Anda di halaman 1dari 7

Fisiologi Selera Makan Manusia

Fisiologi pengambilan makanan pada manusia, atau lebih sederhana dikenal sebagai
selera makan, merupakan suatu hal yang kompleks dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor
tersebut antara lain sistem saraf, endokrin, psikososial dan faktor lainnya. Terkadang faktor-
faktor tersebut saling tumpang tindih, sehingga untuk mudahnya maka akan dibahas secara
terpisah. Walaupun demikian tetap sebagai satu kesatuan.

Batasan Istilah

Lapar adalah sensasi keinginan terhadap makanan dan berhubungan dengan efek
fisiologis lain, seperti kontraksi ritmis pada lambung dan rasa gelisah sehingga menuntut
ketersediaan makanan yang adekuat. Selera makan adalah hasrat untuk makan, dan sangat
berguna dalam menentukan kualitas dan kuantitas makanan yang akan dimakan. Kenyang adalah
sensasi yang dirasakan jika keinginan untuk makan telah dipenuhi.

Regulasi Sistem Saraf dan Biokimia Terhadap Pengambilan Makanan

Sistem saraf berperan besar dalam fisiologi selera makan. Ada banyak daerah pada otak
yang merupakan pusat-pusat selera makan, serta saraf-saraf tepi yang merupakan jaras untuk
menyampaikan sinyal dari jaringan ke sistem saraf pusat dan sebaliknya.

Hipotalamus adalah pusat pengendali selera makan terbesar. Ada dua daerah pada
hipotalamus yang merupakan pusat penting: nukleus lateralis dan nukleus ventromedial.
Nukleus lateralis terletak di setiap sisi lateral hipotalamus dan berperan sebagai pusat lapar.
Nukleus ini bekerja dengan cara mendorong sel saraf motorik untuk mencari makanan. Stimulasi
di daerah ini akan menyebabkan makan dalam jumlah banyak (hiperfagia), sedangkan destruksi
di daerah ini menyebabkan kehilangan selera makan, yang dapat berujung pada kehilangan berat
badan, massa otot, dan penurunan metabolisme tubuh.
Sedangkan nukleus ventromedial adalah pusat kenyang. Stimulasi di daerah ini akan
menyebabkan perasaan kenyang sehingga tidak mau makan (afagia), sebaliknya destruksi di
daerah ini akan menyebabkan hasrat untuk makan yang berlebih dan dapat berakibat obesitas.

Daerah lain pada otak yang berperan dalam pengaturan selera makan adalah nukleus
paraventrikular, nukleus dorsomedial, dan nukleus arkuata pada hipotalamus. Lesi pada
nukleus paraventrikular mengakibatkan makan dalam jumlah berlebih, sedangkan lesi pada
nukleus dorsomedial menyebabkan tidak mau makan. Adapun nukleus arkuata merupakan
daerah di mana hormon-hormon berpusat dan dikoordinasikan untuk mengatur pengambilan
makanan.

Batang otak juga berperan dalam pengambilan makanan. Dalam hal ini batang otak lebih
ke arah mekanisme makan, seperti sekresi air liur, menjilat, mengunyah, menelan dll. Adapun
daerah lain pada otak yang berperan dalam pengambilan makanan adalah amygdala dan korteks
prefrontalis. Keduanya berperan dalam pengindraan bau makanan. Lesi pada amygdala dapat
meningkatkan selera makan namun dapat juga menurunkannya, bergantung kepada daerah lesi
itu sendiri. Salah satu efek penting dari kerusakan di daerah amygdala adalah “kebutaan psikis”,
dimana penderita mengalami kendala selera makan parsial dan tidak bisa menentukan
jenis/kualitas makanan yang dimakannya.

Pada daerah-daerah yang telah disebutkan di atas, neurotransmitter dan hormon


memegang peranan penting. Substansi biokimia tersebutlah yang menentukan apakah selera
makan akan dihambat (kenyang) atau dicetuskan (lapar). Untuk itu dikenal pengkategorian
sebagai berikut: (1) Substansi orexigenic yaitu substansi yang mencetuskan rasa lapar dan (2)
substansi anorexigenic yang menghambat selera makan (dengan kata lain, kenyang).

