Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH PERPAJAKAN

Disusun guna memenuhi tugas Perpajakan


Dosen Pengampu

Disusun oleh:
Lestari Sinta Dewi
190221100085
Akuntansi B

PROGAM STUDI AKUNTANSI


UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat-Nya
dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini sebagai salah satu tugas dari
dosen pada mata kuliah perpajakan.

Tercurah dari segala kemampuan yang ada, saya berusaha membuat makalah
ini dengan sebaik mungkin, namun demikian saya menyadari sepenuhnya bahwa
penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dikarenakan keterbatasan
pengetahuan saya, maka dengan sepenuh hati saya mohon maaf dan mengharapkan
saran dan kritik yang bersifat membangun untuk perbaikan selanjutnya.

Tujuan saya membuat makalah ini untuk menjelaskan tentang Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP), Pengusaha Kena Pajak (PKP), Pembukuan dan Pencatatan,
serta Penyetoran dan Pelaporan. Terakhir saya ucapkan terimakasih untuk semua
pihak yang sudah membantu dan memudahkan penyelesaian makalah ini, saya
berharap semoga makalah ini bisa bermanfaat.
DAFTAR ISI

Halaman Judul

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan penilusan

BAB II PEMBAHASAN

A. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)


B. Pengusaha Kena Pajak (PKP)
C. Pembukuan
D. Pencatatan
E. Penyetoran
F. Pelaporan

BAB III PENUTUP

Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN
BAB II

PEMBAHASAN

A. NOMOR POKOK WAJIB PAJAK (NPWP)


Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) akhir-akhir ini memang sedang
gencar diberitakan oleh pemerintah dalam hal ini Direktorat Jendera, baik
melalui media cetak ataupun elektronik. Dirjen Pajak selalu berusaha untuk
mensosialisasikan supaya semua rakyat Indonesia yang sudah mempunyai
penghasilan untuk mempunyai NPWP.
Menurut buku yang saya baca, ada beberapa pengertian dari NPWP yang
selebihnya sama, yaitu :
Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib
Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai
tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan
kewajiban perpajakannya. Dan Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan,
meliputi pembayaran pajak, pemotongan pajak dan pemungut pajak, yang
mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
NPWP adalah nomor identitas wajib pajak sebagai sarana administrasi
perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal Wajib Pajak dalam
melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

Fungsi dan Manfaat Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)

Menurut pengertian di atas dan beberapa buku yang saya baca, fungsi
NPWP adalah :

a. Sebagai tanda pengenal


b. Untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan
administrasi perpajakan.
c. Sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang digunakan sebagai tanda
pengenal diri atau identitas wajib pajak sehingga kepada setiap wajib pajak
hanya diberikan satu nomor wajib pajak.
d. Untuk memenuhi kewajiban-kewajiban perpajakan, misalnya dalam Surat
Setoran Pajak .
e. Untuk mendapatkan pelayanan dari instansi-instansi tertentu yang
mewajibkan mencantumkan NPWP dalam dokumen-dokumen yang
diwajibkan, misalnya, dokumen impor (PIB) dan dokumen ekspor (PEB),
pinjaman kredit bank dan lain-lain.
f. Untuk keperluan pelaporan SPT masa dan tahunan.

Manfaat Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)

Manfaat memiliki NPWP adalah kemudahan dan menjadi salah satu


syarat dalam berbagai proses administrasi seperti di bank dan pos. beberapa
dokumen penting memasukkan nomor npwp kedlam list syarat pembuatannya.
dan jika tidak memiliki npwp, anda bisa jadi tidak diperkenankan untuk membuat
dokumen-dokumen ini. untuk dokumen yang pembuatannya membutuhkan
npwp, ini dia diantaranya :

 Kredit di Bank
 Rekening Koran
 Pembuatan SIUP
 Administrasi Pajak Final
 Paspor

Manfaat NPWP tentu adalah kemudahan dalam pengurusan segala jenis


perpajakan. Ada berbagai keuntungan bagi Wajib Pajak yang memiliki NPWP,
segeralah mendaftar dan pengurusan pajak anda pun akan jauh lebih mudah.
Dibawah ini adalah penjelasan mengenai beberapa hal yang akan lebih
dimudahkan yaitu ketika:

 Mengurus Restitusi Pajak


 Mengajukan Pengurangan untuk pembayaran pajak
 Melaporkan jumlah pajak yang harus dibayarkan
 Menyetor pajak penghasilan

Pencantuman Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)

Dalam hal berhubungan dengan dokumen perpajakan, Wajib Pajak


diwajibkan mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimilikinya.

Pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)

Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan


objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak
dan kepada wajib pajak diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak. Pendaftaran NPWP
harus memenuhi persyaratan Subjektif. Dimana persyaratan subjektif adalah,
persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-
Undang Pajak penghasilan tahun 1984 dan perubahannya.
Selain persyaratan subjektif dalam Pendaftaran NPWP, harus juga
memenuhi syarat objektif. Syarat objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak
yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan
pemotongan pungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang pajak
penghasilan 1984 dan perubahannya.
Jadi dapat saya simpulkan bahwa setiap rakyat Indonesia yang sudah
mempunyai penghasilan, wajib hukumnya untuk mempunyai NPWP (Nomor
Pokok Wajib Kendaraan)
Tempat pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan pada kantor
Direktur Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal dan yang
meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan oleh wajib pajak atau perorangan
tertentu.
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan NPWP secara jabatan apabila wajib
pajak yang telah memenuhin persyaratan subjektif dan objektif secara sengaja
tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP. Kewajiban Perpajakan untuk
wajib pajak yang diterbitkan NPWP secara jabatan dimulai sejak saat wajib pajak
memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan Undang-Undang
perpajakan, paling lama 5 tahun sebelum diterbitkannya NPWP.

