Anda di halaman 1dari 33

LONG CASE

Skizofrenia Paranoid
Disusun Untuk Memenuhi Syarat Kelulusan
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa di
RSUD Salatiga

Disusun Oleh:
Anindya Widianingtyas 1913020008

Pembimbing:
dr. Iffah Qoimatun, Sp.KJ., M.Kes

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
RSUD KOTA SALATIGA
2020
HALAMAN PENGESAHAN
Telah disetujui dan disahkan Long Case dengan judul

Skizofrenia Paranoid

Disusun Oleh:
Anindya Widianingtyas 1913020008

Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal: Kamis/ 13 Februari 2020

Disahkan oleh:
Dosen Pembimbing,

dr. Iffah Qoimatun, Sp.KJ., M.Kes


DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... 1
BAB I STATUS PASIEN ....................................................................................... 2
A. Identitas pasien ......................................................................................... 2
B. Identitas keluarga ..................................................................................... 2
C. Anamnesia. ............................................................................................... 2
D. Pemeriksaan Umum ................................................................................. 7
E. Pemeriksaan Status Mental ...................................................................... 8
F. Diagnosis Multiaksial ............................................................................ 11
G. Terapi ..................................................................................................... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 13
A. Definisi ................................................................................................... 13
B. Epidemiologi .......................................................................................... 13
C. Etiologi ................................................................................................... 14
D. Manifestasi Klinis. ................................................................................. 16
E. Patofisiologi ........................................................................................... 17
F. Kriteria Diagnostik ................................................................................. 18
G. Diagnosis Banding ................................................................................. 19
H. Penatalaksanaan ..................................................................................... 20
I. Prognosis. ............................................................................................... 25
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 26
A. Pembahasan ............................................................................................ 26
B. Kesimpulan ............................................................................................ 29
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 30

1
BAB I
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. AM
Usia : 39 tahun
Agama : Islam
Alamat : Kenteng RT 5/5 Tegal Rejo, Argomulyo, Salatiga
Pekerjaan : Tidak bekerja
B. IDENTITAS KELUARGA
Nama : Tn RS
Usia : 70 tahun
Agama : Islam
Alamat : Kenteng RT 5/5 Tegal Rejo, Argomulyo, Salatiga
Pekerjaan : Pengrajin kayu
Hubungan : Ayah pasien
C. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Pasien merasa takut untuk keluar rumah
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Tn. AM merupakan pasien tetap poli jiwa di RS Dr. Asmir DKT.
Berdasarkan informasi dari ayah kandung pasien, saat ini kondisi pasien
cukup stabil, namun apabila obat habis dan terlambat minum obat pasien
langsung gelisah. Pola tidur pasien saat ini sedikit terganggu, pasien
merasa ada seseorang yang memperhatikannya saat akan memulai tidur.
Pola makan tidak ada gangguan. Pasien dapat mengambil makanan
sendiri tanpa harus diperintah. Menurut pengakuan ayah kandung pasien,
pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari seperti menyapu, mengepel
dan mencuci baju. Keseharian pasien hanya dirumah dan kadang bermain
dengan teman yang datang kerumah. Kegiatan ibadah sangat baik, apabila
sedang dalam keadaan sehat, saat terdengar adzan pasien akan langsung
bergegas untuk beribadah.

2
Berdasarkan alloanamnesis dan autoanamnesis, pasien kadang
masih merasakan mendengar suara suara. Suara yang didengar pasien
yaitu ada bisikan yang menyuruh pasien untuk mengejar dan memukuli
orang, hal lain yaitu pasien disuruh mandi dengan air mendidih. Pasien
juga mengatakan sering melihat sosok wanita yang tidak dikenali ada
dirumahnya. Dahulu pasien sempat ketakutan karena merasa dikejar dan
akan dikeroyok oleh banyak orang. Menurut ayah kandung pasien,
kejadian tersebut masih sering terjadi apabila obat habis.
Kejadian 3 bulan yang lalu pasien terlambat 3 hari tidak minum
obat. Respon dari pasien yaitu mendengar adanya bisikan untuk mandi
dengan air panas yang masih mendidih. Kemudian pasien mandi dengan
air mendidih mengenai kepala pasien. Saat ayah pasien mengetahui,
beliau langsung membawanya ke puskesmas. Karena sudah parah,
puskesmas langsung merujuk ke rumah sakit terdekat. Setelah diberikan
obat, pasien sadar kembali dan tidak menyadari apa yang telah dilakukan
dan pasien tidak merasa kesakitan.
Komunikasi antara pasien dengan orang lain, keluarga kandung
dan masyarakat sekitar cukup baik.. Ayah pasien bekerja sebagai
pengrajin kayu dirumahnya sendiri. Ibu pasien merupakan seorang ibu
rumah tangga dengan pekerjaan buruh tani. Jika sedang ditinggal ibunya
bekerja, pasien dirumah bersama dengan ayahnya, dan kadang bersama
dengan adik kandungnya.
Saat dilakukan homevisite pada tanggal 28 Januari 2020 pasien
dalam keadaan sehat, saat dilakukan komunikasi pasien menjawab secara
komunikatif. Saat diminta untuk bercerita, pasien dapat menceritakan
keadaannya dengan panjang dan runut.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada awal-awal kejadian, keluarga pasien sempat bingung karena
awal mula pasien memukul orang yaitu 10 tahun yang lalu sekitar tahun
2009. Pasien kerja di Jakarta dibagian konveksi baju selama 3 tahun. Pada
saat selesai kerja sekitar jam 3 sore, pasien mendengar bisikan diperintah
untuk memukul orang. Setelah pasien memukul orang pasien di amankan

3
petugas dan dibawa ke rumah sakit jiwa. Pasien mengaku tidak sadar pada
saat diminta untuk memukul orang oleh halusinasinya. Pasien merasa ada
yang merasuki dan tiba-tiba sudah di rumah sakit jiwa. Hal lain yang
dilakukan pasien setelah resign kerja dari Jakarta, dirumah pasien hanya
menganggur. Pasien sering jungkir balik dan pasien tidak menyadari
tingkah lakunya tersebut.
Setelah itu keluarga membawanya untuk berobat di RSJ Magelang
selama 35 hari dirawat. Setelah kondisi pasien membaik, pasien
diperbolehkan pulang kerumah. Tetapi tahun berikutnya, pasien kambuh
lagi memukuli orang dan masuk lagi ke RSJ Magelang hingga 3 kali. 1
tahun terakhir pasien rutin berobat ke RS DKT karena pasien menyadari
apabila tidak berobat maka akan kambuh kembali.
Sebelum kerja di Jakarta, sekitar 2008 pasien jatuh dari ketinggian
saat membenarkan atap rumah. Saat jatuh kepala dan badan pasien
terbentur ke tanah. Tetapi pasien masih sadar, sehingga keluarga tidak
membawanya ke rumah sakit dan tidak meminta bantuan tenaga medis.
Keluarga menggangap pasien masih sehat saja.
Pasien mengatakan bahwa tidak ada masalah dalam pekerjaannya,
baik dengan teman kerja maupun atasan kerja. Namun, pasien
mengatakan bahwa ada suatu peristiwa disesalinya hingga saat ini. Saat
bekerja di Jakarta, pasien memiliki kekasih yang berasal dari Purwokerto.
Hubungan pasien harmonis selama 4 bulan, namun pasien meninggalkan
kekasihnya tersebut untuk dijadikan lelucon. Sejak saat itu, kekasih
pasien tidak pernah kembali dan merasa telah disakiti oleh pasien.
Sampai saat ini pasien belum menikah, karena tidak ada keinginan
untuk menikah dan lebih mementingkan kesehatannya terlebih dahulu.
Pasien mengkhawatirkan apabila sudah menikah penyakitnya akan
kambuh kembali.
Pasien merupakan anak pertama dari 5 bersaudara. Hubungan
pasien dengan saudara kandungnya baik, tidak pernah terlibat masalah
yang serius dan tidak pernah ada cekcok antar saudaranya. Pasien sering
memberikan uang kepada adik-adiknya. Adik kandung pasien sesekali

