Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

                                                                          

A. Latar Belakang Masalah

Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Guidelines for consumer protection

of 1985, menyatakan bahwa “konsumen dimanapun mereka berada, dari segala

bangsa, mempunyai hak-hak dasar sosialnya”. Yang dimaksud  hak-hak dasar tersebut

adalah hak untuk mendapatkan informasi yang jelas, benar, dan jujur; hak untuk

mendapatkan ganti rugi; hak untuk mendapatkan kebutuhan dasarnya; hak untuk

mendapatkan lingkungan yang baik dan bersih serta kewajiban untuk menjaga

lingkungan; dan hak untuk mendapatkan pendidikan dasar. PBB menghimbau kepada

semua negara anggotanya untuk memberlakukan hak-hak konsumen tersebut di

negaranya masing-masing (Nasution, 2001: 7).

Perlindungan hukum diperlukan untuk mengurangi dan mencegah

kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Dengan adanya perlindungan

hukum tidak berarti akan menghilangkan sama sekali kerugian dan kecelakaan pada

konsumen. Karena, sulit atau bahkan tidak mungkin menghilangkan sama sekali

hingga titik nol. Tetapi, yang paling realistis adalah dengan berusaha meminimalisasi

terjadinya resiko yang tidak diinginkan. Berbagai kemajuan-kemajuan dalam bidang

teknologi telah menimbulkan dampak yang begitu besar dalam kehidupan pada

zaman globalisasi ini. Berbagai peralatan canggih pada umumnya dapat digunakan

dengan bergantung kepada tenaga listrik. Listrik adalah kebutuhan pokok dari

1
2

masyarakat saat ini demi menjalani kegiatan sehari-harinya. Maka dari itu,

ketenagalistrikan merupakan cabang produksi yang sangat penting bagi negara

sebagai salah satu hasil pemanfaatan kekayaan alam yang menguasai hajat hidup

orang banyak, maka berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang

Ketenagalistrikan, penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara, yang

pelaksanaannya dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), melalui

pemberian kuasa usaha ketenagalistrikan (Sasongko, 1995: 99).

Pasal 1 Angka 1 UU Ketenagalistrikan, menjelaskan mengenai pengertian

ketenagalistrikan, yaitu “segala sesuatu yang menyangkut penyediaan dan

pemanfaatan tenaga listrik serta usaha penunjang tenaga listrik”. Menurut Pasal 2

ayat (2) UU Ketenagalistrikan juncto Pasal 41 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor

14 Tahun 2012 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik, asas dan tujuan

yang dianut UU tentang Ketenagalistrikan, bahwa pembangunan ketenagalistrikan

bertujuan untuk menjamin ketersediaan tenaga listrik dalam jumlah yang cukup,

kualitas yang baik, dan harga yang wajar dalam meningkatkan kesejahteraan dan

kemakmuran rakyat secara adil dan merata. Dapat dikatakan bahwa, tenaga listrik

memiliki peran penting dan strategis dalam mewujudkan tujuan pembangunan

nasional. Dengan upaya penyediaan tenaga listrik yang dikuasai oleh negara dan

penyediaannya perlu terus ditingkatkan sejalan dengan perkembangan pembangunan

agar tersedia tenaga listrik dalam jumlah cukup, merata dan bermutu.  PLN

merupakan perusahaan negara yang bergerak di bidang pelayanan umum yang

bersifat profit. Meskipun profit, perusahaan negara seperti ini sangat menguntungkan
3

rakyat banyak sebab tujuannya lebih banyak diarahkan pada usaha memakmurkan

masyarakat (Juni, 2015: 25). Tahun 1972, Pemerintah Indonesia menetapkan status

Perusahaan Listrik Negara menjadi Perusahaan Umum Listrik Negara (PLN). Dan

melalui Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1990, PLN ditetapkan sebagai

pemegang kuasa usaha ketenagalistrikan di seluruh wilayah Indonesia. Dalam

prinsip-prinsip yang dianut dalam UU Ketenagalistrikan, PT. PLN (Persero) selaku

pemegang kuasa usaha ketenagalistrikan wajib menyediakan tenaga listrik secara

terus menerus (berkesinambungan) dengan mutu dan keandalan yang baik, juga wajib

memberikan pelayanan yang baik kepada pelanggannya yaitu konsumen listrik.