Tata Cara Pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)

Ada tiga saluran yang bisa dipilih untuk dapat memperoleh NPWP

1. Pendaftaran langsung
 Untuk panduan penggunaan Aplikasi e-Registration dapat dilihat pada
halaman situs Aplikasi e-Registration
 Wajib Pajak yang telah menyampaikan Formulir Pendaftaran Wajib
Pajak melalui apikasi e-Registration harus mengirimkan dokumen
yang disyaratkan di atas, ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak
 Pengiriman dokumen yang diisyaratkan dapat dilakukan dengan cara
menggunggah (upload) salinan digital (softcopy) dokumen melalui
aplikasi e-Registration atau mengirimkan dengan menggunakan surat
pengiriman dokumen yang telah ditandatangani.
 Dokumen-dokumen tersebut paling lambat 14 (empat belas) hari kerja
setelah penyampaian permohonan pendaftaran secara elektronik, maka
permohonan tersebut dianggap tidak diajukan. Jadi, pastikan dokumen
yang diisyaratkan telah diterima KPP sebelum jangka waktu 14 (empat
belas) hari kerja.
 Apabila dokumen yang diisyaratkan ini telah diterima secara lengkap,
KPP menerbitkan Bukti Penerimaan Surat secara Elektronik.
 Terhadap permohonan pendaftaran NPWP yang telah diberikan Bukti
Penerimaan Surat, KPP atau KP2KP akan menerbitkan Kartu NPWP
dan Surat Keterangan Terdaftar paling lambat 1 (satu) hari kerja
setelah Bukti Penerimaan surat diterbitkan
 Kartu NPWP dan Surat Keterangan Terdaftar disampaikan kepada
Wajib Pajak melalui pos tercatat.

 Jadi pastikan alamat yang dicantumkan pada Formulir Pendaftaran


Wajib Pajak adalah benar dan lengkap.

2. Secara tidak langsung

Sistem e-Regitration sendiri sudah diatur dalam PER-24/PJ/2009, yaitu :

a. Sistem e-Registration adalah sistem pendaftaran Wajib Pajak dan/atau


pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dan perubahan data Wajib Pajak dan/atau
Pengusaha Kena Pajak melalui internet yang terhubung langsung secara
online dengan Direktorat Jenderal Pajak.
b. Surat Keterangan Terdaftar Sementara (SKTS) adalah surat keterangan yang
dicetak oleh Wajib Pajak melalui Sistem e-Registration yang menyatakan
bahwa Wajib Pajak telah terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak tertentu yang
berisikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan identitas lainnya serta
kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang bersifat sementara.
c. Surat Keterangan Terdaftar (SKT) adalah surat keterangan yang diterbitkan
oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai pemberitahuan bahwa Wajib Pajak
terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak tertentu yang berisikan antara lain
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
d. Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (SPPKP) adalah surat yang
diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak yang berisikan identitas kewajiban
perpajakan Pengusaha Kena Pajak (PKP).
e. Account adalah sarana bagi Wajib Pajak untuk dapat mengakses Sistem e-
Registration.
f. Username adalah identitas Wajib Pajak yang unik berupa huruf atau angka
atau gabungan keduanya untuk mengakses account Wajib Pajak pada Sistem
e-Registration.
g. Password adalah kata kunci yang hanya diketahui oleh Wajib Pajak untuk
memperoleh otoritas atas account yang diakses yang sekurang-kurangnya
terdiri atas 6 (enam) digit berupa huruf atau angka atau gabungan keduanya.
h. Login adalah proses untuk mengakses Sistem e-Registration dengan
menggunakan username dan password.
i. Logout adalah proses untuk keluar dari Sistem e-Registration dengan cara
yang telah ditentukan sehingga data pengakses tetap terjamin kerahasiaan dan
keamanannya.
j. E-mail address adalah alamat elektronik yang dimiliki oleh Wajib Pajak untuk
menerima informasi elektronik hasil proses yang berkaitan dengan Sistem e-
Registration.
k. Notifikasi adalah pemberitahuan mengenai status permohonan Wajib Pajak
dalam Sistem e- Registration.
l. Permohonan pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah
permohonan yang dibuat oleh Wajib Pajak dengan cara mengisi Formulir
Pendaftaran Wajib Pajak yang dibangkitkan oleh Sistem e-Registration yang
memiliki bentuk dan isi standar dan digunakan oleh Wajib Pajak dalam
melakukan pendaftaran melalui Sistem e-Registration.
m. Permohonan Pengukuhan Pengusaha kena Pajak (PKP) adalah permohonan
yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) dengan cara mengisi Formulir
Permohonan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang dibangkitkan
oleh Sistem e-Registration yang memiliki bentuk dan isi standar dan
digunakan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) dalam melakukan
pengukuhan melalui Sistem e- Registration.
n. Permohonan perubahan data adalah permohonan yang dibuat oleh Wajib
Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak (PKP) dengan cara mengisi
Formulir Permohonan Perubahan Data Wajib Pajak dan/atau Formulir
Permohonan Perubahan Data Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang
dibangkitkan oleh Sistem e- Registration yang memiliki bentuk dan isi
standar dan digunakan oleh Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak
( P K P ) d a l a m m e l a k u k a n perubahan data melalui Sistem e-
Registration.
Sanksi Tidak Mendaftarkan Diri NPWP

Jika seseorang tidat taat pajak, semisal sengaja untuk tidak


mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau
menyalahgunakannya dan menggunakannya tanpa hak NPWP, maka orang
tersebut akan mendapatkan sanksi pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan
dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah
pajak terutang yang tidak atau kurang bayar dan paling banyak 4 (empat) kali
jumlah pajak terutang yg tidak atau kurang bayar, pidana tersebut akan menjadi 2
(dua) kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi dalam jangka waktu
kurang dari 1 tahun. Karena hal ini sudah merugikan pendapatan Negara.

Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)

Penghapusan NPWP adalah tindakan menghapuskan NPWP dari


administrasi Kantor Pelayanan Pajak. Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak
dilakukan oleh Direktur Jendral Pajak apabila :

a. Diajukan permohonan penghapusan NPWP oleh wajib pajak dan/atau ahli


warisnya apabila wajib pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif
dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
b. Wajib pajak badan likuidasi (telah dilakukan pembubaran) karena
penghentian atau penggabungan usaha.
c. Wanita yang sebelumnya telah memiliki NPWP dan menikah tanpa membuat
perjanjian pemisahan harta dan penghasilan dalam hal suami dan wanita
tersebut telah terdaftar sebagai wajib pajak.
d. Wajib pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di
Indonesia.
e. Dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan NPWP
dari wajib pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau
objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Direktur Jendral Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan


keputusan atas permohonan penghapusan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak)
dalam jangka waktu 6 bulan untuk wajib pajak badan, maka dimulai sejak
tanggal permohonan diterima secara lengkap. Apabila jangka waktu sebagaimana
telah ditentukan lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu
keputusan, permohonan penghapusan NPWP pajak dianggap dikabulkan.

