Anda di halaman 1dari 43

REFERAT

GAMBARAN RADIOLOGI DIAGNOSTIK DAN INTERVENSI PADA


PASIEN CARCINOMA COLORECTUM

Disusun Oleh:
Unggul Guligah – 1820211068

Pembimbing:
dr. Andi Darwis, Sp. Rad (K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI RUMAH SAKIT UMUM


PUSAT PERSAHABATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA PERIODE 04
NOVEMBER – 07 DESEMBER 2019

1
SURAT PERNYATAAN

Referat kasus radiologi ini diajukan oleh:

Nama : Unggul Guligah


NIM : 1820211068
Program Studi : S1 Fakultas Kedokteran
Tahun Akademik : 2019

Dengan ini menyatakan bahwa saya tidak melakukan plagiarisme dalam penulisan laporan
kasus ini yang berjudul:

“Gambaran Radiologi Diagnostik dan Intervensi pada Pasien Carcinoma Colorectum”

Apabila suatu saat terbukti saya melakukan plagiat, maka saya akan menerima sanksi yang
telah ditetapkan. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Jakarta, November 2019

Unggul Guligah

2
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Menurut data world health organization (WHO) tahun 2019, pada tahun 2018
tercatat kasus pasien yang di diagnosis carcinoma colorectum sebanyak 1.849 518
(10.2%) pasien, dan sebanyak 880.792 (9.2%) pasien ca colorectum mengalami
kematian di seluruh dunia. Mortalitas carcinoma colorectal di wilayah Asia tenggara
pada tahun 2018 tercatat sebanyak 325 128 (9.2%). Kejadian ca colorectum termasuk
dalam 10 penyakit kanker paling banyak di Indonesia, kejadian ca colorectum di
Indonesia lebih tinggi pada pria yaitu sebanyak 54% dibanding wanita yaitu sebanyak
46% dengan kasus tertinggi terjadi pada usia 50-54 tahun. DKI Jakarta, Jawa tengah,
dan Yogyakarta menjadi provinsi dengan insiden ca colorectal tertinggi dibanding
provinsi lainnya (Khairina D, dkk, 2019).
Ca colorectum adalah keganasan yang berasal dari jaringan usus besar, terdiri
dari kolon (bagian terpanjang dari usus besar) dan/atau rektum (bagian kecil terakhir
dari usus besar sebelum anus). Penyebab carcinoma colorectum adalah adanya mutase
gen tertentu, seperti yang terjadi pada jenis kanker lainnya. Mutasi tersebut dapat
muncul pada gen proto-onkogen, gen supresor tumor dan gan yang terkait dengan
mekanisme perbaikan DNA. Carcinoma colorectal dapat diklasifikasikan sebagai
sporadik, diturunkan atau bersifat familial. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya karsinoma kolorektal antara lain faktor genetik, kurangnya aktifitas fisik,
obesitas, pola makan yang tinggi lemak dan kurang serat, merokok, dan mengonsumisi
alkohol secara berlebihan (Komite Penanggulangan Kanker Nasional, 2014).

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.2.1 Basic Science


II.2.2 Anatomi Colon
Intestinum crassum terbentang dari ujung distal ileum hingga anus, panjangnya
sekitar 1,5 meter pada orang dewasa. Intestinum crassum mengabsorpsi cairan dan
garam-garam serta membentuk feces. Intestinum crassum terdiri dari caecum,
appendiks vermiformis, colon, rectum, dan canalis analis. Intestinum crassum dapat
dilihat pada gambar 1 dan gambar 2 (Drake dkk, 2017).

Sumber: Drake dkk, 2017


Gambar 2 Anatomi Intestinum Crassum

Posisi intestinum crassum bermula dari appendiks vermiformis yang berada


pada regio pubica, lalu dilanjutkan dengan organ caecum yang terletak pada regio
inguinalis dextra. Caecum bertemu dengan colon ascending pada regio lateralis dextra
hingga ujungnya berada di regio hypochondrium dextra. Tepat di bawah hepar,
intestinum crassum membelok ke kiri, membentuk flexura coli dextra (flexura

4
hepatica) dan menyeberangi abdomen sebagai colon transversum menuju regio
hypochondrium sinistra. Pada posisi ini, tepat di bawah lien, intestinum crassum
membelok ke bawah, membentuk flexura coli sinistra (flexura lienalis) dan berlanjut
sebagai colon descendens yang melewati regio lateralis sinistra menuju regio inguinalis
sinistra (Drake dkk, 2017). Posisi intestinum crissum dapat dilihat pada gambar 2.

Sumber: Drake, dkk 2017


Gambar 2 Posisi colon

Intestinum crassum memasuki bagian atas cavitas pelvis sebagai colon


sigmoideum dan berlanjut pada dinding posterior cavitas pelvis sebagai rektum dan
berakhir sebagai canalis analis karakteristik umum sebagian besar intestinum crassum
adalah sebagai berikut:
a. Memiliki diameter lumen yang lebih besar dibandingkan dengan lumen
intestinum tenue.
b. Peritoneum colon tertutupi akumulasi lemak (appendices omentum).

5
c. Pemisahan musculus longitudinalis pada dindingnya menjadi tiga pita sempit
(taeniae coli) yang mula-mula terdapat di caecum dan colon dan kurang terlihat
padarektum.
d. Terdapat sacculasi pada kolon (haustra coli) (Drake dkk, 2017).

II.2.3 Anatomi Colon


Colon terbentang di superior caecum dan terdiri dari colon ascendens, colon
transversum, colon descendens, colon sigmoideum. Segmen ascendens dan segmen
descendens colon terletak retroperitoneal (sekunder) dan segmen transversum dan
segmen sigmoideumnya terletak intraperitoneale. Anatomi colon dapat dilihat pada
gambar 3 (Drake dkk, 2017).

Sumber: Drake dkk, 2017


Gambar 3 Anatomi Colon
Pada daerah pertemuan colon ascendens dan colon transversum, ada flexura
coli dextra yang terletak tepat di inferior lobus dextra hepatis. Serupa, namun
membelok lebih tajam (flexura coli sinistra), terletak di pertemuan antara colon
transversum dan colon descendens. Belokan ini tepat di inferior lien, lebih tinggi dan
lebih posterior dibandingkan flexura coli dextra dan melekat ke diaphragma oleh

6
ligamentum phrenicocolicum. Flexura coli dextra dan sinistra dapat dilihat pada
gambar 4 (Drake dkk, 2017).

Sumber: Drake, dkk 2017

Gambar 4 Flexura coli dextra dan sinistra

Tepat di lateral dari colon ascendens dan colon descendens, terdapat sulci
paracolici dextra dan sinistra (lihat gambar 3). Sulci ini terbentuk di antara tepi lateral
colon ascendens dan colon descendens serta dinding posterolateral abdomen dan
melalui saluran ini bahan-bahan dapat lewat dari satu regio cavitas peritonealis ke regio
yang lain (Drake, dkk 2017).
Segmen akhir dari colon (colon sigmoideum) dimulai dari apertura pelvis
superior sampai ke level vertebra Sacrum III, di sini struktur ini berkesinambungan
dengan rektum (lihat gambar 3). Colon sigmoideum berbentuk seperti huruf S, dapat
bergerak kecuali pada bagian awalnya yang bersambung dengan colon descendens dan
pada ujung akhirnya yang bersambung dengan rektum. Di antara bagian kedua tersebut,
colon sigmoideum digantungkan oleh mesocolon sigmoideum (Drake, dkk 2017).
Suplai arterial untuk colon ascendens berasal dari (lihat gambar 5):
a. Ramus colicus dari arteri mesenterica superior.
b. Arteri caecalis anterior dari arteri mesenterica superior.

7
c. Arteri caecalis posterior dari arteri mesenterica superior.
d. Arteri colica dextra dari arteri mesenterica superior.
Suplai arterial untuk colon transversum berasal dari (lihatgambar5):
a. Arteri colica dextra dari arteri mesenterica superior.
b. Arteri colica media dari arteri mesenterica superior.
c. Arteri colica sinistra dari arteri mesenterica inferior.
Suplai arterial untuk colon descendens meliputi arteri colica sinistra dan arteri
mesenterica inferior. Sistem arteri colon dapat dilihat pada gambar 5.

Sumber: Drake, dkk 2017


Gambar 5 Sistem Arteri Colon
Persarafan colon ascendens akan di persarafi oleh saraf simpatik dan nervus
vagus dari plexus mesentericus superior. Bagian dua pertiga proksimal colon
transversum dipersarafi oleh saraf simpatik dan nerus vagus melalui plexus
mesentericus posterior. Sepertiga distal colon transversum dipersarafi oleh saraf
simpatik dan parasimpatik nervi splanchnici pelvici melalu plexus mesentericus
inferior. Persarafan colon descendens akan disarafi oleh saraf simpatik dan
parasimpatik nervi splanchnici pelvici melalui plexus mesentericus inferior menyarafi

8
colon descendens. Persarafan colon sigmoideum itu sendiri akan dipersarafi oleh saraf
simpatik dan para simpatik melalui plexus hypogastricus inferior (Snell, 2012).

