Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Anatomi Jantung


Jantung merupakan organ muskular berongga yang yang bentuknya seperti
piramid dan terletak di dalam perikardium di mediastinum. Basis jantung
dihubungkan dengan pembuluh-pembuluh darah besar, Meskipun demikian
tetap terletak bebas di dalam perikardium. (Snell, 2016)
Jantung relatif kecil kira-kira berukuran seperti kepalan tangan yang tertutup
sekitar 12 cm atau 5 inchi untuk panjangnya, 9 cm atau 5 inci Untuk lebarnya
dan 6 cm atau 2,5 inchi untuk tebalnya dengan massa rata-rata 250 gram Pada
perempuan dewasa dan 300 gram pada pria dewasa. Sekitar dua pertiga masa
jantung terletak pada sebelah kiri garis tengah tubuh. Ujung apeks terbentuk
oleh ujung ventrikel kiri dan terletak di atas diafragma yang mengarah ke
anterior, Inferior dan ke kiri. Dasar jantung berlawanan dengan apeks dan
posteriornya Yang terbentuk oleh Atria (bilik atas) jantung, kebanyakan atrium
kiri.
Permukaan jantung terdiri dari tiga yaitu Pacistenocostalis (anterior), facis
diaphaghmatica (inferior), dan basis cordis (posterior). Jantung juga
mempunyai yang arahnya ke bawah, depan dan kiri. Batas kanan jantung
dibentuk oleh atrium dextrum, Batas kiri oleh auricular sinistra, dan di bawah
oleh ventrikulus sinister.Atrium dextrum terletak antara Rio terhadap Atrium
sinistrum dan ventrikulus Dexter anterior terhadap ventrikulus sinister.
Dinding jantung terdiri dari tiga lapisan yaitu lapisan paling luar
(epikardium), lapisan tengah (miokardium) dan lapisan dalam (endokardium).
(Snell, 2016)
Gambar 2.1. Anatomi Jantung

