DIAGNOSA KLINIK
SCABIES DAN DIARE PADA KUCING
OLEH
KELOMPOK 2
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Scabies Pada Kucing
Seekor kucing betina, Lulu berumur 4 bulan memiliki berat badan 1,1
kg, ras campuran, memiliki warna kulit abu-abu datang ke klinik Pendidikan
Program Kedokteran Hewan dengan keluhan rambut pada bagian kepala rontok,
rambut kusam, permukaan kulit tidak rata karena terjadi allopecia, dan dibawah
dengan menggunakan kandang dengan kucing lain yang juga mengalami
kerontokan rambut. Setelah dilakukan inspeksi oleh dokter hewan, kucing
tersebut diduga terkena scabies.
2.2 Etiologi
Scabies adalah erupsi kulit yang disebabkan infestasi dan sensitasi oleh
kutu Sarcoptes scabiei var. Hominis dan bermenfestasi lesi populer, pustul,
vesikel; kadang-kadang erosi serta krusta, dan terowongan berwarna abu-abu
yang disertai keluhan yang sangat gatal terutama pada daerah lipatan kulit
(Aisah, 2006).
Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya dari tungau scabies, akan
tetapi juga oleh penderita sendiri akibat garukan. Dan karena bersalaman atau
bergandengan sehingga terjadi kontak kulit yang kuat,menyebabkan lesi timbul
pada pergelangan tangan. Gatal yang terjadi disebabkan leh sensitisasi terhadap
secret dan ekskret tungau yang memerlukan waktu kira-kira sebulan setelah
infestasi. Pada saat itu kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan
ditemukannya papula, vesikula, dan urtikaria. Dengan garukan dapat timbul
erosi, ekskoriasi, krusta, dan infeksi sekunder. Kelainan kulit dan gatal yang
terjadi dapat lebih luas dari lokasi tungau (Partosoedjono, 2003).
2.3 Patofisiologi
Infestasi dimulai saat tungau betina yang telah dibuahi tiba di permukaan
kulit. Dalam waktu satu jam, tungau tersebut akan mulai menggali terowongan.
Setelah tiga puluh hari, terowongan yang awalnya hanya beberapa millimeter
bertambah panjang menjadi beberapa centimeter. Meskipun begitu, terowongan
ini hanya terdapat di stratum korneum dan tidak akan menembus lapisan kulit
di bawah epidermis. Terowongan ini dibuat untuk menyimpan telur- telur
tungau, kadang- kadang juga ditemukan skibala di dalamnya. Tungau dan
produk- produknya inilah yang berperan sebagai iritan yang akan merangsang
sistem imun tubuh untuk mengerahkan komponen- komponennya (Robert and
Fawcett, 2003).
Dalam beberapa hari pertama, antibodi dan sel sistem imun spesifik
lainnya belum memberikan respon. Namun, terjadi perlawanan dari tubuh oleh
sistem imun non spesifik yang disebut inflamasi. Tanda dari terjadinya
inflamasi ini antara lain timbulnya kemerahan pada kulit, panas, nyeri dan
bengkak. Hal ini disebabkan karena peningkatan persediaan darah ke tempat
inflamasi yang terjadi atas pengaruh amin vasoaktif seperti histamine, triptamin
dan mediator lainnya yang berasal dari sel mastosit. Mediator- mediator
inflamasi itu juga menyebabkan rasa gatal di kulit. Molekul- molekul seperti
prostaglandin dan kinin juga ikut meningkatkan permeabilitas dan mengalirkan
plasma dan protein plasma melintasi endotel yang menimbulkan kemerahan
dan panas (Suhardono et al, 2005).
Bila proses inflamasi yang diperankan oleh pertahanan non spesifik belum
dapat mengatasi infestasi tungau dan produknya tersebut, maka imunitas
spesifik akan terangsang. Mekanisme pertahanan spesifik adalah mekanisme
pertahanan yang diperankan oleh sel limfosit, dengan atau tanpa bantuan
komponen sistem imun lainnya seperti sel makrofag dan komplemen
(Lawrence et al, 2004).