Neuron yang menghambat selera makan adalah neuron proopiomelanocortin (POMC), di


mana substansi yang diproduksinya adalah α-melanocyte-stimulating hormone (α-MSH)
bersama dengan cocaine-and-amphetamine-related transcript (CART). Keduanya bersifat
anorexigenic. Sedangkan substansi yang mencetuskan rasa lapar adalah neuropeptide Y (NPY)
dan agouti-related protein (AGRP). Keduanya bersifat orexigenic.
Neuron POMC bekerja dengan cara melepas α-MSH yang akan berikatan dengan
reseptor melanocortin (MCR) pada nukleus paraventrikular. Aktivasi pada MCR akan
mengurangi pengambilan makanan dan meningkatkan pemakaian energi, sebaliknya inhibisi
(defek) akan meningkatkan pengambilan makanan dan mengurangi pemakaian energi sehingga
dapat menyebabkan obesitas (khusus untuk peningkatan pemakaian energy). MCR bekerja
diperantarai oleh nucleus tractus solitarius dan menstimulasi aktivitas sistem saraf simpatis.

AGRP, yang bersifat orexigenic, adalah antagonis alami dari MCR. Dengan demikian,
AGRP bekerja dengan cara menginhibisi efek dari MCR dan meningkatkan pengambilan
makanan. Pembentukan AGRP yang berlebihan dapat menyebabkan obesitas.

NPY, yang juga bersifat orexigenic, dilepaskan dari nukleus arcuata. NPY dilepaskan
ketika simpanan energi menurun, dan di saat bersamaan aktivitas POMC dihambat sehingga
mengurangi aktivitas melanocortin dan meningkatkan pengambilan makanan.

Faktor yang Meregulasi Kuantitas Pengambilan Makanan

Berdasarkan pemeliharaan simpanan energi pada tubuh, regulasi kuantitas pengambilan


makanan dapat dibagi menjadi:

(1) regulasi jangka pendek yang bertujuan untuk mencegah seseorang makan terlalu
banyak dalam suatu kesempatan demi optimalisasi sistem pencernaan dan
(2) regulasi jangka panjang yang bertujuan memelihara simpanan energi secara konstan
dalam waktu yang relatif lama dan erat kaitannya dengan status gizi.

Pembagian tersebut akan mempermudah menentukan faktor-faktor terkait kuantitas


pengambilan makanan.

Regulasi jangka pendek dalam pengambilan makanan

Regulasi jangka pendek ini bertujuan mencegah seseorang makan terlalu banyak dalam suatu
kesempatan. Dengan demikian maka sistem perncernaan dapat bekerja secara optimal dalam
mengolah dan menyerap sari makanan. Jika hanya mengandalkan sinyal yang dihasilkan oleh
simpanan energi (regulasi jangka panjang), maka perlu waktu yang sangat lama untuk
menghentikan seseorang makan. Oleh karena itu, regulasi jangka pendek melibatkan mekanisme
yang mampu bekerja dengan cepat dalam menstimulasi dan menginhibisi selera makan:

1. Inhibisi akibat pengisian lambung

Ketika makanan masuk ke lambung, maka lambung akan mengalami distensi. Peregangan
(mekanik) yang terjadi ini menyebabkan sinyal ditransmisikan melalui nervus vagus ke pusat
kenyang-lapar sehingga selera makan akan berkurang atau hilang.

2. Inhibisi yang disebabkan hormon gastrointestinal

Kolesistokinin (CCK) adalah hormon yang dilepaskan ketika lemak memasuki duodenum.
CCK ini akan menurunkan selera makan dengan cara mengaktivasi jaras melanokortin.

Peptide YY (PYY) adalah hormon yang dilepaskan oleh traktus gastrointestinal (khususnya
ileum dan kolon) yang bersifat menekan rasa lapar. Pengeluaran hormon PYY ini dipengaruhi
oleh jumlah kalori yang dicerna dan komposisi makanan, di mana semakin banyak lemak yang
masuk semakin banyak hormon PYY yang dikeluarkan.

Selain itu, keberadaan makanan pada saluran cerna menstimulasi sekresi glucagon-like
peptide yang memperkuat sekresi insulin. Baik glucagon-like peptide dan insulin sama-sama
bersifat menekan selera makan.

3. Stimulasi yang disebabkan hormon gastrointestinal

Ghrelin adalah hormon yang dilepaskan oleh sel-sel oxyntic di saluran cerna khususnya
lambung. Hormon ini mengalami peningkatan pada saat puasa, sesaat menjelang makan, dan
mengalami penurunan setelah makan. Diduga hormon ini bersifat orexigenic karena
meningkatkan pengambilan makanan pada penelitian menggunakan hewan coba.

4. Reseptor oral

Sebuah penelitian menggunakan hewan coba dengan memiliki fistula (kebuntuan) esofageal
yang diberi makanan. Kendati makanan tersebut tidak akan pernah sampai ke usus (karena
adanya fistula), derajat lapar hewan tersebut menjadi berkurang setelah “makan”. Diduga ada
faktor-faktor tertentu terkait aktivitas mulut saat makan seperti mengunyah, membasahi,
mengulum dan mengecap yang memberi sinyal ke hipotalamus untuk menghentikan rasa lapar.
Namun mekanisme inhibisi rasa lapar ini hanya bertahan 20-40 menit, jauh lebih singkat
dibandingkan inhibisi rasa lapar yang disebabkan oleh pengisian sistem gastrointestinal.

