Penguji Kasus : Prof. Dr. dr. Suprihati, Sp. THT-KL (K), MSc
Pembimbing : dr. Fajri Imam Sayuti
Dibacakan Oleh : Fathurrahman 22010116120057
Ika Luthfiah 22010116130112
Dibacakan tanggal :
Penguji Kasus : Prof. Dr. dr. Suprihati, Sp. THT-KL (K), MSc
Pembimbing : dr. Fajri Imam Sayuti
Dibacakan Oleh : Fathurrahman 22010116120057
Ika Luthfiah 22010116130112
Dibacakan tanggal :
Diajukan guna memenuhi tugas Kepaniteraan di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Penguji Pembimbing
Prof. Dr. dr. Suprihati, Sp. THT-KL (K), MSc dr. Fajri Imam Sayuti
BAB I
PENDAHULUAN
LAPORAN KASUS
2.2 ANAMNESIS
Autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 27 Januari 2020 pukul 14.15 WIB di Poliklinik
THT RSUP Dr. Kariadi Semarang.
Keluhan utama :
Perjalanan penyakit sekarang :
Pasien perempuan usia 33 tahun datang ke Poliklinik THT RSUP Dr. Kariadi dengan
keluhan hidung kanan tersumbat 1 tahun SMRS. Hidung tersumbat dirasakan hilang timbul
terutama hidung sebelah kanan (VAS = 3). Keluhan disertai keluar cairan kental dari hidung
berwarna kuning dan berbau (VAS = 5). Pasien juga mengeluhkan nyeri pada daerah pangkal
hidung hingga pipi (VAS = 3), nyeri kepala cekot-cekot (VAS = 3) hilang timbul dan membaik
dengan obat. Keluhan gangguan penghidu disangkal. Rasa mengalir di tenggorok (-), demam (-).
Pasien juga mengeluh sering bersin-bersin. Sekali bersin sebanyak 4-5kali. Keluhan
dirasakan 4 kali dalam seminggu. Bersin dirasakan terutama saat cuaca dingin, pagi, dan jika
terpapar debu. Hidung terasa gatal (VAS=5/5), mata berair (-/-). Keluhan dirasakan tidak sampai
menganggu aktivitas. Pasien mempunyai riwayat asma 9 tahun yang lalu. Riwayat alergi makanan
dan obat disangkal.
Ekstremitas :
Superior Inferior
Oedem -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Capillary refill <2” / <2” <2” / <2”
Ulkus -/- -/-
Lain-lain :-
2.3.2 Status Lokalis (THT)
2.3.2.1 Telinga
Gambar:
Bagian
Telinga Kanan Telinga Kiri
Telinga
Hiperemis (-), nyeri tekan (-), Hiperemis (-), nyeri tekan (-),
Mastoid nyeri ketok (-), fistel(-), abses nyeri ketok (-), fistel(-), abses
(-) (-)
Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
Pre–aurikula fistula (-), abses (-), fistula (-), abses (-),
nyeri tekan tragus (-) nyeri tekan tragus (-)
Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
Retro–
fistula fistula (-), abses (-), nyeri
aurikula
(-), abses (-), nyeri tekan (-) tekan (-)
Normotia, hiperemis (-), Normotia, hiperemis (-),
Aurikula
edema (-), nyeri tarik (-) edema (-), nyeri tarik (-)
Serumen (-), edema (-), Serumen (-), edema (-),
CAE / MAE hiperemis (-), furunkel (-), hiperemis (-), furunkel (-),
discharge (-), granulasi (-) discharge (-), granulasi (-)
Warna putih mengkilat,
Warna putih mengkilat,
Membran retraksi
retraksi (-), perforasi (-),
timpani (-), perforasi (-), reflek cahaya
reflek cahaya (+), granulasi(-)
(+), granulasi(-)
Pemeriksaan Luar
Inspeksi : Bentuk (N), simetris, deformitas (-), warna
kulit sama dengan sekitar
Hidung
Palpasi : os nasal : deformitas (-/-), krepitasi (-/-), nyeri
tekan (-/-), oedem (-/-)
Maxilla : nyeri tekan (+/-), nyeri ketok (+/-)
Sinus Ethmoid : nyeri tekan (-/-), nyeri ketok (-/-)
Frontalis : nyeri tekan (-/-), nyeri ketok (-/-)
Rinoskopi Anterior Kanan Kiri
Discharge Mukoid -
Mukosa Licin, hiperemis (-) Licin, hiperemis (-)
Konka Inferior Hipertrofi (+), oedem (-) Hipertrofi (-), oedem (-)
Tumor Polip (-) Polip (-)
Septum nasi Deviasi (+)
Diafanoskopi tidak dilakukan.
