Disusun oleh:
Hana Fadly
30101407197
Pembimbing:
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2018
LEMBAR PENGESAHAN
Pembimbing,
Sinus frontal kanan dan kiri, sinus ethmoid kanan dan kiri (anterior dan
posterior), sinus maksila kanan dan kiri (antrum highmore) dan sinus sfenoid
kanan dan kiri. Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan
mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui
ostium masing-masing.3
Pada meatus medius yang merupakan ruang diantara konka superior dan
konka inferior rongga hidung terdapat suatu celah sempit yaitu hiatus semilunaris
sebagai muara dari sinus maksila, sinus frontalis dan ethmoid anterior.Pada
meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media
terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.3
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung dan terbentuk pada fetus usia bulan III atau menjelang bulan IV dan tetap
berkembang selama masa kanak-kanak, jadi tidak heran jika pada foto anak-anak
belum ada sinus frontalis karena belum terbentuk.4
Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus maksila
berbentuk seperti piramid. Dinding anterior sinus maksila dibentuk oleh
permukaan fasial os maksila (fosa kanina), dinding posterior terbentuk oleh
permukaan infra-temporal maksila, bagian medial sinus maksila adalah dinding
lateral rongga hidung, dinding superior terbentuk oleh dasar orbita, dan dinding
inferior terbentuk oleh prosesus alveolaris dan palatum.4
Secara klinis, yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah
dasar dari sinus maksila (dinding inferior) sangat berdekatan dengan akar gigi
rahang atas, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas dan menyebabkan
terjadinya sinusitis. Sinusitis maksila dapat menimbulkan terjadinya komplikasi
orbita karena dinding superior sinus maksila dibenuk oleh dasar orbita. Ostium
sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya
tergantung dari pergerakan silia.3,4
2.2. Definisi
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus yang
terkena, dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal
dan sinusitis sfenoid.1,2,3 Yang paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan
sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusuitis sfenoid lebih jarang.
Sinus maksila disebut juga dengan antrum highmore, merupakan sinus
yang sering terinfeksi, oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar,
(2) letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret atau drainase
dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila
adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat
menyebabkan sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila terletak di meatus
medius, disekitar hiatus semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat.1
Sinusitis maksilaris dapat terjadi akut, berulang atau kronis. Sinusitis
maksilaris akut berlangsung tidak tanpa adanya residu kerusakan jaringan
mukosa. Sinusitis berulang terjadi lebih sering tapi tidak terjadi kerusakan
signifikan pada membran mukosa. Sinusitis kronis berlangsung selama 3 bulan
atau lebih dengan gejala yang terjadi selama lebih dari dua puluh hari (lebih dari
tiga minggu). Sinusitis akut dapat sembuh sempurna jika diterapi dengan baik.
2.3 Patofisiologi
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara
lain (1) sebagai pengatur kondisi udara, (2) sebagai penahan suhu, (3) membantu
keseimbangan kepala, (4) resonansi suara, (5) peredam perubahan tekanan udara
dan (6) membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung.1,3
Fungsi sinus paranasal dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
pertahanan mukosilier, ostium sinus yang tetap terbuka dan pertahanan tubuh baik
lokal maupun sistemik.2,3,5 Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga
terdapat mukosa bersilia dan palut lendir di atasnya. Di dalam sinus silia bergerak
secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti
jalur-jalur yang sudah tertentu polanya.
Ada tiga kategori utama pada mekanisme terjadinya sinusitis kronis, yaitu:5
1. Sinusitis yang berhubungan dengan hiperplasia karena peradangan.
2. Sinusitis sebagai bagian dari alergi umum saluran napas.
3. Sinusitis karena salah satu diatas disertai infeksi sekunder.
Gambar 10. Foto lateral menunjukkan gambaran air fluid level di sinus maksila
Pemeriksaan foto polos kepala air fluid level merupakan gambaran yang
paling umum pada sinusitis bakteri akut dan umumnya tidak terlihat dalam bentuk
lain dari sinusitis. Pemeriksaan ini paling baik dan paling utama untuk
mengevaluasi sinus paranasal. Karena banyaknya unsur-unsur tulang dan jaringan
lunak yang tumpang tindih pada daerah sinus paranasal, kelainan-kelainan
jaringan lunak, erosi tulang kadang-kadang sulit dievaluasi. Pemeriksaan ini dari
sudut biaya cukup ekonomis dan pasien hanya mendapat radiasi yang minimal.11
Pemeriksaan CT-Scan
CT scan sinus bidang koronal telah menjadi metode pencitraan standar
internasional untuk mengevaluasi sinus paranasal yang terkena sinusitis.
