Anda di halaman 1dari 2

Pengadilan campuran

Beberapa kasus penyelasaian sangketa internasional, baik secara damai maupun kekerasan, baik
untuk perbuatan melawan hukum internasional maupun yang merupakan tindak pidana
internasional yang melibatkan negara membuktikan bahwa resmi tanggung jawab negara,
khususnya terhadap tindak pidana internasional adalah forum penyelesaian sangketa
internasional dengan kekerasan. Sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan terdahulu,
sistem penyelesaian sengketa internasional sebagai rezim tanggung jawab negara terhadap tindak
pidana internasional telah dipraktikkan oleh masyarakat internasional, baik pada masa hukum
internasional tradisional maupun hukum internasional moderen saat ini. 1

Persoalan rezim tanggungjawab negara terhadap tindak pidana internasional melalui


prosedur penyelesaian sangketa internasional PBB ini, selain dibahas serius dalam sidang-sidang
ILC, juga dibahas dalam sidang Six Committe of the 37th UN General Assembly yang
menyatakan bahwa prosedur penyelesaian sengketa internasional PBB dapat digunakan untuk
prosedur tanggung jawab negara terhadap tindak pidana internasional. Berkaitan dengan
persoalan penggunaan instrumen PBB ini, Hans Kelsen mengatakan bahwa masalah
penyelesaian PBB ini pada dasarnya merupakan konsep sanksi internasional dari pbb terhadap
adanya pelanggaran kewajiban [internasional], dan tanggungjawab negara.2

Terkait dengan PBB, dewasa ini terdapat bentuk pengadilan internasional sebagai sarana
penyelesaian secara hukum atas kejahatan internasional. Hal tersebut, antara lain, dibentuknya
Pengadilan Pidana Internasional untuk Bekas Negara Yugoslavia (International Criminal
Tribunal for the Former Yugoslavia/ICTY) tahun 1993, Pengadilan Pidana Internasional untuk
Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda/ICTR) tahun 1994 dan Mahkamah Pidana
Internasional (International Criminal Court/ICC) tahun 1998. Sarana penyelesaian lainnya yang
dibentuk atas peran dari PBB adalah Pengadilan Campuran (Hybrid Tribunal).3

Pengadilan ini pada dasarnya merupakan pengadilan nasional yang telah di


internasionalisasi (internationalized domestic tribunal). Kata “campuran” atau hybrid mengacu
pada perpaduan antara unsur lokal dan internasional yang terdapat di dalamnya, seperti :

1
Oentoeng wahjoe, Hukum Pidana Internasional, (Jakaarta: Erlangga, 2011), hal 115-116.
2
Ibid.
3
Cholidah, Hybrid sebagai alternative penyelesaian pelanggaraan hak asasi manusia, juirnal ilmiah (2018), hal 63.
personilnya, sistem hukum yang diterapkan, dana operasionalnya, dan sebagainya. Pengadilan
campuran biasanya dibentuk berdasarkan suatu perjanjian bilateral antara suatu negara dengan
PBB.4

Saat ini telah dibentuk empat pengadilan campuran, tiga didirikan antara tahun 1999 dan
2001 di Timor Timur (the Special Panels for Serious Crimes of theDistrict Court of Dili), di
Kosovo (Regulation 64” Panels in the Courts of Kosovo), di Sierra Leone (Special Court of
Sierra Leone) dan di Kamboja (the Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia).

Apresiasi terhadap pengadilan HAM campuran ini cukup positif karena dinilai lebih
memiliki nilai- nilai legitimasi sebagai suatu mekanisme yang adil untuk mengadili para pelaku
yang bertanggung jawab atas perbuatan mereka seperti halnya pengadilan nasional model
campuran ini lebih mudah dijalankan dibandingkan dengan persidangan ad-hoc. Mekanisme ini
lebih sedikit menimbulkan pertentangan secara politis, dan lebih efektif dalam membangun
kembali system peradilan local. Sekalipun mekanisme pengadilan campuran yang diterapkan
pertamakalinya di timor timuratau yang sekarang disebut sebagai timor leste, memiliki
kelemahan – kelemahan, tetapi mulai diyakini oleh banyak kalangan, terutama pbb yang melihat
mekanisme campuran ini lebih baik dibandingkan mekanisme ad-hoc, karena dengan
mekanisme, masyarakat internasional melalui pbb bisa secara langsung terlibat menjadi bagian
dari proses yudisial sehingga kelemahan – kelemahan mekanisme nasional yang berupa
kerentanan politik atau kelemahan – kelemahan hukum bisa dieliminasi.5

4
Ibid.
5
Suparman marzuki, pengadilan HAM di Indonesia: melanggengkan impunity, (Jakarta: erlangga,2012 ), hal 68-69

Anda mungkin juga menyukai