PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan salah satu Indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan suatu
masyarakat atau bangsa. Paradigma sehat dewasa ini yang dipromosikan menghendaki terjadinya
perubahan pola pikir masyarakat dari mengobati penyakit menjadi memelihara atau menjaga
kesehatan agar tidak sakit, oleh sebab itu Pemahaman mengenai penyakit dan cara mencegahnya
perlu disebarluaskan pada masyarakat.
Salah satu aspek kesehatan pada akhir abad ke-20 yang merupakan bencana bagi manusia
adalah munculnya penyakit yang disebabkan oleh suatu virus yaitu HIV (Human
Immunodeficiency Virus) yang dapat menyebabkan AIDS (Aquarired Immunodeficiensy
Syndrome). WHO pada tahun 2003 mengestimasikan 37,8 juta orang terinfeksi HIV/AIDS. Pada
akhir tahun 2005, estimasi menjadi 53,6 juta, dan pada tahun 2007 dengan jumlah 33 juta orang
terinfeksi, tetapi yang sudah meninggal 23 juta (UNAIDS, 2008).
Kasus di Indonesia penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh ini, senantiasa
meningkat dari tahun ke tahun, bahkan Indonesia merupakan negara dengan penyebaran HIV
dan AIDS tercepat di Asia (Yunanto, 2008).
Data Ditjen Pengendalian Penyakit dan Pengendalian Lingkungan Departemen Kesehatan
(PP & PL Depkes) selama sepuluh tahun terakhir, jumlah penderita AIDS terus meningkat.Pada
Desember 2007 Pengidap HIV positif berjumlah 6.066 orang dengan penderita AIDS sebanyak
11.141 orang, dan meningkat pada September 2008 mencapai 14.928 orang. Secara kumulatif
kasus AIDS yang dilaporkan sampai tanggal 30 Juni 2010 berjumlah 21.770 dengan jumlah
kematian 4.128. Peningkatan jumlah ini sangat menonjol pada kelompok umur 20-29 tahun dari
8.187 pada tahun 2008 menjadi 10.471 pada tahun 2010 selain itu jumlah HIV/AIDS yang
tercatat di kalangan homo-biseksual (termasuk waria) juga meningkat yaitu 609 kasus pada
tahun 2008 menjadi 718 pada tahun 2010 (Ditjen PPM & PL Depkes RI, 2008, 2010).
Sulawesi Selatan termasuk Provinsi yang memiliki Penularan HIV/AIDS yang tinggi. Pada
tahun 2008 menempati peringkat ke-16 secara nasional dengan 143 kasus AIDS dan meningkat
di Tahun 2010 dengan menempati posisi ke-8 dengan jumlah penderita sebanyak 591 kasus
(Ditjen PPM & PL Depkes RI, 2010).
Dari 23 kabupaten/kota di Sul-sel, Kabupaten Bulukumba memiliki jumlah penderita
HIV/AIDS sebanyak 32 kasus di tahun 2008 dan merupakan tertinggi ketiga setelah Makassar
dan Pare-pare. Di tahun 2009 jumlah penderita meningkat menjadi 69 kasus dan pada bulan
April 2010 bertambah menjadi 75 kasus (KPAD, 2010).
Kab.Bulukumba termasuk dalam 21 daerah provinsi yang telah mengeluarkan perda AIDS
yang dituangkan dalam perda No 5 Tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV/AIDS yang
didalamnya mengatur penyampaian informasi, komunikasi dan edukasi pada masyarakat tentang
HIV/AIDS, serta melaksanakan pemeriksaan tes HIV/AIDS terhadap kelompok rawan dan
berisiko tinggi, termasuk didalamnya PSK dan Waria (Harahap, 2010).
Penyakit yang kemunculannya seperti fenomena gunung es (iceberg phenomena), yaitu
jumlah penderita yang dilaporkan jauh lebih kecil daripada jumlah sebenarnya telah menyebar di
sebagian besar provinsi di Indonesia. Penularan HIV paling banyak terjadi melalui hubungan
seksual yang tidak sehat terutama seks antar lelaki, termasuk waria yang mencapai 60%, dan
penularan melalui jarum suntik 30% ( KPA, 2009).
Hubungan seksual, baik heteroseksual maupun homoseksual adalah model utama penularan
HIV. Tidak dapat dipungkiri perilaku seksual di kelompok risiko tinggi komunitas waria
memberikan kontribusi penularan HIV/AIDS yang signifikan. Penularan HIV melalui seks anal
dilaporkan memiliki risiko 10 kali lebih tinggi dari seks vaginal. Menurut Yayasan Riset AIDS
Amerika, AMFAR menyimpulkan, waria ternyata berisiko 19 kali lebih besar tertular penyakit
HIV dibanding masyarakat umum(Rabudiarti, 2007).