2.3.2.3 Tenggorok
Gambar:
Orofaring Post nasal drip (-)
Palatum Simetris, bombans (-), hiperemis (-), fistula (-), stomatitis (-)
Arkus Faring Simetris, uvula di tengah, hiperemis (-)
Mukosa Hiperemis (-), granulasi (-), eksudat (-)
Ukuran T1, hiperemis (-), Ukuran T1, hiperemis (-),
edema (-), permukaan rata, edema (-), permukaan rata,
Tonsil
kripte melebar (-), detritus (-), kripte melebar (-), detritus (-),
membran (-) membran (-)
Peritonsil Hiperemis (-), edema (-). Abses (-)
Refleks
(+)
muntah
Nasofaring (Rinoskopi Posterior) : tidak dilakukan pemeriksaan.
Laringofaring (Laringoskopi Indirek) : tidak dilakukan pemeriksaan.
Laring (Laringoskopi Indirek) : tidak dilakukan pemeriksaan.
2.4 RINGKASAN
Pasien perempuan usia 33 tahun datang ke Poliklinik THT RSUP Dr. Kariadi dengan
keluhan hidung kanan tersumbat 1 tahun SMRS. Hidung tersumbat dirasakan hilang timbul
terutama hidung sebelah kanan (VAS = 3). Keluhan disertai keluar cairan kental dari hidung
berwarna kuning dan berbau (VAS = 5). Pasien juga mengeluhkan nyeri pada daerah pangkal
hidung hingga pipi (VAS = 3), nyeri kepala cekot-cekot (VAS = 3) hilang timbul dan membaik
dengan obat. Keluhan gangguan penghidu disangkal. Rasa mengalir di tenggorok (-), demam
(-).
Pasien juga mengeluh sering bersin-bersin. Sekali bersin sebanyak 4-5kali. Keluhan
dirasakan 4 kali dalam seminggu. Bersin dirasakan terutama saat cuaca dingin, pagi, dan jika
terpapar debu. Hidung terasa gatal (VAS=5/5), mata berair (-/-). Keluhan dirasakan tidak
sampai menganggu aktivitas. Pasien mempunyai riwayat asma 9 tahun yang lalu. Riwayat
alergi makanan dan obat disangkal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum, tanda-tanda vital, dan status generalis
dalam batas normal. Pemeriksaan status lokalis telinga dalam batas normal. Pada pemeriksaan
status lokalis hidung didapatkan nyeri tekan dan nyeri ketok pada daerah sinus maxillaris
kanan, mukosa pucat (-/-), hipertrofi konka (+/-), discaj mukoid (+/-). Pemeriksaan status
lokalis tenggorok dan telinga dalam batas normal.
1. Rhinosinusitis Acute
2. Rhinitis Vasomotor
- Medikamentosa
o Amoxicillin clavulanate 500mg 1 tablet tiap 8 jam
o Fluticasone furoate nasal spray 27.5mf/puff 1x2 puff pagi hari, hidung kanan kiri
o Paracetamol kapsul 500mg 1 tablet tiap 8 jam
o Cetirizine 10mg 1x1
- Non-medikamentosa :
o Cuci Hidung dengan larutan garam fisiologis, 1 hari 4 kali
RSUP Dr. Kariadi
Nama : dr. Fathur
NIP : 22010116120057
Telp. 081234567890
Pro : Ny. H
Usia : 33 tahun
Pro : Ny. H
IpUsia
Mx : : 33 Tahun
Pro :
2.8 EDUKASI
- Menjelaskan pada pasien mengenai diagnosis atau penyakit yang dialami pasien yaitu
rinosinusitis kronik dan rinitis alergi beserta kemungkinan penyebabnya.