Format Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)

NPWP terdiri dari 15 digit, yaitu 9 (sembilan) digit pertama merupakan


Kode Wajib Pajak dan 6 (enam) digit berikutmya merupakan Kode Administrasi
Perpajakan.Formatnya adalah sebagai berikut: XX.XXX.XXX.X-XXX.XXX

B. PENGUSAHA KENA PAJAK (PKP)


Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang
dalam kegiatan usaha atau pekerjaannnya menghasilkan barang, mengimpor
barang,mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan , memanfaatkan
barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau
memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.
Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang
dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan
perubahannya.

Kewajiban Melaporkan Usahanya Sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP)

Sebagaimana telah dinyatakan dalam pembahasan kewajiban


mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP tersebut di atas, maka untuk
mewujudkan hukum pajak yang harus mengabdi kepada keadilan, termasuk
maxim pertama, asas equality dan equity, di mana negara tidak diperbolehkan
mengadakan diskriminasi, dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan (KUP) ditegaskan pula bahwa : Setiap Wajib Pajak
sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkanusahanya pada
kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal
atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk
dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Dengan demikian kepada setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang
dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
(PPn BM), wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi PKP, maka
negara melalui UUKUP telah berupaya mewujudkan hukum pajak yang harus
mengabdi kepada keadilan, termasuk asas equality dan equity, di mana negara
tidak diperbolehkan mengadakan diskriminasi, karena setiap Wajib Pajak sebagai
pengusaha diperlakukan sama tidak ada diskriminasi yaitu sama wajib
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP.

Fungsi Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP)


Fungsi pengukuhan PKP selain dipergunakan untuk mengetahui identitas
PKP yang sebenarnya juga berguna untuk melaksanakan hak dan kewajiban di
bidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah serta
untuk pengawasan administrasi perpajakan.

Tempat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP)


Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan sebagai PKP wajib melaporkan
usahanya untuk dilakukan sebagai PKP pada :
1. Kantor Direktorat Jenderal Pajak
2. Kantor Pelayanan Pajak selain Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP)

Penghapusan NPWP dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila:


a) WP badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha.
b) WP BUT menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia.
c) Dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan NPWP dari
WP yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dapat dilakukaN
apabila PKP pindah alamat ke wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak lain,
bubar, atau sudah tidak memenuhi persyaratan lagi sebagai PKP, PKP telah
dipusatkan tempat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai di tempat lain, dan
PKP menyalahgunakan pengukuhan PKP.
Surat keputusan mengenai Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan setelah
jangka waktu 6 (enam)bulan berakhir apabila Pencabutan Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak telah dianggap dikabulkan.

Sanksi Tidak Melaporkan PKP


Sanksi dalam hal ini sama dengan sanksi seseorang yang melalaikan
pembuatan NPWP, untuk seseorang yang sengaja tidak melaporkan usahanya
untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak atau menyalahgunakan dan
menggunakan tanpa hak Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak juga akan
mendapatkan sanksi berupa pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan
paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang bayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah
pajak terutang yg tidak atau kurang bayar, pidana tersebut akan menjadi 2 (dua)
kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi dalam jangka waktu kurang
dari 1 tahun. Karena hal ini sudah merugikan pendapatan Negara.
C. PEMBUKUAN DAN PENCATATAN
1. Pembukuan
Pasal 1 angka 29 UU KUP menegaskan pengertian pembukuan yaitu:
Proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan
data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan atau
jasa, barang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan
laporan laba rugi untuk periode tahun pajak tersebut.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat saya simpulkan, bahwa
pembukuan merupakan proses pencatatan secara teratur untuk mengumpulkan
data dan informasi tentang :
a. Keadaan harta
b. Kewajiban atau utang
c. Modal
d. Penghasilan dan biaya
e. Harga perolehan dan penyerahan barang / jasa yang
 Terutang pajak pertambahan nilai (PPN)
 Tidak terutang PPN
 Dikenakan PPN dengan tarif 0%
 Dikenakan pajak penjualan atas barang mewah
Pembukuan ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan
perhitungan laba rugi pada setiap akhir tahun pajak.
Pembukuan wajib diselenggarakan oleh:
a. Wajib pajak (WP) badan
b. WP Orang Pribadi yang melakukan kegiatan/ pekerjaan bebas (dengan
peredaran bruto di atas 1,8 miliar rupiah setahun)
Jadi apabila kedua subjek pajak tersebut tidak melakukan pembukuan
maka Berdasarkan UU no. 28 tahun 2007 pasal 39 ayat 1 tentang ketentuan
umum dan tata cara perpajakan mengatakan bahwa “Setiap orang yang
dengan sengaja tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di
Indonesia, tidak memperlihatkan atau meminjamkan buku,catatan atau
dokumen lain” maka sanksinya Pidana penjara paling singkat enam bulan dan
paling lama enam tahun dan denda paling sedikit dua kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang dibayar paling banyak empat kali jumlah
pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.

2. Pencatatan
Pencatatan yaitu pengumpulan data secara teratur tentang peredaran
bruto dan atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah
pajak yang terutang termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan atau
yang dikenakan pajak yang bersifat final.

Ketentuan Umum Pembukuan Dan Pencatatan


o Ketentuan Umum Pembukuan
Menurut Ketentuan Pokok Pembukuan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 28
tahun 2007, yang wajib menyelenggarakan pembukuan adalah:
 Wajib Pajak (WP) Badan
 Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atas
pekerjaan bebas, kecuali Wajib Pajak Orang Pribadi yang peredaran
brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp 4.800.000.000,00.
Sedangkan yang dikecualikan dari kewajiban pembukuan menurut pasal 28
ayat 2 UU KUP adalah:
 WP OP yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas yang
diperbolehkan meghitung penghasilan neto dengan menggunakan
norma perhitungan penghasilan neto.
 WP OP yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
o Ketentuan Umum Pencatatan
Adapun yang wajib menyelenggarakan pencatatan yaitu:
1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan atau usaha atau
pekerjaan bebas dan peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp
4.800.000.000,00 dapat menghitung penghasilan neto dengan
menggunakan norma penghitungan penghasilan neto, dengan syarat
memberitahukan ke Direktur Jenderal Pajak jangka waktu 3 bulan pertama
dari tahun pajak yang bersangkutan.
2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas.

