Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

Manajemen Fraktur

Diajukan guna melengkapi tugas Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Bedah
RSUD dr. R. Soedjati Soemodiharjo Purwodadi

Disusun Oleh:
Minachun Syania Rachmadiana
30101407241

Pembimbing:
dr. M. Nasir Zubaidi, Sp.OT

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
Periode 9 Juli 2018 – 8 September 2018
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN iii

KATA PENGANTAR iv

BAB I 5

PENDAHULUAN 5

1.1. Latar Belakang.......................................................................................................................5


1.2. Tujuan..................................................................................................................................6
1.3. Manfaat...............................................................................................................................6
BAB II7

TINJAUAN PUSTAKA 7

2.1. Anatomi Sistem Muskuloskeletal..........................................................................................7


2.2. Fraktur...................................................................................................................................8
2.2.1. Klasifikasi Fraktur.............................................................................................................9
KESIMPULAN 17

DAFTAR PUSTAKA 18

ii
HALAMAN PENGESAHAN

Referat dengan judul :

Manajemen Fraktur

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Ilmu Bedah

RSUD dr. R. Soedjati Soemodiharjo Purwodadi periode

9 Juli 2018 - 8 September 2018

Disusun oleh :

Minachun Syania Rachmadiana (30101407241)

Telah diterima dan disetujui oleh dr. M. Nasir Zubaidi, Sp. OT selaku dokter pembimbing bedah

RSUD dr. R. Soedjati Soemodiharjo Purwodadi.

Purwodadi, Agustus 2018

Mengetahui,

dr. M. Nasir Zubaidi, Sp.OT

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya penulis

dapat menyelesaikan penulisan referat dengan judul “Manajemen Fraktur”. Referat ini ditulis

untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai Manajemen Fraktur dan merupakan

salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Bedah Fakultas

Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada

dosen pembimbing, dr. M. Nasir Zubaidi, Sp.OT yang telah meluangkan waktu

untuk membimbing dan memberikan pengarahan dalam penyusunan referat ini dari awal

hingga selesai. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan yang membangun dan

saran demi perbaikan dimasa yang akan datang. Semoga referat ini dapat berguna bagi kita

semua.

Purwodadi, Agustus 2018

Penulis

iv
5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Cedera pada tulang menimbulkan patah tulang (fraktur) dan dislokasi. Fraktur

merupakan istilah dari hilangnya kontiniutas tulang, tulang rawan, baik yang bersifat total

maupun sebagian. Secara ringkas dan umum, fraktur adalah patah tulang yang disebabkan

oleh trauma atau tenaga fisik (Helmi, 2013). Trauma jaringan lunak muskuloskeletal dapat

berupa vulnus (luka), perdarahan, memar (kontusio), regangan atau robekan parsial (sprain),

putus atau robekan total (avulsi atau rupture), gangguan pembuluh darah dan gangguan saraf

(Helmi, 2013).

Aktivitas gerak tubuh manusia bergantung pada efektifnya interaksi antara sendi yang

normal dengan unit-unit neuromuscular yang menggerakkannya. Elemen tersebut juga

berinteraksi untuk mendistribusikan stress mekanik ke jaringan sekitar sendi. Otot, tendon,

ligmen, rawan sendi dan tulang saling bekerjasama agar fungsi tersebut dapat berlangsung

dengan sempurna (Lukman, 2009).

Insiden fraktur secara keseluruhan adalah 11,3 dari 1000 populasi per tahun. Insiden

fraktur pada laki-laki adalah 11,67 dari 1000 populasi per tahun, sedangkan pada perempuan

10,65 dari 1000 populasi per tahun. Insiden di beberapa belahan dunia akan berbeda. Hal ini

mungkin disebabkan salah satunya karena adanya perbedaan status sosioekonomi dan

metodologi yang digunakan di area penelitian (Bucholz, Heckman & Court-Brown, 2006).

Prinsip penanggulangan cedera muskuloskeletal adalah rekognisi (mengenali), reduksi

(mengembalikan), retaining (mempertahankan), dan rehabilitasi (Helmi, 2013; Bucholz,

Heckman & Court-Brown, 2006). Agar penanganannya baik, perlu diketahui kerusakan apa

saja yang terjadi, baik pada jaringan lunaknya maupun tulangnya. Mekanisme trauma juga
6

harus diketahui apakah akibat trauma tumpul atau tajam, langsung atau tak langsung

(Sjamsuhidayat, 2011).