Pemeriksaan harus mencakup penilaian terhadap pola, batas, dan kemungkinan
penyebab penyakit, serta rincian anatomi yang relevan dan diperlukan untuk
perencanaan penatalaksanaan.6,9
Pada sinusitis akut dapat dilihat tingkat air-fluid, penebalan mukosa, dan
completeopacification sinus. Apabila terdapat darah di sinus karena trauma ini
mungkin dapat meniru air fluid level dalam sinus, namun mudah dibedakan
dengan pengukuran kepadatan. 11
Dalam sinusitis kronis, sinus etmoid umumnya terlibat. Temuan meliputi
penebalan mukosa, complete opacification, remodeling tulang dan penebalan
karena osteitis, dan poliposis. 6,9
Gambar 14. Foto CT scan posisi Gambar 15. Foto CT scan posisi
coronal menggambarkan Sinusitis coronal menggambarkan sinusitis pada
jamur. Jaringan lunak menempati sisi kanan sinus spenoethmodal.
sinus maksilaris kanan dan ethmoid
dengan daerah hyperattenuating
pusat khas jamur sinusitis. Dinding
medial sinus yang terkena terkikis.
Pemeriksaan MRI
Meskipun CT scan tetap menjadi modalitas utama untuk kriteria standar
diagnosis sinusitis, tetapi MRI diindikasikan pada kasus-kasus klinis yang
dicurigai dapat menjadi komplikasi, terutama pada pasien dengan komplikasi
intrakranial dan infeksi yang besifat extension atau pada mereka yang suspek
superior sagittal venous thrombosis. 9
MRI meningkatkan diferensiasi jaringan lunak, tetapi itu tidak membantu
dalam mengevaluasi tulang. MRI jelas menggambarkan tumor dari inflamasi pada
jaringan sekitar dan sekresi pada sinus. Pada MRI T2-weighted, membran edema
dan lendir jelas terlihat hiperintens.9
Pemeriksaan USG
Secara umum, ultrasonografi belum dianggap berguna dalam diagnosis
sinusitis. Namun, beberapa karya yang diterbitkan telah menunjukkan bahwa
USG menjadi lebih akurat daripada MRI atau radiografi polos dalam
mendiagnosis sinusitis maksilaris. Ultrasonografi telah menjadi alat yang handal
dalam diagnosis sinusitis maksilaris akut. Namun, kontroversi masih ada
mengenai keandalan ultrasonografi dalam mendeteksi retensi cairan atau
pembengkakan mukosa pada pasien dengan rinosinusitis polypous kronis atau
dalam transantrally operated-on maxillary sinuses.9
Ultrasonografi memiliki beberapa keterbatasan dalam diagnosis sinusitis
tetapi ultrasonografi juga dapat menunjukkan hasil diagnosa positif dengan
adanya cairan antral, tapi sonogram tidak mendefinisikan penyebab cairan.
Sonogram tidak bisa memberikan informasi tentang detil tulang, dan sulit
mendiagnosis sinus apa yg terkena. Ultrasonografi juga tidak dapat digunakan
untuk membedakan penyakit sinus dari bakteri, virus, jamur, dan penyebab alergi.
2.8. Penatalaksanaan
Terapi sinusitis maksilaris umumnya terdiri dari :9,10
1. Istirahat
2. Antibiotika
Antibiotika yang dipilih adalah antibiotika spektrum luas yang relatif murah
dan aman. Lama pemberian antibiotika yang disarankan oleh beberapa
kepustakaan juga bervariasi tergantung kondisi penderita. Pada kasus akut,
antibiotika diberikan selama 5-7 hari sedangkan pada kasus kronik diberikan
selama 2 minggu hingga bebas gejala selama 7 hari. Antibiotika yang dapat
diberikan antara lain :
a. Amoksisilin 3 kali 500 mg
b. Ampicillin 4 kali 500 mg
c. Eritromisin 4 kali 500 mg
d. Sulfametoksasol – TMP
e. Doksisiklin
3. Dekongestan lokal (tetes hidung) atau sistemik (oral) merupakan Alpha
adrenergik agonis menyebabkan vasokontriksi, sehingga memperlancar drainase
sinus.
