Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KASUS KEPANITERAAN

SEORANG PEREMPUAN USIA 33 TAHUN DENGAN RHINOSINUSITIS


KRONIS, KONKA HIPERTROFI DAN ALERGI PERSISTEN RINGAN

Diajukan untuk melengkapi tugas kepaniteraan Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL


Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Penguji Kasus : Prof. Dr. dr. Suprihati, Sp. THT-KL (K), MSc
Pembimbing : dr. Fajri Imam Sayuti
Dibacakan Oleh : Fathurrahman 22010116120057
Ika Luthfiah 22010116130112
Dibacakan tanggal :

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
RSUP DR KARIADI SEMARANG
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Melaporkan kasus “Seorang Perempuan Usia 33 Tahun Dengan Rhinosinusitis


Kronis, Konka Hipertrofi, dan Alergi Persisten Ringan”

Penguji Kasus : Prof. Dr. dr. Suprihati, Sp. THT-KL (K), MSc
Pembimbing : dr. Fajri Imam Sayuti
Dibacakan Oleh : Fathurrahman 22010116120057
Ika Luthfiah 22010116130112
Dibacakan tanggal :
Diajukan guna memenuhi tugas Kepaniteraan di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Semarang, 5 Februari 2020


Mengetahui,

Penguji Pembimbing

Prof. Dr. dr. Suprihati, Sp. THT-KL (K), MSc dr. Fajri Imam Sayuti
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Rinitis alergi (RA) merupakan reaksi radang yang diperantarai oleh IgE setelah terjadi
paparan alergen. Gejala RA meliputi rinore, sumbatan hidung, gatal pada hidung dan bersin-
bersin yang reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan.1
Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global yang mengenai kurang lebih 10-25
% populasi di seluruh dunia.1,2 Data epidemiologik RA di Indonesia berdasarkan penelitian
dari beberapa sentra pendidikan didapatkan angka prevalensi yang bervariasi antara 1,14%-
23,34%. Pada survey di Semarang dengan menggunakan kuesener ISAAC pada murid SLTP
umur 13-14 tahun (2001-2002) didapatkan sebesar 18,6%.3 WHO melalui International
Rhinitis Management Working Group dan Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA)
pada tahun 2001 mengklasifikasikan rinitis alergi berdasarkan tipenya yaitu intermiten dan
persisten dengan tingkat keparahan penyakit dibagi menjadi derajat ringan dan sedang-berat.1,2
Data tentang karakteristik penderita rinitis alergi di klinik THT RSUP Dr. Kariadi Semarang
tahun 2009 didapatkan sebagian besar penderita termasuk rinitis alergi persisten (64,1%).3
Sumbatan hidung merupakan gejala yang sering terjadi (86%) pada penderita rinitis alergi
dan merupakan gejala yang paling mengganggu.2 Gejala ini disebabkan karena kombinasi
respon alergi fase cepat dan respon alergi fase lambat. Deposisi alergen pada permukaan
mukosa hidung penderita RA pada respon alergi fase cepat menyebabkan ikatan IgE pada sel
mast yang berada di permukaan mukosa dan basofil pada aliran darah sehingga menyebabkan
degranulasi dan melepaskan mediator-mediator kimia (histamin, leukotriene, sitokin
proinflamasi) yang mengakibatkan bersin, gatal, rinore dan sumbatan hidung. Disamping itu
sumbatan hidung merupakan gejala yang dominan pada fase lambat oleh karena infiltrasi sel-
sel inflamasi (eosinofil dan sel T) pada jaringan, dilatasi vena kapasitansi pada submukosa
hidung, peningkatan permeabilitas vaskuler, edema mukosa serta sekresi yang berlebihan.2
Diagnosis rhinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik THT,
serta pemeriksaan penunjang.Klasifikasi rhinitis alergi dibedakan menjada frekuensi gejala
(bersin berulang, rinore, hidung tersumbat dan gatal) dan beratnya gejala (intermitten dan
persisten)2. Rhinitis alergi termasuk standar kompetensi 4A dalam kompetensi dokter umum.
Intervensi dini dan tepat dapat memperbaiki kualitas hidup pasien dan mencegah terjadinya
komplikasi lainnya.
Berdasarkan data diatas, penulis memilih untuk melaporkan dan mengkaji kasus rhinitis
alergi pada seorang perempuan 33 tahun dengan rhinitis alergi persisten ringan.
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah agar mahasiswa kedokteran mampu menegakkan
diagnosis dan melakukan rujukan yang tepat berdasarkan data yang diperoleh dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dan pengelolaan pasien dengan rhinitis alergika.
1.3 Manfaat
Penulisan laporan ini diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam proses pembelajaran
agar dapat menegakkan diagnosa sementara, mengusulkan pemeriksaan penunjang dan
melakukan rujukan, serta pengelolaan pasien dengan rhinitis alergika.
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PENDERITA


Nama : Ny. H
Umur : 33 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Gajah mungkur, Kodia Semarang
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Pendidikan : SLTA
Datang ke poli : 27 Januari 2020
No. CM : C799233

MASALAH AKTIF MASALAH PASIF


1. Rhinitis alergi persisten ringan 1. Riwayat asma 9 tahun lalu
2. Rhinosinusitis kronis
3. Konka hipertrofi

2.2 ANAMNESIS
Autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 27 Januari 2020 pukul 14.15 WIB di Poliklinik
THT RSUP Dr. Kariadi Semarang.
Keluhan utama :
Perjalanan penyakit sekarang :
Pasien perempuan usia 33 tahun datang ke Poliklinik THT RSUP Dr. Kariadi dengan
keluhan hidung kanan tersumbat 1 tahun SMRS. Hidung tersumbat dirasakan hilang timbul
terutama hidung sebelah kanan (VAS = 3). Keluhan disertai keluar cairan kental dari hidung
berwarna kuning dan berbau (VAS = 5). Pasien juga mengeluhkan nyeri pada daerah pangkal
hidung hingga pipi (VAS = 3), nyeri kepala cekot-cekot (VAS = 3) hilang timbul dan membaik
dengan obat. Keluhan gangguan penghidu disangkal. Rasa mengalir di tenggorok (-), demam (-).
Pasien juga mengeluh sering bersin-bersin. Sekali bersin sebanyak 4-5kali. Keluhan
dirasakan 4 kali dalam seminggu. Bersin dirasakan terutama saat cuaca dingin, pagi, dan jika
terpapar debu. Hidung terasa gatal (VAS=5/5), mata berair (-/-). Keluhan dirasakan tidak sampai
menganggu aktivitas. Pasien mempunyai riwayat asma 9 tahun yang lalu. Riwayat alergi makanan
dan obat disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu :


- Riwayat alergi disangkal
- Riwayat gatal pada kaki saat terkena debu
- Riwayat asma 9 tahun yang lalu
- Riwayat operasi disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga :


- Riwayat anggota keluarga yang mengalami sakit serupa disangkal.
- Riwayat alergi pada keluarga disangkal.

