Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan salah satu Indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan suatu
masyarakat atau bangsa. Paradigma sehat dewasa ini yang dipromosikan menghendaki terjadinya
perubahan pola pikir masyarakat dari mengobati penyakit menjadi memelihara atau menjaga
kesehatan agar tidak sakit, oleh sebab itu Pemahaman mengenai penyakit dan cara mencegahnya
perlu disebarluaskan pada masyarakat.
Salah satu aspek kesehatan pada akhir abad ke-20 yang merupakan bencana bagi manusia
adalah munculnya penyakit yang disebabkan oleh suatu virus yaitu HIV (Human
Immunodeficiency Virus) yang dapat menyebabkan AIDS (Aquarired Immunodeficiensy
Syndrome). WHO pada tahun 2003 mengestimasikan 37,8 juta orang terinfeksi HIV/AIDS. Pada
akhir tahun 2005, estimasi menjadi 53,6 juta, dan pada tahun 2007 dengan jumlah 33 juta orang
terinfeksi, tetapi yang sudah meninggal 23 juta (UNAIDS, 2008).
Kasus di Indonesia penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh ini, senantiasa
meningkat dari tahun ke tahun, bahkan Indonesia merupakan negara dengan penyebaran HIV
dan AIDS tercepat di Asia (Yunanto, 2008).
Data Ditjen Pengendalian Penyakit dan Pengendalian Lingkungan Departemen Kesehatan
(PP & PL Depkes) selama sepuluh tahun terakhir, jumlah penderita AIDS terus meningkat.Pada
Desember 2007 Pengidap HIV positif berjumlah 6.066 orang dengan penderita AIDS sebanyak
11.141 orang, dan meningkat pada September 2008 mencapai 14.928 orang. Secara kumulatif
kasus AIDS yang dilaporkan sampai tanggal 30 Juni 2010 berjumlah 21.770 dengan jumlah
kematian 4.128. Peningkatan jumlah ini sangat menonjol pada kelompok umur 20-29 tahun dari
8.187 pada tahun 2008 menjadi 10.471 pada tahun 2010 selain itu jumlah HIV/AIDS yang
tercatat di kalangan homo-biseksual (termasuk waria) juga meningkat yaitu 609 kasus pada
tahun 2008 menjadi 718 pada tahun 2010 (Ditjen PPM & PL Depkes RI, 2008, 2010).
Sulawesi Selatan termasuk Provinsi yang memiliki Penularan HIV/AIDS yang tinggi. Pada
tahun 2008 menempati peringkat ke-16 secara nasional dengan 143 kasus AIDS dan meningkat
di Tahun 2010 dengan menempati posisi ke-8 dengan jumlah penderita sebanyak 591 kasus
(Ditjen PPM & PL Depkes RI, 2010).
Dari 23 kabupaten/kota di Sul-sel, Kabupaten Bulukumba memiliki jumlah penderita
HIV/AIDS sebanyak 32 kasus di tahun 2008 dan merupakan tertinggi ketiga setelah Makassar
dan Pare-pare. Di tahun 2009 jumlah penderita meningkat menjadi 69 kasus dan pada bulan
April 2010 bertambah menjadi 75 kasus (KPAD, 2010).
Kab.Bulukumba termasuk dalam 21 daerah provinsi yang telah mengeluarkan perda AIDS
yang dituangkan dalam perda No 5 Tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV/AIDS yang
didalamnya mengatur penyampaian informasi, komunikasi dan edukasi pada masyarakat tentang
HIV/AIDS, serta melaksanakan pemeriksaan tes HIV/AIDS terhadap kelompok rawan dan
berisiko tinggi, termasuk didalamnya PSK dan Waria (Harahap, 2010).
Penyakit yang kemunculannya seperti fenomena gunung es (iceberg phenomena), yaitu
jumlah penderita yang dilaporkan jauh lebih kecil daripada jumlah sebenarnya telah menyebar di
sebagian besar provinsi di Indonesia. Penularan HIV paling banyak terjadi melalui hubungan
seksual yang tidak sehat terutama seks antar lelaki, termasuk waria yang mencapai 60%, dan
penularan melalui jarum suntik 30% ( KPA, 2009).
Hubungan seksual, baik heteroseksual maupun homoseksual adalah model utama penularan
HIV. Tidak dapat dipungkiri perilaku seksual di kelompok risiko tinggi komunitas waria
memberikan kontribusi penularan HIV/AIDS yang signifikan. Penularan HIV melalui seks anal
dilaporkan memiliki risiko 10 kali lebih tinggi dari seks vaginal. Menurut Yayasan Riset AIDS
Amerika, AMFAR menyimpulkan, waria ternyata berisiko 19 kali lebih besar tertular penyakit
HIV dibanding masyarakat umum(Rabudiarti, 2007).
Departemen Kesehatan memperkirakan jumlah waria di Indonesia sebesar 20.960 hingga
35.300 orang . Pada tahun 2007, sesuai dengan data yang dimiliki Persatuan Waria Republik
Indonesia jumlah waria yang terdata dan memiliki Kartu Tanda Penduduk mencapai 3,887 juta
jiwa. Menurut Survei Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP) terkait prevalensi HIV di Tiga Kota
di Indonesia tahun 2007, Di Jakarta tercatat 34% waria positif HIV, disusul Surabaya dengan
25%, dan Bandung 14%. Hasil Penelitian sebelumnya yang dilakukan di Kota Pontianak tahun
2007 dari 10 waria ditemukan 5 waria terinfeksi HIV (Rabudiarti, 2007).
Keberadaan waria tersebar di beberapa wilayah di Indonesia termasuk Sulawesi-Selatan.
Jumlah waria di Sulawesi-Selatan sangat sulit diketahui secara pasti karena jumlahnya terus
meningkat, namun diperkirakan mencapai 15.000 orang yang tersebar di beberapa
kota/kabupaten termasuk Bulukumba. Kabupaten Bulukumba memiliki jumlah waria yang
terdaftar menurut ketua Ikatan waria Bulukumba sampai tahun 2010 ini kurang lebih mencapai
300 orang dan yang telah terdeteksi positif HIV melaluiVoluntary Conseling and Testing (VCT)
sebanyak dua orang.
Berdasarkan data STBP 2007 menunjukkan Tingkat pengetahuan waria terhadap upaya-
upaya pencegahan penularan HIV dan IMS menunjukkan tingkat sedang, tetapi pengetahuan
mengenai HIV/IMS ini cenderung rendah. Waria cenderung menyadari adanya manfaat dari
kondom, namun mereka tidak selalu tahu bagaimana cara menggunakannya dengan benar. Hasil
penelitian di Bandung lebih dari 90% Waria mengetahui bahwa kondom melindungi mereka
dari infeksi HIV.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan di kota Abepura Papua dan Sorong diperoleh hasil
dari 15 waria yang jadi informan, hanya 3 Waria di Abe dan 2 waria disorong yang memakai
kondom ketika berhubungan seks.Begitupun dengan Data STBP 2007 menunjukkan pemakaian
kondom pada waria saat berhubungan seks tidak mencapai 50% dengan hasil di Jakarta hanya
13% dan Bandung 48%. Salah satu hal yang mendasari adalah kenyamanan dan kepuasan
mereka berhubungan seks terganggu jika menggunakan kondom (Djoht, 2003).
Selain melalui hubungan seksual, penularan HIV/AIDS juga terjadi melalui jarum suntik
(Napza). Pada STBP 2007 diperoleh data Proporsi waria yang menggunakan napza suntik sekitar
2% di empat kota besar yaitu Bandung, Surabaya, Malang, dan Semarang. Hal ini didasari
karena waria cenderung lebih menjaga kecantikan kulit mereka, jika harus menggunakan
narkoba suntik maka itu berarti akan meninggalkan bekas suntikan dikulit, berbeda dengan napza
suntuk, kecenderungan waria menggunakan napza non suntik lebih besar yaitu sekitar 17% di
Kota Jakarta. Pada dasarnya waria cenderung menggunakan pemanasan hubungan seksual
dengan minuman keras, hirup lem, isap ganja dan nonton VCD porno, yang tentunya sangat
berisiko terhadap kesehatan, apalagi kecenderungan berganti-ganti pasangan lebih mudah
dilakukan dalam kondisi hubungan seks yang diselingi dengan minuman dan narkoba yang
tertunya berdampak pada resiko penularan HIV/AIDS (Djoht, 2003).
Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa waria merupakan kelompok yang berisiko terhadap
peningkatan jumlah kasus HIV/AIDS, khusus untuk wilayah Kabupaten Bulukumba akan sangat
berpotensi mengalami peningkatan kasus HIV/AIDS karena jumlah waria yang relatif
banyak diperkirakan mencapai 300 waria. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk menganalisis
lebih lanjut tentang perilaku waria dalam Upaya pencegahan HIV/AIDS di
Kabupaten Bulukumba.
B. Rumusan Masalah
Informasi mengenai HIV/AIDS sangat penting untuk diketahui masyarakat, khususnya bagi
mereka yang memiliki resiko tinggi seperti waria. Pemahaman Waria serta akses informasi
terhadap HIV/AIDS tentunya akan berpengaruh terhadap Upaya pencegahan dari infeksi virus
tersebut. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah perilaku waria dalam upaya pencegahan
HIV/AIDS di Kabupaten Bulukumba.
C. Tujuan Penelitian
1 Tujuan Umum
Diperolehnya Informasi tentang perilaku waria dalam upaya pencegahan HIV/AIDS
di Kabupaten Bulukumba.
2. Tujuan Khusus
a. Diperolehnya informasi tentang pemahaman waria terhadap HIV/AIDS.
b. Diperolehnya informasi tentang penggunaan alat pencegah HIV/AIDS oleh waria
c. Diperolehnya informasi tentang penyalahgunaan obat yang sering dilkukan waria
d. Diperolehnya informasi tentang tindakan ganti-ganti pasangan pada waria
e. Diperolehnya informasi tentang Akses waria dalam memperoleh informasi pencegahan
HIV/AIDS.

3. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
Dapat memberikan informasi atau masukan kepada instansi berwenang sebagai
pengambil kebijakan dalam hal ini ialah Dinas Kesehatan kabupaten Bulukumba dalam
rangka Penentuan kebijakan dalam upaya pencegahan HIV/AIDS khususnya pada
kelompok berisiko seperti waria.
2. Manfaat Ilmu Pengetahuan
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan bahan bacaan bagi
masyarakat dan peneliti berikutnya mengenai Perilaku Waria dalam upaya Pencegahan
HIV/AIDS di Kabupaten Bulukumba.
3. Manfaat Bagi peneliti
Penelitian ini merupakan pengalaman berharga bagi peneliti dalam rangka memperluas
pengetahuan peneliti.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang HIV/AIDS
1. Definisi HIV/AIDS
HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus yang dapat menyebabkan AIDS
dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4 sehingga dapat merusak sistem
kekebalan tubuh manusia yang pada akhirnya tidak dapat bertahan dari gangguan penyakit
walaupun yang sangat ringan sekalipun. HIV menyerang sel CD4 dan merubahnya menjadi
tempat berkembang biak HIV baru kemudian merusaknya sehingga tidak dapat digunakan lagi.
Sel darah putih sangat diperlukan untuk sistem kekebalan tubuh. Tanpa kekebalan tubuh maka
ketika diserang penyakit maka tubuh kita tidak memiliki pelindung. Dampaknya adalah kita
dapat meninggal dunia terkena pilek biasa (Hutapea, 2003).
Menurut Gunawan (dikutip dalam Yana, 2007) AIDS merupakan singkatan dariAcquired
Immune Deficiency Syndrome. Syndrome berarti kumpulan gejala dan tanda-tanda
penyakit. Deficiency berarti kekurangan, sedangkan Immune berarti kekebalan.Acquired artinya
diperoleh atau didapat. Dalam hal ini ’diperoleh’ mempunyai pengertian bahwa AIDS bukan
penyakit keturunan. AIDS dapat diartikan sekumpulan tanda dan gejala penyakit akibat
hilangnya atau menurunnya sistem kekebalan tubuh seseorang.
Ketika kita terkena Virus HIV kita tidak langsung terkena AIDS. Untuk menjadi AIDS
dibutuhkan waktu yang lama, yaitu 5-10 Tahun untuk dapat menjadi AIDS yang mematikan.
Saat ini tidak ada obat, serum maupun vaksin yang dapat menyembuhkan manusia dari Virus
HIV penyebab penyakit AIDS (Ramandey, 2007)

1. Fase Infeksi HIV

a. Seseorang yang sehat terinfeksi HIV

Pada saat terinfeksi HIV, sebagian orang merasa sakit yang mirip demam. Kemudian
sebagian orang merasa sehat tanpa tanda-tanda sakit selama beberapa tahun. Bagaimanapun HIV
masih tetap berada dalam tubuh dan orang tersebut dapat menulari orang lain tanpa orang
tersebut mengetahunya. Setelah kira-kira 3 bulan kebanyakan orang yang mengidap HIV
memproduksi antibody untuk memerangi virus tersebut, tetapi mereka tidak mampu membunuh
HIV tersebut dikarenakan virus tersebut bersembunyi di dalam sel darah putih. Tes darah dapat
mengetahui antibody-antibodi ini. Dalam populasi 100 orang yang terinfeksi HIV, kemungkinan
perkembangan infeksi HIV selama satu tahun akan menyebabkan kematian sebanyak 1 orang.

b. Penyakit-penyakit yang Mungkin Muncul Sehubungan dengan Infeksi HIV.

Seorang pengidap HIV mulai memperlihatkan tanda-tanda penyakitnya setelah 6 bulan atau
setelah beberapa tahun. Tanda-tanda tersebut cukup umum bagi banyak penyakit dan tanda-tanda
itu sendiri tidak dapat digunakan untuk mendiagnosa AIDS. Tanda-tanda tersebut juga biasa
terdapat pada orang yang mengalami penurunan kekebalan tubuh yang disebabkan oleh beberapa
hal selain infeksi HIV. Misalnya kurang gizi, kanker dan reaksi terhadap suatu obat tertentu.
Apabila penyebab-penyebabnya bukan hal tersebut, dokter dapat mendiagnosis AIDS, apabila
orang tersebut memperlihatkan satu atau dua tanda minor (kecil). Tanda-tanda kecil adalah
tanda-tanda yang sering muncul pada penyakitpenyakit lain juga. Orang-orang yang
memperhatikan tanda-tanda tersebut apabila memungkinkan dapat emnjalani tes darah antibody
HIV juga.Tanda-tanda klinis AIDS.Tanda-tanda utama :
1. Kehilangan berat badan lebih dari 10% berat badan.
2. Demam lebih dari satu bulan.
3. Diare lebih dari satu bulan secara terus-menerus.
4. Sering merasa lemah.
Tanda-tanda kecil :

1. Batuk lebih dari satu bulan.


2. Kulit gatal.
3. Rasa dingin di seluruh tubuh.
4. Sariawan pada mulut dan tenggorokan.
5. Pembengkakan kelenjar pada dua tempat atau lebih (selain pangkal paha) lebih dari tiga
bulan (Hakim, 2005).

c. Cara Penularan
HIV menular melalui cairan tubuh seperti darah, semen atau air mani, cairan vagina, air susu
ibu dan cairan lainnya yang mengandung darah.
Nurs (2008) mengemukakan bahwa penularan HIV melalui enam cara yaitu:
a. Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS
b. Ibu pada bayinya
c. Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS

d. Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril

e. Alat-alat untuk menoreh kulit

f. Menggunakan jarum suntik secara bergantian.