Departemen Kesehatan memperkirakan jumlah waria di Indonesia sebesar 20.960 hingga
35.300 orang . Pada tahun 2007, sesuai dengan data yang dimiliki Persatuan Waria Republik
Indonesia jumlah waria yang terdata dan memiliki Kartu Tanda Penduduk mencapai 3,887 juta
jiwa. Menurut Survei Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP) terkait prevalensi HIV di Tiga Kota
di Indonesia tahun 2007, Di Jakarta tercatat 34% waria positif HIV, disusul Surabaya dengan
25%, dan Bandung 14%. Hasil Penelitian sebelumnya yang dilakukan di Kota Pontianak tahun
2007 dari 10 waria ditemukan 5 waria terinfeksi HIV (Rabudiarti, 2007).
Keberadaan waria tersebar di beberapa wilayah di Indonesia termasuk Sulawesi-Selatan.
Jumlah waria di Sulawesi-Selatan sangat sulit diketahui secara pasti karena jumlahnya terus
meningkat, namun diperkirakan mencapai 15.000 orang yang tersebar di beberapa
kota/kabupaten termasuk Bulukumba. Kabupaten Bulukumba memiliki jumlah waria yang
terdaftar menurut ketua Ikatan waria Bulukumba sampai tahun 2010 ini kurang lebih mencapai
300 orang dan yang telah terdeteksi positif HIV melaluiVoluntary Conseling and Testing (VCT)
sebanyak dua orang.
Berdasarkan data STBP 2007 menunjukkan Tingkat pengetahuan waria terhadap upaya-
upaya pencegahan penularan HIV dan IMS menunjukkan tingkat sedang, tetapi pengetahuan
mengenai HIV/IMS ini cenderung rendah. Waria cenderung menyadari adanya manfaat dari
kondom, namun mereka tidak selalu tahu bagaimana cara menggunakannya dengan benar. Hasil
penelitian di Bandung lebih dari 90% Waria mengetahui bahwa kondom melindungi mereka
dari infeksi HIV.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan di kota Abepura Papua dan Sorong diperoleh hasil
dari 15 waria yang jadi informan, hanya 3 Waria di Abe dan 2 waria disorong yang memakai
kondom ketika berhubungan seks.Begitupun dengan Data STBP 2007 menunjukkan pemakaian
kondom pada waria saat berhubungan seks tidak mencapai 50% dengan hasil di Jakarta hanya
13% dan Bandung 48%. Salah satu hal yang mendasari adalah kenyamanan dan kepuasan
mereka berhubungan seks terganggu jika menggunakan kondom (Djoht, 2003).
Selain melalui hubungan seksual, penularan HIV/AIDS juga terjadi melalui jarum suntik
(Napza). Pada STBP 2007 diperoleh data Proporsi waria yang menggunakan napza suntik sekitar
2% di empat kota besar yaitu Bandung, Surabaya, Malang, dan Semarang. Hal ini didasari
karena waria cenderung lebih menjaga kecantikan kulit mereka, jika harus menggunakan
narkoba suntik maka itu berarti akan meninggalkan bekas suntikan dikulit, berbeda dengan napza
suntuk, kecenderungan waria menggunakan napza non suntik lebih besar yaitu sekitar 17% di
Kota Jakarta. Pada dasarnya waria cenderung menggunakan pemanasan hubungan seksual
dengan minuman keras, hirup lem, isap ganja dan nonton VCD porno, yang tentunya sangat
berisiko terhadap kesehatan, apalagi kecenderungan berganti-ganti pasangan lebih mudah
dilakukan dalam kondisi hubungan seks yang diselingi dengan minuman dan narkoba yang
tertunya berdampak pada resiko penularan HIV/AIDS (Djoht, 2003).
Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa waria merupakan kelompok yang berisiko terhadap
peningkatan jumlah kasus HIV/AIDS, khusus untuk wilayah Kabupaten Bulukumba akan sangat
berpotensi mengalami peningkatan kasus HIV/AIDS karena jumlah waria yang relatif
banyak diperkirakan mencapai 300 waria. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk menganalisis
lebih lanjut tentang perilaku waria dalam Upaya pencegahan HIV/AIDS di
Kabupaten Bulukumba.
