Anda di halaman 1dari 7

KLAIM PADA KONTRAK KERJA KONSTRUKSI DI INDONESIA DAN CARA PENYELESAIANNYA

Nengah Tela dan Nursyam Saleh


Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta

ABSTRAK: didalam pelaksanaan pembinaan sering terjadi persoalan, yang mengakibatkan adanya para pihak yang
dirugikan. Kerugian-kerugian yang ditimbulkan boleh berupa uang, masa maupun kualiti daripada hasil pekerjaan ataupun
produk yang dihasilkan. Kecendrungan ini terus terjadi di Indonesia, yang sering tidak tahu apa penyebabnya. Berdasarkan
ketentuan pembangunan, proses pembangunan melalui proses mulai dari studi, planing, sampai kepada pembangunan di
site. Jika dilihat proses pembangunan pada masing -masing tahapan yang dilakulan sudah ada ketentuan-ketentuan yang
mengatur dan sudah semuanya dituliskan, dan disepakati secara bersama dalam kontrak. Keadaan dokumen yang tidak jelas,
kontrak yang tidak fokus dapat menimbulkan klim sehingga terjadi sengketa. Sengketa dapat membuka peluang para pihak
untuk mencari pembenaran sendiri sehingga dapat merugikan para pihak, negara maupun pribadi sebagai pengguna maupun
pemberi jasa. Guna menghindari sengketa diperlukan dokumen yang jelas dan terinci yang dibuat dalam dokumen kontrak,
serta penyelesaian yang paling baik dalam pembangunan jasa konstruksi adalah dengan cara mediasi.

Kata Kunci : Klaim, sengketa, kontrak kontruksi

1. PENDAHULUAN

Ada fenomena bahwa posisi Penyelia Jasa dipandang lebih lemah daripada posisi Pengguna Jasa. Dengan kata lain
posisi Pengguna Jasa lebih dominan dari pada posisi Penyedia Jasa. Penyedia Jasa hampir selalu harus memenuhi
konsep/draf kontrak yang dibuat Pengguna Jasa karena Pengguna Jasa selalu menempatkan dirinya lebih tinggi dari
Penyelia Jasa. Mungkin hal ini diwarisi dari pengertian bahwa dahulu Pengguna Jasa disebut Bouwheer (Majikan
Bangunan) sehingga sebagimana biasa “majikan” selalu lebih “kuasa”. Hal ini terjadi pada masa lalu sampai
sekarang. Peraturan perundang-undangan yang baku untuk mengatur hak-hak dan kewajiban para pelaku industri
jasa konstruksi sampai lahirnya Undang-Undang No. 18/1999 tentang Jasa Konstruksi, belum ada sehingga asas
“Kebebasan Berkontrak” sebagaimana diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) Pasal 1338
dipakai sebagai satu-satunya asas dalam penyusunan kontrak. Dengan posisi yang lebih dominan, Pengguna Jasa
lebih leluasa menyusun kontrak dan ini dapat merugikan Penyedia Jasa. (Nazarkhan Yasin. 2003, Mengenal Kontrak
Konstruksi di Indonesia).

Ketidak seimbangan antara terbatasnya pekerjaan Konstruksi/Proyek dan banyaknya Penyedia Jasa mengakibatkan
posisi tawar Penyedia Jasa sangat lemah. Dengan banyaknya jumlah Penyedia Jasa maka Pengguna Jasa leluasa
melakukan pilihan. Adanya kekhawatiran tidak mendapatkan pekerjaan yang ditenderkan Pengguna jasa/Pemilik
Proyek menyebabkan Penyedia Jasa “rela” menerima Kontrak Konstruksi yang dibuat Pengguna Jasa. Bahkan
sewaktu proses tender biasanya Penyedia Jasa enggan bertanya hal-hal yang sensitive namun penting seperti
ketersediaan dana, isi kontrak, kelancaran pembayaran, Penyedia Jasa takut pihaknya dimasukkan dalam daftar
hitam.