Penularan virus HIV dapat melalui berbagai cara seperti yang dikemukakan olehFamily
Health Internasional (2010) diantaranya:

a. Melakukan penetrasi seks yang tidak aman dengan seseorang yang telah terinfeksi.
Kondom adalah satu-satunya cara dimana penularan HIV dapat dicegah.
b. Melalui darah yang terinfeksi yang diterima selama transfusi darah dimana darah tersebut
belum dideteksi virusnya atau pengunaan jarum suntik yang tidak steril.
c. Dengan mengunakan bersama jarum untuk menyuntik obat bius dengan seseorang yang
telah terinfeksi.
d. Wanita hamil dapat juga menularkan virus ke bayi mereka selama masa kehamilan atau

persalinan dan juga melalui menyusui.


Menurut UNAIDS (dalam AVERT, 2010) sekitar 4,7 juta orang yang hidup dengan HIV di
ASIA. Pola penularan HIV tersebut melalui tiga metode yaitu:

a. Hubungan seks tanpa pelindung. Secara umum, laki-laki yang melakukan hubungan
seksual dan tingkat penggunaan kondom selama berhubungan pada beberapa negara
masih rendah. Sekitar 25-40% infeksi baru HIV di beberapa Negara Asia terjadi pada istri
dan pacar seorang pria yang telah terinfeksi dari pekerja seks, seks bebas dengan laki-laki
ataupun melalui jarum suntik (The Commission on AIDS in Asia, 2008).
b. Penggunaan NAPZA suntik. Hal ini adalah faktor paling terbesar dalam penularan HIV
di Asia, terjadi pula di China, Malaysia, Indonesia, dan Vietnam (UNAIDS, 2008).
c. Hubungan seksual antar laki-laki. Terdapat beberapa laporan kasus HIV akibat hubungan

seksual laki-laki antar laki-laki (LSL) di Asia seperti Kamboja, Cina, Nepal, Pakistas,
Thailand, dan Vietnam. LSL dapat menjadi jembatan utama penyebaran HIV di kalangan
wanita karena sangat sulit mengidentifikasinya seperti gay dan homoseksual (AVERT,
2010).
Pada awal perkembangan HIV/AIDS di dunia, pola penularannya terjadi pada kelompok
homoseksual. Hal ini tentu menimbulkan stigma negatif, bahwa HIV/AIDS terjadi akibat
perilaku seksual menyimpang.
Berdasarkan Integrated Bio-Behavioral Surveillance (IBBS) (dikutip dalam National AIDS
Commision Republik of Indonesia, 2009) masyarakat terinfeksi melalui beberapa cara yaitu
sekitar 10,4% hubungan langsung dengan pekerja seks, 4,6% hubungan tidak langsung dengan
pekerja seks, 24,4% waria, 5,2% laki-laki seks dengan laki-laki dan 52,4% dengan penggunaan
jarum suntik.
Berdasarkan data statistik kasus HIV/AIDS yang dilaporkan hingga Juni 2010 penularan
HIV/AIDS tinggi pada kelompok heteroseksual seperti dalam tebel berikut:
Tabel 1 Jumlah Kumulatif Kasus AIDS menurut Faktor Resiko
Dilapor sampai Juni 2010.
Faktor Resiko atau Metode Penularan AIDS
Heteroseksual 10.722
Homo – Biseksual 718
IDU 8.786
Transfusi Darah 20
Transmisi Perinatal 587
Tak dikektahui 937
Sumber data: Ditjen PPM & PL Depkes RI, 2010.

Sedangkan Perilaku hubungan seksual yang dapat beresiko terhadap penularan HIV/AIDS
dan dapat meningkatkan kejadian HIV/AIDS diantaranya (Komisi Penanggulangan AIDS
Nasional, 2009):

a. Tidak menggunakan kondom selama hubungan seksual


b. Hubungan seksual melalui anal (anus) tanpa memakai kondom
c. Hubungan seksual yang menyebabkan lesi pada alat kelamin
d. Berganti-ganti pasangan seks tanpa menggunakan kondom
e. Hubungan seksual yang menggunakan mulut sebagai pengganti vagina.

d. Pengobatan
Pengobatan yang dapat menyembuhkan HIV/AIDS hingga saat ini belum ditemukan
begitupun dengan vaksin yang dapat mencegah penularan HIV. Namun telah ditemukan
beberapa obat yang dapat menghambat infeksi HIV dan beberapa obat secara efektif yang dapat
mengatasi infeksi, yaitu kombinasi tiga obat (triple drugs) adalah obat anti retroviral yang
berfungsi untuk menurunkan jumlah HIV dalam darah, menurunkan aktivitas virus, mengurangi
kerusakan dalam sistem kekebalan tubuh dan hasilnya bisa membuat umur lebih panjang. Namun
perlu diingat bahwa obat antiretroviral tersebut mahal harganya dan harus digunakan secara
disiplin dalam jangka waktu 1,5-3 tahun, karena obat yang diminum secara teratur akan
menyebabkan resistensi (Hutapea,2003).
Waria termasuk dalam kelompok risti (resiko tinggi) terhadap HIV/AIDS oleh karena itu
waria perlu dibekali pemahaman mengenai apa itu HIV/AIDS, bagaimana penularan dan
bagamana mereka dapat terhindar dari infeksi penyakit menular tersebut. Penelitian yang
dilakukan terhadap tiga kota besar dijawa menunjukkan 34% waria posif HIV/AIDS di jakarta
disusul dengan surabaya sebanyak 25% dan bandung 14% (STBP, 2007).