2.2 Konsep Decompensated Heart Failure (ADHF)


1. Pengertian
Akut Heart Failure (AHF) Adalah gejala tanda-tanda akut yang memburuk
Heart Failure (HF) dengan onset cepat terkait dengan peningkatan kadar
plasma natriuretik peptida (NP). Pasien Ini membutuhkan manajemen
medis segera dan biasanya dirawat inap darurat di rumah sakit. Ini bisa
menjadi kejadian pertama AHF (de Novo) atau lebih sering Acute
Decompensated Heart Failure. (Cerlinskaite et al., 2018)
2. Etiologi
Penyebab gagal jantung menurut Karson (2016) Kelompokkan sebagai
berikut:
a. Kelainan otot jantung
Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung yang
menyebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang
mendasari penyebab kelainan fungsi otot jantung mencakup
aterosklerosis koroner, hipertensi arterial dan penyakit otot degeneratif
atau inflamasi.
b. Aterosklerosis koroner
Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran
darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat
penumpukan asam laktat. Infark miokardium (kematian sel jantung)
biasanya mendahului terjadinya gagal jantung
c. Hipertensi sistemik atau pulmonal (peningkatan afterload)
Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan
hipertrofi serabut otot jantung.
d. Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif berhubungan
dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung merusak
serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun
e. Penyakit jantung lain, Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat
penyakit jantung yang sebenarnya tidak secara langsung
mempengaruhi jantung. Mekanisme yang biasanya terlibat mencakup
gangguan aliran darah melalui jantung, ketidakmampuan jantung
mengisi darah. Peningkatan mendadak afterload akibat hipertensi
maligna dapat menyebabkan gagal jantung Meskipun tidak disertai
hipertrofi miokardial.
f. Faktor sistemik
Meningkatnya laju metabolisme (mis. Demam), Hipoksia dan anemia
memerlukan peningkatan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan
oksigen sistemik.Asidosis respiratorik atau metabolik dan
abnormalitas elektronik dapat menurunkan kontraktilitas jantung.
Ada beberapa keadaan yang mempengaruhi fungsi jantung. Penyebab
yang paling umum adalah kerusakan fungsional jantung dimana terjadi
kerusakan atau hilangnya otot jantung, Iskemik akut dan kronik,
Peningkatan tekanan vaskuler dengan hipertensi atau berkembangnya
takiaritmia seperti atrial fibrilasi (AF). Penyakit jantung koroner yang
merupakan penyebab penyakit miokard Menjadi Penyebab gagal
jantung pada 70% dari pasien gagal jantung. Penyakit katup sekitar
10% dan kardiomiopati sebanyak 10% (Hfa et al., 2010)
3. Faktor Resiko
a. Merokok
Merokok dapat mendorong perkembangan aterosklerosis dengan
memulai cedera pada endotel. Efek ini Memulai mekanisme inflasi
yang menyebabkan aterosklerosis. Mekanisme disfungsi endotel dan
penurunan kemampuan dilatasi disebabkan karena efek nikotin. Selain
itu nikotin juga memiliki efek pembentukan radikal bebas (Malaeny,
Katuuk & Onibala, 2017). Efek rokok menyebabkan beban miokard
bertambah karena Rangsangan oleh katekolamin dan menurunnya
konsumsi O2 akibat inhalasi CO2 atau dapat menyebabkan takikardi,
vasokonstriksi pembuluh darah dan merubah permeabilitas dinding
pembuluh darah. (Yuniardi, Setiawan & Sofia, 2016)
b. Hipertensi
Hipertensi menyebabkan tekanan pembuluh darah perifer meningkat
membuat beban sistolik lebih besar dibanding kemampuan ventrikel
(sistolik overload). Kontraktilitas jantung menurun dan menghambat
pengosongan ventrikel lalu terjadi hipertrofi ventrikel untuk
meningkatkan kontraksi kemudian cardiac output ikut menurun
Sehingga beban kerja jantung meningkat semakin lama mengakibatkan
gagal jantung. (Kasron, 2016)
c. Dislipidemia
Dislipidemia merupakan suatu kondisi dimana terjadi apabila
normalitas kadar lipid di dalam darah diantaranya peningkatan kadar
kolesterol, LDL (low Density Lipoprotein). Dislipidemia ini secara
sederhana dapat menjadi faktor risiko infark miokard akut Karena
pada proses terganggunya profil lipid dalam darah terjadi penimbunan
lemak pada lapisan Pembuluh darah yang akhirnya mengurangi
diameter lumen pembuluh darah akibatnya terjadi iskemia dengan
manifestasi lanjutannya adalah terjadi infark. (Ma'rufi & Rosita, 2014)
d. Stres emosi
Dianggap sebagai faktor yang cukup dominan sebagai salah satu
faktor resiko gagal jantung. Mekanisme terjadinya stres pada gagal
jantung adalah bermula dari stres yang ditampung oleh saraf pusat
dialirkan ke saraf otonom kemudian terjadilah perubahan
keseimbangan hormon yang menimbulkan perubahan fungsional pada
berbagai organ target. (Sumiati et al., 2010)
Stres dapat memicu adrenalin dan zat Katekolamin yang tinggi
mengakibatkan penyempitan pembuluh darah jantung serta
peningkatan denyut jantung sehingga dapat menyebabkan
terganggunya suplai darah ke otak. Stres yang berkepanjangan akan
menyebabkan produksi hormon kortisol meningkat terbukti dapat
menyebabkan kehilangan fungsi kognitif dan menyebabkan daya tahan
tubuh melemah.
e. Diabetes melitus
Diabetes jangka panjang memberi dampak yang parah pada sistem
kardiovaskuler. Komplikasi mikrovaskular terjadi akibat penebalan
membran basal pembuluh kecil. Penyebab penebalan tersebut
berkaitan langsung dengan tingginya kadar glukosa dalam darah.
Penebalan mikrovaskular menyebabkan iskemia dan penurunan
penyaluran oksigen dan zat gizi ke jaringan. Hipoksia kronis secara
langsung merusak dan menghancurkan sel. Pada sistem makrovaskular
Di lapisan endotel arteri akibat hiperglikemia permeabilitas sel endotel
meningkat sehingga molekul yang mengandung lemak masuk ke
arteri. Kerusakan sel-sel endotel akan mencetuskan reaksi inflamasi
sehingga akan terjadi pengendapan trombosit, makrofag dan jaringan
fibrosa. Penebalan dinding arteri menyebabkan hipertensi yang akan
semakin merusak endotel arteri karena menimbulkan gaya merobek sel
endotel sehingga plak aterosklerosis terbentuk. (Budiman & Pradina,
2015)
4. Klasifikasi
Klasifikasi ADHF dapat dilihat melalui tabel Forrester Hemodynamic
Subsets

Gagal jantung diklasifikasikan menurut American College of Cardiology


(ACC) dan American Heart Association (AHA) 2008 :
Stage A : Risiko tinggi gagal jantung, tetapi tanpa penyakit jantung
struktural atau tanda dan gejala gagal jantung. Pasien dalam stadium ini
termasuk mereka yang mengidap hipertensi, DM, sindroma metabolik,
penyakit aterosklerosis atau obesitas.
Stage B : penyakit jantung struktural dengan disfungsi ventrikel kiri yang
asimptomatis. Pasien dalam stadium ini dapat mengalami LV remodeling,
fraksi ejeksi LV rendah, riwayat IMA sebelumnya, atau penyakit katup
jantung asimptomatik.
Stage C : Gagal jantung simptomatis dengan tanda dan gejala gagal
jantung saat ini atau sebelumnya. Ditandai dengan penyakit jantung
struktural, dyspnea, fatigue, dan penurunan toleransi aktivitas.
Stage D : Gagal jantung simptomatis berat atau refrakter. Gejala dapat
muncul saat istirahat meski dengan terapi maksimal dan pasien
memerlukan rawat inap.
Sedangkan menurut New York Heart Association (NYHA) dibagi
menjadi 4 kelas berdasarkan tanda dan gejala pasien, respon terapi dan
status fungsional yaitu :
Functional Class I ( FC I ) : asimptomatik tanpa hambatan aktivitas fisik.
Functional Class II ( FC II ) : hambatan aktivitas fisik ringan, pasien
merasa nyaman saat istirahat tetapi mengalami gejala dyspnea, fatigue,
palpitasi atau angina dengan aktivitas biasa.
Functional Class III ( FC III ) : hambatan aktivitas fisik nyata, pasien
merasa nyaman saat istirahat tetapi mengalami gejala dyspnea, fatigue,
palpitasi atau angina dengan aktivitas biasa ringan.
Functional Class IV ( FC IV ) : ketidaknnyamanan saat melakukan
aktivitas fisik apapun, dan timbul gejala sesak pada aktivitas saat istirahat.

