan terjadinya atelektasis (McGavin 2007).
Hasil analisis pada persentase atelektasis mencit jantan menunjukkan adanya
perbedaan yang signifikan antara kelompok pretreatment A dengan kelompok
pretreatment lainnya termasuk kontrol. Peningkatan persentase atelektasis
tertinggi terjadi pada kelompok mencit jantan dengan pemberian satu obat yaitu
Albendazol (A) sedangkan hasil analisis pada mencit betina menunjukkan tidak
adanya perbedaan yang signifikan. Pada mencit betina persentase atelektasis
paling tinggi terjadi juga pada kelompok pretreatment A (Albendazol). Hal
tersebut membuktikan bahwa pretreatment menggunakan Albendazol saja belum
dapat mengurangi persentase alveol yang mengalami atelektasis baik pada mencit
jantan maupun betina. Persentase atelektasis pada kelompok mencit betina
pretreatment cenderung mengalami peningkatan. Hal ini dapat terjadi
kemungkinan karena penggunaan sediaan anaesthesi (Ketamin dan Xylazine)
dengan dosis tinggi dapat menyebabkan pernafasan menjadi dangkal akibat
saluran pernafasan terhambat oleh mukus berlebih sehingga terganggunya
keseimbangan antara udara masuk dan keluar. Sesuai dengan pernyataan
McGavin (2007) bahwa kejadian atelektasis dapat disebabkan oleh adanya
penyumbatan yang terjadi karena terlalu banyaknya mukus sehingga menghambat
saluran pernafasan. Hal tersebut menjelaskan bahwa atelektasis yang terjadi pada
mencit jantan dan betina kelompok pretreatment kemungkinan terjadi akibat
produksi mukus meningkat, walaupun peningkatannya tidak signifikan. Tidak
ditemukannya peradangan ataupun edema di sekitarnya membuktikan juga bahwa
kejadian atelektasis terjadi secara akut (Sudomo 2012). Gambaran HP sel alveol
yang normal pada setiap kelompok mencit ditunjukkan pada Gambar 6, sedangkan
Gambar 7 menunjukkan sel alveol yang mengalami atelektasis dari setiap
kelompok percobaan.
20

K K2 K
K1
1 2

A A E E

B B F F

C G G
C

D D H H

Gambar 6 Gambaran mikroskopis alveol normal pada jaringan parenkim paru-paru. Pewarnaan HE.
Perbesaran 40x. K1, A, B, C, D adalah kelompok mencit jantan dengan pretreatment
A=Albendazol, B= Albendazol dan Azitromisin, C=Albendazol dan Metronidazol,
D=Albendazol, Azitromisin dan Metronidazol sedangkan K2, E, F, G, H adalah kelompok
mencit betina dengan pretreatment E= Albendazol, F=Albendazol dan Azitromisin,
G=Albendazol dan Metronidazol, H=Albendazol, Azitromisin dan Metronidazol.
21

K1 K K2 K
1 2

A A E E

B B F F

C G G
C

D D H H

Gambar 7 Gambaran mikroskopis atelektasis pada jaringan parenkim paru-paru. Pewarnaan HE. Perbesaran
40x. K1, A, B, C, D adalah kelompok mencit jantan dengan pretreatment A=Albendazol, B=
Albendazol dan Azitromisin, C=Albendazol dan Metronidazol, D=Albendazol, Azitromisin dan
Metronidazol sedangkan K2, E, F, G, H adalah kelompok mencit betina dengan pretreatment E=
Albendazol, F=Albendazol dan Azitromisin, G=Albendazol dan Metronidazol, H=Albendazol,
Azitromisin dan Metronidazol.
22