Syarat-Syarat Penyelenggaraan Pembukuan Dan Pencatatan


1. Syarat Pembukuan
Adapun syarat-syarat untuk penyelenggaraan pembukuan adalah sebagai
berikut :
 Diselenggarakan dengan memeperhatikan itikad baik yang
mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya
 Diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka
arab satuan mata uang rupiah dan disusun dalam bahasa Indonesia atau
dalam bahasa asing yang diizinka oleh Menteri Keuangan
 Diselenggarakan dengan prinsip taat azas dengan stelsel akrual atau
stelsel kas
 Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain
rupiah, dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin
Menteri Keuangan
 Perubahan terhadap metode pembukuan dan atau tahun buku, harus
mendapat persetujuan dari Direktur Jendral Pajak
 Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harga,
kewajiban
 Modal, penghasilan dan biaya serta penjualan dan pembelian sehingga
dapat dihitung besarnya pajak yang terutang
 Dokumen-dokumen yang menjadi dasar pembukuan dan pencatatan
serta dokumen lain yang berhubungan dengan kegiatan atau usaha
pekerjaan bebas Wajib Pajak wajib disimpan selama 10 tahun.

2. Syarat Pencatatan
Syarat-syarat penyelenggaraan pencatatan adalah:
 Pencatatan harus diselenggarakan secara teratur dan mencerminkan
keadaan yang sebenarnya dengan menggunakan huruf latin, angka
Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia
 Pencatatan dalam suatu tahun harus diselenggarakan secara kronologis
 Catatan dan dokumen yang menjadi dasar pencatatan harus disimpan
di tempat tinggal Wajib Pajak atau tempat kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas dilakukan selama 10 (sepuluh) tahun
 Pencatatan harus dapat menggambarkan anatara lain
 Peredaran atau penerimaan bruto dan/atau jumlah penghasilan bruto
yang diterima dan/atau diperoleh
 Penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau penghasilan yang
pengenaan pajaknya bersifat final.

Tujuan Penyelenggaraan Pembukuan Dan Pencatatan


Tujuannya adalah untuk mempermudah :
 Pengisian SPT
 Penghitungan Penghasilan Kena Pajak
 Penghitungan PPN dan PPnBM
 Penyelenggaraan pembukuan juga untuk mengetahui posisi keuangan dan
hasil kegiatan usaha/pekerjaan bebas.
Pengecualian Pembukuan Dan Pencatatan
Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan
pembukuan dan melakukan pencatatan adalah Wajib Pajak Orang Pribadi
yang tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan.

Pembukuan Dalam Bahasa Asing Dan Mata Uang Selain Rupiah


Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain
Rupiah dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat persetujuan
Menteri Keuangan dalam rangka :
 Penanaman Modal Asing
 Kontrak Karya yang beroperasi berdasarkan kontrak dengan
Pemerintah Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan pertambangan selain
pertambangan minyak dan gas bumi
 Kontrak Kerja Sama yang beroperasi berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan pertambangan minyak dan gas bumi
 Bentuk Usaha Tetap sebagaimana diatur dalam Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda (P3B) terkait
 Wajib Pajak yang mendaftarkan emisi sahamnya baik sebagian
maupun seluruhnya di bursa efek luar negeri
 Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yang menerbitkan reksadana dalam
denomina satuan mata uang Dolar Amerika Serikat dan telah
memperoleh Surat Pemberitahuan Efektif Pernyataan Pendaftaran dan
Badan Pengawas Pasar ModalLembaga Keuangan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan pasar modal atau
 Wajib Pajak yang berafiliasi langsung dengan perusahaan induk luar
negeri yaitu perusahaan anak (subsidiary company) yang dimiliki
dan/atau dikuasai oleh perusahaan induk (parent company) di luar
negeri yang mempunyai hubungan istimewa.
Izin tertulis dari Menteri Keuangan untuk menggunakan bahasa Inggris dan
satuan mata uang Dolar Amerika Serikat dapat diperoleh Wajib Pajak dengan
mengajukan surat permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah, paling lambat
3 (tiga) bulan:
a) Sebelum tahun buku yang diselenggarakan dengan menggunakan
bahasa Inggris dan satuan mata uang Dolar Amerika Serikat tersebut
dimulai atau
b) Sejak tanggal pendirian bagi Wajib Pajak baru untuk Bagian Tahun
Pajak atau Tahun Pajak pertama.
Kepala Kantor Wilayah atas nama Menteri Keuangan memberikan keputusan
atas permohonan Wajib Pajak paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan
dari Wajib Pajak diterima secara lengkap. Apabila jangka waktu telah lewat
dan Kepala Kantor Wilayah belum memberikan keputusan maka permohonan
dianggap diterima dan Kepala Kantor Wilayah atas nama Menteri Keuangan
menerbitkan keputusan pemberian izin untuk menyelenggarakan pembukuan
dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dolar Amerika
Serikat. Bagi Wajib Pajak yang diizinkan untuk menyelenggarakan
pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dolar
Amerika Serikat, berlaku ketentuan konversi ke satuan mata uang Dolar
Amerika Serikat sebagai berikut:
1. Pada awal tahun buku
Pertama kali dilakukan dengan bertitik tolak dari Nearca akhir tahun buku
sebelumnya (dalam satuan mata uang Rupiah) yang dikonversikan ke
satuan mata uang Dolar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs :
a. Untuk harga perolehan harta berwujud dan/atau harta tidak
berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun
meenggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat perolehan
harta tersebut
b. Untuk akumulasi penyusutan dan/atau amortisasi harta
sebagaimana dimaksud pada huruf (a) menggunakan kurs yang
sebenarnya berlaku pada saat perolehan harta tersebut
c. Untuk harta ainnya dan kewajiban menggunakan kurs yang
sebenarnya berlaku pada akhir tahun buku sebelumnya,
berdasarkan sistem pembukuan yang dianut yang dilakukan secara
taat azas
d. Jika terjadi revaluasi aktiva tetap, di samping menggunakan nilai
historis, atas nilai selisih lebih dikonversi ke dalam satuan mata
uang Dolar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs yang
sebenarnya berlaku pada saaat dilakukannya revaluasi
e. Untuk laba ditahan atau sisa kerugian dalamsatuan mata uang
Rupiah dari tahun-tahun sebelumnya, dikonversi ke dalam satuan
mata uang Dolar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs yang
sebenarnya berlaku pada akhir tahun buku sebelumnya, yakni kurs
tengah Bank Indonesia, berdasarkan system pembukuan yang
dianut yang dilakukan secara taat azas
f. Untuk modal saham dan ekuitas lainnya menggunakan kurs yang
sebenarnya berlaku pada saat terjadinya transaksi
g. Dalam hal terdapat selisih laba atau rugi sebagai akibat konversi
dari satuan mata uang Rupiah ke satuan mata uang Dolar Amerika
Serikat sebagaimana dimaksud pada huruf (a) sampai dengan huruf
(e) maka selisih laba atau rugi tersebut dibebankan pada rekening
laba ditahan.
2. Dalam tahun berjalan
a. Untuk transaksi yang dilakukan dengan satuan mata uang Dolar
Amerika Serikat, pembukuannya dicatat sesuai dengan dokumen
transaksi yang bersangkutan
b. Untuk transaksi baik dalam negeri maupun luar negeri, yang
menggunakan satuan mata uang selain Dolar Amerika Serikat,
dikonversikan ke satuan mata uang Dolar Amerika Serikat dengan
menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat terjadinya
transaksi, yaitu sebagai berikut:
Apabila dari dokumen transaksi diketahui kurs yang berlaku,
maka kurs yang dipakai adalah kurs yng diketahui dari transaksi
tersebut
Apabila dari dokumen transaksi tidak diketahui kurs yang
berlaku, maka kurs yang dipakai adalah kurs tengah Bank Indonesia
yang berlaku, berdasarkan sistem pembukuan yang dianut yang
dilakukan secara taat azas.
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pencabutan atas
izin untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan
bahasa Inggris dan satuan mata uang Dolar Amerika Serikat dengan
syarat disampaikan secara tertulis kepada Direktur Jendral Pajak
paling lama 3 (tiga) bulan sebelum tahun buku berakhir dan
mengemukakan alasan pencabutan sesuai dengan kondisi sebenarnya.
Perubahan Tahun Buku Dan Metode Pembukuan
Pada dasarnya metode pembukuan yang dianut harus taat asas, yaitu
harus sama dengan tahun-tahun sebelumnya, misalnya dalam hal penggunaan
metode pengakuan penghasilan dan biaya (metode kas atau akrual), metode
penyusutan aktiva tetap, dan metode penilaian persediaan. Namun, perubahan
metode pembukuan masih dimungkinkan dengan syarat telah mendapat
persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak sebelum dimulainya tahun buku yang
bersangkutan dengan menyampaikan alasan yang logis dan dapat diterima serta
akibat yang mungkin timbul dari perubahan tersebut. Perubahan metode
pembukuan akan mengakibatkan perubahan dalam prinsip taat asas yang dapat
meliputi perubahan metode dari kas ke akrual atau sebaliknya atau perubahan
penggunaan metode pengakuan penghasilan atau pengakuan biaya itu sendiri,
misalnya dalam metode pengakuan biaya yang berkenaan dengan penyusunan
aktiva tetap dengan menggunakan metode penyusutan tertentu.