1.2. Tujuan
Mengingat pentingnya pengetahuan tentang hal tersebut maka

penulis mencoba memaparkan tentang Manajemen Fraktur yang penulis

dapatkan dari beberapa sumber.


1.3. Manfaat

Pada penulisan referat ini penulis berharap dapat memberian

pegetahuan pada pembaca mengenai Manajemen Fraktur, dan sebagai

pembelajaran yang lebih bagi penulis.


7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Sistem Muskuloskeletal

Sistem muskuloskeletal terutama terbagi menjadi sistem skeletal yang membahas


tulang-tulang di tubuh manusia dan sistem muskular yang membahas otot yang
membungkus tulang-tulang tersebut (Richard, Wayne & Adam, 2014).
Sistem muskular pada tubuh manusia terbagi menjadi 3 tipe otot berdasarkan
karakteristik ototnya, yaitu: otot skeletal/ otot lurik, otot jantung, dan otot polos. Ketika kita
membahas ekstremitas atas maupun bawah, otot yang berperan disini adalah otot skeletal/
otot lurik (Richard, Wayne & Adam, 2014).

Gambar 2.1 Otot skeletal superfisial tampak anterior (Moore, 2014)

Sistem skeletal terdiri dari tulang dan kartilago. Tulang adalah jaringan ikat yang
keras karena mengalami proses kalsifikasi yang membentuk sebagian besar sistem skeletal.
8

Tulang memiliki fungsi sebagai jaringan suportif pada tubuh, pelindung organ vital, tempat
cadangan kalsium dan fosfor, sebagai tempat melekatnya otot, dan sebagai penghasil sel-sel
darah. Ada 2 jenis sel tulang, yaitu tulang kompakta dan tulang spongiosa. Tulang kompakta
adalah tulang keras yang membentuk bagian luar dari semua jenis tulang sedangkan tulang
spongiosa terdiri dari spikula-spikula yang mengisi rongga-rongga di dalam tulang yang
terdiri dari sumsum sebagai tempat sel-sel penghasil darah (Richard, Wayne & Adam, 2014).
Sistem skeletal dapat juga terbagi menjadi dua subgrup, yaitu: tulang aksial dan
tulang appendikular. Tulang aksial terdiri dari tulang kranium, tulang vertebra, tulang kosta
dan sternum. Sedangkan tulang appendikular terdiri dari tulang-tulang yang membentuk
ekstremitas atas dan ekstremitas bawah (Richard, Wayne & Adam, 2014)

Gambar 2.2. Tulang axial dan tulang apendikular (Moore, 2014)

2.2. Fraktur

Fraktur merupakan istilah dari hilangnya kontinuitas tulang, baik yang bersifat
total maupun sebagian, biasanya disebabkan oleh trauma. Terjadinya suatu fraktur
lengkap atau tidak lengkap ditentukan oleh kekuatan, sudut dan tenaga, keadaan tulang,
serta jaringan lunak di sekitar tulang (Helmi, 2013).

2.2.1. Klasifikasi Fraktur

Secara umum, keadaan patah tulang secara klinis dapat diklasifikasikan sebagai
fraktur terbuka, fraktur tertutup, dan fraktur dengan komplikasi. Fraktur tertutup adalah
9

fraktur dimana kulit tidak ditembus oleh fragmen tulang, sehingga tempat fraktur tidak
tercemar oleh lingkungan/ dunia luar. Fraktur terbuka adalah fraktur yang mempunya
hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan jaringan lunak, dapat terbentuk dari
dalam maupun luar. Fraktur dengan komplikasi adalah fraktur yang disertai dengan
komplikasi seperti malunion, delayed union, nonunion, dan infeksi tulang (Bucholz,
Heckman & Court-Brown, 2006).
Patah tulang terbuka menurut Gustillo dibagi menjadi tiga derajat, yang ditentukan
oleh berat ringannya luka dan fraktur yang terjadi, yaitu (Sjamsuhidayat, 2011; Salter, 1999) :
 Tipe I
Luka kecil kurang dari 1 cm, terdapat sedikit kerusakan jaringan, tidak terdapat
tanda-tanda trauma yang hebat pada jaringan lunak. Fraktur biasanya bersifat simpel,
transversal, oblik pendek atau komunitif.
 Tipe II
Laserasi kulit melebihi 1 cm tetapi tidak terdapat kerusakan jaringan yang hebat atau
avulsi kulit. Terdapat kerusakan yang sedang dari jaringan.
 Tipe III
Terdapat kerusakan yang hebat pada jaringan lunak termasuk otot, kulit, dan struktur
neovaskuler dengan kontaminasi yang hebat. Dibagi dalam 3 sub tipe, yaitu:
 Tipe IIIA, jaringan lunak cukup menutup tulang yang patah.
 Tipe IIIB, disertai kerusakan dan kehilangan jaringan lunak, tulang tidak dapat
ditutup jaringan lunak.
 Tipe IIIC, disertai cedera arteri yang memerlukan repair segera.