Emfisema alveolar dapat terjadi pada semua spesies yang ditandai dengan
adanya distensi dan pecahnya dinding alveolar, sehingga membentuk gelembung
udara yang ukurannya bervariasi di parenkim paru-paru (McGavin 2007). Hasil
analisis emfisema pada mencit jantan menunjukkan adanya perbedaan yang
signifikan antara kelompok pretreatment A (Albendazol) dan B (Albendazol dan
Azitromisin) jika dibandingkan dengan kontrol sedangkan hasil analisis
persentase emfisema mencit betina menunjukkan adanya perbedaan yang
signifikan pada kelompok yang diberikan tiga macam obat yaitu Albendazol,
Azitromisin dan Metronidazol (kelompok D) jika dibandingkan dengan kontrol.
Berdasarkan pengamatan pada semua kelompok mencit betina dan jantan,
emfisema yang terjadi kemungkinan disebabkan oleh adanya eksudat berlebih
yang dihasilkan ketika mencit diberikan kombinasi ketamin dan xylazin dengan
dosis berlebih (overdosis) sebagai metode euthanasia dalam penelitian ini (Plumb
2008).
Kongesti terjadi akibat melambatnya aliran darah vena sehingga terjadi
penumpukan eritrosit di dalam pembuluh darah (McGavin 2007). Hal tersebut
dapat memicu kejadian edema dan keluarnya eritrosit menuju lumen alveolar serta
memicu munculnya makrofag untuk membersihkan lumen alveolar (McGavin
2007). Kongesti dapat berjalan secara aktif dan pasif. Kongesti aktif terjadi karena
dilatasi pembuluh darah sehingga pembuluh darah akan terisi oleh banyak
eritrosit, sedangkan kongesti pasif terjadi ketika hewan mengalami kelainan
jantung (Cheville 2006). Hasil analisis pada mencit jantan menunjukkan adanya
perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol dengan kelompok A
(Albendazol) dan D (Albendazol, Azitromisin dan Metronidazol) sedangkan pada
kelompok betina menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara kelompok A
dengan kelompok pretreatment lainnya. Hal ini menjelaskan bahwa pretreatment
mampu mempengaruhi kejadian kongesti dalam jaringan parenkim paru-paru.
Kelompok kontrol mencit betina memiliki nilai yang lebih tinggi dalam
mengalami kongesti walaupun tidak secara signifikan jika dibandingkan dengan
kelompok kontrol mencit jantan. Hal tersebut menunjukkan bahwa mencit betina
lebih peka terhadap kejadian kongesti akibat adanya siklus estrus karena estrogen
mampu meningkatkan kejadian dilatasi pembuluh darah (Koh et al 1999; Bonds
2013). Kongesti yang terjadi pada sediaan histopatologi penelitian ini bisa juga
disebabkan karena trauma yang terjadi saat penanganan hewan coba. Euthanasi
dengan cara penyuntikkan xylazin dan ketamin serta pemisahan sendi atlanto-
occipitalis diduga dapat menyebabkan terjadinya kongesti pada paru-paru.
Penggunaan xylazin dan ketamin mampu bekerja pada otot polos dan
menyebabkan dilatasi pembuluh darah (Plumb 2008; Struck 2011). Pernyataan
tersebut diperkuat dengan tidak adanya peradangan yang terjadi di sekitar
kongesti dan tidak disertai adanya edema sehingga menunjukkan kejadian
kongesti pada semua kelompok terjadi secara akut (Sudomo 2012). Gambaran HP
alveol yang mengalami emfisema pada setiap kelompok perlakuan mencit
ditunjukkan pada Gambar 8, sedangkan Gambar 9 menunjukkan gambaran
mikroskopis diameter kongesti yang terjadi pada setiap kelompok mencit.
23

K1 K K2 K
1 2

A A E E

B B F F

C G
C G

D D H H

Gambar 8 Gambaran mikroskopis emfisema pada jaringan parenkim paru-paru. Pewarnaan HE.
Perbesaran 40x. K1, A, B, C, D adalah kelompok mencit jantan dengan pretreatment
A=Albendazol, B= Albendazol dan Azitromisin, C=Albendazol dan Metronidazol,
D=Albendazol, Azitromisin dan Metronidazol sedangkan K2, E, F, G, H adalah kelompok
mencit betina dengan pretreatment E=Albendazol, F=Albendazol dan Azitromisin,
G=Albendazol dan Metronidazol, H=Albendazol, Azitromisin dan Metronidazol.
24

