Anda di halaman 1dari 11

Pencegahan Pimer, Sekunder, dan Tesier pada Sistem Gastrotistenal pada Penyakit

Diare

A. Pengertian Diare
Diare adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme termasuk bakteri,
virus dan parasit lainnya seperti jamur, cacing, dan protozoa. (Amirudin 2008) Diare ditandai
dengan buang air besar dalam bentuk cairan lebih dari tiga kali dalam satu hari dan biasanya
berlangsung selama dua hari atau lebih. Pada bayi, volume tinja lebih dari 15 g/kg/24 jam
disebut diare. Pada umur 3 tahun, yang volume tinjanya sudah sama dengan volume orang
dewasa, volume lebih dari 200 g/24 jam disebut diare. (Behrman dkk, 2003) Sedangkan
American Academy of Pediatrics (AAP) mendefinisikan diare dengan karakteristik
peningkatan frekuensi dan atau perubahan konsistensi, dapat disertai atau tanpa gejala dan
tanda seperti mual, muntah, demam atau sakit perut yang berlangsung selama 3 – 7 hari.
(Subijanto dkk, 2005) Disamping itu ada juga klasifikasi yang lain berdasarkan organ yang
terkena infeksi yaitu:
a. Diare infeksi eksternal atau diare karena infeksi di usus (bakteri, virus,parasit).
b. Diare infeksi parental atau diare karena infeksi diluar usus (otitis, media, infeksi
saluran pernapasan, infeksi saluran urin dan lainnya). (Suharyono, 2008).

Departemen Kesehatan (2000), mengklasifikasikan jenis diare enjadi 4 kelompok yaitu:


1. Diare akut: yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari (umumnya kurang dari 7
hari).
2. Disentri: yaitu diare yang disertai darah dalam tinjanya,
3. Diare persisten: yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari secara terus menerus.
4. Diare dengan masalah lain, anak yang menderita diare (diare akut dan persisten)
mungkin juga disertai penyakit lain seperti demam, gangguan gizi atau penyakit
lainnya.

B. Etiologi
Penyebab diare dapat berupa:
1. Faktor infeksi
a. Infeksi enteral, infeksi saluran pencernaan makaan yang merupakan penyebab utama diare
pada anak, memiputi:
1) Infeksi bakteri vibrio, E.Coli, Salmonella, Shigella, Campylobacter, Yersinia, Aeromonas,
dan sebagainya.
2) Infeksi virus seperti Enterovirus (virus ECHO, Coxsackie, Polimyelitis) Adeno-virus,
Rotavirus, dan lain-lain
3) Infeksi parasit sperti cacing, protozoa, dan jamur.

b. Infeksi parenteral ialah infeksi di luar alat pencernaan amakanan seperti otitis media kaut
(OMA), tonsilofaringitis, bronkopneumonia, ensefalitis, dan sebagainya. Keadaaan ini
terutama terdapat pada bayi dan anak berumur dibawah 2 tahun.

2. Faktor malabsorbsi
a. Malabsorbsi, karbohidrat, monosakarida. Pada anak bayi dan anak yang terpenting dan
tersering intoleransi laktosa.
b. Malabsorbsi lemak
c. Malabsorbsi protein

3. Faktor makanan

5. Faktor psikologis, rasa takut dan cemas (Ngastiyah, 2005).


Etiologi diare, pada 25 tahun yang lalu sebagian besar belum diketahui, akan tetapi
kini, telah lebih dari 80% penyebabnya telah diketahui. Pada saat ini telah dapat
diindetifikasi tidak kurang dari jenis 25 jenis mikroorganisme yang dapat menyebabkan
diare pada bayi dan anak. Penyebab itu dapat digolongkan lagi kedalam penyakit
ditimbulkan adanya virus, bakteri, dan parasit usus. Penyebab utama oleh virus yang
terutama ialah Rotavirus (40-60%) sedangkan virus lainya ialah virua Norwalk,
Astrovirus, Calcivirus, Coronavirus, Minirotavirus dan virus bulat kecil.

C. Gejala Diare
Diare dapat menyebabkan hilangnya sejumlah besar air dan elektrolit, terutama natrium
dan kalium dan sering disertai dengan asidosis metabolic. Dehidrasi dapat diklasifikasikan
berdasarkan deficit air dan kseseimbangan serum elektrolit. Setiap kehilangan berat badan
yang melampai 1% dalam sehari merupakan hilangnya air dari tubuh. Kehidupan bayi jarang
dapat dipertahankan apabila defisit melampaui 15% (Soegijanto, 2002).
Gejala diare adalah tinja encer dengan frekuensi 4 kali atau lebih dalam sehari, yang
kadang disertai muntah, badan lesu atau lemah, panah, tidak nafsu makan, dan lendir dalam
kotoran, rasa mual dan muntah-muntah dapat mendahului diare yang disebabkan oleh infeksi
virus. Infeksi bisa secara tiba-tiba menyebabkan diare, muntah, tinja berdarah, demam,
penurunan nafsu makan atau kelesuan. Selain itu, dapat pua mengalami sakit perut dan
kejang perut, serta gejala-gejala ain seperti flu misalnya agak demam, nyeri otot atau kejang,
dan sakit sakit kepala. Gangguan bakteri dan parasit kadang-kadang menyebabkan tinja
mengandung darah atau demam tinggi (Amiruddin, 2007