B. Tinjauan Umum Tentang Upaya pencegahan HIV/AIDS


Preventif atau pencegahan penyakit adalah ilmu dan seni mencegah penyakit,
memperpanjang hidup dan meningkatkan kesehatan fisik dan mental dan efisiensi, untuk
berbagai kelompok dan masyarakat oleh petugas kesehatan masyarakat, untuk perorangan dan
keluarga oleh dokter umum dan dokter gigi melalui proses kegiatan perorangan dan masyarakat
(Tahir, 2008).
untuk mengatasi masalah kesehatan termasuk penyakit HIV/AIDS di kenal tiga tahap
pencegahan,Pencegahan primer: promosi kesehatan (health promotion) dan perlindungan khusus
(specific protection). Pencegahan sekunder: diagnosis dini dan pengobatan segera (early
diagnosis and prompt treatment), dan pembatasan cacat (disability limitation). Pencegahan
tersier: rehabilitasi.
1. Pencegahan primer dilakukan pada masa individu belum menderita sakit, upaya yang
dilakukan ialah:
a. Promosi kesehatan/health promotion yang ditujukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh
terhadap masalah kesehatan, seperti gaya hidup yang lebih sehat dengan berolah raga,
b. Perlindungan khusus (specific protection): upaya spesifik untuk mencegah terjadinya
penularan penyakit HIV/AIDS, seperti penggunaan kondom, tidak berganti-ganti pasangan seks,
dll seperti konsep ABCDE yang direkomendasika oleh WHO sebagai berikit :
a. Abstinent
Artinya tidak melakukan hubungan seksual . Mayoritas infeksi HIV berasal dari hubungan
seksual tanpa pelindung antar individu yang salah satunya terkena HIV. Hubungan homoseksual
merupakan salah satu faktor resiko infeksi HIV/AIDS.
Abstinent merupakan salah satu poin dalam seks aman yang memberikan solusi agar
terhindar dari HIV/AIDS dengan tidak berhubungan seks, meskipun sebenarnya hal ini tidaklah
mudah sebab mengingat salah satu kebutuhan biologis manusia adalah seks.
b. Be faithful
Artinya melakukan hubungan seks dengan pasangan saja. Be faithful lebih didasari dengan
kesetiaan terhadap pasangan, tidak berganti-ganti pasangan seks yang dapat meningkatkan resiko
tertular HIV/AIDS.
Bagi waria, memiliki pasangan seks yang setia merupakan satu tantangan tersendiri. Hal ini
dipengaruhi karena kondisi mereka yang sering hanya dijadikan sebagai tempat untuk
menghasilkan uang saja. Oleh karena itu, sebenarnya penting bagi mereka untuk menangguhkan
aktifitas seks sampai mereka menemukan pasangan yang dapat diyakini untuk menjalani
hubungan jangka panjang dan didasari karena kesetiaan.
Be faithful akan mengurangi resiko tertular HIV. Di Uganda antara 1989-1995, Presiden
Museveni melaporkan 20% penurunan mitra seks sejalan dengan 11% penurunan kasus HIV.
c. Condom
Kondom oleh WHO diakui memiliki keefektifan yang tinggi dalam mencegah transmisi HIV
dan AIDS jika digunakan secara benar dan konsisten. Kegagalan kondom biasanya disebabkan
oleh penggunaan yang tidak benar atau tidak konsisten selain disamping karena kerusakan
ataupun kadaluarsa.
Sekitar tahun 1989, yakni pada saat penyebaran virus HIV dan AIDS mulai merajalela tanpa
ada yang bisa membendung, Thailand memberikan satu solusi dengan mensosialisasikan
penggunaan kondom yang kemudian diimplementasikan di beberapa negara Asia, seperti
Kamboja, Vietnam, China, Myanmar, Philipina, Mongolia dan Republik Laos. Kondom diyakini
mampu sebagai penahan laju wabah ini. Hal ini merujuk pada pendapat beberapa ahli seperti
Markus Steiner dan Willard Cates dari Family Health International yang menyatakan bahwa
kondom cukup efektif untu mencegah penularan HIV dan AIDS. Terlebih, hampir separuh dari
penderita HIV dan AIDS ini bermula dari hubungan seksual yang tidak sehat baik homo maupun
heteroseksual (Tawi, 2008) .
Davis dan welle memperkirakan penggunaan kondom dapat menurunkan penularan
HIV/AIDS sebanyak 85% dibanding dengan yang tidak pernah menggunakan kondom. Kondom
tidak berfungsi untuk mematikan HIV. Kondom hanya berfungsi mencegah terjadinya kontak
penyebaran virus secara langsung melalui penghalangan oleh dinding kondom itu. Namun
dengan adanya penghalangan terjadinya kontak cairan kelamin maka penularan virus ini juga
dapat dicegah. Oleh karena itu penggunaan kondom saat berhubungan seks tetap dianjurkan
dalam rangka mencegah penularan penyakit berbahaya ini (Kompas, 2009).
Bersarkan Penelitian yang dilakukan oleh Djoht (2003) Penggunaan kondom di kalangan
waria sangat rendah dari 15 Waria hanya 3 yang memakai kondom ketika hubungan seks. Hal ini
tentu sangat berisiko mengingat perilaku seks pada waria memiliki tingkat resiko tinggi
terjadinya Penyakit menular seksual salah satunya HIV. Penularan HIV melalui seks anal
dilaporkan memiliki risiko 10 kali lebih tinggi dari seks vaginal.
d. Drugs
Artinya tolak penggunaan NAPZA. Laporan AIDS di Asia, yang didukung oleh Asian
Development Bank dan dikoordinasikan dengan Joint United Nations Programme on HIV and
AIDS (UNAIDS), memperingatkan bahwa pengguna narkoba, bertanggung jawab untuk
peningkatan jumlah infeksi HIV di banyak negara di Asia.
Resiko lebih lanjut terletak pada prevalensi tingi penggunaan narkoba non-suntik, seperti
amphetamine stimulan, dimana pengguna sering terlibat dalam perilaku yang menimbulkan
risiko tinggi infeksi HIV, terutama melalui hubungan seks.
Pada STBP 2007 diperoleh data Proporsi waria yang menyuntik napza cukup rendah , yaitu
hanya 2% atau kurang di empat kota besar yaitu Bandung, Surabaya, Malang, dan Semarang. Hal
ini didasari karena waria cenderung lebih menjaga kecantikan kulit mereka, jika harus
menggunakan narkoba suntik maka itu berarti akan meninggalkan bekas suntikan dikulit mereka.
Sedangkan, proporsi pemakaian napza non suntik pada waria juga tergolong rendah, hanya
berkisar 3% di Malang, dan di Jakarta sebesar 17%. Pada dasarnya waria cenderung
menggunakan pemanasan hubungan seksual dengan minuman keras, hirup lem, isap ganja dan
nonton VCD porno, serta konsumsi obat-obatan yang tentunya sangat berisiko terhadap
kesehatan, apalagi kecenderungan berganti-ganti pasangan lebih mudah dilakukan dalam kondisi
hubungan seks yang diselingi dengan minuman dan narkoba yang tertunya berdampak pada
resiko penularan HIV/AIDS (Djoht, 2003).
e. Equipment
Artinya hindari tindik dan tato di tubuh, karena seringkali sebelum jarum digunakan untuk
mentato/menindik seseorang yang sehat, alat itu telah dipakai pada seseorang yang terkena
penyakit menular yang salah satunya HIV.
Pada saat sekarang ini tato dan tindik sudah mulai menjadi bagian dari trendkehidupan masa
sekarang. Berbagai alasan yang melatarbelakangi seseorang memutuskan bersedia di tato atau
ditindik antaralain karena pengaruh lingkungan pergaulan, anggapan sebagai bentuk seni dan
keindahan, bagian dari adat, atau karena kesenangan seseorang dalam bidang melukis yang
kemudian bereksperimen untuk menuangkan hasil karyanya dalam media lainnya yang bukan
kertas melainkan kanvas.
Penindikan menyebabkan pendarahan, luka dan infeksi bakteri. Lokasi penindikan beragam
antara lain lidah, hidung, pusar, putting dan telinga bagian atas. Akibat tusukan jarum tato dan
tindik, sejumlah orang terkena penyakit AIDS, hepatitis B,C, tetanus, sipilis,TBC, dan penyakit
lainnya.
Pembuatan tato di badan dan tindik memberi sumbangan besar dalam penularan HIV/AIDS,
hal ini dikemukakan oleh hasil survei Dr. Bob Haley yang dipublikasikan di journal of
medicine bahwa sebelum jarum dipergunakan untuk mentato dan menindik seseorang yang sehat,
kerap kali alat itu sudah dipakai untuk merajah tubuh seseorang yang terkena penyakit menular
seperti HIV.
2. Pencegahan sekunder dilakukan pada masa individu mulai sakit.
a. Diagnosa dini dan pengobatan segera (early diagnosis and prompt treatment), tujuan utama
dari tindakan ini ialah mencegah penyebaran penyakit bila penyakit ini merupakan penyakit
menular, dan untuk mengobati dan menghentikan proses penyakit, menyembuhkan orang sakit
dan mencegah terjadinya komplikasi dan cacat. Dalam HIV/AIDS terdapat satu layanan
konseling yang dikenal dengan VCT.
b. Pembatasan cacat (disability limitation) pada tahap ini cacat yang terjadi diatasi, terutama
untuk mencegah penyakit menjadi berkelanjutan hingga mengakibatkan terjadinya cacat yang
lebih buruk lagi.
c. Pencegahan tersier
Rehabilitasi, pada proses ini diusahakan agar cacat yang di derita tidak menjadi hambatan
sehingga individu yang menderita dapat berfungsi optimal secara fisik, mental dan sosial.
Adapun skema dari ketiga upaya pencegahan itu dapat di lihat pada gambar dua. Pada gambar
dua proses perjalanan penyakit dibedakan atas a) fase sebelum orang sakit: yang ditandai dengan
adanya keseimbangan antara agen (kuman penyakit, bahan berbahaya), host/tubuh orang dan
lingkungan dan b) fase orang mulai sakit: yang akhirnya sembuh atau mati (Joe, 2009).