Regulasi jangka panjang dalam pengambilan makanan

Berbeda dengan regulasi jangka pendek, regulasi jangka panjang dalam pengambilan
makanan lebih bertujuan untuk menentukan status nutrisi seseorang. Berikut adalah mekanisme
yang berperan dalam meregulasi pengambilan makanan jangka panjang:

1. Efek konsentrasi glukosa, asam amino dan lipid dalam darah

Telah diketahui bahwa penurunan kadar glukosa darah menyebabkan rasa lapar. Hal itu
disebut mekanisme pengaturan glukostatik (kecenderungan untuk menjaga stabilitas kadar
glukosa dalam darah). Penelitian lain juga menunjukkan, regulasi oleh asam amino
(aminostatik) dan lipid (lipostatik) memainkan peranan dalam mengatur rasa lapar dan
kenyang.

Kajian secara neurofisiologis juga mendukung teori glukostatik, aminostatik, dan lipostatik
melalui observasi: (1) Peningkatan kadar glukosa darah meningkatkan aktivitas neuron
glukoreseptor pada nukleus ventromedial dan paraventrikular dan (2) peningkatan kadar glukosa
darah juga meningkatkan aktivitas neuron glukosensitif pada pusat lapar di hipotalamus.
Beberapa asam amino dan lipid juga mempengaruhi rasa lapar-kenyang melalui jaras yang
hampir sama dengan glukosa.

2. Regulasi yang disebabkan oleh temperatur

Pada saat tubuh terpajan suhu yang rendah, maka secara fisiologis tubuh akan mengalami
peningkatan laju metabolisme dan membutuhkan lemak dalam jumlah tinggi sebagai insulator.
Pusat peregulasi temperatur akan berinteraksi dengan pusat kenyang-lapar sehingga
menyebabkan keinginan untuk makan demi memenuhi kebutuhan kalori.
3. Sinyal umpan balik dari jaringan adiposa

Penelitian terbaru menunjukkan adanya sinyal umpan balik dari jaringan adiposa yang
menekan rasa lapar pada hipotalamus. Adalah leptin, sebuah hormon yang dilepaskan dari
adiposit ketika terjadi penyimpanan energi (setelah makan) yang berperan dalam proses tersebut.
Leptin akan menembus sawar darah otak dan menduduki reseptornya terutama pada neuron
POMC pada nukleus arkuata dan paraventricular.

Stimulasi leptin pada neuron-neuron tersebut akan mengakibatkan: (1) penurunan produksi
stimulator rasa lapar, seperti NPY dan AGRP, (2) aktivasi neuron POMC yang menyebabkan
pelepasan α-MSH dan menstimulasi reseptor melanokortin, (3) meningkatkan produksi
corticotropin releasing hormone yang menekan rasa lapar, (4) meningkatkan aktivitas jaras
simpatis yang menimbulkan peningkatan laju metabolik dan penggunaan energi, dan (5)
menurunkan sekresi insulin yang menimbulkan penurunan aktivitas penyimpanan energi.
Dengan demikian leptin berperan besar dalam regulasi jangka panjang.

Defek pada reseptor leptin akan menimbulkan rasa lapar yang berkepanjangan dan memicu
hiperfagia dan obesitas parah. Selain itu resistensi leptin juga dapat menimbulkan obesitas, di
mana leptin diproduksi dalam jumlah adekuat namun terjadi resistensi sehingga penderita akan
makan terus-menerus.

4. Faktor psikososial

Selain sinyal-sinyal involunter yang terdapat di dalam tubuh, diduga faktor psikologis dan
sosial juga membentuk kebiasaan makan. Contohnya adalah kebiasaan makan yang rutin dan
terjadwal sehingga membuat seseorang makan karena memang sudah waktunya (bukan karena
lapar), atau gaya hidup seperti hiburan, bisnis dan waktu senggang yang turut menentukan kapan
seseorang makan.

Stress, cemas, depresi, dan bosan juga menentukan perilaku makan manusia melalui
mekanisme yang tidak melibatkan mekanisme pemenuhan kebutuhan energi, baik pada hewan
percobaan maupun manusia. Faktor-faktor psikososial ini mampu mengalahkan faktor-faktor
intrinsik fisiologis yang mengatur selera makan.
Daftar pustaka:

1. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Pennsylvania: Elsevier
Inc; 2006. p. 867-72.
2. Sheerwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. 2nd ed. Jakarta: EGC; 2001. p. 593-5.

Anda mungkin juga menyukai