Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hiperglikemia dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein


yang ditandai dengan penurunan insensitivitas sel terhadap insulin dinamakan
penyakit Diabetes Melitus (DM) (Soelistijo dkk, 2015). Diabetes mellitus
(DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis
dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai
dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat
insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh
gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans
kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh
terhadap insulin (Departemen Kesehatan RI, 2005). Diabetes Melitus (DM)
adalah kelainan metabolisme karbohidrat, di mana glukosa darah tidak dapat
digunakan dengan baik, sehingga menyebabkan keadaan hiperglikemia. DM
merupakan kelainan endokrin yang terbanyak dijumpai. Penderita DM
mempunyai risiko untuk menderita komplikasi yang spesifik akibat perjalanan
penyakit ini, yaitu retinopati (bisa menyebabkan kebutaan), gagal ginjal,
neuropati, aterosklerosis (bisa menyebabkan stroke), gangren, dan penyakit
arteria koronaria (Coronary artery disease). Diabetes melitus diklasifikasikan
menjadi diabetes melitus tipe I atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus
(IDDM) dan tipe II atau Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM).
Pada DM tipe II ditandai dengan kelainan dalam sekresi insulin maupun
ketidakmampuan pankreas untuk menghasilkan insulin yang cukup untuk
mempertahankan glukosa plasma yang normal (Corwin 2009). Obat-obat
kimia yang digunakan untuk mengobati DM tipe II yaitu golongan , biguanida,
inhibitor α-glukosidase, thiazolidinediones dapat menurunkan kadar gula
darah dengan mekanisme yang berbeda. Salah satu mekanisme kerja obat
tersebut diatas adalah sebagai inhibitor α-glukosidase seperti acarbose,
miglitol dan voglibose yang digunakan untuk menunda penyerapan glukosa di
usus halus sehingga terjadi penurunan kadar glukosa setelah makan. Obat-obat
ini sering digunakan untuk mengobati pasien penderita DM tipe II (Levetan,
2007).

Senyawa-senyawa inhibitor α-glukosidase bekerja menghambat enzim α-


glukosidase yang terdapat pada dinding usus halus. Enzim-enzim α-
glukosidase (maltase, isomaltase, glukomaltase dan sukrase) berfungsi untuk
menghidrolisis oligosakarida dan disakarida pada dinding usus halus (Shinde
et al. 2008). Namun, banyak agen hipoglikemik memiliki keterbatasan, yaitu
menimbulkan efek samping dan meningkatkan komplikasi diabetes. Efek
samping yang utama dari inhibitor α-glukosidase pada gastrointestinal antara
lain adalah kembung, mual, diare, dan flatulensi (Sudha et al. 2011). Acarbose
merupakan inhibitor α-glukosidase yang bekerja menghambat absorpsi
glukosa dan digunakan untuk mengendalikan hiperglikemia post-prandial.
Acarbose tidak hanya berperan penting dalam penyerapan karbohidrat dari
makanan ke dalam darah, tetapi secara tidak langsung juga berperan dalam
optimalisasi metabolisme glukosa sepanjang hari (Velina, 2012).

Berdasarkan dari penelitian sebelumnya, tanaman yang dapat mencegah


terjadinya karsinogenesis, antidiare, antidiabetes, antihipertensi yaitu Cincau
hitam (Mesona palustris BL) (Maslukhah, 2016). Cincau hitam dipercaya
untuk penurunan, penyembuhan, berbagai penyakit degeneratif yaitu diabetes
melitus dan dikenal sebagai antioksidan alami (Wahyono dkk. 2015). Cincau
hitam (Mesona palustris BL) telah diketahui bersifat multifungsi di bidang
kesehatan antara lain sebagai antimutagenik, hepatoprotektor, antioksidan,
imunomodulator dan berpotensi mencegah terjadinya karsinogenesis, antidiare,
antidiabetes, antihipertensi (Yen, 2001).