Ternyata keadaan yang sekarang terjadi di Indonesia jauh dengan apa yang telah

ditetapkan dalam UU tersebut.

Tenaga listrik, sebagai salah satu hasil pemanfaatan kekayaan alam yang

mempunyai peranan penting bagi negara. Sebagaimana diketahui bahwa, Pemerintah

dan Pemerintah Daerah menyelenggarakan usaha penyediaan tenaga listrik yang

pelaksanaannya dilakukan oleh badan usaha milik negara dan badan usaha milik

daerah. Untuk lebih meningkatkan kemampuan negara dalam penyediaan tenaga

listrik, maka pemerintah memberi kesempatan kepada badan usaha swasta, koperasi,

dan swadaya masyarakat untuk berpartisipasi dalam usaha penyediaan tenaga listrik.

Sesuai dengan prinsip otonomi daerah, Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai

dengan kewenangannya menetapkan izin usaha penyediaan tenaga listrik.

Dikarenakan tenaga listrik mempunyai peran yang sangat penting dan strategis dalam

mewujudkan tujuan pembangunan nasional maka usaha penyediaan tenaga listrik


4

dikuasai oleh negara dan penyediaannya perlu terus ditingkatkan sejalan dengan

perkembangan pembangunan agar tersedia tenaga listrik dalam jumlah yang cukup,

merata dan bermutu. Dengan energi listrik berasal dari pemanfaatan sumber daya

alam yang kemudian dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat, maka hal tersebut akan berimplikasi kepada hak masyarakat untuk

mendapatkan pemenuhan kebutuhan akan listrik. Pada kenyataannya, masih

seringnya terjadi pemadaman listrik secara sepihak yang dilakukan karena

pemeliharaan ataupun pemadaman yang tidak terencana seperti gangguan yang tidak

bisa diprediksi oleh PT. PLN (Persero), hal tersebut tentunya mengganggu aktivitas

masyarakat (konsumen). Masyarakat pengguna tenaga listrik tentunya kecewa dengan

pihak PT. PLN (Persero) sebagai pengelola listrik di Indonesia, karena PT. PLN

(Persero) dianggap melalaikan kewajibannya yaitu menyediakan tenaga listrik yang

memenuhi standar mutu.

Dengan adanya pemadaman secara sepihak tersebut, tentu menimbulkan

kerugian bagi beberapa konsumen dari pengguna jasa PT. PLN (Persero), contohnya

pada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) pada bidang jasa cuci

pakaian (Laundry). Bagi UMKM pada bidang laundry yang hanya mengandalkan

tenaga listrik dan tidak memiliki alat penghasil daya listrik yaitu generator set

(Genset), tentunya akan mengalami kerugian karena aktivitasnya terganggu dan tidak

dapat menyelesaikan pekerjaannya. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen (UUPK), mengatur mengenai hak konsumen pada Pasal 4

huruf h yang menjelaskan  bahwa konsumen berhak mendapatkan kompensasi, ganti


5

rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai

dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Sama halnya pada UU

Ketenagalistrikan tertera pada Pasal 29 ayat (1) huruf e yang menjabarkan mengenai

ganti rugi apabila terjadi pemadaman yang diakibatkan kesalahan dan/atau kelalaian

pengoperasian oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik sesuai syarat yang

diatur dalam perjanjian jual beli tenaga listrik. Dalam surat perjanjian Jual Beli

Tenaga Listrik Prabayar yang dibuat oleh PT. PLN (Persero) dengan perjanjian

baku/klausula baku, pengguna jasa listrik mengikatkan diri untuk membayar rekening

listrik yang ditagih oleh PT. PLN (Persero), dan akan mendapat sanksi pemutusan

sementara tegangan listrik ke konsumen apabila tidak memenuhi pembayaran sesuai

batasan waktu yang seharusnya (keterlambatan pembayaran).