Gambar 2.3. Derajat fraktur terbuka (Sjamsuhidayat, 2011).


10

Menurut Apley Solomon, fraktur diklasifikasikan berdasarkan garis patah tulang


dan berdasarkan bentuk patah tulang. Berdasarkan garis patah tulangnya, fraktur
diklasifikasikan menjadi :
 Greenstick, fraktur dimana satu sisi tulang retak dan sisi lainnya bengkok.
 Transversal, fraktur yang memotong lurus pada tulang.
 Spiral, fraktur yang mengelilingi tungkai/ lengan tulang.
 Oblik, fraktur yang garis patahnya miring membentuk sudut melintasi tulang.
Berdasarkan bentuk patah tulangnya, fraktur diklasifikasikan menjadi:
 Fraktur komplit, garis fraktur menyilang atau memotong seluruh tulang dan
fragmen tulang biasanya tergeser.
 Fraktur inkomplit, fraktur meliputi hanya sebagian retakan pada sebelah sisi
tulang.
 Fraktur kompresi, fraktur dimana tulang terdorong ke arah permukaan tulang
lain.
 Avulsi, keadaan dimana fragmen tulang tertarik oleh ligamen.
 Comminuted fracture (segmental), fraktur dimana tulang terpecah menjadi
beberapa bagian.
 Simple fracture, fraktur dimana tulang patah dan kulit utuh.
 Fraktur dengan perubahan posisi, ujung tulang yang patah berjauhan dari
tempat yang patah.
 Fraktur tanpa perubahan posisi, tulang patah, posisi pada tempatnya yang
normal.

Gambar 2.4. Fraktur berdasarkan garis frakturnya (Sjamsuhidayat, 2011).


11

2.2.2. Diagnosis Fraktur


Gejala klasik fraktur adalah adanya riwayat trauma, rasa nyeri dan bengkak di bagian
tulang yang patah, deformitas (angulasi, rotasi, diskrepansi), nyeri tekan, krepitasi, gangguan
fungsi muskuloskeletal akibat nyeri, putusnya kontinuitas tulang, dan gangguan
neurovaskuler. Apabila gejala klasik tersebut ada, secara klinis diagnosis fraktur dapat
ditegakkan walaupun jenis konfigurasi frakturnya belum dapat ditentukan (Sjamsuhidayat,
2011).
Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera (posisi kejadian)
dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera tersebut. Riwayat cedera atau fraktur
sebelumnya, riwayat sosial ekonomi, pekerjaan, obat-obatan yang dia konsumsi, merokok,
riwayat alergi, dan riwayat osteoporosis serta penyakit lain.
Pada pemeriksaan fisik dilakukan tiga hal penting, yaitu (Helmi, 2011, Salter 1999,
Nayagam 2010) :
 Inspeksi/ look : Melihat adanya deformitas (angulasi, rotasi, pemendekan,
pemanjangan), bengkak.
 Palpasi/ feel : Melakukan palpasi pada daerah tempat fraktur tersebut, meliputi
persendian diatas dan dibawah cedera, daerah yang mengalami nyeri, efusi, dan
krepitasi. Selain itu status neurologis dan vaskuler di bagian distalnya perlu
diperiksa, yaitu meliputi pulsasi arteri, warna kulit, pengembalian cairan kapiler
(capillary refill time), dan sensasi.
 Pemeriksaan gerakan/ moving : Pemeriksaan ini menilai apakah adanya
keterbatasan pergerakan sendi yang berdekatan dengan lokasi fraktur.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan antara lain laboratorium meliputi darah rutin,
faktor pembekuan darah, golongan darah, cross-test, dan urinalisis. Pemeriksaan radiologis
untuk lokasi fraktur harus menurut rule of two, yaitu dua gambaran, anteroposterior (AP) dan
lateral, memuat dua sendi di proksimal dan distal fraktur, memuat gambaran foto dua
ekstremitas, yaitu ekstremitas yang cedera dan yang tidak cedera (pada anak) dan dua kali,
yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan (Salter 1999, Nayagam 2010).