2.5 Diagnosa
1. Demodekosis
2. keratosis
2.7 Prognosa
Dengan memperhatikan pemilihan dan cara pemakaian obat, serta
syarat pengobatan, dan menghilangkan faktor predisposisi, penyakit ini dapat
diberantas dan memberi prognosis yang baik.
2.8 Pencegahan
1. Menghindari kontak dengan kucing liar atau kucing yang telah terkena
penyakit ini. Kucing yang tinggal di dalam rumah biasanya jarang sekali
terkena penyakit ini
2. Cuci dan desinfeksi alat-alat grooming seperti sisir, sikat, dll setelah
digunakan pada kucing yang terkena penyakit ini
4. Bila salah satu kucing menunjukan gejala penyakit ini, segera isolasi dan
cegah kontak dengan kucing lain yang masih sehat. Mandikan dengan
shampoo khusus atau bawa ke dokter hewan untuk pengobatan.
2.9 Pengobatan
Beberapa obat untuk skabies pada hewan telah banyak diuji dan dilaporkan.
Pemberian salep Asuntol 50 WP 2% mampu mengatasi skabies pada kerbau. Telur
dan larva yang masih tersisa di dalam kulit dapat dibasmi dengan melakukan
pengobatan kembali pada hari kesepuluh (ISKANDAR, 1982). MANURUNG et
al . (1986a) telah menguji khasiat Neguvon 0,15% dan Asuntol 0,05 - 0,2% yang
mampu mengobati skabies pada kelinci. Kambing yang terserang skabies dapat
diobati menggunakan ivermectin dengan dosis 0,2 mg/kg bobot badan secara
subkutan . Pengobatan dapat diulangi kembali pada hari ke-21 .Selain ivermectin,
kambing yang menderita skabies juga dapat dimandikan dengan larutan Asuntol
0,1% sebanyak lima kali setiap sepuluh hari (MANURUNG et al ., 1986b ;
MANURUNG et a!., 1990) . Penggunaan ivermectin secara subkutan untuk
pengobatan anjing yang terserang skabies dilaporkan oleh JAGANNATH dan
YATHIRAJ (1999)
2.2 Etiologi
Diare adalah sebuah penyakit di mana tinja atau feses berubah menjadi
lembek atau cair dan biasanya terjadi dalam jumlah besar dan lebih dari 3 kali
selama 24 jam. Dua penyebab paling umum diare pada anak kelinci adalah
karena salah konsumsi pakan dan parasit usus.
Makanan membutuhkan waktu sekitar 8 jam untuk melewati usus kecil.
Selama waktu tersebut, sebagian besar makanan dan 80% air akan terserap.
Sisanya dikonsentrat oleh usus besar. Pada akhirnya, akan dikeluarkan feses
dengan bentuk normal/baik. Feses yang normal adalah tidak mengandung lendir,
darah atau makanan yang tidak tercerna.
Diare bisa terjadi salah satunya karena adanya rapid transit, yaitu
karena suatu hal proses penyerapan makanan di usus kecil terganggu sehingga
dampaknya makanan tidak dicerna kemudian segera masuk ke usus besar.
Makanan yang tidak dicerna dan tidak diserap usus akan menarik air dari
dinding usus. Pada keadaan ini proses transit di usus menjadi sangat singkat
sehingga air tidak sempat diserap oleh usus besar. Hal inilah yang menyebabkan
tinja berair pada diare.
Pemberian hijauan basah seperti kangkung dan kubis yang mengandung
air bisa memicu munculnya gangguan pencernaan seperti diare. Selain itu waktu
pemberian pakan tidak tetap demikian dengan jumlah dan jenisnya antara pakan
yang berserat kasar dengan pakan yang tidak berserat dan kadar protein tidak
seimbang dengan kebutuhannya. Pada anak kelinci umur 2-3 bulan hindari
pemberian hijauan yang mengandung kadar air tinggi dan berikan konsentrat
atau wortel.