5. Patofisiologi
Gagal jantung terjadi sewaktuJantung tidak mampu memompa darah
yang cukup untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi tubuh. Gagal
jantung disebabkan akibat disfungsi diastolik atau sistolik. (Corwin, 2014)
Gagal jantung diastolik dapat terjadi dengan atau tanpa gagal jantung
sistolik. Gagal jantung diastolik sering terjadi akibat hipertensi yang lama
(kronis). Ketika ventrikel harus memompa secara berkelanjutan melawan
kelebihan beban yang sangat tinggi (peningkatan resistensi). Sel otot
hipertrofi dan menjadi kaku. Kekuatan sel otot menyebabkan penurunan
daya regang ventrikel sehingga menurunkan pengisian ventrikel, Kelainan
relaksasi diastolik dan penurunan Penurunan volume sekuncup, MK:
Penurunan Curah Jantung. Volume diastolik-akhir pada ventrikel kiri
dan tekanan diastolik-akhir ventrikel kiri yang mengalami peningkatan
dan menyebabkan darah kembali ke atrium memantul kembali ke sirkulasi
paru, menyebabkan hipertensi paru. Karena volume sekuncup dan
akibatnya tekanan darah turun, reflek baroseptor teraktivasi.
Disfungsi sistolik sebagai Penyebab gagal jantung akibat cedera pada
ventrikel, biasanya berasal dari infark miokard. Kerusakan otot sehingga
tidak mampu berkontraksi secara penuh, dan sekali lagi, volume sekuncup
turun. Penurunan volume sekuncup menyebabkan penurunan tekanan
darah yang segera diikuti inisiasi respon reflek menyesuaikan untuk
mengembalikan ke kondisi sebelumnya. Karena ventrikel yang rusak tidak
mampu mengembalikan volume sekuncup, reflek tetap berlanjut.
Terutama stimulasi simpatis reseptor B, Jantung menjadi kronis.
Simulasi simpatis reseptor B merangsang pengeluaran katekolamin
kemudian terjadi vasokontriksi arteri perifer. Sehingga menurunkan aliran
darah ke ginjal. Lalu meningkatkan RRA (Renin-angiotensin aldosterone)
hal ini membuat ADH meningkat dan terjadi retensi natrium yang
mengakibatkan edema perifer atau sistemik MK: Kelebihan volume
cairan. Pasien yang mengalami edema perifer dan kurangnya perubahan
posisi akan terjadi MK: Kerusakan integritas kulit. Vasokontriksi Arteri
perifer juga membuat Perfusi ke otot rangka berkurang sehingga
menimbulkan kelemahan dan kelebihan MK: Keletihan dan intoleransi
aktivitas.
Pengaktifkan respon simpatis yang kronis Pada akhirnya menurunkan
kadar kalsium didalam dan pelepasan kalsium dari retikulum sarkoplasmik
sel-sel miokard. Penurunan kalsium otot jantung menyebabkan eksistasi-
kontraksi ganda, akhirnya produksi kekuatan otot jantung menghilang,
disritmia dan akhirnya terjadi disfungsi kontraktil serta perubahan bentuk
sel otot jantung.
Dengan demikian memburuknya proses penyakit gagal jantung juga
mempengaruhi peningkatan progresif volume diastolik akhir pada
peregangan sel otot jantung melebihi panjang optimumnya, akibatnya
tegangan yang dihasilkan menjadi berkurang karena ventrikel teregang
oleh darah. (Corwin, 2014)
6. Pathway
7. Tanda dan Gejala
Gejala sering tidak spesifik dan karenanya Tidak membantu membedakan
antara HF dan masalah lain. Gejala dan tanda-tanda gagal jantung akibat
retensi cairan dapat sembuh dengan cepat dengan terapi diuretik. Tanda-
tanda seperti tekanan Vena jugularis tinggi dan perpindahan impuls apikal,
Mungkin lebih spesifik Tetapi lebih sulit untuk mendeteksi dan memiliki
reproduktivitas yang buruk. Tanda dan gejala mungkin sangat sulit untuk
diidentifikasi dan ditafsirkan pada orang yang mengalami obesitas, Pada
orang tua dan pasien dengan memiliki paru-paru kronis. (Task et al., 2016)
Manifestasi Acute Decompensated Heart Failure (ADHF) Adalah dipsnea,
retensi cairan dan kelelahan.Retensi cairan umumnya mengarah pada
kongesti paru dan edema perifer pada pasien dengan adhf. Pasien dapat
mengalamiPeningkatan berat badan yang progresif, edema ekstremitas
bawah, peningkatan dispnea saat beraktivitas atau dipsnea saat istirahat.
Pasien dapat melaporkan dipsnea nocturnal orthopnea dan paroksimal.
Pasien juga mengalami Perut kembung atau nafsu makan menurun.
Beberapa pasien mengalami kelelahan atau bahkan perubahan status
mental. Beberapa pasien datang dengan dispnea yang tiba-tiba muncul.
Faktor-faktor umum yang mengakibatkan Acut Decompensated Heart
Failure (ADHF) dapat termasuk ketidakpatuhan terhadap rejimen medis,
pembatasan natrium dan / atau cairan, sindrom koroner akut, tekanan
darah tinggi yang tidak dikoreksi, fibrilasi atrium dan aritmia lainnya,
embolus paru, penggunaan NSAID, penggunaan alkohol berlebih atau
penggunaan obat terlarang, kelainan endokrin, eksaserbasi penyakit paru-
paru, atau infeksi bersamaan seperti pneumonia (Fonarow, 2017).