K1 K K2 K
1 2

A A E E

B B F F

C C G G

D D H H

Gambar 9 Gambaran mikroskopis kongesti pada pembuluh darah jaringan parenkim paru-paru.
Pewarnaan HE. Perbesaran 40x. K1, A, B, C, D adalah kelompok mencit jantan dengan
pretreatment A=Albendazol, B= Albendazol dan Azitromisin, C=Albendazol dan
Metronidazol, D=Albendazol, Azitromisin dan Metronidazol sedangkan K2, E, F, G, H adalah
kelompok mencit betina dengan pretreatment E= Albendazol, F=Albendazol dan Azitromisin,
G=Albendazol dan Metronidazol, H=Albendazol, Azitromisin dan Metronidazol.
25

Sel yang berperan dalam mekanisme pertahanan dalam alveoli adalah


makrofag. Pertahanan dilakukan dengan cara memfagositosis antigen yang
mampu menembus pertahanan saluran pernafasan atas. Makrofag dapat bekerja
bebas karena dapat berpindah-pindah dan memiliki kemampuan mensekresikan
faktor antimikroba sebagai inisiasi proses peradangan untuk membasmi mikroba
secara tuntas (McGavin 2007; Nebreda 2015). Hasil analisis jumlah sel radang
pada jaringan parenkim paru-paru mencit jantan dan betina menunjukkan adanya
perbedaan yang signifikan pada kelompok mencit yang diberikan sediaan
Albendazol saja. Kelompok mencit betina dan jantan yang diberi sediaan obat
Albendazol saja memiliki jumlah sel radang paling tinggi jika dibandingkan
kelompok lainnya. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena kinerja Albendazol
saja belum cukup untuk menurunkan jumlah sel radang dalam paru-paru mencit.
Albendazol memiliki target kerja utamanya mengacaukan metabolisme cacing
yang berada dalam saluran pencernaan mencit. Tujuan pemakaian albendazol
adalah mencegah agar perkembangbiakan cacing parasit terhenti saat masih
berada dalam saluran pencernaan sehingga tidak terjadi kemungkinan larva
bermigrasi ke dalam saluran pernafasan dan jaringan organ lainnya (Venkatesan
1998).
Kelompok kontrol mencit jantan memiliki jumlah sel radang yang lebih
rendah jika dibandingkan dengan kelompok pretreatment sedangkan jumlah sel
radang terendah pada mencit betina berada pada kelompok pretreatment D jika
dibandingkan dengan kontrol. Pemberian obat pretreatment B, C dan D mampu
menurunkan jumlah sel radang baik pada mencit jantan maupun mencit betina jika
dibandingkan dengan pretreatment kelompok A. Penurunan jumlah sel radang ini
terjadi karena hewan merespon positif pada pemberian sediaan Azitromisin yang
memiliki fungsi antiinflamasi. Kehadiran sel radang dalam jumlah kecil
kemungkinan disebabkan oleh kinerja sediaan Metronidazole yang mampu
melisiskan sel yang mengandung mikroba (Giguѐre 2006). Sel yang lisis tersebut
akan mengundang makrofag hadir. Secara detail, gambaran HP sel radang pada
jaringan parenkim paru-paru pada setiap kelompok mencit ditunjukkan dalam
Gambar 10.
26

K1 K K2 K
1 2

A A E E

B B F F

C C G G

D D H H

Gambar 10 Gambaran mikroskopis sel radang pada jaringan parenkim paru-paru. Pewarnaan HE.
Perbesaran 40x. K1, A, B, C, D adalah kelompok mencit jantan dengan pretreatment
A=Albendazol, B= Albendazol dan Azitromisin, C=Albendazol dan Metronidazol,
D=Albendazol, Azitromisin dan Metronidazol sedangkan K2, E, F, G, H adalah kelompok
mencit betina dengan pretreatment E= Albendazol, F=Albendazol dan Azitromisin,
G=Albendazol dan Metronidazol, H=Albendazol, Azitromisin dan Metronidazol.
27

Hasil pengamatan morfologi jaringan parenkim paru-paru (alveol)


menunjukkan mencit jantan memiliki hasil yang lebih konsisten jika dibandingkan
dengan mencit betina (Tabel 5) walaupun hasil analisis perbandingan jenis
kelamin dalam perubahan yang terjadi pada jaringan parenkim paru-paru tidak
berbeda secara signifikan (Tabel 6). Hal ini menjelaskan bahwa pemakaian mencit
jantan lebih baik karena mampu menghasilkan perubahan yang lebih rendah pada
pengamatan morfologi jaringan parenkim paru-paru (alveol) jika dibandingkan
dengan mencit betina.