4
kadang datang kerumah orang tuanya untuk membantu orang tuanya
mengurus rumah dan pasien.
4. Riwayat Pribadi
a. Prenatal dan Perinatal
Pasien lahir normal di rumah dengan dibantu bidan dan dukun
beranak. Usia kandungan cukup bulan, usia ibu juga tidak terlalu tua
maupun terlalu muda. Selama hamil, ibu kandung pasien mengaku
tidak menderita penyakit tertentu atau meminum obat tertentu, tidak
merokok, dan tidak mengkonsumsi alkohol, selama mengandung Tn
AM ibu pasien juga kandungannya diperiksakan secara teratur. Sesaat
setelah lahir, pasien langsung menangis.
b. Masa Pre-Sekolah (sampai usia 3 tahun)
Riwayat tumbuh kembang Tn AM diakui oleh ibu pasien tidak ada
kelainan, pasien mulai dapat tengkurap, duduk, merangkak, berjalan,
mulai tumbuh gigi dan lain-lain diakui sesuai dengan usianya. Pasien
langsung diasuh oleh ibu kandungnya. Gizi yang diberikan kepada
pasien diakui cukup, ASI diberikan sampai pasien usia kurang lebih 2
tahun. Imunisasi atau vaksin yang didapatkan pasien juga lengkap.
Tidak ada masalah kesehatan tertentu yang mengganggu masa tumbuh
kembang pasien.
c. Masa Sekolah dan Kuliah (usia 3 sampai 11 tahun)
Pasien mulai masuk SD di usia 7 tahun. Dari lahir, hingga pasien
mulai masuk SD hingga lulus SD, pasien dan keluarganya tinggal di
Salatiga. Menurut ibu pasien, selama SD secara akademik pasien tidak
ada masalah, pasien tidak pernah tinggal kelas, pasien mampu
menagkap materi pelajaran dengan baik, bahkan menurut ibu pasien,
pasien tergolong sebagai anak yang pintar di kelasnya. Pasien juga
dapat bergaul dengan teman-temannya dengan baik, orang tua pasien
tidak pernah mendapatkan laporan dari guru maupun teman-teman
pasien jika pasien memiliki sikap yang menyimpang ataupun
gangguan perilaku.

5
d. Masa Remaja
Setelah lulus SD, kemudian pasien melanjutkan SMP negeri di
daerah Salatiga. Saat SMP pasien tidak memiliki masalah apapun.
Pasien mampu menyelesaikan pendidikan hingga akhir SMP tetapi
pasien tidak melanjutkan SMA karena keterbatasan biaya.
e. Masa Dewasa
1) Riwayat Pernikahan dan Seksual
Pasien belum menikah karena tidak ada keinginan untuk menikah
dan lebih mementingkan kesehatannya terlebih dahulu. Pasien
mengkhawatirkan apabila sudah menikah penyakitnya akan
kambuh kembali.
2) Riwayat Pekerjaan
Pasien memiliki riwayat pekerjaan pada perusahaan konveksi di
Jakarta.
3) Riwayat Pendidikan
Pasien menempuh pendidikan SD, SMP di Salatiga.
4) Riwayat Kemiliteran
Pasien tidak memiliki riwayat pendidikan kemiliteran.
5) Agama
Pasien dan keluarga merupakan pemeluk agama Islam. Keluarga
pasien termasuk pasien merupakan seorang muslim yang taat.
6) Aktivitas Sosial
Pasien cenderung lebih sering dirumah dan jarang berinteraksi
dengan orang – orang disekitarnya.
7) Riwayat Hukum
Ayah kandung pasien menyangkal bahwa pasien pernah
berurusan dengan pihak berwajib terkait pelanggaran di bidang
hukum.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat Gangguan Mental
Keluarga pasien tidak memiliki riwayat adanya gangguan mental.

6
b. Riwayat Gangguan Fisik
Riwayat diabetes melitus, hipertensi, penyakit jantung dan asma
disangkal.
6. Riwayat Keluarga
Pasien merupakan anak pertama dari 5 bersaudara. Pasien
memiliki 4 adik kandung yang bertempat tinggal di Salatiga.Ada yang
sudah berkeluarga dan tinggal terpisah dengan orang tua pasien.

Genogram:

Keterangan:

7. Riwayat Personal Sosial


Pasien cenderung lebih senang di berada rumah, pasien hanya
keluar di sekitar rumahnya untuk berjalan-jalan.
D. Pemeriksaan Fisik Umum
1. Status Generalis
- Keadaan umum : Tak tampak sakit jiwa
- Kesadaran : Compos mentis (E4M6V5)

7
- Tanda tanda vital
Tekanan darah : 130/70 mmHg
Nadi : 74 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,5° C
- Kepala : normosefali
- Mata : CA -/-, SI -/-
- Leher : pembesaran KGB (-)
- Thorax
Paru : SDV (+), ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung : BJ I-II regular, gallop (-), murmur (-)
- Abdomen : Bising usus (+) normal, nyeri tekan (-)
- Ekstremitas : Kelemahan anggota gerak kiri
2. Status Neurologis
- Kesadaran : Compos mentis (E4M6V5)
- Meningeal sign : Kaku kuduk (-)
- Sistem motorik (superior, inferior)
Gerakan : Baik, baik
Kekuatan : 5/4, 5/4
Tonus : N/N, N/N
Trofi : E/E, E/E
Reflek fisiologis : ++/++, ++/++
Reflek patologis : -/-, -/-
- Sistem sensorik : Dalam batas normal
- Vegetatif : Dalam batas normal
E. Pemeriksaan Status Mental
1. Deskripsi Umum
a. Penampilan
 Kesan umum: seorang laki-laki, sesuai umur, tampak kurus,
terlihat rawat diri yang baik. Kooperatif ketika menjawab
berbagai macam pertanyaan
 Ekspresi wajah: wajah pasien nampak datar.