C. Tinjauan Umum Tentang Perilaku


1. Defenisi Perilaku
Menurut Notoatmojo perilaku adalah semua kegiatan atau aktifitas manusia baik yang
diamati secara langsung maupun tidak dapat diamati oleh pihak luar. Menurut Bloom perilaku
merupakan faktor terbesar kedua setelah lingkungan yang mempengaruhi kesehatan individu,
kelompok, dan masyarakat( Notoatmojo, 2003).
Menurut Lewrence Green perilaku dilatarbelakangi oleh tiga faktor pokok yakni: faktor-
faktor predisposisi (predisposing factors), factor–faktor yang mendukung (enabling factors) dan
faktor-faktor yang memperkuat atau mendorong ( reinforcing factors). Oleh sebab itu pendidikan
kesehatan sebagai faktor usaha intervensi perilaku harus diarahkan kepada ketiga faktor pokok
tersebut (Notoatmojo, 2003).
1. Bentuk-Bentuk Perilaku
a. covert behavior atau Perilaku Pasif yaitu perilaku yang terjadi di dalam diri manusia dan
tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang lain misalnya berfikir, tanggapan atau sikap batin,
dan pengetahuan.
b. Overt behavior atau perilaku aktif yaitu yaitu perilaku yang jelas dapat diobservasi secara
langsung, perilaku ini sudah tampak dalam bentuk tindakan nyata.
2. Domain Perilaku
Menurut Notoatmojo domain perilaku terbagi menjadi tiga yaitu pengetahuan (Knowledge),
Sikap(attitude), dan Tindakan(Practice).
a. Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil dari “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Adapun tingkatan Domain Pengetahuan (Cognitive
Domain) Menurut Bloom (dikutip dalam Ngatimin,2005) :

1. Tingkat C-1
Pengetahuan (Knowlegde). Bila seseorang hanya mampu menjelaskan secara garis besar apa yg
telah di pelajarinya, sejauh ini hanya istilah – istilah saja.
2. Tingkat C-2
Perbandingan secara menyeluruh (Chomperensive). Bila seseorang berada pada tingkat
pengetahuan dasar. Ia dapat menerangkan kembali secara mendasar ilmu pengetahuan yang telah
dipelajarinya.
3. Tingkat C-3
Penerapan ( Aplication ). Bila seseorang telah berada pada kemampuan untuk menggunakan apa
yang telah di pelajarinya dari suatu situasi ke situasi lainnya.
4. Tingkat C-4
Analisis ( Analysis ). Bila seseorang memiliki kemampuan lebih meningkat lagi .Ia telah mampu
menerangkan bagian – bagian yang menyusun suatu bentuk pengetahuan tertentu dan
menganalisis hubungan satu dengan yang lainnya.
5. Tingkat C-5Sintesis ( Synthesis ). Bila seseorang memiliki disamping kemampuan untuk
menganalisis, iapun mampu menyusun kebentuk semula maupun kebentuk lainnya.
6. Tingkat C -6
Evaluasi ( Evaluation ). Bila seseorang memiliki pengetahuan secara menyeluruh dari semua
bahan yang telah dipelajarinya, bahkan melalui kriteria yang ditentukan, ia mampu mengevaluasi
semua yang pernah ia kerjakan.
Menurut Poerwadarminta dalam Kamus Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa pengetahuan
adalah segala sesuatu yang diketahui setelah melihat dan menyaksikan, mengalami atau diajar.
Pengetahuan juga didukung oleh kesadaran untuk hidup sehat. Sosialisasi hidup sehat yang
mengutamakan upaya pencegahan dalam bentuk promotif dan preventif, menurut Ngatimin
(2002) melalui penyadaran dengan fisiokologik dalam aspek :
a. Mengetahui dengan tepat apa arti penderitaan dan risiko bila seseorang jatuh sakit.
b. Bagaimana mencapai hidup sehat melalui konsep keseimbangan agent, host dan
environment.
c. Mampu berupaya untuk hidup sehat atas dorongan bahwa hidup sehat dan kesehatan dalam
keluarga merupakan hal yang indah, bahagia dan menguntungkan.

b. Sikap (Attitude)
Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus
atau objek. Dari berbagai batasan tentang sikap dapat disimpulkan bahwa manifestasi sikap itu
tidak dapat langsung dilihat. Newcomb salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa
sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksana
motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan
predisposisi tindakan atau perilaku (Notoatmojo, 2003).
Adapun Tingkatan Affective Domain ( Sikap)
menurut Krathwohl (dikutipdalamNgatimin, 2005) adalah :
1. Tingkat A – 1

Penerimaan ( reiceiving ). Bila seseorang berada pada posisi sadar adanya rangsangan dari luar yang menyadarkan

padanya bahwa setelah terjadi sesuatu. Biasanya dengan adannya rangsangan dari luar, akan timbul perhatian.

2. Tingkat A – 2

Penjawaban ( responding ). Bila seseorang berada pada posisi di mana rasa telah mampu merubahnya untuk

member perhatian dan ikut serta.

3. Tingkat A – 3

Memberikan nilai (valuing ). Bila seseorang berada pada posisi merasakan adanya nilai baru dalam masyarakat .

Tetapi pada tingkat ini, nilai belum merupakan nilai yang khas bagi masyarakat bersangkutan.

4. Tingkat A – 4

Pengorganisasian ( organization ). Bila seseorang pada posisi ini serasa nilai yang ada itu telah terorganisasi

menjadi milik masyarakat.

5. Tingkat A – 5

Menentukan adanya kekhususan dalam suatu nilai yang kompleks

( characterization by a value complex ). Bila seseorang pada posisi ini merasakan bahwa masyarakat telah

memiliki suatu nilai khusus dan khas bagi mereka . Menurut Krathwhol, nilai ini tertinggi dan erat dengan cognitive

domain.
C. Tindakan (Practice)
Tindakan adalah hal-hal yang dilakukan terhadap suatu objek. Sebagai reaksi maka sikap
selalu berhubungan dengan dua alternatif, yaitu senang (like) atau tidak senang(dislike), menurut
dan melaksanakan atau menjauhi/menghindari sesuatu (Berkowistz dalam Azwar, 2000). Suatu
sikap belum tentu terwujud dalam suatu tindakan. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan
faktor pendukung seperti fasilitas dan dukungan dari pihak lain.
Adapun tingkatan Psychomotor Domain (Perbuatan) menurut Harrow (dikutip dalam ngatimin 2005)

1. Tingkat P – 1

Persepsi ( perception ). Bila seseorang berada pada posisi mampu mendeteksi kelainan berdasarkan adanya

rangsangan melalui penginderaan, penglihatan ataupun pengecapan. Tingkat ketrampilan pada tingkat ini hanya

sekedar dapat mendeteksi.

2. Tingkat P – 2

Tersusun ( Set ). Bila seseorang berada posisi mampu dalam keadan siap fisik, mental dan emosional terhadap

keadaan tertentu, Ia telah siap untuk bekerja.

3. Tingkat P – 3

Sambutan pada petunjuk bimbingan untuk meniru mencoba ( guided response by immitation trial and error ). Bila

seseorang berada pada posisi memiliki kemampuan untuk mengerkajan sesuatu asalkan dibawah bimbingan

seseorang instruktur.

4. Tingkat P – 4

Berbuat secara mekanis ( mechanism ) bila seseorang berada pada posisi telah siap bekerja dengan amat lancar

seperti mesin saja.

5. Tingkat P – 5

Kemampuan berbuat terampil dan kompleks (complex overt response ).

Bila seseorang telah berada pada tingkat ketrampilan tertinggi . Bekerja sangat terampil tanpa membuat kesalahan

sedikitpun.

Ketiga domain perilaku tersebut di atas menunjukkan bahwa perilaku tidak terlepas dari pengetahuan, sikap dan tindakan.

