Manajemen Fraktur
Disusun Oleh:
Minachun Syania Rachmadiana
30101407241
Pembimbing:
dr. M. Nasir Zubaidi, Sp.OT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
Periode 9 Juli 2018 – 8 September 2018
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN iii
KATA PENGANTAR iv
BAB I 5
PENDAHULUAN 5
TINJAUAN PUSTAKA 7
DAFTAR PUSTAKA 18
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Manajemen Fraktur
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Ilmu Bedah
Disusun oleh :
Telah diterima dan disetujui oleh dr. M. Nasir Zubaidi, Sp. OT selaku dokter pembimbing bedah
Mengetahui,
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya penulis
dapat menyelesaikan penulisan referat dengan judul “Manajemen Fraktur”. Referat ini ditulis
untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai Manajemen Fraktur dan merupakan
salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Bedah Fakultas
dosen pembimbing, dr. M. Nasir Zubaidi, Sp.OT yang telah meluangkan waktu
untuk membimbing dan memberikan pengarahan dalam penyusunan referat ini dari awal
hingga selesai. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan yang membangun dan
saran demi perbaikan dimasa yang akan datang. Semoga referat ini dapat berguna bagi kita
semua.
Penulis
iv
5
BAB I
PENDAHULUAN
Cedera pada tulang menimbulkan patah tulang (fraktur) dan dislokasi. Fraktur
merupakan istilah dari hilangnya kontiniutas tulang, tulang rawan, baik yang bersifat total
maupun sebagian. Secara ringkas dan umum, fraktur adalah patah tulang yang disebabkan
oleh trauma atau tenaga fisik (Helmi, 2013). Trauma jaringan lunak muskuloskeletal dapat
berupa vulnus (luka), perdarahan, memar (kontusio), regangan atau robekan parsial (sprain),
putus atau robekan total (avulsi atau rupture), gangguan pembuluh darah dan gangguan saraf
(Helmi, 2013).
Aktivitas gerak tubuh manusia bergantung pada efektifnya interaksi antara sendi yang
berinteraksi untuk mendistribusikan stress mekanik ke jaringan sekitar sendi. Otot, tendon,
ligmen, rawan sendi dan tulang saling bekerjasama agar fungsi tersebut dapat berlangsung
Insiden fraktur secara keseluruhan adalah 11,3 dari 1000 populasi per tahun. Insiden
fraktur pada laki-laki adalah 11,67 dari 1000 populasi per tahun, sedangkan pada perempuan
10,65 dari 1000 populasi per tahun. Insiden di beberapa belahan dunia akan berbeda. Hal ini
mungkin disebabkan salah satunya karena adanya perbedaan status sosioekonomi dan
metodologi yang digunakan di area penelitian (Bucholz, Heckman & Court-Brown, 2006).
Heckman & Court-Brown, 2006). Agar penanganannya baik, perlu diketahui kerusakan apa
saja yang terjadi, baik pada jaringan lunaknya maupun tulangnya. Mekanisme trauma juga
6
harus diketahui apakah akibat trauma tumpul atau tajam, langsung atau tak langsung
(Sjamsuhidayat, 2011).
1.2. Tujuan
Mengingat pentingnya pengetahuan tentang hal tersebut maka
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sistem skeletal terdiri dari tulang dan kartilago. Tulang adalah jaringan ikat yang
keras karena mengalami proses kalsifikasi yang membentuk sebagian besar sistem skeletal.
8
Tulang memiliki fungsi sebagai jaringan suportif pada tubuh, pelindung organ vital, tempat
cadangan kalsium dan fosfor, sebagai tempat melekatnya otot, dan sebagai penghasil sel-sel
darah. Ada 2 jenis sel tulang, yaitu tulang kompakta dan tulang spongiosa. Tulang kompakta
adalah tulang keras yang membentuk bagian luar dari semua jenis tulang sedangkan tulang
spongiosa terdiri dari spikula-spikula yang mengisi rongga-rongga di dalam tulang yang
terdiri dari sumsum sebagai tempat sel-sel penghasil darah (Richard, Wayne & Adam, 2014).