8
 Postur dan gerakan: dapat duduk tegak dan bertatap muka dengan
lawan biacara.
 Kerapian (pakaian dan dandanan): saat dilakukan homevisite
tampak pasien memakai kaos belang berwarna biru abu celana
jeans biru dan menggunakan peci.
b. Perilaku dan aktivitas psikomotor
Pasien aktif dalam menjawab pertanyaan kami, saat diajak bicara
pasien dapat menatap dan memperhatikan apa yang kami tanyakan.
c. Sikap terhadap pemeriksa
Sangat kooperatif dan terbuka, kontak mata adekuat.
2. Bicara
Pembicaraan cepat, terkadang ragu-ragu (hesitant). Saat diajak
bicara pasien kadang mengerti apa yang disampaikan. Aktivitas motorik
pasien juga tidak mengalami penuruanan.
3. Mood, afek dan keserasian
a. Mood: Euforik
b. Afek: Luas
c. Keserasian: Tidak serasi
4. Pikiran dan Persepsi
a. Bentuk Pikiran
1) Produktivitas : berpikir cepat serta ragu-ragu (hesitant).
2) Arus pikir : pasien menjawab langsung terhadap pertanyaan.
3) Gangguan berbahasa : tidak terdapat gangguan dalam berbahasa.
b. Isi Pikiran
1) Preokupasi : pikiran obsesi (-), preokupasi terhadap kehidupan
yang suram di masa akan datang (-), preokupasi terhadap rasa
bersalah (+), ide bunuh diri (-)
c. Gangguan Pikiran
1) Waham : Waham dikendalikan (+), yang ditandai dengan ketika
halusinasi pasien muncul, pasien merasa bahwa halusinasi
tersebut merasuki dirinya dan meminta pasien untuk memukul
orang. Saat pasien merasa dirasuki, pasien tidak sadar dengan apa

9
yang dibicarakannya dan dilakukannya, namun ketika pasien
sudah sadar, pasien merasakan dapat kembali ke dirinya yang asli
Waham siar pikir (+), pasien merasa orang lain dapat membaca
apa yang pasien sedang pikirkan. Waham bizzare (-), waham
bersalah (-), waham curiga (-), waham kejar (+), waham nihilistik
(-).
d. Gangguan Persepsi
1) Halusinasi dan ilusi : terdapat halusinasi auditorik dan halusinasi
visual. Sosok halusinasi yang muncul pada pasien yaitu ada
bisikan yang menyuruh untuk mengejar dan memukul orang.
Tidak terdapat ilusi saat dilakukan kunjungan.
2) Depersonalisasi dan derealisasi: tidak terdapat depersonalisasi dan
derealisasi saat dilakukan kunjungan
e. Mimpi dan fantasi
Tidak terdapat mimpi dan fantasi yang menonjol pada pasien saat
dilakukan kunjungan.
5. Sensorium dan Fungsi Kognitif
a. Kesadaran : Secara kuantitas, kesadaran baik/ sadar penuh (compos
mentis) dengan GCS E4V5M6 dan tidak terjadi perubahan tingkat
kesadaran. Terdapat perubahan secara kualitatif pada pasien.
b. Orientasi : orientasi tempat, waktu dan orang baik.
c. Konsentrasi dan perhitungan : baik.
d. Daya ingat: daya ingat baik, baik ingatan jangka pendek, menengah
dan jangka panjang.
e. Tingkat pengetahuan : tingkat pendidikan formal pasien baik.
f. Pikiran abstrak : pasien dapat membedakan dua benda yang mirip
seperti apel dan jeruk.
6. Tilikan Diri (Insight)
Tilikan diri pasien baik yang ditunjukkan dengan pasien merasa
bahwa dirinya sakit, dan membutuhkan pemeriksaan atau kontrol rutin
ke poli jiwa.

10
7. Daya Nilai
a. Norma Sosial : Penilaian pasien tentang norma-norma sosial baik
b. Realita : Penilaian pasien tentang realita di lingkungan
sekitarnya baik.
F. Diagnosis Multi Aksial
Dari hasil autoanamnesis, aloanamnesis, dan pemeriksaan status
psikiatri menunjukan pasien mengalami gangguan kejiwaan disertai psikosis
dengan diagnosis multiaksial berupa
 Aksis I : Gangguan Skizofrenia Paranoid (F20.0)
DD Epilepsi dengan psikosis yang diinduksi oleh obat
obatan, Keadaan paranoid involusional (F22.8), Paranoia
(F22.0)
 Aksis II : Gangguan Kepribadian Paranoid (F60.0)
 Aksis III : Tidak ada diagnosis aksis III
 Aksis IV : Masalah berkaitan dengan pekerjaan
 Aksis V : GAF Scale 80-71: gejala sementara dan dapat diatasi,
disabilitas ringan dalam sosial, pekerjaan, sekolah, dll. Pasien mengalami
keterbatasan keadannya dengan pekerjaan.
G. Terapi
1. Farmakolgi
a. Clozapine 50 mg 1 kali sehari.
b. Abilify 10 mg 1 kali sehari
2. Non-Farmakologi
a. Edukasi pasien tentang kondisinya saat ini dan pengobatan yang
sedang dijalankan.Memotivasi pasien untuk menambah porsi makan,
mengatur tidur dan melupakan pikiran negative dengan melakukan hal
yang positif.
b. Terapi berorientasi keluarga: menyarankan kepada keluarga untuk
selalu memberikan dukungan kepada pasien, ajak pasien untuk
melakukan aktivitas positif yang disukai pasien. Mengajarkan pasien
untuk lebih terbuka terhadap keluarga.

11
c. Psikoterapi supportif: bertujuan untuk memperkuat mekanisme defens
pasien terhadap tekanan/stressor, meningkatkan kepercayaan diri
untuk bergaul dengan sekitar.

12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Skizofrenia merupakan sekelompok gangguan psikotik, dengan
gangguan dasar pada kepribadian, distorsi khas pada proses pikir. Kadang
- kadang mempunyai perasaan bahwa dirinya sedang dikendalikan
kekuatan dari luar. Gangguan skizofrenia umumnya ditandai oleh distorsi
pikiran dan persepsi yang mendasar dan khas, dan oleh efek yang tidak
serasi atau tumpul. Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “schizen” yang
berarti “terpisah” atau “pecah”, dan “phren” yang artinya “jiwa”. Pada
skizofrenia terjadi pecahnya atau ketidakserasian antara afeksi, kognitif
dan perilaku. Skizofrenia merupakan suatu sindrom psikotik kronis yang
ditandai oleh gangguan pikiran dan persepsi, afek tumpul, anhedonia,
deteriorasi, serta dapat ditemukan uji kognitif yang buruk.1
Skizofrenia adalah istilah psikosis yang menggambarkan
mispersepsi pikiran dan persepsi yang timbul dari pikiran/imajinasi pasien
sebagai kenyataan, dan mencakup waham dan halusinasi. Emil Kraepelin
membagi skizofrenia dalam beberapa jenis, menurut gejala utama yang
terdapat pada pasien, salah satunya adalah skizofrenia paranoid.9
Skizofrenia paranoid merupakan subtipe yang paling umum (sering
ditemui) dan paling stabil, dimana waham dan halusinasi auditorik jelas
terlihat. Pada pasien skizofrenia paranoid, pasien mungkin tidak tampak
sakit jiwa sampai muncul gejala-gejala paranoid.6
B. Epidemiologi
Skizofrenia ditemukan pada semua masyarakat dan area geografis
dan angka insidens serta prevalensinya secara kasar merata di seluruh
dunia. Menurut DSM-IV-TR, insidensi tahunan skizofrenia berkisar antara
0,5 sampai 5,0 per 10.000 dengan beberapa variasi geografik. Skizofrenia
yang menyerang kurang lebih 1 persen populasi, biasanya bermula di
bawah usia 25 tahun, berlangsung seumur hidup, dan mengenai orang dari
semua kelas sosial.3