Oleh karena itu, pemahaman atau pengetahuan waria tentang HIV/AIDS dapat menjadi pertimbangan dalam perilaku mereka.

Sehingga mereka bisa melakukan tindakan pencegahan penularan HIV/AIDS terhadap dirinya maupun orang lain.

Hasil penelitian yang dilakukan Survey Terpadu Biologis Perilaku tahun 2007 terhadap waria di Empat Kota besar

menunjukkan, pada dasarnya waria memiliki pengetahuan yang cukup terhadap tindakan-tindakan pencegahan penularan

HIV/AIDS, namun pengetahuan mereka dalam hal penyakit HIV cenderung rendah . Lebih dari 90% Waria di empat kota

mengetahui bahwa kondom melindungi mereka dari infeksi HIV, 80% atau lebih mengetahui bahwa tindakan mengurangi jumlah

pasangan seksual mereka akan mengurangi risiko infeksi dan 63%-79% mengetahui bahwa seks anal mempunyai risiko yang

lebih tinggi untuk terinfeksi HIV. Meskipun demikian, persepsi yang salah mengenai HIV/AIDS tersebar luas yang ditunjukkan

dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS yang rendah hanya berkisar 11-18%.

D. Tinjauan Umum Tentang Waria


1. Pengertian waria
Dalam pengertian umum waria adalah seorang laki-laki yang berdandan dan berlaku sebagai
wanita.Waria dapat dikatakan sebagai homoseksual secara fisik. Waria adalah seseorang yang
berasumsi bahwa mereka merasa dirinya adalah perempuan sehingga harus berpenampilan
sebagai perempuan (Marwa, dikutip dalam Sari 2008).
2. Sejarah Waria
Sejarah belum pernah mencatat dengan pasti kapan dan dimana kebudayaan waria mulai
muncul. Namun pada bangsa Yunani diketahui adanya kaum waria pada abad ke XVII, yaitu
munculnya beberapa waria kelas elite seperti Raja Henry III dari Prancis, Abbe de Choicy Duta
Besar Prancis di Siam, serta Gubernur New York tahun 1702, Lord Cornbury (Nadia, 2005).
Di Indonesia Kaum waria pada zaman kerajaan Jawa terdahulu termasuk dalam kelompok
yang justru memiliki daya tarik tersendiri karena kelainan yang dideritanya, sehingga mereka
tidak disingkirkan namun menjadi sebuah momentum dunia kegaiban.
Kesenian gandrung (Banyuwangi) ditarikan oleh bocah laki-laki berusia 10-12 tahun yang
berpakaian perempuan. Di Kalimantan, Suku Dayak Ngaju mengenal pendeta perantara
(medium-priest) yang mengenakan pakaian lawan jenis . Di Sulawesi selatan suku Makasar pun
terdapat fenomena serupa yaitu Bisu (laki-laki yang diberi tugas menjaga pusaka). Dan
seorang Bisu diharapkan mengenakan pakaian perempuan, dilarang berkomunikasi dan dilarang
berhubungan badan dengan perempuan. Hal ini dilakukan demi sakralitas pusaka-pusaka yang
dijaganya.
3. Ciri-ciri waria
a. Identitas harus sudah menetap selama minimal dua tahun, dan harus bukan merupakan gejala
dari gangguan jiwa lain seperti berkaitan dengan kelainan genetik atau kromosom.
b. Adanya hasrat untuk hidup dan diterima sebagai anggota dari kelompok lawan jenisnya,
biasanya disertai perasaan risih atau tidak serasi dengan anatomi seksualnya.
c. Adanya keinginan untuk mendapatkan terapi hormonal dan pembedahan untuk membuat
tubuhnya semirip mungkin dengan jenis kelamin yang diinginkan (Maslim, 2002).
Tanda-tanda untuk mengetahui adanya masalah identitas menurut Tjahjono (1995) yaitu :
a. Individu menampilkan identitas lawan jenisnya secara kontinyu.
b. Memiliki keinginan yang kuat berpakaian sesuai dengan lawan jenisnya.
c. Minat-minat dan perilaku yang berlawanan dengan lawan jenisnya.
d. Penampilan fisik hampir menyerupai lawan jenis kelaminnya.
e. Perilaku individu yang terganggu peran jenisnya seringkali menyebabkan ditolak di
lingkungannya.
f. Bahasa tubuh dan nada suara seperti lawan jenisnya.
4. Jenis-jenis waria
Terdapat pengelompokan jenis waria yaitu :
a. Waria aseksual, yaitu seorang waria yang tidak berhasrat atau tidak mempunyai gairah
seksual yang kuat.
b. Homoseksual, yaitu seorang waria yang memiliki kecenderungan tertarik pada jenis kelamin
yang sama.
c. Heteroseksual, yaitu seorang waria yang pernah menjalani kehidupan heteroseksual
sebelumnya. Misalnya pernah menikah( Nadia, 2005).
5. Faktor Pendukung terjadinya waria
faktor-faktor yang mendukung terjadinya waria adalah:
a. Orang tua selalu mendorong anak bertingkah laku seperti wanita dan tergantung dengan
orang lain.
b. Perhatian dan perlindungan yang berlebihan dari seorang ibu.
c. Tidak adanya kakak laki-laki sebagai contoh.
d. Tidak adanya figur ayah.
e. Kurang mendapatkan teman bermain laki-laki.
f. Dukungan pemakaian pakaian yang menyimpang (Nadia, 2005).

6. Perilaku seks waria


Perilaku seks merupakan bentuk Hubungan seksual berupa tindakan fisik atau mental yang
menstimulasi, merangsang dan memuaskan secara jasmaniah. Hubungan seksual ini sebagai
wujud ekspresi perasaan dan daya tarik seseorang terhadap orang lain. Individu yang terlibat
dalam hubungan seksual sungguh-sungguh karena menyenangkan (Nugraha, 2006).
Nugraha (2006) dalam studinya menuliskan bahwa terdapat beberapa tipe hubungan seksual
yang biasa dilakukan antara lain:
a. Tipe hubungan seksual yang dapat terjadi antara seorang pria dan pria lain
(homoseksual).
b. Tipe hubungan seksual yang dapat terjadi antara wanita dan wanita (lesbian).

c. Tipe hubungan seksual yang dapat terjadi antara pria dan wanita (heteroseksual).

d. Tipe hubungan seksual yang dapat terjadi antara pria dan pria lain serta wanita atau