Tempat Penyimpanan Buku/Catatan/Dokumen


Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau
pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan
yang dikelola secara elektronik atau secara program online wajib disimpan
selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu tempat kegiatan atau tempat
tinggal Wajib Pajak Orang Pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak
Orang Badan. Perubahan tahun buku dan metode Pembukuan Perubahan
terhadap metode pembukuan dan atau tahun buku, harus mendapat persetujuan
dari Direktur Jendral Pajak.

Sanksi Pidana
Pasal 39 Undang-Undang KUP, yaitu barang siapa dengan sengaja:
1. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu
atau dipalsukan seolah-olah benar.
2. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan tidak
memperhatikan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen
lainny atau
3. Tidak menyimpan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan
data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program
aplikasi online di Indonesia.
Sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana
penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan
denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
bayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau
kurang bayar.

D. PEMBAYARAN DAN PELAPORAN PAJAK


Pembayaran dan pelaporan Pajak dapat dilakukan dengan menggunakan
fasilitas sisiem pembayaran online, dilaksanakan melalui Teller Bank
Persepsi/Devisa Persepsi online atau menggunakan fasilitas alat transaksi yang
disediakan oleh Bank Persepsi/ Devisa Persepsi online.

Cara pembayaran Melalui Teller Bank :


1. Wajib Pajak (WP) mendatangi teller Bank dengan membawa Surat
Setoran Pajak (SSP) yang telah diisi secara lengkap dan benar atau data
yang lengkap dan benar tentang
 Nomor Pokok Wajib Pajak.
 Kode Mata Anggaran Penerimaan (MAP) sesuai dengan jenis
pajak yang akan dibayar, sebagaimana diatur dalam Buku Petunjuk
Pengisian SSP.
 Kode Jenis Setoran (KJS) sesuai dengan jenis setoran pajak yang
akan dibayar, sebagaimana diatur dalam Buku Petunjuk Pengisian
SSP (pada kolom pertama tabel MAP yang bersangkutan).
 Nomor ketetapan sebagaimana tercantum dalam SKPKB,
SKPKBT, atau STP yang akan dibayar ( hanya diisi apabila
pembayaran dilakukan untuk melunasi SKPKB, SKPKBT, atau
STP).
 Masa Pajak, yang menunjukkan periode kewajiban pajak yang
akan dibayar, misalnya masa Agustus tahun 2002 diisi dengan 08-
2002. Apabila membayar PPh Pasal 29 tahunan, setelah kode jenis
setoran diisi dengan 200 maka bulan dalam masa pajak akan terisi
00 sehingga WP hanya tinggal mengisi empat digit tahun pajak.
 Alat Pembayaran senilai Pajak yang akan dibayarkan.
2. WP menyampaikan SSP yang telah diisi secara lengkap dan benar atau
Data yang lengkap dan benar serta alat pembayaran sebagaimana
dimaksud dalam angka 1 huruf a dan b diatas kepada Teller Bank
Persepsi/Devisa Persepsi Online.
3. WP menjawab kebenaran identitas WP tentang Nama WP dan Alamat WP.
4. WP menerima Kembali SSP yang telah disahkan dengan tanda tangan
petugas teller dan cap Bank serta diberi Nomor Transaksi Pembayaran
Pajak (NTPP) dan atau Nomor Transaksi Bank (NTB), dan atau SSP yang
dicetak oleh Bank yang telah diberi NTPP dan atau NTB dari Teller.
5. WP memeriksa kebenaran SSP yang diterima dari Teller.
6. WP melaporkan SSP ke KPP sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Cara Pembayaran Pajak Menggunakan Fasilitas Alat Transaksi Bank