II.2.4 Anatomi Rektum dan Canalis Analis


Rectum panjangnya sekitar 5 inci (13 cm) dan mulai didepan vertebra sacralis
ketiga sebagai lanjutan dari colon sigmoideum. Rectum berjalan ke bawah mengikuti
sacrum dan coccygis, dan berakhir didepan ujung cocigis dengan menembus
diapharagma pelvis dan melanjutkan diri sebagai canalis analis. Bagian bawah rectum
melebar membentuk ampula recti. Peritoneum hanya meliputi permukaan duapertiga
bagian atas rectum. Taeneia colicolon sigmoideum bersatu, dengan demikian serabut-
serabut longitudinal membentuk pita lebar pada permukaan anterior dan posterior
rectum. Tunica mucosa rectum bersama dengan stratum circularet membentuk tiga
lipatan semi circularis; dua terdapat pada sisi kiri dinding rectum, dan satu pada sisi
kanan. Lipatan-lipatan ini dinamakan plicae transversales recti. Rectum itu sendiri di
persarafi oleh saraf-saraf simpatis dan parasimpatik nervi sphalanchnici melalui plexus
hypogastricus inferior (Snell, 2012). Canalis memiliki panjang sekitar 1,5 inci (4 cm)
dan berjalan ke bawah dan belakang dari ampulla recti untuk membuka ke permukaan
anus (gambar 6). Saat defekasi dinding lateral canalis analis dipertahankan saling
berdekatan dengan musculus levator ani dan musculus sphincter ani. Pada perbatasan
antara rectum dan canalis analis, musculus sphincter ani externus pars profundus,
musculus sphincter ani internus, dan musculus puborectalis membentuk cincin yang
disebut dengan cincin anorectal yang dapat di raba pada pemeriksaan rectum. Musculus
sphincter ani internus di persarafi serabut-serabut simpatik dari pleksus hypogastricus
inferior. Musculus sphincter ani externus volunter dipersarafi oleh nervus rectalis
inferior. Anatomi rektum dan canalis analis dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
(Snell, 2012).

9
Sumber: Drake, dkk 2017
Gambar 6 Anatomi Rektum dan Canalis Analis
Suplai arterial rektum dan canalis analis adalah sebagai berikut :
a. Arteria rectalis superior dari arteria mesenterica inferior
b. Arteria rectalis media dari arteria iliaca interna
c. Arteria rectalis inferior dari arteria pudenda interna

Sumber: Drake, dkk 2017


Gambar 7 Suplai Arterial Rektum dan Canalis Analis

10
II.2.5 Histologi Colon dan Rektum
Hampir seluruh usus besar memiliki empat lapisan morfologik seperti yang
ditemukan pada bagian usus lain. Lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna,
tetapi terkumpul dalam tiga pita yang disebut taenia coli. Taenia bersatu pada sigmoid
distal, sehingga rektum mempunyai satu lapisan otot longitudinal yang lengkap.
Panjang taenia lebih pendek dari pada usus, sehingga usus tertarik dan berkerut
membentuk kantong-kantong kecil yang disebut haustra. Apendises epiploika adalah
kantong-kantong kecil peritonium yang berisi lemak dan melekat di sepanjang taenia.
Lapisan mukosa usus besar jauh lebih tebal daripada lapisan mukosa usus halus dan
tidak mengandung vili atau rugae. Kripte Lieberkuhn (kelenjar intestinal) terletak lebih
dalam dan mempunyai lebih banyak sel goblet dibandingkan usushalus (Mescher,
2012).
Tunika mukosa bagian usus besar ini seperti juga usus lainnya dilapisi epitel
selapis torak. Usus besar tidak memiliki vilus. Usus besar memiliki permukaan mukosa
yang rata, seragam tingginya, yang menandakan bangunan itu adalah bukan potongan
vilus, potongan vilus umumnya tidak sama tinggi. Epitel sebagian besar terdiri dari sel
goblet, tunika submukosa rektum terdiri dari jarigan ikat jarang yang di dalamnya
ditemukan pleksus meissneri. Tunika muskularis sirkular mempunyai susunan seperti
biasa. Yang longitudinal tidak memiliki ketebalan yang sama seputar dindingnya,
kalaupun ada perbedaan penebalan itu tidak terlalu signifikan dan disebut taeniacoli.
Peralihan antara kolon dengan rektum dan anus di tandai oleh adanya perubahan epitel
yaitu dari epitel selapis torak dengan sel goblet menjadi epitel berlapis gepeng tanpa
lapisan tanduk dan terdapat tunika adventisia yang terdiri atas jaringan ikat jarang
(Mescher, 2012). Histologi colon dan rektum dapat dilihat pada gambar dibawah.

11
Sumber: Mescher, 2012
Gambar 8 Histologi Colon dan Rektum

II.2.6 Ca Colorectum
II.2.6.1 Definisi
Karsinoma kolorektal merupakan kanker yang menyerang kolon atau rektum.
Kanker ini juga dapat disebut kanker kolon atau kanker rektal, tergantung dimana
kanker tersebut terjadi. Kanker kolon dan kanker rektal sering terjadi secara bersamaan
karena mempunyai ciri-ciri yang sama (American Cancer Society, 2014).

II.2.6.2 Epidemiologi
Berdasarkan data dari Globocan pada tahun 2018, karsinoma kolorektal
merupakan 10,2% dari seluruh kasus kanker baru pada tahun 2018 dengan jumlah
kasus sebanyak 1.849.518 kasus. Karsinoma kolorektal juga menjadi penyebab dari
9,2% kematian akibat kanker, yaitu sebanyak 880.792 kematian pada tahun 2018
(Bray, dkk, 2018). Karsinoma kolorektal merupakan suatu masalah yang mendunia
dengan insidensi tahunan sebesar satu juta kasus dan mortalitas yang mencapai 500.000
kasus per tahun. Berdasarkan suatu penelitian di Amerika Serikat, karsinoma
kolorektal menempati posisi ketiga sebagai kanker yang paling mematikan, yang
menyebabkan kematian dari 49.190 pasien di Amerika Serikat pada tahun 2016

12
(Marley & Nan, 2018). Menurut data dari Globocan tahun 2018, karsinoma kolorektal
lebih banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan, yaitu dengan insiden
pada laki-laki sebesar 23,6% dan pada perempuan sebesar 16,3% (Bray, dkk 2018).
Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya perbedaan lokasi karsinoma kolorektal pada
laki-laki dan perempuan, di mana pada laki-laki lebih banyak ditemukan pada segmen
distal (kiri, kolon asendens atau rektum) yang disebabkan oleh instabilitas kromosomal
dan terjadi pada usia sebelum 65 tahun, dimana pada perempuan lebih banyak terjadi
pada segmen proksimal (kanan, kolon asendens) yang disebabkan oleh instabilitas
mikrosatelit dan terjadi setelah usia 65 tahun (Kimetal, 2015). Menurut penelitian,
kebiasaan merokok meningkatkan insiden dan mortalitas dari karsinoma kolorektal
secara signifikan, hal ini juga dapat menjadi penjelasan mengapa insiden karsinoma
kolorektal lebih tinggi pada laki, yaitu karena perilaku merokok jauh lebih tinggi pada
laki-laki daripada perempuan (Marley & Nan, 2018).

II.2.6.3 Etiologi
Penyebab utama dari karsinoma kolorektal belum diketahui secara pasti.
Kejadian karsinoma kolorektal pada pria ataupun wanita tidak memiliki perbedaan
yang signifikan, begitupun dengan etnik. sebagian besar kanker kolon muncul dari
polip adenomatosa yang menutupi dinding sebelah dalam usus besar. Seiring waktu,
pertumbuhan abnormal ini membesar dan akhirnya berkembang menjadi
adenokarsinoma. Dalam kondisi ini banyak adenomatosa mengembangkan polip di
kolon, yang pada akhirnya menyebabkan kanker usus besar (Price & Wilson, 2006).

II.2.6.4 Faktor Risiko Ca Colorectum


Secara umum perkembangan karsinoma kolorektal merupakan interaksi antara
faktor lingkungan dan faktor genetik. Faktor lingkungan multipel beraksi terhadap
predisposisi genetik atau defek yang didapat dan berkembang menjadi karsinoma
kolorektal. Banyak faktor yang dapat meningkatkan atau menurunkan risiko terjadinya
karsinoma kolorektal. Menurut Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran karsinoma
kolorektal tahun 2014, faktor risiko karsinoma kolorektal dibagi menjadi dua, yaitu

13
faktor yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi (Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Kanker Kolorektal, 2018).