Konsumen dengan mudahnya secara sepihak dijatuhi sanksi bila yang

bersangkutan terlambat membayar kewajibannya, tetapi sebaliknya sanksi yang sama

tidak dapat diarahkan kepada pejabat tata usaha negara (aparat BUMN/BUMD) yang

terlambat merealisasikan pelayanannya kepada masyarakat, ketimpangan ini dapat

terjadi disemua sektor kehidupan (Sidharta, 2012: 173). Konsumen merupakan

pengguna jasa listrik yang harus dilindungi oleh hukum, mengingat banyak kasus di

bidang listrik yang malah merugikan konsumen sendiri, salah satunya adalah

pemadaman listrik secara sepihak. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen (UUPK) memiliki tujuan untuk meningkatkan kesadaran,

kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri, mengangkat harkat

dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian
6

barang dan/atau jasa, meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,

menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen, menciptakan sistem

perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan

informasi serta akses untuk mendapatkan informasi, menumbuhkan kesadaran pelaku

usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang

jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha, meningkatkan kualitas barang dan/atau

jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,

kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. Dari beberapa poin tujuan

UUPK, masalah kenyamanan, keamanan, dan keselamatan merupakan hal yang

paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen (Widjaja dan Yani, 2001:

30). Adanya perjanjian baku tersebut menyebabkan pihak PT. PLN (Persero) dapat

mencantumkan ketentuan-ketentuan sesuai keinginannya, sehingga memungkinkan

dalam perjanjian baku tersebut lebih condong menguntungkan PT. PLN (Persero) dan

memberatkan konsumen. Konsumen yang tidak memiliki pilihan lain selain

menyetujui perjanjian baku tersebut karena begitu memerlukan listrik dalam

melakukan kegiatan sehari-harinya dengan terpaksa menyetujui perjanjian baku

tersebut.

Perjanjian baku menurut Sutan Remi Sjahdeini yaitu sebagai perjanjian yang

hampir seluruh klausula-klausula dibakukan oleh pihak yang lebih kuat

kedudukannya dan pihak lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk

merundingkan atau meminta perubahan (Kristiyani, 2011: 139). Dalam rangka

pelaksanaan jual beli tenaga listrik maka timbul hubungan hukum antar konsumen
7

dengan PT. PLN (Persero). Hubungan tersebut melekat hak dan kewajiban, hal

tersebut merupakan keterikatan penjual untuk menyerahkan barang dan/atau jasa dan

memperoleh pembayaran, keterikatan pembeli untuk membayar harga dan

memperoleh barang dan/atau jasa (Muhammad, 2010: 318). 

Usaha untuk melindungi konsumen secara umum dan mengikat posisi

konsumen yang lemah, maka hukum harus melindungi konsumen sebagaimana dari

tujuan hukum itu sendiri yaitu memberikan perlindungan kepada masyarakat.

Keseimbangan antara  konsumen dan produsen dapat dicapai dengan meningkatkan

perlindungan terhadap konsumen karena posisi produsen lebih kuat dibandingkan

konsumen (Hernoko, 2013: 28). Akibat pemadaman listrik yang terjadi, menimbulkan

dampak negatif berupa kerugian pada pihak konsumennya. Tidak hanya konsumen

langsung (pelanggan PT. PLN) yang dirugikan, masyarakat yang secara tidak

langsung mempunyai hubungan hukum dengan PT. PLN juga ikut dirugikan akibat

tidak berfungsi bagi fasilitas umum yang tenaganya mengandalkan listrik yang

berasal dari PT. PLN (Persero), seperti lampu pengatur lalu lintas, Stasiun Pompa

Bensin Umum (SPBU). Nilai nominal kerugian konsumen tersebut juga beragam,

baik konsumen sebagai pelanggar rumah tangga ataupun pelanggan bisnis.

Hal ini juga dirasakan di Wilayah Duren Mekar Kec. Bojongsari Kota Depok.

Dampak Pemadaman Listrik dKecamatan Bojongsari : Pelayanan Duren Mekar

Terhenti, Dikeluhkan Pedagang Minuman. Perusahaan Listrik Negara (PLN)

memadamkan listrik untuk wilayah Kecamatan Bojongsari, khususnya Kelurahan

Duren Mekar dan Kelurahan Duren Seribu. Dampaknya sejumlah instansi


8

pemerintahan dan pedagang mengalami gangguan. Kelurahan Duren Mekar tidak

dapat melayani masyarakat dikarenakan pemadaman listrik. Bahkan, pedagang

minuman mengeluhkan pemadaman listrik sehingga menurunkan omset penjualan.