(misalnya ATM dan Internet Banking)
1) WP mendatangi alat transaksi bank dengan membawa data yang lengkap
dan benar tentang:
 Nomor Pokok Wajib Pajak.
 Kode Mata Anggaran Penerimaan sesuai dengan jenis pajak
yang akan dibayar, sebagaimana diatur dalam Buku Petunjuk
Pengisian SSP (pada keterangan diatas setiap tabel).
 Kode Jenis Setoran sesuai dengan jenis setoran pajak yang
dibayar, sebagaimana diatur dalam Buku Petunjuk Pengisian
SSP (pada kolom pertama tabel MAP yang bersangkutan)
 Nomor ketetapan sebagaimana tercantum dalam SKPKB,
SKPKBT, atau STP yang akan dibayar (hanya diisi apabila
pembayaran digunakan untuk melunasi SKPKB, SKPKBT, atau
STP).
 Masa Pajak, yang menunjukkan periode kewajiban pajak yang
akan dibayar, misalnya masa Agustus tahun 2002 diisi dengan
08-2002. Apabila membayar PPh Pasal 29 tahunan, setelah kode
jenis setoran diisi dengan 200 maka bulan dalam masa pajak
akan terisi 00 sehingga WP hanya tinggal mengisi empat digit
tahun pajak.
2) WP membuka menu Pembayaran Pajak.
3) WP mengisi elemen dalam tampilan dengan data sebagaimana dimaksud
dalam angka 1 diatas secara tepat, lengkap dan benar.
4) WP meneliti Identitas WP yang terdiri dari nama dan Alamat WP yang
muncul pada tampilan. Apabila Identitas WP yang terdiri dari nama dan
Alamat WP pada tampilan tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya,
maka proses berikutnya harus dibatalkan dan kembali kepada menu
sebelumnya untuk mengulang pemasukan data yang diperlukan.
5) WP mengisi elemen data lainnya yang diperlukan dalam tampilan
berikutnya secara tepat.
6) WP mengambil SSP hasil keluaran fasilitas alat transaksi Bank.
7) WP memeriksa kebenaran SSP yang diperoleh.
8) WP melaporkan SSP ke KPP sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pembayaran Pajak Menggunakan Fasilitas Cash Management Service


(CMS).
Pembayaran melalui CMS dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara
Bank dan nasabah (Wajib Pajak) sepanjang sistem yang menangani jenis
pelayanan ini terhubung secara online dengan Kantor Pusat Direktorat
Jenderal Pajak.

Syarat-syarat dalam Pembayaran dan pelaporan Pajak


Tidaklah mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila
terlalu tinggi, masyarakat akan enggan membayar pajak. Namun bila terlalu
rendah, maka pembangunan tidak akan berjalan karena dana yang kurang.
Agar tidak menimbulkan berbagai masalah, maka pemungutan pajak harus
memenuhi persyaratan yaitu:
o Pemungutan pajak harus adil
Seperti halnya produk hukum pajak pun mempunyai tujuan untuk
menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak. Adil dalam perundang-
undangan maupun adil dalam pelaksanaannya. Contohnya:
 Dengan mengatur hak dan kewajiban para wajib pajak.
 Pajak diberlakukan bagi setiap warga negara yang memenuhi
syarat sebagai wajib pajak.
 Sanksi atas pelanggaran pajak diberlakukan secara umum sesuai
dengan berat ringannya pelanggaran.
o Pengaturan pajak harus berdasarkan UU
Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi: “Pajak dan
pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan Undang-
Undang”, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan UU
tentang pajak, yaitu:
1) Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara yang berdasarkan UU
tersebut harus dijamin kelancarannya.
2) Jaminan hukum bagi para wajib pajak untuk tidak diperlakukan secara
umum.
3) Jaminan hukum akan terjaganya kerasahiaan bagi para wajib pajak.
o Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian
Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak
mengganggu kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan,
maupun jasa. Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan
masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak,
terutama masyarakat kecil dan menengah.
o Pemungutan pajak harus efesien
Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak
harus diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang diterima lebih rendah
daripada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itu, sistem pemungutan
pajak harus sederhana dan mudah untuk dilaksanakan. Dengan demikian,
wajib pajak tidak akan mengalami kesulitan dalam pembayaran pajak baik
dari segi penghitungan maupun dari segi waktu.
o Sistem pemungutan pajak harus sederhana
Bagaimana pajak dipungut akan sangat menentukan keberhasilan
dalam pungutan pajak. Sistem yang sederhana akan memudahkan wajib pajak
dalam menghitung beban pajak yang harus dibiayai sehingga akan
memberikan dapat positif bagi para wajib pajak untuk meningkatkan
kesadaran dalam pembayaran pajak. Sebaliknya, jika sistem pemungutan
pajak rumit, orang akan semakin enggan membayar pajak. Contoh:
1. Bea materai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam tarif.
2. Tarif PPN yang beragam disederhanakan menjadi hanya satu tarif, yaitu 10%.
3. Pajak perseorangan untuk badan dan pajak pendapatan untuk perseorangan
disederhanakan menjadi pajak penghasilan (PPh) yang berlaku bagi badan
maupun perseorangan (pribadi)

Fungsi, Tujuan, dan Manfaat Pembayaran dan Pelaporan Pajak


A. FUNGSI
Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan
bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak
merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran
termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka pajak
mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
o Fungsi anggaran (budgetair)
Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara
dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya.Biaya ini dapat
diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk
pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan
lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari
tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran
rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai
kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini
terutama diharapkan dari sektor pajak.

o Fungsi mengatur (regulerend)


Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui
kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai
alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman
modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam
fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri,
pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.
o Fungsi stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan
kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasidapat
dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur
peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang
efektif dan efisien.
o Fungsi redistribusi pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk
membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai
pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada
akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.

B. MANFAAT
Sebagaimana halnya perekonomian dalam suatu rumah tangga atau
keluarga, perekonomian negara juga mengenal sumber-sumber penerimaan
dan pos-pos pengeluaran. Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara.
Tanpa pajak, sebagian besar kegiatan negara sulit untuk dapat dilaksanakan.
Penggunaan uang pajak meliputi mulai dari belanja pegawai sampai dengan
pembiayaan berbagai proyek pembangunan. Pembangunan sarana umum
seperti jalan-jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit/puskesmas, kantor polisi
dibiayai dengan menggunakan uang yang berasal dari pajak. Uang pajak juga
digunakan untuk pembiayaan dalam rangka memberikan rasa aman bagi
seluruh lapisan masyarakat. Setiap warga negara mulai saat dilahirkan sampai
dengan meninggal dunia, menikmati fasilitas atau pelayanan dari pemerintah
yang semuanya dibiayai dengan uang yang berasal dari pajak. Dengan
demikian jelas bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu negara menjadi
sangat dominan dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan
pembiayaan pembangunan. Secara singkat pajak dimanfaatkan untuk
mendanai:
Pembangunan fasilitas dan infrastruktur
Alokasi Dana Umum
Pemilihan Umum ( PEMILU)
Penegakan hukum
Subsidi pangan dan BBM
Pelayanan Kesehatan
Pendidikan
Pertahanan dan Keamanan
Kelestarian lingkungan hidup
Kelestarian budaya
Transportasi missal