2. SEBAB TERJADINYA KLAIM


Sesungguhnya dengan mengetahui sebab-sebab dari suatu klaim, para pihak selaku pelaksana industri jasa konstruksi
dengan pikiran jernih dapat menempatkan masalah klaim secara wajar dan proporsional dan tak perlu merasa
canggung atau alergi. Pendapat beberapa penulis.

Prof. H. Priyatna Abdurrasyid, beberapa sebab utama terjadinya klaim: Informasi design yang tidak tepat, Informasi
design yang tidak sempurna, Investigasi lokasi yang tidak sempurna, Reaksi klien yang lambat, Komunikasi yang
buruk, Sasaran waktu yang tidak realistis, Administrasi kontrak yang tidak sempurna, Kejadian eksternal yang tidak
terkendali, Informasi tender yang tidak lengkap, Alokasi risiko yang tidak jelas, Keterlambatan – ingkar membayar.
Kebanyakan sengketa/ketidaksepakatan dibidang jasa konstruksi pada umumnya dapat diselesaikan melalui
negosiasi/mediasi diluar pengadilan karena kontruksi merupakan kegiatan yang berkelanjutan dari awal sampai
akhir. Melempar masalah kepengadilan berarti menghentikan pembangunan untuk jangka waktu yang tidak bisa
diperhitungkan. Tapi negosiasi atau mediasi pun dapat tidak berfungsi/gagal.
Menurut Robert D. Gilbreath, sebab-sebab terjadinya klaim:
1. Pekerjaan yang cacat.
Para pengguna jasa yang tidak puas dengan apa yang dihasilkan penyedia jasa dapat mengajukan klaim atas
kerugian termasuk biaya perubahan, penggantian atau pembongkaran pekerjaan yang cacat. Dalam banyak

-1-
kejadian, pekerjaan yang tidak diselesaikan sesuai dengan spesifikasi yang disebut dalam kontrak atau hal lain
yang tidak cocok dengan maksud yang ditetapkan. Kadang-kadang barang-barang atau jasa yang diminta tidak
sesuai dengan garansi/jaminan yang diberikan penyedia jasa atau pemasok bahan.
2. Kelambatan yang disebabkan penyedia jasa.
Jika penyedia jasa berjanji melaksanakan pekerjaan tersebut, dalam waktu yang telah ditetapkan, pengguna
jasa dapat mengajukan klaim atas kerugian bila keterlambatan tersebut disebabkan penyedia jasa atau dalam
kejadian lain, bahkan jika keterlambatan tersebut diluar kendali dari penyedia jasa. Jenis-jenis klaim kerugian
dalam hal ini adalah kehilangan kesempatan penggunaan dari fasilitas tersebut, pengaruh reaksi terhadap
penyedia jasa lain dan kenaikan biaya dari pekerjaan lain yang terlambat.
3. Sebagai klaim tandingan.
Para pengguna jasa yang menghadapi klaim-klaim para penyedia jasa dapat membalasnya dengan klaim
tandingan. Klaim tandingan biasanya menyerang atau berusaha memojokan/mendiskreditkan unsure-unsur asli
dari klaim penyedia jasa, dengan membuka hal-hal yang tumpang tindih atau perangkap kerugian biaya atau
menyebutkan perubahan-perubahan atau pasal-pasal klaim dalam kontrak yang melarang atau modifikasi dari
tindakan-tindakan penyedia jasa dalam hal terjadinya sengketa. Kebanyakan klaim yang ditemukan dalam
proyek konstruksi datang dari penyedia jasa terhadap pengguna jasa karena satu dan lain sebab. Perubahan-
perubahan tidak resmi adalah sebagai berikut:
‚ Kelambatan atau cacat informasi dari pengguna jasa biasanya dalam bentuk gambar-gambar atau
spesifikasi teknis.
‚ Kelambatan atau cacat informasi dari bahan-bahan atau peralatan yang diserahkan pengguna jasa.
‚ Perubahan-perubahan permintaan, gambar-gambar atau spesifikasi.
‚ Perubahan-perubahan kondisi lapangan atau kondisi lapangan yang tidak diketahui.
‚ Pengaruh reaksi dari pekerjaan yang tidak bersamaan.
‚ Larangan-larangan metode kerja tertentu termasuk kelambatan atau percepatan pelaksanaan pekerjaan
penyedia jasa.
‚ Kontrak yang memiliki arti mendua atau perbedaan penafsiran.