8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk kasus ADHF menurut Hanafiah (2006):
a. Laboratorium :
1) Hematologi : Hb, Ht, Leukosit.
2) Elektrolit : K, Na, Cl, Mg.
3) Enzim Jantung (CK-MB , Troponin, LDH).
4) Gangguan fungsi ginjal dan hati : B UN, Creatinin, Urine
Lengkap, SGOT, SGPT.
5) Gula darah.
6) Kolesterol, trigliserida.
7) Analisa Gas Darah
b. Elektrokardiografi, untuk melihat adanya :
1) Penyakit jantung koroner : iskemik, infark.
2) Pembesaran jantung (LVH : Left Ventricular Hypertrophy).
3) Aritmia.
4) Perikarditis.

c. Foto Rontgen Thoraks, untuk melihat adanya :


1) Edema alveolar.
2) Edema interstitials.
3) Efusi pleura.
4) Pelebaran vena pulmonalis.
5) Pembesaran jantung.
6) Echocardiogram menggambarkan ruang –ruang dan katup jantung
7) Radionuklir.
8) Mengevaluasi fungsi ventrikel kiri.
9) Mengidentifikasi kelainan fungsi miokard
d. Pemantauan Hemodinamika (Kateterisasi Arteri Pulmonal
Multilumen) bertujuan untuk :
1) Mengetahui tekanan dalam sirkulasi jantung dan paru.
2) Mengetahui saturasi O2 di ruang-ruang jantung
3) Biopsi endomiokarditis pada kelainan otot jantung.
4) Meneliti elektrofisiologis pada aritmia ventrikel berat recurrent.
5) Mengetahui beratnya lesi katup jantung.
6) Mengidentifikasi penyempitan arteri koroner.
7) Angiografi ventrikel kiri (identifikasi hipokinetik, aneurisma
ventrikel, fungsi ventrikel kiri).
8) Arteriografi koroner (identifikasi lokasi stenosis arteri coroner)
e. Echocardiogram - Menggambarkan ruang –ruang dan katup jantung

9. Penatalaksanaan
a. Tatalaksana Non-Farmakologi
Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran dalam keberhasilan
pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak bermakna
perbaikan gejala gagal jantung, kapasitas fungsional, kualitas hidup,
morbiditas dan prognosis. Manajemen perawatan mandiri dapat
didefinisikan sebagai tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menjaga
stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat memperburuk kondisi
dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal jantung.
1) Ketaatan pasien berobat

Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan


kualitas hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20-60% pasien
yang taat pada terapi farmakologi maupun non farmakologi
(PERKI, 2015).
2) Pemantauan berat badan mandiri
pasien harus memantau berat badan rutin setiap hari, jika terdapat
kenaikan berat badan >2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikkan
dosis diuretik atas pertimbangan dokter (PERKI, 2015).
3) Asupan cairan

Restriksi cairan 1,5 – 2 liter/hari di pertimbangkan terutama pada


pasien dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi
cairan rutin pada semua pasien dengan gejala ringan sampai
sedang tidak memberikan keuntungan klinis (PERKI, 2015).
4) Pengurangan berat badan

Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m²) dengan


gagal jantung dipertimbangkan untuk mencegah perburuan gagal
jantung, mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup
(PERKI, 2015).
5) Kehilangan berat badan tanpa rencana

Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung


berat. Kaheksia jantung (cardiac cachexia) merupakan prediktor
penurunan angka kelangsungan hidup. Jika selama enam bulan
terakhir berat badan >6% dari berat badan stabil sebelumnya tanpa
disertai retensi cairan, pasien didefinisikan sebagai kaheksia.
Status nutrisi pasien harus dihitung dengan hati-hati
(PERKI,2015).

6) Latihan fisik

Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal


jantung kronik stabil.program latihan fisik memberikan efek yang
sama baik dikerjakan di rumah sakit atau di rumah (PERKI, 2015).
b. Tatalaksana Farmakologi
Tujuan diagnosis dan terapi gagal jantung yaitu mengurangi
morbiditas dan mortalitas.tindakan preventif dan pencegahan
perburukan penyakit jantung tetap merupakan bagian penting dalam
tatalaksana penyakit jantung. Sangatlah penting untuk mendeteksi dan
mempertimbangkan pengobatan terhadap komorbid kardiovaskular
dan non kardiovaskular yang sering dijumpai (PERKI, 2015).
1) Terapi oksigen dan / atau dukungan ventilasi