13
Skizofrenia terjadi pada 15 - 20/100.000 individu per tahun,
dengan risiko morbiditas selama hidup 0,85% (pria/wanita) dan kejadian
puncak pada akhir masa remaja atau awal dewasa. Awitan skizofrenia di
bawah usia 10 tahun atau di atas usia 60 tahun sangat jarang. Laki-laki
memiliki onset skizofrenia yang lebih awal daripada wanita. Usia puncak
onset untuk laki-laki adalah 15 sampai 25 tahun, dan untuk wanita usia
puncak onsetnya adalah 25 sampai 35 tahun.7
Sejumlah studi mengindikasikan bahwa pria lebih cenderung
mengalami hendaya akibat gejala negatif daripada wanita dan bahwa
wanita lebih cenderung memiliki kemampuan fungsi sosial yang lebih baik
daripada pria sebelum awitan penyakit. Secara umum, hasil akhir pasin
skizofrenia wanita lebih baik dibandingkan hasil akhir pasien skizofrenia
pria.3
C. Etiologi
Menurut teori model diathesis stress skizofrenia dapat timbul
karena adanya integrasi antara faktor biologis, faktor psikososial dan
lingkungan. Seseorang yang rentan jika dikenai stressor akan lebih mudah
untuk menjadi skizofrenia. Lingkungan emosional yang tidak stabil
mempunyai risiko yang 5 besar pada perkembangan skizofrenia. Stressor
sosial juga mempengaruhi perkembangan suatu skizofrenia. Diskriminasi
pada komunitas minoritas mempunyai angka kejadian skizofrenia yang
tinggi.1,7 Namun, skizofrenia tidak hanya disebabkan oleh satu etiologi,
melainkan gabungan antara berbagai faktor yang dapat mendorong
munculnya gejala mulai dari faktor neurobiologis maupun faktor
psikososial, diantaranya sebagai berikut:
1. Faktor Neurobiologis
a. Faktor Genetika
Sesuai dengan penelitian hubungan darah (konsanguinitas),
skizofrenia adalah gangguan bersifat keluarga. Penelitian
tentang adanya pengaruh genetika atau keturunan terhadap
terjadinya skizofrenia tersebut telah membuktikan bahwa
terjadinya peningkatan risiko terjadinya skizofrenia bila

14
terdapat anggota keluarga lainnya yang menderita skizofrenia,
terutama bila hubungan keluarga tersebut dekat (semakin dekat
hubungan kekerabatan, semakin tinggi risikonya).7
Diperkirakan bahwa sejumlah gen yang mempengaruhi
perkembangan otak memperbesar kerentanan menderita
skizofrenia. Pada penelitian anak kembar, terjadi peningkatan
resiko seseorang menderita skizofrenia akan lebih tinggi pada
kembar identik atau monozigotik (mempunyai risiko 4-6 kali
lebih sering dibandingkan kembar dizigotik).2
b. Faktor Neuroanatomi Struktural
Sistem limbik, korteks frontalis, dan ganglia basalis
merupakan tiga daerah yang saling berhubungan, sehingga
disfungsi pada salah satu daerah mungkin melibatkan patologi
primer di daerah lainnya. Gangguan pada sistem limbik akan
mengakibatkan gangguan pengendalian emosi. Gangguan pada
ganglia basalis, akan mengakibatkan gangguan atau keanehan
pada pergerakan (motorik), termasuk gaya berjalan, ekspresi
wajah facial grimacing. Pada pasien skizofrenia dapat
ditemukan gangguan organik berupa pelebaran ventrikel tiga
dan lateral, atrofi bilateral lobus temporomedial dan girus
parahipokampus, hipokampus, dan amigdala.4
c. Faktor Neurokimia
Ketidakseimbangan yang terjadi pada neurotransmitter juga
diidentifikasi sebagai etiologi pada pasien skizofrenia.
Hipotesis yang paling banyak yaitu gejala psikotik pada pasien
skizofrenia timbul diperkirakan karena adanya gangguan
neurotransmitter sentral, yaitu terjadinya peningkatan aktivitas
dopaminergik atau dopamin sentral (hipotesis dopamin).
Peningkatan ini merupakan akibat dari meningkatnya pelepasan
dopamin, terlalu banyak reseptor dopamin, atau
hipersensitivitas reseptor dopamin.1,4

15
2. Faktor Psikososial
a. Faktor Keluarga dan Lingkungan
Kekacauan dan dinamika keluarga memegang peranan
penting dalam menimbulkan kekambuhan dan
mempertahankan remisi. Pasien skizofrenia sering tidak
“dibebaskan” oleh keluarganya. Beberapa peneliti
mengidentifikasi suatu cara komunikasi yang patologi dan aneh
pada keluarga-keluarga skizofrenia. Komunikasi sering samar-
samar atau tidak jelas dan sedikit tak logis.7 Penderita
skizofrenia pada keluarga dengan ekspresi emosi tinggi
(Expressed Emotion (EE), keluarga yang berkomentar kasar
dan mengkritik secara berlebihan) memiliki peluang yang lebih
besar untuk kambuh.2
b. Faktor Stressor
Skizofrenia juga berhubungan dengan penurunan sosio-
ekonomi dan kejadian hidup yang berlebihan pada tiga minggu
sebelum onset gejala akut.2
D. Manifestasi Klinis
Pada DSM-IV (Diagnostic and statistical manual) menyebutkan
bahwa tipe paranoid ditandai oleh keasyikan (preokupasi) pada satu atau
lebih waham atau halusinasi dengar yang sering, dan tidak ada perilaku
spesifik lain yang mengarahkan pada tipe terdisorganisasi atau katatonik.
Skizofrenia paranoid secara klasik ditandai oleh adanya waham
persekutorik (waham kejar) atau waham kebesaran.4
Pada pasien skizofrenia tipe paranoid, menunjukkan regresi
kemampuan mental, respons emosional, dan perilaku yang lebih ringan
dibandingkan pasien skizofrenia tipe lain.4 Pasien skizofrenia paranoid
kadang-kadang dapat menempatkan diri mereka sendiri secara adekuat di
dalam situasi sosial. Kecerdasan mereka tidak terpengaruhi oleh
kecenderungan psikosis mereka dan tetap intak.4
Pada ICD-10, gambaran klinis pada pasien skizofrenia paranoid
(F20.0) didominasi oleh adanya gejala-gejala paranoid, seperti:6