Riwayat Sosial Ekonomi :


Pasien adalah seorang ibu rumah tangga dengan pendidikan terakhir SLTA. Pembiayaan
menggunakan JKN non PBI. Kesan ekonomi cukup.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 27 Januari 2020 pukul 14.20 WIB di Poliklinik THT
RSUP Dr. Kariadi Semarang.
2.3.1 Status generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Composmentis
Aktivitas : Normoaktif
Kooperativitas : Kooperatif
Status gizi : Kesan normoweight
Tanda-tanda vital : TD : 125/80 mmHg
Suhu : 36.7°C
Nadi : 80 x/menit
RR : 18 x/menit
Kepala : Mesosefal
Kulit : Turgor cukup
Mata : Konjungtiva palpebra anemis (-/-), ikterik (-/-)
Thorax : Tidak diperiksa
Abdomen : Tidak diperiksa

Ekstremitas :

Superior Inferior
Oedem -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Capillary refill <2” / <2” <2” / <2”
Ulkus -/- -/-

Lain-lain :-
2.3.2 Status Lokalis (THT)
2.3.2.1 Telinga
Gambar:

Bagian
Telinga Kanan Telinga Kiri
Telinga
Hiperemis (-), nyeri tekan (-), Hiperemis (-), nyeri tekan (-),
Mastoid nyeri ketok (-), fistel(-), abses nyeri ketok (-), fistel(-), abses
(-) (-)
Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
Pre–aurikula fistula (-), abses (-), fistula (-), abses (-),
nyeri tekan tragus (-) nyeri tekan tragus (-)
Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
Retro–
fistula fistula (-), abses (-), nyeri
aurikula
(-), abses (-), nyeri tekan (-) tekan (-)
Normotia, hiperemis (-), Normotia, hiperemis (-),
Aurikula
edema (-), nyeri tarik (-) edema (-), nyeri tarik (-)
Serumen (-), edema (-), Serumen (-), edema (-),
CAE / MAE hiperemis (-), furunkel (-), hiperemis (-), furunkel (-),
discharge (-), granulasi (-) discharge (-), granulasi (-)
Warna putih mengkilat,
Warna putih mengkilat,
Membran retraksi
retraksi (-), perforasi (-),
timpani (-), perforasi (-), reflek cahaya
reflek cahaya (+), granulasi(-)
(+), granulasi(-)

2.3.2.2 Hidung dan sinus paranasal

Pemeriksaan Luar
Inspeksi : Bentuk (N), simetris, deformitas (-), warna
kulit sama dengan sekitar
Hidung
Palpasi : os nasal : deformitas (-/-), krepitasi (-/-), nyeri
tekan (-/-), oedem (-/-)
Maxilla : nyeri tekan (+/-), nyeri ketok (+/-)
Sinus Ethmoid : nyeri tekan (-/-), nyeri ketok (-/-)
Frontalis : nyeri tekan (-/-), nyeri ketok (-/-)
Rinoskopi Anterior Kanan Kiri
Discharge Mukoid -
Mukosa Licin, hiperemis (-) Licin, hiperemis (-)
Konka Inferior Hipertrofi (+), oedem (-) Hipertrofi (-), oedem (-)
Tumor Polip (-) Polip (-)
Septum nasi Deviasi (+)
Diafanoskopi tidak dilakukan.

2.3.2.3 Tenggorok
Gambar:
Orofaring Post nasal drip (-)
Palatum Simetris, bombans (-), hiperemis (-), fistula (-), stomatitis (-)
Arkus Faring Simetris, uvula di tengah, hiperemis (-)
Mukosa Hiperemis (-), granulasi (-), eksudat (-)
Ukuran T1, hiperemis (-), Ukuran T1, hiperemis (-),
edema (-), permukaan rata, edema (-), permukaan rata,
Tonsil
kripte melebar (-), detritus (-), kripte melebar (-), detritus (-),
membran (-) membran (-)
Peritonsil Hiperemis (-), edema (-). Abses (-)
Refleks
(+)
muntah
Nasofaring (Rinoskopi Posterior) : tidak dilakukan pemeriksaan.
Laringofaring (Laringoskopi Indirek) : tidak dilakukan pemeriksaan.
Laring (Laringoskopi Indirek) : tidak dilakukan pemeriksaan.

2.3.2.4 Kepala dan leher


Kepala : Mesosefal
Wajah : Perot (-), simetris, deformitas (-)
Leher anterior : Pembesaran nnll (-)
Leher lateral : Pembesaran nnll (-)
Lain-lain : (-)

2.3.2.5 Gigi dan mulut


Gigi geligi : Gigi goyang (-), Gigi berlubang (+)
Lidah : Simetris, deviasi (-), stomatitis (-)
Palatum : Simetris, bombans (-), hiperemis (-)
Pipi : Mukosa buccal: hiperemis (-), stomatitis (-)
Lain-lain : (-)

2.4 RINGKASAN
Pasien perempuan usia 33 tahun datang ke Poliklinik THT RSUP Dr. Kariadi dengan
keluhan hidung kanan tersumbat 1 tahun SMRS. Hidung tersumbat dirasakan hilang timbul
terutama hidung sebelah kanan (VAS = 3). Keluhan disertai keluar cairan kental dari hidung
berwarna kuning dan berbau (VAS = 5). Pasien juga mengeluhkan nyeri pada daerah pangkal
hidung hingga pipi (VAS = 3), nyeri kepala cekot-cekot (VAS = 3) hilang timbul dan membaik
dengan obat. Keluhan gangguan penghidu disangkal. Rasa mengalir di tenggorok (-), demam
(-).
Pasien juga mengeluh sering bersin-bersin. Sekali bersin sebanyak 4-5kali. Keluhan
dirasakan 4 kali dalam seminggu. Bersin dirasakan terutama saat cuaca dingin, pagi, dan jika
terpapar debu. Hidung terasa gatal (VAS=5/5), mata berair (-/-). Keluhan dirasakan tidak
sampai menganggu aktivitas. Pasien mempunyai riwayat asma 9 tahun yang lalu. Riwayat
alergi makanan dan obat disangkal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum, tanda-tanda vital, dan status generalis
dalam batas normal. Pemeriksaan status lokalis telinga dalam batas normal. Pada pemeriksaan
status lokalis hidung didapatkan nyeri tekan dan nyeri ketok pada daerah sinus maxillaris
kanan, mukosa pucat (-/-), hipertrofi konka (+/-), discaj mukoid (+/-). Pemeriksaan status
lokalis tenggorok dan telinga dalam batas normal.