II.2.6.5 Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi


a. Pola Diet dan Nutrisi
Insidens karsinoma kolorektal meningkat pada orang-orang yang mengonsumsi
daging merah dan atau daging yang telah diproses. Konsumsi daging merah dilaporkan
memiliki hubungan lebih erat dengan insidens kanker rektum, sedangkan konsumsi
daging yang diproses dalam jumlah besar berhubungan dengan kanker kolon bagian
distal. Implikasi lemak dihubungkan dengan konsep tipikal diet barat, terjadi
perkembangan flora bakterial yang mendegradasi garam empedu menjadi komponen
N-nitroso yang berpotensi karsinogenik. Mekanisme potensial asosiasi positif antara
konsumsi daging merah dengan karsinoma kolorektal termasuk adanya heme besi pada
daging merah. Beberapa jenis daging yang dimasak pada temperatur tinggi memicu
produksi amino heterosiklik dan hidrokarbon aromatik polisiklik, keduanya dipercaya
merupakan bahan karsinogenik. Larson, dkk. melalui studi prospektif menyarankan
pembatasan konsumsi daging merah dan daging yang diproses untuk mencegah
karsinoma kolorektal. Penelitian juga membuktikan bahwa individu yang
mengonsumsi buah, sayuran, dan sereal memiliki risiko karsinoma kolorektal lebih
kecil. Perbedaan asupan diet berserat serta perbedaan geografik berperan pada insidens
karsinoma kolorektal; diet berserat diperhitungkan sebagai faktor pembeda insidens
karsinoma kolorektal di Afrika dan negara-negara dengan gaya hidup barat–
peningkatan asupan diet serat mendilusi kandungan lemak, meningkatkan massa feses,
dan mereduksi waktu transit (Khosama,2015).

b. Aktivitas Fisik dan Obesitas


Aktivitas fisik yang reguler mempunyai efek protektif dan dapat menurunkan
risiko karsinoma kolorektal sampai 50%. American Cancer Society menyarankan
setidaknya aktivitas fisik moderat (jalan cepat) selama 30 menit atau lebih selama 5
hari atau lebih setiap minggu. Selain itu, kurangnya aktivitas fisik dapat menyebabkan

14
kelebihan berat yang juga merupakan sebuah faktor yang meningkatkan risiko
karsinoma kolorektal. Aktivitas fisik meningkatkan angka metabolik dan
meningkatkan ambilan oksigen maksimal. Dalam jangka panjang, aktivitas reguler
serupa meningkatkan efisiensi dan kapasitas metabolik tubuh, juga menurunkan
tekanan darah dan resistensi insulin. Selain itu, aktivitas fisik meningkatkan motilitas
usus. Kurangnya aktivitas fisik harian juga meningkatkan insidens obesitas, faktor lain
yang berhubungan dengan karsinoma kolorektal. Kelebihan berat badan dan obesitas
meningkatkan sirkulasi estrogen dan menurunkan sensitivitas insulin, juga di-percaya
mempengaruhi risiko kanker, dan berhubungan dengan penimbunana dipositas
abdomen. Obesitas menyebabkan penimbunan hormon, peningkatan kadar insulin dan
insulin-like growth factor-1 (IGF-1), pemicuan regulator pertumbuhan tumor,
gangguan respons imun dan stres oksidatif, sehingga memicu terjadinya karsinoma
kolorektal.
c. Merokok dan Alkohol
Karsinogen rokok meningkatkan pertumbuhan karsinoma kolorektal dan
meningkatkan risiko terdiagnosis kanker. Merokok menyebabkan pembentukan dan
pertumbuhan polip adenomatosa, lesi prekursor karsinoma kolorektal. Bukti juga
menunjukkan bahwa polip yang lebih besar ditemukan di kolon dan rektum bagi
seseorang yang merokok dalam jangka panjang (Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Kanker Kolorektal, 2018). Rokok diketahui mengandung banyak
karsinogen dan agen genotoksik. Salah satu kandungan dari rokok adalah nikotin. Pada
percobaan in vitro di penelitian Jensen et.al (2012), pemberian nikotin menunjukkan
peningkatan ekspresi adrenoreseptor β1-β2 yang menyebabkan peningkatan produksi
COX-2 yang akan merangsang proliferasi sel dan berperan dalam angiogenesis (Izzaty,
2015).

15
II.2.6.6 Faktor Risiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi
a. Usia
Diagnosis karsinoma kolorektal meningkat progresif sejak usia 40 tahun,
meningkat tajam setelah usia 50 tahun; lebih dari 90% kasus karsinoma kolorektal
terjadi di atas usia 50 tahun. Angka kejadian pada usia 60-79 tahun 50 kali lebih tinggi
dibandingkan pada usia kurang dari 40 tahun (Khosama, 2014). Hal ini dapat terjadi
oleh karena dikaitkan dengan adanya mutasi DNA sel penyusun dinding kolon
terakumulasi sejalan dengan bertambahnya umur, serta adanya penurunan sistem
imunitas tubuh yang bertambah seiring dengan penambahan umur yang ditandai
dengan penurunan produksi imunoglobulin, konfigurasi limfosit dan reaksinya dalam
melawan infeksi berkurang dan penurunan kemampuan sistem imunitas tubuh dalam
mengenali benda asing yang masuk dalam tubuh. Karsinoma kolorektal ditemukan di
bawah usia 40 tahun yaitu pada orang yang memiliki riwayat kolitis ulseratif atau
polyposis familial (Tatuhey dkk, 2012).

b. Faktor Herediter
Riwayat familial berkontribusi pada sekitar 20% kasus karsinoma kolorektal.
Kondisi yang paling sering diwariskan adalah familial adenomatous polyposis (FAP)
dan hereditary nonpolyposis colorectal cancer (HNPCC), dikenal sebagai sindrom
Lynch. Gen-gen yang berperan dalam pewarisan karsinoma kolorektal ini telah
diidentifikasi. HNPCC berhubungan dengan mutasi gen-gen yang terlibat dalam jalur
perbaikan DNA, disebut gen MLH1 dan MLH2. FAP disebabkan mutasi tumor
supresor gen APC (adenomatous polyposis coli) (Khosama, 2015). HNPCC terjadi
pada 2-6% karsinoma kolorektal. Risiko karsinoma kolorektal seumur hidup pada
orang dengan mutasi HNPCC berkisar 70-80% dan rerata umur saat didiagnosis adalah
pada pertengahan usia 40 tahun. Mutasi MLH1 dan MLH2 juga berhubungan dengan
peningkatan risiko relatif kanker lain, termasuk beberapa keganasan ekstrakolon
seperti kanker uterus, gaster, usus halus, pankreas ginjal, dan ureter FAP ditemukan
pada <1% kasus karsinoma kolorektal. Tidak seperti individu dengan HNPCC yang
mengalami beberapa adenoma, individu dengan FAP mengalami pertumbuhan ratusan

16
polip, biasanya di awal usia 20 tahun. Pada usia 40 tahun, hampir semua orang dengan
kelainan ini didiagnosis kanker bila kolon tidak di angkat. APC yang berhubungan
dengan kondisi poliposis diwariskan dengan pola autosom dominan. Sekitar 75-80%
individu dengan APC yang berhubungan dengan poliposis memiliki orang tua dengan
kondisi sama. Uji prenatal dan diagnosis genetik preimplantasi dimungkinkan bila
suatu penyakit yang menyebabkan mutasi teridentifi kasi pada anggota keluarga
(Brunicardi FC, 2019).

c. Faktor Lingkungan
Karsinoma kolorektal dipertimbangkan sebagai suatu penyakit yang
dipengaruhi lingkungan; faktor pola hidup, sosial, dan kultural ikut berperan.
Karsinoma kolorektal adalah suatu kanker dengan penyebab-penyebab yang dapat
dimodifikasi, dan sebagian besar kasusnya secara teori dapat dicegah. Bukti risiko
lingkungan diperoleh melalui studi para migran dan keturunannya. Di antara individu
yang bermigrasi dari daerah risiko rendah ke risiko tinggi, angka insidens karsinoma
kolorektal cenderung meningkat menyerupai populasi di area tersebut. Sebagai contoh,
diantara keturunan imigran Eropa Selatan yang berpindah ke Australia dan migran
Jepang yang berpindah ke Hawaii, risiko karsinoma kolorektal meningkat
dibandingkan populasi di negara asalnya. Insidens karsinoma kolorektal pada
keturunan migran Jepang di Amerika Serikat melebihi insiden pada populasi kulit putih
di tempat tersebut, dan lebih tinggi 3-4 kali dibandingkan populasi orang Jepang
dinegaranya (Khosama, 2015). Selain faktor migrasi, terdapat beberapa faktor geografi
yang mempengaruhi perbedaan insidens karsinoma kolorektal, salah satunya adalah
insidens karsinoma kolorektal konsisten lebih tinggi pada penduduk perkotaan. Orang
yang tinggal di area perkotaan memiliki prediktor risiko yang lebih kuat dibandingkan
orang yang lahir di area perkotaan (Khosama, 2015).