Untuk pelanggan rumah tangga, bentuk kerugian mulai dari tidak bisa mandi

karena pompa air tidak berfungsi, harus membeli lilin sebagai pengganti lampu yang

padam, dan masalah kerusakan alat-alat elektronik adalah yang utama dikeluhkan.

Untuk pelanggan bisnis, bentuk kerugian mulai dari produksi barang yang berkurang

karena pemadaman aliran listrik yang berdampak mesin produksi tidak dapat bekerja,

dan lain sebagainya (Juni, 2015: 8). Kebutuhan listrik tidak hanya dalam kegiatan

rumah tangga, melainkan meluas hingga kegiatan industri dan mempunyai dampak

yang signifikan terhadap perekonomian. Ketersediaan listrik harus dijamin agar dapat

menjalankan fungsinya sebagai penggerak sekaligus tulang punggung ekonomi

nasional, sehingga tenaga listrik merupakan cabang produksi yang menguasai hajat

hidup orang banyak sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan Pasal 33 Ayat 2

Undang-Undang Dasar 1945. Tanggung jawab PT. PLN (Persero) timbul karena

terjadinya gangguan dalam pelayanan yang diberikan oleh PT. PLN (Persero).

Gangguan ini mengakibatkan kerugian pada pelanggan. Atas kerugian ini

pelanggan listrik dapat mengajukan gugatan terhadap PT. PLN (Persero) atas dasar

wanprestasi atau dapat juga atas dasar perbuatan melawan hukum. Untuk pembuktian

ada atau tidaknya unsur kesalahan maka PT. PLN (Persero) yang akan

membuktikannya berdasarkan Tingkat Mutu Pelayanan dan Rekap Dasar Laporan

Pemadaman, sedangkan pelanggan listrik yang merasa dirugikan, didasarkan pada


9

prinsip tanggung gugat yaitu dengan beban pembuktian terbalik. Pembuktian

tanggung gugat produsen karena adanya perbuatan melanggar hukum yang dilakukan

secara umum dalam hukum pembuktian, yaitu membebankan kepada penggugat

untuk membuktikan adanya kesalahan tergugat yang menyebabkan kerugian, setelah

lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

pembuktian tentang ada tidaknya kesalahan pelaku usaha tersebut dibebankan kepada

produsen.

Adanya ganti kerugian yang dijanjikan oleh UU Ketenagalistrikan ternyata

masih jauh dari yang diharapkan konsumen listrik. Apalagi dengan posisi konsumen

yang lemah dan PT. PLN sebagai satu-satunya perusahaan pemasok listrik di seluruh

wilayah Indonesia. Dalam penjelasan UUPK disebutkan bahwa peranti hukum yang

melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan upaya para pelaku usaha,

tetapi justru sebaliknya, sebab perlindungan konsumen dapat mendorong iklim usaha

yang sehat, serta lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan

melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas. UUPK ini mengacu pada

filosofi pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum yang memberikan

perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia

seutuhnya yang berlandaskan pada filosofi kenegaraan Republik Indonesia, yaitu

dasar negara Pancasila dan konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu,

dalam Burgerlijk Wetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga terdapat

ketentuan-ketentuan yang bertendensi melindungi konsumen, seperti dalam beberapa

Pasal Buku III, Bab V, Bagian II yang dimulai dari Pasal 1365.
10

Upaya perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen pengguna jasa

ketenagalistrikan, adalah dengan perlindungan hukum secara preventif,  namun upaya

perlindungan hukum secara preventif   dirasa kurang efektif karena pada realisasinya

masih terdapat banyaknya keluhan dari konsumen yang merasa dirugikan dan masih

belum mendapat ganti rugi serta belum mendapatkan kepastian akan hak-haknya

yang terlalaikan akibat tindakan dari pelaku usaha.