D. Pencegahan Penyakit Diare


Pada dasarnya ada tiga tingkatan pencegahan penyakit secara umum yakni: pencegahan
tingkat pertama, yang meliputi promosi kesehatan dan pencegahan khusus, pencegahan
tingkat kedua yang meliputi diagnosis dini serta pengobatan yang tepat, dan pencegahan
tingkat ketiga yang meliputi pencegahan terhadap cacat dan rehabilitasi (Nasry Noor, 1997).

1. Pencegahan primer
Pencegahan penyakit diare dapat ditujukan pada faktor penyebab lingkungan dan
faktor penjamu. Untuk faktor penyebab dilakukan berbagai upaya agar mikroorganisme
penyebab diare dihilangkan. Peningkatan air bersih dan sanitasi lingkungan, perbaikan
lingkungan biologis dilakukan untuk memodifikasimlingkungan. Untuk meningkatkan daya
tahan tubuh dari penjamu maka dapat dilakukan peningkatan status gizi dan pemberian
imunisasi

2. Pencegahan sekunder
Pencegahan tingkat kedua ini ditujukan kepada sianak yang telah menderita diare atau
yang terancam akan menderita yaitu dengan menentukan diagnosa dini dan pengobatan yang
cepat dan tepat, serta untuk mencegah terjadinya akibat samping dan komplikasi.

3. Pencegahan tersier
Pencegahan tingkat ketiga adalah penderita jangan sampai mengalami kecatatan dan
kematian akibat dehidrasi. Jadi pada tahap ini penderita diarediusahakan pengambilan fungsi
fisik, psikologis semaksimal mungkin. Pada tingkat ini juga dilakukan usaha rehabilitasi
untuk mencegah terjadinya akibat samping dari diare (Nasry Noor, 1997).
Pencegahan Pimer, Sekunder, dan Tesier pada Sistem Endokin pada Penyakit Diabetes
Melitus

A. Definisi Diabetes Melitus


Diabetes Melitus (DM) adalah kumpulan penyakit metabolik yang ditandai dengan
hiperglikemia akibat adanya gangguan sekresi insulin, kerja insulin, ataupun keduanya.
Hiperglikemia tersebut berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, dan
kegagalan berbagai organ terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah. DM tipe
2 ini membentuk 90 - 95% dari semua kasus diabetes, dahulu disebut DM non-dependen
insulin atau diabetes onset dewasa. Diabetes ini meliputi individu yang memiliki resistensi
insulin dan biasanya mengalami defisiensi insulin relatif atau kekurangan insulin pada
awalnya dan sepanjang masa hidupnya, individu ini tidak membutuhkan pengobatan insulin
untuk bertahan hidup. Ada banyak kemungkinan berbeda yang menyebabkan timbulnya
diabetes ini. Walaupun etiologi spesifiknya tidak diketahui, tetapi pada diabetes tipe ini tidak
terjadi destruksi sel beta. Kebanyakan pasien yang menderita DM tipe ini mengalami
obesitas, dan obesitas dapat menyebabkan beberapa derajat resistensi insulin (ADA, 2013).

B. Klasifikasi dan Etiologi Diabetes Melitus


DM secara garis besar dikelompokkan menjadi empat, yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM
tipe lain dan DM gestasional. DM tipe 1 terjadi oleh karena adanya destruksi sel beta,
umumnya menjurus ke defisiensi insulin (ADA, 2012). DM tipe 1 merupakan 5-10% dari
keseluruhan kasus DM (ADA, 2013). Manakala, DM tipe 2 terjadi sebagai hasil dari
gangguan sekresi insulin yang progresif yang menjadi latar belakang terjadinya resistensi
insulin. DM tipe lain memasukkan jenis DM dengan etiologi seperti gangguan genetik pada
fungsi sel β, gangguan genetik pada kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas (cystic
fibrosis), dan yang dipicu oleh obat atau bahan kimia (seperti dalam pengobatan HIV/AIDS
atau setelah transplantasi organ). DM gestasional adalah DM yang berkembang saat
kehamilan (ADA, 2012).