16
 Waham kejar (presecution), seperti memercayai bahwa orang lain
bersekutu melawan dia
 Waham rujukan (reference), seperti bahwa orang asing atau televisi,
radio atau koran terutama mengarah kepada pasien; bila tidak
mencapai intensitas waham, isi pikiran tersebut dikenal sebagai ideas
of reference
 Waham merasa dirinya tinggi/istimewa (exalted birth), atau
mempunyai misi khusus; misalnya, keyakinan bahwa dirinya
dilahirkan sebagai Mesias
 Waham perubahan tubuh
 Waham cemburu
 Suara-suara halusinasi yang bersifat mengancam atau
memerintahkan pasien
 Halusinasi pendengaran non-verbal, seperti tertawa, bersiul, dan
bergumam
 Halusinasi bentuk lainnya, seperti penghiduan, pengecapan,
penglihatan, sensasi somatik seksual atau sensasi somatik lainnya
E. Patofisiologi
Ketidakseimbangan yang terjadi pada neurotransmiter juga
diidentifikasi sebagai penyebab skizofrenia. Ketidakseimbangan terjadi
antara lain pada dopamin yang mengalami peningkatan dalam
aktivitasnya. Selain itu, terjadi juga penurunan pada serotonin,
norepinefrin, dan asam amio gamma-aminobutyric acid (GABA) yang
pada akhirnya juga mengakibatkan peningkatkan dopaminergik.
Neuroanatomi dari jalur neuronal dopamin pada otak dapat menjelaskan
gejala-gejala skizofrenia. Terdapat lima jalur dopamin dalam otak, yaitu:10
a. Jalur Mesolimbik: berproyeksi dari area midbrain ventral tegmental
ke batang otak menuju nucleus akumbens di ventral striatum. Jalur ini
memiliki fungsi berhubungan dengan memori, indera pembau, efek
viseral automatis, dan perilaku emosional. Hiperaktivitas pada jalur
mesolimbik akan menyebabkan gangguan berupa gejala positif seperti
waham dan halusinasi

17
b. Jalur Mesokortikal: berproyeksi dari daerah tegmental ventral ke
korteks prefrontal. Berfungsi pada insight, penilaian, kesadaran sosial,
menahan diri, dan aktifitas kognisi. Hipofungsi pada jalur mesokortikal
akan menyebabkan gangguan berupa gejala negatif dan kognitif pada
skizofrenia. Jalur mesokortikal terdiri dari mediasi gejala kognitif
(dorsolateral prefrontal cortex / DLPFC ) dan gejala afektif
(ventromedial prefrontal cortex / VMPFC) skizofrenia.
c. Jalur Nigrostriatal: sistem nigrostriatal mengandung sekitar 80% dari
dopamin otak. Jalur ini berproyeksi dari substansia nigra ke basal
ganglia atau striatum (kauda dan putamen). Jalur ini berfungsi
menginervasi sistem motorik dan ekstrapiramidal. Dopamin pada jalur
nigrostriatal berhubungan dengan efek neurologis (Ekstrapiramidal /
EPS) yang disebabkan oleh obat-obatan antipsikotik tipikal / APG-I
(Dopamin D2 antagonis).
d. Jalur Tuberoinfundibular: organisasi dalam hipotalamus dan
memproyeksikan pada anterior glandula pituitari. Fungsi dopamin
disini mengambil andil dalam fungsi endokrin, menimbulkan rasa
lapar, haus, fungsi metabolisme, kontrol temperatur, pencernaan,
gairah seksual, dan ritme sirkardian. Obat- obat antipsikotik
mempunyai efek samping pada fungsi ini dimana terdapat gangguan
endokrin.
e. Jalur Thalamus : Jalur kelima berasal dari berbagai tempat, termasuk
periaqueductal gray, ventral mesencephalon, hypothalamus nukleus,
nukleus parabrachial lateral, yang berproyeksi ke thalamus. Namun,
fungsinya masih belum diketahui.
F. Kriteria Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis skizofrenia, pasien harus memenuhi
kriteria DSM-IV-TR atau ICD-X. Berdasarkan DSM-IV, kriteria pasien
skizofrenia, yaitu:7
1. Berlangsung paling sedikit enam bulan
2. Penurunan fungsi yang cukup bermakna, yaitu dalam bidang
pekerjaan, hubungan interpersonal, dan fungsi kehidupan pribadi

18
3. Pernah mengalami psikotik aktif dalam bentuk yang khas selama
periode tersebut
4. Tidak ditemui gejala-gejala yang sesuai dengan skizoafektif,
gangguan mood mayor, autisme, atau gangguan organik.
Semua pasien skizofrenia mesti digolongkan ke dalam salah satu dari
subtipe yang telah disebutkan diatas. Subtipe ditegakkan berdasarkan atas
manifestasi perilaku yang paling menonjol.7 Berdasarkan PPDGJI-III,
maka pedoman diagnostik skizofrenia paranoid (F20.0), yaitu :5
 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
 Sebagai tambahan :
 Halusinasi dan/atau waham harus menonjol
a) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi
perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi
pluit (whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa
(laughing);
b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau
lain-lain perasaan tubuh; halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang
menonjol;
c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan
(delusion of control), dipengaruhi (delusion of influence), atau
“passivity” (delusion of passivity), dan keyakinan dikejar-kejar yang
beraneka ragam, adalah yang paling khas
 Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala
katatonik secara relatif tidak nyata/tidak menonjol.
G. Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada pasien skizofrenia paranoid adalah
gangguan psikotik lain, dapat berupa gangguan skizofreniform dan
gangguan skizoafektif. Pada gangguan skizofreniform, gejalanya sama
dengan skizofrenia, namun berlangsung sekurang-kurangnya 1 bulan,
tetapi kurang dari 6 bulan.3 Pada pasien dengan skizofreniform, akan
kembali ke fungsi normal ketika gangguan hilang. Bila suatu sindrom
manik atau depresif terjadi bersamaan dengan gejala utama skizofrenia,

19
maka hal itu adalah gangguan skizoafektif, yang mempunyai gambaran
baik skizofrenia maupun gangguan afektif (gangguan mood).9
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan harus dilakukan sesegera mungkin setelah
didiagnosis, sebagaimana terbukti bahwa waktu yang panjang antara onset
gejala dan penatalaksanaan yang efektif, dapat berdampak lebih buruk
(kemunduran mental). Pasien skizofrenia mungkin tidak sembuh
sempurna, tetapi dengan pengobatan dan bimbingan yang baik, penderita
dapat ditolong untuk dapat berfungsi terus, bekerja sederhana di rumah
atau pun di luar rumah. Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien
skizofrenia paranoid dapat berupa penatalaksanaan non-farmakologis dan
farmakologis.9
A. Penatalaksanaan Non-Farmakologis
 Rawat Inap / Hospitalisasi
Pasien yang mengalami gejala-gejala skizofrenia akut harus
dirawat di rumah sakit. Perawatan di rumah sakit menurunkan
stress pada pasien dan membantu mereka menyusun aktivitas
harian mereka. Lamanya perawatan di rumah sakit tergantung
pada keparahan penyakit pasien dan tersedianya fasilitas
pengobatan rawat jalan.Rawat inap diindikasikan terutama untuk
:1,10
1. Tujuan diagnostik
2. Stabilisasi pengobatan
3. Keamanan pasien karena adanya ide bunuh diri atau
pembunuhan, maupun mengancam lingkungan sekitar
4. Untuk perilaku yang sangat kacau atau tidak pada tempatnya,
termasuk, ketidakmampuan mengurus kebutuhan dasar, seperti
pangan, sandang dan papan
5. Tidak adanya dukungan dan motivasi sembuh dari keluarga
maupun lingkungan
6. Timbulnya efek samping obat yang membahayakan jiwa