B. Rumusan Masalah
Informasi mengenai HIV/AIDS sangat penting untuk diketahui masyarakat, khususnya bagi
mereka yang memiliki resiko tinggi seperti waria. Pemahaman Waria serta akses informasi
terhadap HIV/AIDS tentunya akan berpengaruh terhadap Upaya pencegahan dari infeksi virus
tersebut. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah perilaku waria dalam upaya pencegahan
HIV/AIDS di Kabupaten Bulukumba.
C. Tujuan Penelitian
1 Tujuan Umum
Diperolehnya Informasi tentang perilaku waria dalam upaya pencegahan HIV/AIDS
di Kabupaten Bulukumba.
2. Tujuan Khusus
a. Diperolehnya informasi tentang pemahaman waria terhadap HIV/AIDS.
b. Diperolehnya informasi tentang penggunaan alat pencegah HIV/AIDS oleh waria
c. Diperolehnya informasi tentang penyalahgunaan obat yang sering dilkukan waria
d. Diperolehnya informasi tentang tindakan ganti-ganti pasangan pada waria
e. Diperolehnya informasi tentang Akses waria dalam memperoleh informasi pencegahan
HIV/AIDS.
3. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
Dapat memberikan informasi atau masukan kepada instansi berwenang sebagai
pengambil kebijakan dalam hal ini ialah Dinas Kesehatan kabupaten Bulukumba dalam
rangka Penentuan kebijakan dalam upaya pencegahan HIV/AIDS khususnya pada
kelompok berisiko seperti waria.
2. Manfaat Ilmu Pengetahuan
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan bahan bacaan bagi
masyarakat dan peneliti berikutnya mengenai Perilaku Waria dalam upaya Pencegahan
HIV/AIDS di Kabupaten Bulukumba.
3. Manfaat Bagi peneliti
Penelitian ini merupakan pengalaman berharga bagi peneliti dalam rangka memperluas
pengetahuan peneliti.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang HIV/AIDS
1. Definisi HIV/AIDS
HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus yang dapat menyebabkan AIDS
dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4 sehingga dapat merusak sistem
kekebalan tubuh manusia yang pada akhirnya tidak dapat bertahan dari gangguan penyakit
walaupun yang sangat ringan sekalipun. HIV menyerang sel CD4 dan merubahnya menjadi
tempat berkembang biak HIV baru kemudian merusaknya sehingga tidak dapat digunakan lagi.
Sel darah putih sangat diperlukan untuk sistem kekebalan tubuh. Tanpa kekebalan tubuh maka
ketika diserang penyakit maka tubuh kita tidak memiliki pelindung. Dampaknya adalah kita
dapat meninggal dunia terkena pilek biasa (Hutapea, 2003).
Menurut Gunawan (dikutip dalam Yana, 2007) AIDS merupakan singkatan dariAcquired
Immune Deficiency Syndrome. Syndrome berarti kumpulan gejala dan tanda-tanda
penyakit. Deficiency berarti kekurangan, sedangkan Immune berarti kekebalan.Acquired artinya
diperoleh atau didapat. Dalam hal ini ’diperoleh’ mempunyai pengertian bahwa AIDS bukan
penyakit keturunan. AIDS dapat diartikan sekumpulan tanda dan gejala penyakit akibat
hilangnya atau menurunnya sistem kekebalan tubuh seseorang.
Ketika kita terkena Virus HIV kita tidak langsung terkena AIDS. Untuk menjadi AIDS
dibutuhkan waktu yang lama, yaitu 5-10 Tahun untuk dapat menjadi AIDS yang mematikan.
Saat ini tidak ada obat, serum maupun vaksin yang dapat menyembuhkan manusia dari Virus
HIV penyebab penyakit AIDS (Ramandey, 2007)
Pada saat terinfeksi HIV, sebagian orang merasa sakit yang mirip demam. Kemudian
sebagian orang merasa sehat tanpa tanda-tanda sakit selama beberapa tahun. Bagaimanapun HIV
masih tetap berada dalam tubuh dan orang tersebut dapat menulari orang lain tanpa orang
tersebut mengetahunya. Setelah kira-kira 3 bulan kebanyakan orang yang mengidap HIV
memproduksi antibody untuk memerangi virus tersebut, tetapi mereka tidak mampu membunuh
HIV tersebut dikarenakan virus tersebut bersembunyi di dalam sel darah putih. Tes darah dapat
mengetahui antibody-antibodi ini. Dalam populasi 100 orang yang terinfeksi HIV, kemungkinan
perkembangan infeksi HIV selama satu tahun akan menyebabkan kematian sebanyak 1 orang.