- Menjelaskan rencana terapi pada pasien, baik terapi medikamentosa maupun non-
medikamentosa, meliputi cara pemakaian obat, efek terapi obat, efek samping obat yang
mungkin timbul, dan tindakan operatif yang akan dilakukan beserta risiko dan komplikasi yang
mungkin terjadi.
- Menjelaskan pasien perlu kembali kontrol untuk evaluasi perkembangan penyakit
- Mengedukasi pasien agar memeriksakan diri apabila muncul efek samping obat, antara lain :
o Fluticasone Furoate nasal spray
KI : Hipersensitivitas.
Efek samping : Epistaksis, ulkus nasal.
- Mengedukasi pasien untuk menjaga kebersihan hidung dengan melakukan cuci hidung secara
rutin sebanyak 4 kali sehari.
- Mengedukasi pasien untuk menghindari paparan allergen yang telah diketahui.
- Mengedukasi pasien untuk istirahat cukup dan mengkonsumsi makanan sehat dan
multivitamin.
2.9 PROGNOSIS :
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad sanam : dubia ad bonam
- Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1.2 Etiologi
Rhinitis alergi disebabkan oleh adanya kontak dengan aeroalergen
maupunalergen ingestan.Alergen tersebut dapat berupa alergen binatang seperti house
dust mite, kecoa, bulu anjing, kucing, kuda. Alergen tumbuhan seperti jamur maupun
serbuk sari bunga. Tungau debu merupakan allergen terbanyak penyebab reaksi alergi
di Indonesia.4 Genetik memiliki peran penting menjadi faktor predisposisi. Anak-anak
berpotensi memiliki alergi sebesar 47% bila kedua orangtua juga memiliki riwayat
alergi.4
3.1.4 Patofisiologi
Tahap awal dari terjadinya rhinitis alergika adalah adanya sensitisasi terhadap
allergen. Allergen terbanyak penyebab rhinitis allergika adalah protein yang terhirup,
seperti pollen, dust mite, debu binatang. Allergen yang terhirup kemudian terkumpul
dan menyebar ke seluruh jaringan hidung.4,7
Proses sensitisasi dimulai pada jaringan hidung, dimana antigen-persenting
cell (APCs), terutam sel dendritik, yang menelan allergen dan memecah mereka
menjadi peptida antigen. Kemudian peptida antigen diekspresikan pada permukaan
sel tersebut dan dipresentasikan pada limfosit T CD4 naive. Kemudian sel ini akan
memproduksi IL-4 yang akan mengubah Th0 menjadi Th2. Sel Th2 yang teraktivasi
kemudian mengeluarkan sitokin berupa IL-4 dan IL-13 untuk membuat sel limfosit B
menghasilkan IgE. Imunoglobulin E yang dihasilkan, kemudian menempel pada
reseptor tetramerik yang berada di permukaan sel mast, reseptor trimerik pada sel
dendritik, dan beberapa reseptor dengan afinitas rendah pada monosit, makrofag, dan
limfosit B. Proses inilah yang disebut sebagai sensitisisasi alergen.4,7
Pada paparan selanjutnya, allergen lebih mudah diikat dengan keberadaan IgE
pada permukaan sel-sel tersebut. Kompleks allergen-IgE pada permukaan sel mast,
akan memacu terjadinya degranulasi dan pelepasan mediator inflamasi seperti
histamin, triptase, leukotrien, dan prostaglandin. Pelepasan histamin akan dilanjutkan
dengan penempelan pada serabut saraf sensoris dan memacu timbulnya bersin,
hipersekresi kelenjar dan gatal. Sementara penempelan histamin pada reseptor H1 dan
H2 di mukosa pembuluh darah akan menghasilkan vasodilatasi yang kemudian
menimbulkan rasa hidung tersumbat. Leukotrien bekerja untuk meningkatkan
vasodilatasi dan sekresi. Peran triptase dan sitokin lainnya kurang jelas pada
hubungannya dengan gejala klinis.Reaksi segera ini dapat muncul dalam beberapa
menit dan dapat menghilang dalam beberapa jam setelah paparan.4,7
Proses lainnya yang terjadi beriringan dengan proses diatas adalah adanya IL-
4, IL-5 dan IL-13 serta leukotrien yang kemudian memacu migrasi eosinofil. Eosinofil
akan memproduksi major basic protein (MBP), eosinophil Scationic protein (ECP),
dan eosinophil peroxidase (EPO), yang kemudian kan merusak sel epitel hidung.