2.5 DIAGNOSIS BANDING

1. Rhinosinusitis Acute
2. Rhinitis Vasomotor

2.6 DIAGNOSIS SEMENTARA


1. Rhinosinusitis kronik
2. Rhinitis alergi persisten ringan
3. Konka hipertrofi

2.7 RENCANA PENGELOLAAN


IpDx : S: -
O:
- Skin Prick Test
- Nasoendoskopi
- MSCT Scan Sinus Paranasal
IpTx :

- Medikamentosa
o Amoxicillin clavulanate 500mg 1 tablet tiap 8 jam
o Fluticasone furoate nasal spray 27.5mf/puff 1x2 puff pagi hari, hidung kanan kiri
o Paracetamol kapsul 500mg 1 tablet tiap 8 jam
o Cetirizine 10mg 1x1
- Non-medikamentosa :
o Cuci Hidung dengan larutan garam fisiologis, 1 hari 4 kali
RSUP Dr. Kariadi
Nama : dr. Fathur
NIP : 22010116120057
Telp. 081234567890

Semarang, 28 Januari 2019


Alergi obat:
 Ya
 Tidak

R/ Amoxicillin Clavulanat 500 mg Tab No. XLII


S.o.8.h tab I

R/ Paracetamol 500 mg Tab No XXX


S.3.d.d tab I p.r.n

R/ Cetirizine 10 mg Tab No. XIV


S.1.d.d tab I o.m

R/ Fluticasone Furoate 27.5 mcg/spray Fl. No. 1


S.1.d.d puff II h.m

R/ Infus NaCl 0.9% No. III


Spuit 20 cc No. I
Infus Set No. I
S.4.d.d puff I

Pro : Ny. H
Usia : 33 tahun

Pro : Ny. H
IpUsia
Mx : : 33 Tahun

- Mengawasi keadaan umum dan tanda-tanda vital


- Mengawasi progresivitas penyakit antara lain keluhan hidung tersumbat dengan VAS, keluhan
nyeri wajah, keluhan sekresi hidung, dan keluhan gangguan fungsi indera penghidu.
- Mengawasi timbulnya efek samping dari obat serta evaluasi efek terapi obat.

Pro :
2.8 EDUKASI

- Menjelaskan pada pasien mengenai diagnosis atau penyakit yang dialami pasien yaitu
rinosinusitis kronik dan rinitis alergi beserta kemungkinan penyebabnya.
- Menjelaskan rencana terapi pada pasien, baik terapi medikamentosa maupun non-
medikamentosa, meliputi cara pemakaian obat, efek terapi obat, efek samping obat yang
mungkin timbul, dan tindakan operatif yang akan dilakukan beserta risiko dan komplikasi yang
mungkin terjadi.
- Menjelaskan pasien perlu kembali kontrol untuk evaluasi perkembangan penyakit
- Mengedukasi pasien agar memeriksakan diri apabila muncul efek samping obat, antara lain :
o Fluticasone Furoate nasal spray
 KI : Hipersensitivitas.
 Efek samping : Epistaksis, ulkus nasal.

- Mengedukasi pasien untuk menjaga kebersihan hidung dengan melakukan cuci hidung secara
rutin sebanyak 4 kali sehari.
- Mengedukasi pasien untuk menghindari paparan allergen yang telah diketahui.
- Mengedukasi pasien untuk istirahat cukup dan mengkonsumsi makanan sehat dan
multivitamin.

2.9 PROGNOSIS :
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad sanam : dubia ad bonam
- Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Rinitis Alergi


3.1.1 Pengertian Rinitis Alergi
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergii
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan allergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan allergen
spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma)
tahun 2001, rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin,
rinorhea, rasa gatal dan tersbumbat setelah mukosa hidung terpapar allergen yang
diperantarai oleh IgE.

3.1.2 Etiologi
Rhinitis alergi disebabkan oleh adanya kontak dengan aeroalergen
maupunalergen ingestan.Alergen tersebut dapat berupa alergen binatang seperti house
dust mite, kecoa, bulu anjing, kucing, kuda. Alergen tumbuhan seperti jamur maupun
serbuk sari bunga. Tungau debu merupakan allergen terbanyak penyebab reaksi alergi
di Indonesia.4 Genetik memiliki peran penting menjadi faktor predisposisi. Anak-anak
berpotensi memiliki alergi sebesar 47% bila kedua orangtua juga memiliki riwayat
alergi.4

3.1.3 Faktor Pencetus


a. Adanya riwayat atopi.5
b. Alergi : Aeroallergen seperti tungau, allergen binatang, allergen
tumbuhan, alergi karena pekerjaan atau alergi latex.2
c. Pollutants : polusi udara dalam ruangan seperti asap rokok menjadi penyebab
utama. Polutan dari asap kendaraan dan dari diesel meningkatkan pembentukan
IgE dan peradangan alergi.6
d. Pemakaian aspirin dan obat NSAID : dapat menginduksi rhinitis dan asma.2