17
II.2.6.7 Patofisiologi Carcinoma Colorectum
Karsinoma kolorektal timbul melalui interaksi yang kompleks antara faktor
genetik dan faktor lingkungan. Karsinoma kolorektal yang sporadik muncul setelah
melewati rentang masa yang lebih panjang sebagai akibat faktor lingkungan yang
menimbulkan berbagai perubahan genetik yang berkembang menjadi kanker. Kedua
jenis karsinoma kolorektal (herediter dan sporadik) tidak muncul secara mendadak
melainkan melalui proses yang diidentifikasikan pada mukosa kolon (seperti pada
displasia adenoma). (Brunicardi FC, 2019).
Karsinoma kolorektal terjadi sebagai akibat dari kerusakan genetik pada lokus
yang mengontrol pertumbuhan sel. Perubahan dari kolonosit normal menjadi jaringan
adenomatosa dan akhirnya karsinoma kolorektal menimbulkan sejumlah mutasi yang
mempercepat pertumbuhan sel. Awal dari proses terjadinya kanker kolon yang
melibatkan mutasi somatik terjadi pada gen Adenomatous Polyposis Coli (APC). Gen
APC mengatur kematian sel dan mutasi pada gen ini menyebabkan pengobatan
proliferasi yeng selanjutnya berkembang menjadi adenoma. Mutasi pada onkogen K-
RAS yang biasnya terjadi pada adenoma kolon yang berukuran besar akan
menyebabkan gangguan pertumbuhan sel yang tidak normal. Transisi dari adenoma
menjadi karsinoma merupakan akibat dari mutasi gen supresor tumor p53. Dalam
keadaan normal protein dari gen p53 akan menghambat proliferasi sel yang mengalami
kerusakan DNA, mutasi gen p53 menyebabkan sel dengan kerusakan DNA tetap dapat
melakukan replikasi yang menghasilkan sel-sel dengan kerusakan DNA yang
lebihparah. Replikasi sel-sel dengan kehilangan sejumlah segmen pada kromosom
yang berisi beberapa alele(misal lossof heterizygosity), hal ini dapat menyebabkan
kehilangan gen supresor tumor yang lain seperti DCC (Deleted in Colon Cancer) yang
merupakan transformasi akhir menuju keganasan. (Brunicardi FC, 2019).

18
II.2.6.8 Manifestasi Klinis Carcinoma Colorectal
Tanda dan gejala dari kanker kolon bervariasi, tidak spesifik dan sering kali
tidak didapatkan gejala dan tanda dini dari kanker kolorektal. Pada stadium awal yakni
stadium 0 gejala yang dihasilkan seperti penyakit lambung biasa seperti mual, muntah,
diare dan sembelit. Pada stadium 1 gejala yang muncul hampir sama dengan stadium 0
namun yang berbeda adalah penderita memiliki berat badan yang menurun secara
drastis. Pada stadium 2 penderita akan merasakan sembelit, diare, mual dan muntah
secara berkepanjangan, jika diraba di kolon akan terasa ada benjolan dan tinja akan
bercampur dengan darah. Pada stadium 3 gejala hampir sama dengan stadium 2
ditambah penderita merasakan perut terasa kembung dan nyeri di bagian perut bawah.
Pada stadium 4 gejala semakin berat, feses berwarna hitam, darah keluar bersama tinja,
perut bagian bawah terasa nyeri dan perut terasa penuh. Keluhan utama pasien dengan
kanker kolorektal juga berhubungan dengan besar dan lokasi dari tumor dan ada
tidaknya metastasis. Gejala muncul pada kanker kolorektal yang terjadi sudah lama dan
berprognosis buruk. Umumnya gejala pertama timbul karena penyulit yaitu gangguan
faal usus, obstruksi, perdarahan atau akibat penyebaran (Sjamsuhidajat & Jong, 2011).
Kebanyakan kasus kanker kolon didiagnosis pada usia sekitar 50 tahun dan
umumnya sudah memasuki stadium lanjut sehingga prognosis juga buruk. Keluhan
yang paling sering dirasakan pasien adalah perubahan polabuang air besar, perdarahan
per anus (hematochezia dan konstipasi). Kanker ini umumnya berjalan lamban,
keluhan dan tanda-tanda fisik timbul sebagaia bagian dari komplikasi seperti obstruksi.
Perdarahan invasi lokal kaheksia. Obstruksi kolon biasanya terjadi di kolon
transversum. Kolon desendens dan kolon sigmoid karena ukuran lumennya lebih
sempit daripada kolon yang proksimal. Obstruksi parsial awalnya ditandai dengan
nyeri abdomen, namun bila obstruksi total terjadi akan menimbulkan nausea, muntah,
distensi dan obstipasi. Kanker kolon dapat berdarah sebagai bagian dari tumor yang
rapuh dan mengalami ulserasi. Meskipun perdarahan umumnya tersamar namun
hematochesia timbul pada sebagian kasus. Tumor yang terletak lebih distal umumnya
disertai hematoseczhia atau darah tumor dalam feses, tapi tumor yang proksimal sering
disertai dengan anemia defisiensi besi. Invasi lokal dari tumor menimbulkan tenesmus,

19
hematuria, infeksi saluran kemih berulang, dan obstruksi uretra. Abdomen akut dapat
terjadi bilamana tumor tersebut menimbulkan perforasi. Kadang timbul fistula antara
kolon dengan lambung atau usus halus. Asites maligna dapat terjadi akibat invasi tumor
ke lapisan serosa dan sebaran ke peritoneal. Metastasis jauh ke hati dapat menimbulkan
nyeri perut, ikhterus dan hipertensi portal (Abdullah, 2006). Gejala klinis karsinoma
kolorektal pada lokasi tumor di kolon kiri berbeda dengan kanan. Tumor di kolon kiri
sering bersifat skirotik sehingga lebih banyak menimbulkan stenosis dan obstruksi
karena feses sudah menjadi padat. Tumor pada kolon kiri dan rektum menyebabkan
perubahan pola defekasi seperti konstipasi atau defekasi dengan tenesmi, semakin
distal letak tumor feses semakin menipis atau seperti kotoran kambing atau lebih cair
disertai darah atau lendir. Pada kanker kolon kanan jarang terjadi stenosis karena feses
masih cair. Gejala umumnya adalah dispepsia, kelemahan umum penurunan berat
badan dan anemia. Pada kanker di kolon kanan didapatkan masa di perut kanan bawah
(Sjamsuhidajat & Jong, 2011).
Kanker disekum biasanya tanpa keluhan untuk waktu yang lama. Mungkin ada
keluhan rasa tidak enak diperut kanan bawah untuk waktu yang lama. Terdapat massa
diperut kanan bawah. Kanker di kolon asendens biasanya mempuyai keluhan, misalnya
mengeluh rasa nyeri. Mula-mula timbul sindroma dispepsi (gangguan pencernaan),
rasa tidak enak pada perut kanan atas, yang kemudian disertai rasa penuh di perut,
anoreksia, nausea. Kadang-kadang badan menjadi lemas. Berat badan mulai menurun
dan semakin anemis yang mungkin karena adanya perdarahan. Darah biasanya
bercampur dengan isi kolon. Kanker dikolon transversum jarang menimbulkan
keluhan, demikian pula fungsi kolon tidak terganggu, walaupun adanya melena yang
periodik. Jika ada keluhan biasanya telah mengalami metastase, misalnya metastase ke
paru-paru dan hepar. Kanker di kolon desendens Keluhan nyeri di perut sering
mendahului. Selain itu, ada perubahan kebiasaan defekasi, dengan konstipasi atau diare
atau keduanya. Biasanya feses disertai darah. Kanker di kolon sigmoid gejala-gejala
yang sering yaitu perubahan kebiasaan defekasi, dengan konstipasi atau diare atau
keduanya, dimana bentuk feses berlendir dan berdarah. Rasa nyeri timbul, sering
dengan kolik terutama di abdomen kiri bawah. Sering terjadi obstruksi (penyumbatan).

20
Kanker di rektum sering terjadi gangguan defekasi, misalnya konstipasi atau diare.
Sering terjadi perdarahan yang segar dan bercampur dengan lendir. Berat badan juga
menurun. Perlu diketahui bahwa rasa nyeri tidak biasa pada kanker rektum. Kadang-
kadang timbul tenesmi (keinginan defekasi disertai rasa sakit) dan bahkan sering
merupakan gejala utama (Devita, dkk, 2015).