Saturasi oksigen (SpO2) harus dipantau pada semua pasien dengan


dispnea. Terapi oksigen harus dimulai ketika SpO2 di bawah 90%
dan fraksi oksigen terinspirasikan (FiO2) harus diingatkan
sehingga 100% jika perlu, menurut pengukuran SpO2. Namun,
ciproxin menyebabkan vasokonstriksi dan dapat menurunkan
aliran darah koroner dan otak sehingga harus dihindari
(Cerlinskaite et al., 2018).
2) Diuretik

Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan


tanda klinis atau gejala kongesti. Tujuan dari pemberian diuretik
adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat)
dengan dosis yang serendah mungkin, ya itu harus diatur sesuai
kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau resistensi
(PERKI, 2015).
Diuretik loop utama adalah furosemide, bumetanide dan
torasemide. Namun, furosemide adalah yang paling 1 yang biasa
digunakan, baik di negara kita maupun di seluruh dunia. Dosis
awal furosemide intravena adalah 20 - 40 mg. Total setiap hari
dosis furosemide setidaknya harus sama dengan total harian dosis
yang diminum pasien sebelum rawat inap dan dapat umumnya
ditingkatkan dengan aman hingga 2,5 kalo dari pra-rawat inap
dosis. Keluaran urine harus ditingkatkan menjadi ≥40 ml/jam dan
penurunan berat badan 1-1,5 kg/hari harus dicapai. Jika
pengobatan bolus lebih disukai, dosis dapat diulangi dalam 4-6 jam
sesuai dengan volume yang berlebihan pada pasien. Pengobatan
infus furosemide dimulai dengan 10 mg/jam dosis dan dilanjutkan
dengan 5-20 mg/jam sesuai dengan respon dari pasien (Ural et al.,
2015).
Diuretik hemat kalium adalah sprinolakton dengan dosis awal
(+ACE/ARB) 12,5-25, (-ACE/ARB) 50. Sedangkan tiazide terdiri
dari hidrochlortiazide adalah 25 mg, metolazone adalah 2,5 mg,
dan indapamide adalah 2,5 mg (PERKI, 2015).
3) Digoksin

pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoxin dapat


digunakan untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat,
walaupun obat lain (seperti penyekat beta) lebih diutamakan. Pada
pasien gagal jantung simtomatik, fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40%
dengan irama sinus, digoxin dapat mengurangi gejala, menurunkan
angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung,
tetapi tidak mempunyai efek terhadap angka kelangsungan hidup
( PERKI, 2015).
4) Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACE Inhibitor)

ACEI terdiri dari captopril, enalapril, lisinopril, ramipril,


perindopril. ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal
jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40%, dengan
atau tanpa gejala. Kontraindikasi pemberian ACEI adalah riwayat
angioedema, stenosis renal bilateral, kadar kalium serum > 5,0
mmol/L, serum kreatinin > 2,5 mg/dL, dan stenosis aorta berat
(PERKI,2015).
2.3 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Acute Decompensated Heart Failure
(ADHF)