Tabel 6 Analisis statistik perbandingan jenis kelamin pada jaringan parenkim


paru-paru (alveol) mencit yang diberi pretreatment
Area Area Jumlah Sel Diameter
Area
Variabel Atelektasis Emfisema Radang Kongesti
Normal (%)
(%) (%) (/14,34 x 103 µm²) (µm)

Jenis Kelamin
Jantan 75,18a 2,31a 22,51a 2,01a 12,18a
Betina 73,94a 3,40a 22,60a 2,32a 12,45a

Kelompok Pretreatment
Kontrol 71,59a 2,19a 26,21c 1,73a 10,92a
b b a b
A 75,08 4,69 20,10 4,57 11,87ab
ab a bc a
B 73,77 2,08 24,15 1,10 12,80b
C 75,52b 2,14a 22,36ab 1,75a 12,69b
b a a a
D 76,85 3,20 19,94 1,68 13,29b
Keterangan : Huruf superscipt yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya
perbedaan yang signifikan (p<0.05) antar kelompok perlakuan. Kelompok
pretreatment A= Albendazol, B= Albendazol dan Azitromisin, C= Albendazol dan
Metronodazol, dan D= Albendazol, Azitromisin dan Metronidazol.

KESIMPULAN

Pretreatment selama 29 hari dan diberikan masa istirahat selama seminggu


sebelum dinekropsi mampu meniadakan terjadinya infeksi dalam organ paru-paru
mencit dan dapat mempertahankan kondisi paru-paru dengan morfologi yang
normal. Oleh karena itu, pretreatment dapat digunakan untuk mempersiapkan
mencit sebagai hewan percobaan dalam berbagai penelitian biomedis terutama
untuk organ paru-paru. Pretreatment dengan menggunakan dua jenis obat
(Albendazol dan Azitromisin; Albendazol dan Metronidazol) dan tiga jenis obat
(Albendazol, Azitromisin dan Metronidazol) menunjukkan hasil yang paling baik
dalam gambaran mikroskopis paru-paru mencit. Penggunaan mencit jantan
memperlihatkan hasil morfologi yang lebih konsisten.

SARAN

Perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut untuk memperpanjang waktu


istirahat sebelum dinekropsi agar meminimalisir efek sisa obat terhadap paru-
paru.
28