Sumber: Smeltzer, dkk 2010


Gambar 9 Tanda dan Gejala Carcinoma Colorectum

II.2.6.9 Deteksi Dini Carcinoma Colorectum


Menurut Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Kanker Kolorektal (2018),
tujuan skrining kanker kolorektal adalah deteksi dini, membuang lesi pre-kanker dan
mendeteksi penyakit pada stadium dini sehingga dapat dilakukan terapi kuratif.
Indikasi pemeriksaan dini atau skrining kanker kolorektal adalah individu dengan
risiko sedang dan risiko tinggi, yaitu sebagai berikut:
a. Resiko Sedang
1) Individu berusia 50 tahun atau lebih.
2) Individu yang tidak mempunyai riwayat kanker kolorektal atau
inflammatory bowel disease.
3) Individu tanpa riwayat keluarga kanker kolorektal.

21
4) Individu yang terdiagnosis adenoma atau kanker kolorektal usia >60
tahun.

b. Resiko Tinggi
1) Individu dengan riwayat polip adenomatosa.
2) Individu dengan riwayat reseksi kuratif kanker kolorektal.
3) Individu dengan riwayat keluarga tingkat pertama kanker kolorektal
atau adenoma kolorektal (rekomendasi berbeda berdasarkan umur
keluarga saat diagnosis).
4) Individu dengan riwayat inflammatory bowel disease yang lama.
5) Individu dengan diagnosis atau kecurigaan sindrom hereditary non-
polyposis.
6) kolorectal cancer (HNPCC) atau sindrom Lynch atau familial
adenomatous.
7) polyposis (FAP).

Menurut Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Kanker Kolorektal (2018),


pilihan pemeriksaan skrining ditentukan berdasarkan risiko individual, pilihan
individual, dan akses. Pada orang dewasa dengan risiko sedang, skrining harus dimulai
pada individu berusia 50 tahun dengan pilihan berikut:
a. Colokdubur
b. FOBT atau FIT setiap 1 tahun 30
c. Sigmoidoskopi fleksibel setiap 5 tahun
d. Kolonoskopi setiap 10 tahun
e. Barium enema dengan kontras ganda setiap 5 tahun
f. CT kolono grafi setiap 5 tahun

22
II.2.6.9 Diagnosis Carcinoma Colorectum
Menurut Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Kanker Kolorektal (2018),
berikut ini adalah gejala dan tanda yang menunjukkan nilai prediksi tinggi akan adanya
karsinoma kolorektal:
a. Keluhan utama dan pemeriksaan klinis
1) Perdarahan per-anum disertai peningkatan frekuensi defekasi dan atau diare
selama minimal 6 minggu (semua umur)
2) Perdarahan per-anum tanpa gejala anal (diatas 60 tahun)
3) Peningkatan frekuensi defekasi atau diare selama minimal 6 minggu (di atas
60 tahun)
4) Massa teraba pada fossa iliaka dekstra (semua umur)
5) Massa intra-luminal di dalam rektum
6) Tanda-tanda obstruksi mekanik usus
7) Setiap pasien dengan anemia defisiensi besi (Hb <11gr% untuk laki-laki dan
<10gr% untuk perempuan pasca menopause)
8) Pemeriksaan abdomen
Pemeriksaan abdomen dapat dilakukan dengan palpasi abdomen (tumor kecil
atau tahap dini akan sulit teraba). Palpasi rektum atau vagina dilakukan pada pasien
dengan perdarahan ataupun dengan simptom lainnya. Palpasi abdomen dapat juga
untuk memeriksa adanya manifestasi klinis konstipasi, distensi dan nyeri tekan
abdominal. Pada tingkat pertumbuhan lanjut, palpasi dindingabdomen kadang-kadang
teraba massa didaerah kolon kanan dan kiri. Palpasi rektum merupakan sarana
diagnostik sederhana namun mempunyai nilai tinggi dalam diagnosis kanker di rektum
dimana sekitar 50% kanker ditemukan dengan ujung jari.

b. Pemeriksaan Colok Dubur


Pemeriksaan colok dubur dilakukan pada setiap pasien dengan gejala ano-
rektal. Pemeriksaan ini nertujuan untuk menetapkan keutuhan sfingter ani dan
menetapkan ukuran dan derajat fiksasi tumor pada rektum 1/3 tengah dari distal. Pada
pemeriksaan colok dubur ini yang harus dinilai adalah:

23
1) Keadaan tumor: Ekstensi lesi pada dinding rektum, letak bagian terendah
terhadap cincin anorektal, cervix uteri, bagian atas kelenjar prostat atau ujung
os coccyges. Pada wanita, perlu dilakukan palpasi melalui vagina untuk
mengetahui apakah mukosa di atas tumor licin, dapat digerakkan, ada
perlekatan, atau ulserasi, serta untuk menilai batas atas dari lesi anular.
2) Mobilitas tumor: Lesi awal biasanya masih dapat digerakkan pada lapisan otot
dinding rektum. Pada lesi denga ulserasi lebih dalam, terjadi perlekatan dan
fiksasi karena penetrasi/perlekatan ke struktur ekstrarektal, seperti prostat,
vesikaurinaria, dinding posterior vagina, atau dinding anterior uterus.
3) Ekstensi penjalaran yang diukur dari besar tumor dan karakteristik
pertumbuhan primer, mobilitas, dan fiksasi lesi.

Terdapat dua gambaran khas pada colok dubur, yaitu indurasi dan penonjolan pada
tepi yang dapat berupa:
1) Pertumbuhan awal yang teraba sebagai indurasi, seperti cakram kecil dengan
permukaan licin dan batas tegas.
2) Penonjolan yang rapuh, biasanya lunak, namun umumnya mempunyai
beberapa daerah indurasi dan ulserasi.
3) Bentuk khas dari ulkus maligna dengan tepi nodular yang menonjol dengan
kubah yang dalam (bentuk paling sering).
4) Bentuk karsinoma anular yang teraba sebagai pertumbuhan bentuk cincin.

c. Pemeriksaan Penunjang
1) Endoskopi
Kolonoskopi adalah pemeriksaan endoskopi yang sangat efektif dan sensitive
dalam mendiagnosis karsinoma kolon. Tingkat sensitivitas di dalam
mendiagnosis adenokarsinoma atau polip kolorektal adalah 95%
(Sjamsuhidajat, 2011). Selain itu, kolonoskopi merupakan standar utama dalam
mendiagnosis kanker kolon. Selain digunakan sebagai standar utama dalam

24
mendiagnosis kanker kolon, kolonoskopi juga bisa melakukan biopsy pada lesi
yang di curigai sebagai kanker kolon (Kuipers EJ, 2016).

Ca Colon Ca Rectum

Sumber: Saca, JAM, 2015


Gambar 10 Carcinoma Colorectum Pada Colonoscopy
2) Test Guaiac
Tes ini dilakukan pada feses untuk mendeteksi bekuan darah di dalam feses,
karena semua karsinoma kolorektal mengalami perdarahan intermitten.
3) Barium Enema Dengan Kontras
Barium enema sering digunakan untuk deteksi atau konfirmasi ada tidaknya
dan lokasi tumor. Bila medium kontras seperti barium dimasukkan kedalam
usus bagian bawah, kanker tampak sebagai massa mengisi lumen usus,
konstriksi atau gangguan pengisian. Dinding usus terfiksir oleh tumor dan pola
mukosa normal hilang. (Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Kanker
Kolorektal, 2018).
a. keuntungan pemeriksaan barium enema sebagai berikut:
• Sensitivitas untuk mendiagnosis carcinoma colorectum 65-95%
• Aman karena tingkat keberhasilan prosedur sangat tinggi
• Tidak memerlukan sedasi
• Telah tersedia dihampir seluruh rumah sakit.
b. Kelemahan pemeriksaan barium enema sebagai berikut:
• Lesi T1 sering tidak terdeteksi

25
• Rendahnya akurasi untuk mendiagnosis lesi di rekto-sigmoid
dengan divertikulosis dan di sekum
• Rendahnya akurasi untuk mendiagnosis lesi tipe datar
• Rendahnya sensitivitas (70-95%) untuk mendiagnosis polip <1cm
• Ada paparan radiasi

Sumber: Alkabani A, 2019


Gambar 11 Tampak Apple Core Appearance Pada Barium Enema

26
Sumber: Alkabani A, 2019
Gambar 11 Irreguler Filling Defect Dengan Obstruksi Kolon Asenden

4) CT Scan
Pemeriksaan CT kolonografi dipengaruhi oleh spesifikasi alat CT scan dan
software yang tersedia serta memerlukan protokol pemeriksaan khusus.
Modalitas CT yang dapat melakukan CT kolonografi dengan baik adalah
modalitas CT scan yang memiliki kemampuan rekonstruksi multiplana dan 3D
volume rendering. Kolonoskopi virtual juga memerlukan software khusus.
a. Keunggulan CT kolonografi adalah:
• Dapat digunakan sebagai skrining setiap 5 tahun sekali (sensitivitas tinggi
didalam mendiagnosis KKR)
• Toleransi pasien baik
• Dapat memberikan informasi keadaan di luar kolon, termasuk untuk
menentukan stadium melalui penilaian invasi lokal, metastasis hepar, dan
kelenjar getah bening
b. CT Colonography (pneumocolon CT) memiliki kekurangan sebagai berikut:
• Tidak dapat mendiagnosis polip <10mm
• Memerlukan radiasi yang lebih tinggi