Parasit usus merupakan penyebab umum dari diare akut dan kronis
pada anak kelinci dan kelinci dewasa. Masalah terbesar disebabkan oleh cacing
gelang (roundworms), cacing tambang (hookworms), whipworms, threadworms
dan protozoa (giardia). Dapat juga disebabkan karena infeksi bakteri.
2.3 Patofisiologi
Suatu proses absorbsi dapat berlangsung sempurna dan normal bila bolus
makanan tercampur baik dengan enzim-enzim saluran cerna dan berada dalam
keadaan yang cukup tercerna. Juga waktu sentuhan yang adekuat antara hasil
pencernaan dan permukaan mukosa usus halus diperlukan untuk absorbsi yang
normal (Simadibrata dan Setiati, 2006).
Diare atau mencret didefinisikan sebagai buang air besar dengan feses
yang tidak berbentuk (unformed stools) atau cair dengan frekwensi lebih dari 3
kali dalam 24 jam.Biasanya gejala klinis yang menyertai adalah keluhan
abdominal seperti mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah, demam,
tenesmus, serta gejala dan tanda dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja rutin secara
makroskopis ditemukan lendir dan/atau darah, secara mikroskopis didapati
leukosit polimorfonuklear. Mikroorganisme penyebab seperti, E.histolytica,
Shigella, Entero Invasive E.coli (EIEC),V.parahaemolitycus, C.difficile, dan
C.jejuni. Non Inflamatory diarrhea dengan kelainan yang ditemukan di usus halus
bagian proksimal, Proses diare adalah akibat adanya enterotoksin yang
mengakibatkan diare cair dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah, yang
disebut dengan Watery diarrhea. Keluhan abdominal biasanya minimal atau tidak
ada sama sekali, namun gejala dan tanda dehidrasi cepat timbul, terutama pada
kasus yang tidak segera mendapat cairan pengganti. Pada pemeriksaan tinja secara
rutin tidak ditemukan leukosit. Mikroorganisme penyebab seperti, V.cholerae,
Enterotoxigenic E.coli (ETEC), Salmonella. Penetrating diarrhea lokasi pada
bagian distal usus halus. Penyakit ini disebut juga Enteric fever, Chronic
Septicemia, dengan gejala klinis demam disertai diare. Pada pemeriksaan tinja
secara rutin didapati leukosit mononuclear. Mikrooragnisme penyebab biasanya
S.thypi, S.parathypi A,B, S.enteritidis, S.cholerasuis, Y.enterocolitidea, dan
C.fetus ((Juffrie et al, 2010).
2.5 Diagnosa
Diagnosa diare pada kelinci berdasarkan gejala klinis yang muncul. Selain
itu, dapat dilakukan melalui anamnesa, inspeksi terhadap gejala klinis yang
muncul seperti frekuensi dan konsistensi feses, intake cairan dan output urin.
Palpasi dilakukan pada bagian abdomen serta dilakukan auskultasi untuk
mengetahui frekuensi pulsus dan pernafasan.
Enteritis merupakan suatu proses radang usus yang berjalan akut atau
kronis, akan menyebabkan peningkatan peristaltik usus, kenaikan jumlah sekresi
kelenjar pencernaan serta penurunan proses penyerapan cairan maupun
penyerapan sari-sari makanan didalamnya. Radang usus primer maupun sekunder
ditandai dengan menurunnya nafsu makan, menurunnya kondisi tubuh, dehidrasi
dan diare. Perasaan sakit karena adanya radang usus bersifat bervariasi,
tergantung pada jenis hewan yang menderita serta derajat radang yang
dideritanya.
2.7 Prognosa
2.8 Pencegahan
Pisahkan kelinci yang terkena mencret/diare dari komunitas lain di
kandang
Ganti pakan yang berkadar air tinggi/basah dan gantikan dengan pakan
konsentrat /pelet khusus kelinci.
Bersihkan kandang dengan disinfectant untuk memutus rantai penyebaran
bakteri ke kandang lain.