20
Membangun hubungan yang efektif antara pasien dan
sistem pendukung komunitas merupakan tujuan utama rawat
inap.3 Rawat inap dan layanan rehabilitasi masyarakat juga
bertujuan untuk memaksimalkan kemandirian pasien (contohnya
dengan melatih keterampilan hidup sehari-hari), karena pada
pasien dengan gejala sisa (contohnya gejala negatif dan kognitif)
mungkin tidak dapat hidup mandiri. Setelah keluar dari rumah
sakit, pasien tersebut perlu di follow-up teratur oleh ahli
psikiatri.6
 Terapi Psikologis (Psikoterapi) dan Dukungan Sosial
(Sosioterapi)
Terapi yang dapat membantu penderita skizofrenia adalah
psikoterapi suportif individual atau kelompok, serta bimbingan
yang praktis dengan maksud mengembalikan penderita ke
masyarakat.9 Terapi perilaku kognitif (cognitive behavioural
therapy, CBT) seringkali bermanfaat dalam membantu pasien
mengatasi waham dan halusinasi yang menetap. Tujuannya
adalah untuk mengurangi penderitaan dan ketidakmampuan, dan
tidak secara langsung menghilangkan gejala. Terapi keluarga
dapat membantu mereka megurangi ekspresi emosi yang
berlebihan dan terbukti efektif mencegah kekambuhan.2
Terapi kerja adalah baik sekali untuk mendorong penderita
bergaul lagi dengan orang lain, penderita lain, perawat dan
dokter.9 Hal ini dimaksudkan agar pasien tidak mengasingkan
diri dan terapi ini sangat penting dalam menjaga kepercayaan diri
dan kualitas hidupnya. Penting sekali untuk menjaga komunikasi
yang baik dengan pasien dan keluarga.10
B. Penatalaksanaan Farmakologis
 Pemberian obat-obat anti-psikosis
Pemberian obat anti-psikosis pada pasien skizofrenia
(sindrom psikosis fungsional) merupakan penatalaksanaan yang
utama. Pemilihan jenis obat anti-psikosis mempertimbangkan

21
gejala psikosis yang dominan (fase akut atau kronis) dan efek
samping obat.8,9 Fase akut biasanya ditandai oleh gejala psikotik
(yang baru dialami atau yang kambuh) yang perlu segera diatasi.
Obat anti-psikosis tidak bersifat menyembuhkan, namun
bersifat pengobatan simtomatik.10 Obat anti-psikosis efektif
mengobati “gejala positif” pada episode akut (misalnya
halusinasi, waham, fenomena passivity) dan mencegah
kekambuhan.2,9 Obat-obat ini hanya mengatasi gejala gangguan
dan tidak menyembuhkan skizofrenia.3 Pengobatan dapat
diberikan secara oral, intramuscular, atau dengan injeksi depot
jangka panjang.2
a. Dopamine Receptor Antagonist (DRA) atau anti-psikosis
generasi I (APG-I)
Obat APG-I disebut juga obat anti-psikosis konvensional atau
tipikal. Kebanyakan antipsikosis golongan tipikal mempunyai
afinitas tinggi dalam mem-blokade atau menghambat pengikatan
dopamin pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak, khususnya di
sistem limbik dan sistem ekstrapiramidal (Dopamine D2 receptor
antagonist), hal inilah yang diperkirakan menyebabkan reaksi
ekstrapiramidal yang kuat.10 Oleh karena kinerja obat APG-I, maka
obat ini lebih efektif untuk gejala positif, contohnya gangguan
asosiasi pikiran (inkoherensi), isi pikir yang tidak wajar (waham),
gangguan persepsi (halusinasi) dibandingkan untuk terapi gejala
negatif.1,8,10 Obat antipsikosis tipikal (APG-I) memiliki dua
kekurangan utama, yaitu :
a. Hanya sejumlah kecil pasien (kemungkinan 25 persen) yang
cukup tertolong untuk mendapatkan kembali jumlah fungsi
mental yang cukup normal
b. Antagonis reseptor dopamine disertai dengan efek
merugikan yang mengganggu dan serius. Efek menganggu
yang paling utama adalah akatisia dan gejala mirip
parkinsonisme berupa rigiditas dan tremor.

22
Sebagian besar antagonis reseptor dopamin dapat diberikan
dalam satu dosis oral harian ketika orang tersebut berada dalam
kondisi yang stabil dan telah menyesuaikan dengan efek samping
apa pun.10 Prototip kelompok obat APG-I adalah klorpromazin
(CPZ), hal ini dikarenakan obat ini sampai sekarang masih tetap
digunakan sebagai antipsikosis, karena ketersediannya dan
harganya murah.10
Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis Anjurkan
Chlorpromazine Chlorpromazine Tab. 25 - 100 mg 150 - 600 mg/hari
Promactil Tab. 100 mg
Meprosetil Tab. 100 mg
Cepezet Tab. 100 mg
Perphenazine Perphenazine Tab. 4 mg
Trilafon Tab 2 - 4 - 8 mg
Trifluoperazine Stelazine Tab. 1 - 5 mg 10 - 15 mg/hari
Fluphenazine Anatensol Tab. 2,5 - 5 mg 10 - 15 mg/hari
Thioridazine Melleril Tab. 50 - 100 mg 150 - 300 mg/hari
Haloperidol Haloperidol Tab. 0,5 - 1,5 mg 5 - 15 mg/hari
Dores Tab. 1,5 mg
Serenace Tab. 0,5 - 1,5 mg
Haldol Tab. 2 - 5 mg
Govotil Tab. 2 - 5 mg
Lodomer Tab 2 - 5 mg
Pimozide Orap Forte Tab. 4 mg 2 - 4 mg/hari
Tabel. Sediaan Obat Anti-psikosis Generasi I dan Dosis Anjuran (yang
beredar di Indonesia menurut MIMS Vol. 7, 2006).8
Obat CPZ merupakan golongan derivate phenothiazine yang
mempengaruhi ganglia basal, sehingga menimbulkan gejala
parkinsonisme (efek esktrapiramidal / EPS).10 Semua obat APG-I
dapat menimbulkan efek samping EPS (ekstrapiramidal), seperti
distonia akut, akathisia, sindrom Parkinson (tremor, bradikinesia,
rigiditas).8 EFek samping ini dibagi menjadi efek akut, yaitu efek

23
yang terjadi pada hari-hari atau minggu-minggu awal pertama
pemberian obat, sedangkan efek kronik yaitu efek yang terjadi
setelah berbulan-bulan atau bertahun-tahun menggunakan obat.
Oleh karena itu, setiap pemberian obat APG-I, maka harus
disertakan obat trihexyphenidyl 2 mg selama 2 minggu sebagai
obat antidotum.7
b. Serotonin-dopamine Antagonist (SDA) atau anti-psikosis
generasi II (APG-II)
Obat APG-II disebut juga obat anti-psikosis baru atau atipikal.
Standar emas terbaru untuk pemberian obat anti-psikosis bagi
pasien skizofrenia adalah APG-II. Obat APG-II memiliki efek
samping neurologis yang lebih sedikit dibandingkan dengan
antagonis reseptor dopamin dan efektif terhadap kisaran gejala
psikotik yang lebih luas.10