Dari uraian diatas sebab-sebab atau asal usul klaim dapat dikelompokan sebagai berikut:
Sebab – sebab umum
Komunikasi antara pengguna jasa dan penyedia jasa buruk; Administrasi kontrak yang tidak mencukupi; Sasaran
waktu yang tidak terkendali; Kejadian eksternal yang tidak terkendali; Kontrak yang artinya mendua.
Sebab – sebab dari pengguna jasa
Informasi tender yang tidak lengkap/sempurna mengenai desain, bahan, spesifikasi; Penyelidikan site yang tidak
sempurna/perubahan site; Reaksi/tanggapan yang lambat; Alokasi risiko yang tidak jelas; Kelambatan pembayaran;
Larangan metode kerja tertentu.
Sebab - sebab dari penyedia jasa
Pekerjaan yang cacat/mutu pekerjaan buruk; Kelambatan penyelesaian; Klaim tandingan/perlawanan klaim;
Pekerjaan tidak sesuai spesifikasi; Bahan yang dipakai memenuhi syarat garansi.

3. UNSUR-UNSUR KLAIM
Klaim-klaim konstruksi yang biasa muncul dan paling sering terjadi adalah klaim mengenai waktu dan biaya sebagai
akibat perubahan pekerjaan. Bila pekerjaan berubah, katakanlah volume pekerjaan bertambah atau sifat dan jenisnya
berubah, tidak terlalu sulit menghitung berapa tambahan biaya yang diminta penyedia jasa beserta tambahan waktu.
Namun terkadang penyedia jasa, disamping mengajukan klaim yang disebut tadi, juga mengajukan klaim sebagai
dampak terhadap pekerjaan yang tidak berubah. Hal ini dapat diterangkan sebagai berikut: suatu pekerjaan yang
tidak diubah terpaksa ditunda (karena alasan teknis pelaksanaannya dengan adanya pekerjaan lain yang berubah).
Pekerjaan yang tidak berubah tadi seharusnya dikerjakan pada musim kemarau. Oleh karena terjadi penundaan
pekerjaan ini terpaksa dilaksanakan dalam musim hujan yang mengakibatkan menurunkan produktifitas dan perlu
tambahan biaya untuk melindungi pekerjaan tersebut dari pengaruh cuaca (hujan).
Belum lagi kemungkinan terjadinya kenaikan upah buruh karena musim hujan, tambahan tenaga pengamanan, biaya
administrasi , dan overhead.
Menurut Robert D Gilbreath, unsur-unsur klaim konstruksi tersebut adalah:
‚ Tambahan upah, material, peralatan, pengawasan, administrasi, overhead dan waktu.
‚ Pengulangan pekerjaan (bongkar/pasang).
‚ Penurunan prestasi kerja.
‚ Pengaruh iklim.
‚ De-mobilisasi dan Re-mobilisasi.

-2-
‚ Salah penempatan peralatan.
‚ Penumpukan bahan.
‚ De-efisiensi jenis pekerjaan.