27
• Tidak dapat menetapkan adanya metastasis pada kelenjar getah bening apabila
kelenjar getah bening tidak mengalami pembesaran
• Jumlah spesialis radiologi yang berkompeten masih terbatas
• Modalitas CT scan dengan perangkat lunak yang mumpuni masih terbatas

CT-Scan dapat mengevaluasi abdominal cavity pada kanker kolon pre operatif,
selain itu CT scan juga bisa digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya metastase ke
hepar, kelenjar adrenal, ovarium, kelenjar limfa dan organ lainnya di pelvis (Husband,
2010). Gambaran yang di dapatkan dari hasil CT scan pada pasien kanker kolon adalah
ditemukan adanya penebalan dinding usus segmental dan eksentrik yang panjang,
peningkatan lesi yang heterogen, dengan peningkatan yang buruk, dan terdapat area
hipoatenuasi yang luas, terdapat kalsifikasi intratumoral. CT scan sangat berguna untuk
mendeteksi rekurensi pada pasien dengan nilai CEA yang meningkat setelah
pembedahan kanker kolon. CT scan memegang peranan penting pada pasien dengan
kanker kolon karena sulitnya dalam menentukan stage dari lesi sebelum tindakan
operasi (Husband, 2010).

Sumber: Yee J, dkk, 2013


Gambar 12 Pudunculated Polyp Pada Colon Sigmoid

28
Sumber: Sali L, 2014
Gambar 13 CT Colonograpgy Pada Carcinoma Colorectum
Pada gambar 13, gambar A menunjukkan gambaran apple-core deformitas
dinding colon descenden pada comuted tomography colonography (CTC). Gambar B
menunjukkan keterlibatan dinding colon yang >50% membentuk luminal
circumference. Gambar C menunjukkan CTC potongan axial tampak lesi nodular yang
menginfiltrasi bagian tepi (margin).

Sumber: Zhour L, dkk 2017


Gambar 14 Pemeriksaan CT Deteksi Lymph Nodul Metastasis
Pasien Carcinoma Colorectal
Perhatikan gambar 14, tampak metastasis limfa nodul yang ditunjukkan pada panah
kuning.

29
5) MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Pemeriksaan MRI pada rektum dapat mendeteksi lesi kanker dini (T1-T2),
pemeriksaan ini lebih akurat dalam menentukan staging lokal T dan N (margin
sirkumferensial dan keterlibatan sakral pada kasus rekurens). Jarak terdekat
antara tumor dengan fascia mesorektal dapat memprediksi keterlibatan fascia
mesorektal:
a. Jika jarak tumor dengan fascia mesorektal <1mm terdapat keterlibatan
fascia mesorektal
b. Jika jarak tumor dengan fascia mesorektal 1-2mm ancaman keterlibatan
fascia mesorektal
c. Jika jarak tumor dengan fascia mesorektal >2mm tidak terdapat keterlibatan
fascia mesorektal

Sumber: Jaramillo, dkk 2015


Gambar 15 Pemeriksaan MRI Potongan Aksial dan Sagital Pada Ca Rectum

Perhatikan Gambar 15, Massa pada dinding anterior rektum dapat diamati
diantara jam 12 dan jam 4, tampak massa berukuran 7 cm dari tepi anal. Panjangnya
sekitar 40 mm dengan ketebalan 7 mm, dan meluas ke lapisan otot, menunjukkan
kanker dengan staging T2.

30
Sumber: Jaramillo, dkk 2015
Gambar 16 Pemeriksaan MRI Potongan Aksial Pada Ca Rectum

Perhatikan pada gambar 16 pada pemeriksaan MRI potongan aksial dengan


informasi T2, Tampak susunan normal fasia mesorektal pada kedua sisi panggul (panah
putih) dengan penebalan usus, dan ketidakteraturan dinding sisi kiri rektum akibat
kanker kolorektal tumor stadium T2 (panah hitam).

II.2.6.10 Staging Carcinoma Colorectum


Tujuan dari penentuan stadium penyakit ini adalah untuk mengetahui perluasan
dan lokasi tumor untuk menentukan terapi yang tepat dan menentukan prognosis.
Stadium penyakit pada kanker rektum hampir mirip dengan stadium pada kanker
kolon. Awalnya terdapat Duke's classification system yang menempatkan kanker
dalam 3 kategori stadium A, B dan C. Sistem ini kemudian dimodifikasi oleh Astler-
Coller menjadi 4 stadium (Stadium D). Klasifikasi karsinoma kolorektal berdasarkan
Duke’s adalah sebagai berikut:
a. Stadium 0 : stadium kanker insitu, pada stasium ini, sel yang abnormal masih
di temukan pada garis batas dalam dari kolon (Muskularis mukosa)
b. Stadium 1 : stadium dukes A : kanker terlah menyebar pada garis batas dalam
dari kolon hingga dinding dalam dari kolon dan belum menyebar keluar kolon.

31
c. Stadium 2 : stadium dukes B : kanker telah menyebar ke lapisan otot dari kolon
dingga lapisan ketiga dan lapisan lemak atau kulit tipis yang mengelilingi kolon
dan rektum. Namun belum mengenai kelenjar limfe.
d. Stadium 3 : stadium dukes C : kanker telah menyebar ke kelenjar limfe tapi
belum menyebar ke bagian lain daripada tubuh.
e. Stadium 4 : stadium dukes D : kanker telah menyebar ke organ lain dari tubuh
seperti hati dan paru-paru.

Menurut Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Kanker Kolorektal (2018),


pada perkembangan selanjutnya, The American Joint Committee on Cancer (AJCC)
memperkenalkan TNM staging system. TNM mengklasifikasi ekstensi tumorprimer
(T), kelenjar getah bening regional (N) dan metastasis jauh (M), sehingga staging akan
dinilai berdasarkan T, N, dan M.

Tabel 1 TNM Staging Carcinoma Colorectal


Tumor Stage (T)
Tx Cannot be assessed
T0 No evidance of cancer
Tis Carcinoma in situ
T1 Tumor invades submucosa
T2 Tumor invades muscularis propria
T3 Tumor invades through muscularis propria into subserosa or into
nonperitonealized pericolic or perirectal tissues
T4 Tumor directly invades other organs or tissues or perforates the visceral
peritoneum of specimen
Nodal Stage (N)
Nx Regional Lymph nodes cannot be assessed
N0 No lymph node metastasis
N1 Metastasis to one to three pericolic or perirectal lymph nodes

32
N2 Metastasis to four or more pericolic or perirectal lymph nodes
N3 Metastasis to any lymph node along a major named vascular trunk
Distant metastasis (M)
Mx Presence of distant metastasis cannot be assessed
M0 No distant metastasis
M1 Distant metastasis present
Sumber: Brunicardi FC, 2019
Pada tabel 2 merupakan tabel survival rates yang mengindikasikan persentase
orang-orang dengan tipe dan stadium tertentu dari karsinoma kolorektum dimana dapat
bertahan dalam beberapa periode waktu sejak penyakitnya terdiagnosis.

Tabel 2 Tabel Survival Rates Berdasarkan Staging


Stage TNM 5-Year Survival (%)
I T1-2, N0 93,2
IIa T3, N0 84,7
IIb T4, N0 72,2
IIIa T1-2, N1 83,4
IIIb T3, N1 64,1
IIIc T3, N2 or T4, N1-2 44,3
IV T any, N any, M1 8,1
Sumber: Brunicardi FC, 2019

II.2.6.11 Tatalaksana
a. Medikamentosa
1) Kemoterapi
Menurut Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Kanker Kolorektal (2018),
agen-agen kemoterapi seperti levamisole oral dan intravenous fluorouracil (5-FU), juga
digunakan post-operatif sebagai terapi adjuvan, neo adjuvan atau paliatif untuk kanker
kolorektal. Terapi adjuvan direkomendasikan untuk karsinoma kolorektal stadium III

33
dan stadium II yang memiliki risiko tinggi. Adapun risiko tingginya sebagai berikut:
jumlah KGB yang terambil <12 buah, tumor berdiferensiasi buruk, invasi vaskular atau
limfatik atau perineural, tumor dengan obstruksi atau perforasi, dan pT4. Bila
dikombinasi dengan terapi radiasi, kontrol pemberian kemoterapi lokal dan survive
bagi pasien dengan stadium II dan III dengan kanker rektum. Keunggulan bagi kanker
kolon adalah bersih, tetapi kemoterapi dapat digunakan untuk menolong mengurangi
penyebaran ke hepar dan mencegah kekambuhan. Leucoverin dapat juga diberikan
dengan 5-FU untuk meningkatkan efek anti tumor.
Selain itu, untuk memantau efek samping, sebelum terapi perlu dilakukan
pemeriksaan darah tepi lengkap, uji fungsi hati, uji fungsi ginjal (ureum dan kreatinin),
serta elektrolit darah. Agen-agen kemoterapi untuk karsinoma kolorektal adalah
sebagai berikut:
1) 5-Flourourasil (5-FU)
2) Leucovorin/Ca-folinat
3) Capecitabine
4) Oxaliplatin
5) Irinocetan.