Mekanisme kerja obat anti-psikosis atipikal adalah berafinitas


terhadap “Dopamine D2 Receptors” (sama seperti APG-I) dan juga
berafinitas terhadap “Serotonin 5 HT2 Receptors” (Serotonin-
dopamine antagonist), sehingga efektif terhadap gejala positif
(waham, halusinasi, inkoherensi) maupun gejala negatif (afek
tumpul, proses pikir lambat, apatis, menarik diri).1,8
Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis Anjurkan
Sulpride Dogmatil Forte Tab. 200 mg 300 - 600 mg/hari
Clozapine Clorazil Tab. 25 - 100 mg 25 - 100 mg/hari
Sizoril Tab. 25 - 100 mg
Olanzapine Zyprexa Tab. 5 - 10 mg 10 - 20 mg/hari
Quetiapine Seroquel Tab. 25 - 100 mg 50 - 400 mg/hari
Zotepine Lodopin Tab. 25 - 50 mg 75 - 100 mg/hari
Risperidone Risperidone Tab 1 - 2 - 3 mg 2 - 6 mg/hari
Risperidal Tab. 1 - 2 - 3 mg
Neripros Tab. 1 - 2 - 3 mg
Persidal Tab. 1 - 2 - 3 mg

24
Rizodal Tab. 1 - 2 - 3 mg
Zofredal Tab. 1 - 2 - 3 mg
Aripiprazole Abilify Tab. 10 - 15 mg 10 - 15 mg/hari
Tabel 3. Sediaan Obat Anti-psikosis Generasi II dan Dosis Anjuran
(yang beredar di Indonesia menurut MIMS Vol. 7, 2006).8

Apabila pada pasien skizofrenia, gejala negatif (afek tumpul,


penarikan diri, isi pikir miskin) lebih menonjol dari gejala positif
(waham, halusinasi, bicara kacau), maka obat anti-psikosis atipikal
perlu dipertimbangkan.8
I. Prognosis
Skizofrenia bersifat kronis dan membutuhkan waktu yang lama
untuk menghilangkan gejala.7 Sekitar 90% dengan episode psikotik
pertama, sehat dalam waktu satu tahun, 80% mengalami episode
selanjutnya dalam lima tahun, dan 10% meninggal karena bunuh diri.Kira-
kira 50 persen dari semua pasien dengan skizofrenia mencoba bunuh diri
sekurang satu kali selama hidupnya, dan 10 sampai 15 persen pasien
skizofrenik meninggal karena bunuh diri selama periode follow-up 20
tahun. Pasien skizofrenik laki-laki dan wanita sama-sama mungkin untuk
melakukan bunuh diri.2,4

25
BAB III
PENUTUP

A. Pembahasan
Tn. AM yang merupakan pasien tetap poli jiwa RS Dr. Asmir DKT.
Berdasarkan informasi dari ayah kandung pasien, pasien Tn. AM sekarang
kondisinya cukup stabil, namun apabila obat habis dan terlambat minum obat
timbul gelisah. Pola tidur pasien tidak ada gangguan, pasien dapat tidur
nyenyak baik di siang hari maupun malam hari. Pola makan juga tidak ada
gangguan. Pasien dapat mengambil makanan sendiri tanpa harus diperintah.
Menurut pengakuan ayah kandung pasien, pasien dapat melakukan aktivitas
sehari-hari seperti menyapu, mengepel dan mencuci baju. Keseharian pasien
hanya dirumah, tidur dan kadang bermain dengan teman yang datang
kerumah. Kegiatan ibadah sangat baik, apabila sedang dalam keadaan sehat,
saat terdengar adzan pasien akan langsung menuju masjid dan menunaikan
ibadah. Pasien juga rajin mengikuti pengajian di masjid.
Berdasarkan alloanamnesis dan autoanamnesis, pasien kadang masih
mengalami halusinasi. Halusinasi yang didengar pasien yaitu ada bisikan
yang menyuruh pasien untuk mengejar dan memukuli orang, hal lain yaitu
pasien disuruh mandi dengan air mendidih. Menurut ayah kandung pasien,
kejadian tersebut masih sering terjadi apabila obat habis. Kejadian 1 bulan
yang lalu pasien terlambat 3 hari tidak minum obat. Respon dari pasien yaitu
mendengar adanya bisikan untuk mandi dengan air panas yang masih
mendidih. Kemudian pasien mandi dengan air mendidih mengenai kepala
pasien. Saat ayah pasien mengetahui, beliau langsung membawanya ke
puskesmas. Karena sudah parah, puskesmas langsung merujuk ke rumah sakit
terdekat. Setelah diberikan obat, pasien sadar kembali dan tidak menyadari
apa yang telah dilakukan.
Komunikasi antara pasien dengan orang lain baik dengan keluarga
kandung dan masyarakat sekitar cukup baik. Jika dalam keadaan sadar dan
sehat, pasien sering bermain dengan tetangga disekitar rumahnya. Ayah
pasien bekerja sebagai pengrajin kayu dirumahnya sendiri. Ibu pasien
merupakan seorang ibu rumah tangga dengan pekerjaan buruh tani. Jika

26
sedang ditinggal ibunya bekerja, pasien dirumah bersama dengan ayahnya,
dan kadang bersama dengan adik kandungnya.
Saat dilakukan home visite pada tanggal 28 Januari 2020 pasien dalam
keadaan sehat, saat dilakukan komunikasi pasien menjawab secara
komunikatif. Saat diminta untuk bercerita, pasien dapat menceritakan
keadaannya dengan panjang dan runut. Pada awal-awal kejadian, keluarga
pasien sempat bingung karena awal mula pasien memukul orang yaitu 10
tahun yang lalu sekitar tahun 2009. Pasien kerja di Jakarta dibagian konveksi
baju selama 3 tahun. Pada saat selesai kerja sekitar jam 3 sore, pasien
mendengar bisikan diperintah untuk memukul orang. Setelah pasien memukul
orang pasien di amankan petugas dan dibawa ke rumah sakit jiwa. Pasien
mengaku tidak sadar pada saat diminta untuk memukul orang oleh
halusinasinya. Pasien merasa ada yang merasuki dan tiba-tiba sudah di rumah
sakit jiwa. Hal lain yang dilakukan pasien setelah resign kerja dari Jakarta,
dirumah pasien hanya menganggur. Pasien sering salto dan pasien tidak
menyadari tingkah lakunya tersebut.
Setelah itu keluarga membawanya untuk berobat di RSJ Magelang selama
35 hari dirawat. Setelah kondisi pasien membaik, pasien diperbolehkan
pulang kerumah. Tetapi tahun berikutnya, pasien kambuh lagi memukuli
orang dan masuk lagi ke RSJ Magelang hingga 3 kali. 1 tahun terakhir pasien
rutin berobat ke RS DKT karena pasien menyadari apabila tidak berobat
maka akan kambuh kembali. Sebelum kerja di Jakarta, sekitar 2008 pasien
jatuh dari ketinggian saat membenarkan atap rumah. Saat jatuh kepala dan
badan pasien terbentur ke tanah. Tetapi pasien masih sadar, sehingga keluarga
tidak membawanya ke rumah sakit dan tidak meminta bantuan tenaga medis.
Keluarga menggap pasien masih sehat saja. Sampai saat ini pasien belum
menikah, karena tidak ada keinginan untuk menikah dan lebih mementingkan
kesehatannya terlebih dahulu. Pasien mengkhawatirkan apabila sudah
menikah penyakitnya akan kambuh kembali.
Pasien merupakan anak pertama dari 5 bersaudara. Hubungan pasien
dengan saudara kandungnya baik, tidak pernah terlibat masalah yang serius
dan tidak pernah ada cekcok antar saudaranya. Pasien sering memberikan