1. Kategori klaim
a. Dari pengguna jasa terhadap penyedia jasa:
‚ Pengurangan nilai kontrak.
‚ Percepatan waktu penyelesaian pekerjaan
‚ Kompensasi atas kelalaian penyedia jasa

b. Dari penyedia jasa terhadap pengguna jasa:


‚ Tambahan waktu pelaksanaan pekerjaan
‚ Tambahan kompensasi
‚ Tambahan konsesi atas pengurangan spesifikasi teknis atau bahan.

c. Dari Sub penyedia jasa atau pemasok bahan terhadap penyedia jasa utama

2. Jenis-jenis klaim
a. Klaim tambahan biaya dan waktu; Diantara beberapa jenis klaim, akan ditinjau 2 (dua) jenis klaim
yang sering terjadi yaitu klaim yang timbul akibat keterlambatan penyelesaian pekerjaan. Klaim jenis ini
biasanya mengenai permintaan tambahan waktu dan tambahan biaya.

b. Klaim biaya tak langsung (Overhead); Selain itu terdapat pula jenis klaim lain sebagai akibat
kelambatan tadi, klaim atas biaya tak langsung (overhead). Penyedia jasa yang terlambat menyelesaikan
suatu pekerjaan karena sebab-sebab dari pengguna jasa, meminta tambahan biaya overhead dengan
alasan biaya ini bertambah karena pekerjaan belum selesai.

c. Klaim tambahan waktu (tanpa tambahan biaya); Walaupun klaim kelembatan kelihatannya
sederhana saja, namun dalam kenyataannya tidak demikian. Misalnya penyedia jasa hanya diberikan
tambahan waktu pelaksanaan tanpa tambahan biaya karena alasan-alsan tertentu.

d. Klaim kompensasi lain; Dilain kejadian penyedia jasa selain mendapatkan tambahan waktu
mendapatkan pula kompensasi lain.

Ada kalanya penyedia jasa tidak mendapatkan seluruh klaim kelambatan yang diminta karena tidak seluruh
kelambatan tersebut kesalahan pengguna jasa. Penyedia jasa juga mempunyai andil dalam kelambatan tersebut yang
terjadi secara tumpang tindih.

4. SENGKETA KONSTRUKSI
Sengketa konstruksi adalah sengketa yang terjadi sehubungan dengan pelaksanaan suatu usaha jasa konstruksi antara
para pihak yang tersebut dalam suatu kontrak konstruksi yang di dunia Barat disebut construction dispute. Sengketa
konstruksi yang dimaksudkan di sini adalah sengketa di bidang perdata yang menurut UU no.30/1999 Pasal 5
diizinkan untuk diselesaikan melalui Arbitrase atau Jalur Alternatif Penyelesaian Sengketa. (Nazarkhan Yasin. 2004,
Mengenal Klaim Konstruksi dan Penyelesaian Sengketa Konstruksi)
Konstrksi dimaksud adalah kegiatan jasa konstruksi yang meliputi; Perencanaan, Pelaksanaan, dan Pengawasan
pekerjaan konstruksi. Undang-undang tentang Jasa Konstruksi No.18 tahun 1999 dalam Ketentuan Umum
menyebutkan bahwa Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa
pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi. Sedangkan
pengertian pekerjaan konstruksi adalah seluruh atau sebahagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau
pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata
lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain. (
Undang-Undang Jasa Konstruksi No.18 tahun 1999)
Sengketa konstruksi dapat timbul antara lain karena klaim yang tidak dilayani misalnya keterlambatan pembayaran,
keterlambatan penyelesaian pekerjaan, perbedaan penafsiran dokumen kontrak, ketidak mampuan baik teknis
maupun manajerial dari para pihak. Selain itu sengketa konstruksi dapat pula terjadi apabila pengguna jasa ternyata
tidak melaksanakan tugas-tugas pengelolaan dengan baik dan mungkin tidak memiliki dukungan dana yang cukup.
Dengan singkat dapat dikatakan bahwa sengketa konstruksi timbul karena salah satu pihak telah melakukan tindakan
cidera (wanprestasi atau default).