2.2.3. Penyembuhan Fraktur


Pada kasus fraktur untuk mengembalikan struktur dan fungsi tulang secara cepat
maka perlu tindakan operasi dan imobilisasi. Imobilisasi yang sering digunakan yaitu plate
and screw. Pada kondisi fraktur fisiologis akan diikuti proses penyambungan. Proses
12

penyambungan tulang menurut Apley dibagi dalam 5 fase, yaitu (Salter 1999, Nayagam
2010) :
1. Fase hematoma
Fase ini terjadi selama 1 – 3 hari. Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma di
sekitar dan di dalam fraktur. Tulang pada permukaan fraktur yang tidak mendapat
persediaan darah akan mati sepanjang satu atau dua milimeter.
2. Fase proliferasi
Fase ini terjadi selama 3 hari – 2 minggu. Dalam 8 jam setelah fraktur, terdapat
reaksi radang akut disertai proliferasi dibawah periosteum dan di dalam saluran
medulla yang tertembus ujung fragmen akan dikelilingi jaringan sel yang
menghubungkan tempat fraktur. Hematoma yang membeku perlahan-lahan
diabsorbsi dan kapiler baru yang halus berkembang dalam daerah fraktur.
3. Fase pembentukan kalus
Fase ini terjadi selama 2 – 6 minggu. Pada sel yang berkembangbiak, akan memiliki
potensi untuk menjadi kondrogenik dan osteogenik jika diberikan tindakan yang
tepat. Selain itu akan membentuk tulang kartilago dan osteoklas. Massa tulang akan
menjadi tebal dengan adanya tulang dan kartilago juga osteoklas yang disebut
dengan kalus. Kalus terletak pada permukaan periosteum dan endosteum. Terjadi
selama 4 minggu, tulang mati akan dibersihkan.
4. Fase konsolidasi
Fase ini terjadi dalam waktu 3 minggu – 6 bulan. Tulang fibrosa atau anyaman
tulang menjadi padat jika aktivitas osteoklas dan osteoblastik masih berlanjut maka
anyaman tulang berubah menjadi tulang lamelar. Pada saat ini osteoblas tidak
memungkinkan untuk menerobos melalui reruntuhan garis fraktur karena sistem ini
cukup kaku. Celah-celah diantara fragmen dengan tulang baru akan diisi oleh
osteoblas. Perlu beberapa bulan sebelum tulang mampu untuk menumpu berat badan
normal.
5. Fase remodelling
Fase ini terjadi selama 6 minggu hingga 1 tahun. Fraktur telah dihubungkan oleh
tulang yang padat. Tulang yang padat tersebut akan diresorbsi dan pembentukan
tulang yang terus menerus lamelar akan menjadi lebih tebal, dinding-dinding yang
tidak dikehendaki dibuang, dibentuk rongga sumsum, dan akhirnya akan
memperoleh bentuk tulang seperti normalnya. Terjadi dalam beberapa bulan bahkan
sampai beberapa tahun.
13

Gambar 2.5. Remodelling tulang pada fraktur (Tortora, 2014)


Tidak ada jawaban yang tepat untuk pertanyaan berapa lama patah tulang diperlukan
untuk bersatu dan sampai terjadi konsolidasi. Hal ini dikarenakan adanya pengaruh dari
faktor usia, banyaknya displacement fraktur, suplai darah, jenis fraktur, kondisi medis yang
menyertainya dan faktor lain yang mempengaruhi. Prediksi yang mungkin adalah timetable
Perkins yang sederhana. Fraktur spiral pada ekstremitas atas menyatu dalam 3 minggu, untuk
konsolidasi kalikan dengan 2; untuk ekstremitas bawah kalikan dengan 2 lagi; untuk fraktur
transversal kalikan lagi dengan 2 (Nayagam, 2010).