DAFTAR PUSTAKA

Akers RM, DM Denbow. 2008. Anatomy and Physiology of Domestic Animal, 2nd
Edition. Iowa: Blackwell Publishing: 396-397. ISBN : 978-1-118-68860-1
Ariyani R. 2015. Studi Histopatologi Organ Limfoid Mencit (Mus musculus)
dengan Pretreatment untuk Penyiapan Hewan Penelitian Bidang Biomedis
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Aspinall V, Capello M. 2015. Introduction to Veterinary Anatomy and Physiology
Textbook, 3rd Edition. London (UK): Elsevier Ltd. 98-106 ISBN 978-0-7020-
5735-9
Aughey E, FL Frye. 2001. Comparative Veterinary Histology with Clinical
Correlates. London (UK): Mansion Publishing Ltd : 82 ISBN 1-874545-66-9
Bonds RS dan Horiuti TM. 2013. Estrogen Effect in Allergy and Asthma. Curr
Opin Allergy Clin Immunol. 2013 February; 13(1): 92-99 doi:
10.1097/ACI.0b013e32835a6dd6.
Chakrabarti S, Lekontseva O dan Davidge ST. 2008. Estrogen is a Modulator of
Vascular Inflammation. Life, 60(6): 376-382 doi: 10.1002/iub.48
Cheville NF. 2006. Introduction to Veterinary Pathology 3rd Edition. Oxford
(UK) : Blackwell Publishing. 147-150 ISBN 0-8138-2495-8
Cochran PE. 2004. Laboratory Manual for Comparative Veterinary Anatomy and
Physiology. Thomson Learning Inc.: 238-243. ISBN 0-7668-6185-6
Conn PM. 2013. Animal Models for the Study of Human Disease. San Diego
(USA): Elsevier Inc.: 56-158 ISBN: 978-0-12-415894-8
Galley HF. 2010. Mice, Men and Medicine. British Journal of Anaesthesia 105
(4): 396-400 (2010) doi:10.1093/bja/aeq256.
Giguѐre S. 2006. Antimicrobial Therapy in Veterinary Medicine 4th Edition. Iowa
(USA): Blackwell Publishing: 192, 291-294 ISBN-13: 978-0-8138-0656-3
Hedrich HJ. 2012. The Laboratory Mouse 2nd Edition. San Diego (USA):
Elsevier Ltd.: 49-50 ISBN 978-0-12-382008-2
Houdebine LM. 2004. The Mouse as an Animal Model for Human Diseases : The
Laboratory Mouse. San Diego (USA): Elsevier Academic Press. ISBN 0-12-
336425-6
Katzung BG. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik. Agoes A, editor. Jakarta (ID):
EGC. ISBN 978-979-044-051-7
Kiernan JA. 1990. Histological and Histochemical Methods: Theory and Practice
2nd Edition. Pergamon Press (UK): England Pr.
Koh KK, Blum A, Hathaway L, Mincemoyer R, Csako G, Waclawiw MA, Panza
JA dan Cannon RO. 1999. Vascular Effects of Estrogens and Vitamin E
therapies in postmenopausal women. Circulation 1999;100:1851-1857 doi:
10.1161/01.CIR.100.18.1851.
Malole MBM, Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan di
Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor
McGavin MD, Zachary JF. 2007. Chapter 9. Respiratory System dalam
Pathologic Basis of Veterinary Disease 4th Edition. Philadelphia (USA) :
Mosby Elsevier Inc. : 463-558. ISBN-13 : 978-0-323-02870-7
29

Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC. 2001. Farmakologi: Ulasan Bergambar. Ed
ke-2. Agoes A, penerjemah. Hartanto H, editor. Jakarta (ID): Widya Medika.
Nebreda LM, Misharin AV, Perlman H dan Budinger GRS. 2015. The
Heterogeneity of Lungs Macrophages in The Susceptibility to Disease. Eur
Respir Rev 2015; 24: 505-509 doi: 10.1183/16000617.0031-2015
OGL (Open Goverment Licence). 2015. Annual Statistic of Scientific Procedures
on Living Animals Great Britain 2014. United Kingdom: Williams Lea
Group: 12. ISBN 978-1-4741-2500-0
Parent AR. 2015. Comparative Biology of The Normal Lung, 2nd Edition. San
Diego (USA): Elsevier Inc. 3-6 ISBN 978-0-12-404577-4
Plumb DC, Pharm D. 2008. Plumb’s Veterinary Drug Handbook 6th Edition.
Stockholm (UE): PharmaVet Inc: 17, 91, 610. ISBN : 978-0-8138-1097-3
Prathima S, Harendra KML. 2012. Mucin Profile of Upper Gastrointestinal Tract
Lesions. J Clin Biomed Sci 2012; 2 (4) 185-191
Rock JR, Randell SH dan Hogan BLM. 2010. Airway Basal Stem Cells: a
Perspective on their Roles in Epithelial Homeostasis and Remodeling.
Disease Models & Mechanisms 3, 545-556 (2010) doi: 10.1242/dmm.006031
Saetta M, G Turato. 2001. Airway Pathology in Asthma. Eur Respir J. 18: Suppl.
34: 18-23 doi: 10.1183/09031936.01.00229501.
Setijono MM. 1985. Mencit (Mus musculus) sebagai Hewan Percobaan [Skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Silverman J, Suckow MA, dan Murthy S. 2014. The Institutional Animal Care
and Use Commite (IACUC ) Handbook 3rd Edition. United State: CRC Press.
ISBN-13: 978-1-4987-0371-0
Sudomo A. 2012. Pengaruh Pemberian Ekstrak Minyak Jintan Hitam (Nigella
sativa) Terhadap Gambaran Mikroskopis Paru-paru Mencit (Mus musculus)
[Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Straub RH. 2007. The Complex Role of Estrogens in Inflammation. Endocrine
Rev 28(5):521-574 doi: 10.1210/er.2007-0001.
Struck MB, Andrutis KA,Ramirez HE dan Battles AH. 2011. Effect of a Short-
term Fast on Ketamine-Xylazine Anesthesia in Rats. Journal of the American
Association for Laboratory Animal Science Vol. 50(May 2011): 344-348.
Tsai WC, Hershenson MB, Zhou Y dan Sajjan U. 2009. Azithromycin Increases
Survival and Reduces Lung Inflammation in Cystic Fibrosis Mice. Inflamm
Res 2009 Aug;58(8):491-501. doi: 10.1007/s00011-009-0015-9
Venkatesan P. 1998. Albendazole. Journal of Antimicrobial Chemotherapy 41,
145-147
30