2.9 Pengobatan
Penanganan anak kelinci / kelinci yang mengalami diare:
BAB III
METODOLOGI
2. Bahan
Ivermectin 0,03 mg
infus RL
injeksi Biosalamin 0,2 ml
Injeksi sulfadiazin 0,15 ml
Neokaominal 0,2 cc peroral
3.2 Prosedur Kerja
Prosedur kerja yang harus dilakukan ketika pasien datang atau kita
mendatangi pasien adalah :
1. Registrasi merupakan pencatatan data pemilik dan pasien pada ambulator
2. Anamnesa merupakan wawancara dokter hewan dengan pasien tentang
sejarah dari keadaan pasien sebelum dibawa ke dokter hewan
3. Pemeriksaan fisik meliputi gejala yang tampak saat dilakukan pemeriksaan.
Tidak hanya tampak mata, tapi yang dapat kita dengar, raba, bau dan melalui
metode pemeriksaan lain meliputi inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi serta
pemeriksaan lanjutan seperti laboratorium , rontgen dan sebagainya
4. Diagnosa
5. Prognosa
6. Penanganan meliputi pengobatan dan pencegahan dengan cara memberi
edukasi kepada pasien
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
A. Scabies pada kucing
PEMERIKSAAN FISIK
1. Anamnesa
Rambut berwarna kusam, rambut pada bagian kepala rontok,
permukaan kulit tidak rata karena terjadi allopecia, dan bau kulit menyengat
2. Signalemen hewan
Nama : Lulu
Jenis hewan/kelamin : kucing betina
Ras/breed : campuran
Warna bulu/kulit : abu-abu
Umur : 4 bulan
Berat badan : 1.1 kg
Tanda khusus :-
3. Status present
3.1 Keadaan Umum
sistem pernafasan
1. inspeksi
bentuk rongga thorax: simetris
tipe pernafasan : pernafasan dada
ritme : teratur
intensitas : sedang
frekuensi : 32 kali/ menit
trakhea : trakhea terlihat
batuk : tidak timbul refleks batuk
2. palpasi
trakhea : tidak ada refleks batuk
penekanan rongga thorax : tidak ada refleks sakit
palpasi intercostal : tidak ada refleks sakit
3. perkusi
4. auskultasi
suara pernafasan : suara bronchial
suara ikutan antara inspirasi & ekspirasi: tidak ada suara ikutan yang
abnormal
sistem persedaran darah
1. inspeksi
ictus cordis : tidak terlihat penonjolan apex jantung
2. perkusi
lapangan jantung : tidak ada perubahan pada daerah pekak jantung
dan terletak pada costae 3-6
1. auskultasi
frekuensi : 80 kali/menit
intensitas : kuat
ritme : teratur
suara sistolik dan diastolik: jelas LUB-DUB
ekstrasistolik : tidak ada bising atau murmur
lapangan jantung : tidak ada perubahan suara pada lapangan jantung
sinkron pulsus dan jantung: sinkron
1.6 abdomen dan organ pencernaan yang berkaitan
1. inspeksi
besarnya : tidak mengalami pembesaran
bentuknya : simetris
legok lapar : tidak terlihat
2. auskultasi
suara persitaltik lambung : terdengar
3. palpasi
epigastricus : teraba dan tidak ada refleks sakit
mesogastricus : teraba dan tidak ada refleks sakit
hipogastricus : teraba dan tidak ada refleks sakit
isi usus halus : teraba
isi usus besar : teraba
4. auskultasi
Anus
sekitar anus : kotor
reflek spinkter ani : ada refleks
pembesaran kolon : tidak mengalami pembesaran
kebersihan daerah perianal : kotor
1.7 alat perkemihan dan kelamin (urogenitalis) betina
1. Inspeksi
Mukosa Vulva : tidak terlihat karena sangat kotor
1. Kelenjar mammae
Besar : kecil
Letak : di tengah
Bentuk : bulat
Kesimetrisan : simetris kanan dan kiri
Konsistensi kelenjar : kenyal
1.8 alat gerak
1. inspeksi
perototan kaki depan : kompak
perototan kaki belakang : kompak
spasmus otot : tidak ada
tremor : tidak ada
sudut persendian : gerakan otot fleksibel
cara bergerak-berjalan : tidak ada kepincangan
cara bergerak-berlari :seimbang/ koordinatif
1. kestabilan pelvis
konformasi : kompak, kokoh
kesimetrisan : simetris kanan dan kiri
tuber ischii : tidak terlihat
tuber coxae : tidak terlihat
2. palpasi