27
uang kepada adik-adiknya. Adik kandung pasien sesekali kadang datang
kerumah orang tuanya untuk membantu orang tuanya mengurus rumah dan
pasien. Saat dilakukan kunjungan, kesan umum pasien nampak baik, sehat
fisik, dengan penampilan yang masih cukup wajar. Pembicaraan lambat,
terkadang ragu-ragu (hesitant). Saat diajak bicara pasien kadang mengerti apa
yang disampaikan. Aktivitas motorik pasien juga tidak mengalami
penuruanan.Saat dilakukan tanya jawab dengan pasien. Terdapat beberapa
gangguan persepsi berupa halusinasi dan gangguan pikiran berupa waham.
Halusinasi yang muncul pada pasien berupa halusinasi auditorik. Pasien
mendengar bisikan-bisikan yang menyuruh pasien untuk memukuli orang
lain. Selain itu pasien juga memiliki waham dikendalikan (+). Ketika
halusinasi pasien muncul, pasien merasa bahwa halusinasi tersebut merasuki
dirinya dan meminta untuk memukuli orang di jalan. Saat pasien mulai
mendengar suara-suara yang menyuruhnya, pasien tidak sadar dengan apa
yang dibicarakannya dan dilakukannya, namun ketika pasien sudah sadar,
pasien merasakan dapat kembali ke dirinya yang asli tetapi tidak mengingat
apa yang barusan ia lakukan.Sensorium dan fungsi kognitif pasien secara
umum masih baik. Pasien masih dapat mengenali waktu dan tempat,
kesadarannya masih compos mentis, daya ingat baik jangka pendek maupun
panjang masih baik serta pikiran abstrak pasien juga masih baik. Namun
pasien memilki tilikan yang baik, pasien sadar bahwa dirinya sakit, dan
membutuhkan pemeriksaan atau kontrol rutin ke poli jiwa. Daya nilai
mengenai norma sosial dan realitas pasien masih dalam taraf baik.
Berdasarkan data anamnesis dan pemeriksaan status mental yang sudah
dilakukan terhadap pasien. Pasien pada kasus ini dapat di diagnosis menderita
gangguan skizofrenia paranoid. Waham dikendalikan (+), yang ditandai
dengan ketika halusinasi pasien muncul, pasien merasa bahwa halusinasi
tersebut merasuki dirinya dan meminta pasien untuk memukul orang. Saat
pasien merasa dirasuki, pasien tidak sadar dengan apa yang dibicarakannya
dan dilakukannya, namun ketika pasien sudah sadar, pasien merasakan dapat
kembali ke dirinya yang asli Waham siar pikir (+), pasien merasa orang lain
dapat membaca apa yang pasien sedang pikirkan. Gejala-gejala yang dialami

28
pasien sudah berlangsung lama dan sekarang sudah mengalami perbaikan.
Saat ini pasien rutin menjalani kontrol dengan dokter spesialis kejiwaan di RS
DKT. Kontrol terakhir pada, 21 Januari 2020 pasien diberi resep Abilify 10
mg 1 x 1 dan Clozapine tab 50 mg 1x1, Clozapine merupakan golongan obat
antipsikotik yang bekerja menyeimbangkan dan menekan efek dari reaksi
kimia yang terjadi di dalam otak, sehingga membantu mengurangi gejala
psikosis. Biasanya sering digunakan untung menangani penyakit skizofrenia.
Pemberian obat ini ditujukan untuk mengurangi halusinasi auditorik yang
muncul pada pasien.
B. Kesimpulan
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan status mental, pasien
didiagnosis menderita gangguan skizofrenia paranoid. Hal ini dikarenakan
saat ini gejala-gejala yang dialami pasien masih menunjukan gejala waham
paranoid. Pasien sudah mendapatkan pengobatan total selama 35 hari di RSJ
Magelang dan sudah dibawa pulang kerumah setelah keluhannya berkurang.
Namun karena keadaan pasien kembali memburuk sekarang pasien rutin
menjalani pengobatan di RS DKT Salatiga.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Psikiatri : Skizofrenia (F2). Editor : Chris Tanto, Frans Liwang, dkk.


Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 4. Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius.
2014:910-3.
2. Gangguan Jiwa : Skizofrenia - Fenomena, Etiologi, Penangan dan
Prognosis. Editor : Rina Astikawati. At A Glance Psikiatri - Cornelius
Katona, Claudia Cooper, dan Mary Robertson. Edisi 4. Jakarta : Erlangga.
2012:18-21.
3. Skizofrenia. Editor : Husny Muttaqin dan Tiara Mahatmi Nisa. Kaplan &
Sadock - Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi 2. Jakarta : Buku Kedokteran
EGC. 2014:147-68.
4. Skizofrenia. Editor : I. Made Wiguna S. Kaplan - Sadock, Sinopsis
Psikiatri - Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid 1. Tanggerang
: Binarupa Aksara Publisher. 2010:699-744.
5. Skizofrenia, Gangguan Skizotipal dan Gangguan Waham : Skizofrenia
(F20). Editor : Rusdi Maslim. Diagnosis Gangguan Jiwa : Rujukan
Ringkas dari PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran
Jiwa FK-Unika Atmajaya. 2013:46-8.
6. Skizofrenia dan Gangguan Waham (Paranoid). Editor : Husny Muttaqin
dan Frans Dany. Buku Ajar Psikiatri. Edisi 2. Jakarta : Buku Kedokteran
EGC. 2013:147-50.
7. Skizofrenia. Editor : Sylvia D. Elvira dan Gitayanti Hadisukanto. Buku
Ajar Psikiatri. Edisi 2. Jakarta : Badan Penerbit FK UI. 2013:173-98.
8. Obat Anti-psikosis. Editor : Rusdi Maslim. Penggunaan Klinis Obat
Psikotropik (Psychotropic Medication). Edisi 3. Jakarta : Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa FK-Unika Atma Jaya (PT. Nuh Jaya). 2007:14-22.
9. Skizofrenia. Editor : Willy F. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2.
Surabaya : Airlangga University Press. 2009:259-81.
10. Terapi Biologis - Antagonis Reseptor Dopamin : Antipsikotik Tipikal.
Editor : Husny Muttaqin dan Tiara Mahatmi Nisa. Kaplan & Sadock -
Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi 2. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
2014:498-502.

30
LAMPIRAN

Home visite di kediaman pasien pada hari Selasa, 28 Januari 2020

31

Anda mungkin juga menyukai