Pada penelitian Maslukhah dkk (2016) menyebutkan ekstrak air Hsian-


tsao yang berasal dari Cina memiliki aktivitas antioksidan tertinggi jika
dibandingkan komponen fenolik lain seperti protocatechuic acid, p-
hedroxybenzoic acid, vanillic acid, dan syringic acid. Komponen aktif yang
terdapat dalam daun cincau hitam memiliki senyawa bioaktif dan bermanfaat
bagi tubuh diantaranya senyawa flavonoid, polifenol, glikosida, saponin,
terpenoid dan steroid (Dewanti dkk. 2015). Senyawa fenolik atau total fenol
adalah komponen bioaktif daun cincau (Mesona palustris BL) yang
mempunyai sifat antioksidan yang digolongkan sebagai antioksidan eksogen,
merupakan senyawa yang dicirikan memiliki satu atau lebih gugus hidroksil
pada cincin aromatis (Zahra dkk. 2017). Kandungan serat larut air yang
terdapat pada cincau hitam atau disebut sebagai komponen pembentuk gel
(KPG) yang merupakan suatu polisakarida alami dan dikategorikan sebagai
hidrokoloid yaitu gum dan bersifat polar (Maslukhah dkk. 2016).
Penelitian cincau hitam di Indonesia sudah terbukti bersifat multifungsi
sebagai antioksidan, antibakteri, imunomodulator, kemopreventif kanker, dan
hepatoprotektor (Widyaningsih dan Safitri 2013). Hasil penelitian menyatakan
cincau hitam memiliki khasiat sebagai antimutagenik, antihipertensi, serta
protektif renal (ginjal) pada tikus diabetes (Arditiana dkk. 2015). Tamboto
(2015) melaporkan bahwa ekstrak cair daun cincau hitam yang ditambahkan
dengan HCL dan serbuk Magnesium (Mg) menghasilkan perubahan warna
kuning yang membuktikan positif mengandung senyawa flavonoid dan
memiliki ekfektivitas sebagai antioksidan dengan persen perendaman radikal
bebas nilai IC50 sebesar 70,63 μg/mL dalam sediaan mikroemulsi-gel ekstrak
etanol daun cincau hitam. Tarnajaya dkk. (2018) melaporkan bahwa ekstrak
daun cincau hitam mengandung flavonoid sebesar 432,879 mg/100gQE, total
fenol sebesar 653,555 mg/100gQE, dengan kapasitas antioksidan sebesar
1054,7600 mg/L dan IC50 sebesar 4,3670 mg/ml. IC50 dapat didefinisikan
sebagai konsentrasi larutan sampel yang akan menyebabkan reduksi aktivitas
DPPH sebesar 50%, semakin kecil nilai IC50 menunjukkan aktivitas
antioksidan semakin tinggi. Sedangkan Yunahara (2013) melaporkan bahwa
fraksi etil asetat daun cincau hitam dengan LC50 berturut-turut sebesar 2,66
bpj dan 4,82 bpj dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) bersifat
toksik. Pada penelitian yang dilakukan oleh Jaleswati (2016) menyebutkan
bahwa daun cincau hitam memiliki aktivitas inhibitor α-glukosidase dengan
nilai IC50 sebesar 389,10 ppm dan memiliki potensi relatif sebesar 0,46 kali
akarbosa.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dilakukan penelitian untuk
menguji aktivitas penghambatan α-glukosidase dari fraksi etil asetat daun
cincau hitam. Pengujian dilakukan secara in vitro menggunakan enzim α-
glukosidase dan produk p-nitrofenol merupakan hasil hidrolisis dari substrat
p-nitrofenil-α-D-glukopiranosida oleh α-glukosidase. Uji penghambatan
aktivitas α-glukosidase dilakukan dengan mengukur absorbansi p-nitrofenol
menggunakan microplate reader pada panjang gelombang 415 nm.
Pembanding yang digunakan adalah acarbose. Parameter adanya aktivitas
penghambatan ditunjukkan oleh nilai persen inhibisi dan IC50, yaitu
konsentrasi yang dapat menghambat aktivitas α-glukosidase dalam kondisi
pengujian.

B. Permasalahan Penelitian
Permasalahan pada penelitian ini apakah fraksi etil asetat daun cincau
hitam (Mesona palustris Blume) mempunyai aktivitas penghambatan enzim α-
glukosidase secara in vitro?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas inhibitor α-
glukosidase dari fraksi etil asetat daun cincau hitam (Mesona palustris Blume).

D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk membuktikan bahwa fraksi etil asetat
daun cincau hitam (Mesona palustris Blume) memiliki mekanisme
penghambatan terhadap aktivitas α-glukosidase, sehingga diharapkan dapat
memberikan informasi ilmiah bahwa daun cincau hitam dapat dijadikan
sebagai alternatif pengobatan diabetes.

Anda mungkin juga menyukai