-3-
5. PENYELESAIAN SENGKETA
Sengketa konstruksi dapat diselesaikan melalui beberapa pilihan yang disepakati oleh para pihak yaitu melalui :
ƒ Badan Peradilan (Pengadilan);
ƒ Arbitrase (Lembaga atau Ad Hoc);
ƒ Alternatif Penyelesaian Sengketa (konsultasi, negosiasi, mediasi, konsilisasi).

Penyelesaian sengketa harus secara tegas dicantumkan dalam kontrak konstruksi dan sengketa yang dimaksud adalah
sengketa perdata (bukan pidana). Misalnya, pilihan penyelesaian sengketa tercantum dalam kontrak adalah Arbitrase.
Dalam hal ini pengadilan tidak berwenang untuk mengadili sengketa tersebut sesuai Undang-Undang No.30/1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 3.

5.1 Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan


Penyelesaian sengketa melalu pengadilan, kurang disukai dan diminati oleh para pelaku jasa konstruksi karena waktu
penyelesaiannya terlalu lama, apalagi bila terjadi Peninjauan Kembali. Hal ini diungkapkan oleh Prof. Dr.Sudargo
Gautama dalam bukunya Undang Undang Arbitrase Baru, 1999 hal 2-4 sebagai berikut:
Dunia dagang, terutama Internasional selalu ”takut” untuk berperkara dihadapan badan-badan peradilan. Ini
berlaku untuk tiap sistem negara, baik negara yang maju maupun masih berstatus negara berkembang. Para
pedagang umumnya takut untuk berperkara bertahun-tahun lamanya. Keadaan ini dirasakan disemua negara.
Tetapi lebih-lebih lagi dalam keadaan sistem peradilan di negara kita, berperkara bisa berlarut-larut, artinya bisa
bertahun-taun lamanya.

5.2 Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase


Kata arbitrase berasal dari kata arbitrare (Latin), arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris), schiedspruch (Jerman),
dan arbitrage (Peracis), yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau damai oleh
artbiter atau wasit.

Arbitrase merupakan salah satu metode penyelesaian sengketa. Sengketa yang harus diselesaikan tersebut berasal
dari sengketa atas sebuah kontrak dalam bentuk sebagai berikut (Harahap, Yahya, Arbitrase, Pustaka Kartini,
Jakarta, 1991).

a. Perbedaan penafsiran (disputes) mengenai pelaksanaan perjanjian, berupa:


‚ Kontroversi pendapat (controversy);
‚ Kesalahan pengertian (misunderstanding);
‚ Ketidaksepakatan (disagreement);

b. Pelanggaran perjanjian (breach of contract), termasuk di dalamnya adalah:


‚ Sah atau tidaknya kontrak;
‚ Berlaku atau tidaknya kontrak
c. Pengakhiran kontrak (termination of contract);
d. Klaim mengenai ganti rugi atas wanprestasi atau perbuatan atau melawan hukum.

Menurut Steven H. grifis (1984), yang dimaksud dengan arbitrase adalah submission of controversies by agreement
of the parties thereto, to person chosen by themselves for determination (suatu pengajuan sengketa, berdasarkan
perjanjian antara para pihak, kepada orang-orang yang dipilih sendiri oleh mereka untuk mendapatkan suatu
keputusan).

Dalam suatu sumber yang lain disebutkan bahwa yang dimaksud dengan arbitrase adalah the submission for
determination of diputed matter to private unofficial persons selected in manner provided by law or agreement
(pengajuan suatu sengeketa untuk diputuskan oleh orang-orang swasta yang tidak resmi, yang dipilih dengan cara
yang ditetapkan oleh peraturan atau oleh suatu perjanjian) (Fuady, Munir, Arbitrase Nasional, Alternatif
Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2000).

Sementara R. Subekti mengartikan arbitrase :


Arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim
berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan
oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut (Subekti, Arbitrase Perdagangan,
Bina Cipta, Bandung, 1992).