Sistem skeletal dapat juga terbagi menjadi dua subgrup, yaitu: tulang aksial dan
tulang appendikular. Tulang aksial terdiri dari tulang kranium, tulang vertebra, tulang kosta
dan sternum. Sedangkan tulang appendikular terdiri dari tulang-tulang yang membentuk
ekstremitas atas dan ekstremitas bawah (Richard, Wayne & Adam, 2014)
2.2. Fraktur
Fraktur merupakan istilah dari hilangnya kontinuitas tulang, baik yang bersifat
total maupun sebagian, biasanya disebabkan oleh trauma. Terjadinya suatu fraktur
lengkap atau tidak lengkap ditentukan oleh kekuatan, sudut dan tenaga, keadaan tulang,
serta jaringan lunak di sekitar tulang (Helmi, 2013).
Secara umum, keadaan patah tulang secara klinis dapat diklasifikasikan sebagai
fraktur terbuka, fraktur tertutup, dan fraktur dengan komplikasi. Fraktur tertutup adalah
9
fraktur dimana kulit tidak ditembus oleh fragmen tulang, sehingga tempat fraktur tidak
tercemar oleh lingkungan/ dunia luar. Fraktur terbuka adalah fraktur yang mempunya
hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan jaringan lunak, dapat terbentuk dari
dalam maupun luar. Fraktur dengan komplikasi adalah fraktur yang disertai dengan
komplikasi seperti malunion, delayed union, nonunion, dan infeksi tulang (Bucholz,
Heckman & Court-Brown, 2006).
Patah tulang terbuka menurut Gustillo dibagi menjadi tiga derajat, yang ditentukan
oleh berat ringannya luka dan fraktur yang terjadi, yaitu (Sjamsuhidayat, 2011; Salter, 1999) :
Tipe I
Luka kecil kurang dari 1 cm, terdapat sedikit kerusakan jaringan, tidak terdapat
tanda-tanda trauma yang hebat pada jaringan lunak. Fraktur biasanya bersifat simpel,
transversal, oblik pendek atau komunitif.
Tipe II
Laserasi kulit melebihi 1 cm tetapi tidak terdapat kerusakan jaringan yang hebat atau
avulsi kulit. Terdapat kerusakan yang sedang dari jaringan.
Tipe III
Terdapat kerusakan yang hebat pada jaringan lunak termasuk otot, kulit, dan struktur
neovaskuler dengan kontaminasi yang hebat. Dibagi dalam 3 sub tipe, yaitu:
Tipe IIIA, jaringan lunak cukup menutup tulang yang patah.
Tipe IIIB, disertai kerusakan dan kehilangan jaringan lunak, tulang tidak dapat
ditutup jaringan lunak.
Tipe IIIC, disertai cedera arteri yang memerlukan repair segera.
penyambungan tulang menurut Apley dibagi dalam 5 fase, yaitu (Salter 1999, Nayagam
2010) :
1. Fase hematoma
Fase ini terjadi selama 1 – 3 hari. Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma di
sekitar dan di dalam fraktur. Tulang pada permukaan fraktur yang tidak mendapat
persediaan darah akan mati sepanjang satu atau dua milimeter.
2. Fase proliferasi
Fase ini terjadi selama 3 hari – 2 minggu. Dalam 8 jam setelah fraktur, terdapat
reaksi radang akut disertai proliferasi dibawah periosteum dan di dalam saluran
medulla yang tertembus ujung fragmen akan dikelilingi jaringan sel yang
menghubungkan tempat fraktur. Hematoma yang membeku perlahan-lahan
diabsorbsi dan kapiler baru yang halus berkembang dalam daerah fraktur.