2.2.4. Prinsip Penanganan Fraktur


Pengelolaan fraktur secara umum mengikuti prinsip pengobatan kedokteran pada
umumnya, yaitu jangan mencederai pasien, pengobatan didasari atas diagnosis yang tepat,
pemilihan pengobatan dengan tujuan tertentu, mengikuti “law of nature”, pengobatan yang
realistis dan praktis, dan memperhatikan setiap pasien secara individu (Helmi, 2014; Salter
1999).
Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi
semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan patah tulang
(imobilisasi). Tetapi imobilisasi yang lama akan menyebabkan mengecilnya otot dan kakunya
sendi. Oleh karena itu diperlukan upaya mobilisasi secepat mungkin. Pada anak-anak,
reposisi yang dilakukan tidak harus mencapai keadaan sempurna seperti semula karena tulang
mempunyai kemampuan remodelling (Helmi, 2013; Sjamsuhidayat, 2011).
Penatalaksanaan umum fraktur meliputi menghilangkan rasa nyeri, menghasilkan dan
mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur, agar terjadi penyatuan tulang kembali, untuk
14

mengembalikan fungsi seperti semula (Helmi, 2013; Bucholz, Heckman & Court-Brown,
2006; Salter, 1999).
Upaya untuk mengurangi nyeri yaitu dapat dilakukan imobilisasi (tidak
menggerakkan daerah fraktur), dan dapat diberikan obat penghilang nyeri. Teknik imobilisasi
dapat dilakukan dengan pembidaian atau gips. Bidai dan gips tidak dapat mempertahankan
posisi dalam waktu yang lama. Untuk itu diperlukan teknik seperti pemasangan traksi
kontinu, fiksasi eksternal, atau fiksasi internal (Helmi, 2013; Bucholz, Heckman & Court-
Brown, 2006; Salter, 1999).
Beberapa penatalaksanaan fraktur secara ortopedi meliputi :
a. Proteksi tanpa reposisi dan imobilisasi
Proteksi tanpa reposisi dan imobilisasi digunakan pada penanganan fraktur dengan
dislokasi fragmen patahan yang minimal atau dengan dislokasi yang tidak akan
menyebabkan kecacatan dikemudian hari, cukup dengan proteksi saja misalnya
mengenakan mitela atau sling. Contoh adalah pada fraktur kosta, fraktur klavikula
pada anak-anak, fraktur vertebra dengan kompresi minimal.
b. Imobilisasi luar tanpa reposisi
Imobilisasi luar tanpa reposisi, tetapi tetap memerlukan imobilisasi agar tidak
terjadi dislokasi fragmen. Contoh cara ini adalah pengelolaan fraktur tungkai
bawah tanpa disklokasi yang penting.

c. Reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi


Tindakan reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi dilakukan
pada fraktur dengan dislokasi fragmen yang berarti seperti pada fraktur radius
distal.
d. Reposisi dengan traksi
Reposisi dengan traksi dilakukan terus-menerus selama masa tertentu, misalnya
beberapa minggu, kemudian diikuti dengan imobilisasi. Tindakan ini dilakukan
pada fraktur yang bila direposisi secara manipulasi akan terdislokasi kembali
dalam gips. Cara ini dilakukan pada fraktur dengan otot yang kuat, misalnya
fraktur femur.
e. Reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar
Reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar dilakukan untuk fiksasi
fragmen patahan tulang, dimana digunakan pin baja yang ditusukkan pada
fragmen tulang, kemudian pin baja tadi disatukan secara kokoh dengan batangan
15