b. Non-Medikamentosa
1) Terapi Bedah
Tatalaksana yang di berikan adalah reseksi operasi luas dari lesi. Tujuan terapi
karsinoma kolon ialah mengeluarkan tumor dan suplai limfovaskular. Apabila terdapat
metastase tidak terprediksi sebelumnya saat dilakukan laparotomi, maka tumor primer
harus direseksi bila dapat dilakukan dan aman. Selanjutnya dilakukan anaastomosis.
Pada tumor yang tidak dapat direseksi, maka dilakukan prosedur paliatif dan
membutuhkan proksimal stoma atau bypass. Setelah dilakukan tindakan reseksi colon,
dilakukan tindakan membuat kolostomi, bentuk kolostomi yang sering digunakan ialah
end kolostomi dibanding dengan loop kolostomi. Kolostomi dibuat pada sisi kiri kolon.
Defek pada dinding abdomen dibuat dan akhir dari kolon dimobilisasi melalui lubang
itu. Usus bagian distal yang dikeluarkan melalui dinding abdomen sebagai mucus

34
fistula atau di dalam abdomen sebagai hartmann’s pouch. Penutupan kolostomi
membutuhkan laparotomi. Stoma didiseksi dari dinding abdomen dan odentifikasi usus
distal, kemudian dilakukan anastomosis end to end. Komplikasi dari nekrosis dapat
terjadi pada masa awal post operasi dikarenakan terganggunya suplai darah. Retraksi
juga dapat terjadi, tapi kolostomi lebih sedikit beresiko (Sjamsuhidajat, 2011).

2) Terapi Radiologi Intervensi


Berbasiskan terapi kanker minimal invasif, terapi onkologi intervensi
diposisikan bersama dengan terapi medis, radiasi, dan terapi bedah yang merupakan
salah satu dari empat pilar perawatan untuk pasien kanker. Onkologi intervensi adalah
sub-spesialis dari spesialis radiologi intervensi dalam perawatan pasien dengan kanker.
Dokter onkologi intervensi memberikan pendekatan klinis untuk perawatan pasien
yang merupakan komponen kunci dari tim perawatan kanker multidisiplin. Ahli
onkologi intervensi menggunakan terapi yang masuk dalam dua kategori utama untuk
menangani tumor solid yaitu dengan ablasi dan embolisasi. Terapi ini dilakukan untuk
menangani tumor carcinoma colon yang metastasis ke jaringan-jaringan sekitar colon,
salah satunya liver (Sag AA, dkk, 2016).
a. Teknik ablasi didefinisikan sebagai pengiriman energi ke dalam tumor untuk
menghancurkan tumor itu, dengan mengendapkan energi ke dalam tumor
menggunakan elektroda perkutan, antena, atau probe dengan tujuan
menghancurkan tumor dan margin jaringan normal di sekitarnya.
b. Teknik embolisasi mengacu pada pengiriman endovaskular menggunakan
partikel / kemoterapi / radiofarmasi, atau bahkan agen biologis (misalnya, obat-
obatan virus mutan antineoplastik) dengan maksud mendistribusikan agen
biologis tersebut yang terfokus terhadap target tumor tersebut dengan tujuan
membuat kerusakan kolateral yang minimal terhadap parenkim normal
disekitar tumor, dan tujuan lainnya adalah membuat jaringan tumor menjadi
iskemik (Sag AA, dkk, 2016).

35
Selain itu terdapat metode dengan menggunakan Self Expandable Metallic
(SEM) yaitu sebuah tabung logam, atau stent, yang digunakan untuk menahan struktur
lumen saluran pencernaan agar memungkinkan lewatnya makanan, kimus, feses, atau
sekresi lain lainnya yang diperlukan untuk pencernaan (American Society for
Gastrointestinal Endoscopy, 2014).
Pemasangan stenting kolon hanya diindikasikan pada pasien baik dengan gejala
obstruktif maupun dengan adanya temuan radiologis atau endoskopi dengan dugaan
obstruksi carcinoma colorectal. Penggunaan stent dapat digunakan untuk tindakan
profilaksis pada pasien carcinoma colon tetapi tindakan ini memiliki risiko yang
berhubungan dengan penempatan SEM pada kolon. Satu-satunya kontraindikasi
absolut pada tindakan stenting kolon adalah jika ditemukan perforasi. Selain itu, kolon
stenting kurang berhasil pada pasien dengan karsinomatosis peritoneum dan tumor
yang dekat dengan anal-verge (American Society for Gastrointestinal Endoscopy,
2014).
Penempatan SEMS dapat dilakukan dengan menggunakan dua teknik yaitu
through-the-scope (TTS) atau over-the-guidewire (OTW). Sebagian besar SEMS
dimasukkan melalui endoskopi dengan menggunakan panduan fluoroskopi. Teknik
OTW dilakukan dengan menggunakan panduan fluoroskopi atau tanpa pemantauan
endoskopi. Penempatan stent radiologis murni dilakukan dengan cara memasukan
sistem pemasangan stent pada kawat pemandu yang kaku, dan tingkat keberhasilan
teknis dan klinisnya sebesar 83% - 100% dan 77% –98%. Endoskopi dilakukan
bersama dengan fluoroskopi dan dibandingkan dengan radiografi untuk menunjukkan
penempatan stent untuk melihat tingkat keberhasilan tindakan, meskipun dengan
kecenderungan menuju keberhasilan teknis yang lebih tinggi ketika teknik gabungan
digunakan. Indikasi klinis penempatan SEMS sebagai tindakan alternatif selain
tindakan operasi (American Society for Gastrointestinal Endoscopy, 2014).

36
Sumber: Ribeiro IB dkk, 2019
Gambar 17 Fluoroskopi Dalam Pemasangan Stent Colon
Pada gambar A menunjukkan penempatan kawat stent melalui striktur setelah
diberikan kontras, pada gambar B menunjukkan pemasangan stent melalui teknik
through the scope (TTS), pada gambar C penempatan stent menunjukkan striktur di
tengah stent, pada gambar D menunjukkan posisi stent terakhir.

Sumber: Ribeiro IB dkk, 2019


Gambar 18 Teknik pemasangan Through The Scope Technique (TTS)

37
Teknik pemasangan TTS diperlukan peneterasi endoskopi untuk
memperkenalkan stent melalui saluran cerna. Jika stenosis tidak dapat dilalui maka
dilakukan injeksi kontras untuk membantu menggambarkan stenosis dan untuk
mengkonfirmasi penempatan kawat pemandu melalui lokasi stenosis di bawah
fluoroskopi. Stent kemudian melewati kawat pemandu ke margin proksimal tumor dan
kemudian ditanamkan di bawah bimbingan fluoroskopi dan visualisasi endoskopi
bagian distal dari stent. Setiap ujung stent harus setidaknya 2 cm lebih panjang dari
luasnya stenosis (ukuran yang dianjurkan 4 cm), karena stent ini biasanya memendek
setelah pemasangan dan ekspansi (Ribeiro IB dkk, 2019).

Sumber: Ribeiro IB dkk, 2019


Gambar 19 Teknik Pemasangan Over-The Wire (OTW)

Pada teknik OTW, Setelah penempatan kawat pemandu, visualisasi endoskopik


masih lebih disukai, namun, tidak mutlak harus digunakan. Teknik ini dapat membantu
ketika ada angulasi akut atau faktor lain yang membatasi visualisasi endoskopi. Stent
dimasukkan di atas kawat pemandu dan ditanamkan di bawah panduan fluoroskopi.
Posisi stent yang benar menunjukkan pinggang di tengah stent yang melintasi tumor
dengan pelebaran ujung proksimal dan distal. Jika salah satu ujung stent tidak cukup
melebar untuk menghasilkan pinggang, kemungkinan ukuran stent terlalu pendek
untuk melewati stenosis (Ribeiro IB dkk, 2019).