Lampiran 1 Prosedur pewarnaan hematoksilin eosin (HE)


1. Proses deparafinisasi dengan laruran xylol III, II, dan I masing-masing larutan
selama 3-5 menit
2. Proses rehidrasi dengan alkohol absolut III-I, alkohol 70%, dan dionize water
selama 10-15 menit
3. Pewarnaan hematoksilin eosin diawali dengan aplikasi reagen pewarnaan
Mayer’s hematoksilin selama 8 menit
4. Kemudian dibilas dengan air mengalir, dicuci dengan lithium karbonat
selama 15-30 detik, dibilas kembali dengan air mengalir
5. Sediaan diberi aplikasi pewarna eosin selama 2 menit, dicuci dengan air
mengalir, dan akhirnya dikeringkan
6. Kemudian dilakukan proses dehidrasi, clearing, dan mounting
31

Lampiran 2 Prosedur pewarnaan Periodic Acid Schiff/Alcian Blue pH 2.5


(PAS/AB pH 2.5)

1. Deparafinisasi dengan larutan xylol III, II, dan I masing-masing larutan


selama 3-5 menit
2. Proses rehidrasi dengan alkohol absolut III-I, alkohol 70%, dan dionize water
selama 10-15 menit
3. Pewarnaan PAS/AB pH 2.5 dimulai dengan sediaan dimasukkan ke dalam
larutan asam asetat glasial 3% selama 3-5 menit
4. Kemudian sediaan diwarnai dengan 1% alcian blue pH 2.5 selama 15-30
menit
5. Selanjutnya sediaan dibilas dengan larutan asam asetat glasial 3% selama 1-5
menit, dibilas dengan air mengalir selama 3-5 menit, kemudian dibilas
dengan aquades sebanyak 2 kali
6. Sediaan dioksidasi ke dalam periodic acid 1% selama 5-10 menit, dibilas
dengan aquades sebanyak 3 kali masing-masing selama 5 menit
7. Sediaan dimasukkan ke dalam schiff reagent selama 15-30 menit
8. Kemudian dibilas dengan air sulfit sebanyak 3 kali masing-masing selama 2
menit, lalu dibilas kembali dengan air mengalir, kemudian dibilas dengan
aquades
9. Sediaan dimasukkan ke dalam hematoksilin, dibilas air mengalir dan aquades
10. Sediaan dimasukkan ke dalam xylol untuk proses dehidrasi dan ditutup
dengan perekat permount
32

RIWAYAT HIDUP

Nama lengkap penulis adalah Made Oka Novitasari. Penulis dilahirkan di


Bogor pada tanggal 10 November 1992. Penulis merupakan anak kedua dari dua
bersaudara dari Bapak I Wayan Winasa dan Ibu Neli Suciati. Pendidikan formal
penulis dimulai di SD Polisi 1 Bogor pada tahun 1999-2005. Penulis melanjutkan
pendidikan tingkat pertama di SMP Negeri 2 Bogor pada tahun 2005-2008.
Pendidikan menengah atas penulis selesaikan di SMA Negeri 7 Bogor pada tahun
2008-2011. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan ke Fakultas Kedokteran
Hewan pada tahun 2011 melalui jalur Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri
Undangan (SMPTN Undangan). Selama masa perkuliahan di IPB, penulis aktif
dalam Himpunan Minat dan Profesi Ruminansia FKH IPB sebagai Bendahara I
pada tahun 2013-2014.

Anda mungkin juga menyukai