1. Pengkajian keperawatan
Pengkajian Primer
a. Airway
Kepatenan jalan nafas meliputi pemeriksaan obstruksi jalan nafas,
adanya benda asing, adanya suara nafas tambahan.
b. Breathing
Frekuensi nafas, apakah ada penggunaan otot bantu nafas, retraksi dada,
adanya sesak nafas, palpasi pengembangan paru, auskultasi suara nafas,
kaji adanya suara nafas tambahan.
c. Circulation
Pengkajian mengenai volume darah dan cardiac output serta adanya
perdarahan. pengkajian juga meliputi status hemodinamik, warna kulit,
nadi.
Pengkajian Sekunder
a. Aktivitas/istirahat
Gejala : Keletihan/kelelahan terus menerus sepanjang hari, insomnia,
nyeri dada dengan aktivitas, dispnea pada saat istirahat.
Tanda : Gelisah, perubahan status mental mis : letargi, tanda vital
berubah pada aktivitas.
b. Sirkulasi
Gejala : Riwayat HT, IM baru/akut, episode GJK sebelumnya, penyakit
jantung, bedah jantung , endokarditis, anemia, syok septik, bengkak pada
kaki, telapak kaki, abdomen.
Tanda : TD ; mungkin rendah (gagal pemompaan), Tekanan Nadi ;
mungkin sempit, Irama Jantung ; Disritmia, Frekuensi jantung ;
Takikardia , Nadi apical ; PMI mungkin menyebar dan merubah, posisi
secara inferior ke kiri, Bunyi jantung ; S3 (gallop) adalah diagnostik, S4
dapat, terjadi, S1 dan S2 mungkin melemah, Murmur sistolik dan
diastolic, Warna ; kebiruan, pucat abu-abu, sianotik, Punggung kuku ;
pucat atau sianotik dengan pengisian, kapiler lambat, Hepar ;
pembesaran/dapat teraba, Bunyi napas ; krekels, ronkhi, Edema ;
mungkin dependen, umum atau pitting , khususnya pada ekstremitas.
c. Integritas ego
Gejala : Ansietas, kuatir dan takut. Stres yang berhubungan dengan
penyakit/keperihatinan finansial (pekerjaan/biaya perawatan medis)
Tanda : Berbagai manifestasi perilaku, mis : ansietas, marah, ketakutan
dan mudah tersinggung.
d. Eliminasi
Gejala : Penurunan berkemih, urine berwana gelap, berkemih malam hari
(nokturia), diare/konstipasi.
e. Nutrisi
Gejala : Kehilangan nafsu makan, mual/muntah, penambhan berat badan
signifikan, pembengkakan pada ekstremitas bawah, pakaian/sepatu terasa
sesak, diet tinggi garam/makanan yang telah diproses dan penggunaan
diuretic.
Tanda : Penambahan berat badan cepat dan distensi abdomen (asites)
serta edema (umum, dependen, tekanan dn pitting).
f. Higiene
Gejala : Keletihan/kelemahan, kelelahan selama aktivitas Perawatan diri.
Tanda : Penampilan menandakan kelalaian perawatan personal.
g. Neurosensori
Gejala : Kelemahan, pening, episode pingsan.
Tanda : Letargi, kusut pikir, diorientasi, perubahan perilaku dan mudah
tersinggung.
h. Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Nyeri dada, angina akut atau kronis, nyeri abdomen kanan atas
dan sakit pada otot.
Tanda : Tidak tenang, gelisah, focus menyempit danperilaku melindungi
diri.
i. Pernapasan
Gejala : Dispnea saat aktivitas, tidur sambil duduk atau dengan beberapa
bantal, batuk dengn/tanpa pembentukan sputum, riwayat penyakit kronis,
penggunaan bantuan pernapasan.
Tanda :
1) Pernapasan : takipnea, napas dangkal, penggunaan otot asesori
pernpasan.
2) Batuk : Kering/nyaring/non produktif atau mungkin batuk terus
menerus dengan/tanpa pemebentukan sputum.
3) Sputum : Mungkin bersemu darah, merah muda/berbuih (edema
pulmonal)
4) Bunyi napas : Mungkin tidak terdengar.
5) Fungsi mental : Mungkin menurun, kegelisahan, letargi.
6) Warna kulit : Pucat dan sianosis.
j. Interaksi sosial
Gejala : Penurunan keikutsertaan dalam aktivitas sosial yang biasa
dilakukan.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan Perubahan kontraktilitas
miokardial/perubahan inotropik.
b. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan reflek
batuk, penumpukan secret.
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan edema paru
d. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan menurunnya laju filtrasi
glomerulus, meningkatnya produksi ADH dan retensi natrium/air.
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan

3. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Tujuan dan Kriteria
No Intervensi
keperawatan hasil
1. Penurunan NOC : NIC :
curah jantung 1. Cardiac Pump Cardiac Care
berhubungan effectiveness 1. Evaluasi adanya nyeri dada
2. Circulation Status
dengan (intensitas,lokasi, durasi)
3. Vital Sign Status
2. Catat adanya disritmia jantung
Perubahan
Setelah diberikan 3. Catat adanya tanda dan gejala penurunan
kontraktilitas
asuhan keperawatan cardiac output
miokardial/per 4. Monitor status kardiovaskuler
selama ….x….
5. Monitor status pernafasan yang
ubahan
diharapkan tanda vital
menandakan gagal jantung
inotropik.
dalam batas yang dapat 6. Monitor abdomen sebagai indicator
diterima (disritmia
penurunan perfusi
7. Monitor balance cairan
terkontrol atau hilang)
8. Monitor adanya perubahan tekanan darah
dan bebas gejala gagal 9. Monitor respon pasien terhadap efek
jantung. pengobatan antiaritmia
10. Atur periode latihan dan istirahat untuk
Kriteria Hasil:
menghindari kelelahan
1. Tanda Vital dalam
11. Monitor toleransi aktivitas pasien
rentang normal 12. Monitor adanya dyspneu, fatigue,
(Tekanan darah, tekipneu dan ortopneu
13. Anjurkan untuk menurunkan stress
Nadi, respirasi)
2. Dapat mentoleransi
aktivitas, tidak ada
kelelahan Vital Sign Monitoring
3. Tidak ada edema 1. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
paru, perifer, dan 2. Catat adanya fluktuasi tekanan darah
3. Monitor VS saat pasien berbaring, duduk,
tidak ada asites
4. Tidak ada atau berdiri
4. Auskultasi TD pada kedua lengan dan
penurunan
bandingkan
kesadaran 5. Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama,
dan setelah aktivitas
6. Monitor kualitas dari nadi
7. Monitor adanya puls paradoksus
8. Monitor adanya puls alterans
9. Monitor jumlah dan irama jantung
10. Monitor bunyi jantung
11. Monitor frekuensi dan irama pernapasan
12. Monitor suara paru
13. Monitor pola pernapasan abnormal
14. Monitor suhu, warna, dan kelembaban
kulit
15. Monitor sianosis perifer
16. Monitor adanya cushing triad (tekanan
nadi yang melebar, bradikardi,
peningkatan sistolik)
17. Identifikasi penyebab dari perubahan
vital sign
2. Bersihan jalan NOC : NIC :
nafas tidak 1. Respiratory status : Airway suction
efektif Ventilation 1. Pastikan kebutuhan oral / tracheal
2. Respiratory status :
berhubungan suctioning
Airway patency 2. Auskultasi suara nafas sebelum dan
dengan
3. Aspiration Control
sesudah suctioning.
penurunan
Setelah diberikan 3. Informasikan pada klien dan keluarga
reflek batuk,
asuhan keperawatan tentang suctioning
penumpukan 4. Minta klien nafas dalam sebelum suction
selama ….x….
secret. dilakukan.
diharapkan klien dapat
5. Berikan O2 dengan menggunakan nasal
menunjukkan
untuk memfasilitasi suksion nasotrakeal
keefektifan jalan napas 6. Gunakan alat yang steril sitiap
Kriteria Hasil : melakukan tindakan
7. Anjurkan pasien untuk istirahat dan
1. Mendemonstrasikan
napas dalam setelah kateter dikeluarkan
batuk efektif dan
dari nasotrakeal
suara nafas yang
8. Monitor status oksigen pasien
bersih, tidak ada 9. Ajarkan keluarga bagaimana cara
sianosis dan melakukan suction
10. Hentikan suksion dan berikan oksigen
dyspneu (mampu
apabila pasien menunjukkan bradikardi,
mengeluarkan
peningkatan saturasi O2, dll.
sputum, mampu
bernafas dengan
Airway Management
mudah, tidak ada
1. Buka jalan nafas, guanakan teknik chin
pursed lips) lift atau jaw thrust bila perlu
2. Menunjukkan jalan 2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan
nafas yang paten ventilasi
3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan
(klien tidak merasa
alat jalan nafas buatan
tercekik, irama
4. Pasang mayo bila perlu
nafas, frekuensi 5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
6. Keluarkan sekret dengan batuk atau
pernafasan dalam
suction
rentang normal,
7. Auskultasi suara nafas, catat adanya
tidak ada suara
suara tambahan
nafas abnormal) 8. Lakukan suction pada mayo
3. Mampu 9. Berikan bronkodilator bila perlu
10. Berikan pelembab udara Kassa basah
mengidentifikasikan
NaCl Lembab
dan mencegah
11. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
factor yang dapat
keseimbangan.
menghambat jalan 12. Monitor respirasi dan status O2
nafas