Pelaku usaha jasa ketenagalistrikan jika dalam usahanya merugikan

kepentingan konsumen maka ia diharuskan bertanggung jawab dalam hal pemberian

ganti kerugian, dan bertanggung jawab untuk berproses hukum. Upaya yang dapat

dilakukan oleh pelaku usaha jasa ketenagalistrikan jika hak-haknya tidak dipenuhi

oleh pelaku usaha jasa ketenagalistrikan, yakni dapat meminta ganti rugi kepada

pelaku usaha, menyelesaikan sengketa konsumen melalui BPSK, menyelesaikan

sengketa konsumen melalui Pengadilan.

Dalam hal meningkatkan upaya perlindungan terhadap konsumen diperlukan

pula adanya penyuluhan atau sosialisasi kepada masyarakat agar mereka mengetahui

hal-hal apa saja yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan apabila ada suatu kegiatan

atau program kerja baru dari pihak pelaku usaha dan itu berkaitan dengan masyarakat.

Perlu adanya peninjauan ulang mengenai isi dari Undang-Undang Perlindungan

Konsumen, walaupun peraturan tersebut telah dijadikan dasar namun di dalamnya

tidak memuat mengenai  Bab yang mengatur ganti rugi dan atau kompensasi serta

pemulihan nama baik kepada para pelanggan/konsumen yang dirugikan, dan juga

perlu adanya Bab khusus di dalam UU Ketenagalistrikan yang membahas mengenai


11

pemulihan nama baik dan juga untuk melindungi para pengguna jasa

ketenagalistrikan, sehingga apabila ada kesalahan yang tidak mereka lakukan

pelanggan atau konsumen PLN tidak akan selalu diposisikan sebagai pihak yang

harus menerima saja hal-hal yang tercantum dalam salah satu kebijakan yang dibuat

tersebut.

Adanya ganti kerugian yang dijanjikan oleh Undang-Undang

Ketenagalistrikan ternyata masih jauh dari yang diharapkan konsumen listrik. Apalagi

dengan posisi konsumen yang lemah dan PT. PLN sebagai satu-satunya perusahaan

pemasok listrik di seluruh wilayah Indonesia. Inilah yang menjadi alasan bagi penulis

dalam memilih topik ini, untuk melihat lebih jauh tanggung jawab PT. PLN sebagai

perusahaan pemasok listrik terhadap konsumennya khususnya di wilayah Duren

Mekar Kec. Bojongsari Kota Depok.

Berdasarkan masalah di atas, maka Penulis menganalisi dan meneliti dengan

judul: TANGGUNGJAWAB DAN PELAKSANAAN GANTI KERUGIAN

OLEH PT. PLN (PERSERO) ATAS PEMADAMAN LISTRIK YANG

MERUGIKAN KONSUMEN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR

30 TAHUN 2009 TENTANG KETENAGALISTRIKAN

B. Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah, Rumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Permasalahan penelitian yang Penulis ajukan ini dapat diidentifikasi

permasalahannya sebagai berikut:


12

a. Masih terjadinya pemadaman listrik yang dilakukan oleh PT. PLN

(Persero) di Depok.

b. Bentuk tanggung jawab dan ganti kerugian oleh PT. PLN (Persero) terkait

kerugian yang dialami oleh konsumen.

2. Pembatasan Masalah    

Pembatasan masalah dimaksudkan sebagai upaya di dalam

menganalisis masalah sesuai dengan judul skripsi yang dibuat Penulis agar

tidak terlalu meluas dan fokus pada kasus yang diteliti. Permasalahan

penelitian ini dibatasi pada perlindungan hukum dan bentuk pertanggung

jawaban terkait pemadaman listrik oleh PT. PLN (Persero).

3. Rumusan Masalah

a. Apakah faktor yang menyebabkan masih seringnya terjadi pemadaman

listrik oleh PT. PLN (Persero)?

b. Bagaimanakah tanggung jawab dan ganti kerugian oleh PT. PLN (Persero)

terhadap konsumen sebagai pengguna listrik yang dirugikan terkait

pemadaman listrik yang terjadi?

C. Landasan Teori dan Definisi Operasional

1. Landasan Teori

a. Teori Kepastian Hukum

Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan

dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan

logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi tafsir)


13

dan logis. Jelas dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma

lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma.

Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas,

tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat

dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif. Kepastian dan

keadilan bukanlah sekedar tuntutan moral, melainkan secara factual

mencirikan hukum. Suatu hukum yang tidak pasti dan tidak mau adil

bukan sekedar hukum yang buruk (Christine, 2009: 385).

Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian,

yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu

mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan

kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan

pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu

dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh

Negara terhadap individu (Syahrani, 1999: 23).

Kepastian hukum merupakan jaminan mengenai hukum yang

berisi keadilan. Norma-norma yang memajukan keadilan harus sungguh-

sungguh berfungsi sebagi peraturan yang ditaati. Menurut Gustav

Radbruch keadilan dan kepastian hukum merupakan bagian-bagian yang

tetap dari hukum. Beliau berpendapat bahwa keadilan dan kepastian

hukum harus diperhatikan, kepastian hukum harus dijaga demi keamanan

dan ketertiban suatu negara. Akhirnya hukum positif harus selalu ditaati.
14

Berdasarkan teori kepastian hukum dan nilai yang ingin dicapai yaitu nilai

keadilan dan kebahagiaan (Ali, 2012: 82-83).

b.  Teori PertanggungJawaban

Dalam teori Kelsen (2006: 95) tentang tanggung jawab hukum

menyatakan bahwa seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu

perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab

hukum. Dalam pertanggungjawaban dikenal dua istilah,

yakni liability  yang merupakan istilah hukum yang luas dan menunjuk

hampir semua karakter resiko atau tanggungjawab yang meliputi hak dan

kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman,

kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan

undang-undang. 

Responsbility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas

suatu kewajiban, putusan, keterampilan, kemampuan dan kecakapan

meliputi juga kewajiban dalam bertanggungjawab atas undang-undang

yang dilaksanakan. Dalam pengertian dan penggunaan praktis,

istilah liability  menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu

tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum,

sedangkan istilah responsbility menunjuk pada pertanggungjawaban

politik (Ridwan, 2006: 335-337). 

Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat

dibedakan sebagai berikut (Sidharta, 2012: 73-79):


15

1) Prinsip Tanggung Jawab berdasarkan Unsur Kesalahan

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault

liability atau liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum

berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata, khususnya Pasal 1365, 1366 dan 1367,

prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan, seseorang

baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada

unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUHPerdata yang

dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum,

mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu:

a)  Adanya perbuatan;

b)  Adanya unsur kesalahan;

c)  Adanya kerugian yang diderita

d)  Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.

Yang dimaksud  kesalahan adalah unsur yang bertentangan

dengan hukum. Pengertian hukum tidak hanya bertentangan dengan

undang-undang tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam

masyarakat.

2) Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap

bertanggung jawab (presumption of liability principle), sampai ia dapat

membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Kata “dianggap” pada


16

prinsip “presumption of liability” adalah penting, karena ada

kemungkinan tergugat membebaskan diri dari tanggung jawab, yaitu

dalam hal ia dapat membuktikan bahwa ia telah “mengambil” semua

tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan terjadinya kerugian

(Suherman, 2009: 21). Dalam prinsip ini, beban pembuktiannya ada

pada si tergugat. Dalam hal ini tampak beban pembuktian terbalik. Hal

ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah.

Namun jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak asas

demikian cukup relevan. Jika dirugikan teori ini, maka yang

berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada pada pihak pelaku

usaha yang digugat. Tergugat harus menghadirkan bukti-bukti bahwa

dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidak dapat sekehendak

hati mengajukan gugatan. Posisi konsumen sebagai penggugat selalu

terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal

menunjukkan kesalahan tergugat.

3) Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip yang kedua, prinsip

praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalam

lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas. Contoh dari

penerapan prinsip ini adalah pada hukum pengangkutan. Kehilangan

atau kerusakan pada bagasi kabin atau bagasi tangan, yang biasanya

dibawa dan diawasi oleh penumpang (konsumen) adalah tanggung


17

jawab dari penumpang. Dalam hal ini, pengangkut (pelaku usaha)

tidak dapat dimintakan pertanggung jawabannya. Pihak yang

dibebankan untuk membuktikan kesalahan itu ada pada konsumen.