3.1.4 Patofisiologi
Tahap awal dari terjadinya rhinitis alergika adalah adanya sensitisasi terhadap
allergen. Allergen terbanyak penyebab rhinitis allergika adalah protein yang terhirup,
seperti pollen, dust mite, debu binatang. Allergen yang terhirup kemudian terkumpul
dan menyebar ke seluruh jaringan hidung.4,7
Proses sensitisasi dimulai pada jaringan hidung, dimana antigen-persenting
cell (APCs), terutam sel dendritik, yang menelan allergen dan memecah mereka
menjadi peptida antigen. Kemudian peptida antigen diekspresikan pada permukaan
sel tersebut dan dipresentasikan pada limfosit T CD4 naive. Kemudian sel ini akan
memproduksi IL-4 yang akan mengubah Th0 menjadi Th2. Sel Th2 yang teraktivasi
kemudian mengeluarkan sitokin berupa IL-4 dan IL-13 untuk membuat sel limfosit B
menghasilkan IgE. Imunoglobulin E yang dihasilkan, kemudian menempel pada
reseptor tetramerik yang berada di permukaan sel mast, reseptor trimerik pada sel
dendritik, dan beberapa reseptor dengan afinitas rendah pada monosit, makrofag, dan
limfosit B. Proses inilah yang disebut sebagai sensitisisasi alergen.4,7
Pada paparan selanjutnya, allergen lebih mudah diikat dengan keberadaan IgE
pada permukaan sel-sel tersebut. Kompleks allergen-IgE pada permukaan sel mast,
akan memacu terjadinya degranulasi dan pelepasan mediator inflamasi seperti
histamin, triptase, leukotrien, dan prostaglandin. Pelepasan histamin akan dilanjutkan
dengan penempelan pada serabut saraf sensoris dan memacu timbulnya bersin,
hipersekresi kelenjar dan gatal. Sementara penempelan histamin pada reseptor H1 dan
H2 di mukosa pembuluh darah akan menghasilkan vasodilatasi yang kemudian
menimbulkan rasa hidung tersumbat. Leukotrien bekerja untuk meningkatkan
vasodilatasi dan sekresi. Peran triptase dan sitokin lainnya kurang jelas pada
hubungannya dengan gejala klinis.Reaksi segera ini dapat muncul dalam beberapa
menit dan dapat menghilang dalam beberapa jam setelah paparan.4,7
Proses lainnya yang terjadi beriringan dengan proses diatas adalah adanya IL-
4, IL-5 dan IL-13 serta leukotrien yang kemudian memacu migrasi eosinofil. Eosinofil
akan memproduksi major basic protein (MBP), eosinophil Scationic protein (ECP),
dan eosinophil peroxidase (EPO), yang kemudian kan merusak sel epitel hidung.
Konsentrasi rendah dari MBP sudah dapat mengganggu pergerakan silia dari
hidung.4,7
Gambar 5. Patofisiologi dari Rhinitis Alergika10
3.1.5 Klasifikasi
ARIA mengklasifikasikan rhinitis alergi berdasarkan lama gejala dan beratnya
gejala.2
Berdasarkan waktu dibedakan menjadi :
a. Intermitten : gejala timbul kurang dari 4 hari dalam tiap minggu dan terjadi
kurang dari 4 minggu.
b. Persisten. : gejala timbul lebih dari 4 hari dalam satu minggu dan terjadi lebih
dari 4 minggu berturut-turut.4
Berdasarkan beratnya gejala dibedakan menjadi :
a. Ringan : tidur normal, tidak ada gangguan aktivitas sehari-hari, tidak mengganggu
pekerjaan dan keluhan yang muncul dirasakan tidak mengganggu.
b. Sedangberat :tidur terganggu, gangguan pada aktivitas dan pekerjaan sehingga
penderita tidak dapat menjalakan kegiatan seperti biasanya dan dirasakan sangat
mengganggu.4

Gambar 6. Klasifikasi Rhinitis Alergika berdasarkan ARIA WHO4

3.1.6 Diagnosis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis
Gejala rinitis alergi yang khas adalah gatal di hidung, bersin-bersin terutama
pagi hari atau bila terpapar debu-debuan. Gejala lain yang sering menyertai adalah
rinore encer, hidung tersumbat, dan kadang-kadang sakit kepala.Selain itu
biasanya terdapat riwayat alergi dalam keluarga.5
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat ditemukan mukosa hidung yang
bervariasi dari tampak normal sampai edema, basah, berwarna pucat atau keabuan
disertai rinore encer dengan jumlah bervariasi. Meskipun tidak selalu ditemukan,
tetapi merupakan gejala/tanda yang khas pada rinitis alergi ini adalah allergic
shiner, allergic solute, dan allergic crease. Allergic shiner adalah warna
kehitaman pada daerah infra orbita yang terjadi karena adanya stasis dari vena
yang mengakibatkan edema mukosa hidung dan sinus. Allergic solute adalah
sering mengusap hidung dengan punggung tangan ke atas karena gatal, sedangkan
allergic crease adalah timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga
bawah, karena kebiasaan mengusap hidung.

c. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan darah tepi
Dapat ditemukan adanya eosinofil pada pemeriksaan darah tepi.4
 Swab hidung
Pada pemeriksaan swab hidung dapat ditemukan adanya eosinofil pada
rhinitis alergi. Pemeriksaan ini dianjurkan untuk dilakukan ketika masih
akut atau setelah dilakukan test provokasi.4
 Skin Prick Test (Tes Tusuk Kulit)
Uji ini menggunakan allergen dalam jumplah kecil yang dimasukkan dalam
kulit dengan metode ditusukkan guna menghasilkan reaksi alergi. Bahan
allergen ditusukkan pada daerah volar lengan bawah dan dapat dilakukan
untuk beberapa allergen sekaligus. Reaksi alergi yang ditimbulkan dapat
dilihat berupa kemerahan pada daerah sekitar tusukkan dan kemudian
dibandingkan dengan histamin sebagai kontrol positif dan saline sebagai
kontrol negatif.4
 Nasal provocation test
Tes ini memberikan nilai terbesar bagi rhinitis alergika karena memberikan
kontak langsung antara alergen dengan mukosa hidung. Prosedur uji ini
dimulai dengan rhinomanometri dan dilanjutkan pengolesan allergen pada
konka inferior serta rhinomanometri ulang 20 menit setelah pengolesan.
Ketika reaksi alergi terjadi, maka akan terjadi reduksi dari hasil
rhinomanometri. Kontak langsung mukosa dan allergen dapat memacu
timbulnya reaksi anafilaksis.4
 Radioallergosorbent Test (RAST) dan Multiple Allergen Simultaneous Test
(MAST)
RAST merupakan metode pertama untuk mendeteksi serum-spesific IgE,
tes ini jarang dipakai karena melibatkan isotop radioaktif dan peralatan yang
mahal dan tidak dapat menguji beberapa antibodi secara langsung. Oleh
sebab itu, MAST lebih dipilih karena menggunakan reagen cahaya dan tidak
mahal serta dapat mendeteksi beberapa antibodi sekaligus. Namun, uji ini
dinilai kurang sensitif.4