Konsentrasi rendah dari MBP sudah dapat mengganggu pergerakan silia dari
hidung.4,7
Gambar 5. Patofisiologi dari Rhinitis Alergika10
3.1.5 Klasifikasi
ARIA mengklasifikasikan rhinitis alergi berdasarkan lama gejala dan beratnya
gejala.2
Berdasarkan waktu dibedakan menjadi :
a. Intermitten : gejala timbul kurang dari 4 hari dalam tiap minggu dan terjadi
kurang dari 4 minggu.
b. Persisten. : gejala timbul lebih dari 4 hari dalam satu minggu dan terjadi lebih
dari 4 minggu berturut-turut.4
Berdasarkan beratnya gejala dibedakan menjadi :
a. Ringan : tidur normal, tidak ada gangguan aktivitas sehari-hari, tidak mengganggu
pekerjaan dan keluhan yang muncul dirasakan tidak mengganggu.
b. Sedangberat :tidur terganggu, gangguan pada aktivitas dan pekerjaan sehingga
penderita tidak dapat menjalakan kegiatan seperti biasanya dan dirasakan sangat
mengganggu.4
3.1.6 Diagnosis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis
Gejala rinitis alergi yang khas adalah gatal di hidung, bersin-bersin terutama
pagi hari atau bila terpapar debu-debuan. Gejala lain yang sering menyertai adalah
rinore encer, hidung tersumbat, dan kadang-kadang sakit kepala.Selain itu
biasanya terdapat riwayat alergi dalam keluarga.5
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat ditemukan mukosa hidung yang
bervariasi dari tampak normal sampai edema, basah, berwarna pucat atau keabuan
disertai rinore encer dengan jumlah bervariasi. Meskipun tidak selalu ditemukan,
tetapi merupakan gejala/tanda yang khas pada rinitis alergi ini adalah allergic
shiner, allergic solute, dan allergic crease. Allergic shiner adalah warna
kehitaman pada daerah infra orbita yang terjadi karena adanya stasis dari vena
yang mengakibatkan edema mukosa hidung dan sinus. Allergic solute adalah
sering mengusap hidung dengan punggung tangan ke atas karena gatal, sedangkan
allergic crease adalah timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga
bawah, karena kebiasaan mengusap hidung.
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah tepi
Dapat ditemukan adanya eosinofil pada pemeriksaan darah tepi.4
Swab hidung
Pada pemeriksaan swab hidung dapat ditemukan adanya eosinofil pada
rhinitis alergi. Pemeriksaan ini dianjurkan untuk dilakukan ketika masih
akut atau setelah dilakukan test provokasi.4
Skin Prick Test (Tes Tusuk Kulit)
Uji ini menggunakan allergen dalam jumplah kecil yang dimasukkan dalam
kulit dengan metode ditusukkan guna menghasilkan reaksi alergi. Bahan
allergen ditusukkan pada daerah volar lengan bawah dan dapat dilakukan
untuk beberapa allergen sekaligus. Reaksi alergi yang ditimbulkan dapat
dilihat berupa kemerahan pada daerah sekitar tusukkan dan kemudian
dibandingkan dengan histamin sebagai kontrol positif dan saline sebagai
kontrol negatif.4
Nasal provocation test
Tes ini memberikan nilai terbesar bagi rhinitis alergika karena memberikan
kontak langsung antara alergen dengan mukosa hidung. Prosedur uji ini
dimulai dengan rhinomanometri dan dilanjutkan pengolesan allergen pada
konka inferior serta rhinomanometri ulang 20 menit setelah pengolesan.