4) Prinsip Tanggung Jawab Mutlak

Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering

diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute

liability). Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan

kedua terminologi di atas. Ada pendapat yang menyatakan, strict

liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan

tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun ada pengecualian-

pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung

jawab, misalnya pada keadaan force majeure. Sebaliknya absolute

liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada

pengecualiannya. Menurut E. Suherman, strict liability disamakan

dengan absolute liability, dalam prinsip ini tidak ada kemungkinan

untuk membebaskan diri dari tanggung jawab, kecuali apabila

kerugian yang timbul karena kesalahan pihak yang dirugikan sendiri.

Tanggung jawab adalah mutlak.

5) Prinsip Tanggung Jawab Dengan Pembatasan

Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of

liability principle) ini sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk

dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar


18

yang dibuatnya. Dalam perjanjian cuci cetak film, misalnya ditentukan

bila film yang ingin dicuci atau dicetak itu hilang atau rusak (termasuk

akibat kesalahan petugas), maka si konsumen hanya dibatasi ganti

kerugian sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru. Dalam

ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUPK ditentukan bahwa pelaku usaha

bertanggung jawab memberikan ganti kerugian atas kerusakan,

pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi

barang dan/atau jasa yang dihasilkan. Tanggung

jawab (responsbility) merupakan satu refleksi tingkah laku manusia.

Penampilan tingkah laku manusia terkait dengan kontrol jiwanya,

merupakan bagian dari bentuk pertimbangan intelektualnya atau

mentalnya. Bilamana suatu keputusan telah diambil atau ditolak, sudah

merupakan bagian dari tanggung jawab dan akibat pilihannya. Tidak

ada alasan lain mengapa hal itu dilakukan atau ditinggalkan.

Keputusan tersebut dianggap telah dipimpin oleh kesadaran

intelektualnya (Efendi, 1994: 121). Tanggung jawab dalam arti hukum

adalah tanggung jawab yang benar-benar terkait dengan hak dan

kewajibannya, bukan dalam arti tanggung jawab yang dikaitkan

dengan gejolak jiwa sesaat atau yang tidak disadari akibatnya.

Dalam hal ini, digunakannya teori pertanggungjawaban untuk

mengkaji terkait tanggungjawab yang dilakukan oleh PT. PLN


19

(Persero) dalam menangani permasalahan pemadaman listrik secara

sepihak.

2. Definisi Operasional

a. Tanggung Jawab

Tanggung jawab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah

keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Sehingga bertanggung

jawab adalah berkewajiban menanggung, memikul atau memberikan

jawab dan menanggung akibatnya (Tim Penyusun Kamus Pusat

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 2018: 1006).  Dalam kamus

hukum, tanggung jawab adalah suatu keseluruhan bagi seseorang untuk

melaksanakan apa yang telah diwajibkan kepadanya (Hamzah, 2005:

15). Menurut hukum tanggung jawab adalah suatu akibat atas konsekuensi

kebebasan seorang tentang perbuatannya yang berkaitan dengan etika atau

moral dalam melakukan suatu perbuatan (Notoatmojo, 2010: 10).

Selanjutnya menurut Titik Triwulan pertanggungjawaban harus

mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan timbulnya hak hukum

bagi seorang untuk menuntut orang lain sekaligus berupa hal yang

melahirkan kewajiban hukum orang lain untuk memberi pertanggung

jawabannya (Triwulan dan Febrian, 2010: 48). Tanggung jawab

merupakan suatu prinsip dinamis yang berhubungan dengan keseluruhan

perilaku manusia dalam hubungannya dengan masyarakat ataupun

institusi. Suatu tanggung jawab bahkan mempunyai kekuatan dinamis


20

untuk mempertahankan kualitas keseimbangan dalam masyarakat. Dari

konsepsi tanggung jawab itu, maka tanggung jawab mempunyai sifat

berlapis ganda dan berfokus baik pada tingkat mikro (individual) maupun

tingkat makro (organisasi dan sosial), yang kedua-duanya harus dilakukan

secara bersama-sama secara seimbang dalam segala bentuk dan ruang

lingkup nya. Antara pemilik, manajer, karyawan, dan sosial bahkan

dengan negara.

D. Metodologi Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan, antara lain:

a. Mengetahui faktor-faktor dan penyebab pemadaman listrik yang dilakukan

oleh PT. PLN (Persero) di Depok.

b. Mengetahui bagaimanakah bentuk pelaksanaan tanggung jawab dan ganti

rugi PT. PLN (Persero) terkait pemadaman yang terjadi dan merugikan

konsumen.