3.1.7 Tatalaksana
Penatalaksanaan pada rhinitis alergi dapat berupa penghindaran alergen atau
faktor pencetus terjadinya keluhan, terapi medikametosa, imunoterapi dan tindakan
pembedahan. Langkah pertama yang dapat dilakukan dalam menangani pasien
dengan rhinitis alergi adalah dengan menganjurkan pasien untuk menghindari kontak
dengan alergen. Dengan demikian pasien terlebih dahulu harus dapat mengidentifikasi
alergen yang mencetuskan timbulnya gejala. Pada alergen berupa dust mites maka
dapat dilakukan edukasi untuk melakukan penggantian penutup bantal dan tempat
tidur dua minggu sekali, menggunakan obat penyemprot dust mites, dan menghindari
penggunaan karpet tebal. Pada alergen makanan maka dapat dilakukan dengan
menghindari makan makanan tersebut untuk sementara waktu dan menggantinya
dengan makanan lain. Alergen hewan dapat dihindari dengan mengurangi kontak
dengan hewan pencetus.4
Pemberian terapi medikametosa termasuk penggunaan obat topikal maupun
sistemik yang bekerja secara langsung baik untuk mencegah terjadinya degranulasi
dari sel mast atau memblokade efek dari pelepasan mediator. Terapi topikal dapat
dengan dekongestan hidung topikal melalui semprot hidung. Obat yang biasa
digunakan adalah oxymetazolin atau xylometazolin, namun hanya bila hidung sangat
tersumbat dan dipakai beberapa hari (< 2 minggu) untuk menghindari rinitis
medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala sumbatan hidung akibat
respons fase lambat tidak dapat diatasi dengan obat lain. Obat yang sering dipakai
adalah kortikosteroidtopikal: beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason,
mometasonfuroat dan triamsinolon. Preparat antikolinergiktopikal adalah
ipratropium bromida yang bermanfaat untuk mengatasi rinorea karena aktivitas
inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor.2
Terapi oral sistemik dapat diberikan antihistamin dan obat simptomatik.
Antihistamin dibagi menjadi generasi 1 yaitu difenhidramin, klorfeniramin,
siproheptadin. Generasi 2 yaitu loratadin dan cetirizine. Preparat simpatomimetik
golongan agonis alfa dapat dipakai sebagai dekongestan hidung oral dengan atau
tanpa kombinasi antihistamin. Dekongestan oral: pseudoefedrin, fenilpropanolamin,
fenilefrin.2
Imunoterapi atau hiposensitisasi diberikan apabila dengan pemberian obat
tidak dapat mengontrol keluhan atau memberikan efek samping yang tidak dapat
ditoleransi oleh penderita. Terapi ini diindikasikan pada pasien dengan gejala berat
yang tidak respon terhadap pengobatan standard. Ekstrak dari beberapa alergen
disuntikkan secara subcutan dengan dosis kecil, yang kemudian dinaikkan hingga
dosis pemeliharaan dan dilakukan selama minimal 3 tahun. Selain disuntikkan,
terdapat juga pilihan berupa tablet sublingual, rute ini memberikan reaksi anafilaksis
yang lebih rendah. Diharapkan dengan pemberian allergen secara berkala, dapat
merubah peranan Th2 menjadi Th1 akibat adanya produksi IL-10 dan TGF-B.
Pemberian dihentikan bila selama 3 tahun sudah tidak didapatkan adanya gejala.2
Tindakan pembedahan dilakukan atas indikasi. Sebagian besar penderita
rhinitis alergi dapat membaik dengan penghindaran alergen dan pemberian
medikametosa. Namun pada beberapa kasus keluhan tidak membaik dengan
pemberian medikametosa. Dengan demikian perlu dilakukan tindakan pembedahan.
Tindakan pembedahan yang dilakukan bertujuan untuk mengurangi adanya sumbatan
pada hidung dengan melakukan reseksi pada konka.2
Pastikan ada tidaknya
Alur Diagnosis Rhinitis Alergi asma terutama pada
pasien rhinitis sedang-
berat dan/atau
Gejala Intermitten Gejala Persisten persisten

Ringan Sedang-Berat Ringan Sedang-Berat

Tidak berurutan Tidak berurutan Secara berurutan


H1-antihistamin oral atau H1-antihistamin oral atau KS intranasal
intranasal intranasal H1-antihistamin atau LTRA
H1-antihistamin dan/atau H1-antihistamin dan/atau
dekongestan atau LTRA dekongestan atau KS Evaluasi pasien setelah 2-4
intranasal atau LTRA minggu

Pada rhinitis persisten Perbaikan Gagal


evaluasi pasien setelah
2-4 minggu Step down dan Review diagnosis
lanjutkan selama Review compliance adanya
1 bulan infeksi atau penyebab lainnya
jika gagal: terapi maju 1
langkah
jika perbaikan : lanjutkan
Naikkan Rinore  Tersumbat
selama 1 bulan
dosis KS ipratropium dekonges
intranasal tan atau KS
dosis Gatal oral gagal
Tambahkan operasi
H-1
antihistamin

Gambar 8. Tatalaksana Rhinitis allergika menurut ARIA WHO2

3.1.8 Komplikasi
Rhinitis alergi dapat menyebabkan terjadiya:6
● Sinusitis rekuren karena adanya obstruksi pada ostium sinus
● Polip nasal
● Otitis media supuratif
● Masalah ortodontik dan masalah mulut terutama pada anak-anak
● Asma bronkhialis. Pasien dengan rhinitis alergi beresiko empat kali lebih besar terkena
asma bronkhialis

3.2 Diagnosa Banding


3.2.1 Rhinitis Vasomotor
Rinitis vasomotor merupakan suatu kelainan neurovaskular pembuluh darah pada
mukosa hidung, terutama melibatkan sistem saraf parasimpatis. Tidak dijumpai alergen
terhadap antibodi spesifik seperti yang dijumpai pada rinitis alergi. Keadaan ini merupakan
refleks hipersensitivitas mukosa hidung yang non – spesifik.5

Tabel 1. Perbedaan Rinitis Alergi dan Rinitis Vasomotor.4,5


Rinitis alergi Rinitis vasomotor

Mulai serangan Belasan tahun Dekade ke 3 – 4

Riwayat terpapar + -
allergen

Etiologi Reaksi Ag – Ab terhadap Reaksi neurovaskuler terhadap


rangsangan spesifik beberapa rangsangan mekanis
atau kimia, juga faktor
psikologis