C. Faktor Resiko Diabetes Melitus


Faktor risiko diabetes terdiri dari faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi dan yang bisa
dimodifikasi.
Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi :
1. Ras dan etnik.
2. Riwayat keluarga dengan diabetes (anak penyandang diabetes).

3. Umur. Risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring dengan


meningkatnya usia. Usia > 45 tahun harus dilakukan pemeriksaan DM.

4. Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4000 gram atau riwayat pernah
menderita DM gestasional.

5. Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg. Bayi yang lahir dengan
berat badan rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding dengan bayi lahir
dengan berat badan normal.

Faktor risiko yang bisa dimodifikasi:


1. Berat badan lebih (IMT > 23 kg/m2).

2. Kurangnya aktivitas fisik.

3. Hipertensi (> 140/90 mmHg).

4. Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL).

5. Diet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan
meningkatkan risiko menderita prediabetes dan DM tipe 2.

Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes :


1. Penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait
dengan resistensi insulin.

2. Penderita sindrom metabolik memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT)


atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya. Memiliki riwayat penyakit
kardiovaskular, seperti stroke, PJK, atau PAD (Peripheral Arterial Diseases)
(PERKENI, 2011).

D. Patofisiologi Diabetes Melitus


DM tipe 2 ditandai dengan gangguan sekresi insulin, resistensi insulin, produksi glukosa
hepatik yang berlebihan, dan abnormal metabolisme lemak. Obesitas, khususnya visceral atau
pusat (yang dibuktikan dengan rasio pinggul/pinggang), sangat umum di DM tipe 2. Pada
tahap awal gangguan, toleransi glukosa tetap mendekati normal, meskipun resistensi insulin,
karena sel-sel β pankreas mengkompensasi dengan meningkatkan produksi insulin.
Resistensi insulin dan kompensasi hiperinsulinemia, pankreas pada individu tertentu
tidak dapat mempertahankan keadaan hiperinsulinemia. Toleransi glukosa terganggu (TGT),
ditandai dengan peningkatan glukosa postprandial, kemudian berkembang. Lebih lanjut,
penurunan sekresi insulin dan peningkatan produksi glukosa hepatik menyebabkan diabetes
dengan hiperglikemia puasa. Akhirnya, kegagalan sel β mungkin terjadi (Powers, 2008).

E. Manifestasi Klinis Diabetes Melitus


Gejala hiperglikemia ditandai dengan poliuria, polidipsia, penurunan berat badan,
kadang-kadang dengan polifagia, dan penglihatan kabur. Penurunan pertumbuhan dan
kerentanan terhadap infeksi tertentu juga dapat menyertai hiperglikemia kronik. Konsekuensi
dari diabetes yang tidak terkontrol yang mampu mengancam jiwa adalah hiperglikemia
dengan ketoasidosis atau sindrom hiperosmolar non ketotik.
Komplikasi jangka panjang dari diabetes termasuk retinopati dengan potensi kehilangan
penglihatan; nefropati menyebabkan gagal ginjal; neuropati perifer dengan risiko ulkus kaki,
amputasi, dan sendi Charcot; dan neuropati otonom menyebabkan gejala gastrointestinal,
urogenital, dan jantung dan disfungsi seksual . Pasien dengan diabetes memiliki peningkatan
kejadian kardiovaskular aterosklerotik, arteri perifer, dan serebrovaskular penyakit.
Hipertensi dan kelainan metabolisme lipoprotein sering ditemukan pada penderita diabetes
(ADA, 2013).

F. Diagnosis Diabetes Melitus


Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM perlu
dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia, dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain dapat berupa
lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus
vulvae pada wanita.
Diagnosis DM berdasarkan PERKENI (2011) dapat ditegakkan melalui tiga cara:
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200
mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.

2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik.

3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa
lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa,
namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan
berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan
persiapan khusus.

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada hasil
yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu
(TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
1. TGT
Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa
plasma 2 jam setelah beban antara 140 – 199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).
2. GDPT
Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa
didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6 – 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula darah 2
jam < 140 mg/dL. Cara pemeriksaan TTGO (Test Toleransi Glukosa Oral) sesuai dengan
PERKENI (2011).
 Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari
(dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa.
 Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air
putih tanpa gula tetap diperbolehkan.
3. Diperiksa kadar glukosa darah puasa.

4. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak), dilarutkan
dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit.

5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah
minum larutan glukosa selesai.

6. Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa.

7. Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok
(PERKENI, 2011).

G. Penatalaksanaan Diabetes Melitus


Tujuan penatalaksanaan secara umum menurut PERKENI (2011) adalah
meningkatkannya kualitas hidup penderita DM. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu
dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui
pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan
perilaku. Penatalaksanaan dikenal dengan empat pilar utama pengelolaan DM, yang meliputi
edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis. Pengelolaan DM
dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu).
Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis
dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO
dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam
keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang
menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan (PERKENI, 2011).