Seorang pengidap HIV mulai memperlihatkan tanda-tanda penyakitnya setelah 6 bulan atau
setelah beberapa tahun. Tanda-tanda tersebut cukup umum bagi banyak penyakit dan tanda-tanda
itu sendiri tidak dapat digunakan untuk mendiagnosa AIDS. Tanda-tanda tersebut juga biasa
terdapat pada orang yang mengalami penurunan kekebalan tubuh yang disebabkan oleh beberapa
hal selain infeksi HIV. Misalnya kurang gizi, kanker dan reaksi terhadap suatu obat tertentu.
Apabila penyebab-penyebabnya bukan hal tersebut, dokter dapat mendiagnosis AIDS, apabila
orang tersebut memperlihatkan satu atau dua tanda minor (kecil). Tanda-tanda kecil adalah
tanda-tanda yang sering muncul pada penyakitpenyakit lain juga. Orang-orang yang
memperhatikan tanda-tanda tersebut apabila memungkinkan dapat emnjalani tes darah antibody
HIV juga.Tanda-tanda klinis AIDS.Tanda-tanda utama :
1. Kehilangan berat badan lebih dari 10% berat badan.
2. Demam lebih dari satu bulan.
3. Diare lebih dari satu bulan secara terus-menerus.
4. Sering merasa lemah.
Tanda-tanda kecil :
c. Cara Penularan
HIV menular melalui cairan tubuh seperti darah, semen atau air mani, cairan vagina, air susu
ibu dan cairan lainnya yang mengandung darah.
Nurs (2008) mengemukakan bahwa penularan HIV melalui enam cara yaitu:
a. Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS
b. Ibu pada bayinya
c. Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS
Penularan virus HIV dapat melalui berbagai cara seperti yang dikemukakan olehFamily
Health Internasional (2010) diantaranya:
a. Melakukan penetrasi seks yang tidak aman dengan seseorang yang telah terinfeksi.
Kondom adalah satu-satunya cara dimana penularan HIV dapat dicegah.
b. Melalui darah yang terinfeksi yang diterima selama transfusi darah dimana darah tersebut
belum dideteksi virusnya atau pengunaan jarum suntik yang tidak steril.
c. Dengan mengunakan bersama jarum untuk menyuntik obat bius dengan seseorang yang
telah terinfeksi.
d. Wanita hamil dapat juga menularkan virus ke bayi mereka selama masa kehamilan atau
a. Hubungan seks tanpa pelindung. Secara umum, laki-laki yang melakukan hubungan
seksual dan tingkat penggunaan kondom selama berhubungan pada beberapa negara
masih rendah. Sekitar 25-40% infeksi baru HIV di beberapa Negara Asia terjadi pada istri
dan pacar seorang pria yang telah terinfeksi dari pekerja seks, seks bebas dengan laki-laki
ataupun melalui jarum suntik (The Commission on AIDS in Asia, 2008).
b. Penggunaan NAPZA suntik. Hal ini adalah faktor paling terbesar dalam penularan HIV
di Asia, terjadi pula di China, Malaysia, Indonesia, dan Vietnam (UNAIDS, 2008).
c. Hubungan seksual antar laki-laki. Terdapat beberapa laporan kasus HIV akibat hubungan
seksual laki-laki antar laki-laki (LSL) di Asia seperti Kamboja, Cina, Nepal, Pakistas,
Thailand, dan Vietnam. LSL dapat menjadi jembatan utama penyebaran HIV di kalangan
wanita karena sangat sulit mengidentifikasinya seperti gay dan homoseksual (AVERT,
2010).
Pada awal perkembangan HIV/AIDS di dunia, pola penularannya terjadi pada kelompok
homoseksual. Hal ini tentu menimbulkan stigma negatif, bahwa HIV/AIDS terjadi akibat
perilaku seksual menyimpang.
Berdasarkan Integrated Bio-Behavioral Surveillance (IBBS) (dikutip dalam National AIDS
Commision Republik of Indonesia, 2009) masyarakat terinfeksi melalui beberapa cara yaitu
sekitar 10,4% hubungan langsung dengan pekerja seks, 4,6% hubungan tidak langsung dengan
pekerja seks, 24,4% waria, 5,2% laki-laki seks dengan laki-laki dan 52,4% dengan penggunaan
jarum suntik.
Berdasarkan data statistik kasus HIV/AIDS yang dilaporkan hingga Juni 2010 penularan
HIV/AIDS tinggi pada kelompok heteroseksual seperti dalam tebel berikut:
Tabel 1 Jumlah Kumulatif Kasus AIDS menurut Faktor Resiko
Dilapor sampai Juni 2010.