struktur pertulangan
kaki kiri depan : kompak dan kokoh
kaki kanan depan : kompak dan kokoh
kaki kiri belakang : kompak dan kokoh
kaki kanan belakang : kompak dan kokoh
konsistensi pertulangan : keras
reaksi saat palpasi : tidak ada reaksi saat dipalpasi
panjang kaki depan kanan-kiri : simetris
panjang kaki belakang kanan-kiri: simetris
3. limphoglandula poplitea
ukuran : kecil
konsistensi : kenyal
lobulasi : jelas
perlekatan : tidak mengalami pembesaran, tidak melekat
suhu kulit : tidak rata
kesimetrisan : simetris kanan dan kiri
1.9 pemeriksaan lanjutan :-
1.10 diagnosa : Scabies
1.11 diagnosa banding : Demodexocis, keratosis
1.12 prognosa : Fausta sampai infausta
1.13 terapi : Ivermectin 0,03 mg dan RL diberikan
untuk membersihkan keropeng yang ada di
daerah telinga
Hari : Selasa
Tanggal : 16-12-2014
Catatan :-
Dokter jaga : Drh. Dodik
Telinga
Posisi : tegak
Bau : tidak bau
Kebersihan : bersih
Permukaan daun telinga : halus, normal
Krepitasi : tidak ada krepitasi
Reflek panggilan : respon cepat/baik
Leher
Perototan : kompak, padat
Trachea : teraba
Esofagus : teraba
3.5 Kelenjar pertahanan
Lymphonodus rethropharingealis
Ukuran : sedang
Lobulasi : lonjong
Perlekatan : melekat sempurna
Konsistensi : kenyal
Suhu kulit : sama dengan suhu lingkungan
Kesimetrisan : simetris
3.6 Thoraks
Sistem pernafasan
Inspeksi
Bentuk rongga thorax : simetris
Tipe pernafasan : pernafasan abdomen
Ritme : teratur
Intensitas : sedang
Frekuensi :
Trakhea : tidak terlihat
Batuk : tidak timbul refleks batuk
Palpasi
Trakhea : tidak ada refleks batuk
Penekanan rongga thorax : tidak ada refleks sakit
Palpasi intercostal : tidak ada refleks sakit
Perkusi
Lapangan paru-paru : tidak ada perubahan
Gema perkusi : nyaring/resonan
Auskultasi
Suara pernafasan : suara bronchial
Suara ikutan antara inspirasi dan ekspirasi : tidak ada suara ikutan yang
abnormal
3.7 Sistem peredaran darah
Inspeksi
Ictus cordis : tidak terlihat penonjolan apex jantung
Perkusi
Lapangan jantung : tidak ada perubahan pada daerah pekak
jantung
Auskultasi
Frekuensi :
Intensitas :
Ritme : teratur
Suara sistolik dan diastolik : jelas lub-dub
Ekstrasistolik : tidak ada bising atau mur-mur
Lapangan jantung : tidak ada perubahan suara pada lapangan
jantung
Sinkron pulsus jantung : sinkron
3.8 Abdomen dan Organ Pencernaan yang Berkaitan
Inspeksi
Besarnya : tidak mengalami pembesaran
Bentuknya : bentuk simetris
Legok lapar : tidak terlihat
Auskultasi
Suara peristaltik lambung : terdengar
Palpasi
Epigastricus : teraba dan tidak ada refleks sakit
Mesogastricus : teraba dan tidak ada refleks sakit
Hipogastricus : teraba dan tidak ada refleks sakit
Isi usus halus : teraba
Isi usus besar : teraba
Auskultasi
Peristaltik usus : terdengar
Anus
Sekitar anus : kotor
Refleks sfinkter ani : ada refleks
Pembesaran kolon : tidak mengalami pembesaran
Kebersihan daerah perianal : kotor
Kestabilan pelvis
Konformasi : kompak/kokoh
Kesimetrisan : simetris kanan kiri
Tuber ischii : tidak terlihat
Tuber coxae : tidak terlihat
Palpasi
Struktur pertulangan
Kaki kiri depan : kompak/kokoh
Kaki kanan depan : kompak/kokoh
Kaki kiri belakang : kompak/kokoh
Kaki kanan belakang : kompak/kokoh
Konsistensi pertulangan : keras
Reaksi saat palpasi : tidak ada reaksi sakit
Panjang kaki depan kanan kiri : simetris
Panjang kaki belakang kanan kiri : sama kanan kiri
Limphoglandula poplitea
Ukuran : kecil
Konsistensi : kenyal
Lobulasi : kurang jelas
Perlekatan : tidak melekat
Suhu kulit : sama dengan suhu tubuh
Kesimetrisan : simetris kanan kiri
Hari : Selasa
Tanggal : 16 Desember 2014
Catatan : perbaiki tipe pakan, berikan konsentrat
kering dan wortel.