-4-
Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
(selanjutnya disebut UU Arbitrase), yang dimaksud dengan arbitrase adalah :

Cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa, vide Pasal 1 ayat (1).
Arbitrase sebagai salah satu metode penyelesaian sengketa, yang harus diselesaikan tersebut berasal dan sengketa
atas sebuah kontrak dalam bentuk sebagai berikut: (Harahap, M. Yahya, 1991:108)
a. Perbedaan penafsiran (disputes) mengenai pelaksanaan perjanjian, berupa:
ƒ Kontraversi pendapat (controversy);
ƒ Kesalahan pengertian (misunderstanding);
ƒ Ketidaksepakatan (disagreement);
b. Pelanggaran perjanjian (breach of contract). termasuk di dalamnya adalah:
ƒ Sah atau tidaknya kontrak;
ƒ Berlaku atau tidaknya kontrak;
c. Pengakhiran kontrak (termination of contract);
d. Klaim mengenai ganti rugi atas wanprestasi atau perbuatan atau melawan hukum.
Arbitrase merupakan suatu pengadilan swasta, yang sering juga disebut dengan “pengadilan wasit.” Sehingga para
“arbiter” dalam peradilan arbitrase berfungsi memang layaknya seorang “wasit” (referee) seumpama wasit dalam
suatu pertandingan bola kaki.
Yang dimaksud dengan “arbitrase” adalah submission of controversies, by agreement of the parties there to, to
persons chosen by themselves for determination (suatu pengajuan sengketa, berdasarkan perjanjian antara para pihak,
kepada orang-orang yang dipilih sendiri oleh mereka untuk mendapatkan suatu keputusan). (Gills, Steven H, 1984 :
27).
Dalam suatu sumber, arbitrase dimaksudkan sebagai:
Menurut yang tertulis, ialah memeriksa sesuatu, atau mengambll keputusan mengenai faedahnya. Proses
yang oleh suatu perselisihan antara dua pihak yang bertentangan diserahkan kepada satu pihak atau lebih
yang tidak berkepentingan untuk mengadakan pemeriksaan dan mengambil suatu keputusan terakhir. Pihak
yang tidak berkepentingan, atau arbitrator tersebut, dapat dipilih oleh pihak-pihak itu sendiri, atau boleh
ditunjuk oleh suatu badan yang lebih tinggi yang kekuasaannya diakui oleh pihak-pihak itu. Dalam prosedur
arbitration, kedua belah pihak yang bertentangan itu sebelumnya telah menyetujui akan menerima
keputusan arbitrator... (Abdurrachman, A., 1991 50).

Dalam suatu sumber yang lain disebutkan bahwa yang dimaksud dengan arbitrase adalah the submission for
determination of disputed matter to private unofficial persons selected ini manner provided by law or agreement
(pengajuan suatu sengketa untuk diputuskan oleh orang-orang swasta yang tidak resmi, yang dipilih dengan cara
yang ditetapkan oleh peraturan atau oleh suatu perjanjian). (Black, Henry Campbell, 1968: 134).
Kemudian, menurut Undang-Undang Arbitrase No. 30 Tahun 1999, yang dimaksud dengan arbitrase adalah:
Cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa (vide Pasal 1 ayat (1) Undang-
Undang Arbitrase No. 30 Tahun 1999).

5.3 Arbitrase Lebih Disukai


Dalam Undang-Undang Arbitrase Baru 1999, dinyatakan antara lain bahwa dibandingkan dengan berperkara biasa
memalui pengadilan negeri, arbitrase lebih diutamakan oleh pelaku bisnis internasional. Salah satu sebab adalah
karena “lebih cepat, murah dan sederhana”. Cepat karena dalam rangka arbitrase ditentukan, baik dalam peraturan
RV (Reglement of de Rechtsvordering, Hukum Acara Perdata) yang lama (Pasal 620, maupun yang baru, ditentukan
pada prinsipnya, putusan arbitrase ini harus dijatuhkan dalam waktu 6 (enam) bulan setelah pengangkatan arbitrase
(Pasal 47 RUU).