Faktor Resiko atau Metode Penularan AIDS
Heteroseksual 10.722
Homo – Biseksual 718
IDU 8.786
Transfusi Darah 20
Transmisi Perinatal 587
Tak dikektahui 937
Sumber data: Ditjen PPM & PL Depkes RI, 2010.
Sedangkan Perilaku hubungan seksual yang dapat beresiko terhadap penularan HIV/AIDS
dan dapat meningkatkan kejadian HIV/AIDS diantaranya (Komisi Penanggulangan AIDS
Nasional, 2009):
d. Pengobatan
Pengobatan yang dapat menyembuhkan HIV/AIDS hingga saat ini belum ditemukan
begitupun dengan vaksin yang dapat mencegah penularan HIV. Namun telah ditemukan
beberapa obat yang dapat menghambat infeksi HIV dan beberapa obat secara efektif yang dapat
mengatasi infeksi, yaitu kombinasi tiga obat (triple drugs) adalah obat anti retroviral yang
berfungsi untuk menurunkan jumlah HIV dalam darah, menurunkan aktivitas virus, mengurangi
kerusakan dalam sistem kekebalan tubuh dan hasilnya bisa membuat umur lebih panjang. Namun
perlu diingat bahwa obat antiretroviral tersebut mahal harganya dan harus digunakan secara
disiplin dalam jangka waktu 1,5-3 tahun, karena obat yang diminum secara teratur akan
menyebabkan resistensi (Hutapea,2003).
Waria termasuk dalam kelompok risti (resiko tinggi) terhadap HIV/AIDS oleh karena itu
waria perlu dibekali pemahaman mengenai apa itu HIV/AIDS, bagaimana penularan dan
bagamana mereka dapat terhindar dari infeksi penyakit menular tersebut. Penelitian yang
dilakukan terhadap tiga kota besar dijawa menunjukkan 34% waria posif HIV/AIDS di jakarta
disusul dengan surabaya sebanyak 25% dan bandung 14% (STBP, 2007).
1. Tingkat C-1
Pengetahuan (Knowlegde). Bila seseorang hanya mampu menjelaskan secara garis besar apa yg
telah di pelajarinya, sejauh ini hanya istilah – istilah saja.
2. Tingkat C-2
Perbandingan secara menyeluruh (Chomperensive). Bila seseorang berada pada tingkat
pengetahuan dasar. Ia dapat menerangkan kembali secara mendasar ilmu pengetahuan yang telah
dipelajarinya.
3. Tingkat C-3
Penerapan ( Aplication ). Bila seseorang telah berada pada kemampuan untuk menggunakan apa
yang telah di pelajarinya dari suatu situasi ke situasi lainnya.
4. Tingkat C-4
Analisis ( Analysis ). Bila seseorang memiliki kemampuan lebih meningkat lagi .Ia telah mampu
menerangkan bagian – bagian yang menyusun suatu bentuk pengetahuan tertentu dan
menganalisis hubungan satu dengan yang lainnya.
5. Tingkat C-5Sintesis ( Synthesis ). Bila seseorang memiliki disamping kemampuan untuk
menganalisis, iapun mampu menyusun kebentuk semula maupun kebentuk lainnya.
6. Tingkat C -6
Evaluasi ( Evaluation ). Bila seseorang memiliki pengetahuan secara menyeluruh dari semua
bahan yang telah dipelajarinya, bahkan melalui kriteria yang ditentukan, ia mampu mengevaluasi
semua yang pernah ia kerjakan.
Menurut Poerwadarminta dalam Kamus Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa pengetahuan
adalah segala sesuatu yang diketahui setelah melihat dan menyaksikan, mengalami atau diajar.
Pengetahuan juga didukung oleh kesadaran untuk hidup sehat. Sosialisasi hidup sehat yang
mengutamakan upaya pencegahan dalam bentuk promotif dan preventif, menurut Ngatimin
(2002) melalui penyadaran dengan fisiokologik dalam aspek :
a. Mengetahui dengan tepat apa arti penderitaan dan risiko bila seseorang jatuh sakit.
b. Bagaimana mencapai hidup sehat melalui konsep keseimbangan agent, host dan
environment.
c. Mampu berupaya untuk hidup sehat atas dorongan bahwa hidup sehat dan kesehatan dalam
keluarga merupakan hal yang indah, bahagia dan menguntungkan.
b. Sikap (Attitude)
Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus
atau objek. Dari berbagai batasan tentang sikap dapat disimpulkan bahwa manifestasi sikap itu
tidak dapat langsung dilihat. Newcomb salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa
sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksana
motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan
predisposisi tindakan atau perilaku (Notoatmojo, 2003).