sebaliknya (biseksual).
Waria cenderung menyukai laki-laki, sehingga orientasi seksualnya adalahhomoseksual.
Dalam hubungan seks, waria tidak bisa bertindak sebagai laki-laki dan akan bahagia jika
diperlakukan sebagai waria (Puspitosari, dikutip dalam Mandra, 2008).
Bentuk hubungan seks seks dikenal para Waria adalah seks Anus sambil tidur, Seks Oral,
Seks anus sambil jongkok, Cium, dan Onani. Kegiatan seksual Waria berganti pasangan sangat
tinggi. Pasangan seksualnya adalah laki-laki heteroseksual, Waria tidak pernah hubungan seksual
sesama Waria atau dengan gay (homoseks). Waria lebih tertarik pada laki-laki. Cairan pelicin
sering digunakan pada anus Waria dan penis pasangan sebelum melakukan hubungan seksual.
Pada dasarnya terdapat dua jenis hubungan seks yang paling sering dilakukan waria yaitu
Hubungan seks anus dan hubungan seks Oral. Kedua bentuk hubungan seksual ini mempunyai
dampak buruk terhadap kesehatan apalagi kalau diselingi dengan minuman keras dan narkoba
(Bakri, 2009).
Seks anal adalah hubungan seksual di mana penis yang ereksi dimasukkan ke rektum melalui
anus. Selain itu penetrasi anus dengan lidah dan benda lainnya juga disebut anal sex. Anal sex
berisiko bagi kesehatan karena bakteri pada colon sigmoideum, bagian dari usus yang dekat
dengan rectum, akan terangkat dan masuk ke penis saat penis yang berukuran +/- 15 cm
memasuki anus. Colon sigmoideum ini mengandung banyak bakteri yang dapat menginfeksi
penis pelaku anal sex (kristin, 2008).
Seks oral adalah suatu variasi seks dengan memberikan stimulasi
melalui mulut danlidah pada organ seks / kelamin pasangannya. Aktifitas seks oral memiliki
memiliki resiko tinggi terkena penyakit menular, hal ini disebabkan karena mulut manusia rentan
terhadap serangan bakteri dan virus sehingga memudahkan terjangkitnya Penyakit Menular
Seksual (PMS) melalui organ ini. Beberapa penyakit yang dirtularkan melalui kontak mulut dan
alat kelamin di antaranya, yaitu klamidia, herpes genitalis, gonore, hepatitis B, HIV dan kutil
(Bakri, 2009).
Penelitian sebelumnya yang dilakukan pada waria di Abepura diperoleh hasil selama 14 hari
kegiatan dan melakukan hubungan seks ,yang paling banyak dilakukan sperma mengalir ke
dalam anus (40,6%) dan mulut (39,5%). Sperma yang mengalir keluar seperti ke muka, ke badan
dan di dalam kondom paling sedikit terjadi dengan frekuensi masing-masing 2,2%, 3,3%, dan
5% (Djoht, 2003).
Perilaku hubungan seksual yang dapat beresiko terhadap penularan HIV/AIDS dan dapat
meningkatkan kejadian HIV/AIDS diantaranya (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, 2009):
a. Tidak menggunakan kondom selama hubungan seksual
b. Hubungan seksual melalui anal (anus) tanpa memakai kondom
c. Hubungan seksual yang menyebabkan lesi pada alat kelamin
d. Berganti-ganti pasangan seks tanpa menggunakan kondom
e. Hubungan seksual yang menggunakan mulut sebagai pengganti vagina.

Hasil Survei Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP) terkait prevalensi HIV di Tiga Kota di
Indonesia tahun 2007, memperoleh data jumlah waria yang positif HIV/AIDS, di Jakarta tercatat
34%, disusul Surabaya dengan 25%, dan Bandung 14%. Hasil Penelitian sebelumnya yang
dilakukan di Kota Pontianak tahun 2007 dari 10 waria ditemukan 5 waria terinfeksi HIV
(Rabudiarti, 2007).
Pencegahan penularan virus HIV/AIDS pada waria salah satunya dengan penggunaan
kondom. Namum beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan penggunaan kondom
dan ketidakpuasan dalam berhubungan seks membuat waria enggan menggunakan kondom.

BAB III
KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pemikiran Variabel Yang Diteliti


Berdasarkan Teori Lawrence Green (1980), Banyak faktor penyebab masalah perilaku
kesehatan yang dapat berpengaruh langsung terjadinya suatu penyakit pada masyarakat yaitu
faktor Predisposisi berupa; pengetahuan, keyakinan, nilai dan sikap, Faktor pemungkin berupa;
ketersediaan dan keterjangkauan S.D Kesehatan serta ketrampilan yang berkaitan dengan
kesehatan, selain itu faktor penguat berupa; keluarga, teman sebaya, guru, majikan dan petugas
kesehatan yang dalam hal ini sangat berperan sebagai motivator dalam suatu masalah baik itu
pengobatan maupun pencegahan terhadap suatu penyakit sehingga tidak menyebabkan tingginya
prevalensi penyakit di suatu daerah.
HIV/AIDS merupakan penyakit menular seksual yang disebabkan oleh virus, dimana pada
stadium dini penyakit ini tidak memperlihatkan keluhan dan gejala serta tidak disadari oleh
penderita, tetapi lambat laun dapat menyebabkan komplikasi pada organ tubuh dan dapat
menular ke organ lain.
Waria merupakan kelompok berisiko tinggi terkena HIV/AIDS, beberapa faktor yang
menyebabkan kelompok ini mudah terserang HIV/AIDS, diantaranya pemahaman mereka yang
masih kurang terhadap HIV/AIDS, meliputi upaya pencegahan, penularan, gejala, dan
pengobatan terhadap HIV/AIDS.Selain itu, perilaku waria yang cenderung berisiko seperti seks
bebas, penggunaan kondom dan ketersediaan jarum suntuk steril merupakan salah satu faktor
yang berpengaruh terhadap penularan HIV/AIDS.
Akses terhadap informasi kesehatan yang terbatas tentunya juga merupakan fator yang
berpengaruh terhadap upaya pencegahan HIV/AIDS, mengingat stigma yang kuat melekat pada
mereka sebagai kelompok yang berperilaku menyimpang. Seharusnya sebagai kelompok yang
berisiko waria diberikan kemudahan dalam memperoleh pelayanan kesehatan termasuk
informasi HIV/AIDS.
Variabel yang diteliti adalah perilaku waria dalam upaya pencegahan HIV/AIDS, proses
untuk merubah perilaku dapat dilakukan dengan pendidikan. Pendidikan ini diharapkan untuk
merubah cara berpikir, bersikap serta cara bertindak. Cara berpikir yang didasarkan pada
pendidikan akan menghasilkan pengetahuan yang benar demikian pula dengan cara bersikap, jika
pengetahuan ada, diharapkan dapat mempengaruhi sikap yang pada akhirnya dapat pula
diharapkan mempengaruhi cara berbuat atau bertindak (Notoatmojo, 2007).
B. Pola Pikir Variabel yang Diteliti
Pemahaman Waria
Penyalahgunaan obat
Pencegahan HIV/AIDS
Penggunaan alat pencegah

Tindakan ganti-ganti Pasangan


Akses informasi
C. Defenisi Konseptual
a. HIV/AIDS
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang merusak sistem kekebalan tubuh
manusia. Acquired Immune Deficiency Syndrome ( AIDS) adalah sekumpulan tanda dan gejala
penyakit akibat hilangnya atau menurunnya sistem kekebalan manusia berdasarkan diagnosa
dokter.
b. Waria adalah seorang pria yang secara psikis merasakan adanya ketidakcocokan antara jati
diri yang dimiliki dengan alat kelaminnya, sehingga akhirnya memilih dan berusaha untuk
memiliki sifat dan perilaku lawan jenisnya yaitu wanita.
c. Pemahaman Waria terhadap HIV/AIDS adalah pengetahuan waria yang meliputi pengertian
HIV/AIDS, cara penularan, gejala, upaya pencegahan (termasuk didalamnya pengetahuan
mereka terhadap VCT), dan pengobatan HIV/AIDS.
d. Penggunaan alat pencegah HIV/AIDS adalah pengetahuan dan sikap waria terhadap
penggunaan alat pencegah HIV/AIDS yaitu penggunaan kondom dan penggunaan jarum suntik
steril agar terhindar dari HIV/AIDS.
e. Penyalahgunaan obat adalah tindakan waria mengkonsumsi obat-obat tertentu tanpa resep
dokter dan dengan dosis tinggi.
f. Tindakan ganti-ganti pasangan adalah perilaku waria berganti-ganti pasangan dalam
berhubngan seks.
g. Akses Informasi adalah upaya waria dalam memperoleh informasi tentang HIV/AIDS serta
memperoleh layanan kesehatan.

BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui
wawancara mendalam (indept interview), untuk mengetahui perilaku waria dalam upaya
pencegahan HIV/AIDS di Kabupaten Bulukumba.
B. Waktu dan Lokasi penelitian
1. Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan selama satu bulan yaitu terhitung mulai 15 desember sampai 20 januari
2010.
2. Lokasi penelitian
Penelitian dilakukan di Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan. Upaya
Kabupaten Bulukumba termasuk dalam 21 daerah provinsi yang telah mengeluarkan perda AIDS
yang dituangkan dalam perda No. 5 Tahun 2008 tentang penanggulangan HIV/AIDS. Namun
berdasarkan data yang dimiliki KPAD, Bulukumba merupakan daerah tertinggi ketiga yang
memilki angka kejadian HIV/AIDS di Sulawesi Selatan dengan kasus pada April 2010 sebanyak
74 kasus.
Salah satu faktor penularan HIV adalah melalui hubungan seks, baik itu heteroseksual
maupun homoseksual. Waria sebaagi kelompok berisiko haruslah mendapat perhatian dalam
upaya penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS. Di Bulukumba, waria terorganisir dalam
suatu perkumpulan yang disebut Ikatan Waria Bulukumba dengan jumlah waria yang terdata
mencapai 300 orang.
C. Informan
Informan dalam penelitian ini berjumlah 9, dengan jumlah waria sebanyak 7 orang, termasuk
waria yang juga menjabat sebagai Ketua Kelompok Dukungan Sebaya (KDS), 1 orang bocah,
serta 1 orang petugas kesehatan. informan waria dalam penelitian ini yaitu mereka yang tinggal
dan bekerja di Bulukumba dengan memenuhi kriteria berikut:
a. Bersedia menjadi informan
b. Dapat berbahasa Indonesia agar memudahkan proses wawancara sehingga tidak ada
penafsiran yang bias pada penjelasan informan.

c. Berada dilokasi penelitian saat penelitian dilaksanakan


d. Kooperatif atau dapat diwawancarai secara verbal (tidak bisu dan tuli).

D. Metode Pengumpulan Data


Pengumpulan data dilakukan peneliti dengan keterlibatan ketua KDS yang juga merupakan
waria. Proses wawancara tidak langsung dilakukan peneliti saat bertemu pertama kali dengan
informan. Pada informan pertama, proses wawancara berlangsung ± 7 jam di salon, yang telah
ditentukan oleh informan sebelumnya. Tidak hanya itu, kondom juga dijadikan salah satu alat
perkenalan antara peneliti dengan informan, terutama pada mereka yang awalnya belum terbuka
dalam memberikan informasi. Hal ini dilakukan karena adanya kendala dalam memberikan
pertanyaan terkait penggunaan kondom.
Informan yang diperoleh tidak hanya mereka yang beraktifitas di kota, terdapat beberapa
informan yang peneliti peroleh di daerah pedesaan yaitu Desa Palampang Kec. Rilau Ale (±40
menit dari Kota Bulukumba) dan ditempat tersebut peneliti dibantu oleh seorang penjual
makanan yang memiliki warung didepan salon tempat informan yang berhasil peneliti
wawancara. Khusus untuk bocah, peneliti harus menginap diwarung tersebut. Tetapi pada
akhirnya wawancara dilakukan justru di rumah peneliti. Pemilihanbocah dikarenakan beberapa
responden mengaku jika tindakan ganti-ganti pasangan itu dilakukan dengan remaja laki-laki
yang memiliki usia lebih muda, bahkan menurut salah satu informan terdapat suatu tempat
khusus dimana mereka boleh memilih pasangan yang sesuai keinginan mereka. Pemilihan
Informan yang mewakili pasangan waria hanya berasal dari bocah dan hanya 1 orang karena
sulitnya memperoleh pasangan waria yang dapat diwawancara.
Informan lain dalam penelitian ini adalah seorang Petugas kesehatan yang dianggap
penting untuk memberikan informasi terkait dengan penyalahgunaan obat yang sering dilakukan
oleh waria dan pasangan sebagai obat kuat dan penambah gairah seksual.

Tabel 2
Karakteristik Informan
No Informan Umur Pendidikan Pekerjaan Alamat Ket
1 Melati 23 Thn SMA Salon Jl.Merpati Waria
2 Anggrek 19 Thn SMA Salon/Biduan (penyanyi) Jl.Jambu BTN Waria
Mayapada
3 Mawar 20 Thn SMP Biduan Bontodurian Waria
4 Tulip 39 Thn SMP Salon/penata rias Jl. Pisang Waria
pengantin (indo botting)
5 Matahari 21 Thn SMA Mahasiswa Palampang Waria
6 Dea 23 Thn SMA Salon/Miss waria BLK Kasimpureng Waria
2009
7 Dahlan 37 Thn SMA Ketua KDS & Pengurus Jl. Sungai Waria
KPAD Balantieng
8 Anton 19 Tahun SMA Tidak Bekerja Bulukumba Bocah
9 Yulia,Ssi.Apt 28 Tahun S1 PNS Jl.Lanto Petugas
kesehatan
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel 2 informan terdiri dari 7 orang waria, 1 orang Petugas kesehatan, dan 1
orang laki-laki (bocah) yang dengan pendidikan terakhir SMA dan Tidak bekerja. Waria yang
dipilih memiliki variasi umur dari 19 sampai dengan 39 Tahun, 2 orang diantaranya memiliki
pendidikan terakhir di SMP sedangkan 5 orang lainnya menamatkan pendidikan dibangku SMA.
Dalam hal pekerjaan beberapa diantara mereka memiliki pekerjaan yang tidak tetap
tergantung kesempatan yang tersedia misalnya sebagai karyawan salon yang juga berprofesi
sebagai biduan atau penata rias pengantin yang diistilahkan ‘Indo botting’. Profesi sebagai Indo
botting mereka lakukan jika terdapat orderan acara pernikahan baik itu didalam kota maupun
diluar kota. Terdapat juga waria yang berprofesi selain sebagai karyawan salon juga berhasil
memperoleh gelar sebagai waria cantik di miss wariatahun 2009. Selain itu, informan lainnya
ada yang masih menempuh pendidikan dibangku kuliah sebagai mahasiswa kesehatan disalah
satu sekolah tinggi kesehatan di kabupaten Bulukumba.
Informan dalam penelitian ini tetap dijaga identitas kerahasiaan namanya yaitu dengan
memakai inisial nama bunga (melati, mawar, dll) dan bocah pada pasangan laki-laki waria yang
alamat rumahnya pun disamarkan, hal ini karena informan bocah tidak ingin alamatnya
dicantumkan. Adapun dua informan waria yaitu Dahlan dan Dea menolak namanya disamarkan
dengan alasan sebagai bentuk pengabdian terhadap ilmu pengetahuan dengan berbagi informasi.

E. Keabsahan Data
Untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh
melalui Triangulasi sumber yaitu dengan membandingkan informasi informan (cross
check) antara informasi yang satu dengan yang lainnya. Dalam melihat akurasi informasi yang
diperoleh pada penelitian ini, sumber tidak hanya berasal dari waria, tapi juga mereka yang
bertindak sebagai bocah serta pemilihan petugas kesehatan terkait dengan penyalahgunaan obat

F. Pengolahan dan Analisis Data


Menurut Miles dan Huberman (dikutip dalam Sugiyono, 2010), mengemukakan bahwa
analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif, dan berlangsung terus-menerus sampai tuntas.
Aktifitas dalam analisis data yaitu data reduction, data display, danconclusion
drawing/verification.
1. Data reduction (Reduksi data)
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal-hal
yang penting, dicari tema dan polanya. Data yang telah direduksi akan memberikan gambaran
yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya.
2. Data display (Penyajian data)
Menurut Miles dan Huberman (dikutip dalam Sugiyono, 2008) menyatakan bahwa yang
paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks
yang bersifat naratif.
3. Conclusion drawing/verification
Langkah selanjutnya yaitu penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang
dikemukakan masih bersifat sementara. Apabila kesimpulan sejak awal didukung oleh bukti-
bukti yang valid dan konsisten saat peneliti mengumpulkan data, maka kesimpulan yang
dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel (Sugiyono, 2008).

Anda mungkin juga menyukai