5.4. Memilih Penyelesaian Sengketa Alternatif

Karena berbagai kelemahan yang melekat pada badan pengadilan dalam menyelesaikan sengketa, baik kelemahan
yang dapat diperbaiki ataupun tidak, maka banyak kalangan yang ingin mencari cara lain atau institusi lain dalam
menyelesaikan sengketa di luar badan-badan pengadilan. Dan model penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang
sangat populer adalah apa yang disebut dengan “arbitrase” itu.

-5-
Akan tetapi, institusi arbitrase bukan satu-satunya jalan untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadian. Masih
banyak alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, sungguhpun tidak sepopuler lembaga arbitrase.
Penyelesaian sengketa alternatif mempunyai kadar keterikatan kepada aturan main yang bervariasi, dan yang paling
kaku dalam menjalankan aturan main sampai kepada yang paling relaks. Faktor-faktor penting yang berkaitan
dengan pelaksanaan kerja penyelesai sengketa alternatif juga mempunyai kadar yang berbeda-beda, yaitu sebagai
berikut:
a. Apakah para pihak dapat diwakili oleh pengacaranya atau para pihak sendiri yang tampil.
b. Apakah partisipasi dalam penyelesaian sengketa alternatif tertentu wajib dilakukan oleh para pihak atau hanya
bersifat sukarela.
c. Apakah putusan dibuat oleh para pihak sendiri atau oleh pihak ketiga.
d. Apakah prosedur yang digunakan bersifat formal atau tidak formal.
e. Apakah dasar untuk menjatuhkan putusan adalah aturan hukum atau ada kriteria lain.
f. Apakah putusan dapat dieksekusi secara hukum atau tidak. (Kanowitz, Leo, 1985 6).
g. Tidak semua model penyelesaian sengketa alternatif baik untuk para pihak yang bersengketa. Suatu
penyelesaian sengketa alternatif yang baik setidak-tidaknya haruslah memenuhi prinsip-prinsip sebagai
berikut:
‚ Haruslah efisien dan segi waktu.
‚ Haruslah hemat biaya.
‚ Haruslah dapat diakses oleh para pihak. Misalnya tempatnya jangan terlalu jauh.
‚ Haruslah melindungi hak-hak dan para pihak yang bersengketa.
‚ Haruslah dapat menghasilkan putusan yang adil dan jujur.
‚ Badan atau orang yang menyelesaikan sengketa haruslah terpercaya di mata masyarakat dan di mata para
pihak yang bersengkata.
‚ Putusannya haruslah final dan mengikat.
‚ Putusannya haruslah dapat bahkan mudah dieksekusi.
‚ Putusannya haruslah sesuai dengan perasaan keadilan dan komuniti di mana penyelesaian sengketa alternatif
tersebut terdapat.
(Kanowitz, Leo, 1985:14). Sebagaimana diketahui bahwa masing-masing alternatif penyelesaian sengketa yang ada
nilai plus minusnya. Tabel berikut ini merupakan perbandingan sisi kuat dan sisi lemah di antara berbagai alternatif
penyelesaian sengketa, yaitu sebagai berikut:

Sisi Kuat dan Sisi Lemah dan Berbagai Alternatif Penyelesaian Sengketa

No Alternatif Sisi Baik Sisi Lemah


Penyelesaian
Sengketa
1. Badan Pengadilan ‚ Menerapkan Norma Publik ‚ Mahal
‚ Ada precedent ‚ Memakai lawyer sehingga mereka
‚ Deterrence effect tidak terkontrol
‚ Keseragaman ‚ Keputusan tidak terduga
‚ Independensi ‚ Tidak ahli substansi
‚ Putusan Mengikat ‚ Menunda-nunda
‚ Keterbukaan ‚ Banyak butuh Waktu
‚ Dapat Dieksekusi ‚ Masalah diredefinisi dan
‚ Melembaga dipersempit
‚ Pendanaan secara publik ‚ Ganti rugi terbatas
‚ Tidak ada kompromi
‚ Polarisasi cenderung bermusuhan
2. Arbitrase ‚ Privacy Forum dikontrol para ‚ Tidak ada norma publik
pihak ‚ Tidak ada precedent
‚ Dapat dieksekusi ‚ Tidak ada keseragaman
‚ Cepat ‚ Kurang berkualitas
‚ Ahli ‚ Dibebani oleh legalisasi yang
‚ Ganti rugi tailormade semakin banyak
‚ Dapat Dipilih Norma yang sesuai