3. Gangguan NOC : NIC :


pertukaran gas 1. Respiratory Status : Airway Management
berhubungan Gas exchange 1. Pasang mayo bila perlu
2. Respiratory Status : 2. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
dengan edema
3. Keluarkan sekret dengan batuk atau
ventilation
paru
3. Vital Sign Status suction
4. Auskultasi suara nafas, catat adanya
Setelah diberikan
suara tambahan
asuhan keperawatan
5. Lakukan suction pada mayo
selama ….x…. 6. Berika bronkodilator bial perlu
7. Berikan pelembab udara
diharapkan gangguan
8. Atur intake untuk cairan
pertukaran gas teratasi
mengoptimalkan keseimbangan.
Kriteria Hasil : 9. Monitor respirasi dan status O2
1. Mendemonstrasikan
peningkatan Respiratory Monitoring
1. Monitor rata – rata, kedalaman, irama
ventilasi dan dan usaha respirasi
2. Catat pergerakan dada,amati
oksigenasi yang
kesimetrisan, penggunaan otot
adekuat
2. Memelihara tambahan, retraksi otot supraclavicular
kebersihan paru
dan intercostals
3. Monitor suara nafas, seperti dengkur
paru dan bebas dari
4. Monitor pola nafas : bradipena,
tanda tanda distress
takipenia, kussmaul, hiperventilasi,
pernafasan
cheyne stokes, biot
3. Mendemonstrasikan
5. Catat lokasi trakea
batuk efektif dan 6. Monitor kelelahan otot diagfragma
suara nafas yang (gerakan paradoksis)
7. Auskultasi suara nafas, catat area
bersih, tidak ada
penurunan / tidak adanya ventilasi dan
sianosis dan
suara tambahan
dyspneu (mampu
8. Tentukan kebutuhan suction dengan
mengeluarkan
mengauskultasi crakles dan ronkhi pada
sputum, mampu
jalan napas utama
bernafas dengan 9. auskultasi suara paru setelah tindakan
mudah, tidak ada untuk mengetahui hasilnya
pursed lips)
4. Tanda tanda vital
dalam rentang
normal