Adapun Tingkatan Affective Domain ( Sikap)
menurut Krathwohl (dikutipdalamNgatimin, 2005) adalah :
1. Tingkat A – 1
Penerimaan ( reiceiving ). Bila seseorang berada pada posisi sadar adanya rangsangan dari luar yang menyadarkan
padanya bahwa setelah terjadi sesuatu. Biasanya dengan adannya rangsangan dari luar, akan timbul perhatian.
2. Tingkat A – 2
Penjawaban ( responding ). Bila seseorang berada pada posisi di mana rasa telah mampu merubahnya untuk
3. Tingkat A – 3
Memberikan nilai (valuing ). Bila seseorang berada pada posisi merasakan adanya nilai baru dalam masyarakat .
Tetapi pada tingkat ini, nilai belum merupakan nilai yang khas bagi masyarakat bersangkutan.
4. Tingkat A – 4
Pengorganisasian ( organization ). Bila seseorang pada posisi ini serasa nilai yang ada itu telah terorganisasi
5. Tingkat A – 5
( characterization by a value complex ). Bila seseorang pada posisi ini merasakan bahwa masyarakat telah
memiliki suatu nilai khusus dan khas bagi mereka . Menurut Krathwhol, nilai ini tertinggi dan erat dengan cognitive
domain.
C. Tindakan (Practice)
Tindakan adalah hal-hal yang dilakukan terhadap suatu objek. Sebagai reaksi maka sikap
selalu berhubungan dengan dua alternatif, yaitu senang (like) atau tidak senang(dislike), menurut
dan melaksanakan atau menjauhi/menghindari sesuatu (Berkowistz dalam Azwar, 2000). Suatu
sikap belum tentu terwujud dalam suatu tindakan. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan
faktor pendukung seperti fasilitas dan dukungan dari pihak lain.
Adapun tingkatan Psychomotor Domain (Perbuatan) menurut Harrow (dikutip dalam ngatimin 2005)
1. Tingkat P – 1
Persepsi ( perception ). Bila seseorang berada pada posisi mampu mendeteksi kelainan berdasarkan adanya
rangsangan melalui penginderaan, penglihatan ataupun pengecapan. Tingkat ketrampilan pada tingkat ini hanya
2. Tingkat P – 2
Tersusun ( Set ). Bila seseorang berada posisi mampu dalam keadan siap fisik, mental dan emosional terhadap
3. Tingkat P – 3
Sambutan pada petunjuk bimbingan untuk meniru mencoba ( guided response by immitation trial and error ). Bila
seseorang berada pada posisi memiliki kemampuan untuk mengerkajan sesuatu asalkan dibawah bimbingan
seseorang instruktur.
4. Tingkat P – 4
Berbuat secara mekanis ( mechanism ) bila seseorang berada pada posisi telah siap bekerja dengan amat lancar
5. Tingkat P – 5
Bila seseorang telah berada pada tingkat ketrampilan tertinggi . Bekerja sangat terampil tanpa membuat kesalahan
sedikitpun.
Ketiga domain perilaku tersebut di atas menunjukkan bahwa perilaku tidak terlepas dari pengetahuan, sikap dan tindakan.
Oleh karena itu, pemahaman atau pengetahuan waria tentang HIV/AIDS dapat menjadi pertimbangan dalam perilaku mereka.
Sehingga mereka bisa melakukan tindakan pencegahan penularan HIV/AIDS terhadap dirinya maupun orang lain.
Hasil penelitian yang dilakukan Survey Terpadu Biologis Perilaku tahun 2007 terhadap waria di Empat Kota besar
menunjukkan, pada dasarnya waria memiliki pengetahuan yang cukup terhadap tindakan-tindakan pencegahan penularan
HIV/AIDS, namun pengetahuan mereka dalam hal penyakit HIV cenderung rendah . Lebih dari 90% Waria di empat kota
mengetahui bahwa kondom melindungi mereka dari infeksi HIV, 80% atau lebih mengetahui bahwa tindakan mengurangi jumlah
pasangan seksual mereka akan mengurangi risiko infeksi dan 63%-79% mengetahui bahwa seks anal mempunyai risiko yang
lebih tinggi untuk terinfeksi HIV. Meskipun demikian, persepsi yang salah mengenai HIV/AIDS tersebar luas yang ditunjukkan
c. Tipe hubungan seksual yang dapat terjadi antara pria dan wanita (heteroseksual).
d. Tipe hubungan seksual yang dapat terjadi antara pria dan pria lain serta wanita atau
sebaliknya (biseksual).
Waria cenderung menyukai laki-laki, sehingga orientasi seksualnya adalahhomoseksual.