3. Fase pembentukan kalus
Fase ini terjadi selama 2 – 6 minggu. Pada sel yang berkembangbiak, akan memiliki
potensi untuk menjadi kondrogenik dan osteogenik jika diberikan tindakan yang
tepat. Selain itu akan membentuk tulang kartilago dan osteoklas. Massa tulang akan
menjadi tebal dengan adanya tulang dan kartilago juga osteoklas yang disebut
dengan kalus. Kalus terletak pada permukaan periosteum dan endosteum. Terjadi
selama 4 minggu, tulang mati akan dibersihkan.
4. Fase konsolidasi
Fase ini terjadi dalam waktu 3 minggu – 6 bulan. Tulang fibrosa atau anyaman
tulang menjadi padat jika aktivitas osteoklas dan osteoblastik masih berlanjut maka
anyaman tulang berubah menjadi tulang lamelar. Pada saat ini osteoblas tidak
memungkinkan untuk menerobos melalui reruntuhan garis fraktur karena sistem ini
cukup kaku. Celah-celah diantara fragmen dengan tulang baru akan diisi oleh
osteoblas. Perlu beberapa bulan sebelum tulang mampu untuk menumpu berat badan
normal.
5. Fase remodelling
Fase ini terjadi selama 6 minggu hingga 1 tahun. Fraktur telah dihubungkan oleh
tulang yang padat. Tulang yang padat tersebut akan diresorbsi dan pembentukan
tulang yang terus menerus lamelar akan menjadi lebih tebal, dinding-dinding yang
tidak dikehendaki dibuang, dibentuk rongga sumsum, dan akhirnya akan
memperoleh bentuk tulang seperti normalnya. Terjadi dalam beberapa bulan bahkan
sampai beberapa tahun.
13
mengembalikan fungsi seperti semula (Helmi, 2013; Bucholz, Heckman & Court-Brown,
2006; Salter, 1999).
Upaya untuk mengurangi nyeri yaitu dapat dilakukan imobilisasi (tidak
menggerakkan daerah fraktur), dan dapat diberikan obat penghilang nyeri. Teknik imobilisasi
dapat dilakukan dengan pembidaian atau gips. Bidai dan gips tidak dapat mempertahankan
posisi dalam waktu yang lama. Untuk itu diperlukan teknik seperti pemasangan traksi
kontinu, fiksasi eksternal, atau fiksasi internal (Helmi, 2013; Bucholz, Heckman & Court-
Brown, 2006; Salter, 1999).
Beberapa penatalaksanaan fraktur secara ortopedi meliputi :
a. Proteksi tanpa reposisi dan imobilisasi
Proteksi tanpa reposisi dan imobilisasi digunakan pada penanganan fraktur dengan
dislokasi fragmen patahan yang minimal atau dengan dislokasi yang tidak akan
menyebabkan kecacatan dikemudian hari, cukup dengan proteksi saja misalnya
mengenakan mitela atau sling. Contoh adalah pada fraktur kosta, fraktur klavikula
pada anak-anak, fraktur vertebra dengan kompresi minimal.
b. Imobilisasi luar tanpa reposisi
Imobilisasi luar tanpa reposisi, tetapi tetap memerlukan imobilisasi agar tidak
terjadi dislokasi fragmen. Contoh cara ini adalah pengelolaan fraktur tungkai
bawah tanpa disklokasi yang penting.
logam di kulit luar. Beberapa indikasi pemasangan fiksasi luar antara lain: fraktur
dengan rusaknya jaringan lunak yang berat (termasuk fraktur terbuka), dimana
pemasangan fiksasi internal terlalu berisiko untuk terjadi infeksi, atau
diperlukannya akses berulang terhadap luka fraktur di sekitar sendi yang cocok
untuk fiksasi internal namun jaringan lunak terlalu bengkak untuk operasi yang
aman, pasien dengan cedera multipel yang berat, fraktur tulang panggul dengan
perdarahan hebat, atau yang terkait dengan cedera kepala, fraktur dengan infeksi.
f. Reposisi secara nonoperatif diikuti dengan pemasangan fiksasi dalam pada tulang
secara operatif.