a. Sol Efedrin 1-2 % sebagai tetes hidung
b. Sol Oksimetasolin HCL 0,05% (semprot hidung untuk dewasa)
c. Oksimetasolin HCL 0,025% (semprot hidung untuk anak-anak)
d. Tablet pseudoefedrin 3 kali 60 mg (dewasa)
4. Analgetika dan antipiretik: parasetamol atau metampiron
5. Antihistamin
Antagonis histamine H1 yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada
reseptor H1 sel target. Bekerja dengan menghambat hipersekresi kelenjar mukosa
dan sel goblet dan menghambat peningkatan permeabilitas kapiler sehingga
mencegah rinore dan sebagai vasokontriksi sinusoid untuk mencegah hidung
tersumbat. Antihistamin berguna untuk mengurangi obstruksi KOM pada pasien
alergi yang menderita sinusitis akut. Terapi antihistamin ini tidak
direkomendasikan untuk penggunaan rutin pada pasien dengan sinusitis akut,
karena dapat menimbulkan komplikasi melalui efeknya yang mengentalkan dan
mengumpulkan sekresi sinonasal.
6. Mukolitik
Secara teori, mukolitik seperti bromehexin atau ambroxol hidroklorida
memiliki kelebihan dalam mengurangi sekresi dan memperbaiki drainase. Namun
tidak biasa digunakan dalam praktek klinis untuk mengobati sinusitis akut.
7. Tindakan operatif
a. Pungsi dan Irigasi sinus maksilaris (antrum wash out)
Tujuan dilakukan Irigasi antrum adalah 1) sebagai tindakan diagnostik
untuk memastikan ada tidaknya sekret pada sinus maksilaris, 2) untuk
mengeluarkan sekret yang terkumpul didalam rongga sinus maksilaris, 3)
memperbaiki aliran mukosiliar, 4) jika dalam waktu 10 hari, penderita tidak
menunjukkan tanda-tanda perbaikan dengan terapi konservatif, atau telah
didapatkan adanya air fluid level dalam antrum, 5) untuk memperoleh material
yang dapat digunakan untuk kultur dan tes sensitifitas.
Tindakan ini dapat dilakukan dengan :
Mukosa hidung disemprot dengan larutan 10% kokain dan adrenalin 1/1000.
kemudian dengan sepotong kapas yang dibasahi dengan larutan yang sama
ditempatkan pada meatus inferior. Ditunggu selama 15 menit.
Dengan menggunakan trokar (misal Trokar dari Lichwits) dibuat drainase
melalui meatus inferior atau celah bukalis gusi menembus fosa insisiva
dengan menempatkan ujung trokar pada bagian atas dari meatus nasi inferior,
kearah kanthus lateralis 1-1/2 inch dari lobang hidung atau tepi atas daun
telinga. Trokar didorong masuk dengan arah sedikit memutar sampai terasa
menembus tulang. Trokar dicabut dengan meninggalkan kanul.
Dilakukan irigasi antrum dengan larutan salin steril hangat ke dalam antrum
maksilaris. Selanjutnya mengalirkan larutan saline hangat, akan mendorong
pus ke luar melalui ostium alami ke rongga hidung atau mulut. Cairan irigasi
ditampung dan dikirim untuk pemeriksaan bakteriologi dan uji kepekaan
kuman.
Antrum wash out dilakukan lima-enam kali dengan selang waktu 4- 5 hari (2
kali dalam seminggu). Bila tidak ada perbaikan dan klinis masih tetap banyak
sekret purulen, berarti mukosa sinus tidak dapat kembali normal (perubahan
irreversible), maka perlu dilakukan operasi radikal.
Antibiotika diberikan sesuai dengan pemeriksaan bakteriologi dan tes uji
kepekaan.