Dalam hubungan seks, waria tidak bisa bertindak sebagai laki-laki dan akan bahagia jika
diperlakukan sebagai waria (Puspitosari, dikutip dalam Mandra, 2008).
Bentuk hubungan seks seks dikenal para Waria adalah seks Anus sambil tidur, Seks Oral,
Seks anus sambil jongkok, Cium, dan Onani. Kegiatan seksual Waria berganti pasangan sangat
tinggi. Pasangan seksualnya adalah laki-laki heteroseksual, Waria tidak pernah hubungan seksual
sesama Waria atau dengan gay (homoseks). Waria lebih tertarik pada laki-laki. Cairan pelicin
sering digunakan pada anus Waria dan penis pasangan sebelum melakukan hubungan seksual.
Pada dasarnya terdapat dua jenis hubungan seks yang paling sering dilakukan waria yaitu
Hubungan seks anus dan hubungan seks Oral. Kedua bentuk hubungan seksual ini mempunyai
dampak buruk terhadap kesehatan apalagi kalau diselingi dengan minuman keras dan narkoba
(Bakri, 2009).
Seks anal adalah hubungan seksual di mana penis yang ereksi dimasukkan ke rektum melalui
anus. Selain itu penetrasi anus dengan lidah dan benda lainnya juga disebut anal sex. Anal sex
berisiko bagi kesehatan karena bakteri pada colon sigmoideum, bagian dari usus yang dekat
dengan rectum, akan terangkat dan masuk ke penis saat penis yang berukuran +/- 15 cm
memasuki anus. Colon sigmoideum ini mengandung banyak bakteri yang dapat menginfeksi
penis pelaku anal sex (kristin, 2008).
Seks oral adalah suatu variasi seks dengan memberikan stimulasi
melalui mulut danlidah pada organ seks / kelamin pasangannya. Aktifitas seks oral memiliki
memiliki resiko tinggi terkena penyakit menular, hal ini disebabkan karena mulut manusia rentan
terhadap serangan bakteri dan virus sehingga memudahkan terjangkitnya Penyakit Menular
Seksual (PMS) melalui organ ini. Beberapa penyakit yang dirtularkan melalui kontak mulut dan
alat kelamin di antaranya, yaitu klamidia, herpes genitalis, gonore, hepatitis B, HIV dan kutil
(Bakri, 2009).
Penelitian sebelumnya yang dilakukan pada waria di Abepura diperoleh hasil selama 14 hari
kegiatan dan melakukan hubungan seks ,yang paling banyak dilakukan sperma mengalir ke
dalam anus (40,6%) dan mulut (39,5%). Sperma yang mengalir keluar seperti ke muka, ke badan
dan di dalam kondom paling sedikit terjadi dengan frekuensi masing-masing 2,2%, 3,3%, dan
5% (Djoht, 2003).
Perilaku hubungan seksual yang dapat beresiko terhadap penularan HIV/AIDS dan dapat
meningkatkan kejadian HIV/AIDS diantaranya (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, 2009):
a. Tidak menggunakan kondom selama hubungan seksual
b. Hubungan seksual melalui anal (anus) tanpa memakai kondom
c. Hubungan seksual yang menyebabkan lesi pada alat kelamin
d. Berganti-ganti pasangan seks tanpa menggunakan kondom
e. Hubungan seksual yang menggunakan mulut sebagai pengganti vagina.
Hasil Survei Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP) terkait prevalensi HIV di Tiga Kota di
Indonesia tahun 2007, memperoleh data jumlah waria yang positif HIV/AIDS, di Jakarta tercatat
34%, disusul Surabaya dengan 25%, dan Bandung 14%. Hasil Penelitian sebelumnya yang
dilakukan di Kota Pontianak tahun 2007 dari 10 waria ditemukan 5 waria terinfeksi HIV
(Rabudiarti, 2007).
Pencegahan penularan virus HIV/AIDS pada waria salah satunya dengan penggunaan
kondom. Namum beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan penggunaan kondom
dan ketidakpuasan dalam berhubungan seks membuat waria enggan menggunakan kondom.
BAB III
KERANGKA KONSEP
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui
wawancara mendalam (indept interview), untuk mengetahui perilaku waria dalam upaya
pencegahan HIV/AIDS di Kabupaten Bulukumba.
B. Waktu dan Lokasi penelitian
1. Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan selama satu bulan yaitu terhitung mulai 15 desember sampai 20 januari
2010.