logam di kulit luar. Beberapa indikasi pemasangan fiksasi luar antara lain: fraktur
dengan rusaknya jaringan lunak yang berat (termasuk fraktur terbuka), dimana
pemasangan fiksasi internal terlalu berisiko untuk terjadi infeksi, atau
diperlukannya akses berulang terhadap luka fraktur di sekitar sendi yang cocok
untuk fiksasi internal namun jaringan lunak terlalu bengkak untuk operasi yang
aman, pasien dengan cedera multipel yang berat, fraktur tulang panggul dengan
perdarahan hebat, atau yang terkait dengan cedera kepala, fraktur dengan infeksi.
f. Reposisi secara nonoperatif diikuti dengan pemasangan fiksasi dalam pada tulang
secara operatif.
Reposisi dilakukan secara non-operatif diikuti dengan pemasangan fiksator tulang
secara operatif, misalnya reposisi patah tulang pada fraktur kolum femur. Fragmen
direposisi secara non-operatif dengan meja traksi. Setelah tereposisi, dilakukan
pemasangan prosthesis secara operatif pada kolum femur.
g. Reposisi secara operatif diikuti dengan fiksasi patahan tulang dengan pemasangan
fiksasi interna
Cara ini disebut juga sebagai reduksi terbuka fiksasi interna (Open Reduction
Internal Fixation, ORIF). Fiksasi interna yang dipakai biasanya berupa plate and
screw. Keuntungan ORIF adalah tercapainya reposisi yang sempurna dan fiksasi
yang kokoh sehingga pascaoperasi tidak perlu lagi dipasang gips dan mobilisasi
segera bisa dilakukan. Kerugiannya adalah resiko infeksi tulang. ORIF biasanya
dilakukan pada fraktur femur, tibia, humerus, antebrachii. Indikasi pemasangan
fiksasi interna adalah fraktur tidak bisa direduksi kecuali dengan operasi, fraktur
yang tidak stabil dan cenderung terjadi displacement kembali setelah reduksi
fraktur dengan penyatuan yang buruk dan perlahan (fraktur kolum femur), fraktur
patologis, fraktur multipel dimana dengan reduksi dini bisa meminimkan
komplikasi, fraktur pada pasien dengan perawatan yang sulit (paraplegia, pasien
geriatri).
h. Eksisi fragmen fraktur dan menggantinya dengan prosthesis
Eksisi fragmen fraktur dan menggantinya dengan prosthesis dilakukan pada
fraktur kolum femur. Caput femur dibuang secara operatif dan diganti dengan
prosthesis. Tindakan ini dilakukan pada orang tua yang patahan pada kolum femur
tidak dapat menyambung kembali
Khusus pada fraktur terbuka, harus diperhatikan bahaya terjadi infeksi, baik infeksi
umum maupun infeksi lokal pada tulang yang bersangkutan. Empat hal penting yang perlu
16

adalah antibiotik profilaksis serta imunisasi tetanus, debridement adekuat pada luka dan
fraktur, stabilisasi fraktur, dan penutupan luka segera secara definitif (Sjamsuhidayat, 2011).
17

KESIMPULAN
Fraktur merupakan istilah dari hilangnya kontinuitas tulang, baik yang bersifat

total maupun sebagian, biasanya disebabkan oleh trauma. Secara umum, keadaan patah

tulang secara klinis dapat diklasifikasikan sebagai fraktur terbuka, fraktur tertutup, dan

fraktur dengan komplikasi.


Gejala klasik fraktur adalah adanya riwayat trauma, rasa nyeri dan bengkak di bagian

tulang yang patah, deformitas (angulasi, rotasi, diskrepansi), nyeri tekan, krepitasi, gangguan

fungsi muskuloskeletal akibat nyeri, putusnya kontinuitas tulang, dan gangguan

neurovaskuler.
Proses penyambungan tulang menurut Apley dibagi dalam 5 fase yaitu fase

hematoma, fase proliferasi, fase pembentukan kalus, fase konsolidasi, dan fase remodelling.
Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi

semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan patah tulang

(imobilisasi). Khusus pada fraktur terbuka, harus diperhatikan bahaya terjadi infeksi, baik

infeksi umum maupun infeksi lokal pada tulang yang bersangkutan.


DAFTAR PUSTAKA

Bucholz RW, Heckman JD, Court-Brown CM. 2006. Rockwood & Green’s Fractures in
Adults, 6th Edition. USA: Maryand Composition.

Helmi, ZN. 2011. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.

Nayagam S. 2010. Principles of Fractures. Dalam: Solomon L, Warwick D, Nayagam S.


Apley’s System of Orthopaedics and Fractures Ninth Edition. London: Hodder
Education.
Moore, Keith L. 2014. Clinically oriented anatomy / Keith L. Moore, Arthur F. Dalley,
Anne M.R. Agur. — 7th ed. Lippincott Williams & Wilkins.

Richard L Drake; Wayne Vogl; Adam W M Mitchell. 2014. Gray’s Anatomy: Anatomy of
the Human Body. Elsevier

Salter RB. 1999. Textbook Disorders and Injuries of The Musculosceletal System Third
Edition. USA: Lippincott William and Wilkins.

Sjamsuhidayat, de Jong. 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran ECG.
Tortora, Gerard J.; Derrickson, Bryan. 2014. Principles of Anatomy & Physiology 14th
Ed. John Wiley & Sons, Inc.

18

Anda mungkin juga menyukai