Gatal & bersin Menonjol Tidak menonjol

Gatal dimata Sering dijumpai Tidak dijumpai

Test kulit Positif Negatif

Sekret hidung Peningkatan eosinofil Eosinofil tidak meningkat

Eosinofil darah Meningkat Normal

Ig E darah Meningkat Tidak meningkat

Gejala yang dijumpai pada 22hinitis vasomotor kadang-kadang sulit dibedakan


dengan 22hinitis alergi seperti hidung tersumbat dan rinore. Rinore yang hebat dan bersifat
22hini atau serous sering dijumpai. Gejala hidung tersumbat sangat bervariasi yang dapat
bergantian dari satu sisi ke sisi yang lain, terutama sewaktu perubahan posisi. Keluhan
bersin-bersin tidak begitu nyata bila dibandingkan dengan 23hinitis alergi dan tidak
terdapat rasa gatal di hidung dan mata. Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu
bangun tidur oleh karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, dan juga
oleh karena asap rokok dan sebagainya.5,6,7
3.3 Rhinosinusitis Kronik
3.3.1 Definisi Rhinosinusitis8,9
Rhinosinusitis adalah peradangan simtomatis pada sinus paranasales dan cavum nasi.
Istilah rhinosinusitis lebih sering dipakai daripada sinusitis, oleh karena sinusitis selalu
diikuti juga dengan adanya peradangan pada mukosa cavum nasi. Rhinosinusitis dibagi
menjadi dua berdasarkan durasinya yaitu akut 2 dan kronis. Disebut akut jika durasinya
kurang dari 4 minggu, atau kronis jika durasinya berlangsung selama 12 minggu atau lebih
dengan dua atau lebih gejala dan keluhan berupa:
 Drainase yang mukopurulen (anterior, posterior, atau keduanya)
 Kongesti pada hidung
 Nyeri pada wajah karena tekanan, atau
 Menurunnya daya pembauan
Dan adanya peradangan ditandai dengan ditemukannya satu atau lebih hal-hal berikut ini:
 Mukus yang purulen atau edema di meatus nasi medius atau regio ethmoidalis
anterior
 Polip pada cavum nasi atau meatus nasi medius, dan atau
 Pemeriksaan radiologis menunjukkan adanya peradangan pada sinus paranasales
3.3.1 Patofisiologi
Terjadinya stasis dari sekresi mukus cavum nasi dipicu oleh adanya obstruksi
mekanis pada komplek ostiomeatal (KOM) yang berhubungan dengan kelainan anatomi
dan edema pada mukosa cavum nasi yang disebabkan oleh berbagai etiologi (misalnya
rinitis virus akut atau alergi). 10

Kesehatan sinus setiap orang bergantung pada sekresi mukus yang normal baik dari segi
viskositas, volume dan komposisi; transport mukosiliar yang normal untuk mencegah
stasis mukus dan kemungkinan infeksi; serta patensi kompleks ostiomeatal untuk
mempertahankan drainase dan aerasi. 8,10
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan tempat drainase bagi kelompok sinus
anterior (frontalis, ethmoid anterior dan maksilaris) dan berperan penting bagi transport
mukus dan debris serta mempertahankan tekanan oksigen yang cukup untuk mencegah
pertumbuhan bakteri. Obstruksi ostium sinus pada KOM merupakan faktor predisposisi
yang sangat berperan bagi terjadinya rinosinusitis kronik. Namun demikian, kedua faktor
yang lainnya juga sangat berperan bagi terjadinya rinosinusitis kronik. Interupsi pada satu
atau lebih faktor diatas akan mempengaruhi faktor lainnya dan kemudian memicu
terjadinya kaskade yang berkembang menjadi rinosinusitis kronik dengan perubahan
patologis pada 9 mukosa sinus dan juga mukosa nasal.

Stagnasi mukosa pada sinus membentuk media yang kaya untuk pertumbuhan
berbagai patogen. Tahap awal sinusitis sering merupakan infeksi virus yang umumnya
berlangsung hingga 10 hari dan itu benar-benar sembuh dalam 99% kasus. Namun,
sejumlah kecil pasien dapat berkembang menjadi infeksi bakteri akut sekunder yang
umumnya disebabkan oleh bakteri aerobik (yaitu Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis). Awalnya, sinusitis akut yang dihasilkan
hanya melibatkan satu jenis bakteri aerobik. Dengan adanya infeksi yang persistensi, flora
campuran dari organisme dan kadang kala jamur berkontribusi terhadap patogenesis
rhinosinusitis kronis. Sebagian besar kasus sinusitis kronis disebabkan oleh sinusitis akut
yang tidak diobati atau tidak merespons pengobatan.

Pemikiran saat ini mendukung konsep bahwa rhinosinusitis kronis (RSK) sebagian
besar merupakan penyakit radang multifaktor. Faktor pengganggu yang dapat
menyebabkan peradangan adalah sebagai berikut

o Infeksi yang persisten


o Alergi dan penyakit imunologis
o Faktor-faktor intrinsik saluran nafas atas
o Pengobatan infeksi jamur yang menginduksi peradangan eosinofilik
o Kelainan metabolik seperti peka sensitif terhadap aspirin
Semua faktor ini dapat berperan dalam terganggunya sistem transportasi
mukosiliar intrinsik. Hal ini karena adanya perubahan pada patensi ostia sinus, fungsi
siliaris, atau kualitas sekresi menyebabkan stagnasi sekresi, penurunan kadar pH, dan
menurunkan ketegangan oksigen di dalam sinus. Perubahan ini menciptakan lingkungan
yang menguntungkan bagi pertumbuhan bakteri yang selanjutnya berkontribusi terhadap
peningkatan peradangan mukosa.
3.3.4 Etiologi
o Infeksi Jamur
Jamur mengandung protease intrinsik yang dapat menginduksi sitokin via
aktivasi reseptor PAR pada berbagai jenis sel, mungkin melalui respon T Helper (
Th) tipe 2. Ekstrak jamur dapat menghambat sinyal JAK-STAT1 pada epitel, efek
yang dapat menghambat Th1 dan meningkatkan respons Th2. Jamur juga
kemungkinan memainkan peran kunci dalam sinusitis jamur alergi klasik. Terakhir,
dinding sel jamur mengandung chitin, yang telah terbukti menginduksi respons Th2
pada beberapa model manusia dan hewan, namun peran rhinosinusitis kronis yang
masih belum jelas. Saat ini, sebagian besar peneliti menduga bahwa jamur
kemungkinan berperan penting dalam etiologi rhinosinusitis.11
o Infeksi Bakteri
Berdasarkan teknik kultur, telah lama menemukan peranan penting dari
bakteri Staphylococcus aureus pada rhinosinusitis kronis. Selain kolonisasi
permukaan, Staphylococcus juga mampu berada di dalam sel epitel dan makrofag
pasien rhinosinusitis. Dalam keadaan normal, bakteri termasuk Staphylococcus
menerima respons pertahanan inang inflamasi Th17. Salah satu kesulitan untuk
mendukung hipotesis bakteri sebagai salah etiologi terjadinya rhinosinusitis kronis
adalah kesulitan dalam menjelaskan respons Th2 yang terlihat pada jaringan pasien
yang refrakter. Namun demikian, tiga hipotesis berbasis bakteri telah diusulkan
sebagai berikut: (1) hipotesis superantigen, (2) hipotesis biofilm, dan (3) hipotesis
mikrobiom.10
3.3.5 DIAGNOSIS12,13
1. Anamnesis
Anamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan terutama dalam menilai
gejala-gejala yang ada pada kriteria diatas, mengingat patofisiologi rinosinusitis kronik
yang kompleks. Adanya penyebab infeksi baik bakteri maupun virus, adanya latar
belakang alergi atau kemungkinan kelainan anatomis rongga hidung dapat
dipertimbangkan dari riwayat penyakit yang lengkap. Informasi lain yang perlu
berkaitan dengan keluhan yang dialami penderita mencakup durasi keluhan, lokasi,
faktor yang memperingan atau memperberat serta riwayat pengobatan yang sudah
dilakukan. Menurut EP3OS 2007, keluhan subyektif yang dapat menjadi dasar
rinosinusitis kronik adalah:
o Obstruksi nasal Keluhan buntu hidung pasien biasanya bervariasi dari obstruksi
aliran udara mekanis sampai dengan sensasi terasa penuh daerah hidung dan
sekitarnya
o Sekret / discharge nasal 15 Dapat berupa anterior atau posterior nasal drip
o Abnormalitas penciuman Fluktuasi penciuman berhubungan dengan rinosinusitis
kronik yang mungkin disebabkan karena obstruksi mukosa fisura olfaktorius
dengan / tanpa alterasi degeneratif pada mukosa olfaktorius
o Nyeri / tekanan fasial Lebih nyata dan terlokalisir pada pasien dengan rinosinusitis
akut, pada rinosinusitis kronik keluhan lebih difus dan fluktuatif.