Reposisi dilakukan secara non-operatif diikuti dengan pemasangan fiksator tulang
secara operatif, misalnya reposisi patah tulang pada fraktur kolum femur. Fragmen
direposisi secara non-operatif dengan meja traksi. Setelah tereposisi, dilakukan
pemasangan prosthesis secara operatif pada kolum femur.
g. Reposisi secara operatif diikuti dengan fiksasi patahan tulang dengan pemasangan
fiksasi interna
Cara ini disebut juga sebagai reduksi terbuka fiksasi interna (Open Reduction
Internal Fixation, ORIF). Fiksasi interna yang dipakai biasanya berupa plate and
screw. Keuntungan ORIF adalah tercapainya reposisi yang sempurna dan fiksasi
yang kokoh sehingga pascaoperasi tidak perlu lagi dipasang gips dan mobilisasi
segera bisa dilakukan. Kerugiannya adalah resiko infeksi tulang. ORIF biasanya
dilakukan pada fraktur femur, tibia, humerus, antebrachii. Indikasi pemasangan
fiksasi interna adalah fraktur tidak bisa direduksi kecuali dengan operasi, fraktur
yang tidak stabil dan cenderung terjadi displacement kembali setelah reduksi
fraktur dengan penyatuan yang buruk dan perlahan (fraktur kolum femur), fraktur
patologis, fraktur multipel dimana dengan reduksi dini bisa meminimkan
komplikasi, fraktur pada pasien dengan perawatan yang sulit (paraplegia, pasien
geriatri).
h. Eksisi fragmen fraktur dan menggantinya dengan prosthesis
Eksisi fragmen fraktur dan menggantinya dengan prosthesis dilakukan pada
fraktur kolum femur. Caput femur dibuang secara operatif dan diganti dengan
prosthesis. Tindakan ini dilakukan pada orang tua yang patahan pada kolum femur
tidak dapat menyambung kembali
Khusus pada fraktur terbuka, harus diperhatikan bahaya terjadi infeksi, baik infeksi
umum maupun infeksi lokal pada tulang yang bersangkutan. Empat hal penting yang perlu
16
adalah antibiotik profilaksis serta imunisasi tetanus, debridement adekuat pada luka dan
fraktur, stabilisasi fraktur, dan penutupan luka segera secara definitif (Sjamsuhidayat, 2011).
17
KESIMPULAN
Fraktur merupakan istilah dari hilangnya kontinuitas tulang, baik yang bersifat
total maupun sebagian, biasanya disebabkan oleh trauma. Secara umum, keadaan patah
tulang secara klinis dapat diklasifikasikan sebagai fraktur terbuka, fraktur tertutup, dan
tulang yang patah, deformitas (angulasi, rotasi, diskrepansi), nyeri tekan, krepitasi, gangguan
neurovaskuler.
Proses penyambungan tulang menurut Apley dibagi dalam 5 fase yaitu fase
hematoma, fase proliferasi, fase pembentukan kalus, fase konsolidasi, dan fase remodelling.
Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi
semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan patah tulang
(imobilisasi). Khusus pada fraktur terbuka, harus diperhatikan bahaya terjadi infeksi, baik
Bucholz RW, Heckman JD, Court-Brown CM. 2006. Rockwood & Green’s Fractures in
Adults, 6th Edition. USA: Maryand Composition.
Helmi, ZN. 2011. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.
Richard L Drake; Wayne Vogl; Adam W M Mitchell. 2014. Gray’s Anatomy: Anatomy of
the Human Body. Elsevier
Salter RB. 1999. Textbook Disorders and Injuries of The Musculosceletal System Third
Edition. USA: Lippincott William and Wilkins.
Sjamsuhidayat, de Jong. 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran ECG.
Tortora, Gerard J.; Derrickson, Bryan. 2014. Principles of Anatomy & Physiology 14th
Ed. John Wiley & Sons, Inc.
18