2.  Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian yang bersifat hukum empiris. Metode penelitian hukum empiris

adalah suatu metode penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat hukum

dalam artian nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum di lingkungan

masyarakat (Soekanto, 2010: 10).


21

3. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian dapat dikemukakan beberapa hal, yaitu:

a. Memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada masyarakat sebagai

pengguna PT. PLN (Persero) ketika terjadi pemadaman listrik yang sering

terjadi.

b. Sebagai pengetahuan hukum bagi penulis khususnya dan bagi masyarakat

pada umumnya mengenai pertanggungjawaban hukum dan juga

perlindungan hukum bagi konsumen.

4. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian dalam penulisan skripsi menggunakan teknik Studi

Kepustakaan (Library Research), menggunakan bahan hukum Primer,

Sekunder, dan Tersier.Penelitian kepustakaan dilakukan dengan mencari dan

mengkaji bahan-bahan kepustakaan yang berdasarkan kekuatan mengikatnya

terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu yang mempunyai kekuatan mengikat dan

terdiri  dari; Peraturan Dasar, yaitu: Undang-Undang Dasar 1945

b. Peraturan Perundang-undangan, yang terdiri dari: Undang-Undang Nomor

30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Penyediaan dan

Pemanfaatan Tenaga Listrik.


22

c. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang menjelaskan bahan primer

yang isinya tidak mengikat yang memberikan informasi atau hal-hal yang

berkaitan dengan sumber hukum serta implementasinya, yang terdiri dari

buku-buku, jurnal, dan data-data resmi dari lembaga negara atau instansi

pemerintahan yang berkaitan dengan objek penelitian.

d. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang menunjang bahan primer dan

bahan sekunder seperti kamus, indeks, artikel, atau buku petunjuk, bahan

acuan.

5. Teknik Pengolahan Data

Dalam hal pengolahan data, maka permasalahan yang ada

diolah dengan menggunakan pendekatan tinjauan yuridis dan akan disajikan

dalam bentuk deskriptif analitis. Penelitian ini akan dikerucutkan

permasalahannya terhadap  bentuk tanggung jawab terkait pemadaman listrik

oleh PT. PLN (Persero) yang merugikan konsumen. Analisa data yang

dilakukan penulis mengacu kepada kerangka teori, yaitu teori perlindungan

hukum dan teori pertanggungjawaban.

E. Sistematika Penulisan

BAB 1 PENDAHULUAN

Dalam Bab ini akan dibahas mengenai Latar Belakang Masalah, Identifikasi

Masalah, Pembatasan Masalah, Rumusan Masalah, Landasan Teori, Definisi

Operasional, Metodologi Penelitian dan Sistematika Penulisan.


23

BAB II TINJAUAN UMUM PELAYANAN LISTRIK BAGI KONSUMEN,

Dalam Bab ini akan dibahas mengenai Hukum Perlindungan Konsumen, Asas,

Tujuan, Manfaat dan Prinsip dalam Perlindungan Konsumen. Hak dan Kewajiban

Konsumen, Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha, Tanggungjawab Pelaku Usaha dan

Pemadaman Listrik.

BAB III TINJAUAN UMUM PELAYANAN PT. PLN (PERSERO),

Dalam Bab ini akan dibahas mengenai Sejarah PT. PLN (Persero), Dasar Hukum

PT. PLN (Persero), Struktur Organisasi PT. PLN (Persero), dan Tugas dan Fungsi

Jabatan PT. PLN (Persero).

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN PELAYANAN LISTRIK

BAGI KONSUMEN,

Dalam Bab ini akan dibahas mengenai Penyebab Pemadaman Aliran Listrik Di

Depok, Tanggung Jawab PLN (Perusahaan Listrik) Terhadap Konsumen Listrik,

Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Perusahaan Listrik Negara Menurut

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 dan Bentuk ganti kerugian yang diberikan

PT. PLN (Persero) kepada Konsumen.

BAB V,

Dalam Bab ini akan dibahas mengenai Kesimpulan dan Saran

Anda mungkin juga menyukai