8. Pembedahan radikal
Indikasi pembedahan radikal ini adalah 1) kegagalan respon terapi konservatif
yakni sinusitis kronik refrakter terhadap terapi medis yang maksimal terhadap
terapi antibiotik, 2) tindakan irigasi terutama pada sinusitis kronik dan persisten
dengan mukosa sinus yang irreversible. Sinusitis akut jarang membutuhkan
pembedahan, kecuali jika terjadi komplikasi seperti bentukan mukopiokele
dengan kecurigaan penyebaran ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang
hebat karena ada sekret tertahan oleh sumbatan.
Terapi radikal dilakukan dengan pembedahan Caldwel-luc, yaitu dengan
mengangkat mukosa yang patologis dan membuat drainasesinus.
9. Pembedahan tidak radikal
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) atau Functional Endoscopic Sinus
Surgery (FESS) merupakan tehnik penanganan terkini dari sinusitis oleh karena
pembedahan dengan metode Caldwel-luc sudah jarang dipakai. Prinsipnya ialah
membuka dan membersihkan daerah KOM yang menjadi sumber penyumbatan
dan infeksi, sehingga ventilasi sinus dan drainase sinus dapat lancer kembali
melalui ostium alami dan mengembalikan fungsi mukosilier. Pendekatan
terdahulu untuk membuat saluran nasoantral dalam sinus maksilaris (untuk
memfasilitasi gravitasi drainase) adalah tidak efektif, karena pembersihan normal
mukosilier adalah satu arah dan melawan gravitasi. Oleh karena itu, pembersihan
normal mukosilier tidak akan berubah walaupun telah dibuatkan saluran
nasoantral.
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Hidung tersumbat
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan hidung tersumbat sejak 4 minggu yang lalu.
Awalnya pasien bersin-bersin disertai pengeluaran cairan bening dari kedua
hidung. Setelah itu lama-kelamaan sekret menjadi kuning-kehijauan, kental, dan
bau. Hal ini disertai dengan sumbatan jalan nafas yang juga dirasakan di kedua
lubang hidung pasien. Sering terasa ada cairan yang turun dari belakang hidung ke
tenggorokan. Pada 2 minggu sebelumnya pasien merasakan penurunan penciuman
pada kedua hidung. Pasien merasakan nyeri di bawah mata kanan disertai nyeri
tekan di kedua pipi. Pasien juga mengeluhkan nyeri kepala seperti ditusuk-tusuk
yang hilang timbul. Keluhan demam dan batuk disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien baru pertama kali mengalami keluhan seperti ini. Riwayat sering
batuk, pilek, dan nyeri tenggorok disangkal. Riwayat penyakit amandel disangkal.
Riwayat alergi disangkal. Riwayat maag disangkal. Riwayat asma disangkal.
Riwayat sakit gigi disangkal. Riwayat penyakit hipertensi, kencing manis, dan
batuk-batuk lama disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada riwayat keluhan yang sama pada keluarga.
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat alergi.
Riwayat Pengobatan :
Pasien mengaku sering mengkonsumsi obat warung untuk menghilangkan
sakit kepalanya.
Riwayat Sosial Ekonomi :
Biaya pengobatan ditanggung oleh BPJS.
Pemeriksaan Telinga
Bagian Auricula Dextra Sinistra
Bentuk normal, Bentuk normal
Auricula nyeri tarik (-) nyeri tarik (-)
nyeri tragus (-) nyeri tragus (-)
Pre auricular Bengkak (-) Bengkak (-)
nyeri tekan (-) nyeri tekan (-)
fistula (-) fistula (-)
Bengkak (-) Bengkak (-)
Retro auricular
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Bengkak (-) Bengkak (-)
Mastoid
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Serumen (-) Serumen (-)
CAE Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Sekret (-) Sekret (-)
Intak Intak
Membran timpani Putih mengkilat Putih mengkilat
Refleks cahaya (+) Refleks cahaya (+)
Pemeriksaan Sinus
Dextra Sinistra
Inspeksi
Pembengkakan pada - -
pipi
Warna kulit Sama dengan sekitar Sama dengan sekitar
Palpasi
Nyeri tekan di pipi + +
Nyeri tekan di atas - -
orbita
Nyeri tekan di - -
cantus medius
Transluminasi
Sinus maksila Suram Suram
Sinus frontal Cahaya terang Cahaya terang
Pemeriksaan Tenggorokan
Pemeriksaan Tenggorokan
3.4. Ringkasan
Anamnesis (Subjektif)
Hidung tersumbat sejak 4 minggu yang lalu, sekret menjadi kuning-
kehijauan, kental, dan bau. Sumbatan jalan nafas.