2. Lokasi penelitian
Penelitian dilakukan di Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan. Upaya
Kabupaten Bulukumba termasuk dalam 21 daerah provinsi yang telah mengeluarkan perda AIDS
yang dituangkan dalam perda No. 5 Tahun 2008 tentang penanggulangan HIV/AIDS. Namun
berdasarkan data yang dimiliki KPAD, Bulukumba merupakan daerah tertinggi ketiga yang
memilki angka kejadian HIV/AIDS di Sulawesi Selatan dengan kasus pada April 2010 sebanyak
74 kasus.
Salah satu faktor penularan HIV adalah melalui hubungan seks, baik itu heteroseksual
maupun homoseksual. Waria sebaagi kelompok berisiko haruslah mendapat perhatian dalam
upaya penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS. Di Bulukumba, waria terorganisir dalam
suatu perkumpulan yang disebut Ikatan Waria Bulukumba dengan jumlah waria yang terdata
mencapai 300 orang.
C. Informan
Informan dalam penelitian ini berjumlah 9, dengan jumlah waria sebanyak 7 orang, termasuk
waria yang juga menjabat sebagai Ketua Kelompok Dukungan Sebaya (KDS), 1 orang bocah,
serta 1 orang petugas kesehatan. informan waria dalam penelitian ini yaitu mereka yang tinggal
dan bekerja di Bulukumba dengan memenuhi kriteria berikut:
a. Bersedia menjadi informan
b. Dapat berbahasa Indonesia agar memudahkan proses wawancara sehingga tidak ada
penafsiran yang bias pada penjelasan informan.
Tabel 2
Karakteristik Informan
No Informan Umur Pendidikan Pekerjaan Alamat Ket
1 Melati 23 Thn SMA Salon Jl.Merpati Waria
2 Anggrek 19 Thn SMA Salon/Biduan (penyanyi) Jl.Jambu BTN Waria
Mayapada
3 Mawar 20 Thn SMP Biduan Bontodurian Waria
4 Tulip 39 Thn SMP Salon/penata rias Jl. Pisang Waria
pengantin (indo botting)
5 Matahari 21 Thn SMA Mahasiswa Palampang Waria
6 Dea 23 Thn SMA Salon/Miss waria BLK Kasimpureng Waria
2009
7 Dahlan 37 Thn SMA Ketua KDS & Pengurus Jl. Sungai Waria
KPAD Balantieng
8 Anton 19 Tahun SMA Tidak Bekerja Bulukumba Bocah
9 Yulia,Ssi.Apt 28 Tahun S1 PNS Jl.Lanto Petugas
kesehatan
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel 2 informan terdiri dari 7 orang waria, 1 orang Petugas kesehatan, dan 1
orang laki-laki (bocah) yang dengan pendidikan terakhir SMA dan Tidak bekerja. Waria yang
dipilih memiliki variasi umur dari 19 sampai dengan 39 Tahun, 2 orang diantaranya memiliki
pendidikan terakhir di SMP sedangkan 5 orang lainnya menamatkan pendidikan dibangku SMA.
Dalam hal pekerjaan beberapa diantara mereka memiliki pekerjaan yang tidak tetap
tergantung kesempatan yang tersedia misalnya sebagai karyawan salon yang juga berprofesi
sebagai biduan atau penata rias pengantin yang diistilahkan ‘Indo botting’. Profesi sebagai Indo
botting mereka lakukan jika terdapat orderan acara pernikahan baik itu didalam kota maupun
diluar kota. Terdapat juga waria yang berprofesi selain sebagai karyawan salon juga berhasil
memperoleh gelar sebagai waria cantik di miss wariatahun 2009. Selain itu, informan lainnya
ada yang masih menempuh pendidikan dibangku kuliah sebagai mahasiswa kesehatan disalah
satu sekolah tinggi kesehatan di kabupaten Bulukumba.
Informan dalam penelitian ini tetap dijaga identitas kerahasiaan namanya yaitu dengan
memakai inisial nama bunga (melati, mawar, dll) dan bocah pada pasangan laki-laki waria yang
alamat rumahnya pun disamarkan, hal ini karena informan bocah tidak ingin alamatnya
dicantumkan. Adapun dua informan waria yaitu Dahlan dan Dea menolak namanya disamarkan
dengan alasan sebagai bentuk pengabdian terhadap ilmu pengetahuan dengan berbagi informasi.
E. Keabsahan Data
Untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh
melalui Triangulasi sumber yaitu dengan membandingkan informasi informan (cross
check) antara informasi yang satu dengan yang lainnya. Dalam melihat akurasi informasi yang
diperoleh pada penelitian ini, sumber tidak hanya berasal dari waria, tapi juga mereka yang
bertindak sebagai bocah serta pemilihan petugas kesehatan terkait dengan penyalahgunaan obat