Batas Waktu Pembayaran dan Pelaporan Pajak


Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010,
batas waktu penyetoran dan pelaporan pajak diatur sebagai berikut:
a. Penyetoran Pajak
PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong oleh Pemotong Pajak Penghasilan
harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir kecuali ditetapkan lain oleh Menteri
Keuangan.
b. PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak harus
disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah
Masa Pajak berakhir kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
c. PPh Pasal 15 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling
lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir.
d. PPh Pasal 15 yang harus dibayar sendiri harus disetor paling lama
tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
e. PPh Pasal 21 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling
lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir.
f. PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 yang dipotong oleh Pemotong PPh
harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir.
g. PPh Pasal 25 harus dibayar paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
h. PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor harus dilunasi
bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk dan dalam hal Bea
Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan
PPnBM atas impor harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen
pemberitahuan pabean impor.
i. PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor yang dipungut
oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, harus disetor dalam jangka
waktu 1 (satu) hari kerja setelah dilakukan pemungutan pajak.
j. PPh Pasal 22 yang dipungut oleh bendahara harus disetor pada hari
yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang
yang dibiayai dari belanja Negara atau belanja Daerah, dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak atas nama rekanan dan
ditandatangani oleh bendahara.
k. PPh Pasal 22 atas penyerahan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas
kepada penyalur/agen atau industri yang dipungut oleh Wajib Pajak
badan yang bergerak dalam bidang produksi bahan bakar minyak, gas,
dan pelumas, harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
l. PPh Pasal 22 yang pemungutannya dilakukan oleh Wajib Pajak badan
tertentu sebagai Pemungut Pajak harus disetor paling lama tanggal 10
(sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
m. PPN yang terutang atas kegiatan membangun sendiri harus disetor
oleh orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun
sendiri paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah
Masa Pajak berakhir.
PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak
berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean harus
disetor oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang
Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean, paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah
saat terutangnya pajak.
n. PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh
Bendahara Pengeluaran sebagai Pemungut PPN, harus disetor paling
lama tanggal 7 (tujuh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir
PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh
Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar sebagai Pemungut
PPN, harus disetor pada hari yang sama dengan pelaksanaan
pembayaran kepada Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah
melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara.
o. PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh
Pemungut PPN selain Bendahara Pemerintah yang ditunjuk, harus
disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah
Masa Pajak berakhir.
p. PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3b) Undang-Undang KUP yang
melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu Surat Pemberitahuan
Masa, harus dibayar paling lama pada akhir Masa Pajak terakhir.
q. Pembayaran masa selain PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan
kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3b)
Undang-Undang KUP yang melaporkan beberapa masa pajak dalam
satu Surat Pemberitahuan Masa, harus dibayar paling lama sesuai
dengan batas waktu untuk masing-masing jenis pajak.

Pelaporan Pajak

1) Wajib Pajak orang pribadi atau badan, baik yang melakukan


pembayaran pajak sendiri maupun yang ditunjuk sebagai Pemotong atau
Pemungut PPh, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), ayat (2), ayat
(3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (11), dan ayat (12) wajib
menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa paling lama 20 (dua puluh) hari
setelah Masa Pajak berakhir.

(1a) Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM
yang telah disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (13) dan ayat
(13a), serta Pasal 2A, dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa PPN
ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan, paling
lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

(1b) Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak wajib
melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang telah disetor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (13) dengan menggunakan lembar ketiga Surat
Setoran Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi tempat
bangunan tersebut, paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir.

(1c) Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak wajib
melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang telah disetor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (13a) dengan menggunakan lembar ketiga Surat
Setoran Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi tempat
tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan tersebut, paling lama akhir
bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak.

2) Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (9) wajib


melaporkan hasil pemungutannya secara mingguan paling lama pada hari
kerja terakhir minggu berikutnya.

3) Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (10) wajib


melaporkan hasil pemungutannya paling lama 14 (empat belas) hari setelah
Masa Pajak berakhir.

(3a) Pemungut PPN wajib melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang telah
disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (14) dan ayat (15) ke
Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemungut PPN terdaftar paling lama akhir
bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

4) Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 2 ayat (16) dan ayat (17) yang melaporkan beberapa Masa Pajak dalam
satu Surat Pemberitahuan Masa, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan
Masa paling lama 20 (dua puluh) hari setelah berakhirnya Masa Pajak
terakhir.

3.6. Sanksi yang diberikan jika Wajib Pajak belum Melakukan Pembayaran
dan Pelaporan Pajak

Pengetahuan tentang sanksi dalam perpajakan menjadi penting karena


pemerintah lndonesia memilih menerapkan self assessment system dalam
rangka pelaksanaan pemungutan pajak. Berdasarkan sistem ini, Wajib Pajak
diberikan kepercayaan untuk menghitung menyetor, dan melaporkan pajaknya
sendiri. Untuk dapat menjalankannya dengan baik, maka setiap Wajib Pajak
memerlukan pengetahuan pajak, baik dari segi peraturan maupun teknis
administrasinya. Agar pelaksanaannya dapat tertib dan sesuai dengan target
yang diharapkan, pemerintah telah menyiapkan rambu-rambu yang diatur
dalam UU Perpajakan yang berlaku.

Dari sudut pandang yuridis, pajak memang mengandung unsur


pemaksaan. Artinya, jika kewaiiban perpajakan tidak dilaksanakan, maka ada
konsekuensi hukum yang bisa terjadi. Konsekuensi hukum tersebut adalah
pengenaan sanksi-sanksi perpajakan.