4. Kelebihan NOC : NIC :


volume cairan 1. Electrolit and acid Fluid management
berhubungan base balance 1. Timbang popok/pembalut jika diperlukan
2. Fluid balance 2. Pertahankan catatan intake dan output
dengan
3. Hydration
yang akurat
menurunnya
Setelah diberikan 3. Pasang urin kateter jika diperlukan
laju filtrasi 4. Monitor hasil Lab yang sesuai dengan
asuhan keperawatan
glomerulus, retensi cairan (BUN, Hmt , osmolalitas
selama ….x….
meningkatnya urin )
diharapkan
5. Monitor status hemodinamik termasuk
produksi ADH keseimbangan volume CVP, MAP, PAP, dan PCWP
6. Monitor vital sign
dan retensi cairan dapat
7. Monitor indikasi retensi / kelebihan
natrium/air. dipertahankan
cairan (cracles, CVP , edema, distensi
Kriteria hasil
vena leher, asites)
1. Terbebas dari 8. Kaji lokasi dan luas edema
9. Monitor masukan makanan/cairan dan
edema, efusi,
hitung intake kalori harian
anaskara
10. Monitor status nutrisi
2. Bunyi nafas bersih,
11. Berikan diuretik sesuai interuksi
tidak ada dyspneu/ 12. Batasi masukan cairan pada keadaan
ortopneu hiponatrermi dilusi dengan serum Na <
3. Terbebas dari
130 mEq/L
distensi vena 13. Kolaborasi dokter jika tanda cairan
jugularis, reflek berlebih muncul memburuk
hepatojugular (+)
4. Memelihara tekanan Fluid Monitoring
vena sentral, 1. Tentukan riwayat jumlah dan tipe intake
tekanan kapiler cairan dan eliminasi
paru, output jantung 2. Tentukan kemungkinan faktor resiko dari
dan vital sign dalam ketidak seimbangan cairan (Hipertermia,
batas normal terapi diuretik, kelainan renal, gagal
5. Terbebas dari jantung, diaporesis, disfungsi hati, dll )
kelelahan, 3. Monitor berat badan
4. Monitor serum dan elektrolit urine
kecemasan atau 5. Monitor serum dan osmilalitas urine
kebingungan 6. Monitor BP, HR, dan RR
6. Menjelaskan 7. Monitor tekanan darah orthostatik dan
indikator kelebihan perubahan irama jantung
8. Monitor parameter hemodinamik infasif
cairan 9. Catat secara akutar intake dan output
10. Monitor adanya distensi leher, rinchi,
eodem perifer dan penambahan BB
11. Monitor tanda dan gejala dari edema
12. Beri obat yang dapat meningkatkan
output urin
5. Intoleransi NOC : NIC :
aktivitas 1. Energy Energy Management
berhubungan Conservation 1. Observasi adanya pembatasan klien
2. Self Care : ADLs
dengan dalam melakukan aktivitas
Setelah diberikan 2. Dorong anal untuk mengungkapkan
kelemahan
asuhan keperawatan perasaan terhadap keterbatasan
3. Kaji adanya factor yang menyebabkan
selama ….x….
kelelahan
diharapkan terjadi
4. Monitor nutrisi dan sumber energi yang
peningkatan toleransi
adekuat
pada klien setelah 5. Monitor pasien akan adanya kelelahan
dilaksanakan tindakan fisik dan emosi secara berlebihan
6. Monitor respon kardiovaskuler terhadap
keperawatan selama di
aktivitas
RS
7. Monitor pola tidur dan lamanya
Kriteria Hasil :
tidur/istirahat pasien
1. Berpartisipasi dalam
aktivitas fisik tanpa Activity Therapy
disertai peningkatan 1. Kolaborasikan dengan Tenaga
tekanan darah, nadi Rehabilitasi Medik dalam merencanakan
dan RR progran terapi yang tepat.
2. Mampu melakukan 2. Bantu klien untuk mengidentifikasi
aktivitas sehari hari aktivitas yang mampu dilakukan
(ADLs) secara 3. Bantu untuk memilih aktivitas konsisten
mandiri yangsesuai dengan kemampuan fisik,
psikologi dan social
4. Bantu untuk mengidentifikasi dan
mendapatkan sumber yang diperlukan
untuk aktivitas yang diinginkan
5. Bantu untuk mendpatkan alat bantuan
aktivitas seperti kursi roda, dll
6. Bantu untuk mengidentifikasi aktivitas
yang disukai
7. Bantu klien untuk membuat jadwal
latihan di waktu luang
8. Bantu pasien/keluarga untuk
mengidentifikasi kekurangan dalam
beraktivitas
9. Sediakan penguatan positif bagi yang
aktif beraktivitas
10. Bantu pasien untuk mengembangkan
motivasi diri dan penguatan
11. Monitor respon fisik, emoi, social dan
spiritual

Belum ada implementasi dan evaluasi


DAFTAR PUSTAKA

Cerlinskaite, K. et al. 2018. Acute Heart Failure Management, 48(6), pp, 463-480

Dickstein K, Cohen SA, Filippatos G, McMurray JJV, Ponikowski P, Atar D et al.


2008. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic
heart failure 2008. European Journal of Heart Failure [serial on the internet].
Hanafiah, A. 2006. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Heart Failure Society of America. 2010. Evaluation and management of patients with
acute decompensated heart failure: HFSA 2010 comprehensive heart failure
practice guideline. J Card Fail. 2010;16:e134-e156.
Kasron. 2016. Buku Ajar Keperawatan Sistem Kardiovaskuler. Jakarta : TIM

Muttaqin, A. 2014. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Kardiovaskuler.


Jakarta: Salemba Medika

PERKI. 2015. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. Edisi I. Jakarta : Perhimpunan


Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia

Putra, Semara. 2012. Asuhan Keperawatan pada Pasien ADHF. Jakarta : ECG.
Yudanardi, M. R. R., Setiawan, A,. and Sofia, S. 2016. Hubungan Tingkat Adiksi
Merokok dengan Derajat Keparahan Aterosklerosis pada Pasien Penyakit
Jantung Koroner, Kedokteran Diponegoro, 5(4), pp.1207-1213. Available at :
http;//ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/medico.

Anda mungkin juga menyukai