H. Pencegahan Diabetes Melitus


Menurut PERKENI (2011), pencegahan DM tipe 2 terdiri dari pencegahan primer,
sekunder, dan tersier.
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang memiliki faktor
risiko, yakni mereka yang belum terkena, tetapi berpotensi untuk mendapat DM dan
kelompok intoleransi glukosa. Materi penyuluhan meliputi antara lain sebagai berikut:
1. Program penurunan berat badan.
Pada seseorang yang mempunyai risiko diabetes dan mempunyai berat badan lebih,
penurunan berat badan merupakan cara utama untuk menurunkan risiko terkena DM
tipe 2 atau intoleransi glukosa. Beberapa penelitian menunjukkan penurunan berat
badan 5-10% dapat mencegah atau memperlambat munculnya DM tipe 2.
2. Diet sehat.

a. Dianjurkan diberikan pada setiap orang yang mempunyai risiko.

b. Jumlah asupan kalori ditujukan untuk mencapai berat badan ideal.

c. Karbohidrat kompleks merupakan pilihan dan diberikan secara terbagi dan seimbang
sehingga tidak menimbulkan puncak (peak) glukosa darah yang tinggi setelah makan.

d. Mengandung sedikit lemak jenuh, dan tinggi serat larut.


3. Latihan jasmani.

 Latihan jasmani teratur dapat memperbaiki kendali glukosa darah, mempertahankan


atau menurunkan berat badan, serta dapat meningkatkan kadar kolesterol HDL.

 Latihan jasmani yang dianjurkan dikerjakan sedikitnya selama 150 menit/minggu


dengan latihan aerobik sedang (mencapai 50-70% denyut jantung maksimal), atau 90
menit/minggu dengan latihan aerobic berat (mencapai denyut jantung > 70%
maksimal). Latihan jasmani dibagi menjadi 3-4 x aktivitas/minggu.

4. Menghentikan merokok.
Merokok merupakan salah satu risiko timbulnya gangguan kardiovaskular. Meskipun
merokok tidak berkaitan secara langsung dengan timbulnya intoleransi glukosa, tetapi
merokok dapat memperberat komplikasi kardiovaskular dari intoleransi glukosa dan DM tipe
2 (PERKENI, 2011).

2. Pencegahan sekunder

Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit pada
pasien yang telah menderita DM. Dilakukan dengan pemberian pengobatan yang cukup dan
tindakan deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan penyakit DM. Dalam upaya
pencegahan sekunder program penyuluhan memegang peran penting untuk meningkatkan
kepatuhan pasien dalam menjalani program pengobatan dan dalam menuju perilaku sehat.
Untuk pencegahan sekunder ditujukan terutama pada pasien baru.
Salah satu penyulit DM yang sering terjadi adalah penyakit kardiovaskular, yang
merupakan penyebab utama kematian pada penyandang diabetes. Selain pengobatan terhadap
tingginya kadar glukosa darah, pengendalian berat badan, tekanan darah, profil lipid dalam
darah serta pemberian antiplatelet dapat menurunkan risiko timbulnya kelainan
kardiovaskular pada penyandang diabetes (PERKENI, 2011).

3. Pencegahan tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah mengalami
penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut. Upaya rehabilitasi pada
pasien dilakukan sedini mungkin, sebelum kecacatan menetap. Sebagai contoh aspirin dosis
rendah (80-325 mg/hari) dapat diberikan secara rutin bagi penyandang diabetes yang sudah
mempunyai penyulit makroangiopati. Pada upaya pencegahan tersier tetap dilakukan
penyuluhan pada pasien dan keluarga. Materi penyuluhan termasuk upaya rehabilitasi yang
dapat dilakukan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal.
Pencegahan tersier memerlukan pelayanan kesehatan holistic dan terintegrasi antar
disiplin yang terkait, terutama di rumah sakit rujukan. Kolaborasi yang baik antar para ahli di
berbagai disiplin seperti jantung dan ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi,
rehabilitasi medis, gizi, podiatris dan lain-lain sangat diperlukan dalam menunjang
keberhasilan pencegahan tersier (PERKENI, 2011).
TUGAS INDIVIDU

TENTANG

PENCEGAHAN PRIMER, SEKUNDER DAN TERSIER PADA SISTEM


GASTROTESTINAL DAN SISTEM ENDOKRIN

DI SUSUN OLEH

NAMA: BAHARUDIN NURLETE

NPM: 1420116023

PRODI: KEPERAWATAN

SEMESTER: VII

KELAS: PAGI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes)


MALUKU HUSADA
KAIRATU
2019

Anda mungkin juga menyukai