Sering terasa ada cairan yang turun dari belakang hidung ke tenggorokan.
Penurunan penciuman pada kedua hidung.
Nyeri di bawah mata kanan disertai nyeri tekan di kedua pipi.
Pasien juga mengeluhkan nyeri kepala seperti ditusuk-tusuk yang hilang
timbul.
Keluhan demam dan batuk disangkal.
3.6. Diagnosis
Sinusitis Maksilaris Kronis Bilateral
3.8. Penatalaksanaan
Terapi:
1. Antibiotik : Amoxicilin 500mg 3x1 dan Asam Clavulanat 500mg3x1
2. Analgetik dan antipiretik : Paracetamol 500mg 3x1
3. Kortikosteroid oral :
Dexamethasone tab 0,5 mg 2x1 tablet
4. Dekongestan + antihistamin :
Pseudoefedrine 120 mg + Fexofenadine 60 mg (Fexofed) 2x1 tablet
5. Mukolitik
Ambroxol tab 30 mg 3 x 1 tablet
6. Saline irrigation (NaCl 0,9%)
7. Tindakan operatif : FESS (Functional Endoscopy Sinus Surgery)
Monitoring:
1. Perdarahan paska operasi
2. Tanda-tanda rekurensi (keluhan subjektif berulang)
Mengatasi faktor penyebab
Edukasi:
Mengetahui jenis alergen yang dapat menimbulkan keluhan
Menghindari kontak dengan alergen pencetus atau misalnya memakai
masker saat membersihkan kama, tidak menggunakan bantal kapuk.
Meminum obat yang sudah diberikan secara teratur dan kontrol ke
poliklinik
Istirahat cukup dan makan makanan bergizi
Bila keluhan belum mereda, konsul THT
3.9. Prognosis
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Fungsionam : dubia ad bonam
Quo ad Sanactionam : dubia ad bonam
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
1. Hall dan Collmans Sinusitis. Disease of The Nose, Throat and Ear. Head and Neck
Surgery. Fourtheenth ed, 2005, 49 – 53.
2. Dykewicz MS, Hamilos DL February 2010. Rhinitis and Sinusitis. The Journal of
Allergy and Clinical Immunology. 125: S103–15.
3. Mangunkusumo, Endang dan Nusjirwan Rifki. Sinusitis. In: Soepardi EA, Iskandar N
(eds). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. 6th Ed.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008.pp.150-154.
4. Hilger, Peter A. Penyakit pada Hidung. In: Adams GL, Boies LR. Higler PA, editor.
Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC; 1997.p.200.
5. Kennedy E. Sinusitis. Available from: http://www.emedicine.com/emerg/topic536.htm
6. Rosenfeld RM. Picirrilo JF. Chandrasekhar SS. Brook I. Kumar KA. Kramper M.
Orlandi RR. Et al. 2015. Clinical Practice Guideline (Update): Adult Sinusitis.
Otolaryngology Head and Neck Surgery. 2015. 152 : (2S).p.1-24.
7. Pracy R, Siegler Y. Sinusitis Akut dan Sinusitis Kronis. Editor Roezin F, Soejak S.
Pelajaran Ringkas THT . Cetakan 4. Jakarta: Gramedia; 1993.p.81-91.
8. Desrosiers M. Evans GA. Keith PK. Wright ED, Kaplan A, Ciavarella A. Doyle PW,
Javer AR, et al. Canadian clinical practice guidelines for acute and chronic
rhinosinusitis. Allergy, Asthma & Clinical Immunology. 2011. 7:2.p.1-38.
9. Boies ET. Sinusitis. In: Harwood-Nuss A, Wolfson AB, Linden CA, Shepherd SM,
Stenklyft PH. The Clinical Practice of Emergency Medicine. 3rd ed. Philadelphia,
PA: Lippincott Williams & Wilkins Publishers; 2001.
10. Laszlo I. Radiologi Daerah Kepala dan Leher. Dalam: Penyakit Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepal & Leher Jilid 2. Edisi 13. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997. p 2-9
11. Bell GW, Joshi BB and Macleod RI.Maxillary sinus disease: diagnosis and treatment.
British Dental Journal. 2011. 210: (3). 113-118.