-6-
3. Mediasi/Negosiasi ‚ Privacy ‚ Kurang kemampuan untuk
‚ Forum dikontrol para pihak memaksa partisipasi para pihak
‚ Merefleksi kepetingan dan ‚ Tidak mengikat
prioritas para pihak ‚ Kurang terbuka
‚ Mempertahankan kelanjutan ‚ Tidak ada kewenangan eksekusi
hubungan para pihak ‚ Tidak ada jaminan due process
‚ Fleksibel ‚ Hasil tidak adil jika skill tidak
‚ Putusan yang terintegrasi seimbang (dalam negosiasi)
‚ Tertuju pada masalah dasar ‚ Sukar dieksekusi
‚ Menjadi pendidikan terhadap para ‚ Hasil menjadi tidak penting
pihak ‚ Tidak ada aplikasi/ perkembangan
‚ Putusan cenderung dijalankan
oleh para pihak

Di samping itu, model-model alternatif penyelesaian sengketa yang bersifat campuran di antara berbagai model, juga
sering diketemukan. Misalnya apa yang disebut dengan “Med-Arb” yang merupakan bentuk kombinasi antara model
mediasi dengan model arbitrase. Atau apa yang disebut dengan “Judicial Arbitration” atau “Court-Annexed
Arbitration, yang merupakan bentuk hibrida dan badan pengadilan dan arbitrase. Atau apa yang dikenal dengan
Concilio-Arbitration.” Dalam hal ini ConcilioArbitration” merupakan hibrida antara bentuk konsiliasi dan Arbitrase.
Untuk itu, pertama sekali penyelesaian sengketa diusahakan secara Konsiliasi. Akan tetapi, apabila tidak berhasil
akan dilanjutkan ke dalam bentuk arbitrase di mana pihak konsiliator akan berubah fungsinya menjadi arbiter.

6. KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa :
1. Sengketa konstruksi dapat timbul antara lain karena klaim yang tidak dilayani misalnya keterlambatan
pembayaran, keterlambatan penyelesaian pekerjaan, perbedaan penafsiran dokumen kontrak, ketidak mampuan
baik teknis maupun manajerial dari para pihak. Selain itu sengketa konstruksi dapat pula terjadi apabila
pengguna jasa ternyata tidak melaksanakan tugas-tugas pengelolaan dengan baik dan mungkin tidak memiliki
dukungan dana yang cukup.
2. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase lebih disukai, dalam Undang-Undang Arbitrase Baru 1999, dinyatakan
antara lain bahwa dibandingkan dengan berperkara biasa memalui pengadilan negeri, arbitrase lebih
diutamakan oleh pelaku bisnis internasional. Salah satu sebab adalah karena “lebih cepat, murah dan
sederhana”.

DAFTAR PUSTAKA

Gautama Sudargo,1999, “Undang-Undang Arbitrase Baru”, PT.Citra Aditya Bakti. Jakarta.

Harahap, Yahya, 1999, ” Arbitrase”, Pustaka Kartini, Jakarta.

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Undang-Undang No. 18/1999, tentang Jasa Konstruksi.

Yasin Nazarkhan, 2004, Mengenal Klaim Konstruksi & Penyelesaian Sengketa Konstruksi, PT.Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.

Yasin Nazarkhan, 2003, Mengenal Kontrak Konstruksi di Indonesia, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

-7-

Anda mungkin juga menyukai