Diagnosis rinosinusitis kronik tanpa polip nasi (pada dewasa) berdasarkan EP3OS
2007 ditegakkan berdasarkan penilaian subyektif, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang lainnya. Penilaian subyektif berdasarkan pada keluhan, berlangsung lebih dari
12 minggu:

1. Buntu hidung, kongesti atau sesak


2. Sekret hidung / post nasal drip, umumnya mukopurulen
3. Nyeri wajah / tekanan, nyeri kepala dan
4. Penurunan / hilangnya penciuman Pemeriksaan fisik yang dilakukan mencakup
rinoskopi anterior dan posterior. Yang menjadi pembeda antara kelompok rinosinusitis
kronik tanpa dan dengan nasal polip adalah ditemukannya jaringan polip / jaringan
polipoid pada pemeriksaan rinoskopi anterior. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan
antara lain endoskopi nasal, sitologi dan bakteriologi nasal, pencitraan (foto polos
sinus, transiluminasi, CT-scan dan MRI), pemeriksaan fungsi mukosiliar, penilaian
nasal airway, fungsi penciuman dan pemeriksaan laboratorium.
2. Pemeriksaan Fisik
 Rinoskopi anterior dengan cahaya lampu kepala yang adekuat dan kondisi rongga
hidung yang lapang (sudah diberi topikal dekongestan sebelumnya). Dengan
rinoskopi anterior dapat dilihat kelainan rongga hidung yang berkaitan dengan
rinosinusitis kronik seperti udem konka, hiperemi, sekret (nasal drip), krusta,
deviasi septum, tumor atau polip.
 Rinoskopi posterior bila diperlukan untuk melihat patologi di belakang rongga
hidung.

3. Pemeriksaan Penunjang 14
 Transiluminasi, merupakan pemeriksaan sederhana terutama untuk menilai kondisi
sinus maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila terdapat perbedaan transiluminasi
antara sinus kanan dan kiri.
 Endoskopi nasal, dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret, patensi kompleks
ostiomeatal, ukuran konka nasi, udem disekitar orifisium tuba, hipertrofi adenoid dan
penampakan mukosa sinus. Indikasi endoskopi nasal yaitu evaluasi bila pengobatan
konservatif mengalami kegagalan. Untuk rinosinusitis kronik, endoskopi nasal
mempunyai tingkat sensitivitas sebesar 46 % dan spesifisitas 86 %.
 Radiologi, merupakan pemeriksaan tambahan yang umum dilakukan, meliputi X-foto
posisi Water, CT-scan, MRI dan USG. CT-scan merupakan modalitas pilihan dalam
menilai proses patologi dan anatomi sinus, serta untuk evaluasi rinosinusitis lanjut bila
pengobatan medikamentosa tidak memberikan respon. Ini mutlak 17 diperlukan pada
rinosinusitis kronik yang akan dilakukan pembedahan. Pemeriksaan penunjang lain
yang dapat dilakukan antara lain:3,13
 Sitologi nasal, biopsi, pungsi aspirasi dan bakteriologi
 Tes alergi - Tes fungsi mukosiliar : kliren mukosiliar, frekuensi getar siliar mikroskop
elektron dan nitrit oksida - Penilaian aliran udara nasal (nasal airflow): nasal inspiratory
peakflow, rinomanometri, rinometri akustik dan rinostereometri
 Tes fungsi olfaktori: threshold testing - Laboratorium : pemeriksaan CRP ( C-reactive
protein)

3.3.6 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa
dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan medikamentosa dan pembedahan. Pada
rinosinusitis kronik (tanpa polip nasi), terapi pembedahan mungkin menjadi pilihan yang
lebih baik dibanding terapi medikamentosa.15 Adanya latar belakang seperti alergi, infeksi
dan kelainan anatomi rongga hidung memerlukan terapi yang berlainan juga.
 Terapi Medikamentosa 16
Terapi medikamentosa memegang peranan dalam penanganan rinosinusitis kronik
yakni berguna dalam mengurangi gejala dan keluhan penderita, membantu dalam
diagnosis rinosinusitis kronik (apabila terapi medikamentosa gagal maka cenderung
digolongkan menjadi rinosinusitis kronik) dan membantu memperlancar kesuksesan
operasi yang dilakukan. Pada dasarnya yang ingin 18 dicapai melalui terapi
medikamentosa adalah kembalinya fungsi drainase ostium sinus dengan
mengembalikan kondisi normal rongga hidung. Jenis terapi medikamentosa yang
digunakan untuk rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa antara lain:
o Antibiotika, merupakan modalitas tambahan pada rinosinusitis kronik mengingat
terapi utama adalah pembedahan. Jenis antibiotika yang digunakan adalah
antibiotika spektrum luas antara lain:
 Amoksisilin + asam klavulanat
 Sefalosporin: cefuroxime, cefaclor, cefixime
 Florokuinolon : ciprofloksasin
 Makrolid : eritromisin, klaritromisin, azitromisin
 Klindamisin
 Metronidazole
o Antiinflamatori dengan menggunakan kortikosteroid topikal atau sistemik.
 Kortikosteroid topikal : beklometason, flutikason, mometason
 Kortikosteroid sistemik, banyak bermanfaat pada rinosinusitis kronik
dengan polip nasi dan rinosinusitis fungal alergi.
o Terapi penunjang lainnya meliputi:
 Dekongestan oral/topikal yaitu golongan agonis α-adrenergik
 Antihistamin
 Stabilizer sel mast, sodium kromoglikat, sodium nedokromil
 Mukolitik
 Antagonis leukotrien
 Imunoterapi g. Lainnya: humidifikasi, irigasi dengan salin, olahraga,
avoidance terhadap iritan dan nutrisi yang cukup
o Terapi Pembedahan 8,16
Terapi bedah yang dilakukan bervariasi dimulai dengan tindakan sederhana
dengan peralatan yang sederhana sampai operasi menggunakan peralatan canggih
endoskopi. Beberapa jenis tindakan pembedahan yang dilakukan untuk rinosinusitis
kronik ialah:
- Sinus maksila
 Irigasi sinus (antrum lavage)
 Nasal antrostomi
 Operasi Caldwell-Luc
- Sinus etmoid
 Etmoidektomi intranasal, eksternal dan transantral
BAB IV