38
Setelah penempatan stent di usus besar terutama jika dipasang pada kolon kiri
(descendent), harus digunakan obat pelunak feses untuk mencegah impaksi tinja di
dalam stent. Titrasi dosis pencahar mungkin diperlukan. Pasien seharusnya
diinstruksikan untuk menghindari makanan berserat tinggi, seperti buah-buahan,
sayuran, dan biji-bijian utuh. Pasien dengan stent pada kolon transversa atau kanan
dapat melanjutkan diet normal, karena tinja di lokasi ini biasanya cair (Ribeiro IB dkk,
2019).
TACI (Transchateter Arterial Chemoinfusion) adalah teknik terapi minimal
infasif di bidang radiologi intervensi yang dalam tindakannya dipandu secara lokal
dengan fluoroskopi, tindakan ini dilakukan untuk terapi pada pasien dengan tumor
primer dan metastasis. Tujuan terapi ini adalah untuk membunuh sel tumor dengan
infus kemoterapi melalui kateter arteri selektif melalui arteri yang memberikan suplai
darah ke tumor, dalam pemberian kemoterapi seperti oxaliplatin dan bevacizumab
dalam konsentrasi dan penyerapan yang maksimum pada organ target dengan harapan
untuk meningkatkan respons terapeutik dengan efek samping sistemik minimal
(Poedjomartono B, 2019).
Teknik TACI telah terbukti membunuh sel tumor lebih kuat daripada
kemoterapi konvensional teknik, dan menunjukkan peningkatan harapan hidup dalam
beberapa penelitian dengan teknik digital substraction angiography (DSA). Teknik
TACI dilakukan untuk mengevaluasi respons terapeutik dengan mengukur pewarnaan
dan vaskularisasi tumor, evaluasi dengan pencitraan biasanya dilakukan 4-6 minggu
setelah terapi, dan maksimal respons terapeutik biasanya terlihat 3-4 bulan setelah
terapi (Poedjomartono B, 2019).

39
Sumber: Poedjomartono, 2019
Gambar 20 Pada Arteriografi Menunjukkan Penurunan Pewarnaan dan
Vaskularisasi Tumor Colon (lingkaran kuning) dari TACI Pertama, TACI Kedua
dan Ketiga.

II.2.6.12 Prognosis
Penentuan prognosis didasarkan pada survival rates berdasarkan staging tumor
yang sudah dijelaskan pada tabel 2 . Banyak hal yang mempengaruhi prognosis
carcinoma colorectum, selain dari sisi penyakit dapat dilihat pula dari aspek klinis
pasien beberapa hal yang penting sehubungan dengan penyakinya adalah lokasi, jenis,
serta stadium carcinoma colorectum. Selain itu dari aspek klinis, beberapa hal yang
mempengaruhi prognosis antara lain usia, kesehatan umum, dan respon terhadap terapi
(Brunicardi, FC, 2019).

40
BAB III
KESIMPULAN

1. Karsinoma kolorektal merupakan kanker yang menyerang kolon atau rektum.


2. karsinoma kolorektal merupakan 10,2% dari seluruh kasus kanker baru pada
tahun 2018 dengan jumlah kasus sebanyak 1.849.518 kasus. Karsinoma
kolorektal juga menjadi penyebab dari 9,2% kematian akibat kanker, yaitu
sebanyak 880.792 kematian pada tahun2018.
3. Penyebab utama dari karsinoma kolorektal belum diketahui secara pasti
namun terdapat berbagai faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan tidak
dimodifikasi yang mendukung kejadian karsinoma kolorektal.
4. Gejala muncul pada kanker kolorektal yang terjadi sudah lama dan
berprognosis buruk. Umumnya gejala pertama timbul karena penyulit yaitu
gangguan faal usus, obstruksi, perdarahan atau akibat penyebaran.
5. Diagnosis karsinoma kolorektal dilihat dari anamnesis, pemeriksaan fisik
yaitu palpasi abdomen dan pemeriksaan colok dubur serta pemeriksaan
penunjang seperti foto polos dengan barium enema, kolonoskopi, test guaiac,
CT Colonography.
6. Pilihan dan rekomendasi terapi tergantung pada beberapa faktor, seperti
stadium kanker, histopatologi, kemungkinan efek samping, kondisi pasien dan
preferensi pasien. Terapi bedah merupakan modalitas utama untuk kanker
stadium dini dengan tujuan kuratif. Kemoterapi adalah pilihan pertama pada
kanker stadium lanjut dengan tujuan paliatif. Radioterapi merupakan salah
satu modalitas utama terapi kanker rektum.
7. Terdapat metode dengan menggunakan Self Expandable Metallic (SEM)
yaitu sebuah tabung logam, atau stent, yang digunakan untuk menahan
struktur lumen saluran pencernaan yang obstruksi agar memungkinkan
lewatnya makanan, kimus, feses, atau sekresi lain lainnya yang diperlukan
untuk pencernaan.

41
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. 2006, ‘Tumor Kolorektal, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi IV FKUI’ : Jakarta

American Cancer Society, 2014. ‘Key Statistics for Colorectal Cancer’


https://www.cancer.org/cancer/colon-rectal-cancer/about/ key-statistics.html.

American Society For Gastrointestinal Endoscopy, 2014, ‘Self Expandable Metal


Stents for Obstructing Colonic and Extracolonic Cancer: European Society of
Gastrointestinal Endoscopy (ESGE) Clinical Guideline
https://www.giejournal.org/article/S0016-5107(14)02197-X/pdf

Alkabbani A, Niknejad MT, 2019, ‘Apple Core Sign Colon’, Radiopaedia


https://radiopaedia.org/articles/apple-core-sign-colon-1?lang=us

Brunicardi, FC, Andersen DK, Billiar TR, 2019 ‘Schwartz Principles Of Surgery
Tenth Edition’, New York: Mc Graw Hill Education

Drake, RL, Vogl, AW, Mitchell, AW, 2017, ‘Gray Dasar-Dasar Anatomi’ Singapore:
Elsevier.

Guyton, A & Hall, J, 2007, ‘Buku Ajar Fisiologi Kedokteran’, EGC , Jakarta.

Husband, DJE, Rodney, HR. 2010. Imaging in Oncology, United Kingdom: Informa
Health Care. hlm. 180-215.

Jaramillo FA, Jimenez DU 2016, ‘MRI Staging of Colorectal Cancer’, Rev Col
Gastroenterol Journal, Vol. 31, No.3 Juli 2016

Khairina D, Suzanna E, Triana D, 2019, ‘Profile of Colorectal Cancer in 14 Provinces


in Indonesia’, Journal of Global Oncology

Komite Penanggulangan Kanker Nasional, 2014, ‘Pedoman Nasional Pelayanan


Kedokteran Kanker Kolorektal’. Jakarta.

Kuipers EJ, Grady WM, 2016, ‘Colorectal Cancer’, Nat Rev Primers Journal

Mescher, AL, 2012, ‘Histologi Dasar Junqueira edisi 12’, Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

42
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Kanker Kolorektal, 2018, ‘Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran Kanker Kolorektal’, Jakarta.
http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/KMK_No__HK_01_07ME
NKE406

Poedjomartono B, 2019, ‘The Role of Transchateter Arterial Chemoinfusion (TACI)


in Unresectable Adenocarcinoma Colorectal: A Case Report’, Journal of The
Medical Sciences, Vol. 51, No.3 2019
https://jurnal.ugm.ac.id/bik/article/download/30921/pdf

Price, SA & Wilson, LM 2006, Patofisiologi, EGC, Jakarta

Ribeiro IB, Moura DTH, Thompson CC, Moura EGH, 2019, Acute Abdominal
Obstruction: Colon Stent or Emergenc Surgery? An Evidence-based Review,
World Journal of Gastrointestinal Endoscopy, Vol. 11, No.3 Maret 2019
https://www.wjgnet.com/1948-5190/full/v11/i3/193.htm

Saca JAM, 2015, ‘Colorectal Cancer’, Notes on Cyber Gastroenterology


https://www.murrasaca.com/english/colon-cancer.html

Sag AA, Selcukbiricik F, Mandel NM, 2016 ‘ Evidence-based Medical Oncology and
Interventional Radiology Paradigms for Liver-Dominant Colorectal Cancer
Metastases’, World Journal Gastroenterology, Vol. 22, No. 11 Maret 2016
http://www.wjgnet.com/esps/helpdesk.aspx

Sali L, Falchini M, Taddei A, Mascalchi M, 2014,‘Role of Preoperative CT


Colonography in Patients With Colorectal Cancer’, World Journal
Gastroenterology, Vol. 20, No.14
https://www.wjgnet.com/1007-9327/full/v20/i14/3795.htm

Sjamsuhidajat & de Jong. 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC.

Snell, R, 2012, ‘Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran’, EGC, Jakarta

Yee, J, Weinstein S, Morgan, T, 2013, ‘Advances in CT Colonography for Colorectal


Cancer Screening and Diagnosis’, National Center for Biotechnology
Information US, Journal Cancer, Vol. 4, No. 3 Maret

Zhou L, Wang Z, Wu J, Cao F, 2017, ‘Correlation Analysis of MR/CT on Colorectal


Cancer Lymph Node Metastasis Characteristics and Prognosis’, European
Review for Medical and Pharmacological Sciences
https://www.europeanreview.org/wp/wp-content/uploads/1219-1225-MRCT-
predict-colorectal-cancer-lymph-node-metastasis-and-prognosis.pdf

43

Anda mungkin juga menyukai