1.1 Pembahasan
A. Scabies pada kucing
Setiap pasien yang datang terlebih dahulu melakukan registrasi
dengan mengisi kertas ambulator. Ambulator berisi data pribadi clien dan
pasien., anamnesa, dan status present. Pasien yang datang pada saat
kelompok 2 jaga adalah kucing bernama lulu dengan berat badan 1,1 kg
dan suhu tubuh 38,1 0C. Pasien datng dengan keluhan scabies. Setelah
diperiksa respirasi dan pulsus, pasien diberikan terapi ivermectin (dosis
nya aku gak nyatat). setelah itu pasien dibersihkan bagian keropengnya
yang ada dibagian telinga dan dibersihkan telinga bagian dalam. Setelah
serangkaian pemeriksaan selesai kucing dimasukan dalam kandang inap.
Kandang inap seharusnya antara hewan dengan penyakit menular ridak
dalam satu ruangan. Akan tetapi di klinik kedokteran hewan UB, kamu
menemukan pasien yang kami rawat karena skabies (menular) dalam satu
ruangan dengan pasien yang belum terken skabies.
2. Pengobatan
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 2005. Pedoman Teknis Imunisasi Tingkat Puskesmas. Depkes RI.
Juffrie, Mohammad. 2010. Gastroenterologi-hepatologi Jilid I. Jakarta: IDAI.
Lawrence, G., J . Leafasia, J . Sheridan, S . Hills, J . Wate, C. Wate, J .
Montgomery, N . Pandeya And D. Purdie . 2004 . Control Of Scabies, skin
sores and haematuria in children in the Solomon Islands : Another role for
ivermectin . Bull . WHO. 83(1) : 34-42.
Mansjoer,Arif, dkk., 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3. Jakarta: Medica
Aesculpalus FKUI.
Partosoedjono, S . 2003 . Scabies dan kualitas sanitasi masyarakat. Kompas,
Jum'at, 05 September 2003 .
Robert, S . And M.D .M.S . Fawcett . 2003 . Ivermectin use in scabies. Am. Fam .
Physic. 68(6) : 1089 - 1092 .
Simadibrata, M dan Setiati S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV.
Pusat Penerbitan Departemen.
Soegijanto S. 2006. Ilmu Penyakit Anak “Diagnosa dan Penatalaksanaan”.
Surabaya: Airlangga University Press.
Suhardono, J. Manurung, A.P . Batubara, Wasito Dan H . Harahap. 2005 .
Pengendalian penyakit kudis pada kambing di Kabupaten Deli Serdang.
Pros . Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor, 12 -
13 September 2005. Puslitbang Peternakan, Bogor . him . 1001 - 1014 .
Suraatmaja, S. 2007. Aspek Gizi Air Susu Ibu. Jakarta: EGC.
Walton, S.F ., C.H . Deborah, B .J . Currie And D .J . Kemp . 2004 . Scabies : new
future for a neglected disease . Adv. Parasitol . 57 : 309 - 376 .