Pada hakikatnya, pengenaan sanksi perpajakan diberlakukan untuk


menciptakan kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban
perpajakannya. Itulah sebabnya, penting bagi Wajib pajak memahami sanksi-
sanksi perpajakan sehingga mengetahui konsekuensi hukum dari apa yang
dilakukan ataupun tidak dilakukan. Untuk dapat memberikan gambaran
mengenai hal-hal apa saja yang perlu dihindari agar tidak dikenai sanksi
perpajakan, di bawah ini akan diuraikan tentang jenis-jenis sanksi perpajakan
dan perihal pengenaannya. Ada 2 macam Sanksi perpajakan, yaitu:

1. Sanksi Administrasi
Terdiri dari:

Sanksi Administrasi Berupa Denda


Sanksi denda adalah jenis sanksi yang paling banyak ditemukan dalam
UU perpajakan. Terkait besarannya denda dapat ditetapkan sebesar jumlah
tertentu, persentase dari jumlah tertentu, atau suatu angka perkalian dari
jumlah tertentu.

Pada sejumlah pelanggaran, sanksi denda ini akan ditambah dengan


sanksi pidana. Pelanggaran yang juga dikenai sanksi pidana ini adalah
pelanggaran yang sifatnya alpa atau disengaja. Untuk mengetahui lebih laniut,
dalam tabel 1 dimuat hal-hal yang dapat menyebabkan sanksi administrasi
berupa denda, bentuk pengenaan denda, dan besarnya denda.

Sanksi Administrasi Berupa Bunga


Sanksi administrasi berupa bunga dikenakan atas pelanggaran yang
menyebabkan utang pajak menjadi lebih besar. Jumlah bunga dihitung
berdasarkan persentase tertentu dari suatu jumlah, mulai dari saat bunga itu
menjadi hak/kewajiban sampai dengan saat diterima dibayarkan.

Terdapat beberapa perbedaan dalam menghitung bunga utang biasa


dengan bunga utang paiak. Penghitungan bunga utang pada umumnya
menerapkan bunga majemuk (bunga berbunga). Sementara, sanksi bunga
dalam ketentuan pajak tidak dihitung berdasarkan bunga majemuk.

Besarnya bunga akan dihitung secara tetap dari pokok pajak yang
tidak/kurang dibayar. Tetapi, dalam hal Waiib Paiak hanya membayar
sebagian atau tidak membayar sanksi bunga yang terdapat dalam surat
ketetapan pajak yang telah diterbitkan, maka sanksi bunga tersebut dapat
ditagih kembali dengan disertai bunga lagi.

Perbedaan lainnya dengan bunga utang pada umumnya adalah sanksi


bunga dalam ketentuan perpajakan pada dasarnya dihitung 1 (satu) bulan
penuh. Dengan kata lain, bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan penuh atau
tidak dihitung secara harian. Untuk mengetahui lebih Jelas mengenai hal-hal
yang dapat menyebabkan sanksi bunga dan penghitungan besarnya bunga
dalam pajak.

Sanksi Administrasi Berupa Kenaikan


Jika melihat bentuknya, bisa jadi sanksi administrasi berupa kenaikan
adalah sanksi yang paling ditakuti oleh wajib Pajak. Hal ini karena bila
dikenakan sanksi tersebut, jumlah pajak yang harus dibayar bisa menjadi
berlipat ganda. Sanksi berupa kenaikan pada dasarnya dihitung dengan angka
persentase tertentu dari jumlah pajak yang tidak kurang dibayar.

Jika dilihat dari penyebabnya, sanksi kenaikan biasanya dikenakan


karena Wajib Pajak tidak memberikan informasi-informasi yang dibutuhkan
dalam menghitung jumlah pajak terutang. Untuk lebih jelasnya, hal-hal yang
dapat menyebabkan sanksi berupa kenaikan dan besarnya kenaikan dapat
dilihat dalam tabel 3.
2. Sanksi Pidana
Kita sering mendengar isilah sanksi pidana dalam peradilan umum.
Dalam perpajakan pun dikenai adanya sanksi pidana. UU KUP menyatakan
bahwa pada dasarnya, pengenaan sanksi pidana merupakan upaya terakhir
untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.

Namun, pemerintah masih memberikan keringanan dalam


pemberlakuan sanksi pidana dalam pajak, yaitu bagi Wajib Pajak yang baru
pertama kali melanggar ketentuan Pasal 38 UU KUB tidak dikenai sanksi
pidana, tetapi dikenai sanksi administrasi. Pelanggaran Pasal 38 UU KUP
adalah tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak
benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak
benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.

Hukum pidana diterapkan karena adanya tindak pelanggaran dan


tindak kejahatan. Sehubungan dengan itu, di bidang perpajakan, tindak
pelanggaran disebut dengan kealpaan, yaitu tidak sengaja, lalai, tidak hati-
hati, atau kurang mengindahkan kewajiban pajak sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Sedangkan tindak kejahatan
adalah tindakan dengan sengaja tidak mengindahkan kewajiban pajak
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.

Meski dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tindak


pidana di bidang perpajakan tidak dapat dituntut setelah jangka waktu 10
(sepuluh) tahun terlampaui.Jangka waktu ini dihitung sejak saat terutangnya
pajak, berakhirnya masa pajak, berakhirnya bagian tahun pajak, atau
berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan. Penetapan jangka waktu 10
(sepuluh) tahun ini disesuaikan dengan daluarsa penyimpanan dokumen-
dokumen perpajakan yang dijadikan dasar penghitungan jumlah pajak yang
terutang, yaitu selama 10 (sepuluh) tahun.
Dalam UU Perpajakan Indonesia, ketentuan mengenai sanksi pidana
pada intinya diatur dalam Bab VIII UU KUP sebagai hukum pajak format.
Namun, dalam UU Perpajakan lainnya, dapat juga diatur sanksi pidana.
Sanksi pidana biasanya disertai dengan sanksi administrasi berupa denda,
walaupun tidak selalu ada.

3.7. Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak

Pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi) terjadi apabila


jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada
jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak
seharusnya terutang, dengan catatan Wajib Pajak tidak punya hutang pajak
lain.

A. Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak


Dalam hal jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar dari
pada jumlah pajak yang terutang:
a) Wajib Pajak (WP) dapat mengajukan permohonan restitusi ke Direktur
Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat WP terdaftar
atau berdomisili.

b) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas


permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) dalam hal:

§ Pajak Penghasilan, apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah
pajak yang terutang.
§ Pajak Pertambahan Nilai, apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada
jumlah pajak yang terutang. Jika terdapat pajak yang dipungut oleh Pemungut
Pajak Pertambahan Nilai, jumlah pajak yang terutang dihitung dengan cara
jumlah Pajak Keluaran dikurangi dengan pajak yang dipungut oleh Pemungut
Pajak Pertambahan Nilai tersebut.
§ Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, apabila jumlah pajak yang dibayar
lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.

Anda mungkin juga menyukai