Ketika reaksi alergi terjadi, maka akan terjadi reduksi dari hasil
rhinomanometri. Kontak langsung mukosa dan allergen dapat memacu
timbulnya reaksi anafilaksis.4
Radioallergosorbent Test (RAST) dan Multiple Allergen Simultaneous Test
(MAST)
RAST merupakan metode pertama untuk mendeteksi serum-spesific IgE,
tes ini jarang dipakai karena melibatkan isotop radioaktif dan peralatan yang
mahal dan tidak dapat menguji beberapa antibodi secara langsung. Oleh
sebab itu, MAST lebih dipilih karena menggunakan reagen cahaya dan tidak
mahal serta dapat mendeteksi beberapa antibodi sekaligus. Namun, uji ini
dinilai kurang sensitif.4
3.1.7 Tatalaksana
Penatalaksanaan pada rhinitis alergi dapat berupa penghindaran alergen atau
faktor pencetus terjadinya keluhan, terapi medikametosa, imunoterapi dan tindakan
pembedahan. Langkah pertama yang dapat dilakukan dalam menangani pasien
dengan rhinitis alergi adalah dengan menganjurkan pasien untuk menghindari kontak
dengan alergen. Dengan demikian pasien terlebih dahulu harus dapat mengidentifikasi
alergen yang mencetuskan timbulnya gejala. Pada alergen berupa dust mites maka
dapat dilakukan edukasi untuk melakukan penggantian penutup bantal dan tempat
tidur dua minggu sekali, menggunakan obat penyemprot dust mites, dan menghindari
penggunaan karpet tebal. Pada alergen makanan maka dapat dilakukan dengan
menghindari makan makanan tersebut untuk sementara waktu dan menggantinya
dengan makanan lain. Alergen hewan dapat dihindari dengan mengurangi kontak
dengan hewan pencetus.4
Pemberian terapi medikametosa termasuk penggunaan obat topikal maupun
sistemik yang bekerja secara langsung baik untuk mencegah terjadinya degranulasi
dari sel mast atau memblokade efek dari pelepasan mediator. Terapi topikal dapat
dengan dekongestan hidung topikal melalui semprot hidung. Obat yang biasa
digunakan adalah oxymetazolin atau xylometazolin, namun hanya bila hidung sangat
tersumbat dan dipakai beberapa hari (< 2 minggu) untuk menghindari rinitis
medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala sumbatan hidung akibat
respons fase lambat tidak dapat diatasi dengan obat lain. Obat yang sering dipakai
adalah kortikosteroidtopikal: beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason,
mometasonfuroat dan triamsinolon. Preparat antikolinergiktopikal adalah
ipratropium bromida yang bermanfaat untuk mengatasi rinorea karena aktivitas
inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor.2
Terapi oral sistemik dapat diberikan antihistamin dan obat simptomatik.
Antihistamin dibagi menjadi generasi 1 yaitu difenhidramin, klorfeniramin,
siproheptadin. Generasi 2 yaitu loratadin dan cetirizine. Preparat simpatomimetik
golongan agonis alfa dapat dipakai sebagai dekongestan hidung oral dengan atau
tanpa kombinasi antihistamin. Dekongestan oral: pseudoefedrin, fenilpropanolamin,
fenilefrin.2
Imunoterapi atau hiposensitisasi diberikan apabila dengan pemberian obat
tidak dapat mengontrol keluhan atau memberikan efek samping yang tidak dapat
ditoleransi oleh penderita. Terapi ini diindikasikan pada pasien dengan gejala berat
yang tidak respon terhadap pengobatan standard. Ekstrak dari beberapa alergen
disuntikkan secara subcutan dengan dosis kecil, yang kemudian dinaikkan hingga
dosis pemeliharaan dan dilakukan selama minimal 3 tahun. Selain disuntikkan,
terdapat juga pilihan berupa tablet sublingual, rute ini memberikan reaksi anafilaksis
yang lebih rendah. Diharapkan dengan pemberian allergen secara berkala, dapat
merubah peranan Th2 menjadi Th1 akibat adanya produksi IL-10 dan TGF-B.