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil anamnesis terhadap pasien perempuan usia 33 tahun


datang ke Poliklinik THT RSUP Dr. Kariadi dengan keluhan hidung kanan
tersumbat. Keluhan mulai dirasakan sejak ± 1 tahun yang lalu dan semakin
memberat. Keluhan dirasakan terutama saat cuaca dingin, pagi hari, dan malam
hari. Keluhan disertai dengan keluar cairan bening, hidung gatal dan bersin. Bersin
sebanyak 4-5 kali sekali bersin yang muncul saat pagi hari atau saat terkena debu.
Pasien mengaku memiliki riwayat gatal-gatal pada kaki jika terkena debu serta
riwayat asma yang tidak muncul sejak 9 tahun yang lalu. Keluhan tidak
mengganggu aktivitas sehari-hari. Mata berair (-), mata gatal (-), rasa adanya cairan
menetes di tenggorok (-), batuk (-), nyeri telinga (-), demam (-)

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum, tanda-tanda vital, dan


status generalis dalam batas normal. Pemeriksaan status lokalis telinga dalam batas
normal. Pada pemeriksaan status lokalis hidung didapatkan hipertrofi konka (+/-),
discaj mukopurulen (+/-), dan septum deviasi (+) ke kanan. Pemeriksaan status
lokalis tenggorok dan telinga alam batas normal.
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan, pasien
didiagnosis sebagai rhinitis alergi berdasarkan gejala seperti ingus cair yang keluar
pada pagi hari dan malam hari dipicu dingin dan debu, hidung gatal, bersin-bersin
sebanyak 4-5 kali. Selain itu, diagnosis disertai adanya rinosinusitis kronis (RSK)
karena memenuhi kriteria diagnosis yaitu adanya hidung tersumbat dengan onset
lebih dari 12 minggu. Pada pasien juga didapatkan konka hipertrofi berdasarkan
pemeriksaan rhinoskopi anterior.
Pasien mendapatkan terapi medikamentosa yang meliputi asam mefenamat
untuk mengurangi inflamasi, cetirizine sebagai antihistamine generasi kedua, cuci
hidung atau irigasi nasal menggunakan NaCl 0.9% untuk menjaga kebersihan dan
kelembaban mukosa hidung sehingga mengurangi oedema, dan steroid topikal
intranasal (fluticasone furoate) yang bertujuan mengurangi proses inflamasi pada
saluran napas sehingga memperbaiki fungsi penciuman pasien. Pasien dianjurkan
untuk menjalani terapi pembedahan Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS)

30
untuk memperbaiki aliran udara dan drainase sinus dengan invasi minimal. Septum
Reconstruction (SR) untuk memperbaiki deviasi septum, serta Konkoplasti untuk
memperbaiki hipertrofi konka.

31
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan disik pasien didapatkan tanda dan
gejala yang mengarah ke rhinitis alergika persisten ringan, konka hipertrofi, dan
rhinosinusitis kronik. Terapi yang dapat diberikan berupa farmakologi yaitu
antiinflamasi dan antihistamin, dan nonfarmakoterapi berupa cuci hidung,
FESS, SD, dan Konkaplasti.

5.2 Saran
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan pada makalah ini.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik yang membangun bagi makalah ini,
agar penulis dapat berbuat lebih baik lagi di kemudian hari. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Al-sayed AA, Agu RU, Massoud E. Models for the Study of Nasal and Sinus
Physiology in Health and Disease : A Review of the Literature. 2017:1-12.
doi:10.1002/lio2.117
2. Primary G, Education C. Management Of Allergic Rhinitis And Its Impact
On Asthma Pocket Guide Global Primary Care Education Based On The
2007 Aria Workshop Report And The Ipag Handbook. 2007.
3. Fadilah N, Agustina K. Analisis Sistem Pelayanan Rekam Medis Rawat Inap
di RSUP Dr . Kariadi Semarang Tahun 2016. 2017;5(44):29-37.
4. Sin BA. Pathophysiology of Allergic and Nonallergic Rhinitis
Pathophysiology of Allergic and Nonallergic Rhinitis. 2011;(June 2016).
doi:10.1513/pats.201008-057RN
5. History O. Turbinate Reduction Rhinoplasty. 2020.
6. Businco LDR, Businco ADR, Lauriello M. Comparative study on the
effectiveness of Coblation-assisted turbinoplasty in allergic rhinitis *.
2010:174-178. doi:10.4193/Rhin09.149
7. Yanez C, Mora N. Inferior turbinate debriding technique: Ten-year results.
Otolaryngol Head Neck Surg. 2008;138:170-175.
doi:10.1016/j.otohns.2007.10.030
8. Ercan C, Imre A, Pinar E, Erdoğan N, Umut Sakarya E, Oncel S. Comparison
of submucosal resection and radiofrequency turbinate volume reduction for
inferior turbinate hypertrophy: evaluation by magnetic resonance imaging.
Indian J Otolaryngol Head Neck Surg. 2014;66(3):281-286.
doi:10.1007/s12070-013-0696-9
9. Soepardi E.A. Iskandar N.I. Bashiruddin J. dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. 2011. Edisi Keenam. Jakarta :
FK UI, hal : 118-122, 116, 140.
10. Penelitian B. Riset kesehatan dasar. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
2013.
11. Sinurat J, Rengganis I, Rumendes CM, Harimurti K. Accuracy of Serum-
Specific IgE Test with Microfluid Array Enzyme-Linked Immunosorbent
Assay for Diagnosing Inhalant Allergen Sensitization in Asthma and/or
Rhinitis Allergy Patients in Jakarta, Indonesia. Asia Pac Allergy.2018;8(1)
12. Will Corbridge, Rogan H. Essential ENT Practice: A Clinical Text. 1998. 19-
20 p. 127-135
13. Netter FH. Atlas of Human Anatomy 25th Edition. Jakarta: EGC; 2014.p. 39

33
14. Sin B, Togias A. Pathophysiology of Allergic and Nonallergic Rhinitis.
2011;8:106–14
15. Musheer S. Logan Turner’s Disease of Nose, Throat, and Ear Head and Neck
Surgery. 11th editi. New Jersey: Taylor & Francis Group; 2016.
16. Dhingra PL D. Disease of Ear Nose and Throat. 4th ed. New Delhi, India:
Elsevier; 2007. 129-135; 145-148 p

34

Anda mungkin juga menyukai