Pemberian dihentikan bila selama 3 tahun sudah tidak didapatkan adanya gejala.2
Tindakan pembedahan dilakukan atas indikasi. Sebagian besar penderita
rhinitis alergi dapat membaik dengan penghindaran alergen dan pemberian
medikametosa. Namun pada beberapa kasus keluhan tidak membaik dengan
pemberian medikametosa. Dengan demikian perlu dilakukan tindakan pembedahan.
Tindakan pembedahan yang dilakukan bertujuan untuk mengurangi adanya sumbatan
pada hidung dengan melakukan reseksi pada konka.2
Pastikan ada tidaknya
Alur Diagnosis Rhinitis Alergi asma terutama pada
pasien rhinitis sedang-
berat dan/atau
Gejala Intermitten Gejala Persisten persisten
3.1.8 Komplikasi
Rhinitis alergi dapat menyebabkan terjadiya:6
● Sinusitis rekuren karena adanya obstruksi pada ostium sinus
● Polip nasal
● Otitis media supuratif
● Masalah ortodontik dan masalah mulut terutama pada anak-anak
● Asma bronkhialis. Pasien dengan rhinitis alergi beresiko empat kali lebih besar terkena
asma bronkhialis
Riwayat terpapar + -
allergen
Kesehatan sinus setiap orang bergantung pada sekresi mukus yang normal baik dari segi
viskositas, volume dan komposisi; transport mukosiliar yang normal untuk mencegah
stasis mukus dan kemungkinan infeksi; serta patensi kompleks ostiomeatal untuk
mempertahankan drainase dan aerasi. 8,10
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan tempat drainase bagi kelompok sinus
anterior (frontalis, ethmoid anterior dan maksilaris) dan berperan penting bagi transport
mukus dan debris serta mempertahankan tekanan oksigen yang cukup untuk mencegah
pertumbuhan bakteri. Obstruksi ostium sinus pada KOM merupakan faktor predisposisi
yang sangat berperan bagi terjadinya rinosinusitis kronik. Namun demikian, kedua faktor
yang lainnya juga sangat berperan bagi terjadinya rinosinusitis kronik. Interupsi pada satu
atau lebih faktor diatas akan mempengaruhi faktor lainnya dan kemudian memicu
terjadinya kaskade yang berkembang menjadi rinosinusitis kronik dengan perubahan
patologis pada 9 mukosa sinus dan juga mukosa nasal.
Stagnasi mukosa pada sinus membentuk media yang kaya untuk pertumbuhan
berbagai patogen. Tahap awal sinusitis sering merupakan infeksi virus yang umumnya
berlangsung hingga 10 hari dan itu benar-benar sembuh dalam 99% kasus. Namun,
sejumlah kecil pasien dapat berkembang menjadi infeksi bakteri akut sekunder yang
umumnya disebabkan oleh bakteri aerobik (yaitu Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis). Awalnya, sinusitis akut yang dihasilkan
hanya melibatkan satu jenis bakteri aerobik. Dengan adanya infeksi yang persistensi, flora
campuran dari organisme dan kadang kala jamur berkontribusi terhadap patogenesis
rhinosinusitis kronis. Sebagian besar kasus sinusitis kronis disebabkan oleh sinusitis akut
yang tidak diobati atau tidak merespons pengobatan.
Pemikiran saat ini mendukung konsep bahwa rhinosinusitis kronis (RSK) sebagian
besar merupakan penyakit radang multifaktor. Faktor pengganggu yang dapat
menyebabkan peradangan adalah sebagai berikut
Diagnosis rinosinusitis kronik tanpa polip nasi (pada dewasa) berdasarkan EP3OS
2007 ditegakkan berdasarkan penilaian subyektif, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang lainnya. Penilaian subyektif berdasarkan pada keluhan, berlangsung lebih dari
12 minggu:
3. Pemeriksaan Penunjang 14
Transiluminasi, merupakan pemeriksaan sederhana terutama untuk menilai kondisi
sinus maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila terdapat perbedaan transiluminasi
antara sinus kanan dan kiri.
Endoskopi nasal, dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret, patensi kompleks
ostiomeatal, ukuran konka nasi, udem disekitar orifisium tuba, hipertrofi adenoid dan
penampakan mukosa sinus. Indikasi endoskopi nasal yaitu evaluasi bila pengobatan
konservatif mengalami kegagalan. Untuk rinosinusitis kronik, endoskopi nasal
mempunyai tingkat sensitivitas sebesar 46 % dan spesifisitas 86 %.
Radiologi, merupakan pemeriksaan tambahan yang umum dilakukan, meliputi X-foto
posisi Water, CT-scan, MRI dan USG. CT-scan merupakan modalitas pilihan dalam
menilai proses patologi dan anatomi sinus, serta untuk evaluasi rinosinusitis lanjut bila
pengobatan medikamentosa tidak memberikan respon. Ini mutlak 17 diperlukan pada
rinosinusitis kronik yang akan dilakukan pembedahan. Pemeriksaan penunjang lain
yang dapat dilakukan antara lain:3,13
Sitologi nasal, biopsi, pungsi aspirasi dan bakteriologi
Tes alergi - Tes fungsi mukosiliar : kliren mukosiliar, frekuensi getar siliar mikroskop
elektron dan nitrit oksida - Penilaian aliran udara nasal (nasal airflow): nasal inspiratory
peakflow, rinomanometri, rinometri akustik dan rinostereometri
Tes fungsi olfaktori: threshold testing - Laboratorium : pemeriksaan CRP ( C-reactive
protein)
3.3.6 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa
dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan medikamentosa dan pembedahan. Pada
rinosinusitis kronik (tanpa polip nasi), terapi pembedahan mungkin menjadi pilihan yang
lebih baik dibanding terapi medikamentosa.15 Adanya latar belakang seperti alergi, infeksi
dan kelainan anatomi rongga hidung memerlukan terapi yang berlainan juga.
Terapi Medikamentosa 16
Terapi medikamentosa memegang peranan dalam penanganan rinosinusitis kronik
yakni berguna dalam mengurangi gejala dan keluhan penderita, membantu dalam
diagnosis rinosinusitis kronik (apabila terapi medikamentosa gagal maka cenderung
digolongkan menjadi rinosinusitis kronik) dan membantu memperlancar kesuksesan
operasi yang dilakukan. Pada dasarnya yang ingin 18 dicapai melalui terapi
medikamentosa adalah kembalinya fungsi drainase ostium sinus dengan
mengembalikan kondisi normal rongga hidung. Jenis terapi medikamentosa yang
digunakan untuk rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa antara lain:
o Antibiotika, merupakan modalitas tambahan pada rinosinusitis kronik mengingat
terapi utama adalah pembedahan. Jenis antibiotika yang digunakan adalah
antibiotika spektrum luas antara lain:
Amoksisilin + asam klavulanat
Sefalosporin: cefuroxime, cefaclor, cefixime
Florokuinolon : ciprofloksasin
Makrolid : eritromisin, klaritromisin, azitromisin
Klindamisin
Metronidazole
o Antiinflamatori dengan menggunakan kortikosteroid topikal atau sistemik.
Kortikosteroid topikal : beklometason, flutikason, mometason
Kortikosteroid sistemik, banyak bermanfaat pada rinosinusitis kronik
dengan polip nasi dan rinosinusitis fungal alergi.
o Terapi penunjang lainnya meliputi:
Dekongestan oral/topikal yaitu golongan agonis α-adrenergik
Antihistamin
Stabilizer sel mast, sodium kromoglikat, sodium nedokromil
Mukolitik
Antagonis leukotrien
Imunoterapi g. Lainnya: humidifikasi, irigasi dengan salin, olahraga,
avoidance terhadap iritan dan nutrisi yang cukup
o Terapi Pembedahan 8,16
Terapi bedah yang dilakukan bervariasi dimulai dengan tindakan sederhana
dengan peralatan yang sederhana sampai operasi menggunakan peralatan canggih
endoskopi. Beberapa jenis tindakan pembedahan yang dilakukan untuk rinosinusitis
kronik ialah:
- Sinus maksila
Irigasi sinus (antrum lavage)
Nasal antrostomi
Operasi Caldwell-Luc
- Sinus etmoid
Etmoidektomi intranasal, eksternal dan transantral
BAB IV
PEMBAHASAN
30
untuk memperbaiki aliran udara dan drainase sinus dengan invasi minimal. Septum
Reconstruction (SR) untuk memperbaiki deviasi septum, serta Konkoplasti untuk
memperbaiki hipertrofi konka.
31
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan disik pasien didapatkan tanda dan
gejala yang mengarah ke rhinitis alergika persisten ringan, konka hipertrofi, dan
rhinosinusitis kronik. Terapi yang dapat diberikan berupa farmakologi yaitu
antiinflamasi dan antihistamin, dan nonfarmakoterapi berupa cuci hidung,
FESS, SD, dan Konkaplasti.
5.2 Saran
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan pada makalah ini.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik yang membangun bagi makalah ini,
agar penulis dapat berbuat lebih baik lagi di kemudian hari. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-sayed AA, Agu RU, Massoud E. Models for the Study of Nasal and Sinus
Physiology in Health and Disease : A Review of the Literature. 2017:1-12.
doi:10.1002/lio2.117
2. Primary G, Education C. Management Of Allergic Rhinitis And Its Impact
On Asthma Pocket Guide Global Primary Care Education Based On The
2007 Aria Workshop Report And The Ipag Handbook. 2007.
3. Fadilah N, Agustina K. Analisis Sistem Pelayanan Rekam Medis Rawat Inap
di RSUP Dr . Kariadi Semarang Tahun 2016. 2017;5(44):29-37.
4. Sin BA. Pathophysiology of Allergic and Nonallergic Rhinitis
Pathophysiology of Allergic and Nonallergic Rhinitis. 2011;(June 2016).
doi:10.1513/pats.201008-057RN
5. History O. Turbinate Reduction Rhinoplasty. 2020.
6. Businco LDR, Businco ADR, Lauriello M. Comparative study on the
effectiveness of Coblation-assisted turbinoplasty in allergic rhinitis *.
2010:174-178. doi:10.4193/Rhin09.149
7. Yanez C, Mora N. Inferior turbinate debriding technique: Ten-year results.
Otolaryngol Head Neck Surg. 2008;138:170-175.
doi:10.1016/j.otohns.2007.10.030
8. Ercan C, Imre A, Pinar E, Erdoğan N, Umut Sakarya E, Oncel S. Comparison
of submucosal resection and radiofrequency turbinate volume reduction for
inferior turbinate hypertrophy: evaluation by magnetic resonance imaging.
Indian J Otolaryngol Head Neck Surg. 2014;66(3):281-286.
doi:10.1007/s12070-013-0696-9
9. Soepardi E.A. Iskandar N.I. Bashiruddin J. dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. 2011. Edisi Keenam. Jakarta :
FK UI, hal : 118-122, 116, 140.
10. Penelitian B. Riset kesehatan dasar. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
2013.
11. Sinurat J, Rengganis I, Rumendes CM, Harimurti K. Accuracy of Serum-
Specific IgE Test with Microfluid Array Enzyme-Linked Immunosorbent
Assay for Diagnosing Inhalant Allergen Sensitization in Asthma and/or
Rhinitis Allergy Patients in Jakarta, Indonesia. Asia Pac Allergy.2018;8(1)
12. Will Corbridge, Rogan H. Essential ENT Practice: A Clinical Text. 1998. 19-
20 p. 127-135
13. Netter FH. Atlas of Human Anatomy 25th Edition. Jakarta: EGC; 2014.p. 39
33
14. Sin B, Togias A. Pathophysiology of Allergic and Nonallergic Rhinitis.
2011;8:106–14
15. Musheer S. Logan Turner’s Disease of Nose, Throat, and Ear Head and Neck
Surgery. 11th editi. New Jersey: Taylor & Francis Group; 2016.
16. Dhingra PL D. Disease of Ear Nose and Throat. 4th ed. New Delhi, India:
Elsevier; 